Rabu, 12 April 2023

KISAH SI NAGA LANGIT



 





























KISAH SI NAGA LANGIT JILID 01


Mao-Mao-San (Gunung Mao-mao) menjulang tinggi sekitar empat meter dan puncaknya menembus awan." Gunung ini terletak di sebelah dalam Tembok Besar, di dekat perbatasan sebelah utara Propinsi Gan-su dan Mongo-lia Dalam. Biarpun pegunungan ini terletak di perbatasan, namun pegunungan ini tidak sepi benar. Kota Tian-ju dan Gu-lang terletak di kakinya sebelah barat dan utara, sedangkan dl kaki bagian timur terdapat kota Jing-tai. Pegunungan Inl mempunyal tanah yang subur, maka di kaki pegunungan dan di lereng-lereng bagian bawah terdapat banyak dusun pertanian di mana rakyat petani hidup cukup makmur, dalam arti kata tidak pernah kekurangan makan. Akan tetapl di bagian lereng sebelah atas sampal ke puncak, Mao-mao-san jarang dikunjungi orang karena daerah ini penuh dengan hutan belantara yang dihuni banyak binatang buas. Para pemburu binatangpun hanya berani mencari untung sampai di lereng pertengahan saja. Cerita tahyul beredar di kalangan rakyat petani bahwa di dekat puncak Mao-mao-san terdapat seekor naga siluman yang amat jahat. Kabarnya banyak pemburu yang beranl naik lebih tinggi, lenyap tanpa menlnggalkan jejak dan dikabarkan menjadi mangsa naga slluman. Semenjak cerlta Itu tersiar, tidak ada seorangpun pemburu berani nalk mendaki lereng yang berada dl pertengahan gunung.

Pagi itu hari dlmulai dengan cuaca yang amat cerah. Matahari pagl bebaa memuntahkan cahayanya, membangunkan segala sesuatu yang malas terblus malam dingin. Embun pagi membubung dari hutan-hutan kemudian lenyap dibakar sinar mataharl yang mulal terasa hangat. Burung-burung mulal sibuk, berkicau sallng memberi salam, berloncatan darl dahan ke dahan, merontokkan embun yang tadinya tergantung di ujung-ujung daun-daunan. Mereka ttu dengan riang gembira menyambut sinar matahari dan bersiap-siap melakukan pekerjaan mereka mencari makan. Binatang-binatang hutan juga mulai meninggalkan sarang mereka untuk mencari makan bagl dlri sendirl dan bagl anak-anak mereka. Bunga-bunga bermekaran. Kupu-kupu beterbangan. Awan putlh tipis berbagai bentuk berarak di angkasa. Semua bekerja! Matahari, awan, pohon-pohon, bunga, embun, burung, kupu-kupu dan semua binatang hutan. Mereka semua mulal sibuk bekerja mencari makan, Memang sesungguhnya lah. Hidup adalah gerak dan gerak yang pallng balk dan bermanfaat adalah be-kerja. Seluruh alam dan Isinya tiada henti-hentinya bekerja. Kekuasaan Tuhan selalu bekerja, tak pernah berhenti sedetikpun juga. Kalau berhenti sedetik saja, akan kiamatlah dunia ini.

Dari lereng dekat puncak, masih di bawah awan, kita dapat melihat panorama yang teramat indah. Sukar dllukiskan kebesaran dan kelndahan alam. Sawah ladang terbentang luas dibawah kaki kita. Di sana-sini tampak air berkilauan memantulkan sinar matahari seperti cermin-cermin. Mata dapat menikmati pemandangan yang amat indah. Telinga juga dapat menikmati suara-suara merdu, kicau burung, desah angin di puncak-puncak pohon, gemercik air. Hidung juga dapat menikmati aroma yang amat segar, sedap dan alami. Bau hutan, bunga, tanah basah, semua itu demikian dekat dan dikenal penciuman kita. Udara demikian sejuk segar, mengalir deras memenuhi paru-paru, membawa kesehatan dan kenyamanan perasaan. Indah dan nikmatnya hidup ini!

Di lereng bawah puncak yang amat sunyi itu dan yang hampir tidak pernah dikunjungi orang, pada pagi hari itu terjadl hal yang tldak seperti biasanya. Terdapat seorang lakl-lakl berjalan seorang dlri menuruni puncak! Lakl-laki itu melangkah seperti di luar kesadaran nya. Dia seolah bersatu dengan alam di sekitarnya, matanya melahap semua yang tampak, mata yang bersinar penuh bahagia, mulutnya tersenyum. Pada saat seperti Itu, dia seperti kehilangan jati dirlnya karena sudah bersatu dengan alam. Dia adalah bagian dari pohon-pohon Itu, bagian dari ratusan burung yang terbang di angkasa, bagian dari sekumpulan kupu-kupu yang mencari madu diantara bunga-bunga, sebagian dari embun yang masih bergantung di ujung-ujung daun. Dia ber hentl melangkah. Di depannya terdapat sebuah jurang ternganga. Di bawah kaki nya, sinar matahari membentuk bayang-bayang memberi gairah kehidupan kepada segala sesuatu. Orang itu agaknya baru sadar akan dirinya dan dlapun menghirup napas dalam-dalam sehingga dada dan perutnya mengembang. Seperti dengan sendirinya dia berdongak ke langit, dan mulutnya berbisik.

"Terpujilah nama Yang Maha Kasih, yang menciptakan semua inl."

Dia lalu melangkah lagi, perlahan-lahan, dengan santai. Dia seorang lakl-laki berusla kurang lebih lima puluh tahun. Rambutnya yang panjang digelung ke atas masih hitam semua. Wajahnya halus belum ada kerut tuanya. Sepasang matanya mencorong tajam namun lembut sekali. Hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersenyum ramah dan penuh kesa-baran dan pengertian. Wajahnya berbentuk bulat dengan dagu meruncing. Tubuhnya sedang saja, tampak lemah. Pakaiannya sederhana sekali, hanya sehelai kain panjang kuning yang dilibat-libatkan tubuhnya. Dia memakai sepatu kain tebal yang bawahnya dilapisi besi sehingga awet sekali. Di punggungnya tergendong sebuah buntalan kuning yang besar dan tampaknya berat.

Pria itu di waktu mudanya bernama Tiong Lee, seorang ahli sastra yang mendalami tentang pelajaran Khong-hu-cu, Lo-cu dan yang terakhir pelajaran Agama Buddha. Seperti telah menjadi kebudayaan Cina di waktu abad ke sebelas, ketlga agama ini berbaur dan filsafat tiga agama ini dipilih yang cocok untuk menjadl dasar kehidupan Cina. Semenjak usia dua puluh lima tahun, Tiong Lee yang tertarik untuk mendalaml pelajaran Agama Buddha, melakukan perjalanan ke India seperti pernah dilakukan oleh pendeta Hsuan Tsang pada abad ke tujuh. Di negara pusat Agama Buddha itu Tiong Lee mempelajari Agama Buddha secara mendalam, dan selaln itu, dia mempelajari pula tentang ilmu Yoga dan pembangkitan kekuatan sakti dalam tubuh yang disebut Kundalini Yoga. Juga dari para pertapa Hindu yang memiliki kesaktian yang luar biasa, dia mempelajari banyak ilmu sihir bersih yang berlawanan dengan ilmu "sihir hitam yang biasanya dipergunakan untuk melakukan kejahatan. Biarpun dia telah menjadi seorang ahli dalani Agama Buddha, Tiong Lee tidak mencukur rambutnya, tidak menjadi hwesio (bhikkhu). Hanya pakaiannya saja sederhana seperti pakaian para pendeta. Rarnbutnya digelung dan diikat dengan pita kuning. Karena ke manapun dia pergi, dia mengajarkan tentang kehidupan yang benar dan baik, maka dia selanjutnya, setelah berusia lima puluh tahun, mendapat sebutan Tiong Lee Cin-jin. Setelah berusia lima puluh tahun dan sudah dua puluh lima tahun merantau ke India dan Tibet, akhirnya

Tiong Lee Cin-jin melakukan perjalanan ke timur untuk pulang ke Cina. Dia membawa banyak kitab-kitab suci, baik darl Agama Buddha maupun Agama Hindu, dengan maksud untuk dibawa pulang ke negerinya dan diterjemahkannya agar dapat dipelajari banyak orang di negerinya.

Pada pagi hari itu, perjalanannya dari dunia barat tiba di pegunungan Mao-mao. Tertarik oleh keadaan gunung itu, dia mendaki sampai ke puncak dan tinggal semalam di puncak. Pagi itu dia menuruni puncak dan menikmati keindahan alam. Dalam pesona kebesaran alam seperti itu, teringatlah dia akan kalimat bijaksana yang sukar dimengerti akan tetapi mudah dirasakan dalam keadaan seperti keadaannya di saat itu. Kalimat itu berbunyi: "Tidak memiliki apapun berarti memiliki segalanya!"

Kata memiliki yang pertama berarti kemelekatan kepada sesuatu yang dipunyai, dan kemelekatan kepada sesuatu, baik sesuatu itu orang, barang ataupun nama dan kedudukan, pasti menda-tangkan sengsora kehilangann. Adapun kata memlliki yang kedua berarti manunggal, bersatu dengan segalanya. Kita da-pat menikmati merdunya kicau burung di pohon dan indah harumnya bunga tanpa takut kehilangan. Akan tetapi sekali kita memiliki burung itu dan mengurungnya dalam sangkar, atau memilikl tanaman bunga itu dan mengelilinginya dengan pagar, sekali waktu kita akan menderita kalau burung Itu hilang atau bunga itu dipetik orang.

Tiong Lee Cln-jin tersenyum dan menundukkan mukanya seolah menghitung langkahnya satu-satu. Mempunyai akan tetapi tldak memiliki, itulah seninya kehidupan. Mempunyai hanya secara lahiriah saja. Batin tidak memiliki dan tidak melekat sehingga tidak merasa takut atau duka kalau kehilangan apa yang dipunyainya. Hanya Yang Maha Kuasa yang berwenang memiliki segala apa yang ada. Kita tidak memiiiki apa-apa. Semua yang ada pada kita hanyalah pinjaman belaka. Bahkan badan inipun bukan milik kita. Kita tidak kuasa atasnya. Bahkan kita tldak kuasa untuk menghentikan tumbuhnya kuku atau sehelai rambut. ADA yang menumbuhkan. Itulah Tao. Itulah kekuasaan Tuhan yang tidak pernah berhenti bekerja walau sedetikpun.

Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, tampak dua bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di depan Tiong Lee Cin-jin berdiri dua orang pria tua. Ke munculan mereka yang seperti pandai menghilang atau terbang Itu menyadarkan Tiong Lee Cin-jin bahwa dia berhadapan dengan dua orang yang memlliki ilmu kesaktian tinggi. Melihat dua orang itu, dia memandang penuh perhatian.

Orang pertama adalah seorang laki-laki yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih. Kumisnya yang putih itu pendek saja, akan tetap! jenggotnya yang juga su'dah putih itu tumbuh dari bawah tellnga kiri sampa! ke bawah telinga kanan, lebat sekali. Rambut dan alls nya yang tebal Juga sudah putih semua. Akan tetapl kulit mukanya yang banyak kerutan ttu maslh nampak kemerahan dan scgar. Dla mengenakan sebuah topl dari bulu blnatang yang bentuknya seperti peci sederhana. Dari potongan baju dan celananya yang juga sederhana, Tiong Lee Cin-jln yang sudah banyak pengalaman itu tahu bahwa pria itu ada lah seorang bersuku bangsa Uigur. Orang kedua adalah seorang laki-laki yang lebih tua lagl. Usianya tentu sekitar tujuh puluh tahun dilihat dari mukanya yang penuh keriput. Matanya sipit, kumisnya tipis saja, akan tetapi jenggotnya lebih tebal daripada jenggot orang pertama, dan berwarna kelabu. Kepalanya memakai kain kepala berwarna putih yang dibelitkan seperti sorban. Dilihat dari cara dia berpakalan Tiong Lee Cin-jin menduga bahwa kakek kedua ini tentu bersuku , bangsa Hui, yang sebetulnya adalah bangsa Han juga, akan tetapi yang sudah berabad-abad tinggal di Mongolia Dalam. Dllihat dari sorban di kepalanya, dapat diduga bahwa kakek Hul Ini beragama Islam. Memang suku bangsa Hul sebagian besar adalah Muslim.

Mellhat dua orang yang leblh tua darlnya dan mereka berdua itu agaknya sengaja menghadang dl depannya, Tiong Lee Cin-jin cepat memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada, lalu membungkuk dan berkata dalam bahasa Han dengan ramah sambil tersenyum.

"Selamat berjumpa, seudara tua yang baik! Semoga Yang Maha Kuasa selalu memberkahi kalian berdua."

Kakek suku bangsa Uigur itu terkekeh dan dia menggerak-gerakkan tongkatnya yang ternyata adalah seekor ular cobra yang dlkeringkan ke atas lalu menjawab.

"Selamat bertemu, sobat!" katanya dalam bahasa Han.

Kakek suku bangsa Hul memukui-mukulkan tongkatnya yang terbuat darl se macam bambu yang disebut Bambu Sislk Naga ke atas tanah lalu berkata lantang.

"Mualaikum salaam, semoga Allah memberkahi anda! Bukankah anda yang ber nama Tiong Lee Cin-jin?" kata pula kakek suku bangsa Hui itu dengan bahasa Han yang lancar pula.

Tiong Lee Cin-jin tersenyum. Dia ttdak merasa heran kalau kedua orang ini mengenal namanya, Bagi dia, tidak ada yang aneh di dunia ini karena segala sesuatu itu pasti ada alasan dan sebabnya.

"Benar sekali, saya adalah Tiong Lee Cin-jin. Sebaliknya, siapakah ji-wi (anda berdua), datang darl mana hendak ke mana?"

"Aku bernama Ouw Kan datang dari Sin-kiang barat." Kakek suku Uigur yang memegang tongkat ular berkata.

"Dan aku adalah Ali Ahmed dari pedalaman Mongol. Kami berdua memang sengaja datang hendak bertemu denganmu, Tiong Lee Cin-jin. Kami mendengar bahwa engkau baru pulang dari india dan akan lewat di daerah ini, maka, karni sengaja datang menghadangmu," kata kakek suku Hui.

Kembali Tiong Lee Cin-jin memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depari dada lalu berkata sambil tersenyum.

"Sungguh merupakan penghormatan besar sekali bagiku. Setelah sekarang kita berjumpa di sini, apakah kiranya yang dapat saya bantu dan lakukan untuk ji-wi?"

"Heh-heh-heh, bagus sekali. Kiranya nama besar Tiong Lee Cin-Jin sebagai seorang yang baik hati dan pemurah bukanlah kabar kosong belaka!" kata Ouw Kan sambil menggerak-gerakkan tongkat ular cobranya.

"Anda memang dapat membantu kami, Tiong Lee Cin-jin, yaitu berikan dan tinggalkan buntalan yang kau gendong itu untuk kami."

Tiong Lee Cin-jin mengerutkan alis-nya.

"Sahabat berdua, isi buntalan ini hanya beberapa potong pakaian pengganti dan kitab-kitab yang saya bawa dari India. Kalau ji-wi menghendaki, silakan mengambil pakaian dan sedikit bekal uang emas yang berada di buntalan, ke-mudian membiarkan saya melanjutkan perjalanan saya." Suaranya masih tetap lembut; dan ramah karena baginya, kehilangan pakaian dan uang emas tidak menimbulkan masalah.

"Heh, Tiong Lee Cin-jin! Jangan bicara seenaknya saja kamu! Apa kau kira kami berdua ini hanya sebangsa perampok hina?" bentak Ouw Kan marah sam-bil menudingkan tongkat ular cobranya ke arah dada Tiong Lee Cin-jin.

"Lalu apa yang kau kehendaki, saudara Ouw Kan?" tanya Tiong Lee Cin-jin.

"Tiong Lee Cin-jin, kami tidak menginginkan harta benda milikmu. Haram bagiku untuk mengambil harta orang lain. Kami hanya menghendaki agar engkau meninggalkan kitab-kitab itu kepada kami!" kata Ali Ahmed sambil menunjukkan telunjuknya ke arah buntalan yang berada di punggung Tiong Lee Cin-jin.

"Aneh sekali permintaanmu itu, Saudara Ali Ahmed. Kitab-kitab yang kubawa dari India ini adalah kitab-kitab Agama Buddha dan Hindu sedangkari engkau adalah seorang Muslim. Apa gunanya kitab-kitab ini bagimu?" tanya Ttong i Lee Cln-jin.

"Kami tidak Ingln mempelajari agama, akan tetapi kami tahu bahwa banyak i kitab suci yang kaubawa itu mengandung pelajaran tentang ilmu silat tinggi dan itmu sihir. Bahkan ada sebuah kitab peninggalan Sang Budhi Dharma menge-nai pelajaran silat yang sakti. Aku Sangat membutuhkan kitab 'itu." kata Ouw Kan garang.

"Kitab peninggalan Tat Mo Couwsu (Boddhi Dharma) itu menurut surat wasiat guru besar itu diperuntukkan biara Siauw-lim di Gunung Sung-san. Para hwesio Siauw-lim-pai yang berhak atas kitab itu dan aku harus menyerahkannya kepada mereka. Amat tidak baik mengambil hak milik orang lain."

"Tidak perduli. Tinggalkan buntalan itu!" bentak Ouw Kan dan Ali Ahmed ! berbareng.

Tiong Lee Cin-jin tersenyum dan ,menghela napas panjang. Kemudian, perlahan-lahan dia melepaskan ujung kain buntalan yang diikatkan di depan dadanya, melepaskan gendongannya. Kemudian di-turunkan gendongan itu dan diletakkan di atas tanah, di depannya.

Melihat ini, dua orang itu berpencar, melangkah maju menghampiri dari kanan kirl. Tiba-tiba Ali Ahmed menudingkan tongkat bambunya ke arah buntalan kain kuning sambil berseru,

"Terbanglah ke Sini!"

Tiba-tiba saja buntalan kain kuning itu melayang ke atas seperti ada tangan tak tampak yang mengangkatnya. Buntalan itu melayang perlahan ke arah Ali Ahmed.

Pada saat itu, Ouw Kan juga meng angkat togkat ular cobranya dan. ber-teriak "Kembali kepadaku!" Tongkapya ditudingkan ke arah buntalan yang sedang melayang ke arah Ali Ahmed dan tlba-tiba saja buntalan itu beralih arah, kini melayang ke arah Ouw Kan.

Ali Ahmed mengeluarkan suara menggeram. Tongkat bambu di tangan kanannya tetap menuding ke arah buntalan dan kini tongkat itu bergetar keras.

"Ke sini!" bentaknya . dari buntalan kain kuning ini kembalt beralih arah, membalik ke arah kakek bersuku bangsa Hui itu.

"Ke sini!" berrtaky Ouw Kan dan tongkat ular cobranya juga tergetar hebat. Kini buntalan itu bergerak ke kanan kirl seolah-olah terbetot oleh dua kekuatandahsyat yang memperebutkannya.

Tiong Lee Cin-jin yang menonton adu kekuatan sihir ini tersenyum.

"Sungguh sayang sekali!" katanya lirih akan tetapi suaranya mengandung ke kuatan sehingga dapat terdengar jelas oleh dua orang yang sedang memperebutkan buntalan kain kuning dengan mengadu tenaga sihir itu.

"Kalian telah bersusah payah membuang waktu bertahun-tahun untuk menghimpun tenaga sakti. Ternyata hari ini tenaga sakti itu hanya ka lian pergunakan untuk menuruti nafsu Setan! Tidak sadarkah kalian bahwa begitu kalian menuruti keinginan, berarti kalian telah membiarkan diri dicengkerarn nafsu setan dan akan menjadi permainannya? Sadarlah, wahai kedua orang saudaraku, sebelum terlambat terjebak bujukan iblis yang akan menyeret kalian ke dalam dosa dan kesengsaraan!"

Mendengar ucapan Tiong Lee Cin-jin itu, kedua orang seperti melepaskan bun-talan yang mereka perebutkan sehingga buntalan itu meluncur ke bawah dan jatuh ke atas tanah di depan Tiong Lee Cin-jin yang sudah duduk bersila di atas rumput.

"Tiong Lee Cin-jin, kata-katamu menyesatkan. Aku ingin mendapatkan kitab-i^ kitab untuk menemukan cara menyempurnakan diri mencapai penerangan dan kebahagiaan sejati!" kata Ouw Kan.

"Aku juga ingin mendapatkan ilmu agar kelak aku dapat masuk sorga!" kata Ali Ahmed.

"Aih, saudara-saudaraku yang baik!

Insaflah akan kesesatan kalian. Sadarilah bahwa semua pelajaran dalam agama apapun juga pada dasarnya sama, yaitu membiarkan jiwa yang rindu kepada sumbernya seperti air rindu kepada samudera, melalui pikiran, ucapan dan perbuatan yang baik dan benar, yang sifatnya membangun tidak meruntuhkan, menjaga tidak merusak, membahagiakan dan tidak menyengsarakan sesama hidup. Kita mempersiapkan diri setiap saat untuk menjadi alat yang membantu pekerjaan Kuasa Yang Maha Mulia pencipta alam semesta dan semua isinya. Bagaimana kita dapat melaksanakan semua ini? Melalui hati akal pikiran? Tidak niungkin. Hati akal pikiran telah dijadikan sarang nafsu setan yang selalu ingih mendapatkan sesuatu. Apakah itu harta, atau nama besar, atau juga yang diinginkannya itu yang dinamakan kesempurnaan, sorga dan sebagainya lagi, semua itu sama saja. Yang diinginkan hati akal pikiran itu adalah yang diinginkan nafsu setan, yaitu kesenangan! Baik itu dinamakan kesempurnaan atau kebahagiaan atau sorga, kalau sudah diinginkan, dicari, maka se-mua itu tiada lain hanyalah kesenangan. Kita membayangkan kesenangan dalam s6rga atau kesempurnaan itu. Kesenangan itul.ah yang menarik kita untuk mengejar dan memperolehnya dan ini merupakan keinginan nafsu daya rendah. Menuruti keinginan nafsu daya rendah ini menyeret kita ke dalam kesesatan karena demi mencapai apa yang kita inginkan kita akan melakukan apapun juga tanpa mempertimbangkan apakah cara yang kita pakai itu baik atau sesat."

"Heh-heh, Tiong Lee Cin-jin, penda-patmu itu bahkan menyesatkan! Kalau kita tidak mempergunakan hati akal pikiran, mengisinya dengan pengertian, ba-gaimana mungkln kita dapat membedakan antara yang benar dan yang salah? Tanpa pengetahuan tentang yang baik dan yang buruk, bagaimana kita akan mam-pu melawan daya pengaruh nafsu?" kata Ouw Kan.

"Hati akal pikiran memang merupakan anugerah khusus bagi manUsia karena tan. pa itu klta akan hidup tiada bedanya dengan hewan. Hati akal pikiran memang perlu dipergunakan untuk menimba ilmu pengetahuan lewat pengalaman dan pelajaran karena kehidupan manusia di dunia ini secara lahlriah membutuhkan ilmu pengetahuan. Akan tetapi kalau ilmu pe-ngetahuan atau kalau hati akal pikiran kita pergunakan untuk melawan daya pe-ngaruh nafsu, kita akan kecelik! Coba kumpulkan seluruh maling di dunia ini , dan tanya, apakah ada seorang saja di antara mereka yang tidak tahu atau tidak mengerti bahwa perbuatan mencuri itu adalah perbuatan jahat dan tidak baik? Semua, tidak terkecuali, tentu mengertl melalui hati akal plkirannya. Akan tetapi, pengetahuan dan pengertian melalui hati akal pikiran itu tidak dapat menghentikan perbuatan mencuri itu! Sebaliknya malah. Hati akal pikiran yang sudah menjadi sarang bagi nafsu daya rendah itu bahkan menjadi pem-bela perbuatan mencuri itu dengan membisikkan berbagai alasan. Aku terpaksa melakukan ini, demi keluargaku, orang lain juga melakukan malah lebih besar daripada aku. Demikian hati akal pikir-an membisiki sehingga semua maling ti-dak merasa menyesal, tidak bertobat malah semakin menjadi-jadi."

"Hemm, agaknya engkau sama sekali tidak memberi jalan kepada orang yang berbuat dosa untuk bertaubat. Kalau begitu, apakah yang harus dilakukan nianusia untuk tidak melakukan kesesatan?" Ouw Kan mengejar.

"Apapun yang diusahakan untuk mengu bah, semua usaha itu masih dalam lingkungan hati akal pikiran, masih dalam lingkaran kekuasaan nafsu daya rendah yang selalu menginginkan sesuatu yang lebih baik! Pamrih-pamrih ini yang menje bak kita sehingga terjadi lingkaran setan. Ingin lebih baik, iogin lebih menyenangkan, ingin ini ingin itu yang akhirnya menyeret kita ke dalam kesesatan-kesesatan baru yang lain lagi. Tidak ada usaha hati akal pikiran yang akan berhasil.

Hanya ada satu saja kekuatan yang akan mampu menundukkan nafsu daya rendah. Kekuatan itu bukan lain adalah Kekuasa-an Yang Maha Kasih. Dengan kekuasaan inilah kita akan dapat menalukkan natsu setan yang bagaimana licik dan jahat-pun! Kekuasaan ini akan memberi kekuatan kepada kita, akan menuntun kita. Kekuatan ini muncul kalau kita menyerah kepada Yang Maha Kuasa secara mutlak. Kalau hati sanubari kita kosong dan terbuka, Kekuasaan Mutlak itu akan masuk, membangkitkan jiwa kita, memberinya kekuatan dan nafsu-nafsu daya rendah akan kembali menduduki tugasnya semula, yaitu menjadi pelayan kita, menjadi hamba kita, bukan menjadi majikan kita."

"Semua uraianmu itu terdengar muluk-muluk dan indah. Akan tetapi aku merasa tidak setuju ketika engkau menyebutkan bahwa mencari sorga sama dengan mencari harta. Semua orang, dari agama apa-pun juga, merindukan sorga. Kenapa eng-kau berani merendahkan sorga sedemikian rupa sehingga kausamakan dengan harta benda?" Ali Ahmed bertanya sambil rnengerutkan alisnya yang tebal.

"Saudaraku yang baik. Sorga atau har-ta benda memang tidak ada bedanya ka-lau keduanya itu dibayangkan sebagai se suatu yang akan mendatangkan kesenang-an lalu dikejar-kejar. Yang mengingin-kan kesenangan dan mengejar-ngejarnya adalah nafsu daya rendah. Memang sifat nafsu itu demikian, mencari kesenangan. Coba kita bertanya kepada diri sendiri. Andaikata sorga itu dibayangkan sebagai sesuatu tempat yang tidak enak, tidak menyenangkan, bahkan menyakitkan, apakah kita masih akan mengejarnya? Kurasa tidak akan ada seorangpun manusia mengejarnya! Kalau kita membayangkan kesenangan, apapun bentuknya, jelas bah-wa itu ulah, nafsu duniawi dan kedagingan, karena segala macam bentuk kesenangan adalah bentuk keenakan yang dapat dirasakan 'jasmani selagi berada di dunia. Dan selama ada kesenangan, disitu pasti ada pula kesusahan, saudara kembarnya yang tak terpisahkan."

"Wah, Tiong Lee Cin-jin ini serigaja banyak bicara untuk mengalihkan perhatian kita dari buntalan kitab-kitab itu, Ali Ajimed. Jangan dengarkan dia lagi!" kata Ouw Kan dengan marah dan dia su dah bersiap dengan tongkat ular cobranya.

Ali Ahmed juga melompat ke bela-kang dan mengerutkan alisnya.

"Benar, dia bahkan ingin mempengaruhi, kita de ngan ajaran-ajaran sesat! Tiong Lee Cin-jin kauserahkan atau tidak kitab-kitab itu? Ataukah kami harus menggunakan kekerasan?" Orang bersuku bangsa Hui itu mengancam dengan tongkat bambunya, yang diacungkan ke atas.

Tiong Lee Cin-jin yang masih duduk bersila itu tersenyum dan melambaikan tangan kanannya ke arah buntalan yang terletak di atas tanah di depannya.

"Sudah sejak tadi kulepaskan dari gendongan. Di antara kalian berdua, entah siapa yang berjodoh memiliki kitab-kitab itu."

"Aku yang berjodoh!" tiba-tiba Ouw Kan berseru dan dia menggerakkan tangan kanan yang memegang tongkat ular cobra. Dengan tongkatnya itu dia hen dak mengambil buntalan kitab. Akan te tapi tongkat bambu di tangan Ali Ah-med juga meluncur dan menangkis tong kat ular cobra.

"Tidak, . aku yang berjodoh!" Orang Hui itu berseru.

"Trakkk!" Tongkat mereka bertemu dan sungguh hebat sekali. Tongkat ular cobra kering dan tongkat bambu itu keti-ka saling bertemu, terdengar suara nyaring dan tampak bunga api berpijar seo-lah-olah yang bertemu itu adalah benda yang terbuat daripada baja murni. Dari kenyataan ini saja sudah dapat diketahui bahwa dua orang Itu adalah orang-orang yang memilikl kesaktian. Ouw Kan me nyerang dengan gerakan silat yang aneh bagi Tiong Lee Cin-jin. Gerakan Ouw Kan yang bertubuh sedang dan tegap ini meliuk-liuk seperti gerakan seekor ular, cocok sekali dengan senjatanya, yaitu sebatang tongkat ular cobra kering. Hebatnya, gerakannya yang cepat dengan serangan yang tidak terduga-duga datangnya itu diseling dengan suara mendesis-desis yang keluar dari mulutnya yang diruncingkan, presis seekor ular yang menyemburkan uap beracun. Namun, lawannya, Ali Ahmed ternyata juga memiliki gerakan silat yang hebat. Gerakan ke-dua kakinya jelas dipengaruhi oleh ilmu Siauw-lim-pai Utara. Tongkat bambunya menyambar-nyambar, diseling kedua kakinya silih berganti yang tidak kalah bahayanya bagi lawan dibanding tongkainya. Mereka bergerak cepat dan tangkas, tong kat ular cobra dan tongkat bambu itu lenyap bentuknya berybah menjadi gulungan sinar hitam dan hijau. Hanya kadang-kadang kedua sinar Itu bertemu dan meledaklah bunga api berpljar menyilaukan mata.'

Tlong Lee Cin-Jin masih tetap duduk bersila. Buntalan kain kuningnya yaog kini diperebutkan orang itu masih terletak di atas tanah, di depannya, Sejak tadi Tiong Lee Cin-jfn menonton pertandingan itu dan diam-diam dia harus mengakui bahwa tingkat kepandaian silat dya orang itu sudah tinggi. Pantasnya iriereka itu datuk-datuk persilatan di darah mereka sendiri. Dia tidak merasa heran bahwa ada orang-orang dunia per silatan mengetahui bahwa dia pulang ke Cina membawa kitab-kitab pusaka. Orang orang dunia persilatan itu selalu haus akan pusaka-pusaka yang sekiranya da-pat membuat mereka menjadi semakin llhai, seperti senjata-senjata ampuh atau kitab-kitab pelajaran ilmu yang tinggi.

Perkelahian antara Ouw Kan dan Ali Ahmed itu menjadi semakin seru. Kini keduanya tidak hanya mengandalkan ilmu silat untuk saling serang, akan tetapi juga mempergunakan ilmu sihir. Ketika Ouw Kan mengeluarkan teriakan aneh, dari mulut ular cobra kering yang menja-di tongkatnya itu menyambar uap hitam yang berbau amis ke arah lawan! AU Ahmed tidak ingnjadi gugup. Tangan kirinya terbuka mendorong ke depan dan keluarlah uap putih dari telapak tangannya yang menyambut uap hitam. Keduanya terdorong ke belakang dan terhuyung. Akan tetapi mereka sudah dapat mengatur keseimbangan tubuh mereka kembali dan sudah siap untuk saling gempur, melanjutkan pertandingan tadi. Akan tetapi tiba-tiba keduanya tersentak kaget ketika mendengar suara tawa bergelak yang datangnya seolah dari atas kepala mereka. Suara tawa bergelak itu datang berge lombang, makin lama makin kuat mengan dung daya serangan yang amat kuat menerobos telinga mereka dan menjalar ke arah jantung! Dua orang kakek itu kini berdiri, bersedakap, memejamkan kedua mata mereka dan mengerahkan seluruh tenaga sakti mereka untuk melindungi diri mereka dari serangan suara tawa yang amat kuat itu. Suara tawa seperti itu yang mengandung tenaga khi-kang yang amat kuat, dapat merusak jantung atau setidaknya akan dapat mengacau jaringan syaraf di otak sehingga dapat membuat orang menjadi gila!
Tlong Lee Cin-jin juga merasakan kehebatan pengaruh suara tawa itu. Na-mun dengan wajah tetap sabar dan te-nang, dengan bibir masih tersungging se nyuman lembut, dia memejamkan kedua matanya dan tenggelam ke dalam alam semesta. Suara tawa itu sama sekali tidak mengganggunya karena dia seolah telah bersatu dengan suara itu, hanyut bersama suara itu, sedikitpun tidak menentang sehingga suara itu sama sekali tidak mengganggu bahkan dia dapat mera sakan keindahan dalam suara tawa yang bergelak-gelak dan bergema itu. Inilah keadaan yang dinamakan "melebur dan membaur dengan segala" sehingga tidak terjadi pertentangan, seperti sebatang pohon liu (cemara) yang tidak menentang datangnya badai sehingga meliuk-liuk menurutkan dorongan angin dan sama sekali tidak patah dahannya, tidak rontok daunnya, dan tetap utuh sampai badai berlalu. Tidak seperti pohon siong yang kokoh menyambut badai dengan mengandalkan kekuatannya dan akhirnya tumbang dan roboh oleh hantaman badai yang jauh lebih kuat daripada dirinya!

Tak lama kemudian, muncullah seorang kakek lain. Kemunculannya aneh. Mula-mula tampak asap putih bergulung-gulung, kemudian ketika asap membubung dan menghilang, tampak kakek itu. Dia seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun. Jubahnya seperti jubah seorang hwesio, dari kain kuning ber-kotak-kotak merah. Kepalanya memakai sebuah peci kuning pula, menutupi kepala nya yang gundul. Tubuhnya tinggi besar, perutnya gendut dan kancing jubahnya bagian dada terbuka sehingga tampak dadanya yang gempal dan bidang dan di atas ulu hatinya tumbuh rambut hitam keriting. Kepala gundul yang tertutup peci kuning itu besar dan bulat. Mukanya bundar dan segala anggauta tubuh pendeta ini serba bundar. Sepasang matanya lebar dan bulat, hidungnya juga besar, demikiap pula mulutnya, lebar dan selalu menyeringai. Kedua daun telinganya panjang dah lebar. Melihat pakaian kuning berkotak-kotak merah dan tongkat panjang berkepala naga itu, Tiong Lee Cin-jin tahu bahwa pendeta itu adalah seorang pendeta Lama dari Tibet.

Setelah memperlihatkan diri, pendeta itu berdiri tegak, tangan kirinya meme-gang tongkat kepala naga yang tingginya sama dengan tinggi tubuhnya, dan dia masih tertawa bergelak, akan tetapi tawanya wajar, tidak lagi mengandung khi-kang yang memiliki daya serang dahsyat seperti tadi.

"Hua-ha-ha-ha, kiranya ada dua ekor anjing dari Sin-kiang dan Mongol yang saling berebutan tulang di sini! Kalian ini orang Uigur dan Hui, bukan?"

"Setan jahanam!" Ali Ahmed memaki marah karena dikatakan anjing oleh pendeta itu.

"Aku memang benar datang dari Mongolia Dalam, namaku Ali Ahmed. Siapakah engkau, manusia sombong?"

"Dan aku adalah Ouw Kan dari Sin-kiang. Engkau ini, pendeta Lama harap jangan mencampuri urusan kami," bentak Ouw Kan.

"Ha-ha-ha, aku Jit Kong Lama nie'-mang suka mencampuri urusan orang lain kalau urusan itu menyangkut diriku. Ketahuilah kalian, kitab-kitab dari Barat itu hanya aku yang berhak memiliki dan tidak boleh diambil siapapun juga. Kali-an berdua lebih baik segera mengelinding pergi dari sini sebeluni kepala kalian yang meiiggelinding terpisah dari tubuh kalian!" kata pendeta yang bernama Jit Kong Lama itu. Namanya sungguh besar karena Jit Kong berarti Sinar Matahari.

Ouw Kan dan An Ahmed yang tadi saling serang itu marah sekali. Mereka untuk sementara melupakan permusuhun di antara mereka dan bagaikan mondapat komando, keduanya membanting tongkat mereka ke alas tanah. Terdengar dua kali ledakan, asap mengepul, tongkat lenyap dan berubah menjadi dua ekor bina tang yang menyeramkan. tongkat ular cobra milik Ouw Kan kini telah menjadi seekor ular cobra yang besar dan panjang, yang mengangkat kepala dan lehernya ke atas sehingga tegak, moncongnya agak terbuka, rnendesis-desis dan ada uap hitam tersembur keluar dari moncongnya, lidahnya keluar masuk adan sepasang matanya seperti berapi. Ular cobra ini bergerak maju hendak menyerang Jit Kong Lama. Adapun tongkat bambu milik Ali Ahmed berubah menjadi seekor kelabang yang juga besarnya hampir sa ma ular cobra itu, kulitnya berwarna merah darah, kakinya yang amat banyak itu bergerak-gerak, sungutnya meraba-raba dan moncongnya juga siap untuk mehggigit. Banyak kaki yang bergerak-gerak itu membawa tubuh yang besar itu maju dengan cepat ke arah Jit Kong Lama.

Melihat dua orang lawannya menyihir tongkat mereka menjadi ular dan kelabang yang akan menyerangnya, Jit Kong Lama roenyeringat dan memandang rendah.

"Ha-ha-ha, permainan kanak-kanak seperti itu kalian pamerkan kepadaku?" katanya dan sekali dla melempar tongkat kepala naga itu ke atas, tampak asap mengepul dan tongkat Itu sudah ber ubah menjadi seekor burung rajawali besar. Burung itu dengan ganas dan buas nya sudah menyambar ke bawah dan menyerang ular cobra dan kelabang itu dengan patuk dan cakarnya. Ular cobra dan kelabang itu melawan mati-matian. Akan tetapi segera mereka menjadi kewalahan karena burung rajawali itu menyambar nyambar dari udara sehingga sukar bagi mereka untuk menyerangnya, sebaliknya burung itu dapat menyerang kedua lawan-nya dengan leluasa dari atas.

Tiong Lee Cin-jin tahu siapa Kong Lama itu. Ketika meninggalkan dia dan kembali ke Cina, dia singgah di Tibet dan mengadakan pertemuan dengan para pendeta Lama, bahkan selama satu jam dia diberi kesempatan untuk mengha-dap Dalai Lama. Dari para tokoh pende ta Lairia di Tibet, dia mendengar bahwa ada beberapa orang pendeta Lama di Ti-bet yang melakukan penyelewengan. Mengumpulkan harta benda dari rakyat untuk kepentingan dlri sendiri dan melakukan pelanggaran pantangan berdekatan dengan wanlta. Jit Kong Lama merupakan seorang di antara para pendeta La-ma yang melakukan penyelewengan itu bahkan dia merupakan seorang tokoh besarnya, Melihat adu kekuatan sihir antara pendeta Lama Itu melawan datuk darl suku bangsa Uigur dan Hul, tahulah dia bahwa Jit Kong Lama jauh lebih kuat daripada dua orang lawannya.

Dugaannya memang benar. Ketika Ouw Kan dan Ali Ahmed melihat ular dan kelabang jadi-jadian milik mereka itu kewalahan menghadapi serangan gen-car burung rajawali, keduanya lalu meng-angkat tangan kanan ke atas dan mengerahkan tenaga sihir mereka. Ular dan kelabang itu tiba-tiba terbang ke bela-kang dan setelah tiba di tangan mereka, berubah kembali menjadi tongkat ular cobra dan tongkat bambu yang sudah lecet-lecet.
Sambil tertawa Jit Kong Lama ju-ga memanggil burung rajawali jadi-jadian itu. Burung itu terbang ke tangannya dan berubah pula menjadi tongkat pan-jang berkepala naga.
"Kalian masih juga belum minggat darl sini?" tegurnya dengan nada meman-dang rendah kepada dua orang lawannya itu'
Akan tetapi Ouw Kan dan Ali Ahmed adalah dua orang yang di daerah tempat tinggalnya terkenal sebagai datuk-datuk yang sukar dicari tandingannya. Maka tentu saja mereka tidak mudah nie nyerah kalah. Biarpun tadi dalam adu kekuatan sihir mereka harus mengakui keunggulan Lama dari Tibet itu, namun mereka masih beluin mau mundur. Setelah saling bertukar pandang, seperti menyatukan keinginan untuk menandingi pendeta Lama yang hendak menghalangi mereka mengambil kitab-kitab pusaka, dua orang itu serentak bergerak maju, cepat sekali mereka menerjang dan menyerang Jit Kong Lama. Serangan mereka ini bukan sekedar serangan dengan mempergu-nakan ilmusilat, namun serangan yang diperkuat dengan ilmu sihir. Tubuh mere ka lenyap dan hanya tongkat ular cobra dan tongkat bambu itu saja yang tampak menyerang dan seperti terbang ke arah tubuh Jit Kong Lama!

Namu pendeta dari Tibet itu tidak menjadi gentar. Dia sendiri adalah seo-rang ahl! silat dan ahli sihir yang sudah mencapai tingkat tinggi, maka diapun mengeluarkan suara membaca mantram dan tiba-tiba tubuhnya juga lenyap dan yang tampak hanya tongkat panjang berkepala naga itu yang bergerak cepat me-nyambut serangan dua batang tongkat yang mengeroyoknya itu.

Kalau saja di situ terdapat orang biasa yang menyaksikan pertandingan itu, tentu akan bengong terlongong saking herannya melihat ada dua batang tongkat pendek "berkelahi" mengeroyok seba-tang tongkat panjang! Namun, Tiong Lee Cin-jin adalah seorang yang telah mendapatkan gemblengan bermacam ilmu selama dua puluh lima tahun merantau ke daerah barat, yaitu ke daerah Bhutan, India, Nepal, Tibet dan bertahun-tahun merantau ke daerah Himalaya dan berte-mu dengan banyak pertapa-pertapa sakti, mempelajari banyak macam ilmu. Oleh karena itu, biarpun tiga orang itu mempergunakan ilmu sihir dan menghi-lang, dia masih dapat melihat mereka ketika mereka bertanding mempergunakan tongkat mereka. Dia melihat dengan jelas pertandingan itu. Ouw Kan dan Ali Ahmed memainkan tongkat, pendek mereka seperti seorang bermain pedang, sedangkan Jit Kong Lama memainkan tongkatnya yang panjang seperti orang bermain silai tongkat dengan kedua ta-ngan. Pertandingan itii seru dan dahsyat sekali. Ternyata ketiganya merupakan ahli-ahli silat tingkat i tinggi. Terutama sekali Jit Kong Lama. Ilmu silatnya dahsyat sekali. Ketika dengan kedua tangan dia memainkan tongkat kepala naganya, tiada ubahnya dia bagaikan seekor naga yang melayang-layang dan setiap gerakan tongkatnya mendatangkan angin yang menyambar kuat!

Dua orang yang mengeroyok itupun memiliki ilmu silat yang tinggi. Gerakan mereka lincah dan tangkas, serangan mereka cepat dan mengandung tenaga sin-kang yang kuat. Namun, setiap kali tongkat ular cobra atau tongkat bambu bertemu tongkat panjang berkepala naga, dua tongkat yang lebih pendek itu terpental kuat.

Tiong Lee Cin-jin mengikuti jalannya pertandingan dengan penuh perhatian.

Lambat laun, kedua orang pengeroyok itu mulai terdesak hebat. Kini tiga tongkat itupun sudah lenyap bentuknya. Yang tampak hanya dua gulungan sinar pendek mengeroyok segulung sinar panjang. Namun tentu saja pandang mata Tiong Lee Cin-jin yang tajam terlatih itu dapat mengikuti jalannya pertandingan dengan baik. Suatu saat dia melihat tongkat ular cobra menyambar dengan tusukan atau totokan ke arah leher Jit Kong Lama. Tusukan itu berbahaya sekali kare-na ujung tongkat yang menyerupai mu lut ular cobra yang terpentang itu mengandung racun ular cobra yang amat ampuh. Tergores sedikit saja, racun akan memasuki tubuh lewat luka goresan dan kalau racun sudah mencapai jantung, matilah orang itu! Pada detik-detik berikut nya, tongkat bambu di tangan Ali Ahmed juga sudah menyambar dan melakukan totokan ke arah jalan darah di lambung Jit Kong Lama! Inipun merupakan serangan maut, karena kalau jalan darah itu sampai terkena totokan tongkat yang dialiri sinkang (tenaga sakti) itu maka pendeta Lama itu tentu akan roboh dan tewas seketika.

Tiong Lee Cin-jin maklum betapa pendeta Lama itu berada dalam ancaman maut. Akan tetapi pendeta gendut itu masih menyeringai. Tiba-tiba, secara tidak terduga dan cepat sekali, tangan kirinya menangkap ujung tongkat ular cobra dan kaki kirinya mencuat dalam teii dangan kilat ke arah lengan tangan kanan Ouw Kan yang memegang tongkat. Begitu cepatnya tendangan itu sehingga terpaksa Ouw Kan menarik tangarinya dan pada saat itu Jit Kong Lama mengerahkan tenaga membetot tongkat ular cobra sehingga terlepas dari pegangan Ouw Kan. Pada saat itu, tongkat bambu datang meluncur ke arah lambung. jit Kong Lama tidak sempat menangkis atau mengelak. Akan tetapi dia sedikit memutar tubuhnya sehingga tongkat yang tadlnya meluncur dan menyerang lambung, kini menusuk ke arah perut yang gendut itu!

"Cappp.....!" Tongkat bambu itu me-nancap di perut Jit Kong Lama yang gendut. Ali Ahmed sudati rnengeluarkan seruan gembira karena mengira tongkatnya telah memasuki perut lawan. Akan tetapi Tiong Lee Cin-jin berpendapat lain.

Jit Kong Lama menyeringai lebar, tangan kirinya melontarkan tongkat ular cobra ke arah Ouw Kan. Tongkat meluncur seperti anak panah menyambar, ke arah dada pemiliknya. Ouw Kan terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi tetap saja ujung tongkat menyerempet pundaknya.

"Aduh.....!" Ouw Kan terhuyung. Pada saat itu, Jit Kong Lama berseru nyaring,

"Pergilah!" Tiba-tiba perutnya bergerak mengembung dan tongkat bambu yang masih dipegang oleh Ali Ahmed Itu sepertl dldorong keras. Tubuh orang suku Hui itu Ikut terdorong sehingga ia roboh terjengkang. Cepat dia bangkit dan mukanya menjadi pucat, di ujung bibirnya tampak darah sehingga mudah diketahul bahwa Ali Ahmed telah menderita luka dalam. Sementara itu, Ouw Kan cepat menelan pil obat penawar racun tongkat ular cobranya sendiri yang telah melukai pundak dan meracuninya. Dua orang itu kini maklum mereka tidak mungkin akan mampu menandingi Jit Kong Lama, maka keduanya tanpa berunding lagi sudah berloncatan jauh meninggalkan lereng itu!

"Hua-ha-ha-ha-ha! Cacing-cacing tanah seperti itu berani menjual lagak hendak memiliki kitab-kitab pusaka yang suci ! Jit Kong Lama tertawa dan setelah berkata demikian, dia memutar tubuhnya dan menghampiri Tiong Lee Cin-Jin. Setelah mengamati pria yang masih duduk bersila itu sesaat lamanya, kemudi-an dia memandang ke arah buntalan kain kuning di depan orang itu, Jit Kong Lama bertanya,

"Engkaukah yang bernama Tiong Lee Cin-jin dan yang telah berhasil mengumpulkan banyak kitab pusaka penting untuk kaubawa ke Tiong-Goan (Cina)?"

Tiong Lee Cin-jin perlahan-lahan bangkit berdiri. mengebutkan kain yang membalut tubuhnya bagian bawah yang kotor terkena debu, kemudian mengangkat kedua tangan kedepan dada menyembah sebagai salam.

"Selamat berjumpa, Jit Kong tLama, semoga Yang Maha Kasih memberkatimu!"

"Hua-ha-ha! Tentu saja Yang Maha Kasih selalu memberkati aku. Buktinya baru saja aku dapat mengalahkan dap mengusir dua orang jahat itu!"

"Bukan, sayang sekali bukan kekuasaan Yang Maha Kasih yang tadi menibantumu mengalahkan Ouw Kan dan Ali Ahmed, Jit Kong Lama. Yang membantumu adalah ilmu-ilmumu sendiri yang, didorong oleh nafsu setan yang menguasai dirimu," kata Tiong Lee Cin-jin dengani sikap tenang dan suaranya terdengar lem-butpenuh kesabaran.

Sepasang mata yang besar bulat itu mencorong, alis yang tebal itu berkerut, lubang hidung yang lebar itu kembang kempis.

"Apa kaubilang? Apa maksudmu mengatakan bahwa kemenanganku tadi didorong nafsu setan? Jangan seenaknya engkau bicara, Tiong Lee Cin-jin!"

"Tindakan dua orang tadi yang hendak menggunakan kekerasan untuk merampas kitab-kitabku jelas terdorbng nafsu setan, ingin memiliki barang yang sama sekali bukan hak mereka. Lalu engkau muncul dan engkau menentang mereka, bertanding dan mengalahkan mereka. Bukankah perbuatanmu itupun terdorong nafsu yang sama, ingin memiliki kitab-kitab-ku seperti yang kaukatakan kepada mereka tadi?"

Jit Kong Lama tertawa bergelak se-hingga perutnya yang gendut itu bergo-yang-goyang.

"Hua-ha-ha-ha! Engkau keliru, Tiong Lee Cin-jin. Aku memang menginginkan beberapa buah kitab, akan tetapi bukan dengan cara merampok atau merampas, melainkan sebagai imbalan. Aku telah menyelamatkan engkau dari perampokan yang dilakukan dua orang tadi, maka tentu saja aku berhak mem-peroleh imbalan darimu. Aku tidak minta imbalan apa-apa kecuali beberapa buah kitab yang akan kupilih di antara ki-tab-kitabmu, Tiong Lee Cin-jin. Ha-ha-ha-ha!'

"Menolong dengan pamrih memperoleh imbalan itu bukan pertolongan namanya, melainkan pemerasan," kata Tiong Lee Cin-jin lembut, seperti memberl nasihat kepada muridnya.

"Ha-ha-he! Sebaliknya ditolong akan tetapi tidak mau memberi keuntungan kepada si penolong, itu namanya tidak mengenal budi! Sudahlah, aku akan me-nulih sendiri kitab-kitab mana yang akan kuambil sebagai imbalan pertolonganku tadi, Tiong Lee Cin-jin."
Tiong Lee Cin-jin melangkah maju dan dengan tangan kanannya dia mengusap buntalan kain kuning berisi kitab-kitabnya.

"Semua kitabku berada di dalam buntalan ini, Jit Kong Lama," katanya.

"Akan kupilih, yang mana kusukai akan kuambil!" kata -Jit Kong Lama. Dia menancapkan tongkat kepala naganya di atas tanah lalu berjongkok untuk mern buka empat ujung kain kuning yang disimpulkan di atas tumpukan kitab itu. Akan tetapi terjadi keanehan. Jari-jari kedua tangannya yang kuat sekali itu tidak mampu membuka ikatan keempat ujung kain kuning yang disimpulkan secara sederhana itu! Betapapun dia rnengerahkan tenaga mencobanya, tetap saja jari-jari tangannya tidak mampu membukanya, seolah-olah semua jari tangannya kehilangan tenaganya dan menjadi kaku atau lumpuli! Jit Kong Lama menjadi heran lalu penasaran dan marah sekali. Dia mengerJlikan sin-kang (tenaga sakti) sekuatnya, namun tetap saja jari-jarinya seperti mogok, tidak dapat membuka simpul Kemudian dia mengerahkan ke-kuatan sihirnya. Sama saja. Jari-jari kedua tangannya seolah-olah memang tidak mau membuka simpul itu.

"Keparat!" Dia melompat bangun, ber-diri menghadapi Tiong Lee Cin-jin.

"Eng-kau mempergunakan ilmu siluman mencegah aku membuka buntalan kain ini!" bentaknya marah, matanya melotot dan mukanya berubah merah.

"Jit Kong Lama, aku sama sekali tidak mempergunakan .ilmu apa-apa. Aku hanya menyesuaikan diri, menerima keadaan dengan penyerahan kepada Yang Maha Kuasa. Kalau Yang Maha Kuasa tidak menghendaki engkau membuka buntalan itu, biar engkau mempergunakan kekuatan apapun yang ada di dunla engkau tidak akan mampu membukanya," kata Tiong Lee Cin-jin dengan tenang dan penuh kesabaran.

"Tiong Lee Cin-Jin, engkau menantang aku, Jit Kong Lama? Apakah aku harus mempergunakan kekerasan terhadapmu untuk memiliki kitab-kitab ini".

"Tidak ada yang menantangmu selain nafsumu sendiri, Jit Kong Lama. Orang hanya memetik hasil yang ditanamnya. Menanam kekerasan akan memetik sendirl akibatnya."

"Sombong! Lihat naga hitamku menerkammu!" Setelah membentak demikian Jit Kong Lama melontarkan tongkat kepala naga itu ke atas. Terdengar bunyi ledakan. Tongkat itu berubah menjadi asap hltam dan dari asap hitam itu mun-cul seekor naga yang menyeramkan. Ma-tanya berkilat, moncongnya terbnka me nyemburkan api, kedua lubang hidungnya mendengus mengeluarkan asap, cakar kedua kaki depannya siap inenerkam dan naga itu meluncur turun menerjang Tiong Lee Cin-jin dengan buas itu serta masih ditambah suara gemuruh yang keluar dari mulut naga itu sehingga dapat menggetarkan dan menakutkan hati orang yang paling tabah sekalipun.

Namun Tiong Lee Cin-jin adalah seorang yang sudah mencapai tingkat kejiwaan yang amat tinggi. Dalam keadaan bagaimanapun dia sudah menyerah total kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Penyerahan sedemikian mutlak sehingga meniadakan akunya, mengesampingkan nafsu-nafsunya dan yang bekerja pada dirinya pada saat itu bukan lagi hati akal pikirannya melainkan sepenuhnya diisi oleh Kekuasaan Tuhan yang mengalir masuk ke dalam jiwa raganya. Kalau sudah demikian, maka bukan lagi dia se bagai manusia dengan hati akal pikiran-nya, melainkan Roh Kekuasaan Tuhan yang bekerja menanggulangi apa saja yang datang menimpa dirinya.

Tiong Lee Cin-jin yang diserang oleh naga hitam jadi-jadian itu membungkuk, tangan kanannya mengambil segenggam tanah lalu melontarkan tanah itu kepada naga hitam yang hendak menerkamnya, mulutnya berkota lembut namun penuh wibawa yang menggetarkan,

"Berasal dari tanah keinbali kepada tanah!"

Segenggarn tanah itu meluncur tepat mengenai kepala naga yang sedang menerkam itu.

"Blarrrr......!" Terdengar ledakan disusul asap hitam bergulung-gulung. Naga', itu terjatuh ke atas tanah dan begitu tiba di atas tanah naga hitam itu telah berubah kembali menjadi' tongkat berkepala naga milik Jit Kong Lama.

Pendeta Lama itu terkejut dan marah bukan main. Diarnbilnya tongkatnya dan ditancapkan tongkatnya itu ke atas tanah lalu dia membentak,

"Tiong Lee Cin-jin, apa engkau menghendaki ? aku membunuh mu dengan tanganku ini? Lihat, apakah kepalamu lebih kuat daripada batu ini?" Dia menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Uap putih mengepul dari kedua tangannya yang kini, menjadi keme-rahan seperti bara api. Dia lalu meng hampiri sebuah batu sebesar kerbau yang terletak tak jauh dari situ. Dia mengangkat kedua tanganhya, berganti menghantam ke arah batu.

"Darr-darrr!" Batu sebesar kerbau itu hancur berkeping-keping terkena hantam-an kedua tangannya. Sungguh sebuah kekuatan yang amat dahsyat!

"Nah, Tiong Lee Cin-jin! Kauserahkan baik-baik semua kitab itu kepadaku atau aku harus menghancurkan dulu kepalamu dengan tanganku?" bentaknya sambil mengharnpiri Tiong Lee Cin-jin.

"Aku tidak menghalangi engkau mengambil kitab, namun kuperingatkan bahwa kitab-kitab ini bukan hak milikmu dan kalau engkau hendak nekad mengambilnya, hal itu sama saja dengan perampasan dan tentu saja hal itu amat tidak baik dan tidak patut dilakukan seorang pendeta sepertimu, Jit Kong Lama. Sepuluh ribu ayat kitab suci engkau hafalkan, namun satu saja tidak kaulaksanakan, apakah artinya semua jerih payahmu itu?"



"Manusia sombong, engkau patut dihajar!" bentak Jit Kong Lama dan dia lalu mengayun tangan kanannya, yang merah seperti bara api, menampar ke arah muka Tiong Lee Cin-jin. Dapat dibayangkan betapa kepala itu akan hancur lebur dihantam tangan yang telah membuat batu besar pecah berkeping-keping ketika dipukul tadi! Namun, Tiong Lee Cin-jin sedikitpun tidak membuat gerakan mengelak atau menangkis, melainkan diam saja, hanya matanya meman-dang dengan sinar lernbut tajam kepada penyerangnya.

"Wuuuutttt.....!" Terjadi keanehan yang luar biasa. Tangan itu menyambar ke arah pelipis kiri kepala Tiong Lee Cin-jin. Rambut kepala Tiong Lee Cin-jin sudah berkibar tertiup angin pukulan dahsyat itu. Akan tetapi ketika tangan itu sudah mendekati kepala, tinggal sejengkal lagi, tiba-tiba saja tangan itu luncurannya menyimpang dan membelok tidak mengenai sasarannya! Jit Kong Lama terkejut dan heran. Dia merasa seolah tangannya itu tertolak atau tertangkis oleh 'hawa yang lunak namun berat dan kuat bukan main, merasa seolah tangannya digerakkan dalam air. Dia menjadi penasaran dan tangan kiirinya menyusul, kini tangan kiri itu menyodok atau menusuk dengan jari-jari terbuka ke arah dada lawan.

"Wuuuuttt....!" Kembali yang dlserang diam saja, hanya memandang dengan senyumnya yang lembut.

Untuk kedua kalinya tangan Jit Kong Lama tidak mengenai sasaran. Tusukan tangan itupun seolah meleset karena tertepis hawa yang lunak berat dan kuat.

Jit Kong Lama melangkah mundur, matanya yang sudah besar itu dilebarkan terbelalak. Dia adalah seorang yang sudah mempelaj'ari banyak ilmu dan sudah mempunyai banyak pengalaman ber tanding melawan orang-orang sakti. Akan tetapi belum pernah dia mengalami hal seperti ini! Kalau Tiong Lee Cin-jin mem buat gerakan mengerahkan tenaga sakti untuk menangkis serangannya, bahkan kalau Tiong Lee Cin-jin, menggunakan ilmu kekebalan untuk menerima serangan-nya, hal itu tidak akan mengherankannya. Akan tetapi lawannya ini tidak membuat gerakan apapun, juga tidak melakukan sihlr, tidak membaca mantera, bahkan sama sekali tidak mengeluarkan tanda-tanda melawan serangannya. Akan tetapi, dua kali pukulannya yang dia tahu amat ampuh itu tidak dapat menyentuh tubuh lawan. Dia merasa seperti ada dinding hawa yang aneh menyelimuti tubuh Tiong Lee Cin-jin, atau seolah tangannya yang tidak mau memukul orang itu!

"Keparat! Lawanlah aku dengah ilmumu, jangan menggunakan ilmu siluman!" bentaknya marah.

Tiong Lee Cin-jin tersenyum dan menjawab dengan suara yang halus.

"Jit Kong Lama, semua ilmu menjadi ilmu siluman yang jahat kalau dipergunakan untuk berbuat sewenang-wenang, menyerang untuk menyakiti atau membunuh orang yang sama sekali tidak bersalah. Renungkanlah itu dan sadarlah. Mari kita berpisah sebagai saudara, bukan sebagal musuh."
Akan tetapi bagi Jit Kong Lama yang belum pernah dikalahkan orang, belum pernah pula mengalah terhadap orang lain, ucapan Tiong Lee Cin-jin dianggap sebagai ejekan yang merendahkan atau mengliinanya. Orang yang menganggap' diri sendiri terlalu tinggl dan terlalu penting selalu mudah tersinggung. Dia menyambar tongkat kepala naga yang tadi ditancapkan di atas tanah dan membentak.

"Kita berpisah sebagai saudara kalau engkau menyerahkan kitab-kitab itu ke-padaku! Kalau tidak, kita tetap akan berpisah sebagai musuh dan sebelum berpisah, aku akan menghancurkan dulu ke-palamu!" ucapan ini ditutup oleh sambar an tongkat kepala naga itu. Terdengar bunyi desir angin mengiuk dan ujung tongkat menyambar ke arah kepala Tiong Lee Cin-jin.

Seperti tadi Tiong Lee Cin-ji" tidak menangkis maupun mengelak melainkan diam saja, hanya memandang dengan sorot rnatanya yang lembut dan mulutnya fersenyum penuh kesabaran. Tongkat menyambar dan tampaknya sekali ini ujung tongkat akan mengenai sasaran. Akan tetapi setelah hantaman tongkat itu tiba dekat kepala, hanya beberapa senti meter lagi jaraknya, tiba-tlba tongkat itu membalik seolah bertemu dengan benda tak tampak yang amat keras dan kuat. Tongkat itu membalik dengan kekuatan yang sama dan memukul ke arah kepala Jit Kong Lama sendiri?' Jit Kong Lama terkejut dan cepat menggerakkan tongkat sehingga luput menghantam kepalanya sendiri.

"Segala sesuatu kembali ke asalnya semula. Kekerasanpun kembali kepada kekerasan. Lupakah engkau akan kenyataan itu, Jit Kong Lama?"

Jlt Kong Lama berdiri terbelalak. Mukanya berubah pucat. Kini terbukatah matanya. Yang melindungi Tiong Lee Cin-Jin Itu bukanlah semacam ilmu yang dapat dlpelaJarl manusia. Teringatlah dia akan dongeng yang pernah didengarnya tentang kesaktian Sang Budhi Dharma atau yang dikenal sebagai Tat Mo Couwsu. Menurut dongeng, Sang Budhi Dharma juga memiliki kesaktian seperti yang dthadapinya sekarang ini. Tanpa bergerak menangkis atau mengelak, Sang ,Budhi Dharma dapat terhindar dari segala macam serangan berupa kekerasan yang datang dari luar dirinya. Ada sesuatu yang melindunginya sehingga se-mua . serangan tidak dapat menyentuh dirinya. Menurut dongeng, sikap Sang Budhi Dharma itu disebut "Menyatu de-ngan Alam". Dengan tidak mengadakan perlawanan, maka dia terlindung oleh KEKUATAN GAIB yang menggerakkan seluruh alam maya pada ini. Kekuatan yang menumbuhkan segala sesuatu, ke-kuatan yang mengguncang air samudera, kekuatan yang menggerakkan awan-awan, kekuatan yang mengatur segala sesuatu yang tampak maupun yang tidak tampak. Kalau Kekuatan seperti itu melindungi seseorang, maka kekuasaan apakah yang akan mampu menyentuh orang itu?



KISAH SI NAGA LANGIT JILID 02


Teringat akan ini, Jit Kong Lama mengerutkan alisnya, memandang kepada pria setengah tua yang berdiri dengan senyum lembutnya itu dengan gentar. Kemudian, dengan tangan kanan meme-gang tongkat kepala naga, dan tangan kiri dimi'ringkan ke depan dada, dia ber-kata,

"Tiong Lee Cin-jin, biarlah sekali ini aku mengaku kalah. Akan tetapi ingat, aku adalah seorang yapg tidak dapat begitu saja menerima kekalahan. Tunggulah saatnya aku menemuimu atau muridmu untuk membalas kekalahan hari ini!" Setelah berkata demikian, tanpa menantl jawaban, tubuhnya melompat dan terdengar bunyi ledakan. Asap mengepul tebal dan ketika asap membuyar, pendeta Lama itu sudah tidak tampak lagi bayangannya!

Tlong Lee Cin-jin menghela napas panjang, mengambil buntalan kain kuning dan menggendongnya kembali dengan sikap tenang dan tidak tergesa-gesa. Kemudian dia menghela napas panjang lagl dan berkata seorang diri, lirih.

"Sayang, orang-orang yang telah menguasai banyak ilmu setinggi itu tidak mempergunakan ilmunya untuk menyebar benih kebaikan di dunia. Sungguh sayang.....!' Dia lalu melangkah menurum lereng seolah tidak pernah terjadi sesuatu. Ketika melangkah ini, kcpalanya bergoyang-goyang perlahan, matanya menerawang jauh dan dia sendiri mendengar detak jantungnya berbisik "Tuhan Tuhan Tuhan ......" tiada henti-hentinya.

**********

Anak-anak laki-laki itu berusia sekitar sepuluh tahun. Dia duduk di atas punggung seekor kerbau betina dengan santai sambil meniup sebatang suling bambu. Lagunya lagu kanak-kanak dusun yang sederhana. Namun karena ditiup di lereng pegunungan yang sunyi itu, terdengar mengalun indah. Di tempat yang sunyi hening seperti itu, suara anjing menggonggong di kejauhanpun terdengar menyenangkan hati. Bahkan suara daun di puncak pohon bergoyang-goyang me-nlmbulkan desah gemerisikpun terdengar merdu menenangkan hati.

Tubuh anak itu sedang saja, kulitnya yang tampak pada tubuh bagian atas yang telanjang itu karena dia hanya mengenakan celana hitam sebatas lutut, tampak kecoklatan terbakar terik matahari. Rambutnya dipotong pendek. Kepalanya dilindungi sebuah caping lebar sehingga mukanya teftutup bayangan caping. Wa-jah anak itu tampan dan cerah, berben-tuk bulat telur dengan dagu agak meruncing. Sepasnng alis matanya hitam tebal melindungi sepasang mata yang bersinar terang dan yang memandang dunia ini dengan berseri, sepasang mata yang putihnya jernih dan hitamnya legam. Hidung nya mancung dan mulutnya membayangkan kemauan yang kuat. Seperti kebanyakan anak dusun, anak inipun membayangkan kejujuran dan keterbukaan sehingga tampak bodoh.

Dia meniup suling dan tenggelam dalarn suara sulingnya sendiri sehingga dia seperti lupa akan keadaan dirinya, membiarkan kerbau yang ditungganginya itu berjalan sendiri. Anak kerbau di belakangnya mengikuti induk kerbau sambil terkadang berloncatan dan mencoba segala macam rumput dan daun-daun yang ditemui di jalan.

Tiba-tiba anak itu menghentikan tiupan sulingnya. Kerbau induk itu berhenti dari makan rumput yang amat subur dan gemuk yang tumbuh di situ. Anak ltu terbelalak memandang ke kanan kiri. Baru dia menyadari bahwa dia dlbawa kerbaunya sampai ke tepi hutan! Hutan yang ditakuti semua penduduk dusun di kaki pegunungan. Hutan terlarang dan yang kabarnya dihuni oleh para siluman. Pimpinannya adalah seekor naga siluman yang amat jahat!

"Belang, cepat klta turun, kita kembali!" Anak Itu menendang-nendang dengan kakinya ke perut kerbau. Akan tetapi dia melihat anak kerbau itu berloncatan dan berlari memasuki hutan.

"Heii, Kecil! Cepat kembali, jangan masuk ke sana!" teriaknya dan dia melompat turun dari punggung kerbaunya dan berlari mengejar anak kerbau yang berloncatan dan berlari masuk ke dalam hutan seperti anak kecil yang manja dan nakal.

Tiba-tiba anak yang mengejar kerbaunya itu terbelalak dan tersentak, berhenti dari larinya, memandang dengan wajah pucat ke depan. Tangan kirinya masih menggapai ke depan untuk memanggil kerbaunya dan tangan kanannya menutup mulut agar tidak mengeluarkan teriakan. Apa yang dilihatnya mendatangkan kengerian hebat dalam hatinya.

Selagi anak kerbau itu berloncatan, tiba-tiba dari atas pohon besar yang tumbuh di situ, meluncur kepala seekor ular yang luar biasa besarnya. Ular itu tergantung pada dahan pohon, tubuhnya yang besar itu terjulur ke bawah dan moncongnya yang terbuka lebar itu menyambar dan menggigit leher anak kerbau yang mengeluarkan suara parau penuh kesakitan dan ketakutan. Ular yang menggigit anak kerbau itu menariknya ke atas dan anak kerbau itu meronta ronta lemah dengan keempat kakinya.

Anak itu hampir berhenti bernapas. Ular itu besar sekali. Panjangnya belasan meter dan tubuhnya sebesar pohon siong. Setelah anak kerbau itu dibawa sampal ke atas dahan, tubuh ular itu segera melingkarinya dan menghimpitnya dengan kuat. Agaknya anak kerbau Itu tewas seketika oleh tekanan himpitan yang kuat itu dan tidak bersuara lagi, hanya ada dua kaki belakangnya yang masih tampak itu berkelojotan dalam sekarat.

Anak itu menangis dan berlari keluar dari hutan, naik ke atas punggung induk kerbau dan turun lagi seperti yane kebingungan, lalu menarik tanduk kerbau itu dan diajaknya beriari cepat memnggalkan tepi hutan menuruni lereng sambil menangis sesenggukan.

Setelah menuruni sebuah lereng, anak itu melihat seorang laki-laki setengah tua berdiri di tengah jalan setapak sambil memandangnya. Melihat ada orang dewasa, anak itu menghentikan lari kerbaunya, menghampiri orang itu dan berkat dengan suara bercamlpur tangls.

"Paman, tolonglah saya, paman .... tolonglah anak kerbau saya...;"

Laki-laki itu adalah Tiong Lee Cin-Jin. Dia baru saja turun dari lereng bagian atas setelah ditinggal pergl Jit Kong Lama. Mellhat seorang anak laki-laki berlari-lari menuntun kerbaunya sambil menangis, dia cepat menghadang. Mendengar ucapan anak itu yang minta tolong, dia menjulurkan tangan, mengelus kepala anak itu dan bertanya dengan suara lembut.

"Tenanglah, anak yang baik. Apa yang terjadi dengan anak kerbaumu?"

"Anak itu menengok ke belakang lalu menuding ke arah hutan yang berada di lereng sebelas atasnya.

"Ada naga jahat ..... naga itu menangkap anak kerbau saya...... di sana, di hutan itu.....!"

"Naga,..?" Tlong Lee Cln-Jln mengulang sambil tersenyum. Mana mungkin ada naga di hutan itu atau di mana saja? Sepanjang pengetahuannya, naga hanya terdapat dalam dongeng jaman dahulu, beribu tahun yang lalu. Lalu dia menduga.

"Maksudmu ular?"

"Bukan, bukan ular, akan tetapi naga. Mana ada ular yang besarnya seperti itu? Paman, tolonglah saya. Kalau saya tidak membawa pulang anak kerbau itu, tentu majikan akan membunuh saya...."

"Hemm, mari kita lihat ke sana. Tambatkan saja kerbaumu di slnl," kata Tiong Lee Cin-jin, Karena tidak ingin kehilangan Induk kerbaunya, anak itu lalu mengikat kerbau itu kepada sebatang pohon. Setelah Itu, bersama Tiong Lee Cin-jin dia mendaki lereng menuju ke hutan tadi.

Ular itu masih berada dl atas dahan pohon. Moncongnya terbuka lebar-lebar seperti akan robek dalam usahanya me nelan badan anak kerbau yang terlampau besar untuk moncongnya Itu. Tubuh kerbau itu sudah tertelan setengahnya dan. sedikit demi sedikit badan anak kerbau itu tergeser masuk. Agaknya akan makan waktu lama sebelum anak kerbau itu dapat masuk seluruhnya ke dalam perut ular. Tampak lehernya, di mana bagian badan anak kerbau itu masuk, menggembung besar.

Anak itu menudingkan 'telunjuknya ke atas.

"Itu dia! Naga jahat itu mulai menelan anak kerbauku! Tolonglah anak kerbauku, paman!"

Tiong Lee Cin-Jln memandang dan dia merasa kagum. Ular itu memang besar sekali, jarang dia melihat ular sebesar itu dan gambar dan warna kulitnya indah.

"Itu bukan naga, itu seekor ular kembang," katanya.

Rasa ngeri lenyap dari hati anak itu ketika mendengar bahwa binatang yang makan anak kerbaunya itu bukan naga melainkan ular. Pada masa itu, naga merupakan mahluk keramat bagi rakyat, mahluk yang dihormati dan ditakuti, maka ketika tadi anak itu menduga bahwa anak kerbaunya dimakan naga, dia menjadi ketakutan setengah mati. Sekarang setelah dia mendengar bahwa yang makan anak kerbaunya itu hanya seekor ular, walaupun besar sekali, dia menjadi berani dan marah.

"Ular? Ular keparat, ular jahat, lepaskan anak kerbauku! Kubunuh engkau!" Dia mengambil sebuah batu sebesar kepalan tangannya dan menyambitkan batu itu ke atas, mengarah ular yang tampak nya sama sekall tidak bergerak Itu, Sambitan itu luput dan anak itu sudah mengambll sebuah batu lagi. Akan tetapi Tiong Lee Cln-jin memegang lengannya.

"Sabarlah, anak baik. Jangan ganggu dia! Lihat, dia sedang menikmati makannya, mengapa diganggu? Andaikata engkau sedang makan masakan daging ayam lalu datang seekor ular mengganggumu, bagaimana?"

Anak itu tercengang mendengar ucapan yang dianggapnya aneh ini. Dia segera membantah.

"Akan tetapi, paman. Ular itu jahat sekali! Dia makan anak kerbauku, dia kejam buas dan jahat!"

Tiong Lee Cin-jin tersenyum.

"Bagaimana kalau ular itu mengatakan kepadamu ketika engkau sedang makan daging ayam, Manusia itu jahat, kejam dan buas sekali. Dia menyembelih ayam dan memasak lalu makan dagingnya!' Nah, bagaimana jawabmu?"

"Akan tetapi, paman. Ayam memang makanan manusia!"

"Begitukah? Dengar, anak baik. Hewan-hewan kecil seperti anak kerbau, kijang, kelinci dan yang lain-lain itu memang makanan ular itu. Kalau dia. tidak mendapatkan makanan itu, dia akan mati kelaparan karena dia tidak dapat makan rumput atau buah atau daun-daunan. Dia makan anak kerbaumu bukan karena buas, kejam, rakus atau jahat. Sama sekali tidak, melainkan dia makan anak kerbaumu itu karena memang itulah jenis makanannya dan dia makan itu agar dia tidak mati kelaparan. Ular, singa, harimau dan sejenisnya hidup karena makan binatang lain yang lebih lemah dan kecil. Lembu, kerbau, gajah dan sejenisnya makan rumput dan sayur-sayuran. Kera, tupai dan sejenisnya makan buah-buahan. 'Sudah demikian kehendak Yang Menciptakannya. Kalau tidak mendapatkan makanan khas mereka, mereka akan mati kelaparan. Coba ingat baik-baik, hanya manusia yang rakus, karena hampir semua tumbuh-tumbuhan, semua buah-buahan, semua binatang yang ada di dunia ini menjadi makanannya, baik yang berada di darat, di udara, maupun di laut. Siapa yang lebih buas dan kejam?"

Anak itu menjadi bengong dan sejenak lupa akan anak kerbaunya. Dia menatap wajah Tiong Lee Cin-jin dengan pandang mata polos dan penuh keheranan.

"Akan tetapi..... engkau sendiri makan apa, paman?"

Tiong Lee Cin-jin tertawa. Suara tawanya lembut dan sopan, tidak terbahak.

"He-he-he, anak baik. Aku juga seorang manusia, tentu saja makananku sama dengan manusia-manusia lainnya."
,
"Kalau begitu mengapa paman mencela makanan manusia?"

"Aku tidak bermaksud mencela, hanya ingin mengingatkan engkau agar tidak menganggap ular itu jahat dan buas karena dia sudah makan apa yang semestinya dia makan. Dia tidak akan suka makan bakmi atau cap-cai!"

"Akan tetapi dia mengambil anak kerbau milik saya! Bukankah itu berarti dia telah merampas dan merampok?"

"Dia tidak mengenal istilah hak milik, anak baik. Semua hewan yang berada di hutan, yang dapat menjadi mangsanya, bukan milik siapa-siapa. Dia tentu menganggap anak kerbau itu bukan milik siapa-siapa dan sudah Sewajarnya kalau menjadi mangsanya untuk mencegah dia kelaparan." Jadi sesungguhnya kesalahanmu sendiri mengapa engkau menggembalakan kerbau di hutan ini, anak baik. Tempat inl penuh binatang liar, bukan tempat untuk menggembala ternak."

Anak itu termanggu, lalu mengerutkan alisnya dan dia menjatuhkan dirinya duduk di atas tanah, tampak bingung dan sedih.

Tiong Lee Cin-jin juga ikut duduk di atas sebuah batu tidak jauh dari anak itu. Diam-diam dia memperhatikan. Seorang bocah yang berwajah tampan, membayangkan watak yang jujur dan bersih, seperti sebuah batu mulia aseli yang belum digosok. Sinar mata dan lekukan mulut itu menandakan bahwa anak ini mempunyai dasar watak yang baik. Tubuhnya juga membayangkan tubuh yang sehat, berdarah bersih. Perawakannya tegak lurus, dadanya bidang dan pundaknya rata.

"Akan tetapi, paman. Biarpun sekarang saya dapat mengerti bahwa ular itu ! memang sudah sewajarnya makan anak kerbau saya dan dia tidak dapat dipersalahkan, bahwa hal ini terjadi karena kesalahan saya sendiri, akan tetapi perbuatannya itu menimbulkan korban. Korbannya adalah diri saya sendiri. Karena dia menjadlkan anak kerbau itu sebagai mangsanya, maka sayalah yang akan menanggung akibatnya, kalau tidak mati saya sedikitnya akan mengalami dan siksaan. Bahkan mungkin sekali lebih daripada itu. Akibatnya dapat pula menyengsarakan kehidupan nenek saya yang sudah tua itu."

"Bagaimana bisa begitu?" tanya Tiong Lee Cin-jjn.

"Saya hanya bekerja sebagai penggembala kerbau milik kepala dusun kami, paman. Kalau nanti saya pulang tidak membawa anak kerbau itu, majikan saya tentu akan marah sekali. Dia seorang yang amat galak dan keras, mempunyai banyak tukang pukul. Saya tentu akan disiksa dan mungkin dibunuh. Nenek saya juga bekerja sebagai tukang cuci di rumah majikan saya itu tentu akan menanggung akibatnya pula. takut untuk pulang, paman." Anak tidak menangis lagi, akan tetapi menggunakan punggung tangan kirinya untuk mengusap beberapa tetes air mata yang mengalir keluar dari pelupuk matanya.

Hemm, dan ayah ibumu?"

"Mereka sudah tiada, paman. Ayah dan ibu telah meninggal sejak saya berusia lima tahun dan sejak itu saya hanya hidup berdua dengan nenek saya."

Tiong Lee Cin-jin menghela napas panjang. Betapa banyaknya manusia yang hidup menderita karena kemiskinan di dunia ini, disamping hanya beberapa gelintir orang yang hidup berlebihan. Padahal, manusia diciptakan hidup di dunia ini seharusnya dapat mengisi hidupnya dengan saling mengasihi, saling membantu, menjadi alat dari Kekuasaan Tuhan agar bermanfaat bagi orang-orang lain. Yang pandai rhembantu yang bodoh dengan pemikiran, yang kuat membantu yang lemah dengan kekuatan, sedangkan yang kaya membantu yang miskln dengan hartanya. Akan tetapi apa yang dilihatnya sejak dari India ke Cina? Yang pintar menipu yang bodoh, yang kuat menindas yang lemah, yang kaya memperbudak yang miskin.

"Sekarang bagalmana? Engkau harus pulang, setidaknya untuk mengembalikan kerbau ini kepada pemiliknya."

"Memang seharusnya begitu, paman. Akan tetapi saya tidak berani pulang karena saya pasti akan dipukuli, mungkin dibunuh oleh para tukang pukul Lurah Coa, bahkan nenekku tentu tidak akan luput dari hukuman pula."

"Jangan khawatir. Mari kuantar kau piilang darr aku yang akan menjadi saksi bahwa anak kerbau itu dimakan ular. Hayolah!"

Biarpun masih takut, mendengar ucapan dan melihat sikap Tiong Lee Cin-jin yang meyakinkan hatinya itu, dia menganggyk dan mengikuti orang tua itu keluar dari hutan. Beberapa kali dia menenggok dan memandang ke arah ular besar yang berusaha dengan tenahg untuk menelan anak kerbau yang terlalu be-sar untuk moncongnya itu.

Setelah tiba di lereng di mana tadi mereka berjumpa, anak itu melepaskan ikatan kerbaunya dan menuntunnya menuruni lereng bersama Tiong Lee Cin-jin. Pemandangan di bawah sana masih tetap indah mempesona, Sawah ladang yang luas hijau menguning terbentang di bawah sana dan dari atas itu tampak rumah-rumah dusun sederhana di antara pohon-pohonan.

Tiong Lee Cin-jin memandang ke a-tas dan dia tersenyum, matanya bersinar, wajahnya berseri. Dia melihat awan putih yang membentuk seekor naga sedang terbang melayang, seperti seekor Naga Langit yang perkasa.

"Anak baik, siapa namamu?" tanya-nya sambil berjalan di samping anak itu nieniti jalan setapak menuruni lereng.

"Marga saya Souw dan nama saya Thian Liong, paman."

Pria setengah tua itu melebarkan matanya dan berdongak ke atas memandang awan yang berbentuk naga itu.

"Thian Liong (Naga Langit)? Souw Thian Liong....?" Betapa kebetulan. Dia melihat Naga Langit di angkasa yang dibentuk oleh awan dan nama anak ini berarti Naga Langit pula!

"Ya benar, paman. Dan paman sendiri, siapa nama paman?" tanya Thian Liong.

"Orang menyebutku Tiong Lee Cin-jin. Kulihat engkau mempunyai sebatang suling yang terselip di ikat pinggangmu.

Maukah engkau meniupnya dan memainkan sebuah lagu untukku, Thian Liong?"

Anak itu memandang ke arah suling di pinggangnya dengan sedih, lalu berdongak memandang laki-laki itu dan berkata,

"Paman, bagaimana aku dapat rneniup suling kalau hatiku sedih dan dihimpit perasaan takut seperti ini?"

Tiong Lee Cin-jin mengelus kepala Thian Liong.

"Jangan bersedih dan jangan takut, anak baik. Segala urusan yang tidak mampu kau atasi, serahkan saja sepenuhnya kepada kekuasaan Tuhan. Kekuasaan Tuhan yang akan mengaturnya dan tidak ada kekuatan apapun di dunia ini yang dapat mengubah apa yang telah diatur dan ditentukan oleh Tuhan'"

"Tuhan? Siapakah itu Tuhan, paman?" Mereka sallng pandang dan slnar mata Tlong Lee Cln-jln bertemu dengan sinar mata yang demikian polos dan jernih. Dia tersenyum. Ketidak-tahuan yang murni dan suci. Seperti seorang bayi. Manusia lahir tanpa disertai pengetahuan, bahkan tidak mengenal Tuhan. Setelah pikirannya bekerja, mulailah dia bertanya-tanya dan jalan plkirannya dlpengaruhi dari pemberitahuan dari luar.

"Tuhan adalah Yang Maha Kuasa, yang telah menciptakan bumi, langit, angin, tumbuh-tumbuhan, mahluk hidup, bulan, matahari dan bintang. Segala yang ada, segala yang tampak dan tidak tam-pak, semua ini adalah ciptaan Tuhan. Bahkan engk'au dan aku inipun ciptaan-Nya, Thian Liong. Mengertikah engkau?"
Thian Liong menggaruk kepalahya dan mengerutkan alisnya, meniandang heran.

"Akan tetapi orang-orang bercerita kepada saya bahwa semua itu ada dewa yang menjaganya, paman. Ada dewa mataharl, dewa bulan, dewa bintang, dewa gunung, dewa sungal dan seterusnya, demikian yang saya dengar.

Tiong Lee Cln-jln mengangguk-angguk. Dia harus memberi jawaban yang sesuai dengan apa yang telah didengar dan dipercaya anak ini, agar tidak membingungkan hatinya.

"Katakanlah bahwa ada para dewa dan para malaekat yang menjaga semua itu, akan tetapi mereka itu adalah pelaksana dari kekuasaan Tuhan, Thian Liong. Mereka adalah hulubalang, pembantu dan hamba Tuhan."

"Ah, paman. Kalau begitu Tuhan itu seperti Rajanya dan para dewa itu para perajuritnya!"

Tiong Lee Cin-jin tersenyum dan mengangguk. Biarlah, anak yang masih polos ini menganggopnya begitu agar pikirannya tjdak menjadi bingung.

"Ya, begitulah kira-kira. Tuhan adalah. Raja dari segala raja, penguasa langit dan bumi serta sekalian isinya."

Mereka tiba di dusun dan mulailah Thian Liong merasa takut lagi. Wajahnya pucat dan dia tampak kebingungan. Melihat ini, Tiong Lee Cin-jin berhenti di depan dusun itu dan bertanya,

"Thian Liong, takutkah engkau akan ancaman majikanmu?"

"Paman, aku tidak perduli akan keadaan diriku sendiri. Biarlah kalau dia mau merighukum aku, menyiksa atau membunuh sekalipun. Akan tetapi aku khawatir kalau nenek yang sudah tua i-tu akan dihukumnya pula. Aku kasihan .kepada nenekku, satu-satunya orang yang kumiliki?"

Tiong Lee Cin-jin mengelus kepala anak itu.

"Jangan takut, Thian Liong. Ingatkah engkau akan Raja di atas segala raja tadi?"

"Maksud paman.... Tuhan?"

"Benar. Serahkan segalanya kepada Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Adil Maha Kasih dan Maha Murah. Dia yang akan melindungi engkau dan nenekmu kalau engkau mau berserah kepadaNya."
"Benarkah itu, paman?"
"Tentu saja benar dan aku yang akan menanggung bahwa hal itu benar adanya. Kalau engkau percaya dan berserah diri, Tuhan tentu akan mengutus para dewa itu untuk melindungimu dari gangguan orang jahat."

Wajah anak itu tampak lega dan sinar matanya tidak ketakutan lagi.

"Kalau begitu, aku akan berserah di-ri kepadanya, paman."

"Engkau tidak takut lagi?"

"Tidak, bukankah paman ada bersamaku? Dan para Dewa diutus Tuhan untuk melindungi aku dan nenek. Aku tidak takut lagi".

"Kalau begitu mari kita masuk dan menemui majikanmu." Mereka memasuki dusun. Thian Liong menuntun kerbaunya berjalan di depan sebagai penunjuk jalan.

Majikan anak itu adalah Lurah Coa Lun, seorang laki-laki berusia lima puluh tahun. Lurah Coa ini seolah menjadi seorang raja k6cil di dusunnya, merupakan orang paling kaya di situ. Semua orang di dusun itu takut kepadanya, bahkan kehidupari mereka bergantung kepada lurah ini. Hal itu karena semua penduduk telah terikat hutang kepada lurah Coa. Ketika tiba musim kemarau panjang, para petani itu terpaksa berhutang kepada Lurah Coa untuk dapat menyambung hidup dan sejak itu, hutang mere-ka tidak pernah dapat terlunasi karena bunganya yang tinggi. Pencicilan hutang dan bunganya berkejaran. Karena itu, semua penghuni dusun itu seolah-olah telahy berada dalam cengkeraman tangan Lurah Coa dan karena itu mereka semua mera-sa takut dan hanya dapat menaati semua perintah sang lurah. Selain itu, Lurah Coa juga memperkuat kedudukannya dengan memelihara dua belas orang jagoan tukang pukul sehingga tidak ada yang berani mencoba untuk menentangnya.

Lurah Coa mempunyai tiga orang isteri. Akan tetapi tiga orang isteri ini agaknya masih belum mampu memuaskan nafsunya. Dia seorang mata keran-jang yang gila akan wanita muda dan cantik. Karena itu, kehidupan para wanita muda yang memiliki wajah cantik di dusun itu, baik ia masih gadis maupun sudah menjadi isteri orang, tidak aman. Siapa yang diincar dan dikehendaki sang lurah, pasti akan menjadi mangsanya. Secara halus maupun kasar, lurah bejat moral itu pasti akan mendapatkan wanita itu untuk beberapa lama sampai dia merasa bosan dan melepaskannya kembali. Karena itu, banyak suami yang merasa memiliki isteri muda dan manis, diam-diam pergi mengungsi, pindah dari dusun itu. Juga banyak keluarga yang memiliki anak gadis cantik, mengungsikan gadis itu keluar dusun.

Hampir semua sawah ladang yang berada di dusun itu dan sekitarnya, sudah menjadi milik Lurah Coa. Mereka yang dibebani hutang yang semakin membengkak, terpaksa merelakan tanahnya disita oleh sang lurah dan mereka hanya menjadi buruh tani sang lurah saja sehingga kehidupan mereka semakin bergantung kepada sang lurah.

Ayah Souw Thian Liongbernama Souw Ki sudah meninggal dunia sejak Thian Liong berusia lima tahun. Juga ibu anak itu sudah meninggal dunia. Kedua orang suami Isteri itu meninggal dalam keadaan miskln dan terserang penyaklt perut yang waktu itu menjadl wabah di dusun-dusun sekltar daerah pegunungan itu. Mereka terserang penyakit dan meninggal dunia secara berturut-turut. Yang selamat hanya' Thlan Liong dan neneknya, yaitu Nenek Souw ibu dari mendiang Souw Ki. Sejak itu, dalam usia lima tahun, Thian Liong hidup bersama neneknya. Nenek Souw yang sudah amat itu bekerja keras untuk dimakan berdua dengan cucunya. Ia bekerja sebagai tukang cuci pakaian di rumah keluarga Lurah Coa, dan setelah Thian Liong berusia delapan tahun, Nenek Souw mintakan pekerjaan untuk cucunya itu kepada sang lurah. Kebetulan lurah itu baru menyita seekor kerbau dari seorang warga dusun yang tidak mampu membayar hutangnya, maka Thian Liong diberi pekerjaan menggembala kerbau itu. Sebelumnya, Lurah Coa tidak memelihara kerbau karena dia telah iriempunyai banyak buruh tani yang bekerja di sawah dan tidak memerlukan kerbau lagi.

Kerbau itu dipelihara dengan baik oleh Thian Liong, gemuk dan sehat. Thian Liong amat menyayang kerbau itu dan lebih-lebih lagi ketika kerbau itu melahirkan seorang anak kerbau. Karena Itu, dapat dlbayangkan betapa sedlh dan juga takut rasa hati Thlan Llong menghadapi kemarahan Lurah Coa ketika kerbaunya yang kecil dimakan ular raksasa. Dia amat mengkhawatirkan nasib neneknya. Apalagi kalau neneknya sampai dihukum, bahkan baru dipecat saja kehidupan mereka berdua akan terancam bahaya kelaparan!

Lurah Coa menjadi marah sekali ketika dia dilapori bahwa Thian Liong pulang tanpa anak kerbaunya. Dia segera melangkah keluar dan matanya terbuka lebar, mukanya menjadi kemerahan ketika dia melihat Thian Liong berdiri di halaman rumah sambil menuntun induk kerbau tanpa anak kerbau dan ditemani seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian seperti seorang pendeta, menggendong sebuah buntalan besar.

"Thian Liong, mana anak kerbaunya?" tanya sang lurah dengan suara bentakan dan matanya melotot. Lurah itu bertubuh tinggi kurus, matanya sipit, daun telinganya kecil seperti telinga tikus, hidungnya pesek dan mulutnya lebar, dihias kumis kecil panjang menggantung di kanan kiri mulut dan jenggotnya hanya beberapa helai saja.

Karena setiap kali diharuskan memberi penghormatan yang berlebihan terhadap Lurah Coa, maka Thian Liong lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap sang lurah.

"Ampunkan saya, tai-jin (tuan besar), anak kerbau itu dimakan ular di hutan...."

"Apaa,? Dimakan ular di hutan? Gila kamu! Mana bisa anak kerbau dimakan ular ..di hutan. Memangnya kamu menggembala kerbau di dalam hutan?"

"Ampun, taijin. Anak kerbau itu berlompatan dan berlari memasuki hutan. Ketika saya mengejarnya, tahu-tahu ada ular menangkapnya dan memakannya."

"Bohong! Mana ada ular bisa makan anak kerbau yang begitu besar? Tentu engkau sudah menjual anak kerbau itu atau kausembunyikan! Hayo mengaku saja atau dicambuki lebih dulu agar mau mengaku?"

Pada saat itu, dari dalam rumah tampak berlari keluar seorang nenek yang sudah tua. Rambutnya sudah putih semua, tubuhnya kurus kering seperti je-rangkong, pakaiannya tua dan lusuh. Usianya tentu sudah hampir delapan puluh tahun. la lari menghampiri Thian Liong yang berlutut dan menubruk anak itu sambil menangis.

"Adub cucuku Thian Liong....! Apa yang telah terjadl? Orang bllang anak kerbau yang kaugembalakan hilang dimakan ular? Betulkah itu, cucuku....?"

"Benar, nek," kata Thian Liong mengangguk sambil memandang wajah neneknya yang sudah basah air mata itu dengan sedih.

"Aduh celaka, Thian Liong....!" Ia lalu berlutut di dekat kaki Lurah Coa dan berkata dengan suara gemetar.

"Taijin.... ampunkan hambamu ini.... ampunkan cu-cu hamba Thlan Liong....! Dia maslh kecll, dia masih bodoh..., ampunkan dia taljin...."

"Minggir kau! Thian Liong harus mengembalikan anak kerbau itu atau aku akan mencambukinya sampai dia mengaku di mana dia menyembunyikan anak kerbau itu!" hardlk Lurah Coa dengan geram.

"Thian Liong....!" Nenek Souw menjerit dan menubruk cucunya. Akan tetapi ia bergulingan dan roboh. Thian Liong cepat merangkul neneknya.

"Nenek....!" Anak itu berseru bingung melihat neneknya megap-megap seperti ikan dilempar di daratan.

"Thian Liong.... jaga.... dirimu.... baik..,. baik...." lapun terkulai lemas da-lam rangkulan cucunya.

"Nenek...,?" Thian Liong berteriak.

Tiong Lee Cin-jin mendekati anak itu, berjongkok dan dia meraba leher,Nenek Souw.

"Thian Liong, nenekmu meninggal...." katanya terharu.

"Me....ninggal....?" Thian Llong me-mandang wajah Tiong Lee Cin-jin terbelalak.

Tiong Lee Cin-jin mengangguk.

"la meninggal karena jantungnya lemah. la mati karena memang ia sudah tua dan lemah, Thian Liong."

"Nenek....! Ahh, nenek....!!" Thian Liong menubruk dan menanglsi neneknya, meratap-ratap.

Lurah Coa mengerutkan alisnya dan menjadi semakin marah. Kematian nenek itu saja amat merugikannya! Selain kehilangan tenaga kerja, diapun terpaksa harus mengeluarkan uang untuk mengubur Jenazah nenek itu. Semua ini gara-gara Thian Liong yang melenyapkan anak kerbaunya!

"Beri hukuman anak keparat ini dengan dua puluh kali cambukan!" bentaknya kepada dua belas orang tukang pukulnya yang sudah berkumpul di situ. Dua orang di antara mereka melangkah maju. Mereka adalah dua orang algojo yang sudah biasa melaksanakan perintah untuk mencambuki orang. Mereka berdua menyeringai dan masing-masing memegang sebatang cambuk yang besar. Melihat ini, Tiong Lee Cin-jin melangkah maju.

"Nanti dulu!" tegurnya dengan suara yang lembut namun penuh wibawa.

"Coa-chung-cu (Lurah Coa), anak kerbau itu memang benar dimakan seekor Coa (ular), kenapa anak ini yang dipersalahkan dan hendak dicambuk? Dicambuk dua puluh kali dia akan mati. Sepatutnya engkau sendiri yang dicambuk!"




"Apa kaubilang? Keparat, berani engkau menghinaku?" Lurah itu merasa disindir seolah-olah orang berpakaian pendeta itu mengatakan bahwa dia yang telah memakan anak kerbaunya. Nama marganya Coa memang berbunyi sepertl huruf ular.

"Kalau begitu, biar engkau yang menanggung setengahnya. Hayo, kalian hukum cambuk mereka berdua, masing-masing sepuluh kali cambukan yang kuat agar pecah-pecah kulit punggung mereka, biar tahu rasa!"

Dua orang algojo itu mengangkat cambuk mereka, siap untuk memukul Thian Liong dan Tiong Lee Cin-Jin dengan cambuk mereka.

"Tar-tarrr!!" Dua batang cambuk me-ledak di udara lalu turun menyambar dengan cepat ke arah.... Lurah Coa!

"Pratt! Pratt!! Aduh.... aduhh, gila kalian! Kenapa aku yang dicambuk?" Lurah Coa mengaduh dan berloncatan, akan tetapi cambuk-cambuk itu terus melecutinya dan dua orang algojo itu melecut penuh semangat!

"Aduh-aduh.... bunuh mereka! Bunuh mereka!" Lurah Coa memerintahkan sepuluh orang jagoannya yang lain untuk bertindak sambil dia menggeliat-geliat kesakitan.

Sepuluh orang tukang pukul itupun merasa terheran-heran melihat dua orang rekan mereka malah mencambuki majikan mereka. Mendengar perintah itu, mereka menjadi bingung. Ada yang menganggap perintah itu untuk membunuh dua orang rekan mereka, ada pula yang menganggap perintah itu untuk membunuh Thian Liong dan Tiong Lee Cln-jin. Mereka, sepuluh orang, serentak bergerak. Mereka menganggap bahwa dengan tangan kosong saja mereka akan mampu membereskan orang-orang yang harus dibunuhnya. Sepuluh orang itu serentak menerjang maju akan tetapi kembali terjadi keanehan luar biasa yang disaksikan oleh orang-orang yang sudah mulai berkumpul di halaman rumah Lurah Coa meli-hat keributan itu. Sepuluh orang itu sama sekali tidak menyerang Thian Liong dan Tiong Lee Cin-jin, juga tidak menyerang dua orang algojo yang masih mencambuki Lurah Coa, melainkan mereka itu saling gebuk dan saling tendang di antara mereka sendiri! Terdengar suara bak-bik-buk dan teriakan-teriakan kesakitan dan kemarahan menjadi satu, hiruk pikuk dan para penonton terbelalak keheranan. Sementara itu, dua orang algojo masih asyik menggerakkan cambuknya ke arah tubuh Lurah Coa sambil menghitung.

"Tarr-tarrr! Ke enam! Tar-tarrr! Ke tujuh! Tar-tarrr!! Ke delapan....!!"

Pemandangan itu sungguh luar biasa sekali. Thian Liong masih merangkul dan menangisi neneknya. Tiong Lee Cin-jin masih berjongkok dekat anak-anak itu dan menoleh memandang orang-orang yang sedang sibuk sendiri itu. Lurah Coa masih mengaduh-aduh dan menggeliat-geliat, bajunya robek-robek dan punggung-nya beriepotan darah karena kulit punggungnya pecah-pecah oleh cambukan. Teriakannya sudah melemah dan kini dia mengaduh sambil menangis. Sedangkan sepuluh orang itu saling genjot, saling tonjok dan saling tendang. Ramai sekali keadaannya, ramai dan kacau.

"Tarr-tarrr! Ke sembilan! Tarr-tarrr!! Ke sepuluh....!!" Setelah dua orang algojo itu masing-masing memukul sepuluh kali, merekapun menghentikan cambukan mereka. Kini mereka berdlri memandang kepada Lurah Coa dengan mata terbelalak seolah tldak percaya kepada pandangan mata mereka sendlrl, Lurah Coa Itu bergulingan di atas tanah dengan tubuh berkelopotan darah dan agaknya mereka berdua baru menyadari dengan kaget sekali bercampur heran dan bingung bahwa mereka tadi telah mencambuki Lurah Coa!

Sementara Itu, sepuluh orang yang sallng gebuk itu kinipun sudah lemas. Muka mereka benjol-benjol dan matang biru, tidak ada seorangpun yang masih utuh karena tadi mereka saling gebuk tanpa memilih kawan maupun lawan. Siapa saja yang berada dl dekatnya diserang. Dengan sendirinya mereka semua kebagian pukulan atau tendangan. Dan anehnya, berbareng dengan berhentinya dua orang tukang cambuk tadi, sepuluh orang itupun berhenti saling serang dan mereka mengerang kesakitan dengan mata terbelalak keheranan karena baru sekarang mereka menyadari bahwa mereka tadi telah sallng pukul antara rekan sendiri!

Lurah Coa sekarang telah bangun. Melihat dua orang yang tadi mencambukinya berdiri dengan menundukkan muka dan tampak ketakutan, kemarahannya memuncak. Biarpun seluruh tubuhnya nyerh dan pedlh perih, dia lalu merampas sebatang cambuk di tangan seorang di antara dua algojo itu dan dia lalu mengayun cambuk, mencambuki mereka berdua sekuat tenaganya!

"Tar-tar-tarrr....!!" Dia terus mencambuki sekuat tenaga, mencambuki dua orang tukang pukulnya itu sekenanya, muka, kepala, dada sehingga dua orang itu menggeliat-geliat dan melindungl muka mereka dengan kedua tangan. Baju mereka berdua cabik-cabik dan kulit mereka pecah-pecah, darah mulai mewarnai baju mereka.

"Ampun, taijin.... ampun....!" Mereks berdua meratap-ratap akan tetap Lurahj Coa mencambuki terus sampai dla kehabisan tenaga dan napasnya hampir putus barulah dia berhenti karena tidak kuat lagi. Dia melempar cambuknya dah dengan tubuh lunglai dia menjatuhkan dirinya duduk di atas sebuah kursi.

Kini dia menyadari keadaan sepenuhnya. Biarpun masih tiada habis herannya melihat peristiwa yang telah menimpa dirinya dan dua belas orang jagoannya, namun kini dia mencurahkan seluruh perhatiannya kepada Thian Liong dan Tiong Lee Cin-jin. Dia masih belum menyadari bahwa kehadiran pendeta asing itulah yang menimbulkan peristiwa aneh tadi.

"Thian Liong! Engkau telah membikin hilang anak kerbauku, untuk itu engkau akan dihukum! Dan engkau pendeta asing, engkau inemasuki dusun kami dan membuat onar di sini, membela anak yang bersalah ini. Mungkin engkau telah bersekongkol dengan dia untuk mencuri anak kerbauku. Karena itu engkaupun akan dihukum!

"Lurah Coa, engkau masih belum menyadari sikapmu yang sewenang-wenang itu? Perbuatanmu yang suka menyiksa orang kini berbalik menimpa dirimu sendiri dan engkau masih juga belum jera?" kata Tiong Lee Cin-jin kepada kepala dusun itu.

Akan tetapi kepala dusun yang sudah terlanjur merasa seperti seorang raja kecil di dusunnya dan tidak pernah ada orang berani menentangnya, menudingkan telunjuknya kepada Tiong Lee Cin-jin dan Thian Liong, lalu berseru kepada anak buahnya.

"Hayo kalian tangkap dua orang ini! Cepat!!"

Akan tetapi dua belas orang tukang pukul yang masih belum hilang kaget mereka dan masih merasa nyeri-nyeri seluruh tubuh mereka itu, hanya memandang dan tidak ada yang berani bergerak. Mereka adalah orang-orang yang sedikit banyak sudah mempunyai pengalaman di dunia kang-ouw dan mereka kini sudah dapat menduga bahwa orang berpakaian seperti pendeta itu tentu seorang sakti maka terjadi peristiwa aneh-aneh seperti yang tadi mereka alami. Maka, mendengar perlntah majlkan mereka itu, tidak ada seorangpun dl antara mereka yang berani bergerak.

"Hayo tangkap dua orang inl! Apakah kalian semua sudah tuli?" bentak lagi lurah yang masih menggigit bibir menahan rasa nyeri yang terasa di seluruh tubuhnya.

Mendengar perintah ulangan ini, dua belas orang tukang pukul tidak berani membangkang lagi dan mereka sudah meraba gagang golok yang tergantung di pinggang.

Melihat ini, Tiong Lee Cin-jin memandang kepada mereka dan berkata,

"Kalian ini sebetulnya adalah penjaga keamanan dusun, menjaga keamanan semua penduduk dusun, bukan melaksanakan perintah Lurah Coa untuk memukul dan menyiksa orang. Apakah kalian masih belum mau bertaubat dan hendak melanjutkan perkelahian di antara kalian sendiri menggunakan golok?"

Mendengar ucapan Tiong Lee Cin-jin itu, dua belas orang tukang pukul klni yakln bahwa tadi mereka bergontok-gontokan sendiri adalah karena dlpengaruhi pendeta ini. Mereka menjadi jerih, menggeleng kepala dan otomatis melepaskan lagl gagang golok mereka. Mereka membayangkan betapa ngerinya kalau mereka saling serang seperti tadi, kini mempergunakan golok. Tentu akan banyak di antara mereka yang luka parah atau bahkan tewas.

"Kalian masih belum turun tangan?" bentak pula Lurah Coa.

"Lurah Coa, engkau sudah mendengar pengakuan kami bahwa anak kerbau itu dimakan ular dan engkau masih belum mau percaya. Sekarang lihatlah sendiri, juga kalian para tukang pukul! Ular raksasa itu kini datang memperlihatkan diri kepada kalian agar kalian dapat percaya!"

Tiong Lee Cin-jin menggapai dengan tangannya dan Lurah Coa bersama dua belas orang tukang pukulnya terbelalak, muka mereka pucat dan tubuh mereka menggigil. Mereka melihat ada seekor ular yang besar sekali, sebesar batang pohon siong, merayap datang menghampiri mereka! Para penduduk dusun yang berkumpul di situ tldak melihat ular ini. Mereka menjadi terheran-heran melihat dua belas orang tukang pukul itu menggigil ketakutan menghampiri Lurah Coa lalu berdiri di belakangnya. Lurah itupun menggigil ketakutan. Mereka mundur-mundur dan akhirnya menjatuhkan diri berlutut,

"Ampun.... ampunkan saya...." Lurah Coa meratap.

"Ampunkan kami.... kami tldak berani lagl...." Dua belas orang Itupun berseru ketakutan, menghadap ka arah Tiong Lee Cin-jln.

Tlong Lee Cin-jln mengibaskan tangannya dan ular itupun lenyap. Dla lalu bertanya kepada Lurah Coa dan anak buahnya.

"Benarkah kalian semua telah bertobat dan tidak akan mengulangi lagi sikap dan perbuatan kalian yang menindas rakyat dusun ini?"

"Saya tidak berani ....". ratap lurah Coa.

"Kami bertobat...." Dua belas orang tukang pukul itu serempak berseru ketakutan.

"Bagus. Bertaubat berarti membuka pintu yang menuju jalan kebenaran. Namun bertobat tidak ada artinya sama sekall kalau hanya dlucapkan dengan mulut, melainkan harus menerima dalam hati sanubari dan tercermin dalam perbuatan. Tanpa pelaksanaan dalam perbuatan, bertobat hanya merupakan pemanis bibir dan palsu belaka. Lurah Coa, seorang lurah bukan seorang pembesar yang hanya memperbesar perut sendiri, juga bukan seorang penguasa yang mempergunakan kekuasaannya untuk menindas orang lain dan mencari enaknya dan benarnya sendiri. Seorang lurah adalah seorang pemimpin rakyat yang berkewajiban iintuk membimbing rakyatnya ke arah pembangunan dusun demi kesejahteraan rakyatnya, menjadi seorang bapak yang selalu memberi teladan kepada rakyat, kalau berdiri di depan memberi teladan, kalau berdiri di tengah bekerja sama dengan rakyat, kalau di belakang mengawasi dan memberi pengarahan. Ingat, engkau bisa menjadi lurah karena ada rakyat dusun, tanpa mereka engkau bukan apa-apa. Mulai sekarang, jadilah pemimpin rakyat yang baik. Kembalikan sawah ladang mereka. Bebaskan hutang-hutang mereka. Ulurkan tangan dan bantulah kalau ada rakyat yang kekurangan. Kalau sudah begitu, seluruh rakyat di dusun akan cinta dan taat kepadamu, bukan taat karena terpaksa dan takut. Sanggupkah engkau membuktikan rasa bertobatmu dengan semua anjuran itu?"

"Saya sanggup," jawab Lurah Coa sambil menundukkan kepalanya. Entah mengapa, mendengar ucapan yang lembut namun penuh wibawa dan menggores hatinya itu, Lurah Coa terlngat akan semua tindakannya yang lalu, sadar akan semua perbuatannya yang sewenang-wenang dan diam-diam dia menangis.

"Dan kalian, orang-orang gagah yang tadinya dianggap sebagai tukang-tukang pukul anak buah Lurah Coa. Kalian adalah orang-orang yang sudah mempelajari ilmu silat, orang-orang yang memiliki tenaga yang kuat. Akan tetapi sayang, kalian meinpergunakan kelebihan itu untuk mendukung kesewenang-wenangan Lurah Coa. Kalian menakut-nakuti rakyat dusun, kalian bahkan tidak segan untuk memukuli dan menyiksa mereka. Kalau benar-benar kallan sudah bertaubat, mulai sekarang jadilah pembantu lurah yang baik. Menjadi penjaga keamanan dusun, keamanan rakyat dusun sehingga kehidupan di sini menjadi aman tenteram tidak ada perbuatan kejahatan. Dengan demikian kalian akan menjadi sahabat bahkan saudara dari rakyat dan mereka akan me-rasa sayang dan segan kepada kalian, bukan takut lagi. Mereka tidak akan mellhat lagi kalian sebagai iblis-iblis mengganggu, melainkan sebagai malaikat-malaikat pelindung. Nah, sanggupkah kalian menjadi pelindung rakyat?"

"Kami sanggup!" seru dua belas orang itu serentak.

"Bagus, senang dan suka sekali hatiku mendengar kesanggupan kalian semua. Sekarang aku hendak bertanya kepadamu, Lurah Coa. Engkau tahu bahwa Thian Liong hanya hidup berdua dengan neneknya dan keadaan mereka miskin sekali. Mereka mengandalkan makan sehari-hari dari hasil bekerja mereka di rumahmu. Sekarang Nenek Souw telah meninggal dunia, apa yang akan kaulakukan?"

Lurah Coa mengangkat mukanya dan Tiong Lee Cin-jin melihat berapa muka yang masih ada bilur-bilur bekas cambukanitu kini tampak cerah dan tidak tertutup hawa gelap seperti tadi.

"Sebelum saya menjawab, bolehkah kami semua mengetahui lebih dulu siapa sebenarnya saudara pendeta ini?"

"Orang menyebutku Tiong Lee Cin Jin seorang perantau yang kebetulan lewat di sini."

Lurah Coa merangkap kedua tangan depan dada memberi hormat lalu bangkit berdiri.

"Kiranya Cin-jin seorang pendeta yang sakti dan bijaksana. Maafkan kami sekalian yang telah bersikap kurang hormat dan telah berani bertindak jahat. Saya sudah bertaubat dan menyadari dosa-dosa saya, Cin-jin. Saya akan mengurus penguburan jenazah Nenek Souw sebaik-baiknya. Adapun mengenai Thian Liong, saya akan memberinya pekerjaan dan menganggap seperti anak angkat saya."

Tlong Lee Cin-jln mengangguk-ang-guk.

"Bagus, terima kasih atas kebaikanmu, Lurah Coa. Kalau untuk selanjutnya engkau bersikap dan berbuat seperti ini aku percaya bahwa engkau akan dapat mencuci kotoran yang timbul dari perbuatanmu yang sudah-sudah dengan perbuatan baikmu yang akan datang. Nah, selamat tinggal, aku harus melanjutkan perjalananku." Setelah berkata demillian Tiong Lee Cin-jin membahkan tubuhnya dan melangkah keluar dari pekarangan rumah Lurah Coa.

Akan tetapi tiba-tiba Thian Liong lari menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Tiong Lee Cin-jin.

"Suhu, perkenankanlah saya ikut suhu!" katanya sambil membentur-benturkan dahinya di atas tanah.

"Thian Liong, jenazah nenekmu masih belum dikebumikan," kata Tiong Lee Cin-jin.

"Sudah ada Lurah Coa yang menyanggupi untuk mengurusnya, suhu. Biarkan saya ikut suhu."

"Akan tetapi aku hanyalah seorang perantau yang tidak tentu tempat tinggalnya. Engkau akan lebih senang tinggal di sini" kata pula Tiong Lee Cin-jin.

"Benar Thian Liohg. engkau tinggallah di sini bersama kaml. Aku akan menganggapmu sebagai anak angkatku," kata Lurah Coa.

"Tidak, suhu. Satu-satunya orang yahg kumiliki di dunia ini hanyalah nenekku. Sekarang ia sudah meninggal dunia. Suhu telah menyelamatkan saya, maka sekarang saya ingin ikut dan melayani suhu untuk selamanya. Saya bersedia hidup melarat bersama suhu." Anak itu meratap.

Tiong Lee Cln-jin mengangguk-angguk dan tersenyum. Dia sudah merasa bahwa anak ini berjodoh dengannya dan amat baik kalau menjadi muridnya.

"Baiklah, engkau boleh ikut denganku, Thian Liong."

"Terima kasih, suhu!" Thian Liong lalu bangkit dan lari menghampiri jenazah Nenek Souw dan berlutut di sampingnya.

"Nenek, perkenankan aku ikut dengan suhu Tiong Lee Cln-jin. Jangan khawatir, nek, jenazahmu akan diurus sebaiknya oleh Lurah Coa. Selamat tinggal, nek." Setelah mencium muka neneknya, dia lalu bangktt dan berlarl mengejar Tiong Lee Cln-jin yang sudah berjalan meninggalkan pekarangan itu.

Lurah Coa mengikuti mereka dengan pandang matanya sampai dua orang itu tak tampak lagi. Dia lalu inemerintahkan orang-orangnya untuk mengurus jenazah Nenek Souw baik-baik dan dia masuk ke dalam rumah untuk mengobati luka-luka lecutan di tubuhnya. Semenjak hari itu, Lurah Coa berubah sama sekali. Dla berubah menjadi seorang lurah yang baik dan kehidupan rakyat di dusun itu menjadi benar-benar sejahtera dan berbahagia. Dua belas orang jagoan itu kini menjadi sahabat rakyat, menjadi penjaga keamanan dalam arti yang sebenarnya. Setelah mengubah sama sekali jalan hidup mereka, kini mereka mendambakan suatu kebahagiaan yang tak pernah mereka rasakan sebelumnya. Mereka merasa aman tenteram dalam hidup mereka, sikap dan pandang mata semua penduduk terhadap mereka demikian ramah tulus dan hormat yang tidafc dibuat-buat. Baru sekarang mereka merasakan betapa membikin senang orang lain jauh lebih menyenangkan daripada membikin susah orang lain.

* * *
Setelah berpuluh tahun berada dalam kekacauan dan pertentangan karena Cina dikuasai Lima Dinasti yang saling berperang dan berebutan kekuasaan, akhirnya pada tahun 960 M lahirlah Dinasti Sung yang berhasil mempersatukan Cina kembali. Pendiri Dinasti Sung adalah seorang panglima dari satu di antara dinasti-dinasti yang pada jaman Lima Dinasti berkuasa di Cina, yaitu Dinasti Chou. Panglima ini bernama Chao Kuang Yin. Panglima Chao Kuan Yin ini menjadi kaisar yang mendirikan Dinasti Sung dengan cara yang unik, aneh dan lucu. Pada masa itu, Dinasti CHou membutuhkan seorang yang tepat untuk menjadi kaisar karena kaisarnya yang sudah tua berada dalam keadaan sakit payah. Yang ditunjuk sebagai penggantinya adalah se-orang pangeran yang masih kecil, seorang anak-anak! Hal ini mendatangkan rasa penasaran dan tidak puas dalam hati para perwira, Mereka lalu diam-diam mengadakan perundingan dan mengadakan pemilihan siapa kiranya yang pantas ditunjuk untuk menjadi kaisar baru. Mereka dengan suara bulat memilih Panglima Chao Kuang Yin yang mereka kenal sebagai seorang panglima besar ahli perang yang pandai dan yang juga bijaksana dalam pergaulannya dengan para pembesar lainnya.

Pada suatu malam, selagi Panglima Chao Kuang Yin masih tidur, para perwira bawahannya dan para pejabat tinggi memasuki kamarnya dan membangunkannya.

Panglima itu terbangun dan merasa kaget dan heran sekali melihat para perwira dan pembesar mengerumuninya.

"Heii, apa-apaan ini? Apakah terjadi. Mau apa kalian menggugah ku??" tanya Panglima Chao Kuang Yin yang lalu duduk di atas kursi, memandang kepada mereka semua. Ternyata mereka telah menyalakan lampu sehingga kamar itu menjadi terang. Dengan heran dia melihat bahwa semua perwlra tinggi yang menjadi pembantunya berada di situ, juga para pejabat tinggi yang berkedudukan penting di pemerintahan.

Seorang perwira yang paling tinggl kedudukannya di antara semua perwira, yaitu Perwira Ciang yang menjadi pembantu utama Pangllma Chao Kuang Yin, mengeluarkan sebuah jubah dan mengembangkan jubah itu hendak menyelimutl kedua pundak Panglima Chao Kuang Yin. Ketika melihat bahwa jubah itu adalah pakaian kebesaran Kaisar, panglima itu cepat bangkit berdiri dan menolak.

"Apa artinya ini? Apa maksud kalian?"

"Panglima Chao Kuang Yin, atas kesepakatan kami semua, malam ini juga kami mengangkat paduka menjadi kaisar kami yang baru!" kata Perwira Ciang Sui.

Panglima Chao Kuang Yin membela-akkan matanya dan alisnya berkerut, wajahnya berubah merah.

"Apa kalian semua sudah menjadi gila? Aku adalah seorang panglima Kerajaan Chao yang setia kepada Kaisar! Aku tidak ingin menjadi pengkhianat!"

"Panglima Chao, tenanglah dan pikirkan baik-baik, justru karena paduka adalah seorang patriot sejati, seorang yang setia kepada kerajaan, maka paduka harus menolong dan melindungi kerajaan kita. Kaisar yang baru diangkat adalah seorang kanak-kanak, mana mungkin dia dapat memerintah dengan baik dan semestinya? Kalau dibiarkan saja keadaan ini, kerajaan kita pasti akan ambruk dan siapa lagi yang dapat menyelamatkan kerajaan ini kecuali paduka?"

"Tidak, aku tetap tidak mau!" bantah Panglima Chao Kuang Yin.

Seorang perwira tinggi lain berseru,

"Kalau Panglima Chao Kuang Yin tidak mau, berarti dia. ingin melihat kerajaan ini hancur dan ini berarti dia seorang pengkhianat yang harus dlhukum mati!" Dia mencabut pedangnya dan belasan orang perwira itu semua mencabut pedang, termasuk para pejabat tinggi. Mereka menodongkan pedang mereka kepada Panglima Chao Kuang Yin yang terbelalak keheranan.

Seorang pejabat tinggi bagian Sastra dan Budaya yang bernama Can Siong Tek berkata dengan suara yang lembut, Panglima Chao Kuang Yin, harap paduka suka memperhatikannya baik-baik. Keadaan kerajaan dalam bahaya. Kaisar yang diangkat masih kanak-kanak dan tentu dia akan dipengaruhi dan terjatuh ke dalam tangan para menteri korup dan para thai-kam (laki-laki kebiri) penjilat sehingga pemerintahan jatuh ke tangan mereka. Dapat dipastikan kerajaan ini akan ambruk. Sekarang paduka tinggal pillh. Mau menjadi kaisar untuk menyelamatkan negara dan rakyat, atau kalau paduka menolak terpaksa kami bunuh karena paduka berarti menentang keputusan kami."

Chao Kuang Yin berdiam sampai lama, mempertimbangkan dan berpikir-pikir. Dia tahu benar bahwa kalau dia menolak dan melawan, dia pasti akan tewas di tangan mereka ini. Bukan dia takut mati, akan tetapi apa artinya kematiannya? Hal itu tidak akan menolong keadaan kerajaan. Sebaliknya kalau dia hidup dan mau menerima kedudukan kaisar, dia dapat berusaha untuk mempersatukan seluruh negeri dan menyudahi perang saudara yang tiada henti-hentinya menghantui dan menyengsarakan rakyat jelata.

Akhirnya dia berkata,

"Baiklah. Akan tetapi kalian harus berjanji untuk membantu aku memperkuat kerajaan dan mempersatukan semua kekuatan yang tadinya saling bertentangan."

"Hidup Kaisar!" Serentak mereka berseru dan mengenakan jubah kaisar pada tubuh Panglima Chao Kuang Yin.

Demikianlah, Panglima Chao Kuang Yin menjadi kaisar dan dia mendirikan Dinasti Sung. Dia menggunakan nama Kaisar Sung Thai Cu (960-976 M) dan menjadi pendiri Dinasti Sung sebagai kaisar pertama. Mulai saat itulah Dinasti Sung berdiri sampai tlga abad lebih (960-1279 M).

Ternyata kemudian bahwa pilihan para perwira tinggi dan pejabat tinggi itu tidak keliru. Panglima Chao Kuang Yin yang kini menjadi Kaisar Sung Thai Cu ternyata adalah seorang Kaisar yang amat cerdik pandai dalam persoalan politik, seorang yang bijaksana, tidak kejam dan tidak sewenang-wenang. Pula, dia adalah seorang bangsa Han. Hal ini ditambah sikap dan sepak terjangnya yang bijaksana membuat para kerajaan dan pemerintahan lain tunduk kepadanya. Apalagi rakyat sudah bosan dengan peperangan yang tiada hentinya selama puluhan tahun, bosan dengan pengaruh kekuasaan suku-suku bangsa liar yang berebutan kekuasaan. Para penguasa daerah yang tadinya, di masa kekuasaan Lima Dinasti herdin sendiri sebagai kerajaan-kerajaan kecil, ini satu demi satu menyatakan takluk dan berdiri di bawah panji kerajaan Sung yang dipimpin oleh Kaisar Sung Thai Cu. Kaisar Sung tetap memberi kedudukan kepada para penguasa itu sebagai pejabat tinggi dari Kerajaan Sung, Sebagai semacam gubernur. Ada beberapa daerah yang tidak mau tunduk. Mereka ini dengan mudah diserang dan dltaklukkan. Akan tetapi, bahkan kepada mereka yang menentang inipun Kaisar Sung Thai Cu bermurah hati. Para pemimpinnya tidak dihukum, bahkan setelah daerah itu ditaklukkan, mereka tetap diangkat menjadi pejabat. Demikianlah, dalam waktu beberapa tahun saja, seluruh Cina telah dapat dipersatukan, dan sebagian besar dari mereka ditundukkan dengan cara halus. Hanya beberapa daerah saja yang terpaksa ditaklukkan dengan kekuatan pasukan tentara.

Semenjak Dinasti Sung berdiri dengan kokohnya, gangguan dari bangsa yang oleh rakyat Cina dlsebut "bangsa liar" banyak berkurang. Gangguan yang masih ada hanya datang dari bahgsa Tartar yang mendirikan Liao (sekarang Mancuria), dan juga dari bangsa Hsia Hsia di Barat Laut.

Kebesaran Dinasti Sung yang dapat mempersatukan seluruh Cina itu hanya bertahan satu setengah abad lamanya. Kemakmuran dan gangguan keamanan, yang hanya sedikit itu membuat Kaisar Hui Tsung lengah. Jerih payah yang dilakukan Kaisar Sung Thai Cu itu akhirnya kandas dalam tahun 1121. Kaisar Hui Tsung lengah, tidak begitu memperhatikan ketika tetangganya yang berada di utara, yaltu kerajaan Liao, telah diserbu dan dikuasai oleh bangsa Kin yang kuat. Setelah Bangsa Kin menguasai kerajaan Liao (Mancuria), mereka menghimpun kekuatan besar sekali dan menyerbu kerajaan Sung. Bala tentara Sung mengadakan perlawanan hebat, namun akhirnya mereka dikalahkan dan seluruh wilayah Sung bagian utara telah dikuasai bangsa Kin. Kaisar Hui Tsung bahkan ditawan oleh pasukan Kin.

Pemerintah Sung lalu melarikan diri ke selatan dan kota raja pindah ke Lin-an (sekarang Hang-chow). Karena kepindahan ini, maka Dinasti ini juga disebut Sung Selatan.

Wilayah Dinasti Sung Selatan ini berada di sebelah selatan Sungai Yang-ce dan karena tanah di daerah selatan ini jauh lebih subur dibandingkan tanah di utara, maka kerajaan Sung Selatan ini tidaklah dapat dikatakan mundur dalam hal kesejahteraan.

Kisah ini terjadi pada jaman Dinasti Sung Selatan dan yang menjadi kaisarpun pada waktu itu adalah Kaisar Kao Tsung, seorang keponakan dari Kaisar Hui Tsung yang ditawan oleh suku bangsa Khitan dari Kerajaan Kin. Kaisar Kao Tsung bertekad untuk membalas dendam dan melakukan perang terhadap Bangsa Tartar Khitan yang telah menguasai daerah utara Sungai Yang-ce. Kaisar Kao Tsung menghimpun kekuatan, mengumumkan dan mengundang para muda untuk masuk menjadi tentara dan ikut berjuang mengusir bangsa liar yang menguasai tanah air bagian utara itu.

Demikianlah sekilas tentang keadaan Dinasti Sung Selatan. Jatuhnya daerah utara dan kota raja yang tadinya menja-di pusat kerajaan Sung, yaitu kota raja Tiang-an atau Kaifeng, terjadi dalam tahun 1121 M.

* * *

Di lembah Sungai Yang-ce sebelah selatan, terdapat sebuah kota kecil Cin-koan. Kota kecil ini cukup ramai karena merupakan persinggahan para pedagang yang mengangkut barang dagangan mereka melalui Sungai Yang-ce. Daerah itu terkenal dengan rempa-rempanya. Banyak pedagang datang ke kota Cin-koan untuk membeli rempa-rempa dan ada pula yang datang membawa dagangan ke kota itu berupa bahan pakaian dan segala macam keperluan lagi. Tidak mengherankan kalau kota Cin-koan berkembang rnenjadi kota yang ramai dan mulailah rumah penginapan dan rumah makan bermunculan untuk menampung para pendatang dan pedagang yang setiap hari memenuhi kota Cin-koan. Dan tidak aneh pula kalau bermunculan pula tempat-tempat hiburan seperti rurnah perjudian dan rumah pelacuran. Para pedagang yang berada jauh darl rumah dan yang memperoleh banyak keuntungan itu haus akan pelesiran dan mereka biasa membuang uang secara royal.
KISAH SI NAGA LANGIT JILID 03


Rumah pelesir Bunga Seruni merupakan tempat pelesir yang terkenal di kota Cin-koan. Rumah pelesir ini dikelola oleh seorang mucikari yang biasa dipanggil Lu-ma, seorang wanita gemuk berusia lima puluhan tahun. Pagi hari itu Lu ma sudah bangun dan setelah melakukan pemeriksaan terhadap belasan orang anak buahnya, yaitu gadis-gadis penghibur yang muda dan cantik, menyuruh mereka agar tidak bermalas-malasan, cepat maridi dan mengenakan pakaian bersih dan indah, ia lalu memasuki sebuah kamar yang terpisah dan berada di bagian belakang. Hari itu merupakan hari istimewa karena ada serombongan pedagang dari kota raja datang. Jumlah mereka ada tiga puluh orang lebih dan ini merupakan rejeki besar karena tentu di antara mereka ada yang akan berpelesir di rumah Bunga Seruni yang terkenal mempunyai banyak gadis penghibur yang cantik itu. Lu-ma memasuki kamar di belakang itu dan seorang gadis berusia kurang lebih delapan belas tahun menyambutnya. Gadis itu cukup cantik dan pakaiannya sederhana, berbeda dengan para gadis penghibur. Gadis itu adalah seorang gadis yatim piatu, maslh terhitung keponakan Lu-ma dan sudah setahun lamanya ia tlngga! di rumah Lu-ma. Lu-ma amat menyayang gadis yang datang darl dusun ini karena ia rajin dan pandai membawa diri. Saking sayangnya, Lu-ma tidak memeras tenaga gadis itu dan hanya kepada pria-pria pilihan saja ia menyuruh gadis itu melayani mereka. Pria yang lembut dan royal, bukan sebangsa pria kasar. Karena itu, biarpun ia menjadI seorang gadis penghibur atau pelacur, gadis itu tidak merasa terlalu tersiksa. la jarang diharuskan menerima tamu, hanya beberapa hari sekali kalau kebetulan ada pria yang menurut Lu-ma pantas untuk dilayani keponakannya saja. Karena tidak ingin rnemamerkan diri, maka gadis itu berdandan secara sederhana saja walaupun hal itu tidak menyembunyikan kecantikannya. Gadis itu bernama Liang Hong Yi, baru setahun tinggal di situ dan baru beberapa bulan ia melayani laki-laki pilihan bibinya.

"Bibi,. sepagi ini sudah bangun?" Liang Hong Yi menyambut bibinya sambil tersenyum. Gadis ini juga sayang dan menghormati bibinya. Walaupun bibinya menjadikan ia seorang pelacur, hal yang tidak mungktn terelakkan lagi mengingat akan pekerjaan bibinya sebagai mucikari, namun ia tahu bahwa bibinya sayang kepadanya. la tidak diperas dan tidak harus melayani sembarang pria, tidak harus melayani sebanyak mungkin pria seperti para gadis penghibur itu.

"Duduklah, Hong Yi. Ada hal penting yang ingin kubicarakan kepadamu," kata Lu-ma. Hong Yi yang baru berusia delapan belas tahun itu berwajah bulat telur, dagunya runcing dan sepasang mata yang indah jeli seperti mata burung dara itu dilindungi sepasang alis yang hitam kecil panjang melengkung. Hidungnya kecil mancung dan mulutnya manis sekali dengan blbir yang selalu merah basah segar menantang. Setitik tahi lalat kecil hitam di dagunya menambah manis wajahnya yang berkulit putih kemerahan dan mulus. Rambutnya juga hitam lebat, dengan anak rambut halus berjuntai di sekitar dahi dan pelipisnya. Tubuhnya ramping, akan tetapi tidak terlalu kurus, bahkan padat dan sintal.

"Ada apakah, bibi?" tanya Hong Yi sambil duduk di atas kursl berhadapan dengan bibinya, terhalang sebuah meja kecil.

"Hong Yi, semalam aku bermimpi melihat engkau terbang dan menari-nari di antara bintang-bintang!"

Hong Yi tertawa dan menutupi mulutnya dengan lengan bajunya.

"Hi-hik, bibi ini aneh-aneh saja, mungkin bibi semalam keenakan tidur karena hawa udara memang dlngin malam tadi."

"Tidak, Hong Yi. Pagi tadi setelah terbangun, aku segera mengadakan perhitungan meramal dengan mencocokan hari tanggal lahirmu dan aku mendapat kenyataan bahwa engkau kelak akan hidup sebagai orang besar!"

"Aih, bibi. Orang macam aku bagal-mana dapat menjadi orang besar?" Tanpa disengaja, ucapan yang keluar dari bibir mungil itu bernada sedih.

Begitu mendengar ucapan keponakan-nya itu, Lu-ma lalu meraih tangan Hong Yl yang terletak di atas meja.

"Maafkan bibimu, Hong Yi. Mulai sekarang aku berjanji tldak akan menyuruhmu melayani pria lagl."

Wajah yang manis itu memandang pada Lu-ma dengan mata terbelalak dan suaranya terdengar, gembira.

"Benarkah itu, bibi?"

"Percayalah.. Aku bersumpah, akan tetapi kalau engkau sudah menjadi orang besar, jangan kau lupakan aku, Hong Yi."

"Aku tidak pernah menyalahkan engkau karena aku menjadi seorang pelacur di sini, bibi. Engkau amat baik kepadaku dan aku tidak akan pernah melupakan kebaikanmu itu."

"Nah sekarang engkau berdandanlah."

"Sepagi ini harus melayani seorang pria, bibi?" Mata yang indah itu menjadi agak muram.

"Anak bodoh! Bukankah aku tadi sudah bersumpah tidak akan menyuruhmu melayani pria lagi? Tidak, bukan melayani pria. Akan tetapi aku menghendaki engkau pergi ke kuil Kwan-im-bio di tepi kota untuk bersembahyang dan mohon ramalan peruntunganmu."

Hong Yi tidak pernah membantah perintah bibinya, maka iapun mengangguk.

"Baiklah, bibi. Aku segera akan berdandan dan berangkat." Pada saat itu, seorang pelayan wanita berdiri di ambang pintu kamar itu dan berkata kepada Lu-ma bahwa ada tamu yang hendak bertemu.
"Engkau cepat berdandan dan berangkat, Hong Yi," kata Lu-ma yang lalu meninggalkan gadis itu.
Hong Yi segera berganti pakajan yang lebih baik walaupun masih tetap bersahaja, tidak memakai terlalu banyak perhiasan. Baru saja ia selesai berdandan, ia mendengar suara ribut-ribut dari depan, suara laki-laki yang terdengar marah-marah. Ia cepat melangkah keluar, berpapasan dengan pelayan yang ketakutan.

"Ada apa?" tanyanya kepada pelayan itu.

"Wah, celaka, nona Liang," kata pelayan itu.

"Ada dua orang tamu marah-marah!"

Terdengar hiruk pikuk seperti barang-barang dibanting. Hong Yi cepat menuju ke ruangan depan. Dilihatnya Lu-ma berdiri di sudut ruangan dengan muka pucat ketakutan. Dua orang laki-laki berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun sedang mengamuk membantingi kursi dan bangku sehingga kaki kursi dan bangku itu patah-patah.

"Hentikan itu!" bentak Hong Yi lantang.

"Apa yang kalian lakukan Itu?"
"Hong Yi, jangan masuk. Pergilah dari sini!" Lu-ma berseru sambil memberl tanda dengan tangannya agar Hong Yl pergi. Akan tetapl Hong Yi malah memasukl ruangan itu."

Dua orang laki-laki itu berhenti mengamuk dan kini keduanya memandang kepada Hong Yl dengan penuh perhatian dan keduanya menyeringai. Seorang di antara mereka yang kepalanya botak dan hidungnya besar melangkah maju dan berkata,

"Aha, kiranya ini yang bernama Hong Yi? Pantas, cantik dan manis. Akhirnya engkau mau keluar juga, sayang, untuk melayani kami berdua!"

Orang kedua yang tubuhnya tinggi be-sar, matanya lebar dan di dahinya terdapat codet bekas luka memanjang tertawa.

"Ha-ha, nenek ini hendak menjual mahal. Kami berdua adalah kepala pengawal dari kota raja, dan sudah lama mendengar bahwa kembang dari rumah pelesir Bunga Seruni, bahkan juga kembang dari kota Cin-koan, bernama Hong Yi. Nah, kami ingin dilayanl olehmu dan berapapun bayarannya akan kami penuhi!"

"Aku adalah Hong Yi, dan kalau bibi Lu-ma mengatakan tidak kepada tamu, biar dibayar berapapun aku tidak akan mau melayaninya. Blbl Lu-ma sudah tidak membolehkan kalian mengajak aku, maka kalian tidak boleh memaksa. Mengapa kalian mengamuk seperti orang-orang gila dan merusak prabotan di sini? Hayo cepat ganti kerusakan ini! Coba kuhitung.... kalian ganti lima puluh tail perak. Cepat bayar dan pergilah dari sini dan jangan sekali-kali berani datang lagi!" Ucapan Hong Yi itu bernada memerintah dan mengancam! Lu-ma membelalakkan matanya, heran dan terkejut, juga khawatir melihat sikap dan mendengar ucapan Hong Yi itu. Anak ini mencari penyakit, pikirnya.

"Ha-ha-ha, cantik manis dan galak! Aku senang semangat itu. Engkau seperti seekor kuda betina liar dan aku suka menundukkan kuda betina liar. Kami akan membayar gantl rugi setelah engkau melayani dan menghibur kami berdua selama tiga hari tiga malam. Marilah, manis, mari kita bersenang-senang!" kata si kepala botak hidung besar yang tubuhnya pendek gendut. Berkata demikian dia sudah melangkah lebar menghampiri Hong Yi dan kedua lengannya dikembangkan siap untuk merangkul tubuh yang denok itu.

Akan tetapi dengan gerakan yang gesit sekali Hong Yi miringkan tubuh ke samping sehingga rangkulan itu luput dan dari samping tangannya menyambar dengan tamparan keras ke arah kepala si botak.

"Plak'" Keras sekali tamparan itu dan tubuh si botak itu terpelanting roboh. Lu-ma terbelalak dan kedua tangan menutupi mulutnya yang ternganga agar ia tidak mengeluarkan suara. la merasa seperti sedang mimpi! Bagaimana mungkin keponakannya yang biasanya lemah lembut dan tampak lemah itu dapat membuat si gemuk pendek itu terpelanting roboh?

Si codet yang tinggi besaritu marah sekali melihat kawannya ditampar sehingga roboh.

"Berani engkau memukul temanku!" bentaknya dan tangan kanannya meluncur cepat. Lengan yang panjang itu penuh dengan tenaga raksasa dan tangan dengan Jari-Jari panjang itu mencengkeram ke arah pundak kiri Hong Yi. Akan tetapi Hong Yi memutar tubuh mengelak sehingga cengkeraman itu luput, kemudian tangan kirinya menangkap pergelangan tangan lawan Itu dan sekali memutar tubuh sambil mengerahkan tenaga menyentak, tubuh si Codet yang tinggi besar Itu melayang dengan kaki di atas melalui atas pundak Hong Yi kemudian terbanting ke atas lantai sampai terdengar bunyi berdebuk!

Dua orang kepala pengawal yang biasanya menjadi jagoan itu tentu saja merasa penasaran bukan main. Mereka yang blasanya ditakuti orang itu kini roboh dalam segebrakan saja oleh seorang pelacur muda! Karena penasaran dan malu, mereka menjadi marah. Setelah bangkit berdiri, keduanya lalu mencabut pedang yang tadlnya tergantung di punggung mereka. Dengan pedang terhunus yang berkilauan mereka berdua menghadapi Hong Yi.

"Hong Yi, larilah....!" Lu-ma menjerit dengan tubuh menggigil. la merasa ngeri sekali dan tidak ingin melihat keponakannya yang disayangnya itu terbunuh secara mengerikan.

Hong Yi menoleh ke arah Lu-ma sam-bil tersenyum tenang. la girang melihat betapa bibinya itu mengkhawatirkannya.

"jangan takut, bibi. Dua ekor anjing busuk ini memang sudah sepatutnya dihajar".

Mendengar mereka dimaki sebagai anjing busuk, dua orang itu menjadi mata gelap saking marahnya.

"Mampus kau!" bentak si codet dan dia sudah menyerang dengan pedangnya yang menyambar dan membacok ke arah leher yang berkulit putih mulus itu. Sementara si botak gendut juga sudah menggerakkan pedangnya menusuk ke arah dada. Agaknya dua orang ini sudah menjadi mata gelap dan bernafsu sekali untuk membunuh gadls yang molek Itu.

Namun Hong Yi, di luar persangkaan Lu-ma dan para gadis penghibur yang mengintai dan menonton keributan itu, dengan tenang namun cepat sekali seperti gerakan seekor burung walet, melangkah ke sana-sini. Langkah-langkahnya aneh namun nyatanya dua pedang itu tidak mampu menyentuhnya! Dua orang penyerangnya menjadi semakin penasaran dan mereka mengamuk, menyerang secara membabi buta. Dua batang pedang perkelebatan menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata. Namun tetap saja dua batang pedang itu tidak mampu menyentuh tubuh Hong Yi yang seolah telah berubah menjadi bayangan yang tidak mungkin dapat dibacok atau ditusuk pedang! Semua mata yang menonton pertandingan itu, yang mula-mula memandang ngeri membayangkan tubuh yang padat ramping itu akan roboh mandi darah, sekarang memandang dengan takjub dan kagum.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring suara Hong Yi.

"Lepaskan pedang!" Kedua tangannya menyambar dengan tangan terbuka miring, seperti golok membacok hampir berbareng ke arah dua pergelangan tangan.

"Dukk!! Dukk"" Dua batang pedang terlepaa dari pegangan dan dua orang pengeroyok itu menarik tangan kanan me-reka karena merasa seolah tulang pergelangan tangan itu patah-patah.

Hong Yi tidak berhenti sampai di situ. Kedua kakinya yang kecil panjang itu mencuat bergantian, yang kiri menyambar ke arah kepala si pendek gendut disusul kaki kanan menyambar ke arah dada si tinggi besar.

"Dess....! Dess....!" Dua orang itu terjengkang dan terbanting keras ke atas lantai. Sejenak mereka merintih, lalu bangkit duduk. Si pendek botak memejamkan mata karena kepalanya puyeng dan segala tampak berputaran. Si tinggi besar memegangi dadanya dan menekan dengan kedua tangan karena dadanya terasa sesak bernapas!

Dengan kaki kirinya Hong Yi mencukil sebatang pedang yang terlepas tadi. Pedang melayang ke atas disambar dengan tangan kanannya. Kemudian ia mencukil pedang kedua yang disambar tangan kirinya. Dengan sepasang pedang di tangan ia menghampiri dua orang yang masih duduk berdekatan itu dan ujung pedang itu menodong leher mereka, Ujung pedang yang runcing menekan kulit leher mereka.

"Bersiaplah kalian untuk mampus!" bentak Hong Yi yang kini dari seorang gadis yang lemah lembut berubah menjadi seorang gadis yang tampak gagah perkasa.

Dua orang jagoan itu menggigil ketakutan.

"Ampun.... ampunkan kami...." mereka bermohon dengan suara meratap, si botak masih puyeng dan si codet masih terengah-engah.

"Kalau begitu hayo cepat keluarkan lima puluh tail perak untuk mengganti prabotan yang rusak kemudian cepat minggat dari sini." bentak Hong Yi.

Biarpun napasnya masih terasa sesak, si tinggi besar dengan jari-jari tangan gemetar mengambil kantung uangnya dan mengeluarkan lima puluh tail perak. Uang ku diletakkannya di atas lantai di depannya.

"Sekarang pergilah dan jangan berani muncul lagi di sini. Kalau lain kali muncul lagi, kedua tangan kalian akan kubuntungi!" hardik Hong Yi sambil menendang dua kali. Tubuh dua orang jagoan itu terpental dan terguling keluar dari pintu ruangan depan. Mereka segera bangkit, si codet tinggi besar masih menekan dadanya dan si botak pendek gendut masih memegangi kepalanya. Kemudian mereka lari pontang-panting meninggalkan rumah pelesir itu.

"Hong Yi....!" Lu-ma menghampiri gadis itu dan merangkulnya. Hong Yi melempar sepasang pedang ke atas lantai dan menghibur Lu-ma yang menangis.

"Sudahlah, bibi. Bahaya sudah lewat dan aku yakin dua orang jahat itu tidak akan berani datang mengacau lagi."

"Hong Yi, mari.... aku mau bicara...." kata Lu-ma. Ia memberi Isarat kepada seorang gadis anak buahnya untuk menyimpan uang lima puluh tail perak itu dan ia lalu menggandeng tangan Hong Yi memasuki kamarnya. Setelah menutupkan daun pintu ia mengajak Hong Yi duduk berhadapan.

"Hong Yi, engkau sungguh mengherankan dan mengejutkan hatiku. Bagaimana engkau mampu mengalahkan dua orang jahat tadi? Bagaimana engkau yang biasanya lemah ini mendadak dapat berubah menjadi seorang pendekar wanita?"

Hong Yi tersenyum.

"Aku bukan seorang pendekar wanita, bibi. Aku hanya pernah belajar ilmu silat dari seorang nikouw (bikkhuni) perantau yang dahulu tinggal di dusun kami selama tujuh tahun."

"Akan tetapi engkau tidak pernah mengatakan hal itu kepadaku dan engkau juga belum pernah memperlihatkan kepandaian silatmu sama sekali."

"Ilmu silat bukan untuk pamer, bibi, melainkan untuk membela diri kalau terancam bahaya."

"Akan tetapi engkau.... ahh, betapa menyesal aku.... kenapa engkau menurut saja ketika aku....... menyuruhmu melayani para pria itu? Kenapa tidak kau tolak? Ahh...... aku sungguh menyesal sekali......."

"Sudahlah, bibi. Engkau telah menolongku. Engkau telah mengurus pemakaman orang tuaku dan engkau mau menampung diriku yang yatim piatu dan sebatang kara. Kalau tidak ada engkau tentu aku akan menjadi seorang gadis yang terlantar dan entah bagaimana nasibku. Engkau amat baik kepadaku, maka tentu saja aku menurut akan segala perintahmu. Aku tahu engkau menyayangku.. dan tidak ingin menjadikan aku seperti para gadis penghibur yang lain. Engkau memilih pria-pria terbaik untukku. Dan memang mereka itu bersikap lembut, menghormati dan menghargaiku. Aku tidak menyesal, bibi."

"Engkau seorang gadis yang luar biasa, Hong Yi. Aku agak terhibur mengingat bahwa aku telah bersumpah untuk tidak menyuruh engkau melayani pria lagi. Sekarang, pergilah ke kuil itu, Hong Yi dan bersembahyanglah. Mintalah berkah dari Kwan Im Posat dan mintalah petunjuk dan ramalan. Apakah engkau perlu ditemani?"

"Tidak usah, bibi. Aku akan pergi sendiri, aku dapat menjaga diri."

Dengan membawa perlengkapan sembahyang seperti hioswa (dupa biting), lilin dan sebagainya, Hong Yi lalu berangkat ke Kwan-im-bio yang berada di ujung kota Cin-koan sebelah selatan. Seorang nikouw tua lalu menyambutnya dan Hong Yi lalu bersembahyang. Kemudian ia minta ramalan dan setelah mengocok tabung tempat nomor ramalan dan sebuah nomor keluar, nlkouw pelayan mengambllkan ramalan tertulis itu dan memperlihatkannya. Biarpun Hong Yi seorang gadis kelahiran dusun, namun mendiang ayahnya adalah seorang terpelajar miskin dan ayahnya dahulu mengajarinya ilmu membaca dan menulis. Bahkan ketika menjadi murid Bian Hui Nikouw selama tujuh tahun, ia selain dilatih ilmu silat, juga menerima pelajaran membaca kitab-kitab agama oleh gurunya itu. Maka gadis inipun pandai membaca dan menulis. la membaca ramalan tertulis itu.

"Harimau Putih bukan untuk ditakuti seyogyanya menjadi teman sejati temuilah seorang bermarga Han bersamanya berjaya di Lin-an."

Biarpun dapat membaca sajak ramaian itu Hong Yi tidak mengerti apa maksudnya. la tidak tahu apa yang dimaksud-kan dengan Harimau Putih dan siapa pula orang bermarga Han yang harus diajaknya pergi ke kota raja itu. Akan tetapi karena kepergiannya ke kuil minta ramalan itu bukanlah kehendak yang timbul dari hatinya sendiri melainkan untuk memenuhi permintaan Lu-ma, maka iapun tidak mengambil pusing lagi lalu berpamit dari nikouw pelayan dan menuju pulang. Kuil Kwan-im-bio itu terletak di ujung kota yang sepi dan sebelum ti-ba di perumahan kota ia harus melewati sebuah ladang yang cukup luas dan bagian pinggir kota di situ sepi tak banyak dilewati orang.

Selagi ia berjalan di bawah sinar matahari yang mulai tinggi, tiba-tiba ia terkejut bukan main karena di atas jalan raya itu tampak seekor binatang menghadang perjalanannya. Ketika ia memandang penuh perhatian, ia makin heran dan terkejut karena binatang Itu adalah seekor harimau yang bulunya berwarna putih Sebagal seorang yang memiliki ilmu silat yang cukup tangguh dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri dalam menghadapi bahaya, Hong Yi cepat membungkuk dan mengambil dua buah batu sebesar kepalan tangannya. la tidak memegang senjata dan maklum bahwa harimau adalah sebangsa binatang buas yang amat kuat dan berbahaya. Dua buah batu itu cukup lumayan untuk dipakal membela diri. Otomatis ia teringat akan isi ramalan dari kuil Kwan-im-bio tadi. Ramalan itu menyebutkan tentang harimau putih! Apa katanya tadi? "Harimau putih bukan untuk ditakuti!"

Tidak, ia tidak takut. la teringat bahwa anjing yang galakpun biasanya takut kalau disabit batu, terutama kalau sambitan itu mengenai tubuhnya. Mungkin harimau inipun akan ketakutan kalau ia sambit dengan batu, pikirnya. Setelah berpikir demlklan, Hong Yi mengambil ancang-ancang, membidik ke arah sasaran lalu dilontarkan sepotong batu ke arah tubuh harimau itu.

"Wuuuttt.... dukkk!" Sambitan itu tepat mengenai perut harimau putih. Blnatang langka itu terkejut lalu melompat dan melarikan diri ke kiri. Hong Yi yang masih mempunyai sepotong batu lagi, mengejar dan menyambitkan batu kedua. Harimau itu melompat ke balik semak-semak dan menghilang. Hong Yi menghampiri semak-semak setelah memungut sepotong batu lagi dari jalan. Berindap-indap ia menghampiri semak-semak dan... ia tertegun. la tidak melihat harimau atau binatang apapun juga, akan tetapi di balik semak-semak itu, di atas rumput hiJau yang tebal, ia melihat seorang pria muda bangkit dari tidurnya, duduk dan menggeliat seperti seekor harimau. Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, bertubuh jangkung dan tegap, ketika menggeliat itu tampak kedua lengannya yang berotot. Wajahnya juga membayangkan kegagahan dan kejantanan. Di dekatnya terdapat sebuah buntalan kain kuning. Rambutnya yang hitam panjang itu ditekuk ke atas dan diikat dengan sehelai kain biru.

Tentu saja Hong Yi merasa kikuk dan tidak enak. la khawatir akan disangka mengintai orang tidur. Maka iapun melangkah mundur dan karena pemuda itu tidak langsung menghadapinya, maka ia dapat mundur tanpa terlihat.

Ketika ia telah tiba di jalan raya lagi, ia mendengar suara orang dari depan. Ia memandang dan melihat tujuh orang datang dengan cepat ke arahnya. Ia tidak menyangka buruk dan mengira mereka itu adalah orang-orang. yang hendak pergi ke kuil. Ia tidak menaruh perhatian, apalagi karena ia masih merasa heran akan peristiwa tadi. Ke manakah perginya harimau putih yang aneh tadi? Dan orang itu! Mengapa harimau putih itu tidak mengganggu orang itu? Padahal ia melihat betul betapa harimau itu lenyap di balik semak-semak dan orang laki-laki itupun tidurnya di belakang semak-semak. Ketika harimau putih tadi melompat ke balik semak-semak, sepantasnya menimpa tubuh laki-laki yang se-dang tidur itu. Apakah laki-laki itu terbangun karena terinjak harimau?

Rombongan orang itu sudah tiba di depannya dan ia mendengar suara orang,

"Inilah gadis siluman itu! Inilah pelacur laknat itu!"

Hong Yi terkejut dan rnemperhatikan. la segera mengenal si muka codet yang s bertubuh tinggi besar tadi dan si botak yang bertubuh pendek gendut. Dua orang yang pagi tadi mengamuk di rumah pelesir Bunga Seruni dan yang telah dirobohkan dan diusirnya. Dan dua orang itu kini datang bersama tujuh orang lain, entah hendak melakukan apa. Akan tetapi melihat sikap mereka ia dapat menduga bahwa mereka tentu tidak berniat baik terhadap dirinya. Ia pura-pura tidak mengenal mereka dan menggerakkan kaki untuk pergi dari situ.

"Hei, berhenti dulu! Jangan pura-pura tidak mengenal kami. Bukankah engkau pelacur Hong Yi yang pagi tadi melawan kami di rumah pelesir Bunga Seruni?" tanya si botak gendut dengan sikap beringas.

Hong Yi masih bersikap tenang walaupun ia maklum bahwa dua; orang itu jelas mencarinya untuk membalas dendam dengan mengerahkan teman-temannya.

"Benar, aku Liang Hong Yi. Aku telah menghajar kalian berdua yang telah membikin ribut dan mengacau di rumah hiburan Bunga Seruni!. Sekarang kalian berdua mau apa?"

Si muka codet tinggi besar itu berkata kepada seorang di ancara mereka,

"Twako kakak terbesar, inilah gadis siluman itu! Harap twako memberi hajaran kepadanya agar ia tidak menjadi sombong!"

Orang itu mengangguk-angguk, lalu melangkah maju menghadapi Hong Yi.

"Nona engkau masih muda dan cantik dan kabarnya engkau seorang pelacur yang biasa melayani dan menghibur kaum pria. Akan tetapi kenapa engkau mengandalkan sedikit ilmu silatmu memukul dua orang rekanku ini?" tanya orang itu.

Hong Yi memandang orang itu penuh perhatiah. Dia seprang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun. Tubuhnya jangkung kurus dan pakaiannya mewah, sikapnya halus akan tetapi sepasang matanya bersinar tajam, muka berwarna agak kuning. Biarpun Hong Yi belum banyak pengalamannya di dunia persilatan, akan tetapi ia pernah digembleng seorang, guru yang baik yang banyak menceritakan keadaannya tentang ciri-ciri orang kang-ouw maka melihat orang tinggi kurus itu, iapun dapat menduga bahwa orang ini tentu seorang ahli Lwee-kang(tenaga dalam) yang tangguh. Maka ia bersikap waspada.

"Orang-orang seperti mereka berdua itu tidak pernah akan mengakui kesalahannya sendiri, melainkan menjatuhkan kesalahan kepada orang lain dan membenarkan diri mereka sendiri. Engkau mau tahu kenapa aku memukul dua orang itu? Mereka telah membuat kekacauan di Rumah Pelesir Bunga Seruni dan hendak memaksa aku melayani mereka. Ketika ditolak mereka mengamuk dan merusak prabot rumah itu. Aku hanya minta agar mereka membayar ganti rugi, akan tetapi mereka malah mengeroyokku. Tidakkah itu sudah pantas kalau aku memberi sedikit pelajaran kepada mereka?"

"Hemm, akan tetapi bukankah engkau seorang pelacur yang harus melayani setiap orang laki-laki yang menginginimu dan mampu membayarmu?"

Hong Yi mengerutkan alisnya dan kulit kedua pipinya menjadi merah..

"Pelacur juga seorang manusia! Ia memang penjual jasa, akan tetapi secara suka rela dan tanpa ada paksaan. la berhak memilih dan menolak orang yang disukainya atau untuk dilayaninya!"

Si jangkung kurus itu mengerutkan alisnya.

"Hemm, engkau memang seorang perempuan yang sombong. Akan tetapi mengingat bahwa engkau hanya seorang perempuan, aku akan mengampunimu kalau engkau suka berlutut dan minta ampun kepada dua orang rekanku ini. Kalau tidak, terpaksa aku Tiat-jiauw-eng (Garuda Cakar Besi) Ban Hok akan memberi hajaran keras kepadamu!"

Hong Yi tahu dari julukan orang itu bahwa dia tentulah seorang ahli silatS bertenaga dalam yang mengandalkan keampuhan jari-jari tangannya yang membentuk cakar. Otomatis pandang matanya tertuju kepada tangan orang itu dan ia melihat bahwa ujung jari-jari tangan itu tampak menghitam Akan tetapi ia teringat akan pesan gurunya, Bian Hui Ni-kouw, dahulu.

"Jangan blarkan rasa takut dan sombong menguasai hatimu kalau engkau berhadapan dengan seorang lawan. Rasa takut melemahkan dan kesombongan membuatmu memandang rendah lawan dan engkau akan menjadi lengah. Hadapi kekerasan dengan kelembutan. Hindarkan perkelahian, kecuali kalau engkau terpaksa karena diserang."

"Paman Ban Hok, kalau aku memang bersalah, kepada seorang anak kecil sekalipun akU bersedia untuk minta maaf. Akan tetapi terhadap kedua orang ini, aku sama sekali tidak bersalah. Merekalah yang menyerangku. Tidak mungkin aku minta maaf. Kepadamupun aku tidak ingin bermusuhan, tidak ingin berkelahl , dan harap engkau sebagai seorang tokoh kang-ouw suka mengerti dan memaafkan aku".

Mendengar ucapan ini, Tiat-jiaw-eng Ban Hok tampak meragu. Ia adalah seorang piauw-su (pengawal barang kiriman) yang terkenal dl kota raja dan dia diangkat sebagal sesepuh oleh para piauwsu yang mengawal barang ke kota Cin-koan ini. Tldak enak rasanya kalau sebagai seorang tokoh kang-ouw dia harus mendesak seorang wanita yang masih begitu muda lagi. Dia menoleh kepada dua orang kawannya itu dan berkata,

"Sudahlah, kurasa tidak ada gunanya urusan ini diperpanjang. la hanya seorang wanita muda dan seorang gadis penghibur pula. Alasannya memang masuk akai. Kalian tidak berhak memaksa seorang gadis penghibur melayani kalian kalau ia tidak suka. Jual beli memang dasarnya suka rela. Kalau si penjual tidak mau menjual barang dagangannya, si pembeli tidak boleh memaksa. Sebaliknya kalau si pembeli tidak mau membeli, si penjualpun tidak boleh memaksanya. Sudahlah, habiskan saja urusan ini;

"Akan tetapi, Ban-twako! Kami telah dihina oleh perempuan hina ini! Apakah twako sebagai sesepuh kami tidak hendak membela kami?" teriak si codet tinggi besar. '

'"Ya, apa artinya kami mempunyai seorang sesepuh kalau tidak mau bertindak melihat kami diperhina orang? Ataukah Ban-twako merasa takut melawan gadis hina ini?" teriak pula Si gendut pendek.

Mendengar ucapan dua orang itu, Ban Hok merasa panas hatinya juga.

"Baiklah, aku akan membalaskan kekalahan kalian. Akan tetapi aku tidak mau mencederai seorang perempuan. Nona, mari kita main-main sebentar. Hendak kulihat sampai di mana kelihaianmu!" Se-telah berkata demikian, Ban Hok melangkah maju menghampiri Hong Yi dan memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan membentuk cakar dan bergerak-gerak menyilang. Jari-jari tangannya yang membentuk cakar itu mengeluarkan bunyi krek-krek!

Hong Yi waspada. Ia maklum bahwa sekali ini ia menghadapi seorang lawan tangguh. lapun memasang kuda-kuda miring, tangan kanannya di pinggang, tangan kiri seperti menyembah di depan dada. Inilah pembukaan jurus yang disebut Menyembah Kwan Im Dengan Satu tangan'.

"Aku tidak ingin berkelahi, akan tetapi kalau diserang, terpaksa aku membela diri," katanya tenang.

Tiat-jiauw-eng Ban Hok maklum bahwa gadis itu tidak mau mulai menyerang lebih dahulu, maka diapun berseru,

"Lihat seranganku!" dan diapun menerjang maju, cakar kirinya mencengkeram ke arah pundak kanan gadis itu. Namun dengan cekatan sekali Hong Yi mengelak, miringkan tubuh dan cengkeraman itupun luput. Akan tetapi dengan amat cepatnya, cakar kanan Ban Hok menyusul, mencengkeram ke arah kepala!

Kembali Hong Yi mengelak dan iapun t membalas dengan tendangan dari samping ke arah lambung lawan.

"Wuuuttt....!" Ban Hok menangkis dengan lengan kirinya dan Hong Yi merasa betapa kakinya terpental dan tergetar. Benar dugaannya. Orang tinggi kurus itu adalah seorang ahli tenaga dalam yang amat kuat. la tahu bahwa kalau mengadu tenaga, ia akan kalah, maka iapun mempergunakan kelebihannya yang dapat diandalkan, yaitu ginkang (ilmu mering-ankan tubuh). Dari gurunya, ia memang mendapatkan ilmu ginkang yang cukup hebat sehingga ia mampu bergerak dengan' amat cepatnya seperti seekor burung walet.

Terjadilah pertandlngan yang seru. Ban Hok yang tadinya agak memandang rendah kepada gadis pelacur itu, merasa kecelik dan menjadi penasaran sekali. Tadinya dia mengira bahwa dalam beberapa jurus saja dia akan mampu mengalahkan Hong Yi. Dia hanya ingin merobohkan gadis itu tanpa melukainya, hanya ingin mengalahkan untuk menebus kekalahan kedua orang rekannya. Tidak tahunya, telah lewat dua puluh jurus dan sama sekali serangannya belum ada yang mampu menyentuh tubuh gadis itu, bahkan diapun harus berhati-hati sekali karena serangan balasan gadis itu cukup berbahaya.

Kini saking penasaran dia menjadi marah dan tidak ragu-ragu lagi untuk menyerang dengan pengerahan seluruh tenaganya. Kalau perlu dia harus merobohkan dan melukai gadis ini untuk memperoleh kemenangan'

Tiba-tiba si codet dan si botak, diikuti pula oleh enam orang teman mereka, semua berjumlah delapan orang telah mcnyerbu dan mengeroyok Hong Yl, bahkan mereka mempergunakan golok dan pedang untuk menyerang gadis itu!

'"Jangan keroyok! Mundur!" teriak Tiat-jiauw-eng Ban Hok. Akan tetapi delapan orang kawannya itu tidak mau mundur bahkan menyerang membabi buta kepada Hong Yi yang terpaksa harus mengerahkan gin-kangnya untuk berkelebat dan menghindarkan diri dari hujan serangan pedang dan golok! Kini Hong Yi berada dalam bahaya maut!

Pada saat itu, terdengar suara lantang dan terdengar seperti gerengan harimau.

"Pengecut-pengecut hina! Dengan mengandalkan banyak orang mengeroyok seorang gadis! Tak tahu malu dan patut dihajar!" Sesosok bayangan berkelebat dan orang itu menggerakkan tangan kakinya. Terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan empat orang pengeroyok terpelanting roboh terkena tendangan dan tamparan orang yang datang membantu Hong Yi itu! Hong Yi merasa girang dan iapun bergerak cepat. merobohkan dua orang pengeroyok dengan tendangannya. Pada saat itu, orang ke tujuh dan delapan juga roboh terpelanting oleh tamparan tangan penolongnya. Kini tinggal Tiat-jiauw-eng . Bah Hok sendiri yang masih belum roboh dan tokoh ini menjadi marah sekali melihat delapan orang rekannya sudah terpelanting dan agakhya menderita luka pukulan yang cukup parah sehingga mereka tidak dapat segera bangkit.

"Mundurlah, nona. Biar kuhadapi orang ini." Laki-laki yang menolong Hong Yi itu berkata tanpa menoleh kepada gadis itu. Hong Yi melompat ke belakang, berjaga-jaga agar delapan orang yang sudah roboh itu tidak melakukan pengeroyokan. Ketika.ia memandang dengan penuh perhatian, ia tertegun heran. la mengenal wajah itu! Dia pemuda yang tadi terbangun dari tidurnya di balik semak-semak, pemuda yang disangkanya terbangun dari tidur karena terijak harimau putih yang dikejarnya!

"Orang muda yang lancang, siapakah engkau yang berani mencampuri urusan kami?" bentak Ban Hok yang merasa penasaran dan marah sekali.

Pemuda itu menggeram. Suaranya dalam dan menggetarkan jantung.

"Kalau urusan kalian itu patut, aku Han Si Tiong tidak akan sudi mencampuri. Akan tetapi kalian ini pengecut-pengecut hina mengeroyok seorang gadis. Tentu saja aku mencampurinya!"

"Manusia sombong! Engkau belum mengenal kelihaian Tiat-jiauw-eng Ban Hok! Sambut seranganku!" Ban Hok sudah menyerang dengan ganas sekali karena sekali ini dia marah dan ingin merobohkan pemuda yang telah membuat teman-temannya berpelantingan. Pemuda yang bernama Han Si Tiong itu mengelak dan membalas dengan tidak kalah cepat dan kuatnya. Terjadi pertandingan yang lebih hebat lagi.

Mendengar pemuda itu menyebut namanya Han Si Tiong, Hong Yi kembali tertegun. la teringat akan ramalan di kuil Kwan-im-bio tadi. Dalam sajak ramalan itupun disebut-sebut tentang seorang bermarga Han! Ia mengingat bunyi sajak itu.

"Harimau putih bukan untuk ditakuti seyogianya menjadi teman sejati temuilah seorang bermarga Han bersamanya berjaya di Lin-an."

Hong Yi menonton pertandingan itu dengan bengong. Mengapa begitu kebetulan? Pada hari itu juga ia melihat seekor harimau putih dan bertemu dengan seorang bermarga Han, cocok sekali dengan bunyi ramalan tadi! la memperhatikan pemuda yang menolongnya itu. Dia seorang pemuda bertubuh tinggi tegap, berkulit agak gelap karena banyak tersorot sinar matahari. Wajahnya tidak terlalu tampan namun membayangkan kejantanan dan tampak gagah sekali. Usianya sekitar dua puluh lima tahun. Pakaiannya dari kain kasar dan sederhana sekali, sudah agak lapuk pula menandakan bahwa pemuda itu adalah seorang miskin. Punggungnya menggendong sebuah buntalan dari kain kuning. Ini menunjukkan bahwa pemuda itu seorang yang sedang melakukan perjalanan jauh, seorang perantau.

Hong Yi memperhatikan gerakan silat pemuda itu. Walaupun dia bertangan kosong menghadapi lawannya yang memiliki sepasang tangan membentuk cakar yang menggiriskan, namun dia sama sekali tidak terdesak. Hong Yi mengenal gerakan yang kokoh dari pemuda itu sebagai ilmu silat Siauw-lim-si. Ilmu silat yang ia pelajari dari Bian Hui Nikouw juga bersumber dari ilmu silat Siauw-lim-pai walaupun sudah bercampur dengan ilmu silat lainnya.

Perkelahian itu berlangsung semakin seru. Hong Yi melihat betapa pemuda itu berani menangkis cengkeraman cakar tangan Ban Hok yang mengandung tenaga dalam amat kuat itu, dan setiap kali lengan mereka beradu, ia melihat betapa lengan Ban Hok terpental. Ini menunjukkan bahwa pemuda itupun memiliki tenaga dalam yang amat kuat, bahkan mungkin lebih kuat daripada tenaga dalam yang dimiliki lawannya. Sudah tiga puluh Jurus mereka bertanding dan Tiat-jiauw-eng Ban Hok mulai terdesak oleh tendangan-tendangan dahsyat pemuda itu yang menjadi ciri khas dari ilmu silat Siauw-lim-pai Utara.

"Haiiiitt....!'." Tiba-tiba Ban Hok menyerang lagi dengan kedua tangannya yang membentuk cakar elang, pemuda yang bernama Han Si Tiong itu memutar tubuh mengelak, kemudian dengan putar-an tubuhnya yang dilakukan dengan cepat, kakinya mencuat dan terayun cepat sekali menyambar ke arah kepala lawan. Cepat bukan main kaki kanan itu menyambar dengan posisi membalik. Inilah jurus Sin-liong-pai-bwe (Naga Sakti Melecutkan Ekornya). Ban Hok terkejut dari mencoba untuk mengelak dengan menarik kepalanya ke belakang.



"Bukk!" tendangan kilat itu tidak mengenai kepalanya akan tetapi masih mengenai pundaknya sehingga dia terpelanting roboh. Dia bangkit lagi dengan meringis kesakitan, kemudian melihat betapa teman-temannya sudah menjauhkan diri, diapun maklum bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan pemuda itu.

Sebagai seorang piauwsu terkenal Ban Hok juga memiliki pengetahuao tentang sopan santun dunla persilatan. Dia mengangkat kedua. tangan depan dada memberi hormat kepada Han Si Tiong dan berkata,

"Engkau lihai sekali, sobat. Aku mengaku kalah dan maafkan kelancangan teman-temanku yang tadi mengeroyok nona ini, hal itu terjadi bukan atas kehendakku." Setelah berkata demikian, dia lalu membalikkan tubuhnya dan pergi. Setelah bertemu dengan rekannya, Tiat-jiauw-eng Ban Hok memaki mereka habis-habisan. Bagi seorang kang-ouw, kalah menang dalam sebuah pertandingan adalah hal biasa, akan tetapi para rekannya itu telah membuat dia malu karena mereka tadi melakukan pengeroyokan, apa lagi yang dikeroyok adalah seorang gadis muda! Sudah kalah, mendapat malu dan nama buruk pula!

Sementara itu, melihat betapa pemuda itu telah dapat mengusir pergi orang-orang yang tadi mengganggunya, Liang Hong Yi segera maju menghampiri dan memberi hormat.

"Tai-hiap (pendekar besar), saya Liang Hong Yi mengucapkan banyak terima kasih atas pertolongan tai-hiap. Tanpa ban-tuan tai-hiap, entah bagaimana nasibku tadi."

Han Si Tiong memandang Hong Yi dan dia merasa kagum sekali, tak disangkanya bahwa gadis yang dikeroyok banyak laki-laki tadi, yang melakukan perlawanan dengan gigih dan cukup tangkas, ternyata seorang gadis yang begini cantik jelita!

"Nona Liang Hong Yi, harap jangan sebut aku tai-hiap. Aku seorang pemuda dusun biasa yang sedang merantau, namaku Han Si Tiong. Sebut saja namaku tanpa taihiap, nona membuat aku menjadi malu dengan sebutan itu."

Hong Yi tersenyum manis, hatinya tertark sekali. Pemuda ini gagah perkasa, biarpun tutur sapanya sederhana dan bahkan agak kasar, namun seluruh sikap dan pribadinya membayangkan keterbukaan, kejujuran dan kesederhanaan. Alangkah jauh bedanya dengan para pemuda yang dikenalnya atau yang diperkenalkan Lu-ma kepadanya, bahkan yang telah dilayaninya. Mereka itu pada umumnya pemuda yang tampan, kaya raya, pesolek, berlagak dan pura-pura. lapun dapat menerima sikap jujur itu dengan gembira dan berkata sambil tersenyum manis.

"Baiklah, aku akan menyebutmu koko (kakak) Han Si Tiong. Akan tetapi, Tiong-ko (kakak Tiong), engkaupun harap jangan menyebutku nona. Akupun hanya seorang.... gadis biasa saja yang tidak pantas menerima penghormatan dari seorang gagah sepertimu."

"Aku akan menyebutmu adik. Yi-moi (adik Yi), bagaimana engkau seorang gadis berada di sini seorang diri dan dikeroyok oleh segerombolan orang jahat tadi?"

"Aku.... aku.... diganggu mereka dan karena tidak mau melayani, mereka lalu mengeroyokku. Tiong-ko, banyak terima kasih atas pertolonganmu tadi." Tentu saja saja Hong Yi merasa rikuh sekali untuk mengaku terus terang apa yang menjadi sebab perkelahiannya dengan orang-orang tadi. Kalau menceritakan dengan terus terang, ia akan terpaksa harus menceritakan bahwa la adalah seorang pelacur!

"Ah. Yi-moi, tidak perlu dibicarakan lagi hal itu. Kalau seorang laki-laki melihat wanita dikeroyok banyak laki-iaki tanpa turun tangan menolong, dia adaiah seorang pengecut dan aku tidak mau disebut seorang pengecut. Sekarang, mari kuantar engkau pulang. Di manakah rumahmu?"

Hong Yi menuding ke depan di mana sudah tampak tembok kota Cin-koan.

"Rumahku di kota Cin-koan itu, akan tetapi terima kasih, Tiong-ko, engkau tidak perlu menyusahkan diri mengantar aku pulang."

"Sama sekali tidak menyusahkan diri, Yi-moi, Aku mengantarmu sampai ke rumah dengan selamat. Aku khawatir kalau orang-orang jahat tadi akan kembali menghadang dan mengganggumu. Aku harus mengantar dan mengawalmu, Yi-moi," kata Han Si Tiong dengan suara tegas.

Hong Yi menghela napas panjang. la merasa kasihan kepada pemuda gagah itu kalau sampai ketahuan orang bahwa pemuda itu mengantar ia, seorang pelacur pulang. Untuk membuat pemuda itu mundur, terpaksa ia harus mengaku siapa dirinya.

"Tiong-ko, ketahuilah bahwa aku.... aku.... tidak sepantasnya engkau antarkan pulang. Aku tidak berharga untuk kaukawal, Tiong-ko. Hal itu hanya akan merendahkan namamu dan mencemarkan kehormatanmu."

Han Si Tiong terbelalak, lalu mengerutkan alisnya yang hitam tebal.

"Eh, apa maksudmu kata-katamu itu, Yi-moi? Apa artinya itu?"

"Tiong-ko, ketahuilah, aku sama sekali bukan seorang gadis terhormat seperti yang kausangka. Aku.... aku.... hanya seorang gadis pelacur....! Dua orang di antara mereka tadi hendak memaksaku melayani mereka dan aku menolak, maka mereka menjadi marah dan hendak mengeroyokku... nah, engkau tahu sekarang siapa diriku, karena itu tidak sepantasnya engkau mengantar aku.... selamat tinggal Hong Yi lalu membalikkan tubuhnya dan berjalan cepat meninggalkan Si Tiong menuju ke kota Cin-koan.

Akan tetapi ia mendengar langkah kaki di belakangnya. Hong Yi menengok dan ternyata pemuda itu berjalan mengikutinya tanpa bicara.

"Eh, Tiong-ko, mengapa engkau mengikuti aku?"

"Aku harus mengawalmu pulang," jawab pemuda itu singkat.

"Akan tetapi aku.... aku...."

"Engkau juga seorang manusia, bukan? Selama engkau seorang manusia, engkau tidak ada bedanya dengan aku."

Hong Yi menghela napas dan melanjutkan langkahnya, tetap diikuti oleh Si Tiong.

"Akan tetapi, pekerjaanku...."

"Aku tidak menilai manusia dari pekerjaannya, kedudukannya, atau keadaan harta dan kepintarannya, melainkan dari sikap dan perbuatannya. Dan aku melihat sikap dan tindakanmu terhadap orang-orang jahat tadi cukup baik dan mengagumkan, Yi-moi."

"Tiong-ko...." Hong Yi berkata lirih lalu diam dan melanjutkan langkahnya, diikuti oleh Si Tiong. Mereka tidak bercakap-cakap lagi tenggelam dalam lamunan masing-masing. Han Si Tiong yang sudah berusia dua puluh lima tahun itu belum pernah bergaul dan berdekatan dengan wanita, bahkan belum pernah merasa tertarik kepada wanita. Akan tetapi sekali ini dia merasa tertarik dan kagum sekali kepada Hong Yi. Bukan saja tertarik dan kagum akan kecantikan gadis itu dan kegagahannya berani melawan pengeroyokan banyak laki-laki, akan tetapi juga kagum mendengar pengakuan gadis itu bahwa ia seorang pelaCur. Pengakuan ini saja membuktikan bahwa gadis ini berwatak jujur dan tidak menyembunyikan keadaan dirinya agar dianggap terhormat. Dan dia melihat dan merasakan bahwa biarpun gadis ini mengaku dirinya sebagai pelacur, namun sikapnya sama sekali tidak membayangkan sebagai seorang wanita yang tidak mengenal kesusilaan. Kenyataan ini membuat hati Si Tiong menjadi penasaran dan dia ingin sekali mengetahui mengapa seorang gadis seperti Liang Hong Yi ini sampai menjadi seorang wanita penghibur pria.

Hong Yi juga; melamun dan jantungnya merasa berdebar-debar. la sendiri belum pernah jatuh cinta kepada seorang pria. Biarpun ia terpaksa menyerahkan diri untuk melayani pria, namun hal itu hanya dilakukan tubuhnya saja. Perasaan hatinya tidak pernah tersentuh oleh cinta nafsu. Sekarang, setelah ia mengetahui isi ramalan dari Kwan-im-bio ten-tang pertemuannya dengan harimau putih dan seorang laki-laki bermarga Han yang kemudian menjadi kenyataan, hatinya terguncang. la merasa seolah-olah kemunculan pemuda ini mempunyai arti yang penting sekali dalam kehidupannya, seolah-olah pemuda ini akan mendatangkan perubahan besar dalam hidupnya. Ia sendiri tidak tahu apakah ia jatuh cinta, akan tetapi yang jelas, ia merasa kagum dan berhutang budi kepada si Han Tiong yang kini mengawalnya dengan Jangkah tegap di belakangnya.

Baru saja Hong Yi tiba di depan pintu rumah pelesir Bunga Seruni, Lu-ma sudah menyambut dengan wajah berseri dan mata mengandung penuh pertanyaan dan harapan. Saking tegangnya, ia hanya memperhatikan Hong Yi dan seolah tidak melihat bahwa gadis itu datang bersama. Han Si Tong.

"Bagaimana, Hong Yi, ramalan apa yang kaudapatkan?" tanyanya penuh keinginan tahu.

Hong Yi tersenyum dan menoleh kepada Si Tiong lalu memperkenalkan pemuda itu.

"Bibi, taihiap (pendekar besar) ini adalah Han Si Tiong yang telah menyelamatkan aku ketika para piauwsu tadi mengeroyokku di jalan bersama teman-temannya. Tiong-ko, ini adalah bibiku Lu-ma."

Barulah Lu-ma memperhatikan pemuda itu dan mendengar bahwa pemuda itu telah menyelamatkan Hong Yi dari pengeroyokan banyak orang, ia bersikap ramah dan hormat walaupun alisnya berkerut melihat pemuda itu berpakaian kain kasar sederhana karena biasanya para pria yang berkunjung ke situ semua berpakaian mewah dan indah.

"Ah, Han-taihiap, silakan masuk dan silakan duduk." la mempersilakan pemuda itu masuk ke ruangan tamu. Mereka bertiga memasuki ruangan tamu dan ketika Si Tiong melihat beberapa orang gadis muda dan cantik berpakaian indah duduk di ruangan itu, dia menjadi ragu dan memandang kepada Hong Yi.

"Yi-moi, maafkan aku. Karena engkau sudah sampai di rumah dengan selamat, maka aku mohon pamit, hendak melanjutkan perjalananku." Dia dapat menduga bahwa empat orang gadis cantik yang tersenyum-senyum manis itu tentulah para gadis penghibur. Walaupun dia sendiri belum pernah berkunjung ke rumah hiburan, namun dia pernah mendengar tentang rumah pelacur semacam itu.

Hong Yi terkejut mendengar inl.

"Nanti dulu, Tiong-ko. Harap engkau suka duduk dulu...." Hong Yi melihat betapa pemuda itu melirik ke arah para gadis penghibur dengan alis berkerut dan tahulah ia mengapa pemuda itu tergesa-gesa hendak pergi. Ia membei isarat kepada empat orang gadis itu untuk meninggalkan ruangan tamu. Empat orang gadis itu mengerti dan sambil tersenyum sinis mereka lalu meninggalkan ruangan tamu dan memasuki ruangan dalam.

"Silakan, Tiong-ko. Silakan duduk dulu, Aku akan bicara dengan Bibi Lu-ma sebentar." Hong Yi bertepuk tangan dan muncullah seorang pelayan wanita setengah tua.

"Bibi, hidangkan minuman dan makanan kering untuk tamu!" Setelah mengangguk lagi kepada Si Tiong, Hong Yi lalu menarik tangan Lu-ma, diajak masuk ke dalam kamarnya.

"Bibi, telah terjadi hal yang aneh dan luar biasa sekali padaku!" kata Hong Yi sambil duduk di atas kursi dalam kamarnya dan Lu-ma duduk di sebelahnya.

"Apa yang telah terjadi? Engkau tampak begini tegang dan gembira," tanya Lu-ma yang memang sudah ingin sekali mendengar apa yang dialami Hong Yi ketika pergl ke kuil Kwan-im-bio.

"Aku telah sembahyang di kuil dan minta ramalan dan inilah hasil ramalan itu." la mengeluarkan sehelai kertas lalu membacanya dengan lirih agar jangan sampai terdengar dari luar kamar.

"Harimau Putih bukan untuk ditakuti seyogianya menjadi teman sejati temuilah seorang bermarga Han bersamanya berjaya di Lin-an.

"Wah, menarik sekali. Tapi, apanya yang luar biasa dan aneh?"

"Begini, bibi. Ketika aku pulang dan berada di jalan sunyi, tiba-tiba aku melihat seekor harimau putih yang besar.

"Ehh? Lalu bagaimana?" Lu-ma semakin tertarik.

"Karena takut kalau-kalau hanimau putih itu menyerangku, aku lalu menyambitnya dengan batu. Dia lari ke belakang semak-semak dan ketika aku mengejarnya, dia lenyap dan di belakang semak semak itu aku melihat seorang pemuda terbangun dari tidurnya. Kukira dia terinjak harimau itu, akan tetapi harimaunya lenyap".

"Hemmm, mungkin harimau putih itu semangatnya yang keluar ketika dia ter tidur kata Lu-ma.

"Kemudian bagaimana?".

"Aku lalu melanjutkan perjalanan dan tiba-tiba muncul delapan orang, di antaranya dua orang piauw-su (pengawal barang) yang kuhajar di sini, dan mereka mengeroyokku. Aku tentu celaka kalau saja tidak ditolong orang. Dan engkau tahu, bibi, siapa penolong itu? Dia bukan lain adalah pemuda yang kulihat terbangun dari tidur di belakang semak-semak di mana harimau putih itu lenyap! Dan yang lebih aneh lagi, namanya Han Si Tiong, dia bermarga Han seperti yang dikatakan ramalan Kwan-im-bio itu! Dan dia itulah orangnya!" Hong Yi menudingkan telunjuknya ke arah luar di mana si Han Si Tiong duduk di ruangan tamu.

Lu-ma terbelalak.

"Wah.... cocok benar, coba, bagaimana bunyi ramalan itu tadi? Harimau putih bukan untuk ditakuti seyogianya menjadi teman sejati, temuilah seorang bermarga Han, bersamanya berjaya di Lin-an. Hemm, sungguh cocok pula dengan mimpiku. Hong Yi, tidak salah lagi, dialah jodohmu dan engkau akan menjadi orang besar kelak bersamanya kalau kalian berdua pergi ke Lin-an!.

"Tapi, bibl...." terkejut juga hati Hong Yi mendengar ucapan itu karena sebelumnya lak pernah sedikitpun terpikir, olehnya tentang kemungkinan perjodohan dengan seorang laki-laki yang baru saja dijumpainya.

"Tapi apa lagl, Hong Yi? Biarpun aku baru melihat sekejap, dia masih muda bertubuh tegap dan wajahnya tidak buruk apalagi dia adalah seorang pendekar yang telah menolongmu. Apakah engkau tidak mau menjadi isterinya?"

Hong Yl menghela 'napas panjang.

"Entahlah, bibi, akan tetapi yang perlu dipertanyakan, apakah dia mau menjadl suamiku?"

"Kalau begitu, berarti engkau mau menjadl isterinya, bukan? Biarkan aku bertanya kepadanya sekarang juga. Hong Yi, firasatku mengatakan bahwa kelak engkau akan dapat hidup mulia bersamanya. Semua cocok dengan mimpiku dan cocok pula dengan ramalan Kwan-im-bio" Tanpa menanti jawaban Hong Yi wanita itu lalu melangkah keluar dari kamar Hong Yi menuju ke ruangan tamu. Hong Yi tidak mencegah. la hanya pasrah. Bukankah jauh lebih baik menjadi isteri seorang pendekar budiman yang gagah perkasa daripada menjadi seorang pelacur hina? Pelacur hina? Hong Yi tercenung dan melamun. Pertanyaan ini selalu menggores kalbunya. Pelacur dianggap oleh umum sebagai wanita yang kotor, rendah, dan hina, bahkan nyaris tidak dipandang sebagai manusia lagi, melainkan sebagai sampah masyarakat yang selalu dikutuk dan dimaki. Orang tidak perduli dan tidak mau tahu lagi tentang. alasan mengapa para wanita itu menjadi pelacur. la sendiri yang langsung terjun, ke dalam dunia pelacuran, walaupun belum lama dan hanya jarang saja ia diharuskan melayani pria, ia mengenal kehidupan mereka dan tahu mengapa mereka itu terpaksa menjadi pelacur. Sebagian besar dari mereka adalah korban kemelaratan, korban kelemahan mereka dan korban laki-laki! Seperti Siu Lin itu, la anak keluarga miskin di dusun yang sudah tenggelam dalam hutang sampai ke leher mereka. Ayahnya terpaksa mentegakan hati menjual anak perempuannya itu ke rumah hiburan yang dikelola Lu-ma. Hasil penjualan gadisnya itu untuk melunasi hutang-hutangnya, menebus sepetak sawah yang digadaikan sehingga keluarga itu dapat lagi bercocok tanam dan menghidupi semua anggauta keluarga. Penghasilan inipun masih tidak mencukupi kebutuhan perut suami isteri dengan sisa lima orang anak itu sehingga Siu Lin harus membantu keluarga orang tuanya, menyisihkan sebagian hasil pekerjaannya menjual diri untuk memungkinkan adik-adiknya makan setiap hari.

Gadis penghibur yang bernama Si Hu itu tidak lebih baik nasibnya daripada Siu Lin. Kalau Siu Lin menjadi korban kemelaratan orang tuanya, Si Hu menjadi korban kejahatan dan kekejaman laki-laki. Iapun dari keluarga melarat dan ketika ia berusia tujuh belas tahun, pada suatu hari yang naas baginya ia diperkosa oleh seorang penjahat. Penjahat itu kemudian melarikan diri meninggalkan Si Hu yang bukan hanya kehilangan kehormatannya melainkan juga kehilangan nama baik. Peristiwa itu membuat ia dicemoohkan dan dipandang rendah orang karena ia sudah bukan perawan lagi. Kaum wanita mencibirkan bibir kepadanya, dan kaum pria bersikap kurang ajar dan berusaha untuk menggoda dan mengganggunya, menganggap ia seorang wanita murahan! Dalam keadaan seperti itu, para pemuda yang tadinya menaruh perhatian untuk mempersuntingnya sebagai isteri, satu demi satu mengundurkan diri dan mereka itu tidak lagi berhasrat untuk memperisteri Si Hu, melainkan Untuk menjinai dan mempermainkannya. Lebih menghancurkan hatinya lagi, orang. tuanya merasa malu dan akhirnya iapun, meninggalkan dusunnya dan ditampung oleh Lu-ma untuk menjadi gadis penghibur atau pelacur.

Kui Nio lain lagi. la sudah bertunangan. Akan tetapi ketika tunangannya merayunya, ia jatuh dan menyerahkan dirinya digauli tunangannya sebelum mereka menikah. Kemudian, bagaikan seekor kumbang yang telah menghisap sari madu setangkai bunga, tunangannya itu meninggalkannya begitu saja! Karena keadaannya yang sudah tidak perawan lagi itu tidak memungkinkan ia untuk dapat memperoleh suami lagi, ia melarikan diri dari dusunnya untuk menghindarkan aib dan malu dan akhirnya karena ia butuh sandang pangan dan tidak dapat bekerja lain, tidak bermodal uang, terpaksa ia . menjadi pelacur bermodalkan tubuhnya yang masih muda dan segar dan wajahnya yang cukup manis. Kui Nio inipun menjadi pelacur akibat kejahatan laki-laki.

Siok Li dan Ceng Nio keduanya adalah janda muda beranak satu yang diceraikan suami mereka. Sebagai janda dengan anak satu mereka harus mencukupi kebutuhan anak dan diri mereka sendiri. Merekapun tidak dapat bekerja lain kecuali memperdagangkan dirinya. Kembali kedua orang inipun menjadi korban pria yang tidak bertanggung jawab.

Memang ada beberapa orang gadis penghibur, tidak banyak jumlahnya, yang terjun ke dunia pelacuran karena ingin hidup kecukupan, ingin mencari uang dengan mudah. Ada pula, dan yang ini hanya sedikit sekali jumlahnya, yang menjadi pelacur selain mencari uang mudah, juga untuk mencari kesenangan dan kepuasan diri.

Akan tetapi, apapun alasannya orang tidak mau mengerti dan tetap saja pelacur selalu dipandang rendah dan hina. Sedangkan, anehnya, para laki-laki yang datang melacur, sama sekali tidak dipandang rendah atau hina! Padahal, dalam pandangan Hong Yi, para pria yang datang untuk melacur itu jauh lebih rendah dan hina ketimbang pelacurnya! Sejahat-jahat dan sejelek-jeleknya pekerjaan seorang pelacur, ia masih mempunyai mengandung banyak jasa. la menghibur hati pria yang sedang kesepian, ia menjadi tempat penampungan dan pelarian bagi pria yang sedang berduka atau patah hati, iapun menjadi tempat penyaluran nafsu yang kalau tidak tersalur dapat saja menimbulkan adanya perkosaan atau perjinaan. Betapapun rendahnya dipandang orang, apa yang ia lakukan adalah sebuah pekerjaan, sumber nafkah, dan dalam melakukan pekerjaan itu ia tidak mengkhianati siapa-siapa, iapun tidak memaksa orang untuk membeli tubuhnya. Semua terjadi dengan suka rela dan senang hati. Sebaliknya, para pria yang datang melacur tetap dihormati orang. Padahal apa yang mereka lakukan? Pria melacur karena iseng dan semata-mata untuk mencari kesenangan dan melampiaskan nafsunya. Dan yang lebih jahat lagi, dia mengkhianati tunangannya atau isterinya yang setia menunggunya di rumah!



KISAH SI NAGA LANGIT JILID 04


Hong Yi menghela napas panjahg. la menyadari sepenuhnya bahwa melacur adalah pekerjaan yang rendah dan hina. Akan tetapi apa daya seorang wanita? la sendiri seorang yatim piatu yang sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini. la tidak tahu bagaimana harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Pada waktu itu, lapangan kerja untuk wanita amatlah sempit dan sulit. Paling bisa seorang gadis akan diterima sebagai pembantu rumah tangga, pelayan. Dan bukan rahasia lagi bahwa pembantu wanita yang muda, apalagi cantik, pasti akan menjadi permainan majikan prianya! Akibatnya lebih payah lagi Seorang pelacur setidaknya masih dapat memilih pria mana yang akan dilayaninya. Akan tetapi seorang pelayan rumah tangga? la tiada ubahnya seorang budak belian.

Kembali Hong Yi menghela napas panjang. Apapun alasannya, seorang pelacur tetap saja dipandang rendah oleh umum. la sendiri seorag pelacur, walaupun keadaannya jauh lebih baik dibandingkan para gadis pelacur lainnya karena Lu-ma sayang kepadanya, namun tetap saja ia seorang pelacur. Laki-laki hanya sayang dan suka kepadanya sebagai mainan yang menyenangkan, yang menghibur, akan tetapi tentu saja tidak akan ada laki-laki yang menghormatinya dan mau menerimanya sebagai seorang isteri! Dan sekarang Lu-ma, bibinya itu, hendak menjodohkan ia dengan Han Si Tiong! Mana mungkin pemuda itu sudi menerimanya sebagai seorang isteri? Biarpun pemuda itu tampak miskin, namun ia seorang pemuda gagah perkasa, seorang pendekar! Kalau tadi Han Si Tiong tidak memandang rendah kepadanya dan mau mengantarnya pulang walaupun la sudah/Hg mengaku bahwa ia seorang pelacur, hal itu tentu hanya terdorong oleh kependekarannya yang ingin menolong seorang wanita yang diganggu orang-orang jahat. Akan tetapi menjadi suaminya? Ah, rasanya tidak mungkin!

Pada saat itu, di ruangan tamu, Han Si Tiong memandang wajah Lu-ma dengan kedua mata terbelalak dan hampir tidak dapat percaya akan apa yang didengarnya.

"Bibl Lu, tak salahkah apa yang kudengar darimu tadi? Coba ulangi lagi apa yang kauusulkan tadi, bibi. Aku khawatir kalau aku salah mendengar'." kata pemuda itu sambil menatap wajah wanita itu penuh selidik.

"Engkau tidak salah dengar, Han-tai-hiap. Ketahuilah, Liang Hong Yi adalah keponakanku yang kusayangi seperti anak kandungku sendiri. Sudah lama aku mengiginkan agar ia dapat berjodoh denganseorang pemuda yang baik, yang akan dapat melindunginya. Setelah bertemu deganmu, kami yakin bahwa engkaulah orangnya yang kami tungu-tunggu, engkaulah jodoh yang terbaik untuk Hong Yi, taihiap."

Karena sudah mendengar untuk kedua kalinya, Si Tiong tidak terkejut lagi, akan tetapi tetap saja masih merasa heran dan ragu. Usul ini terlalu tiba-tiba datang-nya dan sama sekali tidak tersangka-sangka.

"Akan tetapi...."

Lu-ma mengira bahwa keraguan Si Tiong itu karena mengingat akan pekerjaan Hong Yi, maka iapun cepat memotong,

"Han-taihiap, Hong Yi adalah keponakanku sendiri dan aku amat sayang kepadanya. Karena itu, biarpun ia pernah melayani pria, akan tetapi selalu kupilihkan pria yang terbaik untuknya dan itupun Jarang sekali terjadl. Ia bukan seperti para gadis penghibur lalnnya, taihiap".

"Bukan Itu maksudku bibi. Akan tetapi.... ketahuilah bahwa aku adalah seorang pemuda yang tidak memiliki apa-apa, rumah tiada, uang tiada, bahkan kerjaanpun sedang kucari. Baru saja aku ditinggal mati ibuku dan ayahku.... sejak aku berusia sepuluh tahun telah meninggalkan ibuku dan aku. Aku seorang yang hidup sebatang kara, miskin dan papa, bibi. Bagaimana aku dapat berjodoh dengan adik Hong Yi? Bagaimana aku dapat menikah dengan keadaanku seperti ini?"

Lega rasa hati Lu-ma mendengar ucapan pemuda itu. Tadinya ia khawatir pemuda itu menolak karena Hong Yi adalah seorang pelacur, akan tetapi ternyata tidak. Bahkan pemuda itu merasa dirinya tidak berharga karena yatim piatu dan miskin.

"Oooh, kalau soal itu, taihiap tidak usah khawatir dan tidak perlu repot repot kami mengharapkan jodoh Hong Yi seo-rang pria yang baik dan bertangung jawab. Kami tidak men'cari pria yang kaya. jangan khawatir, Han tai-hiap, kami tidak mengharapkan emas kawin sekepingpun darimu, bahkan untuk semua keperluan perayaan, termasuk pakaian untuk sepasang mempelai, kami sendiri yang akan membeayainya. Hanya satu yang ingin kami ketahui, taihiap. Sebetulnya engkau sedang menuju ke manakah dalam perantauanmu ini?"

"Aku hendak mencari pekerjaan ke kota Lin-an (Hang-chow) di selatan bibi." Lu-ma hampir bersorak. Cocok sekali dengan ramalan Kwan-im-bio itu.

"Bagus! Aku yakin bahwa bersama Hong Yi, engkau akan dapat memperoleh kedudukan yang baik dan tepat di Lin-an. Kita rayakan pernikahan kalian di sini, kemudian kalian berdua berangkat ke Lin-an!"

Ketika Hong Yi mendengar dari Lu-ma bahwa Han Si Tiong sudah menyetujui perjodohan itu, diam-diam merasa girang sekali. Akan tetapi ia adalah seorang gadis yang bijaksana dan ia tidak puas dengan keterangan Lu-ma begitu saja. Setelah mendengar dari Lu-ma bahwa Si Tiong sudah setuju, ia langsung menemui pemuda itu yang masih duduk di ruangan tamu.

Biarpun merasa rikuh dan canggung karena malu, Hong Yi duduk di depan pemuda itu, terhalang meja dan sejenak mereka saling pandang. Kemudian Hong Yi, setelah menatap pemuda itu penuh selidik seolah hendak menjenguk ke dalam dadanya, berkata lirih.

"Tiong-ko, sudah bulatkah keputusanmu bahwa engkau sudi menerimaku sebagai isterimu? Sudah kaupikirkan masak-masak dan engkau tidak akan menyesal di kemudian hari? Ingat, Tiong-ko, aku adalah seorang...,

"....huussshhh...., Yi-moi, aku tidak mau dengar itu. Bagiku, engkau seorang gadis yang baik dan halus budi," potong Si Tiong.

"Akan tetapi, engkau seorang pendekar gagah perkasa, sedangkan aku...

"

"Engkaupun seorang gadis yang gagah perkasa, Yi-moi. Begitu bertemu denganmu, aku merasa kagum dan suka. Maka, ketika bibi Lu mengusulkan tentang perjodohan denganmu, aku merasa seolah-olah kejatuhan rembulan! Aku hanya masih meragu apakah kelak engkau tidak akan menyesal menjadi isteriku, Yi-moi. Aku seorang yang hidup sebatangkara, tidak mempunyai apa-apa, tidak ada keluarga, tidak ada rumah, bahkan belum mempunyai pekerjaan! Bagaimana engkau dapat hidup berbahagia menjadi isteri seorang pengangguran seperti aku?"

"Akan tetapi tidak selamanya engkau menganggur, Tiong-ko. Kata bibi Lu-ma, engkau akan pergi ke Lin-an untuk mencari pekerjaan."

"Benar, Yi-moi. Setelah melangsungkan pernikahan, aku akan berangkat ke Lin-an untuk mencari pekerjaan. Aku mendengar pemerintah kerajaan membutuhkan perajurit."

"Bagus aku akan ikut denganmu, Tiong-ko. Aku akan membantumu sekuat tenaga dan aku akan berusaha menjadi isterimu yang baik."

"Aku senang Yi-moi. Mudah-mudahan engkaupun tidak akan kecewa memilih aku sebagai suamimu."

Tidak ada janji muluk-muluk di antara mereka, tidak ada ucapan pernyataan cinta, namun pandang mata mereka menyinarkan hasrat untuk saling membahagiakan. Hasrat ini sudah cukup kuat sebagai pengikat batin bagi .dua orang yang akan hidup bersama selamanya, jauh lebih kuat dari pada ikatan cinta yang hanya didasari nafsu tertarik oleh keindahan rupa atau berkilaunya kedudukan atau harta benda.

Upacara dan perayaan pernikahan itu diadakan secara sederhana namun cukup meriah. Lu-ma mengundang para langganan yang baik dan sopan saja. Memang aneh bahwa sebuah rumah hiburan menjadi tempat perayaan pernikahan sepasang pengantin, apa lagi yang mempunyai kerja adalah sang mucikari sendirl dan yang dlnikahkan adalah Liang Hong Yi yang bagl beberapa orang laki-laki tertentu, kebanyakan para bangsawan yang mengagumi Hong Yi, merupakan seorang gadis yang arnat menawan hati. Seorang di antara para bangsawan yang pernah dilayani Hong Yi adalah Ciang Kongcu (Tuanmuda Ciang). Dia merasa gembira dan terharu mendengar Hong Yi menikah. Dia memerlukan datang menghadiri perayaan dan ketika mendengar bahwa suami Hong Yi adalah seorang pendekar yang hendak mencari pekerjaan ke kota raja Lin-an, dia lalu menulis sesampul surat dan menyerahkannya kepada Hong Yi dan Tiong yang duduk di pelaminan.

"Aku hanya dapat memberi ini sebagai sumbangan, mudah-mudahan ada manfaatnya bagi kalian. Selamat menempuh hidup baru di kota raja!" kata pemuda bangsawan itu.

"Terima kasih, Kongcu." kata Hong Yi dan Si Tiong juga mengucapkan terima-kasih.

Surat itu untuk Ciang Goanswe (Jenderal Ciang), dia pamanku dan mungkin dia akan dapat membantu." kata pula Ciang Kongcu lalu dia kembali ke tempat duduknya.'

Setelah menikah, kedua mempelai itu membuat persiapan untuk melakukan perjalanan ke Lin-an. Mereka tinggal di rumah pelesir Bunga Seruni dalam kamar Hong Yi selama sepekan. Keduanya merasa berbahagia sekali karena setelah menikah mereka berdua merasa cocok satu sama lain, merasa betapa masing-masing dihargai dan dihormati, dilayani dan diperlakukan dengan penuh kelembutan dan kemesraan sehingga dari penghormatan dan kemesraan ini bertunaslah cinta kasih yang mendalam. Lu-ma ikut sibuk membuat persiapan. Wanita yang amat menyayang Hong Yi itu mempersiapkan segala macam perbekalan. Dengan hati tulus ia menguras uangnya untuk membelikan pakaian secukupnya untuk sepasang suami isteri itu. Bahkan untuk melakukan perJalanan yang cukup Jauh itu ia menyewa sebuah kereta yang tentu saJa cukup mahal. Pada hari terakhir keberangkatan mereka, tiada hentinya Lu-ma menyusut air matanya.

Setelah selesai berkemas dan barang-barang yang hendak dibawa sudah dimasukkan kereta yang dikusiri seorang laki-laki setengah tua, Lu-ma merangkul dan menciumi pipi Hong Yi yang juga basah air mata. Gadis ini pun terharu sekali menlnggalkan blblnya yang amat menyayanginya.

"Hong Yi, dan engkau juga Si Tiong, kuingatkan lagi pesanku kepada kalian. Kalau kalian sudah tiba di Lin-an, jangan lupa memberi kabar kepadaku. Ceritakan bagaimana keadaanmu dan apakah sudah memperoleh pekerjaan. Si Tiong, jaga baik-baik isterimu, dan Hong Yi, kalau kalian sudah mapan di Lin-an, jemputlah aku. Engkaulah satu-satunya orang yang kumiliki, engkau satu-satunya keponakan, juga anakku. Aku ingin melihat mimpiku menjadi kenyataan dan hidup bersamamu, mengasuh anak-anakmu." Lu-ma menangis dan menciumi Hong Yi. Sembilan orang gadis penghibur juga keluar untuk mengucapkan selamat jalan dan hampir semua dari mereka menangis terharu. Mereka semua merasa nelangsa, merasa kesepian dan merasa betapa sengsara hidup mereka dan diam-diam mereka merasa iri terhadap Hong Yi yang memperoleh kebahagiaan di samping seorang suami.

Setelah puas mengucapkan selamat tinggal dan berpelukan dengan mereka semua, akhirnya Hong Yi dan Si Tiong memasuki kereta yang segera bergerak meninggalkan Rumah Hiburan Bunga Seruni, diiringi tangis Lu-ma dan lambaian tangan para gadis penghibur. Kereta terus meluncur keluar dari kota Cin-koan menuju ke kota raja Lin-an.

* * *

Seperti telah disinggung sedikit di bagian depan kisah ini, Kerajaan Sung yang didirikan oleh Panglima Chao Kuang Yin yang kemudian menjadi kaisar pertama dari Kerajaan Sung berjuluk Kaisar Sung Thai Cu, yang dengan susah payah telah mempersatukan kembali daratan Cina pada tahun 960, seratus enam puluh tahun kemudian, yaitu pada tahun 1126, terpaksa harus berantakan dan kehilangan hampir separuh wilayahnya sebelah utara.

Mula-mula, bangsa yang dianggap bangsa liar, yaitu bangsa Nunchen atau juga dikenal sebagai bangsa Kin atau Kim (Emas) yang tinggal di lembah Sungai Sungari di Mancuria, menghimpun kekuatan besar yang dahsyat dan mereka menyerang Kerajaan Liao, yaitu bangsa Khitan. Setelah melalui perang sengit, akhirnya Bangsa Kin berhasil menalukkan kerajaan bangsa Khitan yaitu Kerajaan Liao. Peristiwa ini terjadi dalam tahun 1124 dan sisa bangsa Khitan yang tidak tewas melarikan diri ke barat dan mengungsi ke Turkestan Barat. Di sana bangsa Khitan tinggal di Lembah Ili dan kemudian mereka dikenal sebagai orang Kerait, Karakitan, Kitai atau Catai. Mereka mendirikan kerajaan kecil yang bertahan sampai akhirnya musna karena kebangkitan bangsa Mongol kelak.

Pada waktu itu yang menjadi kaisar dalam Kerajaan Sung adalah Kaisar Hui Chung. Kaisar ini berwatak lemah dan banyak menggantungkan keputusannya kepada perdana menterinya, yaitu Cai Ching. Kaisar Hui Chung dan para penasehatnya bersikap tidak acuh terhadap peristiwa penalukan Kerajaan Liao oleh bangsa Kin itu.

Ketika Kerajaan Liao sudah hampir dikuasai seluruhnya oleh bangsa Kin, Gubernur Ping Chou sebagai pertahanan Kerajaan Liao terakhir, tidak mau tunduk kepada bangsa Kin, melainkan menyerahkan daerah itu kepada Kaisar Hui Cung. Tanpa berpikir panjang Kalsar Hui Cung mengikuti nasihat Perdana Menteri Cai Ching, menerima pengoperan kekuasaan atas daerah Ping Chou dan mengirim pasukan untuk menjaga daerah yang dimasukkan ke wilayah Kerajaan Sung itu. Hal ini membuat bangsa Kin marah sekali dan mereka lalu menyerbu ke selatan. Gelombang pasukan yang besar dan amat kuat, penuh dengan semangat berkobar menyerbu kerajaan Sung sampai ke kota raja! Kembali Kaisar Hui Cung yang lemah itu mengikuti nasihat Perdana Menteri Cai Ching dan memberi upeti dalam jumlah besar kepada pimpinan pasukan Kin. Tanda taluk ini memuaskan bangsa Kin yang menarik kembali pasukannya, kembali ke utara.

Para menteri protes kepada Kaisar Hui Cung tentang tindakan atau nasihat Perdana Menterl Cai Ching yang mendatangkan kerugian besar kepada kerajaan. Atas desakan para menterl, Perdana Menteri Cal Ching lalu dlhukum buang karena dla dianggap yang bertanggung Jawab atas malapetaka yang menimpa kerajaan Sung. Akan tetapl Kalsar Hul Cung yang tidak memlllkl pendirian tegas Itu kembal! melakukan kesalahan yang besar sekali. Dia kembali mengikuti nasihat para pejabat tinggi yang menggantikan kedudukan Perdana Menterl Cai Ching. Para menterl Itu menasihatkan bahwa Kaisar Hul Cung tidak seharusnya mengalah kepada bangsa Kln yang liar. Membayar upeti kepada mereka berarti menerima penghinaan maka sudah sepatutnya kalau mengirim pasukan mengejar dan menyerang mereka untuk membalas penghinaan dan mempertahankan kehormatan kerajaan Sung. Kaisar Hui Cung tanpa berpikir panjang menerima nasihat ini dan mengirim pasukan melakukan pengejaran terhadap pasukan Kin yang ditarik mundur lalu menyerangnya. Tentu saja bangsai Kin menjadi marah sekali. Mereka menghimpun kekuatan besar dan kembali lagi ke selatan. Terjadi perang besar-besaran dan akibatnya kota raja Kai Feng jatuh ke tangan bangsa Kin dan Kaisar Hui Cung bersama kurang lebih tiga ribu orang pembesar kerajaan Sung dibawa sebagai tawanan perang! Sisa keluarga istana bersama pasukan Sung yang kalah perang melarikan diri ke selatan, terus dikejar oleh pasukan Kin sampai menyeberangi Sungai Yang-ce dan tiba di kota Hang-chou dan Ning-po. Mulai saat itulah Kerajaan Sung kehilangan wllayah yang luas sekali di bagian utara. Peristiwa ini terjadi mulal tahun 1126 sampai 1129. Mulai waktu itulah Kerajaan Sung mendapat sebutan Sung Selatan dan kota rajanya bernama Lin-an (Hang-chouw).

Kaisar Kao Tsung (1127-1162) berusaha keras untuk melawan kekuasaan bangsa Kin. Dia mengumumkan panggilan terhadap para patriot yang gagah perkasa untuk berbakti kepada negara dan bangsa, untuk memperkuat barisan kerajaan.

Pada suatu hari, sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda memasuki pintu gerbang utara kota raja Lin-an. Melihat dua ekor kuda yang tampak kelelahan dan kereta yang kotor berdebu, mudah diduga , bahwa kereta itu tentu telah melakukan perjalanan yang jauh. Setelah tiba di tengah kota, kereta itu berhenti dan kusirnya turun lalu memegangi kendali kuda.

"Sicu, kita sudah masuk kota raja dan berada di tengah kota. Hanya sampai di sini saya mengantar sicu berdua." Kata kusir itu kepada penumpangnya. Penumpang kereta itu bukan lain adalah Han Si Tiong dan isterinya, Liang Hong Yi. Si Tiong membuka tirai kereta dan memandang keluar. Kereta itu berhenti di depan sederetan pertokoan,

"Paman, bawalah kami ke sebuah rumah penginapan agar tidak susah lagi kami mengangkut barang-barang bawaan kami." kata Si Tiong kepada kusir.

Kusir itu naik kembali dan mehjalankan kereta. Sudah beberapa kali dia berkunjung ke kota raja Lian-an sehingga dia tahu di mana adanya rurnah penginapan. Setelah tiba di pekarangan sebuah rumah penginapan, si Tiong dan Hong Yi menurunkan barang-barang bawaan mereka dari kereta. Setelah menerima uang pembayaran sewa kereta, kusir lalu menjalankan keretanya keluar dari pekarangan rumah penginapan itu. Si Tiong dan Hong Yi mengangkuti barang-barang mereka, dibantu seorang pelayan rumah penginapan. Setelah mendapatkan sebuah kamar, mereka membawa barang-barang itu masuk kamar mereka.

Setetah mandi, bertukar pakaiari bersih dan sarapan di dalam rumah makan yang menjadi bagian dari rumah penginapan itu juga, suami isteri itu keluar dari rumah penginapan itu. Di jalan raya depan rumah penginapan itu amat ramai orang berlalu lalang dan banyak di antara mereka adalah pemuda-pemuda yang bersikap gagah. Mereka adalah orang-orang yang datang ke kota raja karena tertarik oleh pengunguman pemerintah yang membutuhkan orang-orang gagah untuk menjadi perajurit pasukan kerajaan.

"Yi-moi, keluarkan surat itu. Sebaiknya kita mencari alamat Ciang-goanswe itu." kata Si Tiong kepada isterinya yang menyimpan surat pemberian Ciang Kong-cu yang menjadi tamu dalam perayaan pernikahan mereka tempo hari.

"Apakah tidak lebih baik kita berjalan jalan dan melihat-lihat lebih dulu. Tiong-ko?"
"Tidak, Yi-moi. Kita harus dapat menemukan alamat itu dan menghadap Jenderal Ciang lebih dulu." kata Si Tiong dengan suara tegas sambil menatap tajam wajah isterinya. Tatapan mata yang mengandung penuh kasih sayang, namun juga mengandung keteguhan kemauan keras. Hong Yi tersenyum.

"Kenapa begini tergesa-gesa, Tiong-ko?"

"Tidak tergesa-gesa, Yi-moi. Akan tetapi kita harus lebih mementingkan pekerJaan daripada kesenangan. Kalau urusan kita telah selesai dan kita berhasil memperoleh pekerjaan, masih banyak sekali waktu bagi kita untuk bersenang-senang dan berpelesir di kota raja ini. Bukankah engkau pikir juga begitu?"

Mendengar ucapan yang beralasan kuat dan tidak dapat dibantah namun diucapkan dengan lembut dan dengan senyum membayang di mulut dan mata suaminya, Hong Yi hanya dapat mengangguk angguk dan tersenyum. la merasa senang sekali menemukan suatu sisi lain yang mengagumkan hatinya dari laki-laki yang menjadi suaminya ini, yaitu sikap tegas dan kemauan yang teguh.

"Baiklah, suamiku. Isterimu ini selalu siap untuk melaksanakan semua kehendakmu" katanya gembira.

"Nanti dulu, isteriku yang bijak! Aku tidak ingin melihat isteriku tercinta seperti seekor domba yang menurut ke mana saja engkau digiring. Engkau harus mempunyai pandangan dan pendirian sendiri dan dapat membantu dan mengingatkan aku kalau aku mengambil keputusan yang keliru. Kalau engkau hanya mengekor, bagaimana kalau keputusanku keliru? Tentu kita berdua akan keliru pula."

Hong Yi memperlebar senyumnya. la merasa semakin bangga dan kagum.

"Jangan khawatir, suamiku. Aku akan membantumu sekuat kemampuanku. Kita bekerja sama, bahu membahu, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, senang sama dinikmati, susah sama ditanggung."

"Bagus! Aku merasa bahagia sekali, Yi-moi, karena aku semakin yakin bahwa aku tidak salah memilih isteri, Nah sekarang kita lihat, alamat Jenderal Ciang itu".

Hong Yi mengeluarkan sesampul surat pemberian, Ciang Kongcu. Jenderal Ciang Sun Bo, seperti yang tertulis pada sampul surat itu, tlnggal di baglan barat kota raja. Mereka lalu segera menuju ke sana setelah bertanya kepada penduduk di mana rumah jenderal Itu. Ketika mereka berdua berjalan ke arah barat, mereka melihat banyak laki-laki muda juga berjalan menuju ke arah itu.

Setelah tiba dekat gedung besar dikelilingi pagar tembok tinggi itu mereka berdua mendapat kenyataan bahwa para orang muda itupun mempunyai tujuan yang sama dengan mereka, yaitu mendaftarkan diri masuk menjadi perajurit.

Mereka semua memasuki pintu gerbang yang dijaga oleh seregu perajurit. Berbondong-bondong para pemuda itu masuk dan berantri dalam ruangan depan di mana terdapat seorang petugas yang mendaftar nama mereka satu demi satu. Yang sudah didaftar namanya lalu dipersilakan masuk ke dalam ruangan lain untuk menjalani pemeriksaan badan, riwayat dan lain-lain. Ketika Si Tiong dan Hong Yi ikut antri di ruangan depan, tentu saja Hong Yi menjadi perhatian semua orang. Bukan hanya karena ia seorang wanita yang cantik, melainkan terutama sekali karena semua pendaftar adalah kaum pria, tldak pernah ada seorang wanita yang ikut mendaftarkan diri menjadi seorang calon perajurit. Hong Yi merupakan wanita satu-satunya, maka tentu saja ia menimbulkan keheranah akan tetapi juga kegembiraan bagi para pria muda yang berada di situ.

Kaisar Kao Tsung memang bersemangat sekali untuk menyerang Kerajaan Kin di utara. Hal ini adalah karena dia merasa sakit hati, bukan hanya mendendam karena bangsa Kin sudah merebut wilayah utara yang luas sekali sehingga dia terpaksa harus melarikan diri sampai ke Hang-couw, akan tetapi terutama sekali karena ayahnya, Kaisar Hui Cung, ditawan oleh mereka sehingga meninggal dunia dalam tawanan. Kaisar Kao Cung (Kao Tsung) ingin merebut kembali wilayah utara atau setidaknya ingin menyerang dan membalas dendam atas kekalahan Kerajaan Sung. Karena itu dia sendiri membuat pengumuman mengundang para muda untuk menjadi perajurit, bahkan memerintahkan panglimanya yang paling setia, yaitu Jenderal Gak Hui, untuk menyusun pasukan istimewa yang dipimpin oleh para pendekar yang berkepandalan tinggi. Beberapa orang panglima mendapat tugas menerima dan menampung para pemuda yang datang mendaftarkan diri, dan mereka yang ditugaskan itu, diantaranya adalah Jenderal Ciang Sun Bo.

Ketika Si Tiong dan Hong Yi tiba gilirannya mendaftar, petugas memandang mereka dengan alis berkerut.

"Kalian maju berdua, siapa yang hendak mendaftarkan diri?" tanyanya sambil menatap wajah Hong Yi yang cantik dengan kagum.

"Yang mendaftarkan diri adalah kami berdua." Jawab Si Tiong dengan tenang.

Petugas itu menatap wajah Si Tiong, lalu kembali dia memandang Hong Yi.

"Siapakah ia ini? Adikmu?'

"la adalah isteriku."

Petugas itu mengerutkan alisnya "Kami belum pernah menerima seorang wanita menjadi peraJurit. Juga kami tidak dapat menerima seorang perajurit yang membawa serta isterinya! Engkau ini hendak berperang ataukah hendak ber bulan madu?"

Ucapan itu memancing tawa riuh rendah dari para calon perajurit yang berada di ruangan itu. Mendapat sambutan tawa, petugas itu merasa dirinya lucu dan menjadi pusat perhatian, maka dia menjadi semakin berani dan berkata lagi,

"Kalau untuk mendaftarkan diri saja engkau takut dan minta ditemani dan diantar isteri, apalagi kalau berperang. Lebih baik engkau pulang saja dan sembunyi dalam kamar bersama isterimu, lebih enak dan asyik!" Kembali ucapannya disambut tawa. Wajah Si Tiong sudah berubah kemerahan, akan tetapi Hong Yi menyentuh lengannya memberi isyarat agar suaminya bersabar. la mengeluarkan sampul surat dari Ciang Kongcu dan menyodorkannya kepada petugas itu.

"Leluconmu itu akan kusampaikan nanti kepada Jenderal Ciang. Hendak kulihat apa yang akan dia lakukan setelah mendengar kelakarmu yang tidak lucu kepada kami itu!" kata Hong Yi dengan suara dibuat bernada mengancam. Petugas menerima sampul surat itu dan setelah dia membaca tulisan di sampul, dia terbelalak dan wajahnya menjadi pucat. Surat itu ditujukan kepada atasannya, Jenderal Ciang, datang dari keponakan jenderal itu yang tinggal di kota Cin-koan. Dia cepat bangkit berdiri dari tempat duduknya dan merangkapkan kedua tangan dl depan dada, memberi hormat terbongkok-bongkok kepada Hong Yi dan Si Tiong dan suaranya agak gemetar ketika dla bicara.
"Maafkan,.... eh, ampunkan saya.... karena tidak tahu bahwa jiwi (anda ber-dua) adalah kerabat dari Ciang-goanswe, maka saya telah berani kurang ajar dan berkelakar, Ampunkan saya..... mulut ini patut ditampar...." Petugas itu lalu menampari kedua pipinya dengan kedua tangan sehingga terdengar suara plak-plik-plok. Semua orang tertawa melihat ulah petugas yang ketakutan itu. Hong Yi ju-ga tersenyum geli dan merasa kasihan kepada petugas itu.

"Sudahlah, kami memaafkanmu."

Petugas itu berhenti menampari muka sendiri, kedua pipinya menjadi merah karena tamparan itu dan dengan suara memohon dia berkata,

"Akan tetapi saya mohon agar ji-wi tidak melaporkan perbuatan saya tadi kepada Ciang-goan-swe...."

"Kami berjanji tidak akan melaporkan, akan tetapi cepat sekarang bawa kami menghadap beliau." kata pula Hong Yi yang mendahului suaminya karena ia takut kalau-kalau suaminya tidak sesabar ia dan akan marah kepada petugas itu.

"Baik, silakan tunggu sebentar, silakan duduk di sini, saya akan melaporkan dulu kepada Ciang-ciangkun (Panglima Ciang)." kata petugas itu sambil membungkuk-bungkuk. Hong Yi duduk di atas kursi petugas tadi dan Si Tiong hanya berdiri saja karena memang tidak ada tempat duduk lain. Semua pemuda yang berada di situ kini memandang ke arah mereka, terutama kepada Hong Yi. Wanita ini duduk dengan tenang sambil tersenymn-senyum. Para pemuda itu memandang kagum, akan tetapi mereka tidak berani mengeluarkan kata-kata setelah tadi mendengar bahwa suami isteri itu masih kerabat sang jenderal'!

Tak lama kemudian petugas tadi sudah muncul kembali dan wajahnya tersenyum cerah ketika dia menghampiri Si Tiong dan Hong Yi.

"Jiwi dipersilakan menghadap Ciang-goanswe. Mari, silakan mengikuti saya."

Petugas itu sendiri lalu mengantar suami isteri itu masuk ke sebelah dalam gedung besar itu. Dalam perjalanan ke dalam ini dia sempat berbisik,

"Harap ji-wi tidak melupakan janji jiwi dan tidak melaporkan perbuatan saya tadi kepada Jenderal Ciang."

Si Tiong berkata dengan tegas sambil mengerutkan alisnya.

"Jangan ulangi lagi urusan itu. Kami sudah berjanji dan seorang gagah akan selalu memegang janjinya!"

Setelah tiba di dalam sebuah ruangan yang luas dan tampak sunyi, petugas itu masuk seorang diri meninggalkan SUarrii isteri itu di niar pintu. Si Tiong dan Hong Yi mendengar percakapan pendek mereka yang berada di dalam ruangan.

"Lapor, tai-ciangkun. Suami isteri yang
membawa suyat sudah tiba di sini." kata petugas itu.

"Suruh mereka masuk!" terdengar suara yang keras dan memerintah.

Petugas itu keluar dan mempersilakan suami isteri itu masuk, lalu dia pergi keluar lagi. Si Tiong dan Hong Yi masuk ke dalam ruangan itu dan melihat bahwa yang berada di dalam ruangan itu hanya seorang laki-laki saja. Dia seorang laki-laki tinggi besar, berkulit agak kehitaman dan gagah, berusia sekitar lima puluh tahun. Dengan pakaian panglima yang mentereng, pria itu tampak gagah sekali dan berwibawa. Matanya yang lebar itu segera menyambut Hong Yi dengan pandang mata yang membuat Hong Yi merasa tidak enak hati. Biarpun belum lama ia menjadi gadis penghibur dan tidak sangat banyak melayani pria, namun ia sudah hafal akan pandang mata pria seperti mata panglima itu. Pandang mata yang mengandung nafsu berahi besar. Seorang pria mata keranjang! Melihat betapa mata yang lebar itu memandang kepadanya penuh kagum tanpa disembunyikan, Hong Yi menundukkan pandang matanya Si Tiong juga melihat pandang mata panglima itu, akan tetapi kini dia sudah mulai terbiasa. Di sepanjang perjalanannya dari kota Cin-koan ke kota raja, hampir semua pria memandang isterinya seperti itu. Dia tahu benar bahwa isterinya memang cantik menarik, maka dia tidak dapat terlalu menyalahkan pandang mafa para pria itu, bahkan kini ada perasaan bangga timbul dalam hatinya kalau ada pria memandang isterinya dengan kagum. Tadinya di ruangan pendaftaran dia diam-diam menikmati rasa bangganya melihat semua pemuda memandang Hong Yi dengah kagum. Hatinya berbisik bangga "Wanita inl isteriku! Milikku sendiri!"

Si Tiong dan Hong Yi kini sudah berdiri di depan Jenderal Ciang dan mereka mengangkat tangan depan dada memberi hormat. Panglima itu membalas dengan lambaian tangan sambil lalu seperti biasa sikap kebanyakan pembesar terhadap orang-orang yang dianggapnya jauh berada di bawahnya.

"Duduklah kalian!" katanya sambil menunjuk ke arah kursi-kursi yang berjajar di depannya. Si Tiong dan Hong Yi , mengucapkan terima kasih lalu duduk berjajar di depan panglima itu. Kembali panglima itu memandang kepada Hong Yi penuh perhatian, kemudian meman-dang kepada Si Tiong dengan sinar mata penuh selidik.

"Siapakah namamu?" tanyanya, sambil memandang kepada Si Tiong,

"Nama saya Han Si Tiong, ciangkun." Jawab Si Tiong dengan sikap tenang.

"Dan engkau siapa, nona?" panglima itu bertanya, kini memandang kepada Hong yi, mata dan mulutnya tersenyum ramah, dan suaranya leblh lembut.

Mendengar ia disebut nona, Hong Yi lalu menjawab,

"Nama saya Liang Hong Yi, isterinya, ciangkun."

"Hemm, menurut petugas tadl, kalian datang membawa surat dari Ciang Kongcu di Cin-koan, benarkah itu? Mana suratnya?"

Hong Yi yang membawa surat itu lalu mengeluarkannya dan ia bangkit ber-dlri dari kursinya, menghampiri panglima itu dan menyerahkan suratnya. Ketika menerima surat itu, jari-jari tangan panglima itu menyentuh jari tangan Hong Yi dan ia tahu bahwa sentuhan itu sama sekali bukan kebetulan melainkan dilakukan dengan sengaja. Panglima itu agaknya mempergunakan kesempatan ttu untuk menyentuhnya dan hal inl saja sudah membuktikan bahwa laki-laki itu adalah seorang mata keranjang.

Panglima Ciang membuka sampul. Itu dan membaca suratnya. Surat itu mengatakan bahwa Ciang Kongcu mengenal baik Liang Hong Yi dan dia mengharapkan agar pamannya, Panglima Ciang Sun Bo suka membantu Hong Yi dan suaminya yang hendak bekerja menjadi perajurit di kota raja. Juga dalam surat itu Ciang Kongcu memberitahu pamannya bahwa suami Hong Yi adalah seorang pendekar.

Setelah membaca surat itu, Panglima Ciang mengangguk-angguk. Pertanyaan pertama yang keluar dari mulutnya membuat Hong Yi terkejut.

"Nona Liang Hong Yi, bagaimana Ciang Kongcu dapat mengenalmu dengan baik?"

Hong Yi sempat tertegun. Tentu saja ia tidak mungkin dapat menjawab bahwa ia pernah melayani kongcu itu sebagai seorang wanita penghibur! Akan tetapi hanya sejenak ia tertegun, lalu dengan tenang ia menjawab.

"Ciang Kongcu terkenal di kota Cin-koan kami sebagai seorang kongcu yang budiman dan hampir semua orang mengenalnya, ciangkun. Ketika kami merayakan hari pernikahan kami, Ciang Kongcu hadir pula sebagai tamu undangan dan ketika dia mendengar bahwa kami berdua akan pergi mencari pekerjaan, Ciang Kongcu lalu memberi surat ini kepada kami."

Ciang Goanswe mengangguk-angguk lagi dan mengerutkan alisnya. Pertanyaannya yang kedua juga membuat kedua orang suami isteri itu tertegun.

"Han Si Tiong, benarkah engkau seorang pendekar yang pandai ilmu silat"

Si Tiong agak tersipu.

"Ciangkun, saya hanyalah seorang biasa saja akan tetapi saya akan selalu berada di pihak yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan."

"Ilmu silat aliran manakah yang kau pelajari?"

"Ilmu silat Siauw-lim-pai aliran utara, ciangkun."

"Dan engkau ingin menjadi seorang perajurit? Kalau benar, apa alasanmu ingin menjadi perajurit?"

"Saya ingin menjadi perajurit untuk membantu kerajaan menghadapi bangsa Kin yang biadab, untuk membela bangsa dan tanah air." kata Si Tiong dengan gagah dan penuh semangat.

"Bagus, engkau dapat diterima sebagai perajurit. Hal itu dapat kami atur. Dan engkau, nona, mengapa engkau ikut pula mencari pekerjaan? Apakah engkau Juga ingin menjadi perajurit?" Panglima itu tersenyum sinis.

"Sayang sekali, kami belum membentuk sebuah pasukan wanita"

Hemm, sudah tahu ia isteri orang, masih saja memanggil nona, pikir Hong Yi. Akan tetapi ia tidak perduli dan menjawab,

"Saya juga ingin berjuang membela negara dan bangsa membantu suami saya, ciangkun."

"Ehh? Apakah engkau juga pandai ilmu silat?" ,
"Saya pernah belajar dari subo (ibu guru) Bian Hui Nikouw selama beberapa tahun."

"Bagus kalau begitu! Nah, Han Si Tiong, engkau sekarang pergilah ke ruangan depan tadi untuk melengkapi pendaftaran kalian dengan data-data lengkap., Kalian dapat kami terima. Akan tetapi Liang Hong Yi biar di sini dulu, aku masih ingin memeriksanya. Nah, pergilah!" Panglima tinggi besar itu menuding ke arah pintu. Si Tiong terpaksa bangkit dan keluar dari ruangan itu. Biarpun dia me-rasa heran mengapa isterinya ditahan, dia tidak merasa khawatir karena dia percaya bahwa isterinya cukup mampu untuk membela diri.

Setelah ditinggal suaminya, Hong Yi duduk sambil menundukkan mukanya. Sikapnya tenang saja walaupun sesungguhnya hatinya mulai merasa curiga dan khawatir.

"Nona Liang Hong Yi, kenapa engkau menundukkan muka saja? Apakah engkau merasa malu kepadaku? Seorang calon perajurit tidak boleh malu-malu!" kata Ciang-goanswe.

Hong Yi mengangkat muka memandang wajah pangljma itu. la melihat jelas sekali dari sinar mata laki-laki itu bahwa panglima itu memang mempunyai niat tidak sopan terhadap dirinya.

"Saya tidak malu, ciangkun. Akan tetapi mengapa ciangkun menahan saya disini? Apa lagi yang hendak ciangkun tanyakan?"

"Aku harus mengujimu lebih dulu sebelum menerimamu sebagai perajurit, nona. Aku harus yakin dulu bahwa engkau benar-benar memiliki kepandaian silat yang memadai untuk ikut bertempur. Kalau engkau ternyata seorang wanita lemah, tentu saja aku tidak boleh menerimamu karena hal itu berarti mengantarmu untuk dibantai musuh. Nah, aku hendak menguji ilmu silatmu. Bersediakah engkau?"

Hong Yi bangkit berdiri.

"Tentu saja saya siap, ciangkun!" katanya dengan lega karena kalau hanya diuji ilmu silatnya, tentu saja ia siap dan ia penuh kepercayaan kepada diri sendlri bahwa kepandaiannya akan cukup memadai karena selania bertahun-tahun Bian Hui Nikouw menggemblengnya dengan sungguh-sungguh dan ia juga berlatih dengan tekun.

Ciang-ciangkun bangkit berdiri sambil tersenyum, lalu melangkah ke tengah ruangan.

"Ke sinilah, nona. Kalau engkau dapat menahan sepuluh Jurus seranganku berarti engkau lulus dan sudah pantas untuk menjadi komandan regu."

Hong Yi menghampiri panglima itu, berdiri di depannya dan memasang kuda-kuda dengan kedua kaki ditekuk sehingga tubuhnya merendah, kedua lengannya disilangkan di depan dengan jari-jari tangan terbuka. Itulah pembukaan jurus Garuda Mengatupkan Sepasang Sayapnya.

"Saya sudah siap, ciangkun." katanya.




Ciang Sun Bo adalah seorang laki-laki yang sejak muda sudah berkecim-pung dalam dunia kemiliteran. Sejak di utara dia sudah menjadi seorang koman-dan, ikut pula berperang ketika Kerajaan Sung dlserang oleh bangsa Kin. Dia ikut pula mengundurkan dan melarikan diri ke selatan dan karena kesetiaannya dia diangkat menjadi seorang jenderal. Akan tetapi diapun terkenal sebagai seorang lakl-laki mata keranjang. Maka, begitu melihat Hong Yi yang cantik manis, hatinya tertarik untuk mempermainkannya. Ciang Sun Bo adalah seorang ahli silat yang bertenaga besar. Dengan tenaga raksasanya, dalam pertempuran dia amat menggiriskan musuh-musuhnya. Golok besarnya yang berat itu berkelebatan tak tertahankan lawan saking kuatnya senjata itu digerakkan.

Setelah berdiri berhadapan dengan Hong Yi, Ciang-ciangkun lalu berseru, 'Lihat seranganku!" Tangan kanannya yang besar dan berlengan panjang itu meluncur ke arah pundak Hong Yi. Gerakannya mencengkeram pundak itu mendatangkan angin yang menyambar kuat Hong Yi cepat mengelak ke kanan sehingga pundak kirinya terhindar dari cengkeraman. Akan tetapi tangan kiri, panglima itu sudah meluncur ke arah perutnya! kembali Hong Yi menghindarkan diri dengan elakan ke belakang.

"Bagus! Sambutlah serangan jurus kedua!" kata panglima itu dengan gembira dan kini kedua lengannya berkembang dan dia melakukan gerakan menubruk seperti seekor biruang menerkam mangsanya. Hong Yi kembali mengelak dengan loncatan ke belakang.

Panglima atau Jenderal Ciang menjadi kagum dan dia melanjutkan serangannya yang menjadi semakin dahsyat. Hong Yi mempergunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan selalu mengelak dengan amat cepatnya, bagaikan gerakan seekor burung walet sehingga sertua serangan itu tak pernah menyentuh tubuhnya. Setelah menyerang sebanyak tujuh jurus, Panglima Ciang berhenti dan berkata.

"Nona, kalau seorang peraJurit dalam pertempuran selalu mengelak, akhirnya dia akan mati terkena serangan musuh. Sebagai seorang perajurit yang bertempur, engkau harus membalas, jangan hanya mengelak saja!"

Mendengar ini, Hong Yi lalu bergerak menyerang. Akan tetapi karena yang diserangnya itu adalah seorang panglima yang mengujinya dan pertandingan itu hanya merupakan ujian terhadap kemampuannya, maka tentu saja gerakan serangannya itu tidak didukung tenaga sepenuhnya dan dilakukan lambat saja. Tangan kanannya, dengan jari terbuka, menampar ke arah dada panglima Ciang. Akan tetapi, tiba-tiba panglima itu bergerak cepat menyambut serangan tangan Hong Yi dengan sambaran tangan kanan yang menangkap pergelangan tangan kanan Hong Yi dan dengan sentakan tenaga raksasa yang amat kuat dia sudah memuntir lengan kanan wanita itu dan terus menelikung lengan Hong Yi ke belakang tubuh. Tubuh Hong Yi berputar dan kini panglima itu mendekap tubuhnya dari belakang dan jari-jari tangan kiri panglima itu dari belakang menggerayangi dan meremas buah dadanya!

Hong Yi terkejut dan marah sekali. la tadi memang mengalah karena tentu saja tidak mau menyerang benar-benar agar jangan sampai serangannya mengenai tubuh Ciang-ciangkun, apa lagi sampai mengalahkannya. Akan tetapi ternyata sikapnya yang mengalah itu bahkan disalah gunakan panglima itu yang berbuat kurang ajar kepadanya. Karena terkejut merasa betapa buah dadanya diremas, Hong Yi mengerahkan tenaganya, mernutar tubuh ke kiri dengan tiba-tiba dan dengan hentakan keras la menggerakkan siku lengan kirinya ke belakang menghantam dada panglima itu.

"Dukkk....!!" Keras sekali siku kiri Hong Yi itu, menghantam dada Panglima Ciang sehingga tubuh panglima itu terjengkang, mulutnya mengeluarkan keluhan mengaduh. Hortg Yi sudah tidak mau memperdulikannya lagi dan wanita ini lalu berlari keluar ruangan itu menuju ke ruangan depan ke mana suaminya pergi.

"He, tunggu, keparat!" Panglima Ciang memaki marah dan mengejar. Ketika Hong Yi memasuki ruangan depan, ia mellhat suaminya sedang berdiri di depan petugas yang agaknya menanyakan segala macam data tentang diri mereka. Hong Yi berlari masuk, mengejutkan sernua orang,

"Yi-moi, ada apakah?' Si Tiong bertanya heran. Akan tetapl Hong Yi sudah , menyambar tangannya dan menarlknya.

"Mari, Tiong-ko, klta pergi saja dari tempat ini!" Hong Yl menarik tangan suaminya yang terpaksa mengikutlnya. Mereka berlari keluar dari ruangan itu dan tiba di pekarangan gedung. Akan tetapi pada saat itu, Panglima Ciang keiuar pula dari ruangan itu dan berteriak kepada para perajurit penjaga di luar yang berjumlah lima belas orang.

"Tahan mereka! Tangkap mereka!" Lima belas orang perajurit itu mendengar aba-aba panglima atasan mereka, serentak bergerak dan mereka sudah mengepung Si Tiong dan Hong Yi. Suami isteri itu terkepung dan mereka siap membela diri dan berdlri saling membelakangi.

"Ciangkun, apa kesalahan kami? Mengapa kami hendak ditangkap?" Si Tiong berteriak kepada panglima itu dengan penasaran.

"Tiong-ko, kita tidak bersalah apapun. Aku tidak melakukan kesalahan, percayalah kepadaku!" kata Hong Yi lirih kepada suaminya.

"Tangkap mereka, jebloskan mereka dalam penjara!" teriak Panglima Ciang dengan marah. Lima belas orang peraju-rit itu serentak menyerbu dan tangan-tangan mereka berserabutan hendak me-nangkap Si Tiong dan Hong Yi. Suami isteri itu tentu saja tidak membiarkan dirinya ditangkap. Mereka mengelak, menangkis bahkan menarnpar dan menendangi mereka sehingga para perajurit itu berpelantingan.

Melihat ini, Panglima Ciang menjadi semakin marah.

"Pergunakan senjata, kalau perlu bunuh mereka!" Dia sendiri sudah mencabut golok besar yang berai dan berkilauan. Para perajurit yang mendengar perlntah ini segera mencabut senjata tajam masing-masing.

Pada saat itu terdengar suara bentak-an menggeledek,

"Tahan! Jangan bergerak semua!"

Semua orang menengok dan terkejutlah Panglima Ciang ketika melihat siapa yang mengeluarkan bentakan itu. Si Tiong dan Hong Yi juga cepat menengok dan mereka melihat seorang pria bertubuh tinggi tegap berusia sekitar lima puluh tahun, wajahnya gagah dan berwibawa, pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang panglima berkedudukan tinggi. Di belakang panglima ini berdiri tujuh orang perwira tinggi lainnya.

Panglima Ciang Sun Bo tergopoh-gopoh menyambut panglima itu dan memberi hormat sambil menyebut,

"Gak Tai-clangkun (Panglima Besar Gak)!"

Mendengar sebutan ini, Si Tiong dan Hong Yi memandang kagum. Biarpun belum pernah bertemu, namun kedua suami isteri itu pernah mendengar nama Pangllma Gak Hui yang terkenal di seluruh negeri sebagai seorang panglima yang gagah perkasa, bijaksana dan arnat setia kepada negara, setia kepada Kerajaan Sung.

"Panglima Ciang, apa yang terjadi di sini? Mengapa engkau dan para perajurit mengeroyok dua orang muda ini?" Dia memandang ke arah Si Tiong dan Hong Yi.

Panglima Ciang tampak gugup.

".... anu, Tai-ciangkun, ia.... wanita ini melawan dan suaminya itu menibantu.."

Pangllma Gak Hui memandang kepada Si Tiong, lalu kepada Hong Yi dan diam-diam merasa heran mengapa ada wanita cantik dalam kantor penerimaan calon perajurit itu.

"Siapa nama kalian?". tanya panglima Gak Hui.

Si Tiong dan Hong Yi melangkah maju dan memberi hormat kepada panglima yang terkenal itu.

"Saya bernama Han Si Tiong dan ini adalah isteri saya bernama Liang Hong Yi, tai-ciangkun."

"Hemm, Nyonya, benarkah melawan Ciang-ciangkun? Kalau benar mengapa?"

Hong Yi sudah pernah bergaul dengan pria-pria bangsawan, maka ia tidak malu-malu berhadapan dengan seorang panglima besar.

"Maafkan saya, tai-ciangkun. Saya tidak bersalah. Saya dan suami saya datang ke sini untuk mendaftarkan diri menjadi perajurit. Kami ingin berjuang untuk membela nusa dan bangsa, menentang bangsa Kin yang menjajah tanah air kita. Kami diterima Panglima Ciang, akan tetapi dia hendak menguji ilmu silat saya dan dia.... dia bersikap tidak wajar dan melanggar susila, maka terpaksa saya melawannya, tai-ciangkun."

Jenderal Gak Hui mengerling ke arah Panglima Ciang. Dia sudah lama mendengar tentang watak rekannya ini yang terkenal mata keranjang, maka dia sudah dapat membayangkan apa yang kiranya terjadi. Dari sepak terjang suami isteri muda ketika dikeroyok tadi, dia melihat bahwa mereka berdua, terutama si suami, memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Tentu Pariglima Ciang bersikap tidak sopan terhadap wanita cantik itu akan tetapi dia bertemu dengan batu, wanita itu menolak dan melawan.

"Apa yang kaulakukan, Ciang-ciang-kun?" tegurnya dengan suara tegas.

Panglima Ciang menjadi merah mukanya. Biarpun Jenderal Gak Hui termasuk rekannya, namun Jenderal Gak Hui lebih besar kekuasaannya dibandingkan dia dan Juga jenderal itu menjadi kepercayaan kaisar.

"Saya.... saya telah menerima mereka, Gak-ciangkun. Saya.... saya hanya ingin menguji wanita itu, baik ilmu silatnya maupun mentalnya karena tidak biasa ada wanita mau menjadi perajurit."

"Hemm, sudahlah. Aku sendiri yang akan menerima Han Si Tiong dan isterinya ini, menjadi pembantu-pembantuku."

Bukan main girangnya hati Han Si Tiong dan Liang Hong Yi. Mereka tentu saja merasa bangga bukan main dapat menjadi pembantu-pembantu Jenderal Gak Hui yang amat terkenal dan dipuja rakyat Jelata itu. Jenderal ini sudah terkenal sebagai pelindung rakyat Jelata yang diganggu oleh para penjahat dan para perajurit Kerajaan Kin di perbatasan. Jenderal Gak Hui melarang keras pasukannya mengganggu rakyat, bahkan dia memerintahkan pasukannya untuk membantu rakyat dalam membangun dusun mereka yang rusak oleh perang, dan menolong mereka apabila mereka membutuhkan pertolongan.

"Banyak terima kasih, Gak tai-ciangkun!" Suami isteri itui berseru sambil memberi hormat.

Setelah menyelesaikan kunjungannya untuk memeriksa pelaksanaan penerimaan calon-calon perajurit, Jenderal Gak Hui meninggalkan gedung Panglima Ciang dan Si Tiong bersama isterinya diajak serta.

Jenderal Gak Hui mengajak mereka ke markasnya dan setelah melihat, mereka mendemonstrasikan permainan silat mereka, Jenderal Gak Hui lalu mengangkat suami isteri itu menjadi perwira-perwira. Hong Yi tidak dipisahkan dan suaminya, bahkan diangkat menjadi pembantu perwira yang selalu mendampingi suaminya dalam memimpin pasukan. Tentu saja suami isteri ini menjadi girang bukan main dan berterima kasih sekali kepada keputusan Jenderal Gak Hui yang bijaksana.

Sewaktu mereka bertugas di kota raja, pekerjaan mereka adalah melatih ilmu silat kepada para perajurit. Tugas ini mereka lakukan dengan penuh kesungguhan dan tekun sehingga para perajurit dalam pasukan pimpinan mereka memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silat dan olah keperajuritan. Tentu saja Jenderal Gak Hui merasa puas dan girang bahwa dia tidak salah pilih ketika mengangkat suami isteri itu menjadi, pembantunya. Dalam waktu singkat Han Si Tiong mendapatkan kenaikan pangkat sehingga dia dan isterinya dipercaya untuk memimpin pasukannya yang berjumlah ribuan orang.

Setahun kemudian Hong Yi melahirkan seorang anak perempuan. Tentu saja hal ini menambah kebahagiaan mereka. Anak itu diberi nama Han Bi Lan dan mereka, lalu mengirim utusan untuk menjemput Lu-ma karena Hong Yi membutuhkan bantuan bibinya itu untuk merawat dan mengasuh Bi Lan. Pula ia merasa kasihan kepada bibinya yang dulu memang menginginkan untuk ikut dengannya kalau mimpinya sudah terujud, yaitu kalau ia dan suaminya telah memperoleh kedudukan dan kemuliaan di kota raja Lin-an. Lu-ma datang dan ia merasa berbahagia sekali. Biarpun di Cin-koan ia dapat hidup berkecukupan sebagai pengelola rumah hiburan, namun ia tidak pernah merasa berbahagia, apa lagi setelah di tinggal pergi Hong Yi. la mencinta Hong Yi seperti anak kandung sendiri dan kini ia hidup serumah dengan Hong Yi dan suaminya, apa lagi ia kini mempunyai momongan seorang cucu yang mungil! Ia mendapatkan kebahagiaan yang tidak pernah dirasakannya ketika ia tinggal di Cin-koan.

* * *

Kaisar Kao Tsung mengumpulkan para menteri dan panglimanya untuk mengadakan sidang dan membicarakan usul yang diajukan oleh Jenderal Gak Hui kepada Kaisar. Persidangan itu dihadiri oleh semua pejabat tinggi, sipil dan militer. Tentu saja Perdana Menferi yang menjadi pembantu kaisar terpenting, hadir pula. Perdana Menteri itu adalah Chin Kui. Menteri Chin Kui adalah seorang laki-laki tinggi kurus berusia sekitar lima puluh tahun. Mulutnya selalu condong tersenyum sinis, mukanya dan sepasang telinganya yang kecil membuat wajah itu mirip wajah tikus dengan kumisnya yang jarang dan menjuntai di kanan kiri mulutnya. Akan tetapi sepasang mata yang kecil itu selalu bergerak, membayangkan kecerdikan dan dia pandai membawa diri, pandai mengambil hati. Dia pandai bicara dan dapat mengambil hati Kaisar Kao Tsung sehingga dla amat dipercaya.

Setelah persidangan dibuka menyambut munculnya Kaisar Kao Tsung, dengan penghormatan kepada kaisar, Kaisar Kao Tsung lalu berkata dengan suaranya yang lembut.

"Persidangan ini kami adakan untuk membicarakan usul yang disampaikan Jenderal Gak Hui kepada kami. Kami harap kalian dapat menyumbang pemikiran bagaimana jalan terbaik yang harus diambil. Jenderal Gak, harap engkau suka kemukakan usulmu itu agar para menteri dan panglima dapat mendengarkan lalu ikut membantu memikirkan."

Jenderal Gak Hui memberi hormat kepada kaisar, mengucapkan terima kasih atas kesempatan bicara yang diberikan, lalu dia bangkit dan menghadap ke arah para menteri dan panglima.

"Saudara-saudara, para menteri dan panglima yang saya hormati. Saya telah menghaturkan usul kepada Sribaginda Kaisar agar saya diperkenankan menghimpun dan memimpin barisan untuk menyerang bangsa Kin dan mengusirnya dari tanah air kita. Sekaranglah saat yang terbaik untuk bergerak dan mengusir mereka."

Kaisar Kao Tsung mengangkat tangan memberi isarat sehingga Jenderal Gak Hui menghentikan ucapannya dan memberi hormat kepada kaisar lalu duduk kembali.

"Jenderal Gak Hui, kami ingin sekali mendengar alasanmu, mengapa engkau sekarang ini saat terbaik untuk bergerak dan menyerang pasukan bangsa Kin".

"Sribaginda Kaisar Yang Mulia, anggapan hamba ini berdasarkan alasan-alasan yang amat kuat dan hamba tidak akan berani mengajukan usul kepada paduka kalau hamba tidak merasa yakin benar pertama dari para mata-mata dan penyelidik yang hamba kirim ke utara, hamba mendapat keterangan bahwa keadaan bangsa Kin yang menduduki daerah utara kini tidak terlalu kuat. Banyak kekacauan terjadi karena rakyat memusuhi mereka dan rakyat tidak mau membantu ransum mereka secara suka rela. Dan kecuali itu, terjadi pertikaian dan perebutan kekuasaan di antara para komandan yang menguasai daerah jajahan mereka itu. Adapun alasan yang kedua, hamba telah mempersiapkah pasukan dengan baik sehingga terkumpul barisan yang berjumlah cukup banyak. Selain itu, hamba juga membentuk pasukan-pasukan inti yang dilatih ilmu silat dengan baik, bahkan didukung para pendekar yang berjiwa patriot. Karena itu, harhba yakin bahwa kalau hamba membawa barisan bergerak sekarang, hamba tentu akan berhasil membinasakan dan memukui mundur mereka."

Kaisar Kao Tsung mengangguk-angguk sambil tersenyum.

"Bagus sekali, Jenderal Gak Hui. Kami merasa setuju sekali karena kamipun. sudah lama sekall menanti-nanti saatnya untuk melihat bangsa Kin yang biadab itu dihancurkan agar segala dendam sakit hati ini dapat terbalas. Akan tetapi kami ingin mendengar pendapat kalian. Kemukakanlah pendapat kalian agar kita dapat memikirkan dan merundingkan bersama."

Sebagian besar para menteri dan panglima dengan singkat namun tegas menyatakan mendukung usul dan pendapat Jenderal Gak Hui. Ketika tiba-tiba giliran Panglima Ciang Sun Bo untuk menyatakan pendapatnya, dia memberi hormat kepada kaisar dan berkata,

"Hamba mohon ampun, Sri baginda Yang Mulia. Bukan sekali-kali hamba hendak menentang usul pendapat Jenderal Gak Hui, akan tetapi hamba hanya mengingatkan agar paduka berhati-hati sekali dalam mengambil keputusan untuk menyerang bangsa Kin. Hamba mendengar dan agaknya semua orang juga mengetahui bahwa balatentara Kin amatlah kuatnya sehingga hamba khawatir kalau-kalau barisan kita tidak akan mampu mengalahkan mereka."

Jenderal Gak Hui mengerutkan alisnya dan menoleh kepada Panglima Ciang Sun Bo.

"Ciang-ciangkun, kalau engkau takut, Jangan ikut maju berperang!"

"Jenderal Gak Hui, biarkanlah semua orang mengajukah pendapat mereka masing-masing." kata Kaisar Kao Tsung.

"Ampunkan hamba, Yang Mulia." kata Jenderal Gak Hui sambil mengerutkan alisnya dan menundukkan mukanya. Dia tahu bahwa Panglima Ciang Sun Bo sengaja menentangnya karena memang ada perasaan tidak suka antara dia dan Panglima Ciang, apa lagi setelah kejadian beberapa tahun yang lalu, yaitu ketika terjadi keributan di gedung panglima itu karena dia hendak berbuat tidak sopan terhadap Liang Hong Yi yang kini bersama suami wanita itu telah menjadi pembantunya yang boleh diandalkan. Karena jasa Han Si Tiong dan Liang Hong Yi itulah maka kini dapat dibentuk pasukan khusus yang kuat sehingga membesarkan hatinya untuk menyerang bangsa Kin di utara.

Tiba-tiba Perdana Menteri Chin Kui yang sejak tadi hanya diam mendengarkan saja, berkata dengan suaranya yang halus namun cukup lantang.

"Yang Mulia, hamba kira apa yang dikatakan Panglima Ciang Sun Bo tadi sama sekali tidak keliru dan patut untuk diperhatikan dan direnungkan. Semua orang tahu betapa kuatnya balatentara Kin. Tentu paduka tidak lupa bahwa kejatuhan Sung di utara justeru karena pasukan-pasukan kita yang lebih dulu menyerang balatentara Kin. Hal itu yang menyababkan bangsa Kin menyerang terus sampai ke selatan. Tentu paduka tidak lupa akan kesalahan taktik yang diusulkan Perdana Meoteri Cai Ching ketika itu. Dia mengusulkan kepada mendiang Kaisar Hui Tsung untuk mengejar dan menyerang barisan Kin di utara sehingga para pimpinan Kin menjadi marah lalu berbalik menyerang kita sampai terpaksa kerajaan diungsikan ke sini. Yang Mulia, sebaiknya jangan mengganggu harimau yang sedang tidur. Saat ini bangsa Kin tenang-tenang saja tidak mengganggu kita, mengapa kita mendahului menyerang mereka?"

Kaisar Kao Tsung mengerutkan alisnya dan memandang kepada Perdana Menterinya itu dengan heran.

"Perdana Menteri Chin Kui, bagaimana engkau dapat berkata begitu? Apakah kalau menurut engkau, kami tidak usah memusuhi bangsa Kin, tidak usah membalas dendam atas kematian ayahanda kami, tidak berusaha untuk merebut kembali wilayah Sung yang telah dirampasnya? Begitukah?" Dalam suara Kaisar Kao Tsung terkandung kemarahan.

"Ampun, Yang Mulia. Sama sekali tidak demikian maksud hamba. Akan tetapi, kita tidak bisa selalu mengandalkan kekuatan tenaga. Kekuatan tenaga kasar tanpa dibantu pemikiran yang mendalam dan cerdik dapat menggagalkan semua usaha. Kalau kita hendak menyerang Bangsa Kin, kita harus mempergunakan perhitungan yang tepat, tidak sembrono. Mohon Paduka bayangkan, kalau sembrono lalu serangan itu gagal sama sekali, bahkan mengakibatkan balatentara menyerbu ke selatan dan menguasai seluruh negeri, bukankah hal itu akari merupakan suatu malapetaka yang mengerikan? Hamba sekarang hendak bertanya kepada Jenderal Gak Hui. Dia yang mengusulkan penyerangan ke utara ini. Kalau sampai penyerangan gagal dan akibatnya seperti yang hamba khawatirkan itu, lalu siapa yang akan bertanggung jawab?"



KISAH SI NAGA LANGIT JILID 05

Mendengar ucapan itu, Kaisar Kao Tsung menoleh kepada Jenderal Gak Hul. Wajah Jenderal Gak Hul menjadi merah dan hatlnya yang keras dan penuh kesetiaan kepada Kerajaan Sung menjadi panas.

"Hamba tidak akan gagal, Yang Mulia!" katanya kepada kaisar yang memandang kepadanya.

"Akan tetapi tidak ada yang pasti di dunia ini, Gak Ciangkun. Hidup kitapun tidak bisa dipastikan kapan berhentinya. Bagaimana kalau engkau gagal, kalah dalam perang melawan balatentara Kin? Bagaimana pertanggungan jawabmu terhadap Yang Mulia, terhadap bangsa dan terhadap kerajaan?" Suara Perdana Menteri Chin Kui mengandung tantangan dan ejekan. Jenderal Gak Hui merasa dadanya seolah hendak meletus saking marahnya. Akan tetapi di depan kaisar dia tidak berani memperlihatkan kemarahan dan menahan perasaannya. Apa yang hendak dia lakukan adalah demi kepentingan kerajaan dan bangsa, akan tetapi kegagalannya akan ditimpakan kepada dia seorang!

"Kalau saya gagal, saya bersedia untuk dipecat dan dijatuhi hukuman yang pallng berat, Chin-taijin (Pembesar Chln)l" katanya sambll memandang wajah Perdana Menterl itu dengan sinar mata tegas dan keras.

"Bagus! Tentu saja kalau gagal engkau tidak cukup mengucapkan maaf lalu lepas tangan. Engkau mempermainkan nasib kerajaan dan bangsa dalam usulmu ini, Ciang-kun!"

"Sudahlah, Perdana Menteri Chin Kui!" kata Kaisar Kao Tsung.

"Jenderal Gak Hui sudah menyatakan pendapat dan kesanggupan pertanggungan jawabnya dan kami mengenal dia sebagai seorang gagah yang selalu memegang teguh kata-katanya. Kami juga percaya bahwa dia tentu akan berhasil. Karena itu, kami memutuskan menerima usulmu, Jenderal Gak Hul. Laksanakanlah seperti yang kaurencanakan itu!"

"Terima kasih atas kepercayaan paduka dan hamba siap melaksanakan perintah, Yang Mulia!" Kata Jenderal Gak Hui dengan suara tegas yang mengandung kegembiraan. Persidangan dibubarkan dan Jenderal Gak Hui cepat kembali ke markasnya. Dia segera memanggll semua pembantunya, yaltu para perwira yang menjadi komandan dari pasukan-pasukannya. Setelah mereka berkumpul, di antara mereka terdapat Han Si Tiong dan isterinya, Liang Hong Yi, Jenderal Gak menceritakan tentang persetujuan kaisar yang menerima usulnya untuk melakukan penyerbuan ke utara, mengusir penjajah Kin.

"Aku peringatkan kepada kalian bahwa kita semua adalah pengemban-pengemban tugas yang mulia, yaitu membela bangsa dan tanah air dengan taruhan nyawa. Hidup yang sempurna berarti melaksanakan tugas dengan baik karena hidup ini sendiri berarti memikul tugas-tugas. Untuk dapat menjadi seorang manusia seutuhnya kita, harus dapat melaksanakan semua tugas itu dengan sebaik-baiknya. Tugas pertama dan utama adalah tugas seorang manusia terhadap Tuhannya, yaitu menaati semua perintah Tuhan melalui kitab agama masing-ma-sing yang tentu bersumber kepada kebaikan dan hidup bermanfaat bagi manusia dan dunia. Dalam tugas utama ini tercakup tugas-tugas lain yang banyak macamnya, misalnya tugas kewajiban sebagai orang tua terhadap anak-anaknya, sebagai anak terhadap orang tuanya, sebagai suami terhadap isterinya dan sebaliknya, sebagai anggauta keluarga terhadap sanak keluarganya, sebagai guru terhadap muridnya dan sebaliknya, sebagai anggaUta masyarakat, sebagai sahabat, sebagai warga negara terhadap negaranya dan sebagainya lagi. Termasuk tugas yang sekarang kalian emban, yaitu tugas seorang perajurit terhadap atasan dan pasukannya, sebagai seorang patriot terhadap bangsa dan tanah airnya. Kalau hendak menjadi seorang manusia seutuhnya, maka, semua tugas itu harus dilaksanakan dengan baik. Satu saja tugas itu diabaikan, tentu dia tidak dapat menjadi manusia baik yang seutuhnya! Biarpun semua tugas yang kusebutkan tadi telah kalian laksanakan dengan baik, namun kalau kalian tidak memenuhi tugas kalian sebagai seorang perajurit dan patriot, maka kalian tetap akan menjadi orang yang tercela. Apa lagi kalau ada di antara kalian yang mengkhianati perjuangan, nama seorang pengkhianat akan dikutuk rakyat selama hidupnya. Aku percaya bahwa kalian adalah patriot-patriot yang gagah perkasa, yang siap mempertaruhkan nyawa demi keselamatan bangsa dan tanah air, demi kehormatan Kerajaan Sung."

Setelah memberi peringatan kepada para perwira itu, Jenderal Gak lalu membagi-bagi tugas kepada mereka. Setelah pertemuan itu dibubarkan, Jenderal Gak memanggil Han Si Tiong dan Liang Hong Yi ke dalam kantornya.

"Kalian telah berjasa besar dalam menggembleng Pasukan Halilintar sehingga pasukan yang kalian pimpin dapat dijadikan pasukan inti yang akan mempelopori dan memberi dorongan semangat kepada seluruh barisan. Akan tetapi jasa kalian itu belum terbukti manfaatnya bagi kerajaan. Sekarang tiba saatnya kalian membuktikan bahwa kalian dan pasukan kalian benar-benar boleh diandalkan dan menjadi tulang punggung seluruh barisan. Apakah kalian berdua sudah siap lahir batin untuk melaksanakan tugas yang amat penting akan tetapi juga amat berbahaya ini?"

Dengan sikap tegak dan suara tegas suami isteri itu menjawab serentak,

"Kami siap melaksanakan tugas, Tai-ciangkun!"

Gak Hui memandang suami isteri itu dengan kagum dan bangga. Tidak salah penilaiannya terhadap suami isteri ini ketika pertama kali dia melihat mereka dalam rumah Panglima Ciang Sun Bo. Han Si Tiong kini telah menjadi seorang pria gagah perkasa berusia tiga puluh tiga tahun, sedangkan Liang Hong Yi yang juga berpakaian sebagai seorang perwira Itu tampak gagah dan cantik manis dalam usianya yang dua puluh enam tahun.

"Sekarang kalian pulanglah dan membuat persiapan. Seperti telah kita rencanakan tadi, besok pagi-pagi benar sebelum fajar menyingsing, kita akan berangkat"

"Baik, tai-ciangkun!" kedua orang suami isteri itu memberi hormat lalu bergegas pulang ke rumah mereka. Sebagal perwira, mereka telah mendapatkan rumah tinggal sendiri di mana mereka tinggal bersama anak tunggal mereka, Han Bi Lan yang kini sudah berusia tujuh tahun dan Lu-ma yang kini tampak selalu gembira dan tubuhnya menjadi gemuk. Lu-ma inilah yang mengasuh Bi Lan dengan penuh kasih sayang seorang nenek apabila ayah ibu anak itu meninggalkan rumah untuk bertugas.

Ketika Si Tiong dan Hong Yi melangkah masuk melalui pintu depan, Bi Lan, anak perempuan berusia tujuh tahun yang mungil dan manis itu, tiba-tiba menyambut ayah ibunya dengan bentakan nyaring,

"Ayah ibu awas seranganku!" Dan anak itu dengan gerakan yang gesit sekali telah menyerang ayah ibunya dengan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan. Mulutnya yang kecil mungil berseru berulang-ulang,

"Haiiittt.... yaaattt?"

Si Tiong dan Hong Yi mengelak dan membiarkan anak mereka melakukan serangan bertubi-tubi sampai tujuh jurus. Kemudian Si Tiong menangkap lengan Bi Lan dan mengangkat tubuh anak itu dan dipondongnya,

"Bagus, Bi Lan. Akan tetapi engkau harus berlatih lebih tekun lagi." kata Si Tiong sambil mencium pipi anaknya.

"Akan tetapi engkau juga tidak boleh melalaikan pelajaranmu membaca dan menulis, Bi Lan." kata Hong Yi.

Lu-ma muncul dari dalam. Badannya gemuk dan sehat dan wajahnya penuh senyum.

"Mana berani ia melalaikan pelajarannya? Selama ada aku di sisinya, ia tidak akan berani bermalas-malasan!" Bi Lan cemberut dan melapor kepada ibunya.

"Ibu, nenek Lu galak dan kejam! Kalau aku tidak menurut, ia tidak mau melanjutkan dongengnya!"

"Bukan galak dan kejam, melainkan itu karena ia sayang sekali kepadamu, Bi Lan. Nenek ingin engkau menjadi seorang yang pandai dan berguna bagi manusia dan dunia kelak." kata Hong Yi.

"Baiklah, nenekmu yang galak dan kejam ini malam nanti akan melanjutkan dongengnya tentang nenek sihir yang jahat itu." kata Lu-ma sambil tersenyum.

Bi Lan turun dari pondongan ayah-nya dan lari menghampiri Lu-ma lalu memeluknya."Nenek Lu tidak galak dan kejam, melainkan baik hati sekali! Aku sayang padamu, nek. Malam nanti lanjutkan donggengnya, ya?"

Mereka semua tertawa menyaksikan kemanjaan anak itu. Si Tiong dan Hong Yi lalu berkemas dan setelah makan malam mereka mengatakan kepada Lu-ma dan Bi Lan bahwa besok pagi-pagi sekali sebelum fajar menyingsing mereka akan berangkat bertugas dan sekali ini mereka akan pergi untuk waktu yang lama dan belum dapat ditentukan berapa lamanya.

"Kalian akan pergi ke mana dan melakukan tugas apakah maka membutuhkan waktu lama?" tanya Lu-ma.

"Kami akan memimpin pasukan menuju ke utara untuk berperang mengusir bangsa Kin." kata Hong Yi.
Lu-ma melompat bangkit dari duduk-nya.

"Berperang....? Ahhh....!" Mata nenek itu terbelalak dan alisnya berkerut, wajahnya membayangkan kekhawatiran besar.

"Engkau kenapakah nek? Ayah dan ibu adalah prajurit-prarajurit patriot yang gagah perkasa, tentu saja mereka pergi berperang untuk mengusir penjajah", kata Bi Lan yang memang sejak kecil telah diberi pengertian oleh ayah ibunya tentang kependekaran dan kepahlawanan.

"kita sepatutnya merasa bangga, nek".

Lu-ma masih tampak gelisah.

"Akan tetapi.... bertempur....??"

"Bibi ucapan Bi Lan. tadi benar sekali. Kami harus bertempur membela bangsa dan tanah air. Karena itu kami titip Bi Lan agar kau amati ia baik-baik selama kami pergi."

"Ibu, aku ingin ikut berperang melawan Bangsa Kin !" tiba-tiba Bi Lan berkata lantang.

Si Tiong tersenyum bangga.

"Engkau masih terlalu kecil. Bi Lan. Engkau harus belajar dan berlatih dengan giat agar menJadi kuat dan mampu melawan musuh. sekarang belum waktunya karena di pihak musuhpun tidak ada anak kecilnya."

Kalau sudah besar aku boleh ikut bertempur, ayah?"

"Tentu saja! Engkau akan menjadi seorang pahlawan yang gagah perkasa dan ditakuti musuh."

Setelah Bi Lan tidur, malam itu Han Si Tiong dan Liang Hong Yi bicara lebih serius kepada Lu-ma.

"Kalau terjadi apa-apa dengan kami, andaikata kami gugur dalam perang, rawatlah Bi Lan baik-baik bibi. Di almari itu kami tinggalkan seluruh harta milik kami, dapat engkau pergunakan untuk membesarkan Bi Lan. Jangan lupa untuk mengundang guru silat dan guru sastra untuk mendidiknya." pesan Liang Hong Yi.

Lu-ma mengangguk-angguk sambil mengusap air matanya. la tidak dapat menyembunyikan kegelisahan hatinya. Ia amat sayang kepada Hong Yi, menganggap wanita itu seperti anak kandungnya sendiri. Membayangkan Hong Yi bertempur dalam perang, terluka atau bahkan tewas, hatinya merasa gelisah bukan main. Melihat nenek itu menahan isak dan mengusap air mata, Hong Yi merangkulnya"

"Tenanglah dan jangan khawatir, bibi. Kami akan menjaga diri dengan hati-hati dan percayalah, Jenderal Gak Hui akan membawa kami mencapai kemenangan yang gemilang." kata Si Tiong dengan nada menghibur dan membesarkan hati.

"Benar, bi. Jangan khawatir dan jangan memperlihatkan kesedihan kepada Bi Lan agar anak itu tidak ikut khawatir dan bersedih. Kami berdua pasti akan pulang dengan selamat." kata Hong Yi.

Akhirnya Lu-ma dapat menenangkan hatinya. Akan tetapi malam itu ia tidak mau berpisah dari Bi Lan dan menemani anak itu tidur di kamar Bi Lan

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali suami isteri itu sudah selesai berkemas. Ketika saatnya keberangkatan tiba, mereka memasuki kamar Bi Lan dan ternyata Lu-ma juga sudah bangun sejak tadi. Mereka menggugah anak itu. Anak itu malam tadi sudah memesan dengan sangat kepada ayah ibunya agar dia digugah kalau mereka hendak berangkat.

Bi Lan terbangun. Hong Yi merangkul anaknya.

"Anakku Bi Lan, engkau baik-baik menjaga dirimu di rumah. Taati semua petunjuk nenekmu dan jangan lupa untuk belajar dengan tekun, baik sastra maupun silat."

"Jangan khawatir, Ibu." Dan ketika ia melihat Lu-ma mengusap air matanya, Bi Lan menegur.

"Eh, nenek kenapa menangis? Jangan cengeng, nek dan Jangan khawatir. Selama ayah dan ibu pergi, akulah yang akan menjagamu!"

Si Tiong juga merangkul anaknya.

"Bi Lan, ingat, selama ayah dan ibu tidak berada di rumah, engkau jangan nakal. Jangan suka berkelahi dengan anak-anak lain."

"Ayah, ibu, kalau pulang jangan lupa membawa oleh-oleh!"

Hong Yi tersenyum.

"Baik, akan tetapi oleh-oleh apa yang kau inginkan, Bi Lan?"

"Aku ingin ayah dan ibu pulang membawa oleh-oleh sebatang pedang bengkok milik seorang panglima Bangsa Kin!"

Han Si Tiong saling bertukar pandang dengan Liang Hong Yi. Keduanya mengangguk.

"Baiklah, Bi Lan, aku akan mengusahakan agar dapat merobohkan seorang panglima Kin dan merampas pedangnya untukmu."

Suaml isterl Itu lalu meninggalkan rumah, diantar sampai keluar pekarangan oleh Bi Lan dan Lu-ma. Bi Lan mengantar ayah ibunya dengan wajah cerah dan pandang mata bangga, tidak sepertl Lu-ma yang niengusap air matanya yang selalu mengalir keluar dari sepasang matanya.

Setelah suami isteri yang sering nengok dan melambaikan tangan menghilang di tikungan jalan, Bi Lan menggandeng tangan neneknya dan mengomel.

"Aih, nenek ini cengeng benar sih! Sudah tua menangis! Ayah dan ibu kan pergi berjuang, sepatutnya bergembira dan berbangga, bukan menangis."

Lu-ma menyusut air matanya dan tersenyum, mengelus rambut kepala cucunya yang amat disayangnya.

"Aku juga gembira dan bangga, Bi Lan."

"Lalu kenapa nenek menangis?"

"Hemm, karena cengeng itulah!"

"Ehh....,?". Bi Lan.tldak mengerti bingung.

"Sudahlah, mari kita masuk ke rumah, mandi yang segar, berganti pakaian lalu sarapan." Lu-ma lalu menggandeng tangan cucunya dan mereka memasuki rumah yang bagi Lu-ma tiba-tiba terasa sepi itu.

* * *

Sepasang suami isteri itu memang tampak gagah sekali ketika mereka menunggang kuda memimpin Pasukan Halilintar yang mereka bentuk. Terutama sekali Liang Hong Yi tampak cantik dan juga gagah perkasa. Dengan pakaian perang wanita yang baru berusia dua puluh enam tahun ini tampak gagah dan melihat isteri komandan mereka ini ikut memimpin pasukan di samping suaminya, para perajurit anggauta Pasukan Halilintar menjadi gembira dan bersemangat sekali!

Balatentara Kerajaan Sung itu dipimpin sendiri oleh Jenderal Gak Hui. Setelah barisan keluar dari kota raja, Jenderal Gak Hui lalu membagi barisan besar itu menjadi lima pasukan, di antaranya Pasukan Halilintar yang bertugas sebagal pendobrak di garis terdepan. Pasukan-pasukan itu berpencar dan dimaksudkan untuk menyerang benteng pertahanan tentara Kin di utara dari beberapa jurusan. Siasat inl dilakukan untuk memecah perhatian musuh, membuyarkan pemusatan kekuatan musuh dan menimbulkan kesan seolah-olah yang melakukan penyerbuan ke utara itu jauh lebih besar jumlahnya dari pada yang sebenarnya.

Penyerbuan besar-besaran yang dilakukan barisan yang dipimpin Jenderal Gak Hui Ini mengejutkan barisan Kin. Apa lagi karena serbuan itu dilakukan dari berbagai jurusan. Mereka melakukan perlawanan mati-matian dan terjadilah pertempuran di mana-mana, pertempuran yang dahsyat

Han Si Tiong memperlihatkan kegagahannya. Pasukan Halilintar yang dipimpinnya merupakan pasukan yang membuat pihak musuh berantakan dan terpaksa mendatangkan bala bantuan lebih besar untuk menghadapi pasukan istimewa yang dipimpin Han Si Tiong dan isterinya. Liang Hong Yi bertempur di samping suaminya, di setiap pertempuran wanita muda ini mengamuk dengan pedangnya. Gelung rambutnya terlepas dan rambutnya riap-riapan ketika ia mengamuk dan merobohkan banyak lawan.

Ketika pertempuran sedang memuncak, tiba-tiba Hong Yi melihat suaminya bertanding melawan seorang lawan yang bertubuh tinggi besar dan melihat pakaiannya dapat diketahui bahwa dia seorang panglima. Panglima Kin ini memainkan sebatang pedang bengkok dan dia lihai bukan main. Han Si Tiong sendiri sampai kewalahan menghadapi lawan yang amat tangguh ini. Dan sepak terjang panglima Kin ini agaknya mendatangkan semangat yang berkobar di pihak pasukan Kin. Apa lagi datang pasukan lain yang membantu sehingga selain jumlah pasukan Kin lebih besar, juga kedudukan mereka jauh lebih kuat. Pada saat itu, Pasukan Halilintar berada di lereng sebuah bukit dan mereka terkepung ketat oleh pasukan musuh. Mereka terdesak hebat dan melihat ini, Han Si Tiong bermaksud untuk mencari jalan terobosan agar pasukannya dapat diselamatkan dan untuk sementara mundur dulu dari kepungan dari pada pasukannya hancur dibinasakan pihak lawan yang amat kuat. Juga dia melihat betapa pasukannya sudah tampak kelelahan dan semangat mereka sudah mulai lemah. Karena perhatiannya terpecah, hampir saja lehernya terkena sabetan pedang panglima musuh yang dilawannya. Dia cepat melompat ke belakang dan memutar pedangnya sehingga tubuhnya terlindung dan terpaksa dia mencurahkan seluruh perhatiannya lagi menghadapi lawan yang tangguh itu. Karena desakan ini, maka Han Si Tiong belum mendapat kesempatan untuk memerintahkan pasukannya mundur.

Liang Hong Yi juga melihat keadaan Pasukan Halilintar yang sudah terjepit dan terdesak itu. la merasa khawatir sekali melihat pasukan yang tampak kelelahan dan kehilangan semangat. la tahu bahwa hanya ada satu cara untuk menyelamatkan diri dan memenangkan pertempuran berat sebelah itu, ialah dengan meningkatkan semangat pasukannya sehingga berapi-api. Maka, ia lalu cepat berlari ke arah para perajurit yang bertugas membawa bendera Pasukan Halilintar. Setelah tiba dekat, ia berseru,

"Berikan bendera dan genderang itu!" la merampas begitu saja bendera pasukan dan sebuah genderang perang, lalu berlari ke arah puncak bukit kecil tak jauh dari situ. Setelah tiba di puncak, la menancapkan tihang bendera di puncak, kemudian ia memukul gendereng dengan sekuat tenaga, mengisyaratkan penyerbuan. Bunyi genderang bertalu-talu, nyaring sekali, mengejutkan Pasukan Halilintar sendiri dan juga pihak lawan. Ketika pasukan Kin melihat bahwa yang memukul genderang itu seorang wanita yang rambutnya riap-riapan dan berpakaian sebagai perwira, mereka menghujankan anak panah ke arah Liang Hong Yi. Namun, Hong Yi mempergunakan pedang di tangan kanan untuk menangkisi semua anak panah yang menyambar ke arah tubuhnya sedangkan tangan kirinya tetap memukuli genderang.

Melihat kegagahan Hong Yi, para perajurit Pasukan Halilintar menjadi kagum dan bangga. Semangat mereka terbakar berkobar-kobar dan mulut mereka mengeluarkan teriakan-teriakan nyaring, kemudian bagaikan kesetanan mereka mengamuk! Hebat bukan main sepak terjang para perajurit Pasukan Halilintar ini, bagaikan halilintar menyambar-nyambar dan para perajurit Kin roboh bergelimpangan! Biarpun Hong Yi sudah menghentikan pemukulan genderang, namun bunyi genderang masih bertalu-talu karena ada perajurit penabuh genderang yang menggantikannya. Hong Yi sendiri lalu berlari menuruni bukit kecil itu. la melihat betapa suaminya masih bertanding seru melawan panglima Kin dan kini suaminya mulai terdesak dan keadaannya berbahaya sekali. Maka, dengan pedang di tangan Hong Yi melompat dan menerjang, membantu suaminya menyerang panglima itu. Panglima itu terkejut karena gerakan pedang Hong Yi cukup dahsyat. Dia mengerahkan tenaga dan mengeluarkan semua ilmu pedangnya, namun menghadapi pengeroyokan suami isteri itu, akhirnya dia roboh terkena tusukan pedang di tangan Han Si Tiong. Tusukan itu mengenai dadanya dan diapun roboh dan tewas.

"Pangeran Cusi gugur....lt" terdengar seruan beberapa orang perajurit Kin yang bertempur tdak jauh dari situ. Berita ini terus menjalar dan robohnya panglima Kin yang ternyata seorang pangeran ini membuat pasukan Kin menjadi kacau dan panik.

Han Si Tiong teringat akan pesan puterinya. Dia lalu mengambil pedang bengkok milik panglima atau pangeran yang tewas. itu. Sebatang pedang yang indah sekali, bergagang emas! Setelah membuka sarung pedang yang tergantung di pinggang pangeran itu dan menggantung pedang itu di pinggangnya sendiri, bersama Hong Yi dia lalu terus memimpin pasukannya untuk mendesak pihak lawan yang sudah menjadi panik Itu. Akhirnya pasukan Kin mundur melarikan diri, meninggalkan banyak kawan yang tewas. Pasukan Halilintar yang mula-mula mengejar, berhenti atas perintah Han Si Tiong. Mengejar terus di daerah lawan, selain membuat pasukannya yang sudah lelah sekali itu kehabisan tenaga, juga ada bahayanya mereka akan terjebak, Pasukan Halilintar bersorak menggegap-gempita sebagai pernyataan kegembiraan mereka. Hong Yi yang telah berhasil meningkatkan semangat pasukannya dengan cara yang gagah berani itu menjadl bahan percakapan pasukan yang merasa kagum dan bangga sekali.

Kemenangan demi kemenangan diperoleh barisan yang dipimpin Jenderal Gak Hui dan Pasukan Halilintar memegang peran penting dalam pertempuran yang berhasil ini. Tentu saja Jenderal Gak Hui mencatat semua jasa Han Si Tiong dan juga Liang Hong Yi.

Akan tetapi, selagi Jenderal Gak Hui mulai berhasil dengan gerakan serangannya ke arah utara yang dikuasai kerajaan Kin, tiba-tlba saja datang utusan Kaisar Sung Kao Tsu yang membawa surat perintah kaisar untuk Jenderal Gak HUl. Alangkah terkejut rasa hatl Jenderal Gak Hul ketika membaca surat perintah Itu. Kalsar memerintahkan agar dia menghentikan serangannya dan segera menarlk barisannya kembali ke selatan. Rasa kaget, heran, penasaran dan marah memenuhi hati jenderal inl. Dia sudah mulai menyerang dan mendapatkan banyak kemenangan dan kemajuan. Kalau dia diberi kesempatan, bukan mustahil dia akan mampu mengusir penjajah Kin keluar dari seluruh daerah Sung yang dirampasnya karena di sepanjang daerah yang dapat direbutnya, seluruh rakyat menyambutnya dengan hangat dan siap membantunya! Dia dapat memperbesar dan memperkuat barisannya sambil berperang. Akan tetapi, tlba-tiba tanpa alasan apapun, Kaisar merintahkan agar dia menghentikan gerakannya dan menarik kembali pasukan-pasukannya ke selatan! Biarpun hatinya penuh penyesalan, namun Gak Hui adalah seorang panglima yang amat setia kepada Kerajaan Sung. Berarti dia harus setia kepada Kaisar! Apapun perintah kaisar harus dia taati, bahkan dia siap memberikan nyawanya kalau hal itu dikehendaki oleh kaisar! Demikianlah kesetiaan Jenderal Gak Hui yang disanjung dan dipuji rakyat jelata. Jenderal Gak Hui sempat menitikkan air mata ketika dia berada seorang diri dalam kamarnya pada saat dia memerintahkan para perwiranya untuk menarik kembali pasukan-pasukan di bawah komandonya.

Apakah yang terjadi di kota raja, terutama di istana Kaisar? Mengapa Kaisar Sung Kao Tsu memerlntahkan Jenderal Gak Hul untuk menghentikan gerakan penyerbuannya mengusir penjajah Kin yang sudah mulai tampak hasilnya?

Semua ini adalah hasll persekutuan antara Raja Kin dan Perdana Menteri Chin Kui yang sudah dijalin selama bertahun-tahun. Perdana Menteri Chin Kui yang sudah bersahabat dengan Raja Kin Ini selalu berusaha untuk mencegah Kaisar Kao Tsu memerangi kerajaan Kin di Sung Utara. Akan tetapi sekali ini dia tldak berhasil sehingga Kaisar Kao Tsu mengijinkan Jenderal Gak Hui untuk mengadakan gerakan penyerbuan ke utara seperti yang diusulkan Jenderal Gak itu.

Serangan mendadak itu mengejutkan Raja Kin. Apa lagi ketika seorang pangeran tewas dalam pertempuran itu. Dia menjadi marah sekali dan segera dia memerintahkan seorang menterinya untuk memanggil seorang datuk yang tinggal dl Sln-kiang, Datuk ini bukan lain adalah Ouw Kan, peranakan Uigur-Cina yang berilmu tinggi dan datuk ini memang sudah seringkali dimintai bantuan untuk melaksanakan tugas yang berat dengan imbalan besar. Pada bagian awal kisah ini kita sudah mengenal Ouw Kan datuk darl Sin-kiang ini yang mencoba untuk merampas kitab-kitab yang dibawa Tiong Lee Cin-jin dari hegara India.

Tak lama kemudian Ouw Kan sudah datang menghadap Raja Kin. Usianya sekitar enam puluh dua tahun. Rambut kumis dan jenggotnya sudah berwarna putih. Tubuhnya sedang saja namun masih tegak dan tegap seperti tubuh seorang muda. Tangannya selalu membawa sebatang tongkat dari ular cobra kering. Wajahnya tidak buruk, akan tetapi menyeramkan dan sepasang matanya yang lebar itu bergerak liar. Raja Kin menyambutnya dengan girang dan datuk ini dihormati, diperbolehkan menghadap raja sambil duduk di atas kursi, menghadap Raja Kin.

"Apakah yang dapat saya lakukan untuk paduka?" tanya Ouw Kan tanpa banyak upacara lagi. Memang sikap datuk ini terhadap Raja Kin berbeda derigan sikap para pembesar pada umumnya. Dia tidak pernah memberl hormat secara berlebihan kepada siapapun juga dan hal inipun dlmaklumi oleh Raja Kin.

Kami membutuhkan bantuanmu, Ouw-sicu (orang gagah Ouw), untuk urusan yang teramat penting. Engkau akan kami beri surat kuasa dan pergilah ke Selatan ke kota raja Hang-couw dan jumpal Perdana Menteri Chin Kui. Atas nama kami tegurlah dia mengapa balatentara Sung Selatan yang dlpimpin Jenderal Gak Hui sampal menyerang ke utara. Katakan bahwa dla harus dapat membujuk kaisar menghentlkan serangan itu, kalau tldak kami akan memutuskan hubungan dan akan menyerang ke selatan."

"Tugas itu mudah sekali, Sribaginda. Kenapa untuk tugas sesederhana itu harus saya yang melakukannya? Paduka dapat mengutus sembarang orang." kata Ouw Kan yang merasa betapa tugas itu terlalu kecil tak berarti bagi dirlnya yang biasa melakukan tugas-tugas yang lebih besar dan sukar.

"Itu baru tugas pertama, Ouw-sicu. Ada tugas ke dua yang amat penting dan berat. Kami kira hanya engkau yang akan dapat melaksanakan dengan baik, Ouw-sicu." kata Raja Kin.

"Nah itu yang saya sukai, Sribaginda. Apakah tugas ke dua itu?"

"Ketahuilah bahwa dalam penyerbuan barisan Kerajaan Sung Selatan, putera kami telah gugur dalam pertempuran. Dia tewas di tangan perwira yang bernama Han Si Tiong bersama isterinya yang bernama Liang Hong Yi. Nah, engkau carilah mereka dan engkau tentu tahu apa yang harus kaulakukan terhadap mereka untuk membalas sakit hatlku karena kematian puteraku di tangan mereka."

Ouw Kan mengangguk-angguk. Wajah-nya berseri dan mulutnya yang dikelilingi kumis dan jenggot itu tersenyum, hati-nya gembira.

"Baik, Sribaginda. Harap paduka tidak khawatir. Dua tugas Itu pasti akan dapat saya laksanakan dengan baik. Kapan saya harus berangkat?"

"Sekarang juga berangkatlah. Pilihlah kuda terbaik dan di sepanjang perjalanan sampai ke tapal batas, setiap orang pejabat tentu akan mengganti kudamu dengan yang baru asal engkau tunjukkan surat kuasa dari kami. Akan tetapi, Ouw sicu, jangan engkau melibatkan diri dalam pertempuran karena hal itu akan menghambat terlaksananya tugasmu yang penting. Berangkatlah dan hadiah besar menantimu setelah engkau menyelesaikan tugas itu dengan baik."

Ouw Kan menerima surat kuasa dari Raja Kin dan berangkatlah dia menunggang seekor kuda pilihan yang baik. Demikianlah, selagi di perbatasan masih terjadi pertempuran, Ouw Kan memasuki kota raja Hang-couw dan tidak sukar baginya untuk menemukan gedung istana tempat tinggal Perdana Menteri Chin Kui.

Perdana Menteri Chin Kui tergopoh-gopoh menerima utusan Raja Kin itu dan mengajaknya bercakap-cakap dalam ruangan rahasia yang tertutup rapat. Dia pernah bertemu dengan Ouw Kan sebagai utusan Raja Kin, apa lagi ketika Ouw Kan memperlihatkan surat kuasanya, Chin Kui percaya sepenuhnya kepada datuk itu. Dia menyambut tamunya dengan jamuan makan. Setelah mereka makan minum, Perdana Menteri Chin Kui lalu menanyakan maksud kunjungan Ouw Kan.

"Saya datang diutus oleh Sribaginda Kerajaan Kin yang marah sekali karena barisan Sung telah menyerang daerah Kin dan saya diutus untuk menegur dan me-nanyakan kepada Chin-taijin (Pembesar Chin) mengapa hal seperti itu dapat ter-jadi. Sribaginda minta agar saya menyampaikan kepada Chin-taijin bahwa kalau taijin tidak segera membujuk Kaisar Sung agar cepat menghentikan serangan dan menarik kembali pasukan dari daerah Kerajaan Kin, maka Sribaginda akan memutuskan hubungan dengan taijin dan akan menyerang dan membasmi Sung Selatan!"

Wajah Chin Kui agak berubah pucat dan dia menelan ludah beberapa kali sebelum menjawab.

"Ouw-slcu, harap sampalkan kepada Sribaginda. Saya mohon maaf sebesar-besarnya atas penyerangan Itu. Percayalah, saya sudah berusaha sekuatnya untuk mencegah penyerangan itu, akan tetapi semua ini gara-gara si kepala batu Jenderal Gak Hui. Dia dapat mempengaruhi Kaisar sehingga Kaisar menyetujui penyerbuan itu. Akan tetapi, saya akan berusaha mati-matian untuk membujuk Kaisar agar barisan itu ditarik kembali. Tunggu dan lihatlah saja, saya yakin pasti akan berhasil."

"Hemm, saya harap saja janjimu ini akan dapat dipenuhi dengan cepat, Chin-taijin. Karena kalau tidak, tentu Sribaginda akan menganggap bahwa taijin mengkhianati persahabatan. Nah, sekarang setelah saya menyampaikan pesan Sribaginda, saya mohon dirl akan melak-sanakan tugas lain. Saya minta tolong kepada taijin agar suka memberitahu dl mana adanya rumah seorang perwira yang bernama Han Sl Tiong, seorang perwira dalam barisan yang tkut menyerbu ke utara."

"Han Sl Tiong? Ah, aku Ingat. Dia adalah perwira baru yang ditugaskan membentuk Pasukan Halilintar. Rumahnya berada dl sebelah barat Jembatan Rembulan, di ujung selatan kota, Ouw-sicu."

"Terima kasih, taijin dan saya mohon pamit." Ouw Kan bangkit berdiri dan merangkap kedua tangan depan dada sebagai penghormatan.

"Sebentar, sicu!" Perdana Menteri Chin Kui mengambil sebuah kantung kain yang sejak tadi telah dipersiapkan dan memberikan kantung itu kepada tamunya.

"Ini ada sedikit hadiah dari kami iintuk sicu."

Hadiah atau bingkisan seperti ini sudah biasa diterima Ouw Kan, maka diapun tidak sungkan lagi, menerima kantung kain yang cukup berat itu, lalu membungkuk dan keluar dari gedung besar itu.

Tak lama kemudian Ouw Kan sudah tiba di depan rumah Han Si Tiong. Dia menambatkan kudanya di sebatang pohon, kemudian dia memasuki pekarangan rumah itu. Seorang lakl-lakl setengah tua yang bekerja di pekarangan Itu sebagai tukang kebun menghampirinya. Melihat seorang kakek menggendong buntalan kain kuning dan kepalanya memakai topi bulu, tukang kebun itu segera bertanya dengan sikap hormat.

"Tuan mencari siapakah?"

Ouw Kan memandang tukang kebun jg itu lalu menjawab,

"Aku mencari tuan rumah, ada urusan penting sekali."
-
"Wah, sayang sekali, tuan. Majikan, saya bersama isterinya sedang pergi memimpin pasukan untuk berperang mengusir penjajah Kin!" kata tukang kebun itu dengan nada bangga.

Ouw Kan mengerutkan alisnya.

"Hemm, mereka pergi dan belum pulang? Kalau begltu, siapa saja yang tinggal di rumah?"

"Tinggal nyonya tua dan nona kecil.

"Tolong panggll mereka keluar. Aku dapat menyampaikan urusan penting ini kepada mereka saja."

Mellhat tamu itu sudah tua dan agaknya mempunyai urusan penting, tukang kebun tidak curlga.

"Baiklah, tuan. Slla-kan duduk menunggu dl ruang tamu, sa-ya akan melaporkan kepada nyonya tua."

Tukang kebun mengantar Ouw Kan fcgiemasuki ruangan tamu yang berada di bagian luar rumah itu, kemudian dia masuk ke dalam untuk melaporkan kedatangan tamu itu kepada Lu-ma. Ketika itu, Lu-ma sedang bereda di dapur membantu pelayan wanita setengah tua yang menjadi pelayan dalam keluarga itu. Bi Lan juga membantu. Anak berusia tujuh tahun ini memang ingin membantu segala pekerjaan yang dilakukan neneknya. Mereka mempersiapkan masakan untuk makan siang nanti. Ketika tukang kebun melaporkan bahwa di ruang tamu menunggu seorang tamu lakl-laki tua yang mengatakan ada urusan sangat penting untuk dlsampaikan kepada Lu-ma, nenek ini lalu mencuci tangannya.

"Slapakah, nek?"

"Tidak tahu siapa, mungkin tamu kenalan ayahmu." kata Lu-ma, lalu ia melangkah keluar dari dapur menuju ke ruangan tamu di depan. Bi Lan tidak mau ketinggalan, menggandeng tangan neneknya, ikut pergi ke ruangan tamu.

Setelah Lu-ma dan Bi Lan memasuki ruangan tamu, mereRa1 meiihat seorang laki-laki tua duduk di atas kursi dan memandang kepada mereka dengan sinar mata penuh selldlk. Ouw Kan bangklt berdlrl. dan segera bertanya.

"Aku ingin bertemu dengan Han Si Tlong dan laterl-nya. Dl mana mereka?"

Lu-ma menduga bahwa tentu kakete Inl kenalan balk Haa Si Tiong, maka ia-pun menjawab,

"Han Si Tlong dan isteri-nya tldak ada di rumah, mereka pergl perang dan belum pulang."




"Dan siapakah kalian ini?"

"Saya Lu-ma, bibi mereka dan ini Han Bi Lan, anak tunggal mereka."

Ouw Kan memandang anak perempuan, Itu. Sungguh seorang anak perempuani yang manis dan mungil sekali. Kalau dia membunuh anak ini, hal Itu sudah merupakan pembalasan hebat yang akan menghancurkan hati Han Sl Tiong dan isterinya. Akan tetapi dia meragu. Mungkin Sribaginda Raja Kin mempunyai rencana lain dengan anak musuh-musuhnya ini. Mungkin juga dapat dipergunakan untuk memaksa suaml isteri itu datang! Sebaiknya dia cullk dan bawa saja anak ini dan diserahkan kepada Sribaginda Raja Kln. Setelah berpikir demikian, tiba-tiba dia menjulurkan tangan kanannya hendak menangkap lengan Bi Lan.

"Eh....?" Ouw Kan terbelalak, kaget dan heran. Anak perempuan kecil itu dapat mengelak sehingga tangkapannya luput.

"Mau apa engkau?" bentak Bi Lan dan ia sudah memasang kuda-kuda, siap untuk berkelahi! "Nek, dia ini orang jahat, nek. Hati-hati, dia orang jahat!"

Ouw Kan merasa kagum juga. Hebat anak ini, pikirnya. Selain memiliki ba-kat gerakan yang amat gesit, juga tam-paknya cerdik bukan main. Maka dia lalu melangkah maju dan RembaH tangannya menyambar. Bl Lan mengelak, akan teta-pi apa artinya kegesitan seorang anak perempuan berusia tujuh tahun terhadap datuk yang sakti itu? Sekali jari tangan Ouw Kan menyambar, Bi Lan sudah tertotok dan. terkulai. Akan tetapi Ouw Kan menangkapnya sehingga anak itu tidak sampal roboh dan sekali angkat, Bl Lan sudah berada dalam pondongan lengan kinnya, terkulai lemas, tak mampu bergerak atau bersuara!

Melihat ini, Lu-ma terbelalak dan ia marah sekali. Tadi ketika cucunya berteriak mengatakan bahwa laki-laki itu jahat, ia tentu saja tidak percaya. Akan tetapi sekarang ia marah sekali. Bagaikan seekor singa betina direbut anaknya, ia menyerbu dengan kedua tangan mem-bentuk cakar ke arah Ouw Kan.

"Mau apa engkau dengan cucuku? Le-paskan ia! Lepaskan Bi Lan, engkau penjahat!"

Akan tetapi tangan kanan Ouw Kan yang memegang tongkat ular cobra kering bergerak dan robohlah Lu-ma tanpa dapat bersuara lagi karena totokan tongkat itu mengenai ulu hatinya dan ia tewas seketika. Biarpun tidak mampu bergerak dan bersuara, Bi Lan masih sadar dan ia melihat dengan mata terbelalak betapa neneknya roboh dan tak bergerak lagl. la tidak dapat mengeluarkan suara tangis, akan tetapl dari kedua matanya bercucuran air mata.

Pembantu wanita yang tadl dlpesan oleh Lu-ma untuk mengeluarkan minuman untuk tamu, muncul di pintu. la terbelalak melihat Lu-ma menggeletak di atas tanah dan Bi Lan dipondong seorang kakek yang memegang sebatang tongkat u-lar, dan anak itu menangis tanpa suara. Po-ci dan cawan minuman yang dibawanya di atas baki terlepas dari tangannya dan jatuh tnengeluarkan bunyi berkerontang-an. Melihat ini, sebelum pembantu vyani-ta jitu melarikan diri, Ouw Kan kembali menggerakkan tongkatnya yang menyambar dan mengenai leher wanita itu. Tanpa mengeluarkan suara lagi wanita itupun roboh dan tewas seketika.

Setelah membunuh dua orang wanita lemah itu, Ouw Kan lalu melangkah ke-luar sambil memondong Bi Lan yang ma-kln deras tangisnya setelah melihat Lu-ma dan pembantu rumah tangga itu di-bunuh kakek yang menculiknya" Karena khawatir kalau-kalau ada yang melihat-nya dan menjadi curiga melihat anak yang dipondongnya itu mencucurkan air mata dan wajahnya Jelas menunjukkan tangls walaupun tldak ada suara keluar dari mulutnya, Ouw Kan menepuk tengkuk Bi Lan ddn anak perempuan itu terkulai dan pingsan, seperti tidur. Ouw Kan menyimpan tongkatnya, diselipkan di ikat pinggangnya, kemudian dengan langkah lebar hendak keluar dari pekarangan itu.

Akan tetapi, tukang kebun yang tadi pertama kali menyambutnya, melihat dia tergesa-gesa keluar sambil memondong Bi Lan. Tukang kebun itu tentu saja menjadi curiga. Dia mengejar dan rnenghadang di depan kakek itu.

"Heii! Mau kaubawa ke mana Nona'i Bi Lan itu? Lepaskan!" Tukang kebun itu menerjang untuk merampas Bi Lan dari tangan Ouw Kan. Datuk ini melihat bahwa gerakan tukang kebun itu cukup" kuat, menunjukkan bahwa dia pandai bermain silat. Akan tetapi tentu saja tingkat kepandaian tukang kebun itu tidak ada artinya dibandingkan tingkat Ouw Kan. Menghadapi terjangan tukang kebun itu, Ouw Kan menyambutnya dengan ten-dangan kaki kanannya. Cepat dan kuat sekali tendangan itu. Biarpun tukang kebun itu sudah berusaha mengelak, tetap saja ujung sepatu Ouw Kan masih menyambar iganya.

"Krekk....!" Tukang kebun itu terpelanting keras dan roboh tak dapat bergerak lagi. Tulang-tulang iganya patah-patah dihantam tendangan kaki Ouw Kan! Karena khawatir kalau banyak orang akan rnelihatnya, dan merasa yakin bahwa tukang kebun itu juga tewas, Ouw Kan lalu cepat keluar dari pekarangan itu. Dengan cepat dia menuju ke pintu gerbang kota raja sebelah utara. Melihat seorang kakek menggendong seorang anak perempuan yang agaknya sakit atau tertidur dipondong dengan sikap penuh kasih sayang, tentu saja tidak ada orang yang mencurigainya dan Ouw Kan dapat keluar dari kota raja dengan aman.

Sementara itu, sepergi Ouw Kan, Perdana Menteri Chin Kui lalu berusaha keras untuk membujuk Kaisar Sung Kao Tsu, memperingatkan kaisar bahwa gerakan penyerbuan yang dilakukan Jenderal Gak Hui itu sesungguhnya salah sama sekali. Bangsa Kin yang berada di utara selama ini tidak pernah mengganggu daerah Sung di selatan sehingga kita berada dalam keadaan tenteram penuh damal, dapat bekerja membangun kembali kerajaan di daerah yang tanahnya lebih subur. Mengapa sekarang mencari permusuhan? Kalau nanti Kerajaan Kin membalas dan menyerbu ke selatan, bukankah hal itu i akan mendatangkan kesengsaraan?

"Hamba yang akan mengusahakan minta maaf dan hamba berani menanggung bahwa Sribaginda Raja Kin tidak akan melakukan balas dendam terhadap penyerbuan itu, asalkan paduka segera memerintahkan Jenderal Gak Hui agar menghentikan penyerbuan dan menarlk kembali balatentara." Demikian Pefdana Menterl Chln Kul mengakhlri bujukannya. Kalsar Kao Tsu menurut, apa lagi ketika para menteri lain juga mendukung usul Perdana Menteri Chin Kui. Juga pada dasarnya Kaisar Kao Tsu mernang seorang yang tidak suka perang. Maka, diapun segera mengambil keputusan dan dikirimlah utusan dengan perintahnya kepada Jenderal Gak Hui untuk menghenti-kan penyerbuan ke utara dan menarik kembali barisannya ke daerah selatan.

Jenderal Gak Hui merasa kecewa, marah dan menyesal sekall. Dla telah memenangkan pertempuran dl banyak tempat dan sudah menguasal daerah yang luas. Akan tetapi karena kesetiaannya, terpaksa dla menlnggalkan daerah yang telah dlkuasainya itu dan kemball ke se-latan, diiringi tangis kecewa penduduk daerah yang ditinggalkannya. Akan tetapi dia masih ragu untuk pulang ke kota ra-Ja dan mendirikan perkemahan di dae-rah tapal batas. Dia hanya mengutus pa-ra perwiranya kembali ke kota ra|a dan mengantar laporan tertulis yang dltujukan kepada Kaisar Kao Tsu.

Karena sudah tldak ada pertempuran lagi, Han Si Tiong dan Liang Hong Yl Juga Ikut pulang dengan sebagian darl pasukan dan para perwlranya. Kalau di sepanjang perjalanan, pasukan yang pulang ke kota raja membawa kemenang" an ini disambut oleh rakyat dengan gem-bira, setelah memasuki kota raja, dari ( pihak pemerintah malah tidak ada pe-nyambutan dan suasananya dingin saja. Hal ini adalah karena perintah dan pengaruh Perdana Menterl Chtn Kul yang menganggap barlsan yang menang perang itu bahkan meruglkan kerajaan!

Betapapun juga, ketika menerima para perwira yang pulang dan menghadapnya, Kaisar Kao Tsu menerima mereka dengan baik. Bahkan dla lalu memberi anugerah pangkat kepada para perwira yang namanya disebut dalam daftar Jasa yang dikirlm Jenderal Gak Hui. Karena Han Sl Tiong dan Isterinya dipuji-puji oleh Jenderal Gak Hul, maka Kaisar Kao Tsu memberl anugerah keduduk-an pangllma muda kepada Han Si Tiong dan isterlnya dan keduanya diangkat menjadi bangsawan! Suaml isteri inl ialu pulang ke rumah mereka. Tadl bersama para perwira lain, begitu masuk kota raja mereka langsung menghadap kaisar. Ini merupakan peraturan datt tidak boleh dilanggar oleh siapapun juga. Tentu saja mereka merasa gembira sekali, teruta-ma sekali Hong Yi. Kalau diingat bahwa tadinya ia hidup dalam rumah pelesir asuhan Lu-ma dan walaupun ia tidak diperas, namun tetap saja ia pernah menjadi seorang pelacur! Dan sekarang, ia memperoleh seorang suami yang baik dan yang mencintainya, tidak memandang rendah walaupun suaminya tahu bahwa ia seorang bekas pelacur! Dan ia telah mempunyai seorang anak yang manis pula. Sekarang ditambah lagi anugerah dari Kaisar yang mengangkat ia dan suaminya menjadi bangsawan! Bangsawan yang ber-kedudukan terhormat sebagai panglima muda! Semua ini sungguh cocok sekali dengan ramalan yang ia dapatkan dari Kwan Im Bio, kuil dari Sang Dewi Welas Asih itu. Dengan hati dipenuhi kebanggaan dan kebahagiaan, bersama suaminya ia pulang membawa hadiah pedang bengkok bergagang emas untuk anak mereka.

Akan tetapi, alangkah heran rasa hatl mereka ketika mereka tiba di depan rumah mereka. Keadaan tempat tinggal mereka itu hampir tak dapat mereka kenali lagi. Pekarangannya tak terawat, penuh dengan rumput liar dan daun-daun, kering. Agaknya sudah lama sekali tidak' pernah disapu dan dibersihkan. Dinding rumah itupun kotor dan semua pintu dan jendela di depan tertutup. Rumah itu tampak sunyi sekali. Sungguh aneh. Seluruh penduduk kota raja sudah mendengar bahwa sebagian pasukan yang pergi ber-perang sudah pulang. Mustahil kalau Lu-ma, pelayan wanita, tukang kebun dan Bi Lan belum mendengar akan kepulangan rnereka. Mereka tidak ada yang menyambut?

Dengan hati merasa heran dan tidak enak suami isteri itu berlari memasuki pekarangan. Setelah hampir tiba di pin-tu depan, tiba-tiba muncul seorang perajurit dari pintu samping. Melihat Han Si Tiong dan Liang Hong Yi, perajurit itu memberi hormat. Tentu saja suami isteri ini bertambah heran melihat adanya seorang perajurit di situ.

Han Si Tiong cepat melompat ke depan perajurit itu.

"Hei, siapa engkau dan mengapa berada di sini?"

"Han-ciangkun, saya memang hari ini bertugas menjaga rumah ciangkun ini." jawab perajurit itu.

"Menjaga rumah kami? Kenapa? Dan di mana puteri kami? Di mana Lu-ma dan para pembancu?" tanya Sl Tiong sambil mengerutkan alisnya.

Perajurit itu tampak bingung. Dia mengerti bahwa suami isteri perwira ini belum tahu akan malapetaka yang menimpa keluarga mereka dan agaknya d"a| menjadi orang pertama yang harus rneo-j ceritakannya! Dia merasa tidak enak sekali harus menyampaikan berita yang menyedihkan itu.

"Tidak ada siapa-siapa di rumah ini, ciangkun. Hanya ada saya yang bertugas jaga hari ini. Kwe-ciangkun atasan saya yang memerintahkan kami inelakukan penjagaan di sini secara bergantian dan hari ini tiba giliran saya."

"Akan tetapi kenapa? Apa yang telah terjadi? Ke mana perginya semua peng-hunl rumah Ini? Di mana anakku?" Liang Hong Yl yang sudah tldak sabar lagt bertanya, suaranya mengandung kegelisahan.

Perajurlt itu menelan ludah beberapaj kali sebelum menjawab, kemudian memberanikan diri menjawab,

"Ciangkun dan hujin, telah terjadi hal yang menyedihkan di rumah ini, kurang lebih sebulan yang lalu...."

Han Si Tiong menangkap lengan perajurit itu dan mengguncangnya.

"Apa yang telah terjadi? Hayo cepat ceritakan!"

Perajurit itu mengangguk - angguk.

"Kurang lebih sebulan yang lalu, di ru-mah ini telah ditemukan Lu-ma dan pelayan wanita telah tewas, dan tukang kebun terluka parah...."

"Dan anakku? Puteriku Bl Lan....??" teriak Hong Yi wajahnya menjadi pucat sekali.

"Ia.... ia.... hilang. Tidak ada yang tahu ke mana...."

"Aihhh....!" Hong Yi sudah melompat ke serambi depan dan mendorong dauh plntu depan. Pintu itu terpalang dari dalam, akan tetapl dorongari kedua tangan Hong Yl yang disertal tenaga saktl itu membuat palang pintu jebol dan daun pintunya terbuka. Hong Yi berlari-lart memerlksa semua bagian dalam rumah. Kosong! Benar-benar telah kosong, tidak ada seorangpun di situ. Anakoya tidak ada di rumah itu!

"BiLan....! Bi Lan....!! Bibi Lu-ma...!!" la menjerit-jerit mernanggil sambil ber-lari ke sana-sini mencari-cari, akan te-tapi tidak ada yang menjawab. Tiba-tiba Si Tiong merangkulnya dan melihat su-aminya, Hong Yi merangkul dan menangis.

"Tiong-ko.... di mana Bi Lan? Dan BiBi Lu-ma? Apa yang terjadi dengan me-reka?" la menangis tersedu-sedu di atas dada suaminya.

Han Si Tiong mendekap kepala iste-rinya.

"Yi-moi, tenangkanlah hatimu, Yi-moi. Dalam keadaan seperti ini kita harus menguatkan perasaan hati. Ingat sepak terjangmu dalam pertempuran. Engkau seorang wanita gagah perkasa, harus mampu dan kuat menghadapi apapun juga. Tenangkanlah hatimu."

Hong Yi menumpahkan kegelisahan-nya melalui tangis. Setelah tangisnya mereda dan ia mampu menguatkan hati-nya, ia melepaskan rangkulannya. Dengan wajah pucat dan sepasang mata merah, ia bertanya kepada suaminya.

"Tiong-ko, bagaimana dengan Bi Lan? Apa yang terjadi dengan anak kita itu?"

"Tenangkan hatimu, Yi-moi. Aku sudah mendengar cerita perajurlt itu. Bi-bi Lu-ma dan pelayan wanita telah dibunuh orang. Tukang kebun kita terluka parah akan tetapi kata perajurit itu, sebelum tukang kebun tewas, dia sempat dibawa oleh Kwee-ciangkun. Dan anak kita agaknya dibawa lari pembunuh itu."

"Ahh....! Siapakah yang melakukan ini? Aku bersumpah akan membunuhnya dengan tanganku sendiri. Bi Lan, anak kita.... bagaimana nasibnya....?"

"Tenangkan hatimu. Setidaknya, aku yakin Bi Lan masih hidup. Kalau penculik itu berniat membunuhnya, tentu sudah dilakukannya seperti ketika dia membunuh yang lain. Kalau dia menculik anak kita, itu berarti dia menginginkan anak kita hidup-hidup dan selama Bi Lan masih hidup, ada harapan bagi kita untuk dapat berjumpa lagi dengannya."
,
"Akan tetapi, siapakah yang melakukan kekejian ini? Siapa yang memusuhi kita seperti ini?"

"Kita tunggu saja. Aku sudah memerintahkan perajurit tadi untuk mengundang Kwee-clangkun ke sini. Engkau tahu, Kwee-ciangkun adalah sahabat kita yang baik. Tentu dia mengetahui lebih banyak dari tukang kebun kita itu."

Tak lama kemudiari muncullah Kwee-clangkun. Perwira Kwee ini tldak ikut pergi berperang karena dia bertugas sebagal perwira pasukan penjaga kota raja. Dia bersahabat balk dengan Han Si Tiong dan biarpun dia tldak termasuk anak buah Jenderal Gak Hul seperti halnya Sl Tlong, akan tetapl Perwlra Kwee Inl-pun seorang yang tidak suka kepada Perdana Menterl Chin Kui.

Begitu diterima oleh Si Tlong dan Hong Yi, Kwee-ciangkun merangkul sahabatnya itu..

"Han-ciangkun, aku merasa ikut prihatin atas malapetaka yang menimpa keluargamu selagi kalian pergi berjuang melawan penjajah Kin." katanya terharu.

"Terima kasih, Kwee-fciangkuit. Duduklah dan ceritakanlah sejelasnya kepa-da kami apa yang telah terjadi dalam rumah kami ini ketika kami pergi bertempur." kata Han Si Tiong.

Moreka bertlga duduk bertiadapan. Mirang lebih sebulan yang lalu, tepat-nya mungktn srdah tiga puluh lima hari, padu suatu pagi aku mendengar laporan dari anak buahku yang melakukan peron-dten bahwa telah terjadi pernbunuhan di rumahmu ini. Mula-mula yang mengetahuinya adalah seorang tetanggamu yang melihat tukang kebunmu menggeletak di pekarangan. Mendengar bahwa pembunuhan itu terjadi di rumahmu, aku sendiri lalu bergegas datang melakukan pemeriksaan. Ternyata bukan hanya tukang kebun yang menggeletak dalam Keadaan terluka parah, melainkan juga Lu-ma, bibi kallan Itu, dan wanita pembantu rutnah tangga kallan telah menggeletak tewas di kamar tamu."

"Kwe-ciaogkun, siapa yang melakukan pembunuhan keji ini? Dan apa yang terjadi dengan anakku Bi Lan?" Hong Yi bertanya tak sabar.

"Tenanglah. Yl-mol. Biarkan Kwee-ciangkun melanluthan ceritanya." suaminya menenangkannya

Kwee-ciangkun yang bernama Kwee Gi itu, seorang pria tinggi besar gagah berusia kurang lebih empat puluh tahun, menghela napas panjang. dan memandang dengan sinar mata penuh iba kepada Hong Yi.

"Pada saat itu, aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Bi Lan yang tidak berada di rumah. Akan tetapi aku meli-hat tukang kebun itu masih hidup, maka aku lalu menyuruh orang memanggil tabib dan merawatnya. Setelah dia siuman dari pingsannya, aku segera bertanya ke-padanya apa yang telah terjadi. .Sebelum dla tewas karena luka parah, semua tulang iganya patah-patah, dia bercerita kepadaku. Katanya pagi hari itu datang seorang laki-laki berusia enam puluh tahun lebih, rambut, kumis dan jeriggotnya le-bat dan sudah putih semua, mengenakan topl aslng sepertt yang biasa dipakal suku-suku asing di utara dan barat, memegang sebatang tongkat ular kobra kering, wajahnya menyeramkan dengan mata lebar dan liar, tubuhnya sedang dan tegap. Tamu itu datang mencari kalian berdua. Ketika dijawab bahwa kalian pergi, dia minta bertemu dengan siapa saja yang berada di rumah. Tukang kebun itu lalu memberitahu Lu-ma dan tukang kebun itu kembali ke pekarangan depan, tldak tahu lagi apa yang terjadi di dalam. Akan tetapi, tak lama kemudian dia me-lihat laki-laki tua itu keluar dari dalam rumah sambil memondong Bi Lan yang tampak lemas dan anak itu me sangis tanpa suara. Tukang kebun berusaha untuk merebut kembali anak itu, akan tetapi penculik itu lihai sekali. Sebuah tendangan yang amat kuat mematahkan tulang-tulang iga tukang kebun itu sehing-ga dia roboh pingsan. Nah, demikianlah ceritanya. Setelah menceritakan semua itu, diapun menghembuskan napas terakhlr. Ketika aku memeriksa Jenazah Lu-ma dan pelayan Itu, mereka berdua tewas dengan luka di ulu hati dan di leher. Luka itu kecil saja, agaknya tertusuk benda tumpul, akan tetapi di sekitar luka itu berwarna menghitam. Tentu mereka keracunan hebat sekali dan tewas seketika. Dari kenyataan itu, jelas bahwa laki-laki tua itu seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi."

Sunyi sekali setelah Kwee-ciangkun menyelesaikan ceritanya. Suami isteri itu saling berpandangan dan perlahan-lahan dari kedua mata Hong Yi kemba-li menetes-netes air mata.

"Tiong-ko, kenalkah engkau dengan jahanam itu?" tanya Hong Yi sanrbil menahan isak tangisnya.

Sambil mengerutkan alisrtya, Han Si Tiong menggeleng kepala.

"Aku tidak mengenalnya, tidak pernah melihatnya, mendengarpun belum. Kenapa orang yang tidak dikenal reelakukan semua kekejaman ini?"

"Akupun tidak mengenal orang dengan gambaran seperti itu. Akan tetapi kenapa dia menculik anakku?" Hong Yi mengepal kedua tangannya, kegelisahan, kedukaan dan kemarahan memenuhi hatinya.

Kwee-clangkun menghela napas panjang.

"Kiranya tldak salah lagi kalau aku mengira bahwa perbuatan orang yang keji ini tentu merupakan suatu balas dendam"

"Akan tetapi kami berdua tidak mengenal orang macam itu! Bagaimana dia dapat membalas dendam kalau kita mengenalnyapun tidak? Ada urusan apa antara orang itu dengan kami?" kata Hong Yi penasaran sekali.

"Tidak selamanya orang yang menden-g dam kepada kita turun tangan sendiri. Bisa saja dia menyuruh orang lain yang lihai untuk melaksanakan balas dendamnya itu. Mungkin saja orang yang membunuh bibi kalian dan menculik puteri kalian adalah orang suruhan, seorang pembunuh bayaran." kata Kwee Gi.

Han Si Tiong mengangguk-angguk "Apa yang dikatakan Kwee-ciangkun itu benar sekali, Yi-moi. Tentu ada orang yang sakit hati kepada kita, yang secara pengecut membalas dendam kepada keluarga kita. Betapapun Juga, masih ada harapan bagl kita bahwa mereka tidak akan mengganggu Bi Lan yang tidak bersalah apapun kepada mereka."

"Perkiraanmu itu kurasa benar sekali Han-ciangkun. Kalau pembunuh itu menginginkan kematian anakmu, tentu hal itu telah dilakukannya di sini, tidak perlu bersusah payah menculik anak itu keluar dari kota raja yang tentu saja mengandung resiko ketahuan."

"Aku bersumpah akan mencari penculik itu, membunuhnya dan merampas kembali anakku' Aku tidak akan berhenti sebelum dapat menemukannya!" Hong Yi berkata dengan tegas dan penuh kemarahan.

Si Tiong menghela napas panjang.

"Tentu hal itu akan kita lakukan, Yi-moi, akan tetapi harus dengan persiapan matang dan sebagai seorang yang memegang kewajiban, kita harus mengembalikan dulu kedudukan yang dianugerahkan kepada kita. Ahh, sungguh bertubi-tubi malapeta-ka menimpa diri kami, Kwee-ciangkun. Pertama, kami harus ikut berduka dan prihatin karena Jenderal Gak dipaksa menghentikan gerakannya dan menarik mundur pasukannya yang sudah mulai memperoleh kemenangan. Kemudian setelah kami pulang dengan hati berat, kami bahkan dihadapkan dengan. peristlwa pembunuhan bibi daa dua orang pembantu kami dan penculikan anak kami." Han Si Tiong menarik napas panjang lagi dengan wajah diliputi kedukaan.

"Aku mengerti, Han-ciangkun. Biar-pun engkau dan isterimu mendapat anu-gerah pangkat panglima muda dan men-jadi bangsawan, namun hati kalian diliputi kedukaan. Aku juga mengerti akan keputusan Sribaginda Kaisar yang mengejutkan itu, yang memerintahkan Jenderal Gak menghentikan gerakan penyerbuan ke utara dan menarik mundur tentara-nya. Semua ini gara-gara bujukan perdana Meteri Chin Kui dan antek-anteknya sehingga Sri Baginda Kaisar mengambil keputusan seperti itu. Djam-diam aku sendi-ri sudah mengirim orang yang dapat ku-percaya untuk mengabarkan tentang per-j buatan Perdana Menteri Chin Kui ini kepada Jenderal Gak Hul." kata Perwira Kwee Gi.

"Hemm, begitukah?" Han 'Sl Tiong mengepal tinjunya.

"Kasihan Jenderal Gak yang gagah perkasa dan budiman. Kasihan rakyat yang tinggal di sekitar perbatasan sebelah utara yang tadinya sudah dibebaskan oleh pasukan kita. Mereka mengantar penarikan mundur pasu-kan di bawah pimpinan Jenderal Gak de-ngan ratap tangis. Kalau begitu, untuk apa kami lebih lama lagi bertugas sebagai perwira? Kwee-ciangkun, kami berdua akan mengundurkan diri, kami akan pergi mencari puteri kami sampai dapat kami temukan."

KISAH SI NAGA LANGIT JILID 06

Kwee-ciangkun dapat memaklumi ke-adaan sahabatnya. Demikianlah, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi lalu mohon ijin untuk mengundurkan diri dan berhenti dari jabatan mereka dengan alasan harus mencari puteri mereka yang hilang diculik orang. Permohonan berhenti Ini hanya sampai di tangan Jenderal Ciang Sun Bo yang berhak menangani urusan Ini. Seperti kita ketahui, Jenderal Ciang itil adalah anak buah Perdana Menteri Chin Kui dan dia pernah bentrok dengan Si Tiong dan Liang Hong Yi karena dia tertarik oleh kecantikan Hong Yi. Dlu tidak berani mengganggu, suumi isteri itu karena mereka menjadl para pembantu Jenderal Gak Hul, Oleh karena itu membaca permohonan suami isteri itu untuk berhenti dari pekerjaan mereka, tentu saja dia segera menyetujui.

Han Si Tiong dan Liang Hong Yl la-lu berkemas, menjuali harta miliknya lalu meninggalkan kpta raja. Mereka berdua merantau, mencari-cari puteri mereka. Akan tetapi penculik itu sama sekali ti-dak meninggalkan jejak sehingga mereka tidak tahu harus mencari ke mana. Dari ciri-ciri penculik itu seperti yang diceritakan oleh tukang kebun mereka kepada Kwee-clangkun, mereka mendengar keterangan dari orang-orang kang-ouw (su-ngai telaga, dunia persilatan) bahwa yang dimaksud itu mungkin seorang datuk yang bernama Ouw Kan dan berjuluk Toat-beng Coa-ong (Raja Lllar Pencabut Nyawa). Akan tetapl selama bertahun-tahun Inl datuk Itu hanya dlkenal ssbagai seorang yang datang darl Sln-klang dan riamanya amat terkenal dl utara, dl daerah yang klni dtduduki Kerajaan Kln. Karena itu Si Tiong dan Hong Yi pergl merantau ke utara, lalu ke Sin-kiang. Sampai hampir dua tahun mereka merantau dan mencarl-carl, akan tetapi semua usaha mereka sla-sia. Mereka tldak dapat me-nemukan datuk yang mereka curigai Itu, bahkan akhirnya di daerah Sin-kiang mereka mendengar bahwa datuk itu mung-kin sekali sudah tewas, walaupun tak se-orangpun dapat memastikan akan hal itu dan tidak ada pula yang tahu di mana kuburnya. Juga tidak ada orang yang da-pat mengatakan di mana adanya Bi Lan yang diculik itu.

Akhirnya setelah semua usaha mereka sia-sia, Si Tiong dan Hong Yi meng-hentikan usaha mereka mencari puterl mereka. Dengan kecewa dan duka mere-ka lalu membeli sebidang tanah di dekat See-ouw (Telaga Barat) dan hldup sebagai petani, mengasingkan diri dari dunla ramai. Mereka hidup sederhana. Sang Waktu akhirnya mengobati sakit hati dan kedukaan mereka. Mereka menerima nasib dan hidup sebagai petani, mendapatkan ketenterartian dan kedamaian di tempat yang sunyi dan indah itu. Penduduk sekitar telaga yang indah itu kadang melihat sepasang suami isteri ini menunggartg keledai mereka di sepanjang tepi telaga sambil menikmati pemandangan yang indah sekali dari 'tempat itu. Mereka hidup terasing dan jauh dari dusun, seperti dua orang pertapa. Bah-kan para penduduk dusun di sekitar tela-ga tidak pernah tahu bahwa sepasang suami isteri itu adalah bekas panglima dan telah memperoleh gelar bangsawan darl Kaisar Sung Kao Tsu!

* * *

Apa yang terjadi dengan Bi Lan? Mari kita ikuti perjalanan Ouw Kan datukr yang dikenal dengan julukan Toat-beng Coa-ong itu, yang berhasil membawa Bi Lan yang ditotok pingsan dan dipondongnya itu keluar pintu gerbang kota raja sebelah utara. Orang-orang yang melihatnya tentu menduga bahwa kakek itu memondong cucunya yang sedang tldur.

Setelah tiba jauh darl kota raja, Ouw Kan menurunkan Bi Lan dan membebaskan totokannya. Bi Lan yarig merasa tubuhnya kaku dan lemah, jatuh terduduk. Kini ia terbebas dari totokan, mampu bergerak dan mengeluarkan suara. Begitu ia dapat menggerakkan tangan kakinya, tanpa memperdulikan tubuhnya yang masih terasa lemah, ia sudah meloncat bangun.

"Kakek jahat, engkau telah membu-nuh nenek, pelayan dan tukang kebun ka-n"i! Aku harus niembalaskan kernattan mereka!" Setelah mengeluarkan suara bentakan ini, ia lalu menerjang dan menyerang kakek itu kalang kabut!

Akan tetapi apa artinya serangan se-orang anak berusia tujuh tahun? Biarpun Bi Lan sejak kecil telah digembleng dasar-dasar ilmu silat oleh ayah ibunya, na-mun tentu saja inenghadapi seorang datuk seperti Ouw Kan, kepandaiannya itu sama sekali tidak ada artinya. Sekali tangan kiri kakek itu menyambar, anak itu telah terpelanting dan terbanting roboh.

"Hemm, anak bandel! Kalau engkau tidak mau menaatiku dan berjalan sendiri dengan baik-baik, aku akan membuatmu tidak dapat bergerak seperti tadi kemudian aku akan menyeretmu!"

Bi Lan adalah seorang anak yang memiliki keberanian besar. Mendengar ancaman itu ia sama sekali tidak merasa takut, bahkan kini ia sudah bangkit dan dengan nekat ia inenyerang lagi! Ouw Kan menangkap lengan Bi Lan, akan tetapi anak itu cepat mendekatkan mukanya dan menggigit tangan kakek itu!

"Uhh'" Ouw Kan yang tidak mengira tergigit tangannya. Karena merasa nyeri dia lalu mengibaskan tangannya dan kembali Bi Lan terpelanting. Akan tetapi ia bangkit lagi, mukanya merah karena marah dan ia sama sekali tidak menangis,

"Kakek iblis! Kubunuh engkau!" teriaknya dan kembali ia menerjang.

Ouw Kan diam-diam merasa kagum akan kenekatan dan keberanian anak itu akan tetapi dia juga merasa terganggu. Kini dia menggerakkan tangan dan sekali jari tangannya menotok, Bi Lan roboh dengan tubuh lemas dan kaki tangan lumpuh. Akan tetapi ia masih dapat mengeluarkan suara dan lapun memaki maki.

"Kakek Jahat! Kakek Iblls! Muka jelek, hatimu lebih jelek lagi!"

"Hemm, engkau memang bandel dan keras kepala. Engkau mencari sakit sendiri. Disuruh berjalan sendiri baik-baik tidak mau, rasakan sekarang aku akan menyeretmu!"
Ouw Kan melepaskan pita rambut Bi Lan sehingga rambut yang panjang itu terurai lepas. Kemudian kakek itu menjambak rambut Bi Lan yang lebat dan hitam, lalu menyeret tubuh yang telentang itu di belakang.

Tentu saja Bi Lan merasa tersiksa sekali. Belakang kedua lengan dan kakinya, juga punggung dan pinggulnya, terasa sakit-sakit karena terseret dan terantuk batu-batu di jalan. Tubuh bagian belakang itu lecet-lecet, pakaiannya bagian belakang juga pecah-pecah. Rasa pe-dih menusuk tulang. Akan tetapi ia mengeraskan hatinya, tidak mau berteriak, tidak mengeluh. Hanya matanya yang menjadi basah dan alr mata turun ke atas kedua pipinya.

Setelah berjalan agak jauh, Ouw Kati merasa kesal juga harus menyeret tubuh anak itu. Sama tldak enaknya dengan memondong. Dia berhenti dan menoleh. Dilihatnya anak itu sama sekali tidak mengeluh, melainkan mengertakkan gigi dan kedua matanya mengeluarkan air mata namun sedikitpun tidak terdengar tangisnya. Anak yang luar biasa, pikirnya kagum. Bagian belakang tubuh anak itu sudah lecet-lecet berdarah, akan tetapl la tldak pernah mengeluh, dan sepasang mata yang jeli itu memandang ke-padanya penuh kemarahan!

"Nah, tidak enak bukan kalau kuseret? Apa sekarang engkau masih keras kepala dan tidak mau berjalan sendiri?"

Bi Lan adalah seorang anak yang pemberani dan keras hati, akan tetapi di samping itu ia juga seorang anak yang cerdlk bukan main. Pikirannya berjalan cepat. la sudah melihat untung ruginya. Kalau la berkeras tidak menaati perintah penculikya, ia akan tersiksa, terluka dan mungkin akan tewas. Kalau begitu, tentu ia tldak beri kesempatan lagi untuk membalas semua kejahatan yang telah dilakukan kakek itu. Sebaliknya kalau ia menaati, selain penyiksaan yang menghina itu tidak perlu ia rasakan, juga masih terbuka kesempatan baginya untuk membalas dan kalau mungkin membunuh kakek ini. Setelah pikiran secepat kllat ini bekerja, ia lalu mengatakan keputusan hatinya.

"Baik, aku akan berjalan sendiri." Ouw Kan tersenyum, merasa menang dan dia lalu membebaskan totokannya sehingga Bi Lan mampu bergerak kembali. Bi Lan maklum bahwa menyerang lagi dengan nekat akan sia-sia belaka. la harus menekan kemarahannya dan mena-han kesabarannya, menanti terbukanya kesempatan yang baik untuk membalas dendam. la bangkit dan merasa betapa bagian belakang tubuhnya nyerl sekall, panas dan pedih sehingga tak tertahankan lagi la menyeringai kesakltan.

Melihat inl, Ouw Kan yang merasa kagum dan suka mellhat anak perempuan yang pemberanl dan tahan uji itu mengeluarkan sebuah bungkusan dari sakunya.

"Menghadaplah ke sana, akan kuobati lecet-lecet itu!"'

Bi Lan tidak membantah, lalu berdirl membelakangi kakek itu. Ouw Kan membuka bungkusan yang terisi obat bubuk berwarna kuning. Dia menaburkan bubuk kuning itu pada luka-luka di bagian be-lakang tubuh Bi Lan. Anak itu merasa betapa panas dan pedih di tubuhnya se-gera hUang terganti rasa dingin dan nyaman.

"Nah, mari kita lanjutkan perjalanan kita." kata Ouw Kan. Dia melangkah dan Bi Lan berjalan di sampingnya. Setelah berjalan tanpa bicara beberapa lamanya, Bi Lan lalu bertanya, mengatur agar kemarahan tidak muncul dalam suaranya.

"Engkau ini siapakah, Kek?"

Ouw Kan tersenyum dan mengelus jenggot putihnya yang lebat. Dari suaranya, anak ini sama sekali tidak menunjukkan rasa takut. Sungguh seorang anak yang luar biasa!

"Hemm, mau tahu slapa aku? Aku bukan orang biasa saja. Namaku Ouw Kan, akan tetapi dunia persilatan mengenal aku sebagai Toat-beng Coa-ong!"

"Pantas tongkatmu ular kering!" kata Bl Lan sambll memandang ke arah tongkat yang kinl dipegang tangan kanan kakek itu.

"Ha-ha, engkau cerdlk. Siapa nama-mu?"

"Namaku Han Bi Lan, kek."

"Han Bi Lan? Nama yang bagus." Ouw Kan mengangguk-angguk. Datuk Ini adalah seorang yang berwatak aneh dan terkenal kejam sekali. Dia dapat membunuhi orang tanpa berkedipi Akan tetapi, betapapun jahatnya, ada juga saatnya dia bersikap seperti seorang manusia biasa yang dapat tertarik dan merasa suka kepada seseorang seperti sekarang dia merasa suka sekali kepatfa anak perempuan yang dlcullknya ini. Sikap Bl Lan yang pemberanl Itu membuat dia kagum dan suka.

"Akan tetapi, kek. Engkau yang tidak mengenal aku, kenapa sekarang menculikku? Dan nenek Lu-ma, pembantu rumah tangga dan tukang kebun kami, apa kesalahan mereka terhadapmu? Kenapa mereka kau bunuh?"

Dihujani pertanyaan ini, Ouw Kan tertawa. Dia adalah seorang manusia yang tak pernah menyadari akan kesalahannya. Dia percaya bahwa segala yang dia lakukan adalah benar, tidak jahat, karena semua perbuatannya itu ada alasannya! Nafsu daya rendah memang menjadlkan hati akal pikiran sebagai sarang-nya dan melalui hati akal pikiran inilah nafsu setan membisikkan alasan-alasan untuk membenarkan segala perbuatannya yang menyimpang dari kebenaran. Setan itu cerdik bukan main. Dia niembela se-mua perbuatan sesat dengan alasan-alas-an yang tampaknya masuk akal dan benar!

"Hemm, engkau ingin tahu mengapa aku melakukan penculikan dan pembunuhan itu, Bl Lan? Semua Itu untuk menghukum dosa yang dllakukan ayah ibumu? Mereka telah membunuh Pangeran Cu Sl dalam pertempuran, maka Sribaginda Raja Kin lalu menyuruh aku untuk membalas dendam kematian puteranya."

"Akan tetapi, kenapa aku yang kau culik dan mereka yang kau bunuh? Kami tidak mempunyai kesalahan apapun!" Bi Lan membantah.

"Kalau ayah ibumu berada di rumah, tentu mereka yang akan kubunuh. Akan tetapi mereka tidak berada di rumah. Yang ada hanya engkau puteri mereka dan orang-orang itu. Maka engkau yang kuculik dan mereka kubunuh sebagai pembalasan atas kematian Pangeran Cu Si."

Pada saat itu terdengar suara derap kaki kuda datang dari belakang. Ouw Kan berhenti melangkah dan menengok. Bi Lan juga memutar tubuh. Mereka melihat seorang laki-laki menunggang kuda datang dari arah belakang. Ouw Kan lalu berdiri di tengah jalan menghadang dan mengangkat tangan kiri ke atas sebagai tanda menghentikan penunggang kuda itu. Kuda dihentikan, debu mengepul dan laki-laki itu melompat turun dari atas punggung kudanya. Dia seorang laki-laki kurang lebih empat puluh tahun dan me-lihat sebatang golok yang terselip di punggungnya dapat diduga bahwa dia se-orang yang siap menghadapi gangguan dengan kekerasan. Seorang tokoh kang-ouw yang mengandalkan ilmu silatnya untuk membela diri. Mukanya bulat, tubuhnya kokoh dan sinar matanya mencorong.

Alisnya berkerut ketika ia memandang kakek yang menghentikannya di tengah jalan itu.

"Paman tua, ada keperluan apakah engkau menghadang perjalananku?" tanya laki-laki itu sambil memandang kepada Bi Lan yang berdiri di tepi jalan.

"Apakah ada sesuatu yang perlu kubantu?"

"He-he, memang ada yang perlu Kau-bantu, sobat. Aku sudah tua dan cucuku ini masih kecil. Kami membutuhkan kudamu untuk melanjutkan perjalanan kami. Maka, engkau lanjutkan perjatanan dengan jalan kaki dan tinggalkan kudamu untuk kami pakai." kata Ouw Kan dengan senyum.

"Dia bohong! Aku bukan cucunya. Dia bukan kakekku, dia menculikku!" tiba-tiba Bi Lan berteriak. la melihat sikap gagah laki-laki itu dan mengharapkan pertolongan darinya.

Laki-laki itu mengerutkan alisnya semakin dalam dan memandang kepada Ouw Kan dengan tajam penuh selidik.

"Ehh? Benarkah itu, paman tua?"

Sikap lembut Ouw Kan lenyap, ter-ganti pandang mata mencorong dan sua-ranya juga ketus.

"Jangan mencampuri urusanku. Berikan saja kudamu itu kepadaku!"

"Hemm, engkau sudah menculik seorang anak perempuan dan kini hendak merampas kudaku? Orang tua, jangan engkau berani main-main di depanku! Engkau tidak tahu siapa aku? Aku adalah orang yang disebut Hui-liong Sin-to (Go-lok Sakti Naga Terbang)! Minggirlah dan jangan ganggu. aku lagi dan biarkan aku mengantarkan anak ini kembali ke orang tuanya. Barulah aku mau mengampunimu!"

"Heh-heh-heh, kalau begitu terpaksa gku harus membunuhmu!" kata Ouw Kan tertawa sambil menggerakkan tongkat ularnya. Tongkat itu meluncur ke arah dada laki-laki itu. Akan tetapi orang yang mengaku berjuluk Hui-liong Sin-to itu dengan tangkas dan gesitnya mengelak ke belakang dan sekali tangan kanannya meraba punggung, tampak sinar berkelebat dan sebatang golok yang amat tajam telah berada dl tangan kanannya.

Ouw Kan tidak perduli. Serangan pertamanya yang dapat dihindarkan lawan itu membuatnya penasaran dan diapun menyerang lagi. Kini tongkat ular kobra itu membuat gerakan melayang dan melingkar-lingkar menyerang ke arah titik-titik jalan darah maut di bagian tubuh lawannya. Hui-llong Sin-to terkeJut bukan main, mengenal serangan yang amat berbahaya. Dia cepat memutar goloknya menangkis sambil mengerahkan tenaga dengan maksud untuk mematahkan tongkat ular kobra kering itu.

"Tranggg.....!!'' Tampak bunga apl berpijar dan bukan tongkat ular itu yang patah, melainkan golok itu terpental dan hampir saja terlepas dari tangan pemegangnya. Laki-laki itu terkejut bukan main. Dia adalah seorang ahli silat yang kenamaan dan tergolong jagoan sehingga memperoleh julukan Golok Sakti Naga Terbang. Goloknya amat terkenal dan jarang menemukan tanding. Akan tetapi sekali ini berhadapan dengan seorang kakek, tongkat ular kering kakek itu dapat membuat goloknya terpental! Tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan sakti. Akan tetapi dia tidak mendapat kesempatan untuk berpikir karena tongkat yang sudah berubah menjadi gulungan sinar hitam itu sudah menyambar lagi ke arahnya.

Hui-Liong Sin-To terpaksa menangkis lagi sambil terhuyung ke belakang. Ouw Kan menggerakkan tangan kirinya, dengan telapak tangannya dia mendorong ke arah dada lawan.

"Robohlah!" bentaknya.

Serangkum tenaga dahsyat menyambar dan tubuh orang itu terpental ke belakang dan terbanting roboh. Goloknya terlepas darl tangannya dan tubuh itu terkulal lemas. Matanya terbelalak memandang Ouw Kan yang berdiri sambil tersenyum mengejek. Telunjuk tangan kanannya diangkat menuding dan mulutnya yang mengeluarkan darah segar bertanya,

"Siapa.... siapa..... engkau.....?"

"Toat-beng Coa-ong Ouw Kan namaku!" kata Ouw Kan. Orang Itu tampak terkejut sekali. ,

"Toat-beng Coa-ong.....? Ahhhh .... mati aku.....!" Dia terkulai lagi dan diam tak bergerak, tewas seketika karena pukulan Ouw Kan tadi mengandung hawa beracun yang amat dahsyat.

Bi Lan menonton dengan mata terbelalak dan hati merasa ngeri. Kini sadarlah anak ini bahwa penculiknya adalah seorang yang sakti dan berbahaya sekali. Tahulah ia bahwa ia tidak mungkin akan dapat terlepas darl cengkeraman kakek ini mempergunakan kekerasan. la menahan kebenciannya yang makin mendalam melihat betapa kakek itu demikian mudahnya membunuh orang, hanya untuk merampas kudanya.

Ouw Kan menghampiri Bi Lan dan tersenyum, lalu berkata dengan nada bangga.

"Hah, orang macam itu berani melawan aku! Mencari mampus sendiri. Hayo, Bi Lan, kita melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda."

Bi Lan tldak membantah ketika ia diangkat dan didudukkan di atas punggung kuda. Kemudian kakek itu melompat dan duduk di belakangnya. Kuda dilarikan meninggalkan tempat itu. Bi Lan menoleh memandang ke arah pemilik kuda yang menggeletak tanpa nyawa di atas tanah dan ia mulai merasa ngeri.

"Bi Lan, kalau engkau bertemu orang mengatakan bahwa aku menculikmu lalu orang itu menantangku, dia tentu akan mati di tanganku dan engkaulah yang menyebabkan kematiannya itu," kata Ouw Kan.

Bl Lan merasa ngerl, Kakek inl lihal bukan maln dan ia tahu bahwa ucapen kakek itu bukan sekedar gertak kosong belaka.

"Habls, apa yang harua kukatakan kepada orang? Engkau memang menculikku." Jawabnya.

"Engkau akan membawaku ke mana, kek? Apa yang akan kaulakukan denganku? Kalau engkau hendak membunuhku, kenapa tldak kaulakukan sekarang?"

"Heh-heh, aku suka melihatmu dan sayang kalau engkau dibunuh, Bl Lan. Aku akan membawamu ke utara dan menyerahkanmu kepada Sribaginda Raja Kin yang kematian puteranya. Terserah kepadanya apa yang akan dilakukannya terhadap dirimu."

Bi Lan mengerutkan alisnya. Hatinya merasa khawatir sekali. Raja Kin itu mendedam sakit hati kepada ayah ibunya yang telah membunuh puteranya dalam perang. Kalau ia terjatuh ke tangan raja itu, tentu akan celaka hidupnya. Raja itu tentu akan melampiaskan dendamnya. Mungkin ia akan dibunuh, atau disiksa. Atau la akan disandera dan dijadikan umpan untuk memancing datangnya ayah ibunya! Ah, gawat sekali kalau begitu. Akan tetapi ia diam saja.

Siang hari itu panasnya bukan main. Ouw Kan menghentikan kudanya dan mereka turun dari atas punggung kuda. Setelah menambatkan kudanya pada sebatang pohon, Ouw Kan mengajak Bl Lan duduk dl bawah pohon yang teduh. Jalan pegunungan itu sunyi sekali.

"Perutku lapar, kita makan dulu." katanya dan dia mengeluarkan ssebuah bungkusan yang berisi roti kering dan daging kering.

"Kita makan seadanya dan minum anggur ini." Ternyata kakek itu membawa seguci anggur.

"Aku tidak suka minum anggur. Di sana ada alr, aku ingln minum air." kata Bi Lan, menunjuk ke arah alr yang mengucur darl celah-celah batu padas.

Karena ia tidak Ingin kelaparan dan, kehabisan tenaga, Bl Lan makan rotl dan daglng kerlng, dan mlnum alr yang ditampung dengan kedua tangannya. Ouw Kan "endlrl makan rotl dan daging kerlng lalu la minum anggur sampai habls setengah guci.

Dalam. keadaan hampir mabuk dia lalu merebahkan diri di atas rumput dl bawah pohon Itu dan sebentar saja dia sudah tldur mendengkur!

Bi Lan duduk dl rumput dan memandang kakek Itu dengan Jantung berdebar. Inilah aaatnya, piklrnya. Saat yang memberl kesempatan kepadanya untuk meloloskan diri, untuk melarlkan diri! la menanti sampai dengkur kakek itu terdengar teratur dan panjang-panjang, tanda bahwa tidurnya sudah pulas benar. la bangkit berdirl, perlahan-lahan sambil terus mengamati kakek itu. Tidak ada tanda-tanda bahwa kakek itu memperhatikannya. la memutar tubuhnya, kemu-dian berjingkat rnelangkah meninggalkan tempat itu. Akan tetapi baru belasan langkah ia berjalan, tiba-tiba tubuhnya seperti ditarik oleh kekuatan yang taktam-pak sehingga ia terhuyung ke belakang dan jatuh terduduk di tempatnya yang tadi! la memutar tubuh melihat betapa kakek itu masih mendengkur! Bi Lan menjadi penasaran sekali. Kembali ia bangkit berdiri dengan hati-hati dan kini ia melangkah meninggalkan tempat itu sambil mundur, matanya tetap memandang ke arah kakek yang masih tidur mendengkur.

Setelah mundur belasan langkah, la melihat kakek yang masih mendengkur itu tlba-tiba menggerakkan tangan ke arahnya dan .... kembali ada tenaga yang amat kuat menariknya ke depan. Betapapun ia berusaha untuk bertahan, tetap saja tubuhnya tertarlk kembali ke depan dan ia jatuh terduduk di tempatnya yang tadi, tak jauh dari tubuh kakek yang rebah telentang dan tidur mendengkur itu!

Hati Bi Lan menjadi gemas sekali. Mengertilah ia bahwa kakek sakti itulah yang membuat tubuhnya selalu tertarik kembali. Entah bagaimana, dalam keadaan tidur mendengkur kakek itu mampu mencegahnya melarikan diri! Kemarahan membakar hatinya. Sekaranglah kesempatan itu terbuka baginya. Makin lama ia akan semakin jauh di daerah utara dan akan makin kecilah harapan untuk dapat meloloskan diri. Kalau kakeK ini, biarpun dalam tidur, dapat menghalanginya melarikan diri, satu-satunya jalan harus membunuhnya lebih dulu! Bi Lan menjadi nekat. Di dekatnya terdapat seborgkah batu sebesar kepalanya. la mengambil. batu itu dan mengangkatnya dengan ke-dua tangannya. Lalu ia menghampiri Ouw Kan. Dengan mengerahkan seluruh tenaganya ia membanting batu itu, menimpakannya ke arah muka Ouw Kan yang tidur telentang di atas rumput!

"Wuuuttt.... bukkkk!" sungguh aneh. Dia masih mendengkur, akan tetapi ketika batu itu menlmpa, kepalanya bergerak ke samping sehingga batu itu menghantam tanah, tidak mengenai mukanya! Bi Lan menjadi penasaran sekali. Diambilnya lagi batu itu dan ditimpakan lagi ke arah muka. Namun, sampai tiga kali ia mengulang, tetap saja hantamannya itu tidak pernah mengenai muka kakek itu. Bi Lan menjadi penasaran sekali dan untuk ke empat kalinya ia menimpakan batu itu sekuat tenaga ke atas dada Ouw Kan! Sekali ini kakek itu tidak dapat mengelak dan batu itu tepat menehantam dadanya.

"Bukkk....!!" Bi Lan terpental sampai tiga meter, seperti dilontarkan tenaga yang amat kuat dan batu itu terlepas dan kedua tangannya, terpental lebih jauh lagi. Tubuh Bi Lan terbanting keras ke atas tanah sehingga pinggulnya terasa nyeri.

Ouw Kan bangkit duduk, menggosok-gosok kedua matanya seperti orang baru bangun tidur, memandang kepada Bi Lan. lalu bangkit berdiri. Bi Lan juga bangkit berdin walaupun pinggulnya terasa nyeri. la maklum bahwa ia tidak mungkin dapat terbebas dari kakek ini. Kesempatan baik tadi telah ia pergunakan, akan tetapi ternyata kakek itu seorang yang amat sakti. Sedang dalam keadaan tidur saja kakek itu dapat menggagalkan usahanya menyferang untuk membebaskan diri, apalagi dalam keadaan sadar. Dan ia dapat membayangkan betapa ngeri nasibnya kalau terjatuh ke dalam tangan Raja Kin yang mendendam kepada ayah ibunya.

"Tidak! Aku tidak mau kaubawa lagi! Biar kaubunuh aku, aku tetap tidak mau ikut denganmu!" teriak Bi Lan dengan nekat.

Ouw Kan tertawa bergelak. Dia merasa semakin suka kepada anak yang pemberani, nekat dan tidak takut mati ini.

"Ha-ha-ha, Bi Lan. Apa kaukira engkau akan dapat menolak kalau aku membawamu pergi?" Dia lalu berkemak-kemik membaca mantera dan mengerahkan kekuatan sihirnya, lalu berkata dengan suara yang lembut namun mengandung wibawa yang kuat sekali.

"Bi Lan, anak baik! Ke sinilah, engkau harus patuh dan ikut denganku, ke manapun kubawa engkau pergi!"

Ada sesuatu yang teramat kuat mendorong Bi Lan, baik mendorong hatinya dan kedua kakinya sehingga ia melangkah maju, menghampiri kakek itu. Akan tetapi baru tiga langkah ia berjalan, tiba-tiba terdengar suara tawa yang nyaring dan tiba-tiba saja kekuatan yang mendorong Bi Lan itu lenyap.

"Tidak, tidak!" Bi Lari berhenti dan menggeleng kepalanya.

"Aku tidak sudi ikut denganmu. Engkau kakek jahat, telah membunuh nenek, pelayan dan tukang kebun kami. Aku benci padamut"

Ouw Kan merasa terkejut sekali melihat betapa pengaruh sihirnya atas diri anak itu punah. Dia tahu bahwa suara tawa tadilah yang memunahkan kekuatan sihirnya. Dia merasakan getaran hebat terkandung dalam suara tawa itu.

"Omitohud! Toat-beng Coa-ong Ouw Kan di mana-mana mendatangkan kekacauan belaka. Anak sekecil inipun hendak dipaksanya. Uih, sungguh mernalukan sekali seorang datuk besar sampai dimakl-maki anak kecil!"

Ouw Kan cepat memutar tubuh ke kanan dan dia melihat kakek itu! Seo-rang kakek yang berusia sekitar enam puluh tahun, berjubah kuning dengan kotak kotak merah, kepalanya gundul mengenakan peci kain kuning. Tubuhnya tinggi besar berperut gendut dan bajunya tidak terkancing sehingga dadanya tampak. Mukanya bulat dan semua anggauta tu-buh kakek ini tampak kebulat-bulatan. Di tangan kanannya terdapat sebatang tongkat panjang berkepala naga. Tentu saja Ouw Kan menjadi terkejut dan juga marah sekali. Baru beberapa bulan dia bertemu dengan kakek ini yang bukan lain adalah Jit Kong Lama, pendeta Lama dari Tibet yang amat sakti itu. Pernah dia dan Ali Ahmed datuk suku Hui itu berhadapan dengan Jit Kong Lama dan memperebutkan kitab-kitab yang dibawa Tlong Lee Cin-jin dan dia bersama Ali Ahmed kalah melawan kakek gundul dari Tibet Inl.

"Jit Kong Lama!" Ouw Kan membentak marah.

"Tidak malukah engkau sebagai seorang datuk besar hendak mencampuri urusan orang lain? Urusanku dengan anak ini sama sekali tidak ada sangkui pautnya dengan dirimu, karena itu pergilah dan jangan mengganggu kami!"

"Ha-ha-ha! Ouw Kan, pinceng (aku) tidak sudi mencampuri urusan pribadimu, akan tetapi pinceng ingin inencampuri urusan anak ini. Kalau ia memang suka kaubawa pergi, pinceng tidak akan peduli. Akan tetapi kalau ia tidak mau kau bawa pergi, setelah ada pinceng di sini, engkau tidak boleh memaksanya."

Mendengar ucapan hwesio gundul berjubah aneh itu, Bi Lan cepat berkata dengan lantang.

"Losuhu yang baik, dia itu orang jahat sekali!" Telunjuknya menuding ke arah muka Ouw Kan.

"Aku tidak sudi ikut dengan dial" .
Jit Kong Lama tertawa lagi.

"Ha-ha-ha, Ouw Kan, engkau sudah mendengar sendiri dengan jelas! Anak Ini tidak mau ikut denganmu, maka pergilah tinggalkan ia dan jangan menggunakan paksaan

Ouw Kan menjadi marah bukan main. la amat membutuhkan diri Bi Lan untuk dijadikan bukti keberhasilan tugasnya kepada Raja Kin. Dia tidak berhasil membunuh Han Si Tiong dan Liang Hong Yi, sekarang harus gagal lagi menculik anak mereka. Membunuhi nenek dan dua pela-yan itu, tentu saja tidak ada artinya bagi pembalasan dendam kematian Pangeran Cu Si. Akan tetapi diapun bukan seorang bodoh. Baru beberapa bulan yang lalu, bersama Ali Ahmed sekalipun mere-ka tidak mampu menandingi Jit Kong Lama. Apalagi sekarang harus melawan seorang diri! Dia tidak sebodoh itu untuk mencari penyakit melawan orang yang jauh lebih, kuat dari padanya.

"Anak ini aku yang membawanya sampai di sirai. Kalau ia tidak mau ikut, biar ia mampus saja!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba dengan gerakan cepat sekali tubuhnya sudah melompat ke arah Bi Lan dan tongkat ular kobra itu meluncur ke arah kepala anak perempuan itu.

"Trakkk!" tongkat itu bertemU ujung tongkat naga di tangan Jit Kong Lama sehingga terpental dan tubuh Ouw Kan agak terhuyung ketika ia terdorong ke belakang.

"Omitohud! Apa kaukira pinceng ini patung? Anak ini tidak sudi kau bawa, apalagi kaubunuh! Karena ia tidak mau, pinccng harus membelanya!" Jit Kong Lama melintangkan tongkat kepala naga di depan dadanya.

Ouw Kan memandang dengan mata berapi, akan tetapi dia menahan diri dan tidak berani menyerang.

"Jit Kong Lama, sekali ini aku mengalah kepadamu. Akan tetapi ingatlah bahwa aku bertugas sebagai utusan Sribaginda Raja Kin dan campur tanganmu ini berarti engkau telah berdosa terhadap KeraJaan Kin!"
"Ha-ha-ha, ancamanmu itu tidak ada artinya bagi pinceng. Pinceng bukan warga negara Kin, maka pinceng tidak berdosa kepada kerajaan manapun!"

Setelah melotot kepada pendeta Lama dan Bi Lan, Ouw Kan lalu memutar tubuhnya, berlari ke arah kuda yang dltam-batkan pada batang pohon, melepas kendali kuda lalu melompat ke atas punggung binatang itu dan cepat meninggalkan tempat itu.

Kini pendeta Lama itu berdiri berhadapan dengan Bi Lan. Mereka saling pandang dan memperhatikan. Sebagai anak Cerdik Bi Lan tahu bahwa kakek gundul ini telah menolongnya dan ia harus berterima kasih kepadanya. Maka iapun maju menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan Jit Kong Lama.

"Losuhu telah menolong saya dan membebaskan saya dari tangan pembunuh dan penculik itu. Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada losuhu."

Jit Kong Hwesio membungkuk dan menggunakan tangan kirinya untuk meraba-raba dan menekan-nekan kepala, kedua pundak dan punggung Bi Lan. Anak itu merasa heran dan tidak enak diraba-raba seperti ku, akan tetsipi ia diam saja.

"Bangkitlah, anak baik. Siapa namamu dan di mana tempat tinggalmu?"

Bi Lan bangkit berdiri.

"Saya bernama Han Bi Lan dan tempat tinggal saya dl kota raja Hang-chou."

"Omitohud! Begitu jauhnya dia membawamu? Dari Hang-chou ke sini? Wah, perjalanan dari sini ke Hang-chou dengan berjalan kaki akan makan waktu puluhan hari! Bagaimana engkau akan dapat pulang sendiri, Bi Lan? Di dalam perjalanan sejauh itu, engkau tentu akan bertemu banyak orang jahat. Engkau mungil dan cantik, tentu banyak orang jahat tidak akan melepaskanmu begitu saja."

Mendengar ini, kembali Bi Lan menjatuhkap dirinya berlutut.

"Lo-suhu, mohon losuhu jangan kepalang menolong saya. Kalau losuhu sudi menolong saya mengantarkan saya pulang ke Hang-chou, pasti saya akan sampai di rumah dengan selamat dan kedua orang tua saya tentu akan berterima kasih sekali kepada losuhu." Bi Lan belum mau menyebutkan nama ayah dan ibunya, karena la beluin mengenal slapa sebenarnya kakek Inl dan la tldak tahu apakah kakek ini tidak memusuhl ayah Ibunya.

"Omltohud...... untuk melindungimu engkau harus menjadi muridku dan pinceng melihat engkau bertulang baik, pantas menjadi muridku....."

"Teecu suka menjadi murid suhu!" Cepat Bi Lan menyambar tawaran ini.

"Omitohud! Tidak ringan syaratnya untuk menjadi muridku, Bi Lan. Sampai hari ini pinceng belum pernah menerinia murid dan kalau engkau memang berjodoh menjadi muridku, engkau harus memenuhi syarat itu."

"Apakah syarat itu, suhu? Teecu (murid) tentu akan bersedia untuk memenuhl-nya!" kata Bi Lan dengan penuh semangat.

"Ada dua syarat yang harus kaupenuhi. Pertama, engkau harus mengikuti aku selama sepuluh tahun dan selama itu engkau tidak boleh pergi ke manapun juga, tidak boleh pulang ke rumah orang tuamu. Dan syarat ke dua, setelah sepuluh tahun menjadi muridku, engkau boleh pergi dan pulang kepada orang tuamu, akan tetapi engkau harus mencari sampai ketemu dan membunuh seorang musuh besarku yang bernama Tiong Lee Cin jin. Nah, sanggupkah engkau memenuhi. kedua syarat itu?"

Bi Lan yang masih berlutut itu tertegun. Syarat ke dua itu tidak perlu ia ragukan lagi. Siapapun musuh gurunya, sudah menjadi kewajibannya untuk menentang musuh besar gurunya. Akan tetapi syarat pertama itulah yang berat. la tadi mau menjadi murid Lama itu agar ia dapat cepat diantar pulang. Akan tetapi syarat itu menghendaki agar selama sepuluh tahun ia tidak boleh pulang ke rumah orang tuanya! la mempertimbangkan syarat itu. Kalau ia menolak, ia harus pulang sendiri, padahal Hang-chou begitu jauh, perjalanan begitu lama dan hampir dapat dipastikan ia akan celaka di tangan orang-orang jahat di sepanjang perjalanan jauh itu. Kalau ia menerinna, biarpun selama sepuluh tahun ia berpisah dari orang tuanya, akan tetapi setelah sepuluh tahun lewat, ia akan dapat bertemu kembali dengan mereka. Selain itu, ia akan mendapatkan ilmu-ilmu yang tinggi dari gurunya.

"Hei, bagaimana ini? Kenapa diam saja? Kalau tidak mau, sudahlah, pinceng inau pergi."

"Mau, suhu, teecu mau dan sanggup!" teriak Bi Lan cepat

"Benarkati engkau sanggup? Kalau begitu, bersumpahlah, disaksikan Langit dan Bumi!"

Sejak kecil Bi Lan sudah diajar sastra oleh kedua. orang tuanya, maka ia pernah membaca tentang orang bersumpah. Sambil masih berlutut ia merangkap kedua tangan dan mengangkatnya ke atas, lalu bersumpah dengan suara lantang,

"Disaksikan Langit dan Bumi, saya Han Bi Lan bersumpah akan menjadi murid dari suhu ..... Jit Kong Lama...." Sampai di sini Bi Lan menoleh kepada kakek itu dan Jit Kong Lama menganggukkan kepala membenarkan.

".....saya akan menaati semua perintahnya, selama sepuluh tahun tidak akan meninggalkannya dan setelah tamat belajar saya akan pergl mencarl dan membunuh musuh besar suhu yang bernama Tiong Lee Cin-jin!"

Jlt Kong Lama tertawa dan mengangguk-angguk dengan gambira sekali. Tadi dia telah meraba dan menekan kepala dan tubuh anak itu dan dia mendapat kenyataan bahwa Bi Lan adalah seorang anak perempuan yang bertulang baik dan berbakat sekali. la akan menjadi seorang murld yang baik sekali. Watak datuk ini memang aneh. Dia tidak ingin tahu siapakah orang tua anak itu. Dia tidak peduli. Yang penting baginya adalah anak itu, bukan orang tuanya. Maka diapun tidak bertanya lagi siapa ayah ibu anak itu dan Bi Lan juga diam saja.




"Mari kita pergi, Bi Lan." Jit Kong Lama menggandeng tangan anak itu dan dia berlari cepat sambil menggandeng. Bi Lan terkejut sekali. la merasa tubuh-nya seperti melayang karena kedua kakinya kadang tidak menginjak tanah. Saking cepatnya mereka meluncur, Bi Lan memejamkan kedua matanya, apa lagi kalau kakek itu membawanya melompatl jurang yang lebar dan dalam.

Jit Kong Lama tldak berani kembali ke Tlbet dan dia membawa Bi Lan ke sebuah di antara puncak-puncak yang terpencll di Pegunungan Kun-lun-san. Dusun-dusun kecil di sekitar tempat itu dihuni sedikit penduduk yang bekerja sebagai petani dan mereka menganggap Jit Kong Lama sebagai seorang pendeta yang bertapa di puncak itu, ditemani seorang murid perempuan. Jit Kong Lama dan Bi Lan hidup secara sederhana di puncak itu dan mulai hari itu dia menggembleng muridnya dengan tekun. Bi Lan juga berlatih dengan rajin sekali. Anak perempuan kecil itu sudah mempunyai cita-cita untuk menjadi seorang pendekar wanita agar kelak, selain dapat membalas dendam gurunya terhadap musuh besarnya, juga ia ingin mencari Ouw Kan untuk membalaskan kematian neneknya, juga pelayan dan tukang kebun mereka. Cita-cita inilah yang membuat anak itu bertahan dan belajar dengan penuh semangat walaupun terkadang ia merasa rindu sekali kepada ayah ibunya,

* * *

Kalau tidak diperhatikan tidak dlrasakan, sang waktu melesat dengan amat cepatnya, lebih cepat daripada apapun Juga. Tanpa terasa, bertahun-tahun lewat seolah baru beberapa hari saja. Seorang tua yang mengenang masa kanak-kanaknya, merasa seolah masa itu baru iewat beberapa hari saja, padahal sudah puluhan tahun berlalu. Sebaliknya kalau diperhatikan dan dirasakan, sang waktu merayap lebih lambat daripada siput sehingga sehari rasanya seperti sebulan. Menanti? sesuatu atau seseorang yang terlambat satu jam saja rasanya seperti sudah terlambat sehari!

Demikianlah, tanpa terasa sepuluh tahun telah lewat sejak Souw Thian Liong mengikuti Tiong Lee Cin-jin sebagai murid pertapa yang sudah berkelana itu. Tiong Lee Cln-jin mengajak Thlan Liong pergi ke Puncak Pelangi, sebuah di antara banyak puncak di Pegunungan Gobi. Di puncak yang indah namun sunyi ini Tiong Lee Cln-Jin membangun sebuah pondok dari kayu dan barnbu yang sederhana namun kokoh kuat. Dlbantu Thlan Liong, dia membersihkan pondok itu dan bekerja mencangkul dengan tekun setiap hari sehingga beberapa bulan kemudian di depan dan kanan kiri pondok terdapat taman yang penuh tanaman bunga beraneka warna dan belakang pondok terdapat sebuah kebun yang luas. Dia menanam segala macam sayuran, pohon-pohon buah dan juga tanaman obat-obatan.

Tiga empat tahun kemudian, karena kebiasaan dan kesukaan Tiong Lee Cin-jin menolong dan mengobati penduduk dusun sekitar puncak itu yang menderita sakit, dan pengobatannya itu selalu berhasil menyembuhkan, maka dla dikenal sebagai Tabib Dewa! Kemudian berdatanganlah para penduduk membawa orang sakit ke Puncak Pelangi untuk minta obat kepada Tabib Dewa. Setelah dibutuhkan banyak orang, Tiong Lee Cin-jin menanam lebih banyak lagi tumbuh-tumbuhan yang mengandung ,obat.

Thian Liong digembleng ilmu silat setiap hari. Anak ini memang rajln sekali, bukan hanya rajin berlatih silat, melainkan juga rajin membantu suhunya sehingga diapun hafal akan semua jenis tanaman obat. Akhirnya Thian Liong juga mempelajari ilmu pengobatan dan suhunya yang bijaksana juga mengajarkan ilmu sastra kepadanya.

Demikianlah, setelah lewat sepuluh tahun, Thian Liong telah menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh tahun. Bentuk tubuhnya sedang dan tegap, kulitnya putih karena sejak kecil tinggi di puncak bukit. Rambutnya hitam panjang dan lebat, alisnya berbentuk golok, matanya tajam mencorong namun bersinar lembut, hidungnya mancung dan mulut-nya selalu membayangkan senyum penuh pengertian dan kesabaran. Mukanya agak bulat namun dagunya runcing. Lang kahnya tenang dengan tubuh tegak. Pa-kaian dan sikapnya yang bersahaja dan rendah hati itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa pemuda ini seorang yang telah memiliki ilmu yang tinggi, yang membuat dia menjadi seorang sakti yang lihai sekall. Kerendahan hatinya itu wajar, sudah lahlr batin dan mendarah daglng, karena sudah meresap benar ke dalam Jiwanya nasihat gurunya yang beru-lang kali sejak dia pertama kali menjadi muridnya.

"Ingat selalu, Thian Liong. Kita manusia ini hanya merupakan seonggok darah daging dan tulang yang lemah dan tidak bisa apa-apa kalau tidak ada Kekuasaan Tuhan yang bekerja dalam diri kita. Karena itu ingatlah selalu bahwa apapun yang dapat kita lakukan dalam hidup ini, baik melalui pikiran, kata-kata dan perbuatan, semua itu hanya mungkin kare-na Kemurahan Tuhan. Tuhanlah yang Maha Kuasa, Maha Pintar, Maha Bisa, Maha Ada, dan Maha Segalanya sejak dahulu, sekarang, kelak dan selama-lamanya. Kita ini hanya menjadi alatNya. Maka ingatlah selalu agar engkau menjadi alat Tuhan yang baik, karena kalau tidak, besar bahayanya onggokan darah daging dan tulang ini akan diperalat oleh Iblis."

Nasihat ini sudah meresap dalam jiwa dan hati sanubari Thian Liong, maka dia selalu merasa bahwa dirinya tidak bisa apa-apa dan kalaupun ada yang dapat dia lakukan, hal itu dapat terjadi karena Kekuasaan Tuhan yang membimbingnya.

Thian Liong mendapat kemajuan pesat dalam ilmu, sastra karena gurunya memiliki banyak kitab kuno yang harus dibacanya sampai habis. Kitab pelajaran filsafat dan agama telah dibacanya semua dan sering kali Tiong Lee Cin-jin mengajak dia merenungkan dan mempelajari inti pelajaran kitab-kitab itu. Thian Liong tahu bahwa gurunya itu condong kepada To-kauw (Agama To) dan pandangan hidupnya banyak dipengaruhi filsafat dalam Kitab To-tek-keng. Akan tetapi gurunya juga tidak mengesampingkari ajaran-ajaran dari semua agama lain. Diambilnya ajaran-ajaran yang seirama, dan ini banyak sekali, dari agama-agama itu dan dikesampingkannya sedikit perbedaan yang ada mengenai sejarah, kepercayaan, dan upacara.

"Ketahuilah Thian Liong. Yang kita sebut Thian, Tuhan Yang Maha Kuasa itu mutlak Maha Ada dan Maha Benar. Kalau orang-oraog saling membicarakan dan mempertentangkan maka akan timbul bentrokan dan perselisihan. Hal ini terjadi karena mempertentangkan itu adalah hati akal pikiran kita yang sudah diperalat nafsu. Hati akal pikiran kita terlalu kecil sekali untuk dapat mengukur Keberadaan, Kebesaran, dan KebenaranNya. Hati-akal-pikiran hanya akan membentuk aku yang selalu minta dibenarkan, aku yang selalu merasa pintar, selalu merasa benar sendiri, paling mengerti. Si-aku yang sesungguhnya bukan lain adalah nafsu, kuasa iblis. Bagaimana mungkin kebenaran hendak diperebutkan? Memperebutkan kebenaran itu sendiri sudah jelas tidak benar! Semua agama mengajarkan manusia untuk hidup baik dan bermanfaat bagi dunia dan manusia dan semua agama itu benar adanya karena merupakan wahyu dari Tuhan untuk membimbing manusia agar tidak tersesatdan agar tidak melakukan kejahatan. Tentu saja ketika wahyu dlturunkan, manusia menerimanya disesualkan dengan jamannya, kebudayaan bangsanya pada waktu itu, dengan tradisinya dan segalanya. Hal ini tentu akan membuat wahyu-wahyu itu tampak berbeda pada lahirnya. Pakaiannya saja yang berbeda, bahasanya, dan setelah lewat ratusan atau ribuan tahun mungkin pula terjadi perubahan-perubahan dalam bahasa dan penafsirannya. Kenapa mesti dicari perbedaannya? Kenapa mesti dipertentangkan? Kenapa mesti membenarkan agama sendiri dan menyalahkan agama yang lain? Tuhan hanya satu. Bahkan satu dl antara jutaan ciptaanNya, yaitu matahari, manfaatnya untuk semua manusia di permukaan bumi, apalagt Tuhan sendiri! Tuhan Yang Maha Esa adalah Tuhan semua manusia, tak perduli berbangsa atau beragama apapun, bahkan Tuhan semua mahluk, yang tampak maupun yang tidak tampak, yang bergerak maupun yang tidak bergerak! Lihatlah sebintik lumut. Begitu kecil tak berarti, namun Kekuasaan Tuhan berada dalam dirinya, karena itu ia hidup!"

"Suhu, semua itu telah dapat teecu mengerti. Yang membuat teecu masih belum jelas adalah ucapan suhu dahulu bahwa kita tidak akan dapat merasakan bekerjanya Kekuasaan Tuhan dengan jelas, tidak akan dapat mengerti kalau ? menggunakan hati akal pikiran kita. Lalu untuk mengerti kita harus bagaimana?"

"Hati akal pikiran itu hanya merupakan gudang penyimpan segala macam pengalaman. la hanya akan mengetahui dan rnengerti apa yang tersimpan dalam ingatannya saja. Selebihnya ia tidak tahu apa-apa. Coba kau cari seorang yang belum pernah kau kenal, tidak kau ketahui namanya, tidak kauketahui di mana tinggalnya, dapatkah engkau? Tidak mungkin, bukan? Itu baru mencari seorang manu-sia! Apalagi mencari Tuhan dan KekuasaanNya! Bagaimana hati akal pikiran akan dapat menemukannya? Nah, karena itu hentikanlah mencari dengan hati akal pikiran, biarkan hening dan rohmu yang akan dapat berhubungan dengan Tuhan. Tuhan itu ROH adanya, bukan mahluk. Melihat kekuasaannya? Buka saja panca inderamu dan perhatikan sekelilingmu. Dl mana-mana di luar dirimu dan di dalam dirlmu, Kekuasaan itu tak pernah berhenti bekerja! Berkah itu terus mengalir tiada hentinya. Lihatlah betapa sebentar saja Kekuasaan itu, atau yang disebut To (Jalan) itu berhenti, akan musnalah alam semesta ini! Matamu dapat melihat, hidungmu dapat mencium, telingamu dapat mendengar, jantungmu berdetik, rambutmu tumbuh dan segalanya itu, pekerjaan siapakah? Dapatkah engkau menghentikan tumbuhnya sehelai saja dari rambut di tubuhmu?"

Percakapan seperti inilah yang membuat Thian Liong menjadi rendah hati menghadap Tuhan dan menyerahkan diri sepenuhnya dalam bimbingan KekuasaanNya.

Pada pagi hari itu, setelah melayani gurunya makan pagi dan telah selesai mencucl peralatan makan, Tiong Lee Cin jin memanggilnya. Suhunya sudah duduk di serambi depan pondok mereka, duduk di atas sebuah bangku bambu Tiong Lee Cin-Jin tampak termenung. Thian Liong menghampiri gurunya dan duduk dl atas bangku di depan kakek itu sambil memandang gurunya. Gurunya sekarang tampak segar dan sehat walaupun usia-nya sudah enam puluh tahun. Sepahang matanya tajam bersinar penuh wibawa, senyumnya tak pernah meninggalkan bibirnya. Rambutnya sudah, dlhiasi uban, diikat dengan pita kuning. Pakaian-nya sederhana sekali, hanya kain kuning yang dilibatkan di tubuhnya. Wajah itu tampak jauh lebih muda dari usia sebenarnya. Thian Liong tahu bahwa ini adalah hasil dari ketenangan batin yang tak pernah dilanda permasalahan hidup. Bukan berarti bahwa gurunya tidak pernah menghadapi kesukaran-kesukaran hldup. Sama sekali bukan. Seperti ucapan guru-nya. Manusia hidup tak mungkin terbebas daripada masalah susah senang selama dia masih mempergunakan pikiran ! karena susah senang ini memang permainan pikiran. Apabila hati akal pikiran tidak bekerja, misalnya di waktu tidur, maka manusia tidak akan lagi merasakan susah atau senang. Gurunya sudah memiliki batin yang kokoh kuat, tenang dan seperti gunung karang, tidak tergoyahkan oleh hantaman gelombang suka dan duka. Gurunya menghadapi semua peristiwa yang menimpa dirinya sebagai suatu hal yang wajar saja sehingga da-pat menerimanya sambil tersenyum, tidak mempengaruhi perasaan batinnya. Tidak ada lagi rugi untung bagi Tiong Lee Cin-jin. Bahkan tidak ada lagi susah senang yang mengikuti batinnya. Semua keadaan diterima dengan tenang dan seperti gunung karang menerima gelombang, susah senang lewat begitu saja tanpa bekas.

"Suhu memanggil teccu?'" tanya Thian Liong.'

Tiong Lee Cin-jin memandang muridnya dengan sinar mata penuh sayang dan tersenyum. Ada kebanggaan sedikit memancar dari sinar matanya. Bagaimanapun juga, tentu saja kebanggaan dalam hati kakek itu. Selama sepuluh tahun dia menggembleng murid tunggalnya ini dan dia melihat kemajuan yang luar biasa pada diri muridnya ini. Harus dia akui bahwa dia sendiri di waktu muda tidak memiliki bakat sehebat muridnya ini. Dalam sepuluh tahun, Thian Liong hampir dapat menguasal semua ilmu yang diajarkannya dengan baik. Bukan hanya ilmu silat lahiriah, melainkan juga batiniah. Pemuda itu dapat menghimpun tenaga sakti yang amat kuat. Selain itu, juga batinnya kuat, pengetahuannya men-dalam mengenai soal kerohanian. Bagaimanapun juga, kebanggaan ini hanya terdorong oleh kepuasan hatinya melihat kemajuan muridnya, sama sekali tidak membuat dia menjadi sombong atau tinggi hati, lebih tepat sebagai perasaan bangga dan puas dari seseorang yang melihat hasil pekerjaannya berbuah baik dan memuaskan.

"Thian Liong, engkau tentu sudah dapat menduga apa maksudku memanggilmu. Kalau engkau lupa menghitung, aku ingatkan engkau bahwa telah sepuluh tahun engkau mempelajari ilmu dariku."

Thian Liong menelan ludah untuk menenangkan hatinya yang berdebar. Tentu saja dia mengerti dan masih ingat akan ucapan gurunya dahulu bahwa gurunya akan membimbingnya mempelajari ilmu selama sepuluh tahun.

"Apakah suhu maksudkan bahwa waktunya telah tiba bagi teecu untuk berpisah dari suhu?" tanyanya dengan suara tenang dan sikap biasa saja.

Gurunya mengangguk-angguk.

"Benar, Thian Liong. Seperti pepatah dahulu mengatakan bahwa ada waktu berkumpul pasti akan tiba waktu berpisah. Tiada yang abadi di dunia ini dan perubahan memang perlu bagi kehidupan ini. Sekarang tiba saatnya bagi kita untuk saling berpisah, Thian Liong. Erigkau perlu untuk turun gunung dan mempraktekkan semua teori pelajaran yang pernah engkau terima dariku. Tanpa diamalkan, apa gunanya semua ilmu yang kaukuasai itu? Dan tanpa diamalkan, sia-sia sajalah engkau bersusah payah selama sepuluh tahun mempelajarinya, Selain itu, aku juga akan memberi beberapa tugas untuk itu."

"Teecu akan senantiasa menaati semua perintah suhu dan teecu akati selalu ingat akan semua nasehat suhu dan akan melaksanakannya dalam langkah kehidupan teecu. Tugas apakah yang hendak suhu berikan kepada teecu?"

"Tentu engkau masih ingat akan tugas hidupmu setelah engkau menguasai ilmu yang seiama sepuluh tahun ini kau pelajari dengan tekun di sini. Tugas seorang pendekar yang membela kebenaran dan keadilan, membela mereka yang lemah tertindas dan menentang mereka yang kuat kuasa dan sewenang-wenang. Terutama sekali engkau jangan lupa untuk berbakti kepada bangsa dan kerajaan Sung, membantu kerajaan menghadapi kemurkaan bangsa Kin. Itu merupakan tugas umum bagimu yang dapat kaulaku-kan sepanjang hidupmu. Aku masih mem-punyai dua buah tugas untukmu. Pertama, ada beberapa bingkisan kitab yang harus kauserahkan kepada Ketua Kuil Siauw-lim-pai, Ketua Partai Kun-lun-pai, dan ketua partai Bu-tong-pai. Kitab-kitab itu ada hubungannya dengan ilmu silat mereka, untuk memperdalam dan mematangkan ilmu mereka. Kemudian, sisa kitab-kitab agama dan filsafat agar kau haturkan kepada Sribaginda Kaisar Sung Kao Tsu. Dan yang terakhir, dan ini penting sekali, engkau harus berusaha untuk menyelamatkan Kerajaan Sung dari pengaruh buruk Perdana Menteri Chin Kui".

"Apakah kesalahan Perdana Menterl Chin Kui maka teecu harus menentangnya, suhu?"

"Aku belum menceritakan kepadamu tentang Jenderal Gak Hui, patriot dan pahlawan sejati itu, Thian Liong. Ketahuilah, Jenderal Gak Hui berhasil membujuk Sribaginda Kaisar untuk memberi ijin kepadanya melakukan penyerbuan ke utara untuk merampas kembali daerah Sung yang telah dikuasai bangsa Kin. Sribaginda telah memberi ijinnya, dan Jenderal Gak Hui telah berhasil menyerbu ke utara dan menang dalam banyak pertempuran. Akan tetapi apa yang terjadi? Perdana Menteri Chin Kui membujuk Kaisar untuk memerintahkan Jenderal Gak Hui agar menghentikan serbuan ke utara dan menarik mundur pasukannya!"

"Akan tetapi mengapa begitu, suhu?"

"Menurut berita rahasia yang sempat kudengar, agaknya antara Perdana Menteri Chin Kui dan Kerajaan Kin terdapat persekutuan rahasia. Karena itulah maka perdana menteri yang khianat itu membujuk kaisar dan karena dia memiliki pengaruh yang amat besar maka kaisar berhasil dibujuknya.

"Akan tetapi apakah Jenderal Gak Hui mau menarik mundur pasukannya?" tanya Thian Liong penasaran.

"Jenderal Gak Hui adalah seorang pang lima yang amat setia dan jujur, maka apapun yang diperintahkan kaisar dia pasti tidak mau menolaknya. Dia mematuhi perintah kaisar dan menarik mundur pasukannya walaupun ditangisi rakyat yang tadinya daerahnya dibebaskan dari cengkeraman bangsa Kin. Tentu saja hal itu menghancurkan hati Jenderal Gak Hui sehingga dia tidak segera membawa kembali sebagian dari barisannya ke selatan, melainkan membuat perkemahan di perbatasan."

"Kasihan sekali rakyat yang ditinggalkan dan kasihan Jenderal Gak Hui." kata Thian Liong sambil menarik napas panjang.

"Kemudian apa yang terjadi selanjutnya, suhu?"

"Kisah selanjutnya sungguh membuat hati menjadi terharu, Thian Liong. Setelah pasukan Jenderal Gak Hui ditarik mundur, pasukan kerajaan Kin melampiaskan dendamnya kepada rakyat yang tadinya menyambut pasukan Sung dengan gembira. Mereka dianggap membantu pasukan Sung dan setelah mereka ditinggalkan, pasukan Kin menghukum rakyat daerah yang telah dibebaskan kemudian ditinggalkan itu dengan kejam dan sewenang-wenang. Banyak rakyat tidak berdosa dibunuh. Para serdadu Kin mendapat kesempatan untuk melampiaskan nafsu mereka dengan alasan mereka menghajar musuh. Mereka merampok, memperkosa dan tidak ada kekejaman yang pantang mereka lakukan."

"Hemm, begitukah kiranya kalau nafsu sudah menguasai manusia, mengubah manusia menjadi lebih kejam daripada binatang buas yang tidak mempunyai akal pikiran."

"Benar, Thlan Liong. Ketika Jenderal Gak Hui mendengar laporan ini dia tidak dapat menahan kemarahan hatinya. ia lupa diri bahkan berani melupakan perintah kaisar yang melarangnya menyerbu ke utara. Dia sendiri memimpin pasukannya dan mengamuk, membasmi dan membunuh banyak sekali pasukan Kerajaan Kin."

"Sungguh seorang panglima yang mencinta bangsanya dan gagah perkasa." Thian Liong memuji dengan kagum.

"Memang begitulah. Akan tetapi akibatnya menyedihkan sekali, Thian Liong. Perdana Menteri Chin Kui menjadl marah sekali dan siap menghasut kaisar, mengatakan bahwa Jenderal Gak Hui telah menentang perintah kaisar, berarti telah memberontak dan pantas dihukum mati."

"Ah, suhu! Akan tetapi Jenderal Gak Hui yang gagah perkasa itu tentu tidak mudah ditangkap. Selain gagah perkasa, diapun memiliki pasukan yang amat kuat dan setia, Juga didukung rakyat yang mencintanya." kata Thian Liong penuh harapan,

Gurunya menggeleng kepala dan meng hela napas panjang.

"Kenyataannya tidak demikian, Thlan Liong. Jenderal Gak Hui di waktu mudanya pernah disumpah oleh ibunya untuk bersetia sampai mati, kalau perlu berkorban nyawa. Karena itu, ketika Kaisar menjatuhkan hukuman mati kepada Jenderal Gak Hui, dia menerinianya dengan hati-rela dan menyerahkan diri walaupun para pendukungnya berusaha keras untuk mencegahnya. Bahkan kawan-kawannya terdekat yang bertekad hendak menyelamatkannya dari hukuman mati, bahkan dibentak dan dimarahi oleh Jenderal Gak Hui sebagai orang- orang yang tidak setia kepada kaisar! Demikianlah, panglima besar yang setia dan patriotik itu, panglima yang benar-benar seorang pahlawan, telah menemui kematiannya secara menyedihkan, menjadi korban kelicikan Perdana Menteri Chin Kui."

Thian Liong menghela napas panjang.

"Ahh, sekarang teecu mengerti mengapa suhu menugaskan teecu untuk menentang pembesar lalim itu dan menyelamatkan kerajaan dari tangannya yang kotor. Teecu akan berusaha sekuat tenaga untuk melaksanakan tugas yang suhu berikan kepada teecu."

"Sekarang kauambillah peti dari kolong pembaringanku dan bawa peti itu ke sini." kata Tiong Lee Cin-jin. Thian Liong mengangguk lalu memasuki kamar gurunya dan membawa sebuah peti hitam diletakkan peti itu di depan gurunya.

Tiong Lee Cin-jin membuka peti kayu hitam itu. Ternyata peti itu berisi banyak kitab yang sudah tua. Dia mengeluarkan tiga buah kitab.

"Ini adalah sebuah kitab Sam-jong Cin keng berisi pelajaran dari Ji-lai-hud. Kitab ini harus kauserahkan kepada Ketua Siauw-lim-pai karena Kuil Siauw-lim yang berhak memiliki dan merawatnya, juga mempelajari isinya. Yang ke dua ini kitab Kiauw-ta Sin-na dan pelajaran ini sealiran dengan ilmu cengkeraman dari Bu-tong-pai, maka harus kauserahkan Ketua Bu-tong-pai. Yang ke tiga ini adalah kitab inti ilmu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, agar kauserahkan Ketua Kun-lun-pai. Dan ini," kakek itu mengeluarkan sebatang pedang dan belasan buah kltab.

"Belasan kitab agama dan fllsafat ini harap kau haturkan kepada Sribaginda Kaisar untuk menambah pelajaran akhlak para pejabat, sedangkan pedang ini, lihat nama pedang itu yang terukir di pangkalnya."

Thian Liong mencabut pedang itu. Pedang itu ternyata tumpul, tidak tajam dan tidak runcing! Terbuat dari baja yang berwarna putih gelap seperti kapur. Dia melihat tiga huruf yang terukir pada pangkal pedang itu dan memba-ca tiga huruf itu, mata Thian Liong terbelalak lebar karena keheranan. Dia membaca namanya sendiri di situ. Thian-liong-kiam (Pedang Naga Langit)! Mengapa pedang itu bernama presis seperti namanya? Dia menyarungkan pedang itu kembali dan memandang kepada gurunya dengan sinar mata mengandung pertanyaan.




KISAH SI NAGA LANGIT JILID 07

Tiong Lee Cin-jin tersenyum,

"Begitulah aku dahulu ketika untuk pertama kali mendengar engkau menyebutkan namamu. Seperti juga engkau sekarang ini, aku terheran-heran. Apalagl ketika itu, ketika kita pertama kali bertemu, aku memandang ke angkasa mellhat awan-awan membentuk seekor naga yang sedang melayang di angkasa. Sungguh sua-tu kebetuian yang menakjubkan. Aku telah menemukan pedang yang namanya Thian-liong-kiam, kemudian aku mendengar namamu juga Thian Liong dan melihat Thian-liong (Naga Langit) terbang di angkasa. Karena itu, maka aku mengambil keputusan untuk memberikan pedang ini kepadamu."

"Akan tetapi, untuk apakah pedang ini, suhu? Suhu selalu mengajarkan bah-wa semua anggauta tubuh kita dapat dimanfaatkan untuk melindungi diri, dan benda apapun juga yang tampak dapat kita pergunakan untuk rnembantu dan menjadi senjata kita."

"Benar sekali dan kenyataannya memang masih seperti itu, Thian Liong. Akan tetapi, pedang ini sudah kutemukan dan benda ini buatan orang sakti, merupakan benda pusaka yang langka. Juga, melihat pedang ini tumpul, tidak taJam dan tidak runcing, aku yakin pembuatnya dahulu tidak mempunyai maksud agar pedang ini dipergunakan untuk melukai atau membunuh orang. Ambillah dan engkau dapat mernanfaatkamiya bila perlu. Ketahuilah, bahwa selain pedang ini terbuat dari batu bintang yang lebih kuat daripada baja, juga air rendamannya dapat menawarkan segala macam racun."

"Terima kasih, suhu. Kapah teecu ha-rus berangkat, suhu?" Dalam pertanyaan ini terkandung keharuan karena mengi-ngatkan dia bahwa sebentar lagi dia akan berpisah dari orang yang selarna ini bukan saja menjadi gurunya, akan tetapi Juga menjadi pengganti orang tuanya, menjadi satu-satunya orang yang menyayang dan disayangnya di dunia ini. Selain merasa berat untuk berpisah dari orang yang dihormati dan disayangnya itu, dengan siapa selama sepuluh tahun dan hidup bersama, juga ada perasaan iba mepyelubungi hatinya mengingat bah-wa gurunya yang sudah tua itu akan dia tinggalkan dan hidup seorang diri, tidak akan ada yang membantu bekerja di kebun, tidak ada yang melayaninya lagl. Akan tetapi dengan batinnya yang telah menjadi kokoh kuat Thlan Liong dapat menguasai perasaannya sehingga perasaan haru itu tidak tampak pada wajahnya dan tidak terdengar pada suaranya.

"Berkemaslah karena engkau harus berangkat hari ini juga. Hari ini cerah, indah dan baik sekali untuk memulai perjalananmu. Bungkus semua kitab ini dalam buntalan kain agar mudah kau gendong. Jangan lupa bawa semua pakaianmu, juga semua uang hasil penjualan hasil kebun dan sumbangan orang-orang yang berobat itu boleh kaubawa sebagai bekal dalam perjalanan."

"Baik, suhu." Thian Liong segera ber-kemas, mengumpulkan semua kitab dan pakaiannya menjadi satu buntalan kain kuning. Juga pedang Thian-liong-kiam yang bergagang dan bersarung sederhana itu dia masukkan dalam buntalan, demi-kian pula uang pemberian suhunya. Sete-lah selesai, dia menggendong buntalan kain kuning di pungungnya dan menjatuhkan dirinya berlutut lagi di depan kaki suhunya.

"Suhu, haruskah teecu berangkat sekarang?"

"Berangkatlah sekarang juga, Thian Liong."

"Suhu, teecu mohon pamit."

"Mendekatlah, Thian Liong. Blarkan aku memelukmu."

Pemuda itu mendekat dan Tiong Lee Cin-Jin lalu merangkulnya. Thian Liong balas merangkul. Dalam rangkulan itu guru dan murid ini merasakan betapa kasih sayang mereka menggetar menjalar dl seluruh tubuh mereka, membuat tubuh mereka gemetar.

"Berhati-hatilah dalam perantauanmu, Thian Liong. Ingatlah selalu kepada Tuhan dan dasari semua tindakanmu dengan penyerahan sepenuhnya atas Kekuasaan Tuhan, waspadalah selalu gerak-gerik la-hir batinmu sendiri."

"Akan teecu Ingat semua itu, suhu. Harap suhu menjaga diri baik-baik. Selamat tinggal, suhu."

"Selamat jalan, muridku."

Thian Liong bangkit dan melangkah keluar, diikuti pandang mata gurunya. Dia melangkah terus, keluar dari pekarangan, beberapa kali menengok dan melihat gurunya berdiri di ambang plntu depan. Thian Liong melihat gurunya tersenyum. Diapun tersenyum dan seketika rasa sedih dari haru karena perpisahan itu larut dalam senyum. Dla melangkah lebar dan dengan cepat meninggalkan Puncak Pelangi.

Tiong Lee Cin-jin memandang bayangan muridnya sampai lenyap ditelan pohon-pohon. Dia masih tersenyum, akan tetapi kedua matanya basah. Dia berkejap sehingga ada dua titik alr mata turun di atas kedua pipinya. Diusapnya air mata itu dengah tangan kanan, kemudi-an dipandangnya tangan yang basah terkena air mata dan Tlong Lee Cln-jin tiba-tiba tertawa bergelak. Dia mentertawakan ulah nafsu yang mendatangkan iba diri dan mentertawakan kelemahan itu. Kemudian sambil masih tertawa dla masuk lagi ke dalam rumah dan duduk bersila di atas pembaringan, lalu bernyanyi dengan suara lantang.

"Setelah mengenal keindahan
dengan sendirinya mengenal keburukan,
setelah Cahu akan kebaikan
dengan sendirinya tahu pula akan keJahatan.

Sesungguhnya
ada dan tlada saling melahlrkan
sukar dan mudah saling melengkapi
panjang dan pendek saling mengadakan

tinggi dan rendah saling menunjang sunyi
dan suara saling mengisi dahulu dan kemudian saling menyusul.

Itulah sebabnya para bijaksana
bekerja tanpa pamrih mengajar tanpa bicara.

Segala terjadi tanpa dia mendorongnya tumbuh tanpa dia ingin memilikinya
berbuat tanpa dia menjadi sandarannya.

Walau berjasa dia tidak menuntut
Justeru tidak menuntut maka takkan musna".

Suara nyanyian Tiorig Lee Cin-jin yang mengambil ayat-ayat dari kitab To-tek-keng ini perlahan saja, akan tetapi karena suara itu didorong tenaga khi-kang yang amat kuat, maka suara itu mengandung getaran kuat dan terdengar pula oleh Thian Liong yang sedang melangkah cepat menuruni Puncak Pelangi. Mendengar nyanyian yang sudah dikenalnya itu Thian Liong tersenyum dan dia mempercepat langkahnya menuruni puncak.

* * *

Untuk memenuhi tugas dari gurunya, Thian Liong lalu melakukan perjalanan ke Kun-lun-san. Tempat ini yang paling jauh di antara yang lain, maka dia lebih dulu hendak pergi ke Kun-lun-pai untuk menyerahkan Kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang berada dalam buntalan kain kuning di punggungnya. Setelah itu, baru dia akan pergi ke Bu-tong-pai dan Siauw-lim-pai. Kemudian yang dia akan pergi ke kota raja Hang-chou, menghadap Kaisar Sung Kao Tsu dan menyerahkan tiga belas buah kitab. Setelah semua kitab dapat dia serahkan ke-pada mereka yang berhak menerimanya, baru dia akan menyelidiki tentang Perdana Menteri Chin Kui dan kalau ternyata pembesar itu masih merupakan pembesar lalim yang mengancam keselamatan kerajaan, dia akan menentangnya sekuat tenaganya.

Setelah melakukan perjalanan yang amat jauh dan melelahkan, melalui gurun dan pegunungan, akhirnya pada suatu hari dia tiba di kaki pegunungan Kun-lun. Ada sebuah jalan raya yang cukup lebar menuju ke barat dan jalan ini yang biasa dipergunakan para rombongan peda-gang yang membawa barang dagangan mereka dari dan ke daerah barat, menuju Tibet, terus ke selatan ke Kerajaan Bhutan Nepal, dan India. Jalan itu seringkali sunyi, baru ramai kalau musim panas tiba dan para pedagang banyak yang rnelakukan perjalanan dalam rombongan yang dikawal dengan kuat. Pada hari-hari biasa, yang melewati jalan itu hanyalah penduduk dusun-dusun sekltarnya, para petani, pemburu, dan pencari hasil hutan.

Pagi harl itu Thian Liong berjalan diatas jalan besar, menanti-nantl kalau ada orang yang dapat dia tanyal tentang Kun-lun-pai. Dia sudah kehabisan bekal. Uangnya yang dia dapat dari gurunya tidak berapa banyak dan sudah habis untuk membeli makanan dalam. perjalanan selama ini. Gurunya pernah ber-pesan kepadanya untuk kebutuhan hidupnya dia harus mencarl uang dengan bekerja. Bekerja apa saja asalkan tidak merugikan orang. Tentu saja dengan mempergunakan ilmu kepandaiannya, dengan mudah dia akan dapat mengambil uang milik orang tain, akan tetapi hal itu berarti merugikan orang lain dan tentu saja dia tidak akan sudi melakukan perampokan atau pencurian. Akan tetapi pagi ini uangnya sudah habis sama sekali, maka dia tidak dapat membeli bekal makanan ketika melewatl sebuah dusun pagi tadi.

Ketika dia tlba dl sebuah Jalan yang terletak di tempat tinggi, dia melihat jauh di depan ada debu mengepul dan terlihat gerakan banyak orang sedang bertempur. Mellhat adanya beberapa buah gerobak berdlrl tak Jauh dari tempat pertempuran itu, Thian Liong dapat menduga bahwa sepihak dari mereka yang bertempur itu tentu rombongan pedagang. Teringatlah dia akan cerita gurunya bahwa para pedagang jarak jauh itu biasanya dlkawal oleh orang-orang yang pandal ilmu silat karena banyak penJahat yang berusaha untuk merampok barahg dagangan yang berharga mahal itu. Thian Llong lalu berlari cepat menurunl lereng Itu dan sebentar saja dia sudah tiba dl tempat pertempuran. Dia melihat lima orang yang berpakalan sebagai saudagar berdiri ketakutan dekat lima buah kereta penuh barang, bersama lima orang kusir kereta yang juga menon-ton perkelahian dengan sikap ketakutan.

Thlan Liong memandang ke arah mereka yang berkelahi. Ternyata yang berkelahi hanya dua orang laki-laki yang dikeroyok oleh belasan orang yang berpakaian sebagai pengawal. Akan tetapi dua orang yang bersilat pedang itu lihai bukan main. Dikeroyok belasan orang, mereka sama sekali tidak terdesak, bahkan para pengeroyok yang kocar-kacir dan sudah ada iima orang di antara mereka roboh mandi darah.

Karena tidak tahu persoalannya, Thian Liong merasa ragu untuk bertindak. Dia tidak tahu slapa yang berada di pihak yang jahat sehingga dia meragu siapa yang harus dibelanya. Thian Llong lalu menghampiri lima orang saudagar yang bersama lima orang sais berdiri diekat kereta.

"Sobat-sobat, apakah yang terjadi?" dia bertanya. Para saudagar yang tadinya takut melihat Thlan Liong mendekati mereka karena mengira karena pemuda itu kawan para perampok, menjadi lega mendengar pertanyaan itu. Akan tetapi karena pemuda itu tampak hanya seperti seorang pemuda dusun yang bersahaja dan lemah, merekapun tldak dapat mengharapkan bantuan darlnya.

"Orang muda, pergilah cepat. Dua orang itu adalah perampok yang hendak merampas barang kami dan belasan orang itu adalah para piauwsu (pengawal barang) yang melindungi kami." jawab seorang kusir yang berdiri paling dekat dengan Thian Liong.

Mendengar ini, Thian Liong tldak ragu lagi pihak mana yang harus dia bantu" Dia memandang ke arah perkelahian. Dua orang itu memang lihai sekali. Para piauwsu yang juga mempergunakan pedang sebagai senjata, sudah kewalahan dan terdesak ke belakang. Dua orang itu berusia kurang lebih einpat puluh tahun, orang pertama bertubuh tinggi kurus dengan muka berbentuk meruncing seperti muka tikus dan orang ke dua bertubuh pendek gendut namun gerakannya tidak kalah cepat dibandingkan kawannya. Kedua orang itu mengenakan pakaian yang sama, seluruhoya berwarna hitam dari sutera halus dan di bagian dada ada, gambar seekor burung rajawali putih.

Thian Liong lari menghampiri pertempuran itu dan mengerahkan tenaga sakti lalu berseru,

"Hentikan pertempuran dan tahan senjata!"

Seruannya ini mengandung kekuatan yang memaksa mereka yang sedang bertempur itu masing-masing menahan gerakan dan berlompatan mundur sehingga otomatis pertempuran itu terhenti. Dan orang berpakaian hitam itupun berlompatan ke belakang dengan wajah terheran-heran. Mereka semua kini memutar tubuh menghadapi Thian Liong dengan sinar mata heran dan juga penasaran.

Seorang di antara dua orang perampok itu, yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka tikus membawa sebuah kantung kain biru yang diikatkan di punggungnya. Dia yang kini membentak kepada Thian Liong,

"Heh, orang muda! Mau apa engkau menghentikan perkelahian kami?"
Thian Liong berkata dengan sabar,

"Sobat, aku mendengar bahwa kalian berdua merampok para saudagar ini sehingga di antara kalian semua terjadl perkelahian yang mengaklbatkan luka bahkan mungkln kematian. Kenapa kalian berdua melakukan kejahatan ini? Kalau memang kalian rnembutuhkan sumbangan, saya kira kalian dapat memlntanya darl para saudagar ini dan mereka tentu tldak akan menolak kalian untuk memberi sumbangan."

Dua orang perampok itu terbelalak keheranan, keduanya saling pandang kemudian mereka tertawa geli melihat ulah pemuda yang mereka anggap tolol itu.

"Hei, bocah tolol! Menggelindinglah pergi dan jangan mencampuri urusan kami. Kami adalah orang-orang Pek tiauw-pang (Perkumpulan Rajawali Putih) dan kami akan membunuhmu pula kalau engkau tidak cepat pergi dari sini!"

Setelah berkata demikian, dua orang itu audah menerjang lagi, menyerang pa-ra piauwsu yang tinggal berjumlah tiga belas orang itu. Para piauwsu juga menggerakkan pedang mereka dan kembali mereka berkelahi. Suara pedang bertemu pedang berdentlngan dan dua orang yang mengaku sebagal orang-orang Pek-tiauw-pang itu mengamuk.

Thian Liong tertegun, kecewa bahwa dua orang itu Udak mendengar nasihat-nya. Akan tetapi sebelum dia turun tangan, tiba-tiba tampak bayangan merah muda berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang gadis yang mengenakan pakaian serba merah muda. Gadis itu berusia kurang lebih tujuh belas tahun, cantik jelita seperti dewi, dan sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong dan mata itu jeli dan tajam bukan main. la berdiri disitu, tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan memegang sebatang ranting pohon yang masih ada daunnya, lalu terdengar suaranya melengking.

"Sudah lama kudengar akan kejahatan Pek-tiauw-pang! Sekarang aku melihat sendiri dua orang Pek-tiauw-pang merampok. Nonamu ini tidak akan mengampuni kalian!" Setelah berkata demikian, tubuhnya bergerak cepat sekali seperti seekor burung terbang dan ia sudah melayang dan menyerang dengan ranting pohon itu ke arah si pendek gendut! Biarpun ranting itu hanya sebesar ibu Jari kaki, dan panjangnya hanya satu meter, akan tetapi ketika menyambar ke arah kepala perampok pendek gendut, terdengar suara bercuitan dan ranting itu berubah menjadi slnar kehijauan yang menyambar ke arah jalan darah di leher si pendek gendut. Jagoan Pek-tiauw-pang ini terkejut bukan main karena dia dapat, merasakan, sambaran angin serangan yang dahsyat mengarah lehernya. Itu merupakan serangan maut' Cepat' dia mengelak dan melompat ke belakang, akan tetapi ada sehelai daun yang terlepas dari ran-ting itu dan terbang menampar pipinya,

"Plakk!" Biarpun hanya sehelai daun basah yang mengehai pipinya, akan tetapi terasa cukup nyeri, panas dan pedih. Si pendek gendut menjadi marah sekali. Dia mengeluarkan gerengan dan memu-tar pedangnya, menyerang ke arah gadis berpakaian merah muda itu. Pedangnya menjadi stnar putih bergulung-gulung yang menyerbu ke arah gadis itu. Akan tetapi dengan indahnya gadis itu beriompatan menghindar dan terdengar ia mengeluarkan suara tawa merdu yang mengejek.

"Hi-hik, manusia macam katak buduk beranl melawan nonamu? Engkau sudah boaen hldup!" Rantlng dl tangan pdii itu membalaa, rnenyambar-nyambar, akan tetapl si pendek gendut Itupun lihai. Dia dapat menangkls dengan pedang dan ba-las menyerang. TerJadi perkelahian seru di antara mereka.

Sementara itu, tiga belas orang piauwsu yang melihat betapa si pendek gendut sudah berkelahi melawan gadis baju merah muda yang membantu mereka, kini menyerbu dan mengeroyok si muka tikus!

Perampok tinggi kurus bermuka tikus ini mengerutkan alisnya, memutar pedang melindungi dirinya. Dia tahu bahwa ka-lau dia seorang diri harus menghadapi pengeroyokan tiga belas orang piauwsu itu, dirinya dapat terancam bahaya. Dia melirik ke arah temannya dan mendapat kenyataan bahwa gadis muda itu llhai sekali, bahkan dengafl sepotong rantlng agaknya dapat membuat kawannya repot sekali. Tiba-tiba sl tingg! kurus melompat Jauh ke belakang dan melarikan diri!

Terdengar teriakan yang keluar dari kelompok saudagar itu.

"Tolong! Dia membawa semua uang kami dalam kantung biru itu! Kejar dia.....!!"

Para piauwsu mengejar, akan tetapi ternyata orang tinggi kurus itu larinya cepat sekali. Melihat dan mendengar ini, Thian Liong lalu melompat ke depan dan melakukan pengejaran. Para piauwsu menghentikan pengejaran mereka karena mereka teringat akan keselamatan lima orang saudagar yang harus mereka lindungi. Mereka kembali ke tempat itu dan melihat gadis berpakaian merah muda itu masih bertanding melawan perampok gendut pendek, mereka menonton sambil bersiap-siap. Sebagian dari mereka merawat lima orang kawan yang terluka.

Sementara itu, dengan mempergunakan ilmu berlari cepat yang nsenibuat tubuhnya meluncur seperti terbang ketika melakukan pengejaran, sebentar saja Thian Liong sudah dapat menyusul perampok tinggi kurus bermuka tikus yang melarikan diri itu.

"Perlahan dulu, sobat!"

Si tinggi kurus itu terkejut bukan main mendengar ucapan ini dan dia melihat bayangan orang berkelebat, tahu-tahu di depannya telah berdiri pemuda yang tadi mencela dia dan temannya karena melakukan perampokan! Tadinya dia terkejut mengira bahwa yang dapat menyusulnya adalah gadis yang amat lihai itu. Akan tetapi ketlka mendapat kenyataan bahwa pengejarnya hanyalah pemuda tadi yang tampak biasa saja, dia menjadi marah sekali.

"Mampuslah" Bentaknya dan dia sudah menyerang dengan bacokan pedangnya ke arah leher Thian Liong. Orang itu sudah membacok dengan sekuat tenaga dan sudah merasa cepat sekali. Namun bagi mata dan telinga Thian Liong yang terlatih baik, bacokan itu datangnya lambat dan lemah saja. Maka dengan mudah dia mengelak dengan miringkan tubuhnya sehingga bacokan meluncur lewat mengenai tempat kosong.

"Sobat, aku tidak mau berkelahi denganmu. Aku hanya menghendaki agar engkau menyerahkan buntalan biru itu. kata Thian Liong tenang.

Si tinggi kurus itu menghentikan gerakannya.

"Apa? Engkau juga menghendaki uang ini? Kalau begitu, kita adalah rekan segolongan, mengapa engkau menggangguku? Kalau engkau minta bagian, katakan saja dan aku pastl akan memberimu."

Thlan Liong menggeleng kepalanya.

"Tldak, aku tldak menginginkan uang itu Akan tetapi uang itu harus dlkemballkan kepada pemlliknya yang merasa kehllangan. Serahkan buntalan itu kepadaku dan aku tidak akan menahanmu lagi."

"Engkau minta ini? Nah, terimalah!" Si muka tikus membentak akan tetapl bukan buntalan itu yang dia berikan, melainkan pedangnya sudah menyambar lagi dengan cepat karena dia mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi dengan tenang namun jauh lebih cepat Thian Liong miringkan tubuhnya, membuat langkah ke depan mengitari tubuh lawan, tangan kirinya menepis tangan lawan yang memegang pedang sedangkan tangan kanannya meraih ke arah punggung perampok muka tikus itu.

"Dukk.....! Aduhh..... brettt'!" Tubuh perampok itu terhuyung dan buntalan yang tadinya tergantung di punggungnya telah berpindah ke tangan Thian Liong.

Perampok itu marah sekali. Tentu saja dia tidak rela buntalan biru berisi uang emas dan perak itu direbut begitu saja. Biarpun tangan kanannya terasa ngilu ditepis tangan Thlan Llong tadi, namun kemarahan membuat dla tldak merasakan Ini dan dla sudah menerjang lagi seperti kesetanan.

"Kembalikan bungkusan itu!" terlaknya.

"Benda ini bukan milikmu." kata Thian Liong dan tubuhnya bergerak cepat mengelak dari sinar pedang yang menyambar-nyambar. Sampai belasan kali pedang itu menyambar namun tak pernah dapat menyentuh ujung baju Thian Liong. Melihat kenekatan orang itu, Thian Liong menyadari bahwa penjahat seperti ini sukar untuk diharapkar kesadarannya tanpa memberi hajaran kepadanya.

"Slnggg....!" Pedang menyambar lagl membabat ke arah pinggang kiri Thian Liong. Pemuda Itu menggerakkan kaki kirinya yang mencuat ke depan menyambut serangan itu. Ujung kakinya menendang pergelangan tangan yang memegang pedang. Pedang terlepas dan terpental jauh dan sebelum si muka tikus hilang kagetnya, kaki kanan Thian Liong mencuat.

"Dukkk!" Kaki itu menyambar dada dan tubuh perampok bermuka tikus itu terjengkang dan terbanting roboh. Sambil meringis kesakitan dia merangkak bangun. Kini maklumlah dia bahwa pemuda ini lihai sekali dan kalau dia melawan terus, berarti dia mencari penyakit. Maka setelah dapat bangkit berdiri dan kepeningan kepala serta kesesakan napasnya mereda, dia lalu melarikan diri meninggalkan Thian Liong yang masih berdiri dengan sikap tenang. Setelah melihat penjahat itu pergi, diapun lalu meninggalkan tempat itu dan kembali ke tempat di mana terjadi perampokan tadi.

Sementara itu, Bi Lan masih bertanding seru melawan perampok yang bertu-buh gendut. Dia termasuk seorang tokoh Pek-tiauw-pang dan tingkat kepandaianya sudah cukup tinggi. Ilmu pedangnyapun lihai. Pedangnya berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung. Namun, dia merasa penasaran sekali karena betapapun cepatnya dia memutar pedangnya, sama sekall tidak pernah dapat menyentuh ujung baju gadls remaja yang menjadl lawannya. Tentu saja dia menjadi penasaran sekali. Bagaimana mungkln dia, seorang jagoan darl perkumpulan Pek-tiauw-pang, kini tidak mampu mengalahkan seorang gadis yang usianya baru kurang lebih tujuh belas tahun dan yang hanya menghadapi pedangnya dengan sebatang ranting kecil? Dia sama sekali tidak tahu bahwa gadis remaja itu adalah murid manusia saktl Jit Kong Lama" pendeta Lama dari Tibet yang amat sakti dan yang telah menggembleng murid perempuannya itu selama sepuluh tahunl Kalau Bi Lan menghendakl, dalam satu dua jurus saja ia tentu mampu merobohkan lawannya. Akan tetapi dasar ia memiliki watak yang llncah gemblra, jenaka dan nakal, di samping galak dan cerdik, gadis itu sengaja hendak mempermainkan lawannya.

"Singg....!" Pedang sl gendut menyambar ke arah lehernya. Bi Lan denganmudah mengelak ke belakang dan ujung rantingnya menyambar.

"Brettt....!!" ujung ranting itu menebas dari atas ke bawah dan rontoklah semua kancing baju si gendut sehingga baju itu seketika terbuka memperlihat-kan dada dan perutnya yang gendut se-kali dan berkulit putih.

"Hiiih, seperti babi kamu!" Bi Lan berkata mengejek dan belasan orang piauwsu yang menonton perkelahian itu tak dapat menahan tawa mereka. Si gendut menjadi marah bukan main. la merasa dipermainkan, dihina dan dijadikan buah tertawaan semua orang itu.
"Bocah jahanam, mampus kau!" bentaknya dan kembali pedangnya menyambar dahsyat, kini menusuk ke arah ulu hati gadis itu. Bi Lan menekuk lutut, merendahkan tubuhnya dan ketika pedang meluncur lewat atas kepalanya, dari bawah ranting di tangannya meluncur ke depan.

"Bret....!" Kini tali celana si gendut itu yang putus semua dan tak dapat dicegah lagi, celana itu lepas dari perut yang gendut dan melorot turun!

"Hihhh! Menjijikkanl" Bi Lan memejamkan mata dan memutar tubuh membelakangi lawannya yang kini telanjang sambil menutupl mukanya dengan tangan kiri. Suara tawa meledak bahkan ada yang terpingkal-pingkal mellhat Si gendut kedodoran dan repot mengangkat celananya ke atas.

Muka Si gendut menjadl merah sekali seperti kepiting direbus. Akan tetepi ketika dia melihat Bi Lan berdiri membelakanginya, ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan balk untuk membalas penghinaan yang luar biasa itu, Cepat sekali dengan tangan kiri menahan celananya agar jangan merosot turun, tangan kanannya menggerakkan pedangnya hendek memenggal leher gadis itu dari belakang.

"Wuuutt...,. crott!!" Tubuh si gendut terkulai roboh dan darah bercucuran muncrat dari dadanya yang berlubang tertusuk ujung ranting yang tadi secepat kilat ditusukkan Bi Lan sambil membalikkan tubuh, tepat memasuki dada si gendut selagi pedangnya masih terangkat ke atas. Gerakan Bi Lan cepat bukan main sehingga lawannya tidak sempat mengelak atau menangkis tagi. Karena ranting itu telah menembus jantungnya, maka begitu terkulai roboh si gendut segera tewas tanpa dapat mengeluh lagi. Bi Lan membuang rantingnya yang berlumur darah dan sama sekali tidak melirik lagi ke arah lawan yang telah tewas itu.

Lima orang pedagang yang usianya sudah setengah tua kini berani keluar dari dalam kereta dan mereka menghampiri Bi Lan dengan sikap hormat. Pada saat itu Thian Liong datang berlari cepat dan dia membawa sebuah kantung kain berwarna biru yang tampaknya berat. Thian Liong menghampiri lima o-rang pedagang itu. Dia dapat menduga bahwa tentu lima orang itu yang memiliki barang-barang yang dikawal karena pakaiannya berbeda jauh dari para piauwsu.

"Ini rnlllk kalian yang tadi dilarikan perampok, Terimalahl" Lima orang pedagang itu tampak girang sekall. Seorang dari mereka menerima kantung biru itu dan mereka berlima segera memberi hormat kepada Thian Liong dan Bi Lan. Mereka semua menyangka bahwa pemuda dan gadis itu tentu merupakan pasangan karena mereka datang pada saat yang sama dan keduanya merupakan orang-orang lihai yang telah menolong mereka.

Seorang dari lima orang saudagar itu mewakili ternan-temannya dan berkata kepada sepasang muda mydi itu dengan sikap hormat.

"Tai-hiap (pendekar besar) dan li-hiap (pendekar wanita) berdua telah menyelamatkan nyawa dan harta kami. Untuk itu kami semua mengucapkan banyak terima kasih dan kami harap tai-hiap berdua sudi menerima sedikit sumbangan dari kami ini sebagai tanda terima kasih kami." Saudagar yang berjenggot panjang itu membuka kantung blru dan mengeluarkan segenggam uang emaa, dlserahkan kepada Thian Liongl

Thian Liong mengerutkan alisnya dan menggoyang tangan kanan menolak.

"Tidak, apa yang kami lakukan sudah merupakan kewajiban kami, kami tidak mengharapkan upah!"

Akan tetapi Bi Lan sudah melangkah maju dan sekali tangannya bergerak, ia. sudah menampar tangan yang menggenggam uang emas itu sehingga saudagar itu berteriak kesakitan dan uang emasnya berhamburan di atas tanah.

"Engkau ini sungguh seorang yang sama sekali tidak mengenal budi, sudah ditolong malah balas menghina dengan menyerahkan segenggam uang! Lupakah kalian bahwa kami berdua bukan hanya telah menyelamatkan harta bendamu akan tetapi juga nyawa kalian berlima dan belasan orang pengawal kalian? Apakah nyawa kalian semua harganya hanya segenggam uang emas ini? Betapa murahnya nyawa kalian!"

Lima orang saudagar itu terkejut sekali dan menjadi ketakutan. Si Jenggot panjang yang agaknya menjadl pemimpln mereka, cepat membungkuk-bungkuk kepada Bi Lan, memberl hormat dan berkata dengan suara mengandung penuh penyesalan.

"Ampunkan kami, li-hiap. Kami memang bersalah. Sekarang katakanlah apa yang li-hiap kehendaki dan kami pasti akan memenuhi permintaan li-hiap untuk niembalas budi li-hiap."

"Sebetulnya kami tidak mengharapkan apa-apa seperti dikatakan tai-hiap ini. Kami bukan pengawal kalian yang kalian gaji. Kami membunuh dan mengusir penjahat, menyelamatkan kalian hanya karena hal itu sudah merupakan kewajiban para pendekar! Akan tetapi mengingat bahwa nyawa kalian telah diselamatkan, apakah tidak sepantasnya kalau nyawa kalian dihargai sedikitnya. Separuh dari isi kantung uang itu?"

Mendengar ini, Thian Liong mengerutkan alisnya akan tetapi dia tidak dapat berkata apa-apa. Sementara itu, lima orang saudagar itu membungkuk-bungkuk dan si jenggot panjang cepat berkata,

"Tentu saja, li-hiap! Tuntutan itu lebih darl pada pantasl" Dia lalu mengambil sebuah kantong kosong lalu memindahkan sebaglan isi kantung biru ke kantung yang kosong, bahkan dla sengaja memlllh emasnya saja. Setelah emas separuh kantung biru itu dlpindahkan, dia lalu meletakkan kantung yang teriri emas itu ke atas tanah di depan Bi Lan sambil berkata,

"Silakan, li-hlap. Bingkisan yang tldak seberapa ini kaml berikan kepada jl-wl (kallan berdua) dengan hati rela dan ikhlas. Sekarang kami mohon dlri hendak melanjutkan perjaianan kami."

Tergesa-gesa lima orang saudagar yang ketakutan melihat Bi Lan marah tadi lalu memberi isarat kepada para piauwsu dan tak lama kemudian kereta mereka bergerak meninggalkan tempat itu.

Thian Liong masih berdiri berhadapan dengan Bi Lan. Kantung berisi uang emas itu masih tergeletak di atas tanah, di antara mereka. Mereka saling padang dan baru sekarang Thian Liong dapat mengamati Wajah gadis berpakaian serba merah muda itu. Dan dia menjadi kagum dalam hatinya walaupun kekaguman itu tidak tampak pada wajahnya yang tetap tenang. Siapa yang tidak kagum melihat gadis remaja yang jelita itu?

Usianya paling banyak baru tujuh belas tahun, akan tetapl ilmu silatnya sungguh hebat! Pakaian sutera serba merah muda itu sesuai sekali dengan tubuhnya yang ramping dan kulitnya yang putlh mulus itu tampak semakin bersih dan lembut dlpadu dengan sutera merah yang membungkusnya. Rambut di kepalanya hitam lebat dan panjang, digelung dengan indahnya dan dihias tusuk sanggul dari emas berbentuk burung kecil bermata merah. Sinom (anak rambut) lembut halus melingkar-lingkir di dahi dan pelipisnya. Sepasang telinga yang Indah bentuknya itu terhias anting-anting membuatnya tampak lucu dan kekanak-kanakan. Dahi yang halus putlh itu tampak semakin mulus karena sepasang alisnya amat hitam, menjelirit kecil melengkung, melindungi sepasang mata yang seperti bintang kejora, pandangannya tajam dan penuh gairah hidup, penuh semangat. Hidungnya yang mancung serasi sekali dengan mulutnya yang menggairahkan, dengan bibir yang indah dan kemerahan tanpa glncu, dihias pula sepasang lesung pipit di kanan kiri. Dagunya meruncing. Kulitnya putih mulus dan tubuh yang mulai dewasa itu seperti bunga se-dang mekar atau buah sedang ranum, dengan lekuk lengkung yang menggiurkan. Pendeknya, seorang gadis remaja yang cantik jelita! Akan tetapi pandang mata Thian Liong tampak tak senang ketika dia melirik ke arah kantung uang. Sungguh sayang, gadis secantik itu ter-
nyata mata duitan!

"Memalukan," katanya lirih namun penuh teguran,

"Menerima upah untuk menolong orang. Seperti tukang pukul saja."

Gadis itu membelalakan matanya dan kini matanya tampak lebar sekali, membuat wajahnya tampak lucu. Akan tetapi setelah melebarkan mata, ia lalu menge-rutkan alisnya dan matanya mencorong, bibirnya cemberut. Jelas sekali tampak bahwa ia marah!

"Apa kau bilang? Memalukan? Engkau munafik!" la memaki.

"Munafik? Aku?" Thian Ltong melongo heran dan kaget dimaki munafik.

"Ya engkau munafik. Coba Jawab, apakah engkau memillki banyak uang?"

Thlan Liong menggeleng kepalanya. 'Tldak sama sekali."

"Jawab lagi, Apakah engkau tldak membutuhkan makan, pakaian, dan tempat tinggal untuk melewatkan malam?"

"Tentu saja aku membutuhkan."

"Jawab lagi. Kalau engkau lapar, apakah engkau mengemis makanan ataukah mencuri makanan? Kalau pakaianmu rusak, kulihat sepatumu itu sudah butut sekali dan perlu diganti, dari mana engkau akan mendapatkan semua itu? Mencuri? Dan kalau engkau menginap dl rumah penglnapan, apakah setelah bermalam paglnya engkau lalu minggat tanpa membayar? Hayo jawab! Untuk semua itu engkau membutuhkan uang ataukah tidak?"

Diberondong begitu dan melihat sikap gadis itu membusungkan dadanya seperti menantang, Thian Uong gelagapan dan menelan ludah sebelum menjawab

"Ya.... eh, tentu saja untuk semua itu aku membutuhkan uang."

"Bagus, ya? Engkau butuh uang pada hal engkau tidak punya uang, dan seka-rang ada orang yang memberimu uang, engkau pura-pura menolak dan berani mengatakan i-nemalukan. Apa lagi nama-nya itu kalau bukan inunafik?"

"Akan tetapi aku menolong mereka bukan untuk mendapatkan bayaran uang!" Thian Liong membantah.

"Berlagak suci! Kita tidak rninta uang. Mereka yang memberikan kepada kita karena mereka hendak membalas jasa. Uang ini sudah sepantasnya menjadi milik kita. Apa artinya uang sebegini dibandingkan dengan harta kekayaan dan nyawa mereka berlima itu? Ini adalah uang halal, sama sekali tidak haram, tahu?" Bi Lan lalu membuka kantung1 itu, menuangkan isinya ke atas tanah la-lu membagi potongan-potongan emas itu menjadi dua. Yang setengah bagian ia masukkan ke dalam buntalan kuning berisi pakaiannya, dan yang setengahnya lagi ia masukkan kembali ke dalam kantung biru.

"Nah, yang itu bagianmu. Ambillah!" katanya sambil menudingkan telunjuk kirinya yang kecil mungil ke arah kantung biru itu. Akan tetapi Thian Liong tidak mengacuhkan kantung itu, melainkan menghampiri mayat perampok gendut yang tewas oleh ranting di tangan Bi Lan tadi. Dia membungkuk untuk memungut pedang milik perampok gendut yang tewas itu dan mulailah dia menggunakan pedang itu untuk menggali tanah.

Melihat pemuda itu tidak mengacuhkannya dan malah menggali lubang di tanah, Bi Lan menjadi penasaran. la menghampiri pemuda itu dan menegur,

"Hei, apa-apaan yang kaulakukan ini?"

Thian Liong yang sejak tadi menahan kedongkolan hatinya terhadap gadis Itu, menghentikan pekerjaannya dan dia berdiri menghadapi Bi Lan, memandang dengan slnar mata tajam mengaridung marah dan berkata, suaranya maslh lirih dan lembut, namun mengandung nada suara teguran keras.

"Nona, engkau masih amat muda namun telah memillkl llmu kepandalan tlnggi. Sungguh sayang sekali bahwa engkau terlalu kejam!"

Kini gadis itu yang terbelalak, ka"et dan heran, lalu alisnya berkerut dan la, inenjadi marah.

"Aku kejam?"

"Ya, engkau kejam! Engkau telah memburiuh orang ini padahal tanpa membunuhnyapun, dengan mudah engkau akan dapat mengalahkannya!" kata Thian Uong penasaran, lalu melanjutkan pekerjaannya menggali lubang kuburan.

"Kalau engkau bilang aku kejam, maka aku katakan engkau ini tolol! Tolol, bodoh, munafik!" Gadis itu memaki-maki karena ia menganggap pemuda itu memakinya kejam.

"Aku membunuhnya kau katakan kejam? Apa kaukira dia itu orang lemah-lembut dan baik hati? Ketahuilah, tolol, bahwa diapun berusaha membunuh para piauwsu dan saudagar itu dan kalau tidak ada aku, tentu semua orang itu celah dlbunuhnya! Dia itu pembunuh kejaml"

Thlan Llong menunda penggaliannya dan manoleh kepada gadis itu, klni suaranya terdengar tegas.





"Dia pembunuh orang dan jahat? Akan tetapi engkau juga membunuhnya. Apa bedanya antara kalian berdua? Apa kau ingin kusamakan dengan perampok yang kau bunuh ini?"

"Jelas beda! Tolol dan bodoh sekali kalau tidak melihat bedanya! Dia menyerang dan membunuh orang-orang yang tidak bersalah, dia menggunakan kepandaiannya untuk melakukan kekerasan dan mencelakai1 orang! Sedangkan aku, aku menggunakan kepandaian untuk menentang kejahatan, aku membunuh orang yang jahat berbahaya bagi orang-orang lain yang tidak berdosa! Dia penjahat dan aku pendekar, itulah perbedaannya!" Bi Lan membentak marah dan ia mem-banting-banting kaki saking jengkelnya disamakan dengan perampok jahat!

Akan tetapi Thiah Liong juga sudati' merasa jengkel dan tidak mau mengalah.

"Engkau dapat berbuat lebih baik dari itu, nona. Engkau akan benar-benar ber-Jasa besar kalau engkau hanya mengha-Jar penjahat ini, 'membuatnya jera dan berhasil menasehatlnya agar dia kembali ke jalan benar. Akan tetapl membunuhnya? Engkau tldak mampu memberi hidup, maka juga tldak berhak mematikan.

Setelah berkata demikian, Thian Liong melanjutkan pekerjaannya menggali iubang kuburan. Bi Lan membantlng-banting kaki dengan gemas, kedua tangannya terkepal akan tetapi tidak menyerang karena ia melihat pemuda itu sibuk bekerja.

"Engkau.... cerewet dan bawel! Huh, aku muak dan benci melihatmu!!"

Thian Liong tertawa dan kembali menunda pekerjaannya, lalu menoleh ke arah gadis itu.

"Akan tetapl aku suka dan kasihan padamu."

Bl Lan mendengus dan memutar tubuhnya, terus melangkah pergi, diikuti suara tawa Thian Liong yang dapat menguasai perasaannya dan kini melihat betapa lucu keadaan mereka. Baru bertemu, bekerja sama menolong rombongan saudagar menentang penjahat, lalu bercekcok! Padahal mereka belum saling memperkenalkan dlri, namanyapun tidak tahu. Setelah gadls itu pergi, baru dia teringat betapa jelita dan menariknya gadis itu dan betapa lihai ilmu silatnya. Berwatak pendekar pula, atau setidak-nya merasa menjadi pendekar. Sayang, galaknya bukan kepalang, seperti seekor harimau betina! Dia masih tersenyum-senyum ketika melanjutkan pekerjaannya. Setelah lubang itu cukup dalam, dia lalu mengubur jenazah penjahat gendut itu, menimbuni jenazah dalam lubang, menancapkan pedang itu di atas gun-dukan tanah kuburan, baru dia membersihkan kedua tangannya, mengambil bun-talannya yang tadi dia letakkan di bawah pohon tak jauh dari situ. Dia tidak menengok ke arah kantung biru yang berisi setengah jumlah uang emas yang ditinggalkan gadis itu. Ketika membungkuk hendak mengambil buntalan pakaian dan kitab-kitabnya, dia melihat buntalannya itu menonjol dan tampak lebih besar dari biasanya. Dia merasa heran lalu membuka ujung kain buntalan yang tadi-nya diikat. Ternyata buntalan atau kan-tung biru berisi uang emas itu telah berada dalam buntalannya! Cepat dia menoleh ke arah tempat; di inana kantung biru tadi ditinggalkan gadis itu dafi kantung itu telah lenyap. Kiranya diam-diam kantung itu telah dimasukkan ke dalam buntalannya oleh gadis itu! Bukti bahwa gadis itu dapat melakukan inl . tanpa diketahuinya, agaknya ketika dial?, sedang asik menggali lubang, menunjuk- te kan bahwa gadis itu memang lihai sekali. Sejenaki Thian Liong termangu dan ragu-ragu apakah akan menerima uang itu ataukah tidak. Kalau dia tidak meneri-manya dan meninggalkan di tempat itu,y apa gunanya? Jangan-jangan malah dlte-iK mukan orang-orang Jahat, karena yang berkeliaran dalam tempat liar dan sunyl sepertl itu biasanya hanyalah orang-orangSs sesat. Kalau diterimanya dan menjadi miliknya, apa salahnya? Gadis itu benar juga. Harus diakui bahwa dia membutuhkan uang untuk membeayai perjalanannya. Dia butuh uang untuk membeli pengganti pakaian, untuk membeli makan setiap hari, dan untuk membayar sewa kamar untuk bermalam. Dan uang itu memang bukan uang haram, melainkan pemberian para saudagar yang memberinya dengan rela dan senang hati. Dla menghela nepas panjang lalu menglkat-kan ujung buntalannye kemball, kemudian menggendong buntalan itu dan mulai mendaki sebuah puncak yang menurut keterangan penduduk di lereng bawah, adalah tempat tinggal Kun-lun-pai.

Tiba-tiba dia menahan langkahnya. Dia hendak ke Kun-lun-pal, kemudian ke Bu-tong-pai dan ke Siauw-lim-pai untuk menyerahkan kitab-kitab atas perintah gurunya. Kitab-kitab itu menurut gurunya amat penting bagi ketiga partai persilatan itu. Kitab-kitab itu dia simpan da-lam buntalan pakaiannya dan tadi bun-talan pakaiannya telah dibuka oleh gadls itu! Ah, siapa tahu? Banyak tokoh persi-latan yang menginginkan kitab-kitab itu. demikian gurunya berpesan dan agar dia berhati-hati menjaganya karena bukan tidak mungkin akan ada tokoh-tokoh kang-ouw yang lihai akan mencoba merampasnya kalau mereka mengetahui bahwa dia membawa kitab-kitab itul Ah gadis itu! Siapa tahu?

Dengan jantung berdebar dan perasaannya tegang Thian Liong lalu menurunkan buntalannya dan membukanya. Dia cepat memeriksa isinya dan. Wajahnya tiba-tiba menjadi pucat ketika melihat bahwa yang berada dalam buntalannya kini hanya ada dua buah kitab, yaitu Kitab Sam-jong Cin-keng untuk diberikan kepada ketua Siauw-lim-pai dan Kitab Kiauw-ta Sin-na untuk Bu-tong-pai. Kitab ke tiga, yaitu Kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat untuk Kun-lun-pai telah lenyap! Dia mencari-cari, membolak-balik pakaiannya, namun tetap saja kitab kuno itu tidak dapat ditemukan! Dia teringat bahwa tadinya kitab itu berada paling atas di antara tiga buah kitab itu karena memang kitab itu tadinya akan dia serahkan paling dulu kepada Kun-lun-pai!

"Celaka!" Dia berseru dan mengepal tinju. Siapa lagi kalau bukan gadis galak itu yang mengambilnya? Agaknya ketika membuka buntalan dan memasukkan kantung uang, ia melihat kitab itu berada paling atas dan gadis itu lalu mengambilnya dan membawanya pergi.

"Bocah liar! Kalau bertemu, akan kutampari pinggulnya sedikitnya sepuluh kali!" kata Thian Liong gemas. Akan tetapi dia lalu tertegun. Bagaimana mungkin bisa bertemu? Ke mana dia harus mencari? Gadis itu asing sama sekali. Dia tidak mengetahui namanya, apalagi tempat tinggalnya! Sialan! Tiga tugas pertama telah gagal satu! Apa yang akan dikatakan kepada gurunya? Ah, dia merasa kecewa dan malu. Akan tetapi dia harus bertanggung jawab! Dia harus mencari gadis itu dan merampas kembali kitab untuk Kun-lun-pai, tidak lupa menghukum gadis itu dengan sepuluh kali tamparan pada pinggulnya! Sekarang, tugas utamanya, dia harus menemui Ketua Kun-lun-pai dan melaporkan tentang kehilangan kitab itu. Dia harus bertanggung jawab dan siap menerima celaan dan teguran dari ketua Kun-lun-pai. Dia memang bersalah, tidak hati-hati dan lengah sehingga kitab yang amat penting dan berharga itu dapat dicuri orang. Dia mengikatkan kembali buntalannya, menggendongnya dan mengerahkan tenaga mempergunakan ilmu berlari cepat sehingga larinya seperti terbang mendaki puncak menuju ke kompleks kuil dan bangunan Kun-lun-pai yang berada di puncak itu.

Karena Thian Liong menggunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) untuk berlari cepat mendaki puncak sebentar saja dia sudah tiba di puncak dan dia melihat sekumpulan bangunan besar yang luas, dikelilingi pagar tembok yang cukup tinggi dan kokoh. Dia lalu berlari ke depan, di mana terdapat sebuah pintu gerbang yang besar. Baru saja dia berhenti berlari, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring di belakangnya.

"Siapa kau? Mau apa kau berkeliaran di sini?"

Thian Liong terkejut. Dia tidak mendengar ada orang datang. Ini membuktikan bahwa orang itu tentu memiliki ginkang hebat. Cepat dia memutar tubuh dan berhadapan dengan seorang wanita berusia kurang lebih lima puluh tahun. Rambutnya sudah bercampur uban dan digelung ke atas diikat kain kumng yang lebar hampir menutupi seluruh kepalanya. Pakaiannya sederhana seperti pakaian seorang pertapa atau pendeta. Juga pakaiannya terbuat dari kain kuning yang kasar dan murah. Sebatang pedang tergantung di punggungnya, pedang dengan ronce-ronce berwarna putih.

Thian Liong yang selain menerima pendidikan ilmu silat tinggi juga menerima pendidikan kerohanian yang mendalam disertai tata susila tinggi, cepat memberi hormat karena dia maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita sakti.

"Locianpwe (orang tua gagah), maafkan saya. Saya sengaja datang berkunjung untuk menghadap Ketua Kun-lun-pai." Dia merangkap kedua tangan depan dada sambil membungkuk hormat.

Akan tetapi wanita itu, yang wajahnya membayangkan kegalakan dan sinar matanya mencorong masih mengerutkan alisnya.

"Huh, kamu seorang laki-laki berani mendatangi bagian asrama wanita, tentu mengandung niat kurang sopan. Kamu mengandalkan kepandaianmu untuk berlaku kurang ajar, ya?'

"Ah, tldak lama sekali, locianpwe!" seru Thian Liong dengan kaget.

"Saya tldak tahu bahwa ini asrama wanlta....!"

"Bohong! Hendak kulihat sampai dl mana kelihaianmu maka kamu berani muncul di depan asrama kami! Sambutlah!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja wanita itu sudah menyerang dengan tamparan tangan kirinya. Tamparan tangan terbuka itu cepat sekali dan membawa angin pukulan yang kuat, mengarah pelipis Thian Liong sehingga merupakan serangan berbahaya yang dapat mendatangkan maut!

Diam-diam Thian Liong merasa heran dan juga penasaran. Bagaimana seorang wanita yang berpakatan seperti pertapa atau pendeta, tabiatnya demikian keras, berprasangka buruk dan menyerang orang tak bersalah dengan serangan maut? diapun cepat mengelak mundur sehingga tamparan itu luput.

"Locianpwe, saya bukan musuh dan tldak berniat buruk." Thian Liong mencoba untuk mengingatkan wanita itu.

"sambut ini....!!" Wanita itu bahkan menyerangnya lagi, kini menggunakan pukulan yang mengandung sin-kang (tenaga aakti). Pukulan jarak Jauh ini cukup dahsyat. Angin menyambar dan hawa pukul-an yang kuat menerpa ke arah Thian Liong. Melihat bahaya ini, terpaksa pe-muda itu mengerahkan tenaga dan mendorong ke depan untuk menyambut se-rangan lawan.

"Syuuuuttt.... dessss....!!" Dua tenaga yang kuat bertemu di udara dan akibatnya, tubuh pendeta wanita itu terdorong ke belakang dan la terhuyung-huyung, sedangkan Thian Llong maslh berdlri tegak.

Wanita Itu terkejut. la adalah tokoh Kun-lun-pai tingkat tiga, kepandaiannya hanya di bawah tingkat ketua dan wakil ketua. Akan tetapi dalam adu tenaga sakti melawan seorang pemuda, ia terdorong dan terhuyung! la terkenal berwatak, keras, maka kekalahan dalam adu tenaga ini bahkan membuatnya penasaran dan semakin marah.

"Sratt ....." tampak sinar putih berkelebat menyilaukan mata dan sebatang pedang mengkilat telah berada di tangan kanan wanita itu. Cara ia mencabut pedang dari punggung sedemikian cepatnya, menunjukkan bahwa ia adalah seorang ahli pedang yang pandai.

"Cabut pedang atau senjatamu yang lain! Mari kita mengadu kemahiran memainkan senjata!" kata wanita itu dengan ketus.

"Locianpwe, sekali lagi saya harap jlocianpwe tidak salah sangka. Saya bukan musuh Kun-lun-pai. Kalau locianpwe masih berkeras hendak menyerang dan membunuh orang tidak bersalah, silakan!"

Setelah berkata demikian, Thian Liong berdiri tegak, memejamkan mata, menenggelamkan segala kegiatan jasmani ke dalam kehampaan, hati akal pikirannya tidak bekerja, lahir batin menyerah kepada Kekuasaan Tuhan seperti yang telah dilatihnya bertahun-tahun di bawah bimbingan Tiong Lee Cin-jin.

"Engkau menantang maut? Apa kau kira aku tldak berani membunuh orang luar yang melanggar pantangan, mengunjungi asrama murid-murid wanita Kun lun-pai? Sambut ini! Nenek itu menerjang maju dan pedangnya berkelebat ke arah leher Thlan Llong.

"Slnggg....!" saklng kuatnya pedang dlgerakkan, terdengar suara berdesing ketika senjata Itu menyambar ke arah leher Thian Llong.

"Wuuutt....!" Wanita itu terkejut bu-kan main karena ketika pedangnya me-nyambar ke arah leher pemuda itu, tiba-tiba pedangnya terpental sepertl tertolak tenaga tak tampak yang lentur dan kuat sehingga tenaganya yang mendorong pedangnya itu memballk! Pemuda itu masih berdiri sambll menundukkan muka dan kedua matanya terpejam, mulutnya tersenyum dan wajahnya tampak demiklan tenang dan tenteram, seperti wajah orang yang sedang tidur pulaa. la merasa penasaran sekali dan mepyerang lagi dengan pedangnya. Namun setiap kali membacok atau menusuk, pedangnya selalu terpental. Makiri kuat ia menyerang, semakin kuat lagi tenaga yang membuatnya terpental karena tenaga membalik.

Tiba-tiba terdengar seruan lembut.

"Ngo-sumoi (adik seperguruan ke lima), hentikan itu!"

Mendengar seruan im, nenek itu melompat mundur, napasnya terengah dan wajahnya merah sekali. Thian Liong membuka matanya memandang dan dia melihat seorang pendeta wanita berpakalan serba putih berdlri di depannya. Wanita ini usianya sudah enam puluh lebih, namun wajahnya masih tampak segar dan slnar matanya lembut. Begitu bertemu pandang, Thian Liong merasa tunduk dan tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang nenek yang sakti dan yang telah mampu mengendalikan nafsu-nafsunya sendirl. Maka dia cepat memberi hormat, mengangkat kedua tangan ke depan dada.

"Loclanpwe, saya mohon maaf sebanyaknya kalau kunjungan saya kesini hanya mendatangkan keributan dan gangguan."

Pendeta wanita itu tersenyum dan wajahnya tampak jauh leblh muda ketl" ka la tersenyum.

"Ah, slcu (orang muda gagah), kamilah yang sepatutnya mlnta maaf atas slkap sumol Biauw In yang keras terhadapmu tadi. Akan tetapi siapakah engkau, sicu? Dan ada keperluan apakah engkau datang ke tempat kaml ini?"

"Nama saya Souw Thian Liong dan kedatangan saya ini untuk memenuhl perintah guru saya."

"Hemm, kaml melihat tadl bahwa engkau telah mencapal tingkat tertinggl dari tenaga sakti. Siapakah gurumu?"

"Suhu disebut Tiong Lee Cin-jin."

"Sian-cai (damai)....!" Nenek itu berseru dan wajahnya tampak terkejut dan berseri.

"Kiranya Tiong Lee Cin-jin yang bijaksana yang mengutus muridnya datang berkunjung?" Nenek itu menoleh kepada sumoinya yang galak tadi.

"Biauw In Sumoi, lihat apa yang telah kau lakukan tadi? Engkau menyerang murid Tiong Lee Cin-jin'"

Wanita galak itu tampak kaget dan wajahnya menjadi agak pucat.

"Aku.... aku tidak tahu...."

"Loclanpwe, kejadian tadi harap dilupakan saja, Sayalah yang bersalah dan mlnta maaf." kata Thlan Liong yang merasa tldak enak mendengar teguran itu.

"Souw-sicu, sikapmu ini menunjukkan bahwa engkau pantas menjadi murid Tiong Lee Cin-jin yang bijaksana. Katakanlah, tugas apa yang diberikan gurumu kepadamu sehingga engkau datang ke slni?"

"Maaf, loclanpwe. Sesual dengan perintah suhu, saya hanya dapat membicarakan urusan itu kepada para pimpinan Kun-lun-pai, yaitu Kui Beng Thai-su atau Hui In Slan-kouw saja."

Nenek itu tersenyum.

"Kui Beng Thai-su adalah ketua umum Kun-lun-pai dan Hui In Siankouw adalah sumoinya yang memimpin para murid wanita. Akulah Hui In Siankouw dan ia ini seorang sumoiku bernama Biauw In Suthai."

"Ah, kiranya locianpwe adalah Hui In Sian-kouw. Terimalah hormat saya." Thian Liong memberi hormat lagi,

Hul ln Sian-kouw tersenyum dan berkata.

"Souw-sicu, harap kelak sampaikan maaf kami kepada suhumu dan jangan menertawakan kami. Kami rnempunyai peraturan bahwa laki-laki tidak boleh memasuki asrama para murid wanita Kun-lun-pai. Oleh karena itu, terpaksa kami tidak dapat mempersilakan engkau memasuki asrama dan hanya dapat menyambutmu di sini saja."

"Tidak mengapa, locianpwe. Saya menghormati peraturan itu."

"Kalau begitu, mari kita duduk dan bercakap-cakap di sana." Hui In Sian-kouw menunjuk ke arah kiri di mana terdapat sekumpulan batu yang putih bersih. Agaknya batu-batu itu memang dira-wat dan dijadikan tempat untuk duduk bersantai. Thian Liong mengikuti dua orang pendeta wanita itu dan mereka lalu duduk di atas batu sallng berhadapan.

"Nah, sekarang sampaikan pesan Tiong Lee Cln-Jln itu kepadaku, Souw-sicu. Aku yang akan menyampaikan kepada suheng (kakak seperguruan) Kui Beng Thaisu."

Thian Llong menghela napas panjang "Sungguh! sayang sekali. Saya yang semestinya membawa kabar gembira untuk locianpwe, karena kelalaian saya, telah membuat kabar itu berubah menjadi tldak menyenangkan."

Hul In Slankouw tetap tersentum.

"Apapun yang terjadl, terjadilah, Souw-slcu. Tidak ada kejadian baik atau buruk, sebelum pikiran kita menilai didasari kepentingan pribadi. Ceritakanlah tanpa ragu. Kaml siap menerima yang ,dianggap paling buruk sekallpun."'

Thian Libng mengangguk kagum. Tak salah penilaiannya tentang pendeta wani-ta ini. Seorang yang arlf bijaksana. Maka diapun bercerita dengan lapang dada.

"Saya dlutus suhu untuk mengantarkan sebuah kltab untuk Kun-lun-pal yeng harus saya serahkan sendlri kepada Kui Beng Thai-su atau kepada Hui In Slan-kouw dan kebetulan sekall kini saya berhadapan dengan locianpwe sendiri."

"Ah, sebuah kltab dari Tiong Lee Cin-Jin untuk Kun-lun-pai? Souw-sicu, apakah nama kitab itu?" Tiba-tiba Biauw In Suthai bertanya dengan nada suara gembira. Agaknya ia tetah melupakan kemarahannya tadi dan kini merasa gembira sekali mendengar bahwa Kun-lun-pai akan mendapatkan sebuah kitab dari Tiong Lee Cin-jin yang namanya terkenal di antara semua tokoh besar dunia persilatan itu.

"Nama kitab Itu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat." kata Thian Liong.

"Alhh! Itu kitab pelajaran ilmu silat tinggi yang khusus diciptakan untuk murid wanita dan kitab itu lenyap ratusan tahun yang lalu, kabarnya dicuri seorang pertapa sakti yang jahat!" seru Hui In Sian-kouw kagum.

"Dan sekarang Tiong Lee Cin-jin dapat menemukannya kembali dan hendak mengembalikan kepada Kun-lun-pai? Betapa bijaksananya Tiong Lee Cin-jin."

"Souw-sicu, cepat keluarkan kitab itu dan berikan kepada Hui In Suci (kakak perempuan seperguruan Hui In)!" kata Biauw In Suthai tidak sabar lagi karena ingin segera melihat kitab pusaka Kun luni-pai itu.

"Bersabarlah, sumoi. Berilah waktu kepada Souw-sicu, agaknya dia masih hendak bercerita." kata Hui In Sian-kouw dengan tenang dan sabar.

"Sesungguhnya banyak yang harus saya ceritakan, locianpwe. Akan tetapi yang terpenting unluk saya beritahukan adalah bahwa kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat itu, ketika saya berada dl lereng bawah pegunungan Kun-lun-san ini lenyap dicurl orang."

"Apa....??" Biauw In Suthal melompat berdiri.

"Tidak mungkin!" Tentu engkau bohong dan ingin menguasai kitab itu untukmu sendiri!"

"Sumoi, Jangan sembarangan bicara!" Hui In Sian-kouw menegur adik seperguruannya.

"Suci, semua laki-laki di dunia ini mana ada yang dapat dipercaya? Dia memiliki ilmu kepandaian tinggi, mana mungkin kitab itu dicuri orang? Coba kuperiksa buntalannya!" Biauw In Suthai melompat ke arah buntalan pakalan Thian Liong yang tadi diturunkan pemuda itu ketlka hendak duduk di atas batu.

Melihat ini, Thian Liong membiarkan saja. Hui In Sian-kouw juga tidak keburu melarang sumolnya yang sudah membuka buntalan pakaian itu.

"Suci ini ada dua buah kitab!" seru Biuaw In Suthai sambil memperlihatkan dua buah kitab tua yang diambilnya dari buntalan itu.
"Itu adalah Kitab Sam-jong Cin-keng milik Siauw-lim-pai dan kitab Kiauw-ta Sin-na milik Bu-tong-pai. Kedua kitab itu harus saya serahkan kepada pemilik masing-masing, seperti juga kitab milik Kun-lun-pai yang hilang."

"Sumoi, kembalikan dua buah kitab itu. Kita tidak berhak menyentuhnya." perintah Hui In Sian-kouw dan Blauw In Suthai mengembalikan dua buah kitab itu. Akan tetapi ia terus mencari dan membuka kantung biru.

"Hei, lihat, suci! Banyak emas di sini, Tentu dia telah menjual kitab klta itu dan mendapatkan banyak emas. Hayo kau mengaku saja! Kepada siapa kltab kami itu kau jual!" Biauw In Suthai sudah mencabut lagi pedangnya dan mengancam Thian Liong.

"Sumoi, sirnpan pedangmu dan mundur!" Hui In Sian-kouw menegur sumoinya dan Biauw In Suthai menyarungkan lagi pedangnya dan melangkah mudur dengan mulut cemberut dan matanya mencorong galak memandang Thian Liong. Hui In Sian-kouw memandang pemuda Itu.


KISAH SI NAGA LANGIT JILID 08

"Souw-sicu, apakah penjelasanmu tentang ini semua?"

Thian Liong menghela napas panjang.

"Saya tadi belum selesai bercerita, loclanpwe. Tadi ketika saya melakukan perjalanan dan tiba di jalan raya di lereng bukit sebelah bawah, saya melihat serombongan lima orang saudagar dlkawal belasan orang piauwsu sedang diganggu dua orang perampok. Dua orang perampok ttu lihai dan para piauwsu agaknya akan kalah dan terbunuh semua. Saya lalu membela mereka yang dlrampok dan pada saat itu muncul pula ae-or.ang gadls yang llhai, la Juga membantu para piauwsu dan menewaskan seorang di antara dua perampok itu. Perampok ke dua melarikan sekantung emas dan saya mengejarnya dan berhasil mengambil kembali kantung yang dibawanya lari. Ketika saya mengembalikan kantung emas itu kepada para saudagar, mereka lalu menyerahkan setengah isi kantung itu kepada kami berdua, yaitu saya dan nona itu. Setelah para saudagar dan rombongannya meninggalkan tempat itu, saya lalu mengubur mayat perampok yang terbunuh oleh gadis itu. Di antara kami terjadi perselisihan paham karena saya mencelanya yang telah membunuh perampok itu. la marah-marah dan pergl membawa separuh uang yang ditinggalkan saudagar, yang separuh lagi ia berikan kepada saya. Nah, ketika saya sibuk menggali lubang untuk mengubur jenazah itulah, saya lengah. Tahu-tahu kantung uang emas yang tadinya saya tolak itu telah berada dalam buntalan pakaian inl dan kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang berada di tumpukan paling atas, telah lenyap."

"Gadis Itu tentu cantik jelita, bukan?" Tiba-tiba Biauw In Suthai bertanya, nadanya mengejek.

"Memang ia cantik jelita dan usianya kurang lebih tujuh belas tahun," kata Thian Liong sejujurnya.

"Nah Itulah, laki-laki semua mata keranjang! Tentu mellhat gadis cantlk itu, dia tergila-gila dan untuk menyenangkan hatinya, dia memberikan kitab itu kepadanya. Suci, pemuda ini harus bertanggung jawab, dia harus mengembalikan kitab itu kepada kita!"

"Sumoi, tidak malukah engkau berkata seperti itu? Kitab itu memang millk Kun-lun-pai, akan tetapi telah ratusan tahun hilang dan kita tldak dapat menemukannya kembali. Tlong Lee Cin-jin berhasil mendapatkannya kembali dan hendak menyerahkan kepada kita. Souw-alcu kehilangan kitab itu, dlcuri oleh orang laln. Bagalmana kita dapat menimpakan tanggung jawab kepadanya untuk mengemballkan kitab itu kepada kita? Sudahlah, aku melarangmu bicara lagi"

Mendengar teguran keras dari Hui In Siankouw, Biauw In Suthai mengerutkan alishya dan mukanya menjadi buruk sekali karena ia cemberut.

"Suci terlalu membela laki-laki ini. Biar aku melapor kepada toa-suheng (kakak seperguruan pria tertua)!" Setelah berkata demikian, pendeta wanita yang galak itu lalu meninggalkan tempat itu untuk pergi ke asrama baglan putera di balik bukit.

Hui In Siarikouw menghela napas panjang.

"Souw-sicu, maafkan sikap sumoi Biauw In Suthai. la memang keras hati. Sungguh aku merasa tidak enak kepadamu, sicu."

"Tidak mengapa, locianpwe. Memang sudah sewajarnya kalau ia marah karena saya memang bersalah. Saya telah le-ngah sehingga kitab itu lenyap dicuri orang. Sudah semestinyalah kalau saya bertanggung jawab. Saya berjanji akan mencari kitab itu sampal dapat dan setelah saya temukan, tentu akan saya serahkan kepada locianpwe di slni."

Pendeta wanita itu tersenyum dan mengangguk-angguk.

"Dari sikapmu sebagai murid, kami dapat menilai betapa bijaksananya Tlong Lee Clnjln, Souw-sicu, Siapakah nama gadis yang mencuri kiiab itu?"

"Saya tidak tahu namanya, locianpwe, kaml tidak sempat berkenalan. Akan tetapi sayapun tidak berani mengatakan bahwa ia yang mencuri kitab itu karena tldak ada buktlnya. Bagaimanapun juga, saya akan berusaha sekuat kemampuan saya untuk mencari kitab itu."

"Kami percaya bahwa engkau akan berhasil, sicu, dan sebelumnya kami mengucapkan terima kasih atas usahamu mencari kitab itu. Tldak lupa, sampaikan terima kasih Kun-lun-pai yang sebesar-besarnya kepada gurumu Tiong Lee Cin-Jln yang sudah menemukan kitab kaml yang hilang itu dan berusaha mengembalikannya kepada kami. Sampaikan hormat ku kepada beliau."

"Baik, loclanpwe, akan saya sampaikan kalau saya sudah menyelesaikan tugas-tugas saya dan bertemu lagi dengan suhu. Sekarang, saya mohon pamit dan terima kaslh atas pengertlan locianpwe yang sudah memberl maaf atas kelengahan saya sehingga kltab untuk locianpwe itu sampai hilang."

"Selamat jalan, sicu, dan berhati-hatilah dalam perjalanan. Semua prang mengetahui bahwa para datuk dan tokoh kang-ouw ingin sekali merampas kitab-kitab yang didapatkan oleh Tiong Lee i! Cin-jin dari dunia barat. Sicu yang masih membawa dua kitab, tentu tidak akan terlepas dari incaran mereka."

"Terima kaslh, loclanpwe, atas nasihat itu. Selamat tinggal."

Thian Liong menggendong buntalan-nya" memberi hormat lalu pergi menuruni puncak itu. Akan tetapi, ketika dia tiba di lereng gunung ke dua dari'puh-cak, dia melihat Biauw In Suthai meng-hadang perjalananh^a dan pendeta wanita itu ditemani dua orang gadis yang berpa-kaian serba kuning. Dua orang gadis itu berusia kurang lebih delapan belas tahun, keduanya bertubuh rarnping berkulit pu-tih mulus dan keduanya cantik manis. Hanya bedanya, yang seorang lebih jang-kung dengan wajah bulat dan yang kedua agak lebih pendek dan lebih muda dengan wajah bulat telur. Rambut mereka di gelung ke atas dengan kain berwarna kuning yang lebar. Di panggung mereka tergantung sebatang pedang.

Blarpun Blauw In Suthal tadl berslkap galak kepadanya, Thian Liong tidak mendendam dan mellhat nenek Itu berdirl menghadang perjalanan bersama dua orang gadis itu, dla cepat menghampirl dan memberi hormat.

"Locianpwe, saya mohbn diri hendak meninggalkan Kun-lun-san, harap locianpwe suka memberi jalan."

Akan tetapl Biauw In Suthal bertolak pinggang dan memandang pemuda itu dengan marah.

"Souw Thian Liong, engkau sudah tahu akan kesalahanmu! Engkau sebagai seorang laki-laki telah berani lancang datang ke asrama puteri Kun lun-pai. Karena itu sebelum kami menguji kepandaianmu, kami tidak akan membiarkanmu pergi. Tadi kami melihat sebatang pedang dalam buntalanmu. Hayo keluarkan pedangmu. Kami menantangmu untuk mengadu silat pedang!" Nenek itu menantang.

Thian Liong mengerutkah alisnya.

"Akan tetapi, loclanpwe, saya tidak ingin bertanding dengan siapapun, saya tidak ingin bermusuhan dengan siapapun."

"Enak saja! Engkau melanggar daerah terlarang bagi prla, dan engkau telah membikin lenyap kttab pusaka Kun-lun-pai Engkau harus menerima tantangan kaml ini. Aku tldak ingln dlanggap sebagai orang tua yang menghina anak muda. Karena itu, muridku inl akan mewaklll aku mengujl llmu pedangmu. Kim Lan, bersiaplah engkau!"

Gadis yang lebih tinggi bermuka bulat itu tiba-tiba menjadi merah wajahnya dan ia tampak semakin cantik. Ia mengangguk menerima perintah gurunya dan sekali tangan kanannya bergerak, tampak sinar berkelebat dan Thian Liong segera mengenal pedang itu sebagai pedang bersinar putih yang tadi dipergunakan Biauw In Suthai. Dengan gerakan indah dan gagah gadis cantik bernama Kim Lan ini menggerakkan pedangnya menunjuk ke atas, lalu pedangnya berkelebat seperti kitat menyambar, menjadi sinar menyilaukan dan ia sudah rnemasang kuda-kuda dengan pedang bersenibu-nyi di bawah lengan kanan, tangan kiri melingkar depan dada. Gayanya indah dan gagah sekali.

"Sicu, silakan!" kata Kim Lan, suaranya merdu namun mengandung tanteng-an dan kekerasan hati, sinar matanya tajam menyambar ke arah wajah Thian Liong. Tentu saja pemuda itu menjadi ragu. Dia tidak ingin berkelahi, apa lagi melawan seorang gadis yang tidak dike-nalnya sama sekali, yang tidak mempunyai urusan apapun juga dengan dirinya. Melihat keraguan ini, Biauw In Suthai segera berkata nyaring.

"Souw Thian Liong, engkau mengaku murid Tiong Lee Cin-jin yang terkenal, akan tetapi engkau pengecut kalau tidak berani menghadapi tantangan muridku Klm Lan. Ambil pedangmu dan coba kita sama mellhat apakah engkau mampu menandingi Tian-lui-kiam-sut , (Ilmu Pe-dang Kilat Guntur)! Kalau engkau dapat menang melawan Kim Lan, berarti engkau pantas berkunjung ke markas puteri Kun-lun-pai karena engkau menjadi keluarga sendiri. Akan tetapi kalau engkau kalah, kami akan membiarkan engkau pergi dan ternyata nama besar Tiong Lee Cin-jin hanya kosong belaka!"

Wajah Thian Liong berubah agak merah. Terlalu sekali nenek ini, pikirnya! Dia dipaksa untuk melawan karena kalau tidak, dia akan dianggap sebagai pe-ngecut dan berarti dia akan merendahkan nama besar gurunya yang amat dihormat di dunia kang-ouw. Dia terpaksa, mau tidak mau, harus melayani tantangan itu. Dia merasa serba salah. Dilayani, dia merasa tidak semestinya karena dia tidak mempunyai permusuhan dengan mereka dan tidak ingin menghina Kun-lun-pai dengan mengalahkannya. Kalau tidak dllayani, dia dianggap pengecut dan na-ma besar gurunya terseret turun. Selain itu, dia juga ingin sekali melihat sampai di mana kehebatan Ilmu Pedang Kilat Guntur itu. Dia pernah mendengar dari gurunya bahwa ilmu pedang Itu merupakan llmu puiaka dan andalan Kun-lun-pai dan bahwa hanya murld-murld tertinggl saja yang berhak menguasal llmu pedang itu. Gadis ini masih amat muda paling banyak sembilan belas tahun usianya, akan tetapi sudah menguasai Tian-lui-kiam-sut, berarti ia seorang murid Kun-lun-pai yang sudah tinggi tingkatnya. Timbul keinginannya untuk menguji kehebatan ilmu pedang itu!

Setelah menghela napas panjang, Thian Liong melepaskan gendongannya ke atas tanah, membuka buntalan, mengambil pedangnya dan mengikatkan lagi buntalan itu dengan teliti karena dia tidak mau lagi kehilangan dua buah kitab untuk Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai itu, kemudian ia mencabut pedangnya, melempar sarung pedang di atas buntalan pakaian dan menghampiri Kim Lan dengan pedang di tangan. Pedang Thian-liong-kiam itu adalah sebatang pedang kuno, berbentuk seekor naga gagangnya merupakan ekornya. Dia berdiri santai, pedang di tangan kanan itu tergantung ke bawah. Sama sekall dla tldak membu-at pasangan kuda-kuda,

"Baiklah, kalau locianpwe memaksa. Sllakan, nona, saya sudah slap melayani nona." katanya.

Biauw In Suthai dan gadis ke dua melangkah mundur dan menonton di pinggir. Melihat Thian Liong sudah mencabut pedang dan mengatakan siap wa-laupun sikapnya masih santai, Kim Lan lalu membentak dengan suara nyaring.

"Lihat serangan pedangku!" Setelah memberi peringatan, barulah ia bergerak. Dan serangannya memang hebat sekali. Begitu ia menerjang maju, pedangnya berkelebatan menyambar-nyambar seperti kilat dan ia telah menghujani Thian Liong dengan serangkai serangan kilat yang dahsyat! Thian Liong merasa kagum. Cepat dia menggunakan ginkang untuk berkelebatan mengelak dari semua serangan. Timbul kegembiraan hatinya. Ilmu pedang yang dimainkan gadis bernama Kim Lan itu memang hebat sekali dan gadls Itu benar-benar telah menguasai llmu pedangnya dengan baik. Pedang kilat itu seolah telah menyatu dengan dirlnya.

Sampai belasan jurus Thlan Liong menghindarkan dirl dari sambaran pedang dengan elakan-elakan cepat. Namun dia tahu bahwa dla tidak mungkin meng-andalkan elakan saja untuk menghindarkan diri dari serangan yang bertubi-subi datangnya Itu. Maka, ketlka dla terdesak, mulallah dla menggerakkan Thian-Liong-kiam di tangan kanannya. Akan tetapi tentu saja dla membataal tenaganya karena dia tidak ingin membikin rusak pedang lawan, juga tidak ingin membikin malu gadis itu dengan tolakan tenaga saktinya. Dia menangkls dengan tenaga terbatas.

"Tranggg....!" Dua pedang bertemu dan tampak bunga api berpijar menyilaukan mata. Gadls itu cepat memeriksa pedangnya. la merasa lega melihat pedangnya tidak rusak, juga lega karena merasa betapa tenaganya seimbang dengan tenaga lawan. Pertandingan dilanjutkan dan kini Thian Liong terkadang membalas dengan serangan pedangnya. Pertandingan itu tampak ramai dan seimbang. Hal ini terjadi tentu saja karena Thian Liong banyak mengalah. Dia tidak ingin membikin malu gadis itu maka sengaja membuat pertandingan itu tampak seru dan ramai seolah kepandalan mereka seimbang. Tentu saja dlapun tldak mau kalau sampai dia kalah, karena hal iu akan merendahkan nama besar gurunya. Tldak, dia harus menang, akan tetapl kemenangan melalul pertandlngan yang seimbang dan ramai.

"Hailiiittt....!!" Tlba-tiba Kim Lan merendahkan tubuhnya setengah berjong-kok dan pedangnya menyambar-nyambar ke arah kedua kaki Thian Liong. Pedang itu diputar-putar merupakan gulungan sinar putlh yang mengancam kedua kaki lawan. Thlan Liong berloncatan untuk menghindarkan diri dari serangan ke arah kedua kakinya itu. Untuk menghentikan desakan lawan, dia menyerangkan pedang nya dari atas dan pedang Thian-liong-kiam berkelebat. Ujung kain pengikat ke-pala Kim Lan terbabat putus dan sehelai kain kuning melayang ke bawah. Gadis itu terkejut dan mengubah serangannya. Kini ia berdiri lagi dan pedangnya menyambar-nyambar ke arah leher lawan.

"Trang-trang-tranggg..., tiga, kali berturut turut kedua pedang bertemu dl udara dan keduanya melompat ke belakang. Lima puluh jurus telah lewat dan Thlan Llong merasa bahwa sudah cukup lama dla mengalah. Ketika pedang kilat itu meuncur menyambar dengan tusukan ke arah dadanya, dia hanya sedikit miringkan tubuhnya dan mengangkat lengan kirinya. Pedang itu meluncur dekat sekali dengan iga kirinya dan pada saat itu, lengan kirinya turun mengempit pedang lawan! Kim Lan terkejut dan mengerahkan tenaga untuk mencabut pedangnya yang tampaknya seolah menancap di dada lawan itu. Akan tetapi tiba-tiba Thian Liong mengetuk siku kanannya. Seketika lengan kanannya kehilangan tenaga dan sebelum gadis itu dapat mengatasi keadaannya tangan Thian Liong yang memegang pedang itu telah mendorong pundak kiri Kim Lan sehingga tubuh gadis itu terhuyung ke belakang dan pedangnya tertinggal, dikempit oleh lengan kiri pemuda itu!

Keadaan ini jelas membuktikan bahwa Kim Lan telah kalah. Thian Liong cepat mengambtl pedang gadis itu, memegang ujungnya dan menyodorkan gagangnya kepada Kim Lan.

"Terimalah pedangmu dan maafkan aku, nona." ucapannya itu dikeluarkan dengan tulus. Kim Lan menerima pedang itu dan tiba-tiba ia menjatuhkan diri bersimpuh di atas tanah dan menangis tentu saja Thian Liong menjadi bengong melihat hal ini.

Anehnya, Biauw In Suthai menghampirinya. Thian Liong sudah bersiap siaga untuk melindungi dirinya kalau diserang tiba-tiba oleh pendeta wanita yang galak ini. Akan tetapi anehnya, Biauw In Suthai tersenyum dan berkata dengan suara girang.

"Souw Thian Liong, kiong-hi (selamat)! Kami mengucapkan selamat!"

"Selamat? Untuk apa?" Thian Liong bertanya, tidak mengerti.

"Selamat karena engkau telah membuktikan bahwa engkau murid yang mengagumkan dari Tlong Lee Cln-jln, engkau telah menang dalam pertandingan ini dan engkau telah memperoleh seorang isteri yang baik dan cocok sekali bagimu."

Thian Liong terbelalak semakin heran.

"Isteri? Apa.... apa maksud locianpwe?" Nenek itu menunjuk Kim Lan yang masih bersimpuh dan menangis menutupi muka dengan kedua tangannya.

"Lihat itu, calon isterimu menangis karena haru dan bahagia!"

"Locianpwe, apa maksudmu? Saya.... saya tidak...." dia bingung harus berkata apa.

Biauw In Suthai tertawa dan melihat nenek itu tertawa Thian Liong merasa aneh sekali. Nenek yang galak dan keras seperti batu karang itu dapat terta-wa, akan tetapi hanya mulutnya yang menyeririgai tertawa, matanya sama sekali tldak ikut tertawa. Mata itu tetap memandang dengan sinar yang keras.

"Heh-heh-hl-hl-hlk. Makaudku....? Itu urusan orang muda. Engkau boleh bicara sendtrl dengan Klm Lan!" Setelah berkata demikian, pendeta wanita itu melangkah pergi meninggalkan Thian Liong yang masih berdiri bengong.

Setelah nenek itu pergi, Thiar Liong memandang kepada gadis yang masih duduk bersimpuh dan menangis tanpa suara itu. Kemudian dia memandang kepada gadis ke dua yang berdiri di dekat gadis yang menangis dan kebetulan gadis itu juga sedang memandang kepadanya Gadis yang bermuka bulat telur dan bertubuh mungil ini wajahnya sama cantik dengan gadis pertama. Bedanya, gadis yang lebih pendek ini wajahnya tidak membayangkan kekerasan seperti yang lain. la bahkan memandang kepada Thian Liong dengan sinar mata kagum dan lembut, dan bibirnya mengembangkan senyum. Melihat sikap ini, Thian Liong yang tidak berani bertanya kepada gadis yang menangis, lalu bertanya kepada gadis ke dua itu.

"Nona, apakah sebenarnya yang dimaksudkan oleh loclanpwe tadi? Sungguh mati saya tldak mengertl sama sekali"

Gadis itu menoleh kepada gadls yang masih duduk bersimpuh dan biarpun sudah tidak menangs lagi namun masih menutupi mukanya dengan kedua tangan seperti orang yang merasa malu.

"Sucl (kakak seperguruan, bolehkah aku mewakilimu menceritakan apa artinya semua ini kepada Souw-sicu?"

Gadis yang bernama Kim Lan mengangguk. Gadis mungil itu lalu melahgkah maju rnenghampiri Thian Liong dan la berkata dengan suara merdu.

"Kami berdua adalah murid Kun-lun-paii di bawah asuhan guru karni Biauw In Suthai. Inl adalah enci Kim Lan dan aku bernama Ai Yin. Ketahuilah, sicu, kami berdua telah disumpah oleh guru kami ketika kami menerima pelajaran ilmu pedang Tian-lui-kiam-sut (Ilmu Pedang Kilat Gun-tur) bahwa kami hanya boleh menikah kalau...."

"Sumoi....!" Kim Lan menegur sumoinya dan ia kini bangkit berdiri, akan tetapi tidak berani menatap wajah Thian Liong, melainkan memandang wajah sumoinya.

"Suci, kalau aku tldak menceritakan semuanya, bagaimana Souw-sicu akan dapat mengertl persoalannya? Karena dia merupakan orang yang tersangkut, tiada salahnya dia mengetahui rahasia kita."

Sejenak Kim Lan termangu-mangu, lalu melirik malu-malu ke arah Thian Liong, kemudlan mengangguk dan berkata lirih,

"Balk, teruskanlah."

Thian Llong merasa tidak enak.

"Nona, kalau kalian mempunyai rahasia, tidak perlu kalian ceritakan padaku. Akupun tidak ingin mendengar tentang rahasia orang lain."

"Souw-slcu, rahasia kami ini sekarang telah melibatkan dirimu, maka engkau harus mendengarnya."

"Hemm, kalau engkau dengan suka rela hendak menceritakan kepadaku, silakan." kata Thian Liong yang sebetulnya ingin sekali tahu akan sikap 8iauw In Suthai tadi.

"Seperti kukatakan tadi, kami berdua telah disumpah oleh guru kami. Kami tidak boleh berhubungan dengan pria, bahkan tldak boleh berdekatan. Subo (ibu guru) mungkin akan rnembunuh kami kalau melihat kami akrab dengan pria. Kami disumpah bahwa kami hanya boleh menikah kalau ada pria yang dapat mengalahkan Ilmu Pedang Kilat Guntur kami. Pria yang dapat mengalahkan kami harus menjadi suami kami. Karena itu, ketika engkau mengalahkan suci Kim Lan, berarti engkau menjadi jodoh atau calon suami suci Kim Lan, Souw-sicu."

Thlan Liong terbelalak, terkejut dan heran.

"Akan tetapi....., bagaimana mungkin ada aturan seperti itu? Pernikahan tidak dapat dipaksakan oleh satu pihak, harus ada persetujuan kedua pihak. Sedangkan aku.... aku sama sekali belum mempunyai keinginan bahkan belurn pernah berpikir untuk menikah!"

"Akan tetapi engkau harus menerima suci Kim Lan menjadi isterimu, sicu. Harus!" kata Ai Yin. Kata terakhir itu mengandung tekanan kuat sekali.

"Harus?" Thian Liong mengerutkan alisnya yang tebal dan memandang Ai Yin dengan sinar mata mengandung rasa penasaran.

"Siapa yang mengharuskan?"

"Sumpah , kami yang mengharuskan. Tidak ada pllihan lain bagi suci Kim Lan. Menurut sumpah kaml, kami harus menikah dengan lakl-lakl yang mampu mengalahkan llmu pedang kami!"

"Aturan gila! Sumpah macam apa itu? Bagaimana kalau laki-laki yang mengalahkan kalian itu sudah tua dan sudah beristeri?"

"Itu merupakan kekecualian. Sumpah kami hanya menyangkut pria yang belum berkeluarga, tua muda tidak masuk hitungan. Dan kami percaya bahwa eng-kau belum berkeluarga, sicu."

"Hemm, aneh. Bagaimana kalau pria yang mengalahkan kalian Itu tidak bersedia menikah dengan kalian?"

"Menurut sumpah kaml, kalau begltu masalahnya, kaml harus membunuh pria itu! Jadi tldak ada pilihan laln bagl suci Kim Lan. la harus menlkah denganmu atau kalau sicu menolak, la harus mem-bunuhmu!" kata Ai Yln.

Thian Llong terkejut sekall.

"Gila be-narl Belum pernah aku mendengar aturan yang leblh gila darl pada Inl. Aku sama sekall tldak ada kelnglnan untuk menlkah, bagalmana mungkln aku dlpaksanya? Tentu aaja aku menolak untuk memenuhl aturan glla-gilaan Ini. Aku tldak mau menlkah dengan siapapun!"

Tlba-tlba Klm Lan memandangnya dan berkata, suaranya mengandung kekerasan.

"Kalau engkau menolak, Souw Thian Liong, berartl penghinaan yang tlada taranya bagiku. Aku akan membunuhmu atau engkau harus membunuhku karena engkau telah menodai dan mencemarkan nama dan kehormatankul"

Thian Llong membelalakkan matanya.

"Aih! Apa pula ini? Aku tidak pernah menyentuhmu, bagalmana engkau dapat mengatakan bahwa aku menodal dan mencemarkan kehormatanmu?"

"Ini sudah menjadl sumpahku. Tidak ada plllhan lain baglku. Aku harus menjadl isterimu atau terpaksa aku akan mengadu nyawa denganmu!" Setelah berkata demikian Kim Lan mencabut pedangnya.

"Wah. ini gllal Nona Klm Lan. engkau tldak aan memang melawan aku, dan aku dapat lari meninggalkanmu dengan mudah. Engkau tldak akan dapat mengejar atau membunuhku."

"Aku akan terus mencarlmu, memperdalam llmuku dan selalu berusaha untuk membunuhmu!" kata Kim Lan.

"Dan aku akan membantu suci untuk membunuhmul" kata pula Ai Yin sambil inencabut pedangnya.

"Wah-wah, kalian inl sudah tidal waras lagl. Nona-nona, kalian adalah, orang-orang muda, bagaimana berpendirian begini kolot? Perjodohan hanya ditentukan oleh cinta atau kesepakatan kedua pihak, sama sekali tidak boleh main paksa."

"Kita diikat oleh sumpah!" jawab kedua orang gadis cantik itu berbareng.

"Kalau engkau tetap gagal dalam usahamu untuk membunuhku, bagaimana, nona Kim Lan?" Thian Liong bertanya.

"Kalau selalu tetap gagal, tidak ada jalan lain bagiku kecuali membunuh diri atau dibunuh guruku."

"Gila....! Thian Liong berteriak.

"Kalian gadis-gadis muda sudah menjadi korban keganasan seorang nenek gila!"

Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan Biauw In Suthai sudah berada di depan Thlan Llong.

"Bocah she Souw! Engkau berani memaki aku nenek glla? Murld-muridku memenuhi sumpahnya, berarti mereka adalah orang-orang gagah sejatl yang setia kepada gurunya. Akulah yang akan membantu Kim Lan membunuhmu kalau engkau menolak menjadi suaminya!"

"Dunia sudah miring! Kalian orang-orang tidak waras!" Thian Liong berseru sambil menyambar buntalan pakaiannya dengan tangan kiri dan siap membela dlri dengan pedang Thlan-llong-klam di tangan kanan.

"Bunuh Jahanam ini" Biauw In Suthai berteriak dan tlga orang wanlta itu menggerakkan pedang di tangan mereka. Tampak tiga sinar kilat menyambar dengan dahsyat ke arah Thian Liong. Demikian cepat seperti kilat menyambarnya tiga pedang itu sehingga Thian Liong terpaksa membuang diri ke belakang lalu bergulingan menjauh dan cepat dia melompat bangkit kembali. Melihat tiga orang wanita Itu sudah hendak menerjangnya lagi dengan pedang diputar di atas kepala, Thian Liong cepat menyimpan pedangnya dan mengerahkan tenaga sakti, mendorong ke arah mereka dengan kedua telapak tangan.

"Wuuutttt....!!" Angin yang kuat sekali menerpa tiga orang wanita itu. Mereka merasa terkejut sekali dan berusaha menahan, namun mereka tidak kuat dan tetap saja tubuh mereka terdorong angin dan terhuyung-huyung ke belakang. Bahkan Ai Yin yang agaknya paling lemah dl antara mereka bertiga, terguling roboh. Walaupun mereka tldak terluka, namun mereka terkejut sekali dan ketlka mereka memahdang ke depan, ternyata pemuda itu telah menghilang dari sltu.

Melihat itu, Kim Lan menjatuhkan diri berlutut dl depan kaki subonya dan menangis.

"Subo, teecu (murid) dltolak seorang iaki-laki dan teecu tidak mampu membunuhnya. Sllakan subo menghukum dan membunuh teecu, teecu pasrah...."

Blauw In Su-thai menghela napaa panjang. tangan kanan maslh memegang pedangnya. Pada saat itu, Ai Yin yang mencinta suclnya Juga ikut berlutut di depan kaki Biauw In Suthai dan berkata,

"Subo, sucl tidak bersalah. Ia sudah berusaha membunuh Souw Thlan Liong, bahkan teecu dan subo sendirl juga sudah membantunya. Namun, orang itu terlalu tangguh."

"Hemm, menurut sumpahmu sendlri, laki-lakl itu adalah jodohmu dan kalau dla menolak, engkau berusaha untuk membunuhnya. Pergilah dan usahakanlah agar engkau dapat membunuh dia, dan jangan sekali-kali engkau berani kembali menghadapku di sini sebelum engkau mampu membunuhnya!" kata nenek itu, kemudian sambil mendengus marah, ia memutar tubuhnya dan menlnggalkan tempat itu.

Kim Lan masih terisak dan mengha-pus air matanya. Mukanya menjadi pucat dan ia memandang wajah sumoinya de-ngan sedih.

"Sumoi, selamat tinggal, aku hendak pergi dan berusaha memenuhi sumpahku, sampai aku berhasil atau mati." Setelah berkata demikian, Klm Lan memballkkan tubuhnya dan berlart cepat meninggalkan sumolnya.

"Sucl, tunggu....ll" Ai Yln melompat dan melakukan pengejaran.

Klm Lan berhentl. Mereka berdlri berhadapan.

"Ada apakah, sumoi?"

"Sucl, aku Ikut pergl denganmu."

Kim Lan membelalakkan matanya, kemudian mengerutkan allsnya yang Indah bentuknya.

"Ah, sumol! Engkau tidak boleh! Subo akan marah sekali kepadamu'"

"Biarlah, suci. Aku tidak tahan lagi dihantui sumpah kita itu, apalagi setelah melihat akibatnya kepadamu! Aku tidak mau kelak sepertimu, suci. Dan ingat, yang disumpah subo hanyalah kita berdua, karena itu aku harus membantu-mu dan membelamu. Bukankah engkau akan membelaku juga kalau aku tertimpa masalah seperti engkau sekarang ini? Suci, kita berdua sudah yatim piatu, tidak mempunyai siapa-siapa lagi. Kita berdua sudah seperti saudara sendiri, sejak kecil hidup bersama. Ah, kalau aku tahu akan begini jadinya, dahulu aku tidak akan mau bersumpah, biar tidak menguasai Tian-lui-kiam-sut juga tidak mengapa."

"Sumoi....!" Kedua orang gadis itu berangkulan dan menangis. Tak lama kemudian, dua orang gadis Itu sudah menuruni lereng pegunungan Kun-lun-san. Ai Yin ikut pergi bersama sucinya untuk. membantu sucinya mencari Thian Liong, untuk membunuh pemuda itu atau kalau: gagal mereka yang akan dibunuh guru mereka! Tentu saja, kecuali kalau pemuda itu mau menikahinya.

Sementara itu, dl balik sebuah batu besar, Biauw In Suthai berdiri dan dengan punggung tangan kirinya ia mengusap kedua matanya untuk menghapus beberapa butir air mata yang membasahi pelupuk matanya. Nenek yang keras hati seperti baja itu menangis, walaupun tak bersuara dan hanya beberapa butir air mata membasahi pelupuk matanya! Kalau saja ada murid Kun-lun-pai melihatnya, pasti mereka akan menjadi gempar dan terheran-heran. Hati Biauw In Suthai terkenal keras dan kaku, bahkan ketika ia kematian gurunyapun tak sebu-tir alr mata keluar dari matanya yang selalu bersinar keras. Akan tetapi pada saat itu, di mana tidak ada orang lain menyaksikannya, ia merasa hatinya se-perti ditusuk-tusuk pedang dan ia tidak dapat menahan ketika beberapa butir air mata membasahi kedua matanya. Itupun cepat-cepat butir-butir air mata itu dihapusnya. Kemudlan dengan tubuh terasa lemah lunglal ia menjatuhkan dlrl duduk dl atas tanah berumput dan berslla. Plklrannya melayang-layang ke masa la-lu.

Ia pernah muda. Lama sebelum menjadi pendeta dan tokoh besar tingkat tiga Kun-lun-pal. la pernah Jatuh clnta. Bahkan tlga kali la jatuh clnta! Namun ke tiga kallnya gagal. Selalu saja la dlsila-siakan, ditinggal pergi suaminya yang menikah dengan wanlta lain. la merasa seakan bunga layu yang dibuang setelah sarl madunya dihlsap habis. la tldak pernah mempunyai anak darl tlga kali menjadi isteri orang. Mulailah la merasa bencl kepada laki-laki. Demiklan mendalam rasa sakit hatinya sehingga la memperdalam ilmu silatnya dan setelah menjadi seorang ahli silat yang pandai, ia mencari ketiga orang laki-lakl bekas suaminya yang menyia-nyiakan dan membunuh mereka! Kemudian sebagai seorang pendekar wanita, ia melanglang-buana dan selalu membunuh penjahat tanpa ampun. Akan tetapi yang dibunuhnya selalu prial Prla yang menjadl penjahat, terutama sekall la selalu memburu para jai-hwa-cat (penjahat pametik bunga atau pemerkosa wanlta) dan tanpa ampun membunuhnya dengan sadis!

la baru menghentikan kebiasaannya yang menggemparkan dunla perailatan itu setelah ta bertemu dengan Kut Beng Thalsu yang sekarang menjadl Ketua Umum Kun-lun-pal. la dlkalahkan dengan mudah oleh pendeta Kun-lun-pal itu, bahkan lalu menerlma bimblngan dalam llmu silat dan juga tentang kerohanlan. Akhirnya, karena ia maJu sekali, bukan saja dalam llmu sllat, melainkan juga dalam soal kerohanian sehlngga la tldak lagi menjadl ganas dan kejam, bahkan pantang untuk sembarangan membunuh, Kui Beng Thaisu yang melihat bakat baik darl wanlta ini untuk menjadl pelatlh llmu sllat, alu mengangkatnya sebagai pimpinan bagian murid Kun-lun-pai wanita, menjadi pembantu Hui In Siarikouw yang menjadi ketua bagian murld wanita.

Kemudian Biauw In Suthai memilih dua orang gadis yatlm piatu menjadi murid pribadinya, yaitu Kim Lan dan Ai Yin. Selama hampir sepuluh tahun ia mendidik dua orang gadis ini, bahkan menurunkan ilmu pedang Tian-lui-kiam-sut yang tidak dapat diajarkan kepada sembarang murid. Untuk itu, ia mengharuskan dua orang murid ini melakukan sumpah seperti yang telah kita ketahui. Sumpah itu menunjukkan betapa benci ia kepada kaum pria dan sesungguhnya ia tidak rela kalau dua orang murid yang disayangnya seperti anak-anaknya sendiri itu menjadi isteri orang hanya dengan bahaya kelak akan mengalami nasib seperti dirinya, yaitu disia-siakah suami dan ditinggal pergi! Kalau ada pria yang mampu mengalahkan Thian-lui-kiam-sut, berarti pria itu sakti dan hal ini dapat menguntungkan ia atau pihak Kun-lun-pai. Pria yang menjadi suami muridnya itu dapat mengajarkan ilmu-ilmunya yang sudah dapat mengalahkan Tian-lui-kiam-sut sehingga mutu ilmu silat Kun-lun-pai dapat meningkat. Akan tetapi kalau pria itu menolak mengawini murid yang dikalahkannya, muridwa harus membunuh laki-laki itu. Inilah merupakan jalan baginya untuk membalas dendamnya kepada kaum pria yang dibencinya! Juga untuk menguji kesetiaan dua orang murid yang dikasihinya itu. Semua ilmunya telah ia berikan dan ia menuntut agar dua orang muridnya itu berbakti dan setia kepadanya.

Akan tetapi, ketika diam-diam ia mengintai dan melihat betapa dua orang muridnya itu pergi meninggalkannya untuk berusaha mengejar dan membunuh Souw Thian Liong. hati pendeta wanita itu merasa sedih sekali.

Dendam sakit hati merupakan racun jahat yang akan merusak batin sendiri. Dendam sakit hati menimbulkan kebencian dan nafsu kebencian membuahkan kekejaman, menghilangkan prikemanusiaan karena kebencian bagaikan api baru dapat dipadamkan oleh tindakan buas untuk menda-tangkan siksaan bahkan pembunuhan ter~ hadap orang yang dibenci. Namun yang diderita oleh Biauw In Suthai bukan ha-nya dendam kebenclan karena disia-siakan pria selama tlga kali saja, terutama sekali dendam ini dikobarkan karena pada terakhir kalinya, yaitu ketika ia bertemu dengan pria ke empat dan ia jatuh cinta secara mendalam, pria itu tidak membalas cintanya karena medgetahui bahwa ia telah menjadi janda tiga kali! Kekecewaan ini merupakan puncak pen-deritaannya karena harus diakuinya bah-wa pada pria ke empat ini ia benar-be-nar jatuh cinta.

Selagi Biauw In Suthai tenggelam ke dalam kesedihan, tiba-tiba ia mendengar teguran suara yang lembut.

"Biauw In, ada apakah dengan engkau ?".

Nenek itu terkejut bukan maln. Orang datang begitu dekat dl belakangnya dan ia tldak mengetahuinya! Hal Ini menunjukkan betapa hebat gin-kang (ilmu merlngankan tubuh) orang Itu. Akan tetapi ketlka ia bangkit dan memutar tubuh, la melihat bahwa dl situ telah berdiri seorang kekek yang Jangkung kurus, berJenggot panjang, berambut putlh, yang bukan lain adalah Kul Beng Thaisu sendirl, Ketua Umum Kun-lun-pai, penolong dan juga pembimbingnya. la maklum bahwa kepada kakek ini ia tidak dapat menyembunyikan sesuatu. Kakek iitu andah berada di situ, tentu telah mengetahui akan kepergian dua orang muridnya tadi, bahkan mungkin sudah mengetahui pula tentang Souw Thian Liong! Maka, iapun segera menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu, menahan tangisnya. Saking sedihnya, ia tidak dapat mengeluarkan kata-kata.

"Sumoi, tenangkan batlnmu dan ceritakanlah kepadaku, apa yang telah cerja-di sehingga engkau tenggelam dalam kesedlhan?" Kul iBeng Thalsu adalah orang yang menyadarkan nenek itu yang dahulu maalh seorang wanlta muda berusla tlga puluh tahun bernama Blauw In. Juga dla yang memberl pendidlkan dan blm-blngan kepadanya. Akan tetapl karena pada waktu Itu gurunya maslh hldup dan Blauw In diterima sebagal murld Kun-lun-pai, mellhat tlngkat kepandaiannya sudah tinggl, maka dia menyebut sumol (adik perempuan seperguruan) kepada Blauw In Suthai dan nenek inl menyebutnya suheng (kakak laki-laki seperguruan). Dan setelah guru mereka meninggal, Kui Beng Thaisu menggantikan kedudukan ketua dan dia mengangkat Biauw In Suthai menjadi wakil ketua bagian murid wanita.

Biauw In Suthai menenangkan hatinya dan beberapa kali menghirup napas panjang sambil mengheningkan cipta. Se-telah merasa hatinya tenang, ia bangkit berdiri dengan perlahan.

"Mari duduk di sana dan engkau ke-luarkanlah semua masalah yang merlsau-kan hatimu, sumoi," kata kakek itu. Biauw In Suthai mengangguk dan kedua-nya lalu menghampiri sekumpulan batu tak jauh dari situ lalu masing-masing du-duk di atas sebuah batu.

"Maafkan kelemahanku, suheng. Semua itu terjadi demikiah cepatnya dan dalam waktu singkat terjadi demikian banyak perubahan. Mula-mula aku melihat munculnya seorang pemuda di depan asrama puteri para murid Kun-lun-pai. Tentu saja aku curiga kepadanya dan selain menergurnya aku juga menguji ilmu kepandaiannya karena kulihat dia memiliki ilmu berlari cepat yang hebat."

"Sian-cai (damai)..... Kenapa engkau masih juga belum dapat melunakkan hatimu yang keras itu, sumoi?"




"Aku berniat mengujinya saja, suheng. Ternyata dia memang lihai sekali. Suci Hui In Siankouw datang dan melerai. Atas pertanyaan suci, pemuda itu mengaku bernama Souw Thian Liong dan dia murid Tiong Lee Cin-jin."

"Murid Tiong Lee Cin-jin? Ahh, tidak aneh kalau dia lihai sekali. Akan tetapi apa keperluan murid Tiong Lee Cin-jin datang berkunjung?"

"Tadinya dia memang hendak menghadap suheng, akan tetapi dia tersesat ke asrama bagian puteri. Suci Hui In mewakili suheng dan dia bercerita kepada suci, bahwa dia diutus Tiong Lee Cin-jin untuk menyerahkan sebuah kitab kepada suheng. Kitab itu bukan lain adalah Kitab Ngo-heng Llan-hoan Kun-hoat,"

"Siancai....!" Kui Beng Thaisu berseru kagum.

"Jadi Tiong Lee Cin-jin telah berhasil menemukan kitab pusaka kita yang telah hilang ratusan tahun yang lalu itu dan mengembelikan kepade klta? Bukan malnl Sungguh beliau seorang yang sakti den bljakaana sekali!"

"Akan tetapl kelanjutan ceritaku tidak begltu menyenangkan, suheng. Pemuda she Souw itu mengatakan bahwa baru saja kitab pusaka kita itu dicuri orang."

"Sian-cai;...! Slapa yang mencurinya?"

"Itulah, suheng, Dla sendiri tidak tahu slapa yang mencurinya. Aku menganggap dia berbohong dan hendak menyembunylkan kitab itu. Aku hendak menyerangnya dan memaksanya mengaku dl mana kitab itu, akan tetapi sucl Hui In melarangku."

"Sucimu benar, sumoi. Pemuda Itu tidak mungkin menyembunyikannya. Dia sudah berani datang menceritakan tentang kehilangan kitab itu, berarti dia jujur. Apakah dia tidak mengatakan pertanggungan-jawabnya atas kehilangan itu?"

"'Dia mengatakan bahwa dia akan mencari kitab itu sampai dapat."

"Nah, Itu sudah cukup. Kltab pusaka Itu sudah ratusan tahun lenyap. Tlba-tlba saja ditemukan Tlong Lee Cin-Jln yang mengutus murldnya untuk mengembalikan kepada klta. Kalau kltab itu dlcurl orang, hal itu merupakan sebuah kecelakaan. Tiong Lee Cln-Jin adalah seorang yang sakti dan bijak, tentu murid-nya juga seorartg yang gagah perkasa. Lalu, apa yang menyebabkan engkau bersedih?"

Biauw In Suthai menduga bahwa suhengnya tentu sudah tahu akan kepergian dua orang muridnya, bahkan mungkin tahu pula akan pertandingan tadl.

"Ketika Souw Thian Llong turun dari puncak, aku bersama Kim Lan dan Ai, Yin sengaja menghadangnya, suheng."

"Hemm, apa lagi yang kaulakukan bersama dua orang muridrnu itu, sumoi?"

"Aku menantang pemuda itu untuk bertanding pedang melawan muridku Kim Lan. Muridku itu sudali dewasa, sudah berusia sembilan belas tahun, dan pemu-da murid Tiong Lee Cin-jtn itu memiliki ilmu kepandaian tlnggi, suheng. Aku yakin bahwa pemuda itu pasti dapat meng-alahkan Kim Lan dan aku ingin dia menjadi jodoh Kim Lan."

Kui Beng Thaisu mengerutkan alisnya yang putih. Dia memandang sumoinya dengan sinar mata lembut namun penuh keheranan.

"Hemm, kalau hendak menjodohkan muridmu, kenapa harus mengadu 'mereka? Apakah maksudmu sebenarnya, sumoi?"

Nenek itu menundukkan mukanya. Terpaksa ia harus menceritakan rahasia-nya dengan dua orang muridnya itu. Suaranya lirih ketika ia menjawab,

"Ketika dua orang muridku berlatih Tian-lui-kiam-sut mereka telah bersumpah bahwa mereka hanya mau menikah dengan pria yang mampu mengalahkan ilmu pedang mereka itu."

"Hemm, bagaimana engkau dapat menyuruh mereka bersumpah seperti itu? Bagaimana kalau pria yang mengalahkan mereka itu tidak mau menikah dengan mereka?"

Suara Biauw In Suthai semakin lirih ketika menjawab,

"Kalau pria yang mengalahkan mereka tldak mau memperistri mereka, maka mereka harus membalas penghinaan itu dengan membunuhnya!"

"Siancai....!" Kui Beng Thaisu berseru dan alisnya berkerut.

"Kemudlan bagaimana?"

"Kim Lan bertanding dengan Souw Thian Liong dan la kalah. Karena pemuda itu menolak untuk berjodoh dengannya, Kim Lan, menyerangnya dan hendak membunuhnya memenuhi sumpahnya, akan tetapi pemuda itu melarikan diri. Kini Kim Lan dan Ai Yin...., mereka.... pergi untuk mencari dan membunuh pemuda itu...."

Kui Beng Thaisu terkejut dan menggeleng-geleng kepalanya sambil mengelus jenggotnya yang putih panjang. Kemudian dia mengangguk-angguk.

"Hemm, tidak kusangka bahwa penyakit dendammu terhadap kaum pria ternyata telah berakar dalam batinmu sehingga diam-diam telah meracunimu. Racun itu pada akhirnya akan merusak dirimu sendiri. Buktinya sekarang telah mengorbankan kedua muridmu yang kau-sayang seperti anak-anakmu sendiri. Ah, Biauw In sumoi, kiranya semua pelajaran yang tclah kuberikan kepadamu sela-ma puluhan tahun ini, hanya mampu menghilangkan kebuasanmu saja, akan tetapi tidak pernah dapat melenyapkan dendanimu terhadap pria. Alangkah sayangnya. Aku, aingguh merasa kecewa sekali, sumoi. Engkau tega mengorbankan muridmu sendiri untuk melamplas-kan dendam hatlmu terhadap prla."

Mendengar ucapan suhengnya yang sudah dlanggapnya sebagal gurunya sendlri, penolongnya dan orang yang selama kurang teblh dua puluh tahun memblm-blngnya, yang cllkeluarkan dengan nada ledlh Itu, Biauw In Suthai menundukkan mukanya yang menjadi pucat dari la menguatkan perasaannya agar jangan sampal menangis.

"Maafkan aku, suheng. Maafkan aku. Setelah kedua orang muridku pergl, baru aku menyadarl bahwa aku telah membuat mereka menderital Aku telah membuat dua orang yang kusayang seperti anak-anakku sendiri itu hidup merana. Sesungguhnya, selama ini aku sudah berusaha untuk menekan nafsu dendam kebencianku. Aku menyumpah kedua orang muridku itu hanya untuk menjaga agar mereka berdua memperoleh suami yang berilmu tinggi, yang lebih tangguh daripada mereka. Aku ingin mereka mendapatkan suami seorang pendekar. Akan tetapi setelah aku mendengar bahwa Souw Thian Liong itu murid Tiong Lee Cin-jin.... ah, aku menjadi lupa diri, terbakar oleh perasaan sakit hatiku...."

"Eh? Apa hubungan sakit hatimu dengan Tiong Lee Cin-jin?" tanya ketua Kun-lun-pai itu dengan heran.

Biauw In Suthai tetap menundukkan mukanya dan menjawab dengan lirih.

"Tiong Lee .... Bu Tiong Lee.... dialah laki-laki terakhir dalam hidupku, dialah yang mengobarkan sakit hatiku terhadap tiga orang suamiku yang terdahulu seperti yang pernah kucerltakan kepada suheng...."

"Siancai....! Jadl Tlong Lee Cin-jin di waktu beliau masih muda itukah pria yang pernah membuat engkau jatuh cinta, kemudian engkau kecewa dan patah hati karena dia tidak membalas cintamu, bahkan meninggalkanmu begitu saja? Biauw In, Biauw In! Sungguh engkau telah tersesat jauh. Bagaimana mungkin engkau dapat mengharapkan seorang pemuda arif bijaksana sepertl Tiong Lee Cin-lin untuk jatuh cinta padamu? Beliau adafah seorang yang menyerahkan seluruh kehidupannya untuk mengembangkan pelajaran tentang agama, tentang rohaniah, dan beliau adalah seorang manusia yang telah mampu menundukkan semua nafsu daya rendah dalam dirinya. Jadi, engkau ingin murid-muridmu dapat membunuh Souw Thian Liong karena dia itu murid Tiong Lee Cin-jin, untuk melampiaskan sakit hati dan kekecewaanmu?"

"Maafkan aku, suheng. Sesungguhnya, bukan itu satu-satunya tujuanku. Andaikata pemuda itu menerima dan mau menJadi suami KlmLan, berartl aku ber-besan murid dengan Tiong ! Lee Cin-jin dan Kun-lun-pal menjadi bertambah kuat karena mendapat tambaha'n tlmu mela-lui suami Kim Lan,j Akan tetapi pemuda itu menolak sehingga Kim Lan pergi hendak mencari dan membunuhnya, dan Ai Yin ikut sucinya untuk membantu."

"Hemm, dorongan nafsu dendam kebencianmu telah membuat engkau men-jadi seorang wanita yang tidak berperasaan dan tidak berperikemanusiaan lagi, membuat engkau tega untuk mengorban-kan murid-murid sendiri, tega pula un-tuk menyuruh murid-muridmu membunuh orang-orang tidak berdosa. Sekarang nafsu jahatmu telah terlaksana, engkau membuat murid-muridmu bermusuhan dengan murid Tiong Lee Cin-jin. Seharusnya engkau merasa puas dan setan dalam dirimu bersorak-sorai kegirangan, mengapa engkau malah menjadi sedih dan menangis?"

Biauw In Suthal tidak kuat bertahan lagi. la turun dari atas batu dan menja-tuhkan diri berlutut di depan batu yang diduduki Kui Beng Thaisu sambil menangis. Kini tangisnya adalah tangis aseli, tangis wajar seorang wanita tua yang merasa sedih dan penuh penyesalan diri, terisak-isak dan alr mata bercucuran darl kedua matanya, mengallr di sepanjang pipinya yang pucat. Seolah-olah bendungan yang dibentuk oleh kekerasan hatl se-jak bertahun-tahun dan menjadi bepdung-an baja yang amat kuat itu tiba-tiba pe-cah dan wanita itu menangis sampai se-senggukan. Beberapa lamanya Kui Beng Taisu hanya memandang sambil mengelus jeriggotnya yang putih panjang, meng-angguk-angguk sendiri karena diam-diam dia maklum bahwa akhirnya dia berhasil mencairkan hati yang mengeras seperti baja itu. Dia maklum bahwa tangislah merupakan obat yang amat manjur bagi penyakit yang diderita sumoi-nya itu. Kalau tidak dapat menangis, terdapat ancaman bahaya besar bagi kesehatan wanita itu. Kehancuran perasaan sehe-bat itu dapat membuat ia jatuh sakit berat atau bahkan mendatangkan gun-cangan dan tekanan batin yang dapat membuat ia menjadi gila.

Blauw In Suthal sepuasnya menumpah-kan semua penyesalan dan kesedihan hatlnya mclalul tanglsnya. Satelah hatlnya terasa rlngan dan tangianyra meredo, la. mengusap mukanya yang basah Itu dengan ujung lengan bajunya yang sudah basah pula, kemudian ia berkata llrih.

"Suheng, anipunkan aku, suheng...."

"Engkau tahu, sumoi bahwa engkau tidak bersalah kepadaku. Engkau bersalah kepada Thian (Tuhan) dan kepadanyalah engkau harus minta ampun. Akan tetapl minta ampun saja tidak ada gunanya, sumoi. Permohonan arnpun kepada Tuhan haruslah disertai pertaubatan dan taubat yang sesungguhnya bukan hanya timbul dalam hati dan pikiran, bukan hanya terucapkan oleh mulut, melainkan harus dibuktikan dalam tindakan, dalam perbu-atan. Hati dan pikiranmu haruslah dicucl bersih dari dendam saklt hati itu dan pertaubatanmu harus terbukti dengan tidak mengulangi lagi plkiran dan perbuatan yang telah kaulakukan itu. Inipun belum cukup. Kesadaranmu dan penyesalang hatimu harus dibuktikan dengan relanya engkau menerlma hukuman atas segala kesalahanmu Itu dalam bentuk keprihatinan. Kalau tidak, maka semua penyesalanmu itu tidak ada gunanya karena akar kebencian masih tetap hidup daiarn batinmu dan sewaktu-waktu dapat menumbuhkan tunas baru."

"Aku mengerti, suheng, dan aku siap menerima hukuman apapun yang suhertg berikan kepadaku."

"Bagus kalau begitu. Mulai hari ini engkau harus tinggal dalam pondok peng-asingan selama tiga tahun!"

Biauw In Suthai menundukkan muka-nya.

"Aku menerima hukuman itu dengari rela, suheng."

"Sukurlah kalau begitu. Nah" pergilah ke pondok pengasingan' kita dan sampai gbertemu kembali tiga tahun kemudian."

Biauw In Suthai memberi hormat lalu berjalan pergi mendaki puncak sambil iinenundukkan mukanya. Tentu saja ia mengenal pondok pengasingan itu. Merupakan sebuah pondok terpencil agak jauh di belakang kompleks bangunan Kun-lun-pai, sebuah pondok sederhana dan kosong di mana seorang murid yang terhukum harus melewatkan hari-harinya dengan berprihatin dan bersamadhi, tldak diperkenankan meninggalkan pondok yang sunyi itu sebelum masa huk'umannya ha-bis. Menyepi sendiri dan untuk makanan-nya yang sederhana, setiap pagi seorang murid bertingkat paling rendah mengantarkan makanan itu dan menaruhnya di depan pintu.

Kui Beng Thaisu merigikuti bayangan sumoinya dengan pandang mata, kemu-dian dia mengelus jenggotnya dan menghela napas panjang.

"Sian-cai...., semoga Thian menolongnya dan membebaskannya dari tekanan nafsu kebencian."

Thian Liong tiba di daerah Pegunungan Bu-tong-san. Karena senja telah tiba, ketika dia memasuki sebuah dusun yang cukup besar dan di sltu terdapat sebuah rumah pengihapan sederhana, dia memasuki rumah penginapan merangkap rumah makan Itu. Tadinya dia mengira bahwa tempat Itu hanya merupakan rumah ma kan dan dia hanya ingin makan dan bertanya-tanya di mana dia bisa mendapat-kan tempat untuk bermalam. Pelayan yang menyambutnya tersenyum mendengar pertanyaannya.

"Tuan mencari tempat untuk menginap? Di sinilah tempatnya. Kami mem-punyai beberapa buah kamar yang kartii sewakan kepada para tamu dari luar dusun. Selain di sini tidak ada tempat lain yang menyewakan kamar!"
Thian Liong menjadi girang. Dia tidak jadi memcuri makanan karena hendak mandi lebih dulu, dan dia minta diantar ke sebuah kamar yang akan disewanya untuk malam itu. Ternyata kamar itu walaupun kecil namun, bersih dan tempat tidurnya yang sederhana Juga cukup bersih. Ada pula karriar mandi di situ dan Thian Liong segera mandi dan ber-ganti pakaian bersih. Dia bersiap-siap untuk keluar dari kamar menuju ke rumah makan yang berada di ruangan depan. Dia harus membawa kantung uang emas dan pedangnya, karena kalau ditinggalkan di dalam kamar, ada kemungkinan barang-barang berharga itu akan dicuri orang. Dia mengikatkan pedang di belakang punggungnya dan mengikatkan kantung emas di pinggangnya, meninggalkan buntalan pakaiannya dl atas meja dalam kamar. Pada saat itu dia mendengar suara merdu wanita di luar kamarnya, bicara dengan suara pelayan yang telah menerimanya tadi.

Berdebar rasa jantung Thian Liong. Segera dla teringat akan gadis yang dijumpainya di Kun-lun-san dahulu Itu, maka cepat dia membuka daun pintu kamarnya dan melangkah keluar. Hampir saja dia bertabrakan dengan seorang gadis berpakaian serba hljau. Namun dengan gerakan ringan dan gesit sekall gadis Itu inengelak dan mencondongkan tubuh ke klri sehlngga tidak terjadl tabrakan. Thian Llong menclum bau harum bunga mawar ketlka gadls Itu membuat gerakan menghindar.

"Ah, maafkan aku, nona!" katanya dan dia melihat bahwa gadls ini bukan gadis yang dljumpalnya dl Kun-lun-san dahulu itu. Memang keduanya sebaya, kurang lebih delapan belas tahun, sama-sama cantik jelita, wajahnya agak bulat, me-miliki daya tarik yang kuat, terutam.a sekali sepasang matanya yang indah dengan kerling tajam memikat dan bibirnya yang menggairahkan dengan senyumnya yang semanis madu.

Gadis itu memandang wajah Thian Liong yang tampan dan ia tersenyum. Manis sekali! Thian Liong memandang, dalam hatinya merasa kagum dan juga heran bagaimana dalam sebuah dusun di kaki pegunungan itu dia dapat bertemu dengan seorang gadis seperti itu. Jelas bukan seorang gadis dusun yang sederhana. Rambut yang hitam lebat itu digelung indah ke atas dan dihias setangkai bunga mawar merah. Kalung, anting-anting dan gelang emas bertabur permata meng-hias tubuhnya yang padat langsing. Di punggungnya, di bawah sebuah buntalan pakaian dari kain kuning, tampak ga-gang sepasang pedang.

"Tidak mengapa," kata gadis itu dengan suara merdu dan senyumnya meng-hias bibir yang merah basah,

"masih un-, tung kita tidak bertabrakan!"

"Maafkan," kata lagi Thian Liong dan dia melanjutkan langkahnya menuju ke depan. Dia mendengar pelayan itu berkata kepada gadis tadi.

"Inilah kamar nona," kata pelayan itu.

"Sunyi benar rumah penginapan ini" kata gadis itu.

"Hari ini memang sepi, nona. Tamunya hanya nona dan tuan tadi, yang hampir bertabrakan dengan nona. Biasanya ramai, sampai sepuluh buah karnar kami penuh semua."

"Sudah, tinggalkanlah aku."

"Baik, nona. Kalau nona hendak makan, silakan pergi ke rumah makan kami, di bagian depan bangunan ini." kata pelayan itu yang segera pergi.

Thian Liong tidak memperdulikan mereka lagi dan memasuki rumah makan sederhana itu. Dia duduk menghadapi meja dan memesan nasi dan dua macam masakan sayur dan daging ayam. Untuk mlnumnya dia memesan alr teh.

Ketika dia duduk termenung menanti datangnya makanan yang dipesannya, ti-ba-tiba terdengar suara merdu di belakangnya.

"Wah, agaknya tamunya hanya klta berdua! Bagaimana kalau aku juga makan di meja ini? Agar ada teman bercakap-cakap."

Thian Liong menoleh dan bangkit ber-dlri ketika melihat bahwa yang bicara adalah gadis tadi. Buntalannya sudah ti-ak ada, tentu ditinggalkan di dalam kamar seperti yang dia lakukan. Siang-kiam (sepasang pedang) itu kini tergantung di pungungnya dan di pinggangnya tergantung beberapa buah kantung kain. Pakaiannya yang serba hijau itu bersih dan terbuat dari sutera yang halus. Bunga mawar merah di rambutnya ,serasi sekali dengan pakaiannya yang hijau.

Thian Liong tercengang keheranan mendengar gadis itu ingin duduk semeja dengan nya untuk makan dan bercakap-cakap. Darl sikap yang berani dan tidak malu-malu ini dia dapat mengambil kesimpulan bahwa gadis ini seorang gadis yang biasa melakukan perjalanan di dunia per-silatan dan seorang gadis yang sikapnya terbuka dan tidak terikat oleh segala macam peraturan dan peradatan.

"Oh, silakan, nona. Silakan!"

Gadis itu tampak gembira sekali dan ia lalu menarik sebuah kursi dan duduk berhadapan dengan Thian Liong, terha-lang meja yang tldak berapa besar se" hingga mereka saling berhadapan dalam jarak dekat, hanya satu meter lebih. Berdebar juga rasa jantung dalam dada Thian Liong. Gadis itu demikian dekat dengannya dan kembali hidungnya tnenang-kap keharuman bunga mawar. Bagaima-na mungkin setangkai bunga mawar yang menghias kepala gadis itu dapat mena-burkan keharuman demikian semerbak? Gadis itu menggapaikan tangan memang-gil pelayan yapg segera datang meng-hampiri.

"Aku memesan makanan yang sama dengan yang dipesan tuan ini. Dan ja-ngan lupa, sediakan seguci kecil anggur yang paling baik."

Pelayan itu mengangguk dan pergi meninggalkan mereka.

"Akan tetapi aku hanya memesan minuman air teh, nona."

Gadis itu mengerling dengan matanya yang indah. Kerling tajam memikat disertai senyum manis, alisnya bergerak tanda heran.

"Akan tetapi mengapa? Hawanya begini dingin, sebaiknya minum arak atau anggur yang dapat mengha-ngatkan badan."

"Aku.... aku tidak pernah minum arak."

Sepasang alis itu kini bergerak naik bersama kedua matanya yang terbelalak lebar.

"Sungguh aneh! Baru sekarang aku mendengar seorang laki-laki tidak pernah minum arak! Padahal melihat engkau membawa sebatang pedang di punggungmu, mestinya engkau seorang kang-ouw (dunia persilatan) yang tidak asing dengan arak atau anggur."

Thian Liong tersenyum.

"Arak dapat membuat orang mabok dan mabok membuat orang kehilangan akal dan pertimbangan sehingga dia dapat melakukan hal-hal yang tidak baik."

"Hi-hi-hik!" Gadis itu tertawa, tawanya lepas sehlngga kedua biblr Itu merekah, tampaklah deretan gigi yang rapl dan putih bersih.

"Orang minum arak harus dapat menyesuaikan dengan kekuatan minumnya sehingga tidak dapat sampai mabok; Aku sendiri selama hidupku bekum pernah mabok, beberapa banyakpun anggur atau arak yang kuminum!"

"Silakan nona kalau hendak minum anggur, bagiku cukup air teh hangat saja!" kata Thian Liong yang tidak ingin mencela kebiasaan minum arak gadis itu.

Beberapa lamanya mereka hanya duduk, menanti datangnya makanan yang dlpesan, tidak bicara apapun, Gadis itu mengamati wajah Thian Liong dengan penuh perhatian. la melakukan itu tanpa pura-pura dan dengan terang-terangan. Dl lain pihak, Thian Liong yang tahu bahwa gadis itu memandangnya penuh perhatian, menjadi salah tlngkah. Dia selalu mengelak untuk beradu pandang dan diam-diam dia memperhatikan bajunya, apakah ada yang tidak beres dengan pakaiannya. Dia merasa rikuh, canggung dan tidak enak diamati seperti itu. Maka, dla menghela napas lega ketika pelayan datang membawa pesanan nasi dan masakan untuk mereka.

Melihat bahwa yang dipesan pemuda Itu hanyalah nasi dan dua macam masakan sayur dan daging ayam, gadis itu mengerutkan alisnya.

"Hanya ini?" .tegurnya kepada pelayan.

"Itulah yang dipesan oleh tuan Inl, nona." kata pelayan.

"Hayo cepat tambah masakan Ikan sirip kuning saus tomat, goreng burung dara, udang masak jamur, kepiting goreng telur. Cepat, berapapun akan kubayar!"



KISAH SI NAGA LANGIT JILID 09

Pelayan Itu memandang bodoh.

""Wah, pesanan nona terlalu mewah. Mana di dusun ada udang dah keplting? Ikan slrlp kunlngpun tidak ada, yang ada hanya ikan lee-hl biasa. Burung dara juga tldak ada, adanya ayam atau bebek."

"Wah, brengsek! Ya sudah, cepat sediakan segala macam masakan yang ada di sini! Ikan lee-hi, ayam dan bebek, apa saja. Cepat!"

"Baik, nona." Pelayan itu cepat mengundurkan dirl untuk menyampaikan pesan itu kepada tukang masak.

Melihat semua itu, Thian Liong tersenyum, kemudian berkata,

"Mari, nona, Silakan makan, selagi sayurnya masih panas."

"Ya, akan tetapi makannya perlahan-lahan saja sambil menunggu masakan lain yang kupesan."

"Bagiku ini saja sudah cukup." katag Thian Liong sambil mengambil sepasang sumpit bambu yang disediakan di atas meja. Gadis itupun memilih sepasang sumpit dengan hati-hati, mencari yang bersih, kemudian dia berkata.

"Tapi aku sudah memesan masakan-masakan laln untuk kita berdua!"

Thlan Llong tldak menjawab, akan tetapl diam-diam dla merasa tldak enak juga kalau tldak ikut makan begltu banyak maaakan yang telah dipesan oleh gadis itu. Agar jangan mengecewakan hati gadis itu yang agaknya hendak menjamunya, diapun makan perlahan dan sedikit-sedikit untuk menanti masakan-masakan baru yang dipesan. Gadis itu minum anggur dengan lahap, menuangkan anggur ke dalam cawannya dan minum minuman keras itu seperti minum air saja. Beberapa kali ia menawarkan kepada Thian Liong, namun pemuda itu selalu menolak. dengan lembut dan mengucapkan terima kasih. Bau anggur yang harum sedap itu memang merangsang seleranya, akan tetapi dla tidak mau mencoba-coba. Gurunya, Tiong Lee Cln-jin, pernah mengatakan bahwa minuman keras itu amat berbahaya karena dapat membuat orang ketagihan dan menjadi pemabok. Seolah dapat mendengar suara hatinya, tiba-tiba gadls itu berkata.

"Anggur inl merupakan minuman yang menyehatkan, asal saja peminumnya mengenal batas kekuatannya. Kalau melampauhi batas kekuatannya, memang dapat menjadi racun. Bahkan semua obat yang menyembuhkan sekallpun, kalau terlalu banyak dimlnum dapat menjadl racun yang membahayakan kesehatan!"

Masakan-masakan yang dipesan diantar datang dan gadis itu mempersilakan Thian Liong makan masakan baru itu. Setelah menghabiskan setengah guci anggur gadis itu menjadi semakin akrab dan hangat,

la kembali niinum anggur dari cawannya sambil menatap wajah pemuda yang duduk di depannya. Kemudian ia berkata setelah mengusap bibirnya dengan sehelai saputangan.

"Sungguh aneh sekali keadaan kita berdua ini. Tinggal di bawah satu atap, bahkan makan bersama di satu meja, dan kita belum mengenal nama masing-masing! Bukankah ini aneh sekali? Kalau ada orang melihat kita dan mendengar bahwa kita tidak saling mengenal, pasti dia tidak percaya!"

Thian Liong menghablskan makanan terakhir dalam mulutnya lalu minum air tehnya dan mengusap bibirnya dengan ujung lengan bajunya. Dla maklum akan apa yang terkandung dalam ucapan gadis itu, maka dia lalu memperkenalkan namanya.

"Namaku Souw Thian Liong, seorang yatlm piatu yang sedang mengembara."

"Souw Thian Liong? Namamu gagah sekall, segagah orangnya! Engkau tentu lebih tua beberapa tahun dari aku, maka aku akan menyebutmu Llong-ko (ka-kak Liong). Engkau tidak berkeberatan, bukan?"

Thian Liong tersenyum.

"tentu saja tldak."

"Engkau datang darl mana, Liong-ko? Dl mana tempat tlnggalmu dan kalau engkau yatlm piatu, siapa saja keluargamu? Engkau sudah berkeluarga beristeri dan mempunyal anak, bukan? Dan sekarang hendak pergi ke mana?"

Dlberondong pertanyaan itu, Thlan Llong tersenyum. Gadis ini lincah, mengingatkan dia akan gadis yang dijumpatnya di Kun-lun-san. Akan tetapi gadis berpa" kaian serba merah muda itu galaknya bukan alang kepalang, sedangkan gadis berpakaian serba hijau dengan setangkai bunga mawar di kepalanya inl tampaknya leblh ramah dan tldak galak.

"Wah, harus satu demi satu aku menjawab hujan pertanyaanmu itu. Tentang keluarga, aku sudah tidak mempunyai sanak keluarga lagi. Aku hldup sebatang kara, tentu saja belum mempunyai isteri atau anak. Tempat tlnggalku? Aku tidak mempunyal tempat tinggal yang tetap. Dunta inl tempat tlnggalku, langit atap rumahku dan bumi lantalnya! Darl mana aku datang dan ke mana hendak pergi? Yah, katakanlah datang dari belakang dan hendak pergi ke depan."

"Hl-hlk engkau lucu, Llong-ko! Burung mempunyal sarang, ular mempunyal lubang, harlmau mempunyal guha, semua mahluk memlllkl tempat tinggal. Maaa engkau aeorang manusia tidak? Dan hari inl engkau berada dl kaki pegunungan Bu-tong-aan, tentu mempunyai tuuan hendak ke mana?"

Thian Liong terlngat akan gadis yang dia duga telah mengambil kitab pusaka milik Kun-lun-pal. Dia harus berhati-hati. Dia belum mengenal siapa sebenarnya gadls ini. Siapa tahu diam-diam gadis ini berniat untuk merampas dua buah kitab yang masih berada dalam kantung emas yang tergantung di pinggangnya. Maka dia tidak menjawab dan mengalihkan perhatian.

"Ah, engkau tidak adil, nona. Engkau telah menghujaniku dengan pertanyaan dan aku memperkenalkan diriku. Akan tetapi engkau belum memperkenalkan dirimu sehingga namamupun aku belum tahu."

"Hemm, engkau ingin mengenal nama-ku? Aku bernama Thio Siang In dan karena aku menyebutmu Liong-ko, maka engkau boleh menyebutku In-moi (adik ln)."

"Thio Siang In? Wah, namamu indah, seindah.... orangnya!" Thian Liong sengaja membalas, untuk menyenangkan hati gadis itu dan untuk menyimpangkan per" hatian agar gadis itu tidak banyak ber-tanya tentang dirinya.

Gadis itu tersenyum dan matanya yang indah mengerling tajam.

"Ah, kiranya engkau seorang yang pandai pula merayu, Liong-ko."

"Tidak, In-moi. Aku hanya bicara sejujurnya. Lalu, di mana tempat tinggalmu dan siapa keluargamu? Ceritakanlah selengkapnya tentang dirimu."

"Engkau benar hendak mendengar dan mengetahuinya?"

"Benar-benar, In-moi. Bukankah kita telah berkenalan dan menjadi sahabat?"

"Baiklah. Aku berusla delapan belas tahun.... dan engkau ..."

"Aku berusia dua puluh tahun." sambung Thian Liong.

"Tepat seperti dugaanku. Engkau tentu leblh tua dariku. Aku tinggal di sebuah dusun di Sln-klang. Bersama Ibu kandungku, seorang puterl Kepala Suku Ul-gur. Ayahku.... ayahku.... entahlah, kata Ibu ayahku telah lama pergi ketika aku masih dalam kandungan.... ah, heran sekali!" Tlba-tiba gadls Itu bangkit berdiri dan memandang kepada Thlan Liong dengan mata terbelalak.

"He, kenapa?" Thian Llong bertanya heran.

"Heran sekall! Kenapa beginl aneh? Ibu memesan agar aku merahasiakan tentang ayahku, akan tetapi tiba-tiba saja aku menceritakannyai kepadamu!"

"Kalau tidak kauceritakan juga tidak mengapa. Bagaimanapun juga, aku tidak suka mendengar seorang suami meninggalkan isterinya begitu saja selagi anak-nya berada dalam kandungan!"

"Tidak! Engkau salah sangka! Ayah kandungku itu pergi karena dia terpaksa. Menurut cerita ibuku, kalau ayahku tidak pergi melarikan diri, dia dan ibuku tentu akan mati."

"Eh! Kenapa begitu?"

Siang In menghela napas panjang dan 'memandang wajah Thian Liong dengan heran.

"Sungguh mati, tak tahu aku mengapa aku harus menceritakan semua rahasia ini kepadamu yang baru saja kukenal? Liong-ko, tak perlu kau tahu segalanya, cukup kalau kau ketahul bahwa ibuku adalah seorang puteri bangsa Ulgur den ayahku seorang Han. Nah, aku tlnggal dengan Ibuku dan aku menjadi murid dari paman tua (uwa), kakak ibu sendirl. Akan tetapi biarpun aku maslh mempunyai seorang ibu pada saat inl aku juga sebatang kara karena aku sudah pergi merantau meninggalkan kampung halam-an di Sin-kiang setahun yang lalu. Jadi, kita ini ada persamaan, sama-sama perantau, beratap langit berlantai bumi." Gadi ini tertawa lepas dan mau tidak mau Thian Liong ikut pula tertawa karena tawa yang wajar terbuka dan mengandung getaran gembira seperti itu amat menular!

Tiba-tiba ada sinar menyambar ke arah mereka. Thian Liong dapat melihat dengan jelas bahwa benda berkilat itu meluncur dan menyambar ke arah meja di depan mereka. Dia yakin benar bahwa benda yang ternyata sebatang hui-to (pisau terbang) kecil itu tidak mengarah tubuh mereka, melainkan menuju ke arah meja. Akan tetapi Thio Slang In sudah menggunakan sepasang sumpit di tangan kanannya untuk menjepit pisau terbang itu! Gerakannya demikian cepat sehingga Thian Liong merasa kagum bukan main. Gadis peranakan Uigur ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan memiliki tenaga dalam yang amat kuat. Kalau tidak demikian, tidak munglkin ia mampu menangkap pisau terbang itu hanya dengan jepitan sepasang sumpitnya.

Dengan tenang Siang In mengambil sehelai kertas yang tertancap pisau itu, lalu melempar pisau itu dengan gerakan tangan kiri ke atas. Matanya hanya mengerling sebentar ketika ia menggerakkan tangan kiri.

"Wuuuttt.... capppp!" Pisau kecil itu terbang meluncur ke atas dan menancap di tiang kayu, tepat mengenai perut sebuah cecak yang sedang merayap di Uang itu. Tubuh cecak itu terpaku pada tiang!

Thian Liong memejamkan matanya, merasa ngeri melihat perut cecak itu tertusuk pisau dan terpantek pada tiang. Walaupun yang terbunuh itu hanya seekor cecak, namun dia merasa ngeri dan betapa kejamnya gadis cantik ini mem-bunuh seekor cecak yang tidak bersalah apa-apa.

Ketika Thian Liong membuka mata-nya memandang kepada Siang In gadis itu tampak terseyuffl Jnepgejek dan melempapkan kertas itu ke atas meja.

'Hemm, orang-orang Bu-tong-pai som-bong! Dikiranya aku gentar menghadapi Thai-kek Sin-kiam mereka?" Ketika ia melihat Thian Liong memandang ke arah kertas di atas meja itu, Siang In berkata.

"Bacalah, tidak ada rahasia. Bahkan kalau engkau mau, engkau boleh ikut dan menjadi saksiku."

Biarpun kejadian itu amat menarik hati Thian Liong, dia tidak akan berani membaca surat yang dikirim secara isti-mewa itu, tidak mau mencampuri urus-an prbadi orang kalau saJ'a gadis itu ti-dak menyuruhnya membaca. Dia mengam-bil kertas putih itu dan membaca tulisan yang bergaya gagah itu. Dia dapat men-duga bahwa penulis surat itu sengaja memamerkan tenaga dalamnya melalui tulisannya sehingga gaya tulisannya amat kuat, coretan-coretan itu tajam dan run-cing sehingga tarnpak indah dan gagah.

Ang-hwa Sian-li, kami tidak ingln membuat keributan di tempat umum. Kalau engkau berani, datanglah besok pagi-pagi di hutan cemara sebelah utara dusun ini dan kita mengadu kepandaian. Kalau engkau tidak datang, berarti engkau hanya seorang pengecut!

Bu-tong-pai

Setelah membaca surat itu, Thian Liong memandang wajah Slang !n dan bertanya,

"In-moi, siapakah itu Ang-hwa Sian-li?"

Siang In tersenyum dan tnenggunakan tangan kirinya untuk menyentuh bunga mawar merah di kepalanya. Thian Liong memandang ke arah bunga itu dan mengertilah dia mengapa Siang In mempunyai julukan Ang-hwa Sian-li (Dewl Bunga Merah). Memang gadis itu cantik jelita seperti gambar dewi dan agaknya selalu menghias rambutnya dengan se-tangkai bunga mawar merah.

"Akulah yang dimaksudkan. Karena aku Jarang memperkenalkan namaku yang sesungguhnya, dan selama inl baru kepadamulah aku memberltahukan namaku, maka orang-orang yang pernah berurusan denganku menyebutku Ang-hwa Sian-li."

Thian Liong mengambil kesimpulan.

"In-moi, kalau orang-orang menyebutmu Dewi Bunga Merah, hal itu tentu karena engkau telah melakukan perbuatan-perbuatan yang baik untuk menolong orang. Sebutan Dewi itu merupakan pujian. Ka-lau orang suka melakukan kejahatan, tentu akan diberi julukan Iblis atau Silu-man."

Gadis itu tersenyum.

"Terima kasih kalau engkau berpendapat begitu, Liong-ko. Aku tidak tahu apakah aku ini jahat atau baik. Yang jelas, kalau ada orang lemah tertindas membutuhkan pertolongan, tentu aku akan menolongnya. Sebaliknya kalau ada orang mengandalkan ke-kuatannya untuk menindas orang lain, pasti aku akan menentangnya dan tidak akan segan untuk membunuh dan inem-basmi mereka!"

Thian Liong dapat menduga bahwa Ang-hwa Sian-li ini tentulah seorarig ga-dis yang berwatak pendekar.

"Akan tetapi, tnengapa pihak Bu-tong-pai meniusuhi dan menantangmu? Menurut apa yang kudengar, Bu-tong-pai adalah perguruan silat kaum pendekar. Padahal engkau sendiri, menurut perkiraanku, adalah seorang pendekar wanita."

"Aku tidak tahu apakah aku ini seorang pendekar atau bukan dan akupun tidak perduli apakah Bu-tong-pai itu perguruan silat kaum pendekar atau bukan Akan tetapi yang kutahu, ada orang-orang Bu-tong-pai yang sombong dan karenanya aku menentang mereka. Setelah aku mengalahkan mereka, agaknya mereka merasa penasaran dan mengirim surat tantangan ini. Huh, tak tahu malu!" Gadis itu mengambil cawannya yang diisli penuh anggur lalu meminumnya.

Thian Liong berpikir sejenak. Memang, tidak semua pendekar bersikap baik. Tentu ada pula yang kasar dan ada pula yang tinggl hatl dan sombong. Dia ter-Ingat akan slkap Biauw In Suthai, tokoh Kun-lun-pai itu. Kun-lun-pal, seperti juga Bu-tong-pai, dikenal sebagai sebuah perguruan silat kaum pendekar Karena itu mungkin, maka gurunya mau bersusah payah mendapatkan kembali kitab-kitab mereka dan mengembalikannya ke-pada mereka. Ternyata Biauw In Suthai juga tidak bersikap baik, melainkan ga-lak dan angkuh bukan main.

"In-moi, maukah engkau menceritakan kepadaku sebab-sebab pertentangan itu? Apakah yang telah terjadi?"

Gadis itu meletakkan cawan yang te-lah kosong ke atas meja. Kedua pipinya kemerahan, tanda bahwa minuman itu telah mulai mempengaruhinya.

"Sungguh aku merasa heran sekali, mengapa terhadapmu aku seakan tidak dapat meraha-siakan sesuatu. Aku bahkan ingin menceritakan segalanya kepadamu. Terjadinya siang tadi di sebuah lereng." Siang In lalu menceritakan pengalamannya.

Pada siang hari itu Thio Siang In yang melakukan perjalanan perantauan-nya dari Sin-kiang menuju ke timur, tiba di luar sebuah dusun di sebuah lereng pegunungan Bu-tong-san, Telah setahun lebih ia meninggalkan rumah ibunya di Sin-kiang untuk merantau dan di sepanjang jalan ia selalu membela yang lemah tertindas dan menentang yang kuat sewenang-wenang. Karena kelihaiannya, sepak terjangnya menggegerkan dunia kang-ouw di sebelah barat dan segera orang-orang yang tidak pernah mendengar ia memperkenalkan nama, memberi julukan Ang-hwa Sian-li kepadanya kare-na gadis jelita dan gagah perkasa ini selalu memakai setangkai bunga merah pa-da rambutnya. Setelah mendengar julukan ini, Siang In menerimanya, bahkan ia lalu memperkenalkan dirl kalau hal ini diperlukan, sebagai Ang-hwa Sian-li!

Selagi ia berjalan santai di lereng itu, dan tiba di luar sebuah dusun, ia melihat seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun, berlutut dan me-nangis minta-minta ampun kepada dua orang pemuda yang berusia kurang leblh dua puluh lima tahun dan tampak gagah perkasa.

"Ampun, tai-hlap (pendekar besar).... Ampunkan saya....! Semua ini saya laku-kan karena terpaksa.... saya harus membeayai, anak yang sedang sakit parah...."

"Alasan! Dasar pencuri hina!" bentak seorang di antara dua pemuda itu yang bertubuh tinggi besar, lalu sekali kakinya menendang, orang yang berlutut itu terpental dan bergulingan.

"Aduh"" ampun....,- biarlah saya kem-ballkan semua ini...." Orang itu mengeluarkan beberapa buah benda terbuat da-n perak, yaitu cawan piring dan alat-alat sembahyang.

"Saya kembalikan semua inidan ampunilah saya...." kembali orang itu berlutut, merintih dan mulutnya mengeluarkan darah.

Pemuda ke dua yang tubuhnya tinggi kurus melangkah maju menghampiri. Pencuri busuk! Tidak mengenal budi! betelah bertahun-tahun kami beri makan dan upah, masih juga mencuri dan mencoba minggat! Orang seperti engkau ini harus dihajar!" Dia sudah mengangkat tangan kanannya untuk memukul.

Siarig In yang melihat semua ini mem-bentak nyaring,

"Tahan! Jangan pukull"

Pemuda tinggi kurus itu menahan pukulannya dan memutar tubuhnya. Demi-kian pula pemuda tinggi besar itu juga menoleh. Keduanya memandang dan ter-cengang melihat seorang gadis cantik sekali berdiri di situ. Siang In adalah seorang gadis yang cantik jelita, maka ti-dak aneh kedua orang pemuda itu terpe-sona dan sikap mereka berubah sama se-kali. Kalau tadi mereka kelihatan galak, kini keduanya tersenyum dan menghampiri Siang In.

Siang In memandang kepada dua o-rang pemuda yang menghampirinya itu dengan alis berkerut. Setelah dua orang itu berhadapan dengannya, Siang In menegur dengan ketus.

"Lagak kalian ini seperti orang-orang gagah, membawa pedang dan berpakaian seperti pendekar! Akan tetapi yang kuli-hat ternyata kalian hanya orang-orang yang suka mempergunakan kekuatan un-tuk menindas dan menghina yang lemah!"

Pemuda tinggi besar itu segera meng-angkat kedua tangan depan dada memberi hormat, diturut oleh pemuda tinggi kurus.

"Maaf, nona. Agaknya engkau salah paham. Kami berdua adalah pendekar-pendekar yang selalu menentang penjahat. Orang ini adalah seorang maling jahat, seorang yang tidak mengenal budi. Selama beberapa tahun dia menjadi tukang kebun perguruan kami, diberi upah dan makan, akan tetapi apa yang dia lakukan? Dia minggat dan membawa lari alat-alat sembahyajng yang terbuat dari perak. Karena itu, kami menghajarnya!"

Siang In mencibirkan bibirnya yang merah.

"Huh, pendekar macam apa itu? Memukuli orang yang lemah! Aku mendengar sendiri bahwa dia melakukan pencurian itu karena terpaksa, karena ingin membeayai pengobatan anaknya yang sakit. Sepantasnya sebagai pendekar, kalian menolongnya, bukan memukulinya. Tak tahu malu!"

"Nona!" Pemuda tinggi kurus memprotes.

"Kami adalah murid-murid Bu-tong-pai'"

"Aku tidak perduli kalian Inl murld-murid Bu-tong-pai atau murid perguruan apapun juga. Kalau jahat dan sewenang-wenang tentu akan kutentang!"

"Nona, dia itu pencuri! Apa engkau hendak membela pencuri?" tanya yang tinggi besar, mulai marah. Kehormatannya tersinggung karena gadis itu tidak menghargai Bu-tong-pai dan kekagumannya akan kecantikan gadis itu mulai memudar, terusir oleh kemarahan.

"Bagiku dia orang lemah tertindas dan kaiian orang-orang kuat yang sewenang-wenangl Aku pasti membelanya dan menentang kalian!"

"Nona, siapakah engkau yang berani mencampuri urusan kami murid-murid Bu-tong-pai?" bentak yang tmggi kurus.

Siang In terseyum mengejek.

"Orang menyebutku Ang-hwa Sian-li, dan kalian cepatlah pergi dari sini, tinggalkan orang itu kalau kalian tidak ingin kuhajar!"

"Engkau gadis usil, suka mencampuri urusan orang lain dan sombong! Kalau aku memukuli pencuri itu, engkau mau apa?" bentak pula si tinggi kurus dan dia sudah melompat ke depan dan tal! ngannya terayun memukul ke arah tukang kebun itu.

"Dukk!" Lengannya tertangkis oleh lengan Siang In. Lengan yang mungil berkulit halus dari gadis itu ternyata mengandung tenaga sinkang kuat sehlngga pemuda tinggi kurus merasa tulang lengannya seperti patah dan terasa nyeri sekali. Dia menj'adi marah.

"Berani engkau melawan aku'?" "Kenapa tidak?" Siang In mengejek.

"Biar ada sepuluh orang macaniengkau, aku tidak akan takut!"

"Kami orang-orang Bu-tong-pai bukan pengecut yang suka main keroyok! Sambut seranganku!" Pemuda tinggi kurus itu membentak dan dia menyerang dengan dahsyat, kedua tangannya bergerak hampir berbareng, susul menyusul, yang klri menyambar ke pelipis kanan Siang In dan yang kanan menonjok ke arah perutnya! Serangan ini dahsyat sekali, datangnya cepat dan mendatangkan angin pukulan kuat.

Namun Siang In tenang saja menghadapi serangan dua tangan lawan itu. Dengan tangan kirinya dia menangkis tonjokan ke arah perutnya, dan tangan kanannya menyambar ke atas dengan jari terbuka, menyambut tangan kiri pemuda Itu dengan tebasan dari bawah ke arah pergelangan tangan. Pemuda itu terkejut sekali. Tangan kanannya yang menonjok ke perut kembali bertemu lengan yang terasa keras seperti baja, dan kini lengan kirinya yang menyerang pelipis bahkar terancam tebasan tangan lawan. Cepat dia menarik kembali tangan kirinya dan kaki kanarinya menendang. Kaki itu dengan kecepatan kilat mencuat ke arah dada Siang In. Gadis itu miringkan lalu memutar tubuh dan ketika kaki menyambar lewat, didorongnya tunut kaki itu dengan tangan kirinya. Demikian kuat do-rongan itu sehingga pemuda itu tidak mampu menahan. dirlnya. Terbawa oleh tenaga tendangannya sendlri ditambah tenaga dorongan Siang In, tubuhnya melayang ke depan. Untung dia masih dapat melakukan gerakan pok-sai (salto) sehingga tubuhnya tidak sampai terbanting. Setelah dua kali lengannya tertangkis sehingga terasa nyeri sekali dar hamplr saja tadl dla roboh terbanting, pemuda tlnggl kurus itu mulai. terbuka matanya bahwa gadis cantlk Itu llhal bukan main. Temannya, pemuda tinggi besar, agaknya juga dapat melihat hal ini maka diapun melompat ke depan dana berseru kepada pemuda tinggi kurus.

"Sute (adik seperguruan), mundurlah dan biar aku yang menghadapi perempuan sombong ini!" Melihat suhengnya maju, pemuda tinggi kurus lalu melangkah mundur.

Si Pemuda tlnggl besar melangkah maju dan mencabut pedangnya. Tampak sinar berkilat ketika pedang dicabut dan pemuda tlnggi besar itu berkata,

"Nona, suteku telah kalah bertanding tangan kosong denganmu. Sekarang aku menantangmu untuk mengadu ilmu pedang, tentu saja kalau engkau berani."

Siang In mencibirkan bibirnya.

"Bocah Bu-tong-pai sombongl Aku pernah mendengar bahwa Bu-tong-pal terkenal dengan ilmu pedangnya Thal-kek Sin kiam! Akan tetapi aku tidak takut'" Setelah berkata demikian, dua tangan gadis Itu bergerak ke arah belakang punggung dan tampak dua sinar pedang berkelebat ketika la sudah mencabut sepasang pedangnya yang tergantung di punggungnya, tertindih buntalan pakaian. Sepasang pedang itu kecil dan panjang, tampak ringan sekali, akan tetapi ketika dicabutnya terdengar bunyi berdesing nyaring.

Mellhat gadis Itu sudah siap dengan siang-kiam (sepasang pedang) di kedua tangannya, pemuda tlnggl besar itu membentak,

"Sambut pedangku!" dan dia sudah menyerang dengan cepat dan dahsyat, Slang In menangkis pedang yang menyambar ke arah lehernya itu.

"Crlnggg....!" Tampak bunga api berpijar dan pemuda itu segera memutar pedangnya untuk mendesak lawan dengan serangkaian serangannya, pedang dl tangannya berubah menjadl slnar bergulung gulung. Akan tetapl dengan tenang sekali Siang In menyambut serangan Itu dengan gerakan kedua pedangnya yang membentuk dua lingkaran sinar yang dapat menghadang dan menangkis semua serangan lawan. Gadis itu telah memainkan Toat-beng Siang-kiam (Pedang Pasangan Pencabut Nyawa) yang amat hebat. Dari dua lingkaran sinar kuning itu terkadang tampak sinar kilat mencuat dan menyambar-nyambar. Melihat ini, pemuda tinggi besar itu terkejut bukan main dan sebentar saja, dalam belasan jurus kemudlan, dia telah terdesak hebat sehlngga kini hanya dapat memutar pedang melindungl dlrlnya dan tldak mampu balas menyerang.

"Haiiiittt....!l" Tiba-tiba gadis membentak, dua lingkaran slnar pedangnya itu membuat gerakan mengguntlng.
"Tranggg.... trakkkl" Pemuda tinggi besar itu terkejut bukan main karena pedangnya telah digunting oleh sepasang pedang lawan dan patah menjadi dua potong! Sebelum hilang rasa kagetnya, kaki Siang In mencuat dan menendang dadanya.

"Dess...l" Tubuh pemuda tinggi besar itu terjengkang roboh!

Sutenya segera membantunya untuk bangkit berdirl dan mereka memandang gadls itu dengan sinar mata marah dan penasaran. Siang In mencibirkan blbirnya dan sekall dua tangannya bergerak ke belakang punggung, sepasang pedangnya sudah tersimpan kemball.

"Hemm, sepertl itu sajakah Thal-kek Sin-kiam yang digembar-gemborkan oleh Bu-tong-pai?" ia mengejek.

"Ang-hwa Sian-li! Tingkat kami masih terlampau rendah untuk mempelajari Thai-kek Sin-kiam. Tunggu sajalah. Sekali Thai-kek Sin-kiam dimainkan, engkau akan dihajar dan semua kesombonganmu akan terhapus!" Setelah berkata demikian, pemuda tinggi besar itu menarik tangan sutenya dan diajak pergl.

Laki-lakl yang tadl dihajar dua orang murld Bu-tong-pai itu lalu menghamplrl Siang In dan memberl hormat.

"Terima kaslh atas pertolongan Lihlap. Nama Ang-hwa Sian-Li takkan saya lupakan selamanya. Akan tetapi saya memang bersalah, Lihiap (pendekar wanita). Saya kinl menyadarl bahwa sebetulnya saya tldak perlu mencurl. Kalau saya berterus terang mlnta bantuan, tentu para plmpinan Bu-tong-pai akan menolong saya. Saya harus mengembalikan semua Ini kepada BU-tong-pai!" Setelah berkata demikian, orang itu membungkus kembali barang-barang itu dalam kain dan hendak pergi meninggalkan Siang In.

"Tunggu dulu, paman!"' Siang In ambil sepotong emas dari kantung uangnya dan memberikan kepada orang itu.

"Ini, pergunakan emas ini untuk membiayai pengobatan anakmu."

Orang itu menerima pemberian itu dengan terharu dan berulang kall dia memberl hormat dan membungkuk-bung-kuk.

"Terima kasih, lihiap, terima kasih." Lalu dla pergl untuk mengembalikan barang-barang yang dicurinya itu kepada Bu-tong-pai.

Siang In menghentikan ceritanya dan mlnum anggur terakhir darl gucinya yang kinl telah kosong.

"Demlklanlah, Liong-ko. Aku melanjutkan perjalanan dan tiba di dusun ini, kebetulan bertemu denganmu dan tadl tentu mereka yang melontarkan surat dengan pisau Itu."

Sejak tadi Thian Llong mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia dapat menarlk kesimpulan bahwa dua orang rnurid Bu-tong-pai itu bukan orang-orang jahat, hanya sikap mereka terhadap tukang kebun yang mencuri benda-benda perak itu terlalu keras. Dia khawatir kalau kesalah-pahaman inl menjadi permusuhan yang meruncing, maka dia lalu berkata,

"In-moi, kukira semua itu hanya merupakan kesalah-pahaman saja. Sikap dua orang murid Bu-tong-pai itu memang terlalu keras dan mereka patut ditegur. Akan tetapi urusan sekecil itu tldak semestlnya kalau dijadikan sebab permusuhan antara engkau dengan mereka. Kebetulan sekali akupun ada urusan untuk menemul para plmplnan Bu-tong-pai, maka biarlah besok pagl aku menemanimu dan aku akan menjadi penengah untuk mendamaikan kallan."

"Akan tetapi aku ditantang, Liong-ko, dan aku tldak takut melawan mereka!" kata Slang In penasaran.

"Kalau engkau mendamaikan kaml, jangan-jangan mereka menglra bahwa aku takut!"

Thlan Liong tersenyum.

"Tldak, In-moi. Aku tldak akan mendatangkan kesan seolah-olah engkau takut."

"Sudahlah, kita llhat saja besok. Aku Ingln berlstlrahat, ingin mandl yang segar kemudian tidur yang nyenyak, tldak memikirkan apa-apa lagi. Soal besok bagalmana besok sajalah. la menggapal pelayan.




"In-mol, blarkan aku yang membayarnya." kata Thian Liong.

"Ah, aku tahu bahwa engkau mempunyal banyak emas dalam kantungmu itu, Llong-ko. Akan tetapi masakan ini sebagian besar aku yang memakan, maka harus aku yang membayarnya."

Pelayan datang. Siang In membayar harga makanan dan mlnuman, lalu mereka masuk ke dalam dan menuju ke kamar masing-masing. Thian Liong duduk dalam kamarnya dan termenung. Dalam waktu singkat, secara berturut-turut dia bertemu dengan wanita-wanita yang terlibat urusan dengan dirinya. Baru saja tamat belajar dan turun gunung melaksanakan tugas yang diberikan gurunya, dia mengalami hal-hal aneh dan serius dengan tiga orang wanita! Pertama, dengan gadis berpakalan merah muda di kaki Pegunungan Kun-lun-san itu, gadis yang dta hampir yakin tentu yang telah mengambil kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang seharusnya dia serahkah kepada pimpinan Kun-lun-pai. Gadis yang tldak dia ketahui namanya, namun yang harus dia cari untuk minta kembali kitab itu sebagai pertanggungan jawabnya terhadap Kun-lun-pai. Kemudian, pertemuannya dengan Biauw In Suthai yang kemudian melibatkan diri gadis ke dua, Kim Lan, dengannya karena oleh pendeta wanita itu, Kim Lan diharuskan menjadi isterinya dan kalau dia menolak, gadis itu harus membunuhnya! Dan ketiga, pertemuannya dengan Thio Siang In yang berjuluk Ang-hwa Sian-li ini. Pertemuan inl agaknya Juga melibatkan dlrlnya karena gadis itu hendak bertandlng dengan pihak Bu-tong-pal dan dia tldak mungkin tinggal diam saja! Alangkah anehnya semua pengalaman Itu.

Malam Itu Thian Llong hanya duduk borsamadhi. Dengan demlkian, sungguh pun tubuhnya mengaso seluruhnya, namun kesadaran dan kewaspadaannya selalu siap. Dia khawatir kalau-kalau terjadl sesuatu yang tidak baik atas dlrl gadls yang tidur dl kamar sebelah.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi Thian Liong sudah membuka pintu kamarnya. Dia melihat Siang In sudah bangun. Ketika dia keluar dari kamar, dia mehhat gadis itu duduk di atas bangku depan kamar dan ternyata gadis itu sudah tampak segar. Sudah mandi dan bertukar pakaian, rambutnya disisir rapi dan setangkai bunga mawar merah segar menghias rambutnya. Bunga itu baru mekar setengahnya dan masih segar sekali, tampaknya baru saja dipetiknya.

la mengangguk dan tersenyum kepadanya.

"Baru bangun, Liong-ko? Cepatlah mandi, aku menantimu untuk sarapan pagi. Aku sudah memesan kepada pelayan agar dipersiapkan bubur ayam panas dan lezat!"

Diam-diam Thian Llong merasa kagum. Gadis itu sama sekali tidak tampak tegang, bahkan santai saja seperti orang menghadapi hari yang penuh suka cita, Padahal ia menghadapi tantangan yang berat dari Bu-tong-pai! Dla mengangguk lalu pergi ke kamar mandi membawa pakaian pehgganti.

Tak lama kemudian mereka berdua sudah duduk santai di dalam ruangan depan." yang biasanya dipergunakan untuk nnpah makan. Akan tetapi hari masih terlalu pagi. Ruangan itu bahkan bagian depannya masih ditutup dan belum ada yang bekerja. Hanya rnereka berdua ,yang duduk di situ dan pelayan tua yang tadi terpaksa memasakkan bubur ayam berada di dapur setelah menghidangkan ma-kanan itu di atas meja mereka. Mereka berdua makan tanpa banyak cakap.

Sehabis makan, baru Siang In berkata.

"Nah, sekarang aku berangkat. Apakah engkau jadi ikut?" Pertanyaannya datar saja, seolah tidak ada bedanya baginya apakah Thian Liong hendak menemaninya ataukah tidak,

"Tentu saja aku ikut karena tanpa ada urusanmupun pagi ini aku harus berkunjung ke Bu-tong-pai untuk sebuah urusan penting."

"Urusan penting?" Siang In mengamatl wajah pemuda itu penuh selldik. Ketika pandang matanya bertemu dengan sinar mata Thian Liong, ia berkata,

"Sudahlahl Kalau itu merupakan rahasia tidak perlu diberitahukan kepadaku. Mari kita berangkat!"

Seperti halnya Siang Iri, Thian Llong juga membawa semua barangnya, dimasukkan dalam buntalan pakaian lalu menggendongnya dan kembali gadis itu memaksa untuk membayar harga bubur dan sewa kamar mereka. Thian Liong tidak dapat membantah. Mereka lalu meninggalkan dusun itu, menuju ke Bukit Cemara yahg sudah tampak dari luar dusun itu, di sebelah utara, Di bukit itu tampak sebuah hutan cemara yang sunyi. Bukit itu sudah termasuk daerah Bu-tong-pai.

Baru saja kedua orang muda itu memasuki hutan cemara, tampak dua orang pemuda, seorang tinggi besar dan seorang lagi tinggi kurus, sudah berada di situ. Melihat dua orang pemuda itu, Siang In cepat menghampiri dan setelah ia berdlri di depan mereka, ia tertawa mengejek

"Kallan berdua masih berani muncul? Apakah kalian yang hendak maju menandinigi aku, dan sekarang kalian hendak maju mengeroyokku? Hemm, kalian berdua belajarlah dengan tekun selama sepuluh tahun lagi baru agak pantas untuk menandingiku!" Thian Liong mengerutkan alisnya. Siang In terlalu memandang rendah dua orang pemuda itu dan sikap seperti itu amat tidak baik.

Pemuda tinggi besar itu menjawab dengan ketus.

"Perempuan sombong! Kami bukan golongan pengecut yang suka main keroyok! Engkau kemarin memandang rendah ilmu pedang Thai-kek Sin-kiam dari perguruan kami. Sekarang kami mendatangkan orang yang telah mem-pelajari ilmu pedang itu untuk menghadapimu." Pemuda Itu lalu memutar tubuhnya dan berseru nyaring.

"Supek (uwa guru)! Harap supek datang ke sinl. Gadis sombong itu telah datang!"

Tiba-tiba tampak bayangan putlh berkelebat dan tahu-tahu di sltu telah berdiri seorang laki-laki berusia kurang leblh enam puluh tahun. Alis, kumis dan jenggotnya yang panjang masih hitam, akan tetapi rambut di kepalanya sudah putih semua! Pakalannya darl kain katun sederhana seperti pakaian pertapa. Di punggungnya tergantung sebatang pedang dengan ronce kuning. Melihat cara orang ini muncul, Thian Liong maklum bahwa, dia memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi dan tentu orang ini lihai sekali. Tubuhnya sedang namun tegap dan wajah yang berbentuk persegi dengan jenggot panjang itu juga tampak berwibawa. Akan tetapi Siang In tetap tersenyum dan memandang ringan.

"Apakah nona yang berjuluk Ang-hwa Slan-li dan yang memandang rendah ilmu pedang Thal-kek Sln-klam kaml?" Orang berambut dan berpakalan serba putih itu bertanya, sikapnya tenang dan agaknya dia seorang penyabar.

"Benar, akulah yang disebut Ang-hwa Slan-11. Dan engkau inl slapakah? Apakah engkau ketua Bu-tong-pai dan siapa namamu?" tanya Siang In, slkapnya blasa saja seolah ia berhadapan dan bicara dengan .orang seusia dan setingkat dengan nya.

"Locianpwe, saya Thian Liong hendak menjadi penengah dan mendamalkan.

"Liong-ko! Biarkan aku menyelesaikan dulu urusanku dan jangan engkau mencampuri. Setelah aku aelesai, baru engkau boleh berurusan dengan mereka!" Siang In berseru keras sehingga kata-kata Thian Liong terpotong.

"Siancai, nona yang berwatak keras!" kata tokoh Bu-tong-pai itu dengan senyum sabar.

"Aku bukan Ketua Bu-tong-pai, aku hanyalah pembantunya yang nomor tiga saja dan aku hanya ingat nama julukanku, yaitu Pek Mau San-jin (Orang Gunung Berambut Putih). Aku baru berhasil menguasai ilmu pedang Thai-kek Sin-kiam sepertiga baglan saja, akan tetapi aku ingin mencoba kehebatan Sepasang pedangmu yang menurut murid keponakanku ini hebat sekali." Setelah berkata demikian, Pek Mau San-jin mencabut pedang beronce merah dari punggungnya. Slnar berkilat ketika pedarig itu tercabut. Dia berdiri tegak dan pedang itu dipegang oleh tangan kirinya, gagang di bawah dan ujung pedang menempel pundak kirinya. Kemudian dia mengangkat kedua tangan ke atas berbareng menurunkan kedua tangan kakl kiri melangkah ke depan, pedang di tangan kiri tetap di bawah lengan, telunjuk dan jari tangan kanan menunjuk ke depan. Inilah gerakan pembukaan yang dinamakan Sian-jin Ci-lu (Dewa Menunjuk Jalan) kemudian dia melangkah dengan kaki kanan ke depan memutar tubuh ke kanan pienghadapi Siarig In, kedua lengan dikembangkan lalu kaki kilri ditekuk berlutut, kedua tangan tetap dikembangkan.

"Ang-hwa Sian-Li, aku sudah, silap menandingi ilmu sepasang pedangmut" kata Pek Mau San-jin tenang.

Melihat pembukaan yang sederhana ini, Siang ln tersenyum mengejek. Kedua tangannya meraih ke belakang dan tampak dua sinar kllat ketlka siang-kiam (sepasang pedang) itu telah berada dl kedua tangannya. la memasang kuda-kuda yang kokoh, kedua kaki menyilang, pedang kiri diangkat ke atas belakang kepala, pedang kanan mellntang depan dada. Slkapnya gagah dan indah.

Akupun telah siap. Perlihatkan ilmu pedangmu, Pek Mau San jlnl" Slang In menantang,

"Engkau adalah tamu. Persilakan menyerang leblh dulu!" kata Pek Mau San-lin, kini bergerak berdiri, kedua tangan bertemu di depan leher dan gagang pedang itu dari tangan kiri sudah berpindah ke tangan kanan. Thian Liong memperhatikan semua gerakan tosu itu dan dia merasa kagum. Biarpun gerakan pembukaan tadi hanya sederhana, namun gerakan itu dennkian lembut dan lentur, sambung menyambung seperti gelombang lautan, isi mengisi dan dia tahu bahwa dl dalam kelembutan itu terkandung kekuatan yang amat dahsyat! Dia mengkhawatirkan Siang In. Sekali ini, gadis ini benar-benar berhadapan dengan seorang ahli silat tingkat tinggi dan yang paling berbahaya adalah bahwa agaknya gadis itu tidak mengetahui akan hal itu sehingga memandang ringan. Diapun membayangkan ilmu pedang yang hebat itu. Kalau tosu yang baru memiliki sepertiga bagian saja sudah mampu bergerak seperti itu, apalagi yang telah menguasai sepenuhnya!

"Baiklah! Sambut serangan pedangku!" Siang In membentak dan sepasang pedangnya berubah menjadi dua gulungan sinar yang menyambar-nyambar.

Serangan gadis itu memang hebat dan hal ini sudah diduga sejak semula oleh Thian Liong. Gadis itu agaknya telah digembleng oleh seorang guru yang sakti. Akan tetapi yang membuat dia heran, kagum dan terkejut adalah ketika melihat sambutan tosu itu atas semua serangan gadis itu. Tosu itu bergerak begitu lembut bahkan tampak lambat, matanya seperti setengah terpejam, namun gerakan pedangnya itu mendatangkan hawa dahsyat dan kuat sehingga semua serangan sepasang pedang Siang In selalu tertangkis dan terpental. Dia melihat betapa gerakan seluruh tubuh tosu itu seperti otomatis, seperti tidak dikendalikan lagi oleh pikiran, seolah-olah seluruh bagian tubuhnya menjadi peka sekali seperti memillki mata di mana-mana. Gerakan-nyapun sambung-menyambung dengan lembut dan lenturnya. seperti orang menari saja, menari di angkasa, di antara awan. tampaknya sama sekali tidak mempergunakan tenaga kasar. Seolah-olah -gerakan tubuh tosu itu digerakkan oleh tenaga yang amat lembut namun amat dahsyat. Dan diapun mengerti! Tosu itu seperti bersilat dalam keadaan samadhi, atau bersamadhi dalam silat! Hati akal pikiran tidak berulah dan gerakannya dipimpln oleh kekuasaan gaib, seperti kalau dia berada dalam puncak penyerahannya kepada Tuhan, seperti yang diajarkan oleh Tiong Lee Cin-jin! Ilmu yang amat hebat, pikirnya.

Thian Liong mengikuti seiriua gerakan perkelahian itu dengan seksama. Pertandingan yang hebat dan seru. Gadis itupun ternyata seorang yang memillkl llmu pedang pasangan yang lihai sekall, berbahaya dan ganas sehingga setlap sambaran pedangnya merupakan cengkeraman maut. Dan tosu Itu ternyata tidak berbohong ketlka mengatakan bahwa dia hanya menguasai sepertlga saja darl ilmu pedang Thai-kek Sin-kiam. Jurusnya tidak banyak dan diulang-ulam, akan tetapi anehnya, dengan jurus yang tidak banyak itu dia sudah mampu menahan semua serangan Siang In. Dan karena gerakannya seperti gelombang lautan, begitu lentur lembut dan otomatis seolah tidak mengeluarkan tenaga, setelah lewat lima puluh jurus, Siang In mulai berkeringat dan lelah, sebaliknya lawannya yang jauh lebih tua itu masih bergerak dengan tenang seperti pada permulaannya.

Tahulah Thian Liong bahwa kalau pertandingan itu dilanjutkan, akhirnya Siang In tentu akan kalah. Dia lapat membayangkan betapa marah dan penasaran hati gadis yang keras ini kajau sampai kalah. Mungkin ia akan menjadi nekat dan mengadu nyawa!

Tiba-tlba Slang In yang mulai kelelahan itu mengebutkan sehelai saputangan merah yang tergantung dl gagang pedangnya dan slnar-sinar kecil hitam meluncur ke arah lawannya. Thian Mong yang sejak tadi memperhatikan pertandingan itu, terkejut dan cepat dia menggerakkan tangannya mendorong ke arah sinar-sinar hitam itu.

Pek Mau San-jin juga terkejut dan dia sudah secara otomatis merribuang diri ke belakang. Narnun, dia akan tetap menjadi korban jarum beracun kalau saja tidak ada sambaran angin yang kuat dari samping yang meruntuhkan semua jarum halus itu. Thian Liong yang telah menyelamatkan tOsu itu segera melompat di tengah, antara niereka dan berseru nyaring dan penuh wibawa,

"Tahan, hentikan perkelahian!"

Dalam suara Thian Liong terkandung wibawa yang amat kuat sehinga Siang In yang biasanya keras hati dan tidak dapat menurut kemauan sembarang orang itu, entah bagaimana, menghentikan gerakannya dan bahkan mundur lima langkah ke belakang. Demikian pula, Pek Mau San-jin yang maklum bahwa hampir saja dia menjadi korban senjata rahasia, melompat ke belakang.

Thian Liong menghampiri dan berhadapan dengan Pek Mau San-jin, lalu memberl hormat dan berkata,

"Totiang (bapak pendeta), apa gunanya semua pertikaian ini? Saya klra di antara Bu-tong-pai dan Ang-hwa Sian-li hanya terdapat kesalah-pahaman belaka."

Pek Mau San-jin mengerutkan alisnya dan memandang pemuda itu penuh selidik. Dia tidak mcngenal pemuda itu dan tidak tahu apakah pemuda itu kawan atau lawan. Karena pemuda itu muncul bersama Ang-hwa Sian-li, maka dia tentu saja menaruh curiga.

"Orang muda, siapakah engkau dan mengapa mencampuri urusan kami dan Ang-hwa Sian-li?"

"Saya bernama Souw Thian Liong dan saya diutus suhu untuk menghadap Ketua Bu-tong-pai untuk urusan yang amat penting."

"Siapa gurumu yang mengutusmu kesini?"

Biarpun dl situ ada Siang In, terpaksa dia memperkenalkan gurunya.

"Suhu adalah Tiong Lee Cln-jin...."

"Wah, Liong-ko! Suhumu Tiong Lee Cin-jin yang amat terkenal itu? Kenapa tldak kau katakan kepadaku?" seru Siang In dengan heran. Dalarn perantauannya yang baru setahun itu, sejak dari Sin-kiang, ia sudah mendengar banyak tentang Tlong Lee Cin-jin yang disebut-sebut sebagai seorang yang sakti dan bijaksana, bahkan ada yang mengatakan bahwa dia adalah seorang manusia dewa!

Juga Pek Mau San-jin terbelalak.

"Murid Tiong Lee Cin-jin? Ah, kalau begitu kata-katamu patut didengar, Souw-sicu. Akan tetapi engkau tadi mengatakan bahwa antara kami dan Ang-hwa Slan-li hanya terjadi kesalah-pahaman. Kami tidak menganggapnya demikian karena gadis ini telah memandang rendah ilmu pedang Thai-kek Sin-kiam kami."

"Siapa bilang aku memandang rendah? Mellhatpun baru sekarang ketika engkau memalnkannya. Bagaimana aku bisa memandang rendah ilmu pedang yang belum pernah kulihat? Setelah kulihat tadi, biarpun engkau baru menguasai sepertiganya, harus kuakui bahwa Thai-kek Sin-kiam memang hebat seperti yang pernah kudengar." kata Siang In. Pek Mau San-jin menoleh ke arah dua orang murid keponakannya yang berdiri sambil menundukkan muka mereka. Kemudian dia memandang kepada Siang In dan berkata,

"Akan tetapi engkau telah rnenantang Bu-tong-pai untuk mengadu ilmu pedang!"

Siang In melangkah maju mendekat dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Pek Mau San-jin.

"Hei, Pek San-jin, jangan engkau sembarangan menuduh tanpa bukti. Itu namanya fitnah, tahu?"

Thian Liong berkata kepada tosu itu.

"Ang-hwa Sian-li berkata benar, totiang. la tidak menantang, melainkan dltantang. Inllah buktinya." Setelah berkata demikian, Thlan Llong mengeluarkan pisau terbang dan surat tantangan Itu, diberikan kepada Pek Mau San-jin. Siang In sendiri memandang heran, tldak tahu bahwa pemuda itu ternyata telah mengambil surat dan pisau yang sudah ia buang. Pisaunya ia lempar menancap di tiang membunuh seekor cecak dan surat itu ia buang begitu saja. Kiranya Thian Liong mengambil dan menyimpannya, dan sekarang dapat dijadikan bukti kebenaran omongannya!

Pek Mau San-jin menerima surat dan pisau itu, alisnya berkerut dan dia lalu memutar tubuh menghadapi dua orang murid keponakannya yang berdiri di belakangnya.

"Kalian berdua, ke sinilah dan berlutut!" perintahnya. Suaranya masih lembut akan tetapi sekarang mengandung nada yang penuh penyesalan dan teguran. Dua orang murid itu melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan Pek Mau San-jin, wajah mereka pucat dan mereka rnenundukkan muka.

Pek Mau San-jin menghadapi Ang-hwa Sian-li dan Thian Liong, lalu berkata,

"Maafkan pinto yang mudah terbujuk dan salah sangka, nona. Sekarang harap ceritakan apa yang telah terjadi antara engkau dan dua orang murid keponakan kaml Inl."

Siang In tersenyum mengejek.

"Cerita mereka tentu lain lagi Dengarkan baik-baik, Pek Mau San-jin. Ketika aku sedang berjalan, aku mellhat seorang laki-laki lemah dipukuli oleh dua orang ini. Aku lalu maju melerainya, akan tetapi mereka marah dan mengatakan aku membela pencuri. Aku bukan membela pencuri, hanya membela orang lemah yang dipukuli orang-orang yang mengandalkan kekuatan mereka. Kami lalu bertanding dan aku mengalahkan mereka berdua. Tukang kebun yang mencuri barang-barang perak untuk membiayai anaknya yang sakit itu menyatakan penyesalannya dan berjanji hendak mengembalikan barang-barangnya yang dicurinya. Aku lalu pergi dan bermalaml di dusun sebelah selatan itu. Akan tetapi malah tadi ada yang melempar pisau dan surat itu ke atas meja makanku. Nah, itulah yang terjadi, Pek Mau San-jin."

Pek Mau San-jin kembali menghadapi dua orang murid keponakan yang masih berlutut di depannya itu.

"Hemm, murid Bu-tong-pai rnacam apa kalian ini? Kalian bertindak kejam memukuli tukang kebun yang terpaksa mencuri barang-barang perak itu! Tahukah kalian? sebelum aku datang ke sini, pangcu (ketua) memberitahukan bahwa semalam tukang kebun itu datang menghadap dan mengembalikan barang-barang yang dicurinya sambil mohon ampun! Apakah kalian dapat mengembalikan dan menebus apa yang telah kalian lakukan kepada dia? Memukuli dan menyiksanya? Itu kesalahanmu yang pertama!"

"Ampun, supek, teecu (murid) berdua terburu nafsu, terdorong kemarahan karena dia telah melakukan pencurian." kata murid yang bertubuh tinggi kurus.

"Hemmm, kapan para gurumu di Bu-tong-pai mengajar kalian untuk bertindak kejam? Apa lagi terhadap seorang pembantu yang miskin, yang terpaksa melakukan pencurian untuk membeayai pengobatan anaknya! Dan kesalahanmu yang ke dua. Kalian melapor kepadaku bahwa Ang-hwa Sian-Li telah menghina Bu-tohg-pal dan memandang rendah ilmu pedang Thai-kek Sin-kiam, padahal ia tidak melakukan hal itu. Kalian berani membohongiku!"

"Supek, teecu berdua melakukan itu agar supek mau membela teecu berdua dan membalas kekalahan kami." Kata pemuda tinggi besar.

"Huh, kalian mengaku mund Bu-tong-pai yang gagah perkasa, akan tetapi setelah kalah kalian tidak mau secara jantan mengakui kekalahan kalian. Sebaliknya berbohong untuk memanaskan hatiku dan sekarang kalian hanya membikin malu kepadaku! Dan yang ketiga, lebih membuat aku malu lagi. Kalian telah mengirim tantangan kepada Ang Hwa Sian-li. akan tetapi kepadaku kalian melapor bahwa pagi ini Ang-hwa Sian Li yang menantangku! Murid macam apa kalian ini".

Dua orang itu sambil berlutut memberi hormat dan dengan suara berbareng mereka berkata,

"Ampunkan teecu, supek ...".

Thian Liong berkata kepada Pek Mau San Jin,

"Sudahlah, locianpwe, saya harap urusan ini dianggap tidak ada saja. Bagaimanapun, locianpwe maupun Ang hwa Sian Li tidak terluka. Harap locianpwe mengampuni dua orang saudara inl...."'

"Apa" Siang In membentak dengan suara nyaring.

"Kesalahan mereka bertumpuk tiga lapis dan engkau mintakan ampun? Sebagai guru yang baik, sudah sepantasnya menghukum murid-murid yang bersalah. Kalau tidak, bagaimana sang guru aktin mempunyai wibawa terhadap murid-muridnya? Dia akan dicemooh dan para murid akan menjadi semakin berani dan kurang ajar!"

Pek Mau bun-jin tersenyum akan tetapi kedua pipinya menjadi agak merah. Dia merasa malu sekali.

"Kalian cepat kembali dan masuklah ke ruangan hukuman menanti keputusan Pang-cu (Ketua) dan jangan keluar dari ruangan itu sebelum diperintah!"

"Baik, supek." kata dua orang pemuda itu dan mereka lalu memberi hormat, berdiri dan pergi dari situ dengan kepala ditundukkan. Pek Mau San-jin lalu mengangkat kedua tangan depan dada, berkata kepada Siang In.

"Ang-hwa Sian-li, engkau masih muda akan tetapi sudah memiliki kepandaian tinggi dan juga berpemandangan jauh.

Ucapanmu tentang dua murid kami itu memang benar, dan kami minta maaf atas kesalahan mereka terhadapmu."

Biarpun wataknya keras dan liar, namun puteri cucu kepala Suku Uigur ini selain ilmu Silat, juga mendapat pendidikan kebudayaan yang cukup dari ibunya. la, pandai membawa diri dan kalau orang bersikap baik dan lembut kepadanya iapun tidak kalah lembut akan tetapi kalau ada yang mengasarinya, ia pandal juga bermain kasar dan keras. Siang In membalas penghormatan tokoh Bu-tong-pai itu dan berkata sambil tersenyum manis..

"Totiang terlalu memuji. Saya yang muda mendapat pelajaran dan pengalaman yang baik sekall dengan bertanding melawan totlang. Yang bersalah sudah dihukum, itu sudah cukup bagi saya, tidak ada yang perlu dimaafkan, totiang."

"Akan tetapi, kaml mengundang Souw Sicu sebagal murid Tiong Lee Cin-jin untuk bertemu dengan ketua kami, dan kami juga mengundang engkau, nona."

"Akan tetapl, aku tidak mempunyai urusan dengan Ketua Bu-tong-pai seperti halnya saudara Souw Thian Liong ini!" kata Siang In, dan ucapan ini hanya untuk pemanis bibir saja karena sebetulnya di dalam hatinya ia ingin sekali ikut Thian Liong menemui ketua Bu-tong-pai untuk mengetahui keperluan apa yarig membawa pemuda itu menemuinya. Biarpun baru menduga, Siang In yakin bahwa pemuda itu memiliki ilmu silat yang? tinggi. Hal ini terbukti ketika pemuda itu memukul runtuh jarum-jarum beracunnya sehingga menyelamatkan Pek Mau San-jin. Hanya orang yang memiliki sin-kang (tenaga sakti) amat kuat saja yang mampu memukul runtuh jarum-jarumnya dari jauh, menggunakan sambaran hawa pukulan.

"Kami sungguh mengundangmu, Ang-hwa Sian-li. Kalau ketua kami mendengar akan perbuatan tak terpuji dari dua orang murid kami kepadamu, lalu aku tidak mengundangmu, tentu beliau akan marah dan menegurku sebagai tidak mengenal sopan santun. Karena itu, deml menjaga agar aku tldak mendapat teguran dari ketua kaml, kuharap engkau suka menerima undanganku untuk bersama Souw-sicu menemui Pangcu kami."

Siang In menoleh kepada Thian Liong dan tersenyum, seolah hendak mengatakan melalui pandang mata dan senyumnya bahwa ia "terpaksa" ikut berkunjung ke Bu-tong-pal! "Wah, kalau begitu, baiklah, totiang. Kalau aku tidak menerima undanganmu, berarti aku yang tidak mengenal sopan santun."

Tosu itu tertawa dan mereka bertiga lalu berjalan mendaki lereng menuju ke sebuah puncak bukit di maha perkampungan Bu-tong-pai berada.

Pada waktu itu. yang menjadi ketua Bu-tong-pai adalah seorang kakek berusia tujuh puluh tahun yang biasa disebut Ciang Losu. (Guru Tua Ciang). Nama lengkapnya adalah Ciang Sun dan hanya dia seoranglah yang menguasai Thai-kek Sin-kiam sebanyak delapan bagian. Sebe-lum dia juga tidak ada yang dapat menguasai Thai-kek Sin-kiam secara lengkap karena kitab pusaka pedang itu hilang tak tentu rlmbanya hampir seratus tahun yang lalu. Namun akhir-akhlr ini kesehatan Ciang Losu amat mundur. Kekuatan tubuhnya dlgerogotl usia sehingga dia lebih banyak bersamadhi dari pada melakukan kegiatan mengurus perguruan Bu-tong-pai. Untuk itu dia menugaskan para sutenya, di antaranya Pek Mau San-jin yang merupakan sutenya yang paling muda. Maka tidak aneh kalau Pek Mau San-jin hanya mencapai tingkat ke tiga saja di perguruan itu.

Ketika Ciang Losu yang tua itu mendengar bahwa murid Tiong Lee Cin-jin diutus gurunya untuk mengunjunginya, dia merasa gembira dan segera keluar menyambut. Sudah lama dia merasa kagum sekali mendengar nama Tiong Lee Cin-jin dan biarpun yang datang sekarang hanya seorang muda, akan tetapi karena dia menjadi murid dan utusan Tiong Lee Cin-jin yang sengaja datang berkunjung, dia merasa girang sekali.

Thian Liong dan Siang In yang mengikuti Pek Mau San-jin memasuki bangun-an induk dari perkqinpungan Bu-tong-pai melihat munculnya seorang kakek tinggl kurus, rambut dan jenggotnya yang panjang sudah berwarna putih seperti benang perak, pandang matanya lembut dan mulutnya terhias senyum sabar, segera memberi hormat. Mereka menduga bahwa kakek ini tentu ketua Bu-tong-pai dan dugaan mereka benar. Pek Mau San-jin yang tadi menyuruh seorang murid yang dijumpainya di pintu gerbang. untuk melapor kepada Ciang Losu akan kunjungan murid Tiong Lee Cin-jin, segera memperkenalkan.

"Toa-suheng (kakak seperguruan tertua), ini adalah sicu (orang gagah) Souw Thian Liong murid dan utusan Tiong Lee Cin-jin, dan yang ini adalah Ang-hwa Sian-li. Souw-sicu dan Ang-hwa Sian-li, inilah ketua Bu-tong-pai kami, suheng Ciang Losu."

"Harap 'loclanpwe (orang tua gagah) sudi memaafkan kalau kedatangan kami mengganggu ketenangan toclanpwe." kata Thian Liong dengan slkap hormat.

"Sian-cai, sikap Souw-sicu saja cukup menjadi bukti betapa bijaksananya Tiong-Lee Cin-jin yang kami hormati. Mari, orang-orang muda gagah, silakan masuk, kita bicara di dalam." 'kata Ciang Losu dengan wajah ceria.

Mereka berempat masuk dan duduk di ruangan dalam yang tertutup. Seorang murid menyuguhkan air teh lalu keluar lagi.

"Nah sekarang kita dapat bicara de-ngan leluasa di sini. Ceritakanlah, apa yang membawa kalian berdua orang-orang muda gagah datang berkunjung ke Bu-tong-pai dan menemui pinto (saya)."

"Saya tidak mempunyai keperluan apa-apa, locianpwe. Saya datang untuk memenuhi udangan Pek Mau San-jin." kata Siang In sambil memandang kepada pembantu ketua Bu-tong-pai itu.

Pek Mau San-jin segera menerangkan kepada suhengnya.

"Suheng, Souw-sicu datang dan minta menghadap suheng karena dia diutus oleh gurunya untuk memblcarakan sesuatu yang penting dengan suheng. Adapun nona Ini, ada sesuatu terjadi antara Ang-hwa Sian-li ini dan dua orang murid kita yang membuat merasa tidak enak dan mengundangnya." Dengan singkat Pek Mau San-jin lalu menceritakan tentang peristiwa yang di alami Siang In dan dua orang murid Bu-tong-pai yang menjadi gara-gara bentrokan antara Pek Mau San-jin dan gadis perkasa itu.

"Saya telah menyuruh dua orang murid itu menanti di ruangan hukuman, menanti keputusan suheng." Pek Mau San-jin mengakhiri ceritanya.

Ciang Losu mengangguk-angguk. Wajah yang penuh kesabaran itu sama sekali tidak memperlihatkan kemarahan hatinya.

"Anak-anak itu harus dihukum. Laksanakan hukuman itu sekarang juga, sute. Mereka harus melakukan samadhi selama tiga bulan. hanya berhenti seharl sekali untuk makan. Dengan demikian kita harapkan mereka akan dapat menghilangkan kekejaman dari hati mereka.

"Baik, suheng, akan saya laksanakan sekarang juga." Pek Mau San-jin memberl hormat lalu menlnggalkan ruangan itu.

Setelah sutenya pergi, Ciang Losu berkata kepada Slang In dan Thian Liong

"Kalian lihat, betapa sulitnya mengalahkan musuh utama dalam hidup ini. Musuh utama itu adalah dirinya sendiri, nafsu-nafsunya sendiri. Ang-hwa Sian-li...."

"Locianpwe, nama saya adalah Thio Siang In, saya merasa malu kalau lo-cianpwe yang menyebut saya dengan ju
lukan kosong itu." kata Siang In.




KISAH SI NAGA LANGIT JILID 10
Ciang Losu tersenyum lebar memperlihatkan rongga mulut yang sudah tidak ada giginya lagi.

"Nona Thio Siang In, pinto lihat bahwa di balik kekerasan hatimu terdapat kerendahan hati dan kejujuran. Maafkanlah ulah kedua orang mu-rid Bu-tong-pai kami."

"Tidak mengapa, locianpwe. Mereka sudah dihukum dan kalau mereka dapat mengubah sikap, saya ikut merasa girang."

"Sekarang, pinto ingin mendengar darimu, Souw-slcu. Tiong Lee Cin-Jln mengutus engkau datang menemul plnto, sebetulnya membawa keperluan apakah?"

"Locianpwe, saya diutus suhu untuk menyerahkan sebuah kitab kepada lecianpwe, karena menurut suhu, kitab itu adalah hak milik Bu-tong-pal." Setelah berkata demikian, Thian Llong menurunkan buntalan pakalannya dari punggung dan membuka buntalan itu.

"Ah, bukan main! Tiong Lee Cin-jin menemukan kitab kami dan mengembalikan kepada kami? Sungguh mulia, sungguh bljaksana!" kata Ciang Losu dengan wajah berseri, tampaknya gembira sekali.

Thian Liong mengambll Kitab Kiauw-ta Sin-na dari dalam buntalan. Kitab ini agak tebal dan sudah tua sekali.

"Inilah kitab itu, locianpwe, harap sudi menerimanya."

"Terima kasih....!" Kakek itu menerima kltab, lalu dibuka. Setelah melihat islnya, dia berkata,

"Sian-cai..... Kiranya Kitab Kiauw-ta Sin-na yang hilang lima puluh tahun yang lalu!"

"Loclanpwe telah menerima kembali kltab yang telah lama hilang, kenapa malah tampak kecewa?" tiba-tiba Siang In bertanya.
"Eh.... ahh....? Nona Thio Siang In sungguh memiliki penglihatan yang amat tajam!" seru Clang Losu sambil tersenyum dan memandang kagum.

"Sesungguhnyalah, pinto merasa kecewa melihat bahwa yang dikirim oleh Tiong Lee Cin-jin adalah Kitab Kiauw-ta Sin-na, bukan Kitab Thal-kek Sin-kiam yang hilang seratus tahun yang lalu sepertl yang tadi kusangka dan harapkan."

"Suhu pernah bercerita kepada saya, locianpwe, bahwa dalam perjalanannya, suhu jUga berusaha mendapatkan kembali kitab pusaka milik Bu-tong-pai itu, akan tetapi menurut suhu, tidak ada seorangpun di dunia barat yang tahu tentang Kitab Thai-kek Sin-kiam itu." Kata Thian Liong.

"Ah, tidak mengapa, Souw-sicu. Kitab Kiauw-ta Sin-na ini juga merupakan kitab pusaka kami yang penting. Harap sampaikan ucapan terima kasih dan seluruh anggauta dan pipipinan Bu-tong-pai."

"Baik, locianpwe, akan saya sampaikan kepada suhu pesan locianpwe." Kata Thian Liong.

"Bu-tong-pai tidak dapat membalas apa-apa atas kemuliaan hati dan kebijaksanaan Tiong Lee Cin-jin. Kami hanya dapat mendoakan semoga Tiong Lee Cin jin berusia panjang dan hidup penuh kebahagiaan." kata pula kakek itu.

"Terima kasih, lo-cian-pwe." Dua orang muda itu laki berpamlt dari Ketua Bu-tong-pai yang sudah tua itu. Di pintu depan mereka disambut oleh Pek Mau San-jin yang mengantar mereka sampai keluar pintu gerbang Bu-tong-pai. Setelah mengucapkan terima kasih atas sambutan Bu-tong-pai yang baik, Thian Liong dan Siang In lalu meninggalkan perguruan silat yang terkenal itu dah menuruni puncak bukit.

Setelah tiba di kaki bukit, Siang In mengajak pemuda itu berhenti dan la bertanya.

"Liong-ko, urusan di Bu-tong pai sudah beres. Sekarang, engkau hendak pergi ke manakah?"

"Aku sekarang akan pergl ke Siauw-Lim-pal." jawab Thian Liong sejujurnya.

"Wah? Bukankah kuil Siauw-Lim-pai itu jauh sekali dari sini? Mau apakah engkau pergi ke perguruan-pergurUan silat? Tadl ke Bu-tong-pai dan sekarang hendak ke Siauw-lim-pi. Apakah juga engkau ke sana untuk menyerahkan kitab pusaka Siauw-lim-pai?"

Thian Liong mengangguk.

"Tldak salah dugaanmu, In-moi. Aku memang sedang melaksanakan perlntah suhu untuk menyerahkan kltab-kitab pusaka kepada pemiliknya yang berhak."

"Suhumu Tiong Lee Cin-jin ttu aneh sekali! Aku sudah mendengar bahwa dla merantau ke dunia barat selama puluhan tahun dan berhasil mendapatkan banyak kitab penting. Kenapa sekarang kitab-kitab itu dibagi-bagikan?"

"Bukan begitu, In-moi. Dalam perantauannya ke barat untuk memperdalam ilmu, suhu menemukan kitab-kitab para perguruan silat yang dulu dicuri orang. Suhu berhasil merampasnya kembali dan karena kitab-kitab itu ada yang berhak memiliki, maka suhu mengutus aku untuk mengembalikan kitab-kitab itu kepada yang berhak. Bukankah hal itu sudah wajar dan semestinya?"

"Sama sekali tidak wajar. Kalau suhumu yang menemukan dan merampasnya kembali, semestinya kitab-kitab itu menjadi hak milik suhumu! Enak saja para ketua perguruan silat itu menerima kembali kitab mereka tanpa merasa bersusah payah! Ah, sudahlah, memang aku sudah mendengar bahwa Tiong Lee Ctn-jin itu orangnya aneh luar biasa. Tapi kulihat engkau ini orang biasa saja, seperti juga aku. ngomong-omong, berapa banyak sih kitab yang harus kau kembalikan kepada para ketua perguruan silat itu, Liong-ko?"

"Hanya tiga buah kitab, In-moi. Sebuah untuk diserahkan kepada Ketua Kun-lun-pai, sebuah untuk Ketua Bu-tong-pai dan yang sebuah lagi harus kuserahkan kepada Ketua Siauw-lim pai."

"Hemm, baglan Bu-tong-pal gudah kauserahken. Apakah kiinb untuk Kun-lun-pal juga sudah kauberikan kepada ketuanya?" Thian Llong menggeleng kepala dan menghela napas panjang.

"Itulah yang merisaukan hatiku, In-mol. Kltab untuk Kun-lun-pai Itu dicuri orang dalam perjalananku."

"Waah...! Dicuri orang? Apa namanya kitab pusaka Kun-lun-pai itu, Liong-ko? Siapa tahu aku dapat membantumu mencarinya."

"Kitab itu berjudul Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat."

"Dan siapa pencurinya?" "Itulah yang memusingkan. Pencurinya seorang gadis, aku akan dapat mengenal wajahnya, akan tetapi sayang, aku tidak tahu namanya."
"Hemm, bagaimana seorang gadis mampu mencuri kitab pusaka itu darimu? Coba gambarkan bagaimana gadis itu. Siapa tahu aku akan dapat bertemu dengannya dan dapat merampas kitab yang dicurinya itu!" kata Siang In penuh semangat.

"la masih remaja, paling banyak tujuh belas tahun usianya. Pakaiannya serba merah muda. la lincah jenaka, bengal, galak dan cerdik."

"Wajahnya, bagaimana rupanya?" '

"Hemm, wajahnya bulat telur, rambutnya hitam panjang, kalau tertawa timbul lesung pipit di kedua pipinya...."

"la cantik?"

"Cantik sekali, pinggangnya ramping, dagunya meruncing, kulitnya putih......."

"Hemm, cantik mana kalaU dibandingkan....... aku?"

Thian Liong menatap wajah di depannya.

"Wah..... sukar menilai, In-moi. Engkau juga cantik sekali, sukar rnengatakan siapa di antara kalian yang lebih cantlk. Usia kalian juga sebaya dan ilmu silat kalian juga sama lihainya."

"Tentu Kun-lun-pai marah sekali mendengar kitab pusaka mereka dicuri orang. Apakah mereka sudah tahu?"

"Memang mereka tadinya marah sekali. Akan tetapi akhirnya Kui Beng Thaisu, ketua Kun-lun-pai dapat menerima kenyataan dan akupun sudah berjanji kepadanya untuk berusaha mencari dan menemukan kembali kitab pusaka, Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat itu."

"Kitab pusaka Bu-tong-pai tadi adalah Kitab Kiauw-ta Sin-na. Lalu sekarang tinggal sebuah, yaitu kitab pusaka yang akan kauserahkan kepada Siauw-lim-pai. Apakah nama kitab itu, Liong-ko?" Sepasang mata bintang itu memandang ke arah buntalan pakaian di punggung Thian liong.

"Namanya Kitab Sam-jong Cin-keng."

Menurut keterangan suhu, kitab ini mengandung ilmu yang diciptakan sendiri oleh Dewa Ji-lai-hud!"

"Wah, aku ingin sekali melihatnya! Liong-ko yang baik, tolong perlihatkan kitab itu padaku, sebentar saja!" Gadis itu mendekat

"Wah, tidak boleh, In-moi!"

"Aih! Masa hanya melihat saja tidak boleh?"

"Suhu memesan agar aku jangan memberikan kitab-kitab itu kepada siapa saja kecuali kepada para ketua yang berhak menerimanya."

"Akan tetapl aku hanya ingin pinjam sebentar, melihat-lihat lainnya untuk menambah pengetahuan dan pengalamanku. Sebentar saja, nantl kukemballkan,"

"Maaf, In-mol, aku tidak dapat memenuhl permlntaanmu. Suhu berpesan agar aku menjaga kitab-kitab Itu dengan taruhan nyawaku."

Walah gadis Itu berubah merah, matanya bersinar-sinar mengandung kemarahan.

"Hemm, buktlnya sebuah di antara tiga buah kitab itu hilang!"

"Hal itu terjadl karena aku lengah dan gadis Itu mencurlnya."

"Benarkah? Apakah tidak karena engkau tergila-gila oleh kecantikannya dan engkau meminjamkan kltab itu kepadanya lalu ia melarlkan diri membawa kitab itu?"

"Sama sekali tidak, In-mol. Engkau, juga cantik, akan tetapi tetap saja aku tidak berani meminjamkan kitab ini padamu. Maafkan saja."

"Bagaimana kalau ada orang menggunakan kekerasan untuki merampas kitab"

"Tentu saja akan kulawan dan kupertahankan."

"Kalau begitu karena engkau tidak mau meminjamkannya, aku akan merampasnya dengan kekerasan. Lawanlah aku!" Setelah berkata demikian, dengan cepat sekall Siang In sudah menerjang pemuda itu dan tangan kirinya menotok ke arah dada sedangkan tangan kanahnya mencengkeram ke arah buntalan yang tergantung di punggung Thlan Liong.

Thian Liong terkejut sekali dan cepat dia mengelak dengan loncatan ke belakang. Dia merasa kecewa dan marah. Kenapa setiap kali bertemu dengan gadis cantik, selalu dia menghadapi kesulitan dan persoalan? Pertama bertemu gadis Jelita berpakaian merah muda itu yang kemudian mencuri kitab pusaka Kun-lun-,pai dari buntalan pakaiannya sehingga dia mengalami kesulitan. Kemudian dfa bertemu dengan Kim Lan, murid Kun-lun-pai yang cantik itu, yang hendak memaksanya agar dia menjadl suami gadis itu! Dan sekarang ini, dia menghadapi Ang-hwa Sian-Ii Thlo Siang In yang ayu manls, dan lagi-lagi dla menghadapi kesulitan karena gadis inl hendak memaksanya meminjamkan kitab pusaka StauW-lim-pai!

"In-moi, jangan begitu! Kitab ini bukan milik klta. Kita tidak berhak......".

"Cukup! Berikan kepadaku atau aku terpaksa akan merampasnya dengan kekerasan!"
.
"Tidak boleh, In-moi!" kata Thian Liong yang mulai merasa panas juga perutnya.

Hyaaaattt...." Slang In menerjang dengan cepat. Serangannya kuat bukan main dan kedua lengannya dikembangkan dan menyerang secara tiba-ttba dari samping, sepertl sepasang sayap, kedua kakinya berjingkat dan berloncatan, sepertl gerakan seekor burung. Memang gadis ini telah menyerang dengan memainkan ilmu silat Kong-ciak Sin-kun, (Silat Sakti Burung Merak). Gerakannya indah dan aneh, akan tetapl berbahaya sekali karena kedua tangan dan kedua kaki itu menyerang secara bergantian secara tiba-tiba dan tak tersangka-sangka!

Thian Llong berslkap hati-hatl. Gerakan serangan gadis ini dahsyat juga walaupun ketika diam-diam dia membandingkan, belumlah sedahsyat tingkat kepandaian gadis baju merah yang mencuri kitab pusaka Kun-lun-pai Itu. Dia mengerahkan ilmu meringankan diri dan mengelak dari semua serangan. Tubuhnya berkelebatan, berubah menjadi bayangan yang tidak mungkin dapat dilanda pukulan atau tendangan. Siang In terkejut. Belum pernah la melihat gin-kang (ilmu meringankan tubuh) sehebat ini. Kedua matanya sampai menjadi kabur saking cepatnya bayangan Thian Llong bergerak.

Siang In menjadi periasaran. Tiba-tiba ia sudah mencabut saputangan merah dan sekali mengebut dengan saputangan, belasan batang jarum kecil lembut menyambar ke arah tubuh Thlan Liong.

"Haiiit!"

"Ahhh!" Thian. Liong mendorong dengan telapak tangannya dan Jarum-jarum itupun runtuh semua. Akan tetapi kini gadis itu telah menyerangnya dengan cepat dan sekali ini kedua tangannya melakukan totokan-totokan ke arah jalan darah maut di seluruh tubuh Thian Liong. Itulah ilmu totok Im-yang Tiam-hoat, yang dtpergunakan Siang In setelah Ban-tok-ciam (Jarum Selaksa Racun) yang dikebutkan dengan saputangan merah tadi gagal.

"Hemm....!" Thian Liong menghadapi serangan baru ini dengan kagum. Gadis tni memang lihai, memiliki beberapa macam ilmu silat yang ampuh. Akan tetapi, seperti juga jarum-jarum beracunnya, ilmu totok inipun bersikap kejam karena setiap serangan merupakan serangan maut. Dia mengelak dan terkadang menangkis dengan membatasi tenaganya sehingga Siang In hanya merasa betapa lengannya tergetar hebat kalau tertangkis lengan pemuda, akan tetapi ia tidak sampai cidera patah tulang. Setelah setnua serangannya gagal sama. sekali dan pemuda itu belum juga satu kali membalas serangahriya, tahulah Siang In bahwa tingkat kepandaiannya kalah jauh. Semua serangannya tadi gagal dan sampai sekilan lamanya Thian Liong tidak pernah membalas. Hal ini berarti pemuda itu mengalah terhadapnya. Akan tetapi ia memang keras hati, tidak mau mengaku kalah begitu saja.

"Srat-sing....!" Dua sinar berkelebat dan gadis itu sudah mencabut siang-kiam (sepasang pedang) yang tergantung di punggungnya. Dua batang pedang yang Berkilauan berada di kedua tangannya.

Akan tetapi ia tidak segera menyerang.

"Hayo, cabut pedangmu! Hendak kulihat apakah engkau mampu menandingi sepasang pedangku!" tantang Siang In sambil mengerutkan alisnya karena ia masih marah oleh penolakan Thian Liong yang tldak mau meminjamkan kitab pusaka Siauw-lim-pai untuk dilihatnya.

"Sudahlah, In-moi, mengapa engkau berkeras menantangku bertanding? Kita Inl bukan musuh, melalnkan sahabat, bukan? Aku girang dan berterilma kaslh sekall atas semua slkapmu kepadaku yang amat balk dan bersahabat selama ini. maka, kuminta kepadamu, hentikanlah pertandlngan inl."

"Hemm, Souw Thtan Llongl Engkau mengaku bahwa aku bersikap balk dan. bersahabat, akan tetapi seballknya, bagaimana sikapmu? Engkau pelit dan tldak percaya kepadaku seliingga memperlihatkan kitab pusaka itu engkau tolak? apakah artinya persahabatan bagimu?"

"In-moi, kitab ini bukan milikku dan aku harus mentaati pesan dan perintah suhu. (Bagaimana aku dapat disebut seorang berbakti kalau aku melanggar pesan, suhu yang tidak boleh memperlihatkan kitab ini kepada orang lain kecuali kepada Ketua Siauw-lim-pai? In-moi, maafkan aku. Engkau boleh minta yang lain, akan tetapi jangan minta aku melanggar larangan suhu."

"Cukup. Aku tetap ingin menguji kepandaianmu dan engkau coba bandingkan, siapa di antara aku dan gadls yang mencurl kitab pusaka Kun-lun-pai yang lebih lihai Pergunakan pedangmu. Aku tldak sudi bertanding dengan orang yang bertangan kosong melawan sepasang pedangkul"

Thian Liong menghela napas panjang. Gadis Inl sama keras hatinya dengan gadis baju merah yang mencurl kltab pusaka Kun-lun-pal itu. Kalau tldak dlturutl tantangannya, la tentu akan mendesak terus. Diapun mencabut Thian-liong-kiam dan melintangkan pedang itu di depan dadanya.

Kalau demikian kukuh kehendakmu, baiklah, In-moi. Akan kulayani permainan pedangmu." kata Thian Liong dengan sikap tenang.

"Lihat , seranganku. Haaaiiiit" Dua batang pedang di kedua tangan Siang In itu berubah menjadi dua gulungan sinar yang menyambar ke arah Thian Llong. Pemuda ini cepat melangkah mundur dan mengelebatkan pedangnya, membentuk sebuah lingkaran, sinar yang melindunginya. Dia melihat betapa gerakan pedang di kedua tangan gadis itupun ganas sekali. Sepasang pedang itu menyambar-nyambar bagaikan dua ekor ular cobra yang liar dan ganas. Setiap tusukan atau bacokan mengarah bagian tubuh berbahaya sehingga setiap serangan merupakan ancaman maut bagl lawan. Inilah Toat-beng Siang-kiam (Sepasang Pedang Pencabut Nyawa), ilmu pedang yang amat dahsyat dan ganas.

Akan tetapi Thian Liong menghadapi serangkaian serangan gadis itu dengan tenang. Gerakannya tenang dan mantap dan setiap kali sinar pedangnya bertemu dengan dua gulungan sinar pedang lawan sepasang pedang di tangan Siang In terpental. Akan tetapi hal ini bahkan membuat Siang In menjadi semakin penasaran dan ia mengamuk terus, menyerang dengan sekuat tenaga dan mengeluarkan semua jurus ilmu pedangnya.

Seperti tadi ketika mereka bertanding dengah tangan kosong, kini Thian Liong juga selalu mengalah, hanya mengelak dan menangkis saja. Tiga puluh jurus telah lewat dan selalu Siang In yang menyerang sedangkan Thian Liong hanya melindungi dirinya. Hal ini membuat Siang In menjadl semakin penasaran. la merasa dipandang rendah dan hal ini menyinggung harga dirinya.

"Hayo balas, pertandingan macam apa ini kalau engkau hanya mengelak dan menangkis saja?" bentaknya dan darl suaranya terdengar bahwa ia marah dan penasaran sekali.

Thian Llong merasa serba, salah. Untuk menyerang tentu saJa dia tidak tega, akan tetapl kalau dia tldak menyerang, dia tahu bahwa gadis Itu menjadi penasaran dan merasa dipandang rendah.

"In-moi, jaga seranganku!" Thian Liong berseru dan gulungan sinar pedangnya menjadi lebar sekali. Angin mendesir-desir dan pedang Thian-liong-kiam, mengeluarkan suara berdesing-desing, bagaikan gelombang samudera dalam badai menerjang ke arah Siang In. Gadis itu terkejut bukan main dan cepat Ia mengerahkan tenaga dan memutar sepasang pedangnya untuk melindungi dirinya dari hantaman gelombang sinar pedang yang amat dahsyat itu.

Akan tetapi begltu kedua pedangnya bertemu dengan gulungan sinar pedang yang menerjangnya, hampir Siang In menjerit karena kedua pedangnya terasa seperti tergutung gelombang sinar, dlputar dan dlrenggut dari kedua tanganhya, la mempertahankan dengan pengerahan tenaga, namun tetap saja kedua pedangnya terenggut lepas dari kedua tangannya. Tentu saja ia terkejut dan cepat melompat ke belakarig dan ia melihat Thian Llong yang memutar pedangnya itu tlba-tlba menggerakkannya ke bawah dan....... cappp! Dua batang pedangnya meluncur dan menancap di atas tanah, dl depan kakinya!

"Ilmu silat sepasang pedangmu hebat, In-moi, membuat aku cukup kerepotan." kata Thlan Llong sejujurnya tanpa bermaksud mengejek karena memang dia menganggap ilmu pedang tadi berbahaya sekali.

Akan tetapi Stang In tidak menjawab, melainkan cepat la mengambil sepasang pedangnya dengan kedua tangan, kemudian ia meloncat dan berlari pergi meninggalkan Thlan Llong. Pemuda itu hanya dapat mengikutl bayangan gadls Itu dengan pandang matanya dan dia mendengar isak tertahan. Gadls itu meninggalkannya sambll menangls! Thian Liong menyimpan pedangnya dan dla berdlrl termenung. Dla merasa heran dan tldak mengertl, Dua kall dia bertemu dangan dua orang gadis yang cantlk jelita dan berkepandalan tinggi dan kaduanya rnemiliki watak yang aneh.

Keduanya keras hati, ganas dan kejam, akan tetapi keduanya Juga menentang kejahatan seperti pendekar-pendekar wanita! Sungguh sukar menyelami watak kedua orang gadis itu. Akan tetapi dla-pun harus mengakui dalam hati bahwa bflru sekarang secara berturut-turut dla rnerasa tertarik kepada wanlta. Wajah gadis baju merah dan wajah Slang In silih berganti membayang di depan matanya. Dia mengheia napas dan melanjut" kan perjalanannya" menuju ke Siauw-lim"

Siauw-lim-pai merupakan perguruan silat yang terkenal sekali, bukan saja sebagai sebuah perguruan silat yang dipimpin orang-orang saktl, akan tetapi juga sebagai pusat perkembangan Agama Buddha yang dlpimpin para hwesio (pendeta) yang beribadat. Biarpun para murld yang sudah lulus dan tldak tinggal lagi di perumahan Siauw-llm-si (Kuil Siauw-lim) yang biasa. Itu tidak diharuskan jadi pendeta, namun semua murid yang masih belajar ilmu silat dl Kuil Siauw-lim dlharuskan hidup sebagai murid Buddha yang patuh dan baik. Selagi mereka belajar dalam kuil besar yang merupakann kornpleks perumahan luas itu, para murid harus merelakan kepala mereka digunduli seperti para pendeta dan hldup sederhana, pantang raakanan berjiwa dan minuman keras.

Pada waktu itu, yang menjadi ketua Siauw-llin-pai adalah Hui Sian Hwesio yang usianya sudah enam puluh lima tahun. Hwesio ini bertubuh tinggi besar dan gemuk, berkulit putih dengan muka bulat dan alisnya tebal. Sikapnya lemah lembut dan walaupun dla merupakan orang nomor satu di Slauw-Lim-pai namun dia jarang ikut membimblng para murld dalam hal llmu sllat. Dla leblh mengutamakan pelajaran Agama Buddha dan lebih sering duduk bersamadhi seorang dlri. Adapun yang sibuk mewakilinya mengurus persoalan Slauw-lim-pal dan mengawasi para murid kepala adik-adik seperguruannya melatlh llmu silat kepada para murid, adalah Cu Slan Hweslo. Dia menjadi wakll ketua dan adlk seperguruan Hul Slan Hweslo. Cu Slan Hwealo yang berusla enam puluh tahun ini berkullt agak hitam, hldungnya mancung dan bentuk waJahnya leblh mlr(p orang India. Memang dla merupakan seorang peranakan India, bahkan lama dia memperdalam pengetahuan agamanya di India. Tubuhnya tinggi kurus dan walaupun dia merupakan sute (adik seperguruan) Hut Slan Hwesto dan tingkat kepandaian silatnya masih di bawah tingkat sang ketua, namun Cu Slan Hwesip terkenal sebagai seorang hwesio yang tangguh dan lihai sekall ilmu sllatnya.

Pada auatu pagi, seperti blasa, sudah terjadl keslbukan dalam kompleks perumahan Slauw-llm-pal yang luas itu. Para murld yang tidak kurang dari lima puluh orang jumlahnya, seJak pagi sudah mengerjakan kewajlban masing-maslng. Mereka bekerja secara bergiliran. Yang mendapat tugas mengangkut alr darl sumber alr ke dapur dan tempat mandi sudah bekerja keras memikul air rnenggunakan tong-tong alr. Ada pula yang membelah batang pohon menjadi potongan kayu-kayu bakar. Ada pula yang bertugas mencarl kayu di hutan sebelah. Ada yang bekerja di ladang di mana mereka menanam sayur-sayuran, Ada pula yang bertugas membersihkan seluruh komplteks, ada yang menyapu, ada yang membersihkan jendela-jendela dan pintu-pintu. Pendeknya, sejak pagi tidak ada murldnya yang menganggur. juga di dapur terdapat keslbukan dari mereka yang bertugas memasak makanan. Ada pula rombongan yang pagi Itu bertugas untuk mempelajari kltab-kitab agama dan menghafalkan doa-doa, dan ada pula rombongan yang bertugas untuk berlatih silat di lian-bu-thla (ruangan berlatih silat), sebuah ruangan yang luas di mana puluhan murld dapat berlatih secara berbareng. Dari ruangan ini terdengar suara-suara bentakan mereka. Akan tetapl dalam ruangan laln, agak jauh darl ruangan berlatlh silat, terdapat sebuah ruangan yang khusus untuk berlatlh samadhi dan ruangan ini tenang sekali.

Setelah matahari naik agak tlnggl, Ilma orang murld Slauw-lim-pal yang bertugas Jaga di plntu gapura kompleks perumahan Siauw-llm-sl menerima kunjungan seorang tamu. Lima orang murld yang berusia antara dua puluh sampal tiga puluhi tahun itu menyambut datangnya tamu tak dikenal ini dengan slkap hormat dan ramah, sikap yang diajarkan oleh para pimpinan mereka. Orang-orang muda dengan kepala gundul dan pakaian sederhana kini bangkit dari duduknya di dalam gardu penjagaan dan melangkah keluar gardu menyambut tamu itu. Tamu itu adalah seorang pria berusia kurang lebih lima puluh tahun. Tubuhnya sedang namun tampak kokoh kuat. Wajahnya. yang dihias kumls tipis Itu gagah perkasa, sinar matanya mencorong. Pakaiannya rlngkas, sepertl yang blaaa dlpakai kaum persllatan. Sebatang padang beronce biru tergantung dl punggunnya sehihgga mudah sekali diduga bahwa pria Itu tentulah seorang ahll silat atau sebutan umumnya orang kang-ouw (sungal telaga) atau orang bu-lim (rimba persilatan). Seorang murid tertua darl llma orang Itu, berusia tiga puluh tahun, cepat mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan dan dia bertanya.

"Slapakah saudara yang datang berkunjung dan keperluan apakah yang membawa saudara datang ke Siauw-Lim-Si?"

Akan tetapi pria Itu tidak membalas penghormatan murid Siauw-lim-pal itu, bahkan dia memandang dengan alls berkerut, tanda bahwa hatinya tidak merasa senang.'

"Kalian berlima tentu murid-murid Siauw-lim-pai, benarkah?" Suaranya juga terdengar tidak ramah, bahkan agak ketus.

"Benar, kami adalah murid-murld Siauw-llm-pal." jawab lima orang muda itu, mulal merasa penasaran melihat sikap tamu yang tidak ramah Itu.

"Nah, cepat panggil Ketua Siauw-Lim-pai ke sini untuk menemul aku! Aku ingin bicara dengan dial"

Lima orang murld, Siauw-lim-pai Itu tentu saja mengerutkan alis dan merasa tidak senang. Tamu ini sungguh lancang dan tidak sopanl Masa berani mengeluarkan perintah memanggil ketua mereka begitu saja? Memangnya siapa sih dia. Akan tetapi, murld tertua mewakili teman-temannya karena dialah yang bertugas sebagai kepala jaga. Dia masih dapat bersikap sabar.

"Sungguh tidak mudah untuk menghadap ketua kami. Seorang tamu harus memberitahu nama dan alamat, apa keperluannya agar kami dapat melapor ke dalam, kemudian tergantung keputusan ketua kami apakah beliau dapat menerima tamu itu menghadap atau tidak."

"Aku bukan tamu!" Pria itu membentak marah.

"Tidak perlu menghadap ketua kalian. Dialah yang harus keluar menemui aku karena aku hendak menuntut dia! Hayo, kalian beritahukan ketua kalian agar keluar menemui aku. Ketua kalian Hui Sian Hwesio, bukan?" Murid-murid Siauw-lim-pai itu rnulai marah. Orang ini sudah keterlaluan.

"Tidak bisa! Kami tidak blsa memenuhi permintaanmu yang melanggar peraturan kami itu!" kata kepala jaga dengan suara mulai ketus.

"Kalian tidak blsa memanggil ketua kalian keluar? Kalau begitu, aku akan memanggilnya sendiri!" Setelah berkata demikian, pria itu memasuki pintu gapura dan melangkah memasuki pekarangan kuil yang luas itu. Akan tetapi dengan tangkas lima orang murid penjaga itu melompat dan menghadang didepannya.

"Maaf, sobat. Sesual dengan peraturan kami, tak seorangpun orang luar boleh memasukl pekarangan sebelum memperoleh persetujuan. Dan kaml tldak dapat menyetujui engkau menyelinap masuk begltu saja tanpa memperkenalkan dlrl dan tanpa memberi tahu keperluanmu!"

"Hemm, kalian berani melarangku? Coba hendak kulihat bagaimana kalian dapat menghalangiku. Murld Slauw-llm-pai sekarang memang sudah menjadi orang-orang jahat yang patut dihajar!" Setelah berkata demlkian, orang itu melangkah maju terus tanpa menghiraukan mereka berlima yang menghadangnya.

Tentu saja lima orang murid Siauw-lim-pai itu menjadi marah sekali, Mereka menggerakkan tangan untuk mencegah dan menangkap orang yang tidak tahu aturan itu. Akan tetapi orang itu menggerakkan kaki tangannya dengan cepat dan.... lima orang murid Siauw-llm-pal itu berpelantingan roboh ke kanan kiri, Cepat sekall gerakan kaki tangan orang Itu yang sudah membagi-bagi tamparan dan tendangan sehingga tidak dapat dihindarkan oleh lima orang murid Slauw-lim-pai itu. Setelah merobohkan lima orang murid Slanw-llm-pal, dia melangkah terus menuju ke anak tangga yang merupakan bagian terdepan dari kuil besar.

Setelah tlba dl bawah kuil, dia berhenti dan mendengar teriakan-teriakan para murid yang tadl dirobohkan. Dia tidak perduli berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangannya bertolak plnggang dan dia berteriak. Suaranya terdengar nyaring sekali karena dla mengerahkan khi-kang yang membuat| suaranya melengklng.

"Hui Sian Hwesio, keluarlah untuk berbicara!!"

Keadaan menjadl gempar, Para murid Siauw-lim-pai meninggalkan pekerjaan masing-masing dan berbondong mereka menuju ke pekarangan kuil. Akan tetapi mereka tidak berani turun tangan dan hanya berdiri menanti perintah dari pimpinan mereka. Tidak kurang dari empat puluh orang murid telah berkumpul di anak tangga serambi depan dan di pekarangan. Namun pria itu tidak tampak takut, bahkan tersenyum mengejek dan mengulang teriakannya tadi.

Tiba-tiba muncul seorang hwesio berusia kurang lebih lima puluh tahun dl serambi depan dan dengan langkah lebar hwesio itu menuruni anak tangga. Para murid Siauw-lim-pai merasa lega karena hwesio pendek gendut yang muncul ini adalah pelatih mereka dalam ilmu silat. Hwesio ini bernama Ki Sian Hwesio, merupakan sute (adik seperguruan) termuda dl antara para plmplnan Slauw-llm-si, akan tetapl karena ilmu silatnya tangguh, maka dia dipilih oleh Hui Sian Hwesio sebagai pelatih, membantu Cu Slan Hwe-sio. Mellhat ribut-ribut Ki Sian Hweslo cepat keluar dan klnl berhadapan dengan pria itu. Lima orang murid yang tadi berjaga dan dirobohkan tamu aneh itu, segera mendekati Ki Sian Hwesio dan kepala Jaga itu melapor.

"Suhu tamu ini tidak memperkenalkan dirinya, memaksa masuk untuk menemui ketua dan telah merobohkan teecu (murid) berlima."

Ki Slan Hwesio mengerutkan alisnya menatap wajah pria yang masih tampak marah itu.

"Sobat, seorang tamu sepatut-nya tunduk terhadap tata tertib pihak tuan rumah, bukan memaksa masuk dan berterlak-teriak di sini. Siapakah engkau dan ada keperluan apa engkau berkunjung ke Siauw-lim-pai?"

"Aku Ingin bertemu dan bicara sendiri dengan Ketua Siauw-lim-pai! Apakah engkau ini wakil dari ketua?" orang itu bertanya.

Ki Sian Hwesio menggeleng kepalanya.

"Bukan, akan tetapi...."

"Kalau begltu pergilah dan panggil ketua atau wakil ketua kalian untuk bicara denganku!" potong prla itu ketus.

"Pinceng (aku) memang bukan ketua atau wakll ketua, akan tetapi plnceng berhak dan berkewajiban untuk atas nama Siauw-lim-pai mengusir orang tidak tahu aturan yang berani lancang mengacau dl sini!"

Sinar mata tamu itu mencorong ketika dia mendengar ucapan ini. Dia menatap wajah hwesio yang pendek gendut itu dan berkata,

"Hemm, ingin kulihat bagaimana engkau akan mampu mengusir aku dari tempat ini!"

Karena sudah jelas bahwa tamu ini melanggar peraturan Siauw-lim-pal, bahkan telah merobohkan lima orang murid, Kl Slan Hwesio tidak ragu-ragu lagl untuk bertlndak.

"Manusia sombong, sambutlah serangan pinceng ini!" bentak hweslo gendut pendek Itu dan dla sudah menyerang dengan dahsyatnya. Blarpun tubuhnya pendek gendut, Ki Stan Hwesio dapat bergerak dengan cepat sekali dan pukulannya mengandung tenaga besar. Hwesio ini lebih suka melatlh ilmu sllat Siauw-lim-pai aliran utara yang mengutamakan kecepatan dan kekuatan, maka serangannya itu cepat namun dahsyat sekali. Sambaran kepalan tangannya mendatangkan angin bersuitan.

Akan tetapi agaknya tamu yang belum juga memperkenalkan namanya itu memiliki ilmu kepandaian silat tinggi. Pantas kalau dia berani bersikap demikian kasar dan berkunjung ke Siauw-lim-pai yang menjadi pusat para pendekar silat. Menghadapi serangan Ki Sian Hwesio itu, dengan tenang namun Hncah sekali dia mengelak ke samping dan se-lagi tangan hwesio itu meluncur luput, dia sudah membalas dengan tamparan tangan terbuka ke arah ubun-ubun kepala Ki Sian Hwesio yang jauh lebih pendek itu.

"Wuuuttt....... dukk!" Kl Sian Hwesio menangkis ke atas dan dua lengan ber-temu dengan kuatnya. Aklbat benturan kedua lengan ini, dua orang itupun terhuyung ke belakang. Hal ini menunjukkan bahwa tenaga mereka seimbang.

Ki Slan Hwesio menjadi penasaran dan diapun melakukan serangan dengan gencar dan bertubi-tubi, memainkan ilmu silat Slauw-lim-pai yang kokoh kuat. Akan tetapi ternyata lawannya juga lihai sekali, mampu menandinginya, bukan saja mampu menghindarkan kakinya dari tangkapan, akan tetapi lawannya bergulingan dan ketika kakinya turun kembali, tak dapat dihindarkan lagi kakinya dapat dicengkeram! Sebelum dia sempat meronta, de-ngan gerakan yang aneh namun kuat sekali lawannya menggeliat, kedua- ta-ngannya disentakkan dan tubuh Ki Sian Hwesio terlempar beberapa meter dan jatuh (erbanting di atas tanah. Demikian kuat bantingan itu sehingga tulang pundak kirinya patah! Itu adalah ilmu gulat dari bangsa Mancu! Melihat betapa pelatih mereka terbanting keras dan hanya dapat bangkit duduk sambil mengeluh, para murid Siauw-lim-pai menjadi marah dan mereka sudah siap untuk mengeroyok tamu itu. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara nyaring berwibawa.





"Semua murid mundur!"

Ternyata yang membentak Inl adalah Cu Sian Hwesio yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka hitam. Mendengar ini, para murld tidak jadl mengepung dan melangkah mundur, memberi ruangan ke-pada wakil ketua SiauW-lim-pal. Cu Sian Hwesio melangkah maju turun dari anak tangga dan berdiri berhadapan dengan tamu itu.

"Omitohud!" kata Cu Sian Hwesio sambil merangkap kedua tangan di depan dada memberi salam sembah.

"Pinceng melihat ada gerakan silat Kong-thong-pai dalam permainan sicu (orang gagah). Selama ini tidak pernah ada permusuhan antara Siauw-lim-pai dan Kong-thong-pai, kenapa sicu datang membikin ribut di sini?",

"Ini adalah urusan pribadiku dengan orang Siauw-lim-pai, sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan perguruan silat manapun!" kata pria itu ketus.

"Omitohud, agaknya sicu marah sekali! Siapakah nama sicu yang terhormat, dan ada urusan apakah antara sicu dengan Siauw-lim-pai?" tanya Cu Sian Hwesio, suaranya tetap tenang dan sabar.

"Engkau siapa?" tanya orang itu, suaranya masih mengandung kemarahan.

"Aku hanya Ingin bicara dengan Ketua Siauw-lim-pai!"

"Ketua Siauw-llm-pat sedang bersamadhi, tidak boleh diganggu. Pinceng adalah Cu Sian Hwesio, Wakil Ketua Siauw-lim-pai dan semua urusan dengan Siauw-lim-pai dapat diselesaikan dengan pinceng. Suheng Hui Sian Hwesio selaku Ketua Siauw-lim-pai telah menugaskan pinceng untuk menangani semua urusan mengenai Siauw-lim-pai."

Sikap orang itu agak berubah. Dia kini mengangkat kedua tangan membalas salam Cu Sian Hwesio dan berkata, tidak seketus tadi.

"Bagus, kalau begitu, aku boleh berurusan denganmu. Namaku Kwee Bun To dan baru beberapa bulan tinggal di dusun kaki bukit ini untuk mengundurkan diri dari keramaian kota dan hidup tenteram dengan anak tunggalku, seorang gadis. Kami memilih tinggal di kaki bukit ini karena mengira bahwa dekat dengan Siauw-lim-pai, tentu kehidupan di sini aman dan tenteram. Siapa kira justeru Siauw-lim-pai yang telah menghancurkan kebahagiaan hidup kami dan menghancurkan kehidupan anak kami yang telah dewasa!" Orang yang mengaku bernama Kwee Bun To Ini mengepal tinju dan mengamang-amangkan ke atas "Aku bersumpah untuk menangkap murid Siauw-Lim-pai itu, membelah dadanya mengeluarkan jantungnya dan menginjak-injak kepalanya sampai hancur lebur!"

Para murid Siauw-lim-pai bergidik mendengar sumpah yang mengerikan itu. Akan tetapi Cu Sian Hwesio tetap tenang dan dia tersenyum sabar.

"Omitohud! Agaknya Kwee-sicu menderita dendam saklt hati yang teramat besar. Akan tetapi, apakah sebenarnya yang telah terjadi dan apa hubungannya dengan murid Siauw-lim-pai?"

"Hemm, agaknya para pimpinan Siauw-lim-pai hanya dapat mengajarkan siiat dan doa-doa saja, akan tetapi tidak mampu mengawasi kelakuan para muridnya. Nah, dengarlah kalian semua, orang-orang Siauw-lim-pai! Malam tadi, seorang laki-laki telah menyelinap masuk kamar anak perempuanku, menotoknya kemudian memperkosanya! Dan jahanam keparat busuk itu adalah seorang murid Siauw-lim-pai!"

Semua orang terkejut.

"Omitohud!" seru Cu Sian Hwesio.

"Nanti dulu, Kwee-sicu. Bagaimana engkau dapat mengatakan bahwa dia adalah murid Siauw-lim-pai?"

"Kebetulan aku terbangun malam tadi dan aku mendengar gerakan orang dalam rumah. Aku keluar dari kamarku dan sempat melihat sesosok bayangan berkelebat keluar dari kamar anakku. Aku mengejarnya dan setelah tiba di luar, aku menyerangnya. Kami berkelahi dan dia dapat melarikan diri Keparat!"

"Bagaimana sicu dapat mengetahui bahwa dia murid Siauw-lim-pai? Apakah slcu dapat mengenal mukanya?"

"Tidak, cuaca terlalu gelap, aku hanya dapat menduga bahwa dia tentu seorang lakl-laki yang masih muda."

"Akan tetapl bagaimana sicu mengetahul bahwa orang itu telah..... menodai anakmu?"

"Aku kemudian mendapatkan anakku dalam keadaan tertotok dan menjadi korban perkosaan. Ah, aku harus dapat menemukan jahanam terkutuk itu!"

"Nanti dulu, Kwee-sicu. Engkau tadi menceritakan hahwa keadaan cuaca gelap sehingga engkau tidak dapat mengenal mukanya. Akan tetapi bagaimana engkau dapat begitu yakin bahwa pemerkosa itu adalah murid Siauw-lim-pai?"

"Buktinya sudah jelas! Ketika aku berkelahi dengan dia, aku mengenal jurus-jurusnya. Jelas dia mempergunakan Jurus sllat Lo-han-kun (Silat Orang Tua Gagah) dari Slauw-lim-pai. Tidak salah lagi! Aku berani bersumpah!"

"Omitohud, urusan ini menjadl amat ruwet dan sulit. Kalau engkau tldak mengenal mukanya, lalu bagaimana pinceng dapat menerima tuduhanmu bahwa dia itu murid Siauw-lim-pai? Bukti ilmu silat itu sama sekali tidak kuat, sicu. Semua orang, biarpun bukan murid resmi Siauw-lim-pai, dapat saJa mempelajarinya."

"Tidak, aku yakin dia murid di sini. Pertama, jurus silatnya tadi. Ke dua, bukankah Siauw-lim-si yang paling dekat dengan dusun kami? Karena itu, aku sengaja datang ke sini untuk menuntut kepada ketua atau kepadamu sebagai wakil ketua, untuk menangkap dan menyerahkan muridmu yang Jahanam itu kepadaku!

"Akan tetapi bagaimana plnceng dapat menangkap orangnya kalau pinceng tidak tahu siapa orang itu? Rasanya tidak mungkin menangkapnya karena engkau tidak memberi tanda-tanda tertentu dari orang itu. Kami tidak dapat memenuhi permintaanmu itu, Kwee-sicu. Permintaanmu itu tidak masuk akal. Kami tak mungkin melakukan penangkapan atau tuduhan kepada murid-murid kami sendiri tanpa adanya bukti yang nyata."

"Hemm, kalau begitu, terpaksa aku akan melakukan pembalasan dengan cara-ku sendiri. Sebulan sekali aku akan membunuh seorang murid Siauw-lim-pai dan aku baru berhenti kalau Siauw-lim-pai sudah menyerahkan jahanam keparat ter-kutuk itu kepadakui"

"Omitohud! Engkau saitta sekall tidak boleh melakukan hal itu, sicu! Itu kejam dan tidak adil namanya dan pinceng pasti akan mencegahya!" seru Cu Sian Hwe-sio.

"Bagus engkau hendak melindungi dan membela Jahanam busuk itui' Jangan dikira aku takut kepadamu, Cu Sian Hwe-sio!" Kwee Bun To bersikap siap untuk bertandlng.

Pada saat itu, seorang pemuda menghampiri Cu Sian Hwesio dan memberi hormat kepada hwesio bermuka hltam tinggi kurus itu.
"Susiok!"

Cu Sian Hwesio memandang. Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, wajahnya bulat dengan kulit muka putih bersih, alisnya tebal hitann. Seorang pemuda bertubuh sedang tegap yang berslkap lembut dan wajahnya tampan gagah. Sepasang matanya tajam dan mulutnya selalu dihias senyum ramah.

"Ah, kiranya engkau, Cia Song!" seru Cu Sian Hwesio gembira. Cia Song adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang berbakat dan yang dulu dilatih oleh Hul Sian Hwesio sendiri sehingga tingkat kepandaiannya lebih tinggi daripada murid-murid lain.

"Tunggulah dulu, pinceng hendak menyelesaikan urusan dengan Kwee-sicu ini."

"Teecu (murid) sudah mendengar semua yang dipertengkarkan tadi, susiok (paman guru). Perkenankanlah teecu mewakili susiok dan Siauw-lim-pai untuk menghadapi Kwee-kauwsu (guru silat Kwee) ini.

Cu Sian mengangguk. Dia memang segan untuk berurusan dengan seorang yang sedang dimabok dendam dan kemarahan itu dan dia mengenal Cia Song sebagai seorang pemuda yang pandai dan bijaksana sehingga suhengnya, yaitu Ketua Siauw-lim-pai Hui Sian Hwesio sering memuji-muji muridnya itu. Dia mengangguk-angguk lalu mundur beberapa langkah, membiarkan Cia Song mewakilinya.

Pemuda itu kini dengan tenang talu berdiri menghadapi Kwee Bun To, ditonton oleh semua murid Siauw-lim-pai yang mengenal pemuda yang mereka kagumi sebagal seorang jagoan muda Siauw-lim-pal itu. Kwee Bun To juga memandang penuh perhatian. Pemuda Itu tampan gagah, slkapnya tenang dan lembut, wajahnya ramah, pakaiannya tidak terlalu mewah namun bersih sekali dan rapi, sepatunya dari kulit hitam mengkilap dan dipunggungnya tergantung pedang beronce merah.

Cia Song memberl hormat dengan merangkap tangan di depan dada.

"Kwee-kauwsu, saya harap engkau suka bersikap tenang dan sabar, karena hanya dengan sikap seperti itu persoalan dapat diselesaikan dengan baik."

Kwee Bun To mengerutkah alisnya. Baru beberapa bulan dia pindah ke dusun di kaki bukit, dusun yang menjadi tempat asalnya. Tadinya dia memang seorang guru silat yang cukup terkenal di wilayah utara. Akan tetapi, ketika wilayah Cina Utara dikuasai oleh bangsa Yucen yang mendirikan Kerajaan Kin, sedangkan Kerajaan Sung terpaksa pindah ke sebelah selatan Sungal Yang-ce, guru silat Kwe Bun To terpaksa membubarkan perguruannya. Dia tldak mau tunduk kepada bangsa Yucen dan melarlkan diri. Dalam pelarlan yang dilakukan bersama isteri dan anak tunggalnya itu, isterinya meninggal dunia karena menderita kaget dan sakit berat. Akhlrnya dia tinggal di dusun di kaki bukit itu, berdua dengan Bi Hwa, puterinya yang sudah berusla tujuh belas tahun. Tak pernah dia memperkenalkan diri sebagai guru silat, akan tetapi bagaimana pemuda ini dapat menyebutnya kauw-su (guru silat)?

"Bagaimana engkau tahu bahwa aku adalah seorang guru silat? Siapakah engkau, orang muda?" tanya Kwee Bun To sambil memandang tajam penuh selidik.

Cia Song tersenyum ramah.

"Nama saya Cia Song dan sebagai seorang murid Siauw-lim-pai, saya merasa berkewajiban untuk mewakill suhu, susiok dan semua saudara di Siauw-lim-pai untuk membereskan persoalan ini denganmu, Kwee-kauwsu. Selama ini saya merantau ke wilayah utara dan mendengar banyak hal, juga tentang Pek-eng Bu-koan (Perguruan Silat Garuda Putih) yang anda pimpin di kota raja akan tetapi terpaksa dibubarkan setelah bangsa Yucen menguasai daerah utara."

"Hemm, engkau mengetahui banyak hal. Akan tetapi, apa yang dapat kau lakukan mengenai persoalanku ini, sedangkan para plmpinan Slauw-lim-pai sendiri agaknya tidak mampu memecahkannya? Keluargaku telah tertimpa malapetaka dan aku hanya menghendaki agar Siauw-Lim-pai menyerahkan jahanam terkutuk itu. Kalau hal itu tidak dapat dilakukan terpaksa aku akan melakukan pembalasan dengan caraku sendiri, yaitu setiap bulan aku akan membunuh seorang murid Siauw-lim-pal untuk melampiaskan dendam keluargaku!"

"Kwee-kauwsu, saya harap anda da-pat menyabarhan dan menenangkan hati, tidak menuruti nafsu amarah karena dendam yang membakar hati. Jalan yang anda tempuh itu hanya akan memperbebar dendam mendendam dan permusuhan yarig tldak akan menguntungkan kedua pihak. Ketahuilah, Kwee-kauwsu, para murid Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang digembleng lahir batinnya, kiranya tidak mungkin melakukan hal serendah itu. Lebih besar lagi kemungkinannya bahwa pelakunya adalah orang yang memusuhi Siauw-lim-pai. Dia telah nrempelajari Lo-han-kun dan mengunakan itu untuk mengadu domba antara Siauw-lim-pal dan anda, Juga untuk merusak nama baik Siauw-lim-pai. Karena itu, saya mempunyai usul yang jauh lebih baik daripada apa yang hendak anda lakukan sebagai balas dendam itu.,"

Sikap sopan dan ucapan yang ramah lembut itu agak mendinginkan hati Kwee Bun To yang dibakar api keirtarahan.

"Hemm, orang muda, usul apakah yang hendak kauaampalkan kepadaku?"

"Begini, Kwee-kauwsu. Aku berjanji akan mencari pemerkosa itu sampai dapat kubekuk batang lehernya! Kalau aku berjanji untuk menangkap dan menyeret orang itu kepadamu, maukah engkau membatalkan ancamanmu untuk membunuhi para murid Siauw-lim-pai itu?"

"Hemm, Cia Song, jawabanmu ini ja-E uh lebih baik daripada jawaban mereka tadi. Setidaknya engkau berjanji untuk menangkap jahanam itu, tidak perduli itu murid Siauw-lim-pai atau bukan. Baik, aku memberi waktu satu bulan kepadamu. Kalau dalam waktu sebulan engkau belum mampu menyerahkan jahanam itu, terpaksa aku menggunakan caraku sendiri untuk mernbalas dendaml"

"Baik, Kwee-kauwau. Akan tetapi untuk mencari pemerkosa itu, saya harus bisa mendapatkan keterangan dan penjelasan dari puterimu tentang orang itu setidaknya ciri-ciri yang dapal diceritakan puterimu agar mudah bagiku untuk mencari orangnya."

"Baik, hal itu mudah diilakukan. Akan tetapi aku masih belum yakin engkau akan mampu menangkap jahanam itu sebelum menguji kemampuanmu. Karena itu, terimalah seranganku sekali saja. Kalau engkau mampu menahan, baru aku dapat menerima usulmu. Beranikah engkau menyambut seranganku?"

Cia Song tersenyum.

"Kalau itu yang anda kehendaki, silakan, Kwee-kauwsu. Saya siap menyambut pukulannlu."

"Cia Song berhati-hatilaht" Seru Cu Sian Hwesio khawatir. Akan tetapi murid keponakannya itu menoleh sambil tersenyum kepadanya.

"Susiok, teecu hendak membantu Kwee-kauwsu, tentu dia tidak ingin mencelakai teecu."'

"Cia Song, bersiaplah dari sambut seranganku ini!" Kwee Bun To membentak nyaring. Cia Song cepat menghadapinya dan melihat guru silat itu, menyerangnye dengan dorongan kedua telapak tangan, diapun cepat menekuk kedua lututnya dan membuat gerakan serupa, yaitu rnendorongkan kedua telapak tangannya ke depan untuk menyambut serangan jarak jauh yang mengandung hawa pukulan dahsyat itu.

"Wuuuuttt.... blarr'r....!" Dua hawa pukulan yang dahsyat dan kuat bertemu di antara mereka dan Kwee Bun To terdorong mundur sampai tiga langkah! Dia terkejut sekali. Biarpun dla tadl tidak ingin membunuh pemuda yang bermaksud membantunya itu, namun dia telah mengerahkan tiga perempat bagian tenaganya, dan ternyata pemuda itu mampu mendorongnya sampai tiga langkah. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa tenaga saktl pemuda itu lebih kuat darlpada tenaga Ki Sian Hweslo yang tadi bertanding melawannya. Hal ini menimbulkan kepercayaan dalam hatinya. Siapa tahu, mungkin pemuda ini yang akan mampu menangkap jahanam yang telah memperkosa puterinya.

"Cia Song, aku menanti kunjunganmu untuk mendengar keterangan dari anakku. Cu Sian H.vesio, sampaikan pernyataan maafku kepada Ketua Siauw-lim-pai atas gangguanku yang terpaksa kulakukan ini." Setelah berkata begitu, guru silat yang menderita pukulan batin hebat itu lalu memutar tubuhnya dan meninggalkan tempat itu dengan cepat.

"Omitohud!" Cu Sian Hwesio berseru.

"Orang yang sedang penuh duka dan kemarahan, ditekan dendam sakit hati yang hebat seperti dia, menggelapkan semua pertimbangan dan dia dapat menjadi orang yang berbahaya sekali! Untung engkau dapat meredakan kemarahannya dan menanamkan kepercayaan dalam hatinya. Cia Song. Mari, mari kuhadapkan engkau kepada suheng Hui Sian Hwesio."

"Baik.'susiok."

Akan tetapi baru saja kedua orangitu melangkah hendak memasuki kuil, dua orang rnurid Siauw-Iim-pai yang tadi melakukan penjagaan di pintu gerbang, datang berlari-lari dan melapor kepada Cu Sian Hwesio bahwa ada seorang tamu hendak menghadap Ketua Siauw-lim-pai.

"Ehh? Siapa lagi yang akan menghadap ketua?" tanya Cu Sian Hwesio dengan heran.

"Tamu yang ini mematuhi aturan, suhu. Dia masih muda, mengaku bernama Souw Thian Liong dan dia adalah murid dan utusan Tiong Lee Cin-jin mohon menghadap ketua karena membawa pesan penting dari Tiong Lee Cin-jin."

Wajah yang berkulit hitam itu berseri dan sepasang rnata itu bersinar-sinar.

"Tiong Lee Cin-jin? Omitohud....! Kalau dia murid manusia bijaksana itu, tentu saja suheng Hui Sian Hwesio mau menerimanya! Persilakan dia masuk dan sekalian akan pinceng hadapkan suheng bersama Cia Song."

Dua orang murid itu berlari menuju ke luar dan tak lama kemudian mereka mengantar Thian Liong ke depan Cu Sian Hwesio. WakUketuaini mengamat?" orang muda yang datang dan memberi hormat kepadanya. Seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh tahun, bertubuh sedang dan berwajah tampan dengan kulit putih bersih. Mata pemuda itu mencorong namun bersinar lembut, hidungnya mancung, mulutnya selalu menyungging senyum. Pakaiannya sederhana dan dia menggendong sebuah buntalan pakaian. Pemuda ini mirip Cia Song, pikir Cu Sian Hwesio, hanya lebih muda.

"Locianpwe, mohon maaf sebesarnya kalau kedatangan saya mengganggu ketenteraman di sini. Kalau tidak membawa perintah suhu, sungguh saya tidak berani mengganggu tempat suci ini."

Cu Sian Hwesio merangkap kedua tangan di depan dada dan tersenyum.

"Omi tohud!" Dia berseru. Pinceng merasa berbahagia sekali. Siauw-lim-pai telah mendapat kehormatan besar menerima kunjungan murid atau utusan yang mulia Tiong Lee Cin-jin! Mari, Souw-taihiap (pendekar besar Souw), mari pinceng antarkan engkau menghadap suheng Hui Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai."

"Mari, Souw-siauwte (Saudara Muda Souw), kita menghadap suhu. Kebetulan sekali saya iuga hendak menghadap beliau dan kita dapat bersama-sama menghadap suhu. Perkenalkan, saudara Souw Thian Liong, saya bernama Cia Song, seorang di antara murid-murid Suhu Hui Sian Hwesio."

Sikap yang ramah terbuka itu menye-hangkan hati Thian Liong dan dia merangkap kedua tangan di depan dada dengan hormat. Pemuda itu menyebutnya saudara muda, dan memang pemuda tampan gagah murid ketua Siauw-lim-pai itu! tentu beberapa tahun lebih tua darinya.

"Saya senang sekali dapat berkenalanj denganmu Cia-twako (kakak Cia), dan saya merasa terhormat sekali akan dapat menghadap locianpwe Hui Sian Hwesio."

"Marilah, Souw-taihiap dan Cia Song. Biarpun suheng Hui Sian Hwesio jarang sekali mau bertemu dengan orang lain, akan tetapi pinceng yakin bahya sekali ini dia akan suka sekali untuk bertemu dengan kalian." kata Cu Sian Hwesio. Mereka bertiga memasuki kompleks bangunan Siauw-Lim-pai yang luas dan setelah tiba di sebuah ruangan tertutup yang sunyi, di mana tidak tampak seorangpun hwesio, Cu Sian Hwesio merangkap kedua tangan di depan dada, berdiri agak mem-bungkuk dengan hormat di luar pintu ia-lu berkata dengan nada suara lembut.

"Suheng yang mulia, perkenankanlah pinceng menghadapkan murid Cia Song dan talhiap Souw Thlan Liong murid atau utusan yang mulia Tiong Lee Cin-jin kepada suheng!"

Sunyi menyambut ucapan Cu Sian Hwesio itu. Kemudian terdengar jawaban suara yang lembut sekali dari dalam, namun suara lembut Itu terdengar oleh Thlan Liong seolah ada orang berblsik di dekat telinganya. Dengan kagum dia mengerti bahwa suara itu dibawa tenaga dalam yang amat kuat, menembus segala apa yang menghalang di depan.

"Omltohud! Mimpi apa plnceng semalam sehingga yang mulia Tiong Lee Cin-Jin mengutus murldnya datang ke slni?"

Belum habis kalimat itu terucapkan, daun pintu itupun bergerak sepertl terbuka dari dalam. Akan tetapi Thian Liong tldak melihat adanya orang yang membuka daun pintu itu dan hembusan angin lembut namun kiiat terasa olehnya. Tahulah dla bahwa pintu itu dibuka dengan dorongan angin itu dari jauh. Dan ketika dia memandang ke dalam ruangan itu, jauh di tehgah ruangan yang luas itu tampak duduk seorang hWesio. Usianya sekitar enam puluh tahun lebih, sedikitnya enam puluh lima tahun, tubuhnya gemuk tinggi besar seperti tubuh Arca Ji-lai-hud, mukanya bulat penuh senyum cerah dan alisnya tebal, matanya bersinar lembut. Hwesio itu duduk bersi-la di atas dipan kayu. Agaknya hwesio itu tadi membuka daun pintu dengan dorongan tangan yang menimbulkan angin lembut yang kuat. Hal ini saja membuktikan betapa tinggi ilmu kepandaian hwe-sio itu yang sudah mampu mengatur tenaga saktinya sedemikian rupa seolah tenaga saktinya itu merupakan sebagian anggota tubuhnya yang dapat melakukan apa-apa dari jarak jauh.

"Silakan masuk, Souw-taihiap dan kalian juga, Cia Song dan Cu Sian Hwe-sio." kata hwesio tua itu sambil menggapai dengan tangan kanannya.

Tiba-tiba Thian Liong menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah hwesio tua yang dia yakin tentu Hui Sian Hwe-sio adanya. Tadi ketika Cu Sian Hwesio menyebutnya taihiap (pendekar besar), walaupun hatinya merasa tak enak, dia menerima saja. Akan tetapi ketika ketua Siauw-lim-pai menyebutnya demikian, dia merasa berat sekali untuk menerimanya, maka dia segera menjatuhkan diri berlutut.

"Harap iocianpwe sudi memaafkan teecu (murid). Sungguh teecu tidak berani menerima sebutan taihiap dari locianpwe. Nama teecu Souw Thian Liong dan teecu akan merasa senang sekali kalau locianpwe menyebut naroa teecu begitu saja.

Hwesio tua itu tertawa lembut dan mengelus jenggotnya yang menutupi le-hernya. Dia tidak berkumis dan gundul, akan tetapi jenggotnya yang sudah, berwarna dua itu cukup panjang.

"Omitohud! Yang mulia Tlong Lee Cin-jin telah memberi bimbingan luar dalam kepadamu, membuat pinceng merasa kagum sekali. Bangkit dan masuklah Thian Lioug dan jangan banyak sungkan. Sebagai murid yang mulia Tiong Lee Cin-jin, engkau patut kami anggap sebagai golongan sendiri."

"Terima kasih, locianpwe." kata Thian Liong dan diapun mengikuti Cu Sian Hwe-sio dan Cia Song memasuki ruangan itu. Setelah berhadapan dengan hwesio itu, Hwesio berdiri di pinggiran sedangkan dua orang muda itu langsung berlutut di depan Hui Sian Hwesio.

Hul Slan Hweslp memandang kepada dua orang pemuda yang berlutut sambll menundukkan muka mereka Itu dan mengangguk-angguk sambil tersenyuin dan mengelus jenggotnya dengan tangan kiri.

"Cia Song coba angkat mukamu dan pandang pinceng! perintahnya dengan suara lembut. Cia Song menurut, mengangkat mukanya dan menatap wajah suhunya, bertemu pandang mata sejenak lalu dia menunduk kembali.

"Omitohud! Bagus sekali, engkau telah mendapatkan banyak sekali kemajuan, hanya saja engkau harus banyak mengurangi kekerasan hatimu dengan banyak melakukan latihan siu-lian (samadhi) dan pengendalian nafsu."

"Baik, suhu. Teecu menaati perintah? suhu." jawab Cia Song lirih.

"Sudah bertahun-tahun engkau pergi berkelana. Sekarang datang ke Siauw-lim-si (kuil Siauw-lim) membawa keperluan penting apakah?"

"Teecu merasa rindu kepada Siauw-lim-si, kepada suhu, para su-siok (paman guru) dan semua saudara, maka teecu sengaja datang berkunjung, suhu." jawab Cia Song dengan hormat.

"Maaf, suheng. Pinceng ingin menyampaikan laporan tentang jasa murid Cia Song yang telah menyelamatkan Siauw-lim-pai dari keributan yang baru saja terjadi." kata Cu Sian Hwesio.

"Keributan? Apakah yang telah terjadi, sute (adik seperguruan)?"

"Baru saja kita kedatangan seorang guru silat dari Pek-eng Bu-koan bernama Kwee Bun To. Dia marah-marah dan menuntut agar kita menyerahkan seorang murid Siauw-lim-pai yang katanya telah memperkosa seorang puterinya."

"Omitohud! Semoga Tuhan mengampuni kita! Siapakah murid Siauw-lim-pai yang melakukan perbuatan hina itu, sute?"

"Kauwsu (guru silat) Kwee Bun To itu tidak mengetahui siapa orangnya."
"Hemm, kalau begitu bagaimana dla dapat mengatakan bahwa pelakunya adalah murid Siauw-lim?"

"Menurut ceritanya, malam itu puterinya diperkosa orang dan dia bertemu dengan pelakunya. Di malam gelap itu dia menyerang dan orang muda yang melakukannya itu melawannya dengan menggunakan ilmu silat Lo-han-kun yang dikenalnya. Maka dia mengatakan dengan pasti bahwa pelakunya adalah murid Siiauw-lim-pai."

"Omitohud! Bagaimana dapat terjadi hal seperti ini? Laleu bagaimana sute?"




KISAH SI NAGA LANGIT JILID 11

"Dia menuntut agar kita menyerahkan pelaku itu, kalau tidak dia akan membunuhi murid Siauw-lim-pai satu demi satu. Hampir saja pinceng sendiri bertanding dengan dia, akan tetapi lalu muncul murid Cia Song yang melerai dan menyabarkan Kwee Bun To. Cia Song menjanjikan kepadanya bahwa dia akan menangkap pelaku perkosaan itu dalam waktu satu bulan. Kwee Bun To menerima janji itu dan mengundurkan diri sehingga Siauw-lim-pai terhindar dari keributan."

Hui Sian Hwesio mengangguk-angguk dan memandang kepada muridnya.

"Cia Song, engkau berjanji kepada Kwee-kauwsu untuk menangkap pelaku itu dalam sebulan, apakah engkau mengetahui siapa pelakunya?"

"Teecu belum mengetahuinya, suhu."

"Hemm, kalau begitu, bagaimana engkau berani berjanji hendak menangkapnya?"

"Akan teecu selidiki sampai teecu berhasil menangkapnya."

"Apakah engkau percaya bahwa pelakunya adalali seorang murid Siauw-lim-pai?"

"Teecu tidak percaya. Mungkin saja orang lain yang sengaja menggunakan ilmu silat Lo-han-kun untuk menyembunyikan diri dan menjatuhkan kesalahan kepada Siauw-lim-pai. Teecu akan menyelidikinya, suhu."

"Omitohud! Sikapmu itu memang baik sekali dan telah menyelamatkan Siauw-lim-si dari keributan dan permusuhan. Akan tetapi juga merupakan tindakan yang gegabah! Seorang laki-laki sekali berJanJi harus dipenuhi dan engkau su-dah berjanji akan menangkap pelaku itu, maka janji itu harus kau penuhi! Bagai-mana kalau sampai sebulan engkau be-lum dapat menemukan pelaku kejahatan itu?"

"Kalau sampai teecu gagal, teecu akan mempertanggung-jawabkan kepada kauwsu Kwe Bun To, suhu."

"Bagus, bagus sekali! Seorang laki-laki harus memenuhi janjinya dan harus berani mempertanggung-jawabkan semua .tindakannya! Engkau pantas menjadi seorang murid Slauw-lini-pai." Hui Sla Hwesio niemuji, mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya, lalu memandang kepada Thian Liong. Diam-diam dia merasa bangga dan girang karena utusan Tiong Lee Cin-jin mendengarkan semua percakapannya depgan Cia Song. Sungguh membanggakan hati kalau Tiong Lee Cin-jin mendengar akan kegagahan murid Siauw-lim-pai!

"Souw Thian Liong, sekarang pinceng beralih kepadamu. Engkau sebagai murid Tiong Lee Cin-jin diutus berkunjung ke Siauw-lim-si membawa berita penting apakah? Ada petunjuk apakah dari guru?"

Thlan Liong memberl Hormat sambll berlutut.

"Loclnpwe, teecu diutus oleh suhu untuk pertama-tama menyampaikan salam hormat suhu kepada locianpwe."

"Omitohud! Tiong Lee Cin-jin yang terhormat sungguh biJaksana dan baik hati. Salamnya pinceng terima dengan rasa bahagia dan kelak kalau engkau bertemu dengan beliau, sampaikan salam dan hormat plnceng yang mendalam untuk beliau."

"Teecu akan menyampaikan pesan lo-cianpwe. Dan tugas teecu yang kedua adalah untuk menyerahkan sebuah kitab yang ditemukan suhu di dalam perjalanannya ke barat yang menurut suhu kitab itu adalah hak milik Siauw-lim-pai." Setelah berkata demikian, Thian Liong mengeluarkan kitab Sam-jong Cin-keng yang tua itu dan dengan kedua tangan dia menyerahkannya kepada Hui Sian Hwesio.

Hwesio tua itu menerima kitab itu, membuka-buka lembarannya dan membelalakkan matanya seolah tidak percaya akan apa yang dilihatnya, lalu meletakkan kitab di atas pahanya dan dia merangkap kedua tangan depan dada.

"Omitohud....! Seperti dalam mimpi saja rasanya saat ini pinceng dapat memegang kitab Sam-jong Cin-keng yang sudah hilang puluhan tahun ini! Sungguh luar biasa sekali kebijaksanaan yang mulia Tiong Lee Cin-jin. Setelah menemukan kitab ini, dia masih bersusah payah mengutus muridnya untuk mengembalikannya kepada kami! Bukan main! Mana mungkin di dunia ini ada seorang yang demikian jujur dan mulia seperti dta? Tidak, ini tidak mungkin! Dia yang menemukan setelah puluhan tahun Siauw-lim-pai hilang harapan dan tidak mencari lagi, maka dialah yang berhak atas kitab ini!"

"Akan tetapi, suheng! Kitab Sam-jong-cih-keng adalah sebuah kitab pusaka Siauw-lim-pai, menjadi hak milik kita sepenuhnya!" seru Cu Sian Hwesio.

"Maafkan teecu, suhu. Teecu kira sudah sepatutnya kalau yang mulia Tiong Lee Cin-jin mengembalikan kitab Sam-jong-cin-keng, itu kepada Siauw-lim-pai. Kalau teecu sendiri menemukan kitab milik perguruan lain, tentu juga akan teecu kembalikan kepada perguruan yang berhak. Teecu yakin bahwa kalau suhu memberlkan kitab Sam-jong-cin-keng itu kepada yang mulia Tlong Lee Cin-jin, sudah pasti beliau akan menolaknya."

Biarpun sute dan muridnya mengemukakan pendirian mereka yang pantas dan kuat, namun Hui Sian Hwesio tetap mengambll kltab Itu dan menyerahkan kepada Thian Liong sambil berkata.

"Souw Thlan Llong, terimalah kitab inl dan katakan kepada gurumu bahwa pinceng memberikan kitab ini kepadanya, karena plnceng menganggap dlalah yang berhak memlllkinya."

Thian Liong tidak berani menerimanya, cepat memberi hormat dan berkata,

"Maafkan teecu, locianpwe. Teecu pikir apa yang dikatakan locianpwe Cu Sian Hwe-sio dan twako Cia Song tadi benar dan tepat, Kitab ini dahulu adalah milik Siauw-lim-pai dan sampai sekarangpun menjadi hal millk Slauw-lim-pai, maka teecu harap sudllah klranya locianpwe suka menerimanya."

"Omitohud, pinceng selalu bertindak menurutkan naluri hati nurani. Sekarang begini saja, Souw Thian Liong. Pinceng melihat kenyataan bahwa engkau seorang murid yang amat baik dari Tiong Lee Cin-jin. Kita ambil jalan tengah saja. Pinceng mau menerima kitab ini sebagal hadiah dari Tiong Lee Cin-jin, akan tetapi karena Tiong Lee Cin-jin sebagai penemunya juga berhak maka pinceng akan mengajarkan ilmu yang terkandung dalam kitab ini kepadamu sebagai ganti murid Tiong Lee Cin-jin. Kalau begitu, barulah enak rasa, hati pinceng terhadap Tiong Lee Cin-jin."

Thian Liong terkejut sekali.

"Akan tetapi.... teecu tidak berhak dan tidak berani menerimanya, locianpwe...."

"Hemm, kalau engkau tidak mau menerima pelajaran ilmu dari kitab Sam-jong-cin-keng ini, terpaksa pinceng juga tidak mau menerimanya dan bawalah kembali kitab ini kepada gurumu. Pinceng tidak ingin disebut orang yang mau enaknya sendiri, tidak mengeluarkan setetespun keringat namun menikmati hasilnya. Nah, bawalah kitab itu dan pergilah!"

Thian Liong menjadi bingung. Dia masih belum menerima kitab itu.

"Aduh, locianpwe, teecu menjadi bingung dan tldak tahu harus berbuat apa. Kalau teecu harus membawa kembali kitab ini tentu suhu merasa tldak senang. Seballknya kalau teeeu menerima usul locianpwe, sungguh teecu merasa tidak enak kepada semua murid Siauw-lim-pai."

"Omitohud, engkau terlalu halus budi dan sungkan, Thian Liong. Tidak ada perasaan tidak enak kalau engkau sudah pinceng terima sebagai muridku! Siapa yang akan menyalahkanmu kalau sebagai murid pinceng engkau mempelajari ilmu yang menjadi pusaka Siauw-lim-pai? Ataukah.... engkau menganggap pinceng tidak pantas menj'adi gurumu ke dua se-telah gurumu Tiong Lee Cin-jin?"

Diam-diam Thian Liong? merasa girang sekali. Dari gurunya dia sudah mendengar bahwa ketua Siauw-lim-pai ini adalah seorang yang memiliki kesaktian, maka alangkah beruntungnya kalau dia diterima menjadi murid dan akan diberi pelajaran dari kitab pusaka Sam-jong-cin-keng ttu. Akan tetapi yang membu-at dia meragu adalah kalau-kalau dia a-kan dlharuskan tlnggal terlalu lama dl Kull Siauw Lim.

"Terima kasih atas kemurahan hati suhu," katanya, tanpa ragu-ragu menyebut suhu kepada hwesio tua itu.

"Akan tetapi, teecu telah mendapatkan tugas dari suhu Tiong Lee Cin-jin untuk membela Kerajaan Sung dan menentang kekuasaan menteri jahat yang mengacaukan negara. Kalau teecu harus menjadi murid dan tinggal lama di Siauw-lim-si, bagaimana teecu akan dapat melaksanakan tugas itu?"

"Omitohud! Jalan pikiran Tiong Lee Cin-jin ternyata tidak berbeda dengan jalan pikiran pinceng. Yang dia maksudkan tentu agar engkau menentang kekuasaan Perdana Menteri Chin Kui, bukan? Jangan khawatir, Thian Liong. Pinceng berjanji hanya akan mengajarkan isi kitab yang ditemukan kembali oleh gurumu pertama ini dan mengingat bahwa, engkau tentu telah memiliki dasar yang amat kuat, maka pinceng yakin bahwa dalam beberapa bulan saja engkau tentu akan mampu menguasainya dengan baik."

Demikianlah, mulai hari itu Thian Liong tlnggal dl kull Siauw-lim dan dl bawah blmbingan Hui Sian Hwesio sendiri dia mempelajarl dan berlatlh ilmu silat berdasarkan kltab pusaka San-jong Cin-keng yang menurut dongeng diciptakan sendiri oleh Ji-lai-hud! Sementara itu, Cia Song yang memiliki tugas berat untuk rnenangkap pemerkosa puteri Kwee Bun To seperti yang sudah dia janjikan, juga meninggalkan kuil untuk melaksanakan tugasnya.

Sebulan lewat dengan cepatnya dan Thian Liong mendapat kenyataan yang iuar biasa dan menyenangkan hatinya. Setelah berlatih siu-lian (bersamadhi) dan pernapasan menurut ilmu yang diajarkan Hui Sian Hwesio menurut Kitab Sam-jong Cin-keng, dia merasa bahwa tenaga dalam yang sudah dikuasainya dan berpusat di bawah pusar itu kini menjadi bertambah kuat. Ilmu silat yang terkandung dalam kitab itu hanya ada delapan jurus pokok. Akan tetapi delapan Jurus pokok ini mengandung tenaga saktl yang amat dahsyat dan juga memungklnkan perkembangan menurut bakat yang menguasai.

Pada suatu malam, Thlan Llong rebah di etas pembaringan dalam kamarnya dl kuil itu. Seperti biasa, waktu malam Itu dia membaca Kltab Sam-jong- Cln-keng dan melatlh siu-lian karena dl waktu siang dia berlatlh gerakan silat di bawah bimbingan Hui Sian Hweslo. Setelah merasa lelah dan mengantuk, dla menyimpan kitab itu dalam sebuah almarl yang terdapat di sudut kamarnya dan diapun merebahkan dlrlnya ke atas pembaringan untuk tidur.

Menjelang tengah malam keadaan kull itu sunyl sekali. Semua hweslo sudah tldur. Sesosok bayangan hltam yang gerakannya llncah dan ringan sekali dengan mudahnya karena dia menggunakan tenaga sin-kang yang amat kuat, membuka jendela kamar Thian Liong tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Dia melompat ke dalam kamar melalui jendela yang terbuka itu dan gerakannya benar-benar ringan seperti seekor kucing melompat sehingga ketlka kedua kakinya hlnggap di atas lantai kamar yang gelap itu, tidak terdengar suara sedlkitpun. Dia lalu bergerak ke depan, perlahan-lahan dan hati-hati sekali, dalam kegelapan itu dia menghampiri almari dan membukanya. Dengan meraba-raba dia dapat menemukan Kitab Sam-jong Cin-keng dan cepat meninggalkan kamar melalui jendela yang terbuka. Akan tetapi karena tergesa-gesa kakinya melanggar kaki meja sehingga terdengar sedikit suara berderit. Secepat burung terbang, tubuhnya sudah melayang melalui jendela.

Sedikit suara itu cukup untuk membangunkan Thian Liong. Nalurinya yang kuat dan peka membuat Thian Liong menyadari bahwa ada hal tidak wajar terjadi dalam kamarnya. Dia menengok dan melihat bayangan berkelebat keluar dari jendela yang terbuka. Otomatis seluruh syaraf dalam tubuh Thian Liong bekerja. Seketika dia tahu bahwa ada orang memasuki kamarnya dan diapun segera dapat menduga bahwa orang itu tentu mencuri Kitab Sam-jong Cln-keng. Kalau bukan kitab itu yang dlcuri, apa lagi? dia segera menyambar Thian-liong-kiam yang diselipkan di bawah bantal, lalu sekali melompat tubuhnya sudah melayang keluar jendela melakukan pengejaran sambil menyelipkan pedang di ikat pinggangnya.

Dalam keremangan sinar lembut jutaan bintang di langit hitam Thian Liong melihat sosok bayangan itu di atas genteng kuil besar. Diapun melompat dan mengejar. Dia mengerahkan seluruh gin-kangnya (ilmu meringankan tubuhnya) dan berhasil mendahului dan menghadang orang yang berpakaian serba hitam dan mukanya memakai kedok hitam itu. Hanya sepasang matanya saja yang tampak melalui lubang pada kedok, sepasang niata yang bersinar tajam. Diapun melihat bahwa pencuri berkedok hitam itu membawa sebuah kitab di tangan kirinya. Biarpun cuaca remang-remang Thian Liong tehu benar bahwa kitab itu bukan laln adalah Kltab Sam-jong Cln-keng yang sedang dipelajarlnya di bawah plmpinan Hul Sian Hwesio.

"Pencuri! Kembalikan kitab itu!" Thian Liong membentak, suaranya melengking menembus malam sunyi.

Pencuri itu agaknya terkejut melihat Thian Liong dapat bergerak sedemiklan cepatnya dan tahu-tahu telah menghadang di depannya. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu menerjang maju, kepalan kanannya menyambar ke arah dada Thian Liong. Pukulannya cepat sekali dan juga mengandung tenaga yang amat kuat. Thian Liong mengenal pukulan ampuh, maka dia miringkan tubuh sambil menangkis dari samping.

"Dukk!" Keduanya terguncang oleh pertemuan kedua lengan itu dan pencuri itu mengeluarkan seruan kaget, namun dengan kecepatan yang luar blaaa kaki klrlnya meneuat dalam tendangan yang menyambar ke arah lambung Thlan Liong.

Thlan Uong maklum bahwa pencurl itu adalah aeorang yang memlllkl ilmu kepandaian silat tinggi. Dla sudah waspada dan begltu kaki lawan menyambar, dlapun sudah menghlndar ke kiri. Pencurl itu memballkkan tubuh untuk melarikan diri.

"Hendak lari ke mana kau? Kembalikan kitab itu!" Thian Liong mengerahkan gin-kangnya dan dia melompat tinggi mengejar. Ketika berada di atas pen-curi itu, tangannya menyambar ke bawah, yang kiri mencengkeram ke arah kepala pencuri itu dan yang kanan menyambar untuk merampas kitab dari tangan kiri lawan.

"Uhh....!" Pencuri itu makin terkejut dan cepat merendahkan diri mengelak sambii melompat ke samping sehingga serangan Thian Liong luput walaupun hampir saja kitab itu dapat direbutnya. Pencuri itu agaknya menjadi marah sekali karena hampir saja kitab itu teram-pas oleh Thian Liong. Mereka kini berhadapan dalam jarak kurang lebih empat meter. Tiba-tiba pencuri itu menggunakan tangan kanannya untuk diputar-pu-tar dan tubuhnya merendah, kedue lutut ditekuk hamplr berjongkok dan tiba-tiba tangan kanannya itu didorongkan ke arah Thlan Liong sambil membentak keras.

"Haaiiiilittt....!" Dari tangan kanan yang didorongkan itu keluar uap hiiam!

Thlan Liong terkejut. Orang itu menyerangnya dengan tenaga sakti yang amat dahsyat dan melihat uap hitam itu sangat boleh jadi tenaga dorongan itu mengandung hawa beracun yang berbahaya. Thian Liong segera mengerahkan tenaganya pada lengan kirinya dan miringkan tangan kiri ke depan dada, lalu mendorong ke depan rnenyambut serangan lawan.

"Wuuuuttt.... bressss....!!" Dua tenaga bertemu dan uap hitam itu membuyar, tubuh pencuri itu terhuyung ke belakatig. Thian Liong tidak mau menyia-nyiakan waktu lagi. Tubuhnya sudah berkelebat ke depan dan sekali sambar dia sudah berhasil merampas Kitab Sam-jong Cin-keng itu dari tangan si pencuri. Akan tetapi, sungguh tak disangka sama sekali tubuh pencuri itu bergulingan dan tahu-tahu kitab itu dapat dirampas kembali! Thian Liong terkejut karena tidak menyangka pencuri itu memiliki kegesitan yang demikian luar biasa, dan tubuh yang bergulingan itu amat cepatnya. Dia segera terlngat akan hasil llmu yang dilatihnya dari kitab Sam-jong Cln-keng, maka untuk merampas kembali kitab itu, dia mengerahkan tenaga dan menggunakan tangan kirinya untuk menyerang, mencengkeram ke arah leher lawan. Pencuri itu agaknya maklum akan kelihaian Thian Liong, maka dia bermaksud mengelak dan melarikan diri. Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika dia mengelak, lengan Thian Liong itu dapat mulur (memanjang) seperti karet dan tahu-tahu telah merampas lagi kitab dari tangannya! Thian Liong merasa gembira karena ternyata ilmu mengulur tangan sehingga memanjang satu meter lebih itu telah berhasil dia kuasai dan kini telah memperlihatkan hasilnya!

Pencuri itu marah sekali. Dia sudah bersiap untuk menyerang lagi, akan tetapi pada saat itu terdengar terlakan beberapa suara,

"Tangkap penjahat....!"

Mendengar teriakan-teriakan itu, si pencurl terkejut dan dia melompat Jauh dengan gerakan cepat sekall dan menghilang dalam kegelapan yang remang-remang. Thian Liong tldak mengejar karena kitab yang dlcuri itu telah dapat dirampasnya kembali. Dia segera melompat turun dari atas genteng kuil besar dan di bawah sudah berkumpul banyak hwesio, di antaranya terdapat Ki Sian Hwesio.

"Souw-sicu, apakah yahg terjadl? Kenapa tadi ada murid-murid yang berteriak tangkap penjahat?" tanya Kl Sian Hwesio, pelatih para murid Siauw-lim-pai itu.

"Suhu, tadi ada orang berpakaian serba hitam di atas genteng, bertandlng dengan Souw-sicu, maka kaml berteriak-teriak." kata seorang murid Siauw-lim-pai.

Tlba-tlba muncul Cu Slan Hwesio, wakil Ketua Slauw-lim-pal dan dia segera berkata,

"Souw-sicu, tadi pinceng mendengar suara ribut-ribut dan segera mengejar naik ke atas atap. Akan tetapi penjahat itu telah melarikan diri dengan cepat dan kebetulan pinceng bertemu dengan Cla Song, maka pinceng menyuruh dia untuk melakukan pengejaran. Apa yang telah dilakukan penjahat itu?"

"Dia memasuki kamar teecu dan mencuri Kitab Sam-jong Cin-keng, Susiok (paman guru). Teecu terbangun dan segera mengejarnya. Kami bertanding di atas atap dan teecu beruntung dapat merampas kembali kitab ini, akan tetapi dia mendengar suara ribut-ribut dan melarikan diri." kata Thian Liong sambil memperlihatkan kitab yang telah dapat dirampasnya kembali,

"Omitohud! Untung engkau dapat merampasnya kembali. Sekarang lebih baik jangan ribut-ribut dan jangan mengagetkan ketua, kita tunggu saja di ruangan ini sampai Cia Song kembali dari pengejarannya." kata wakil ketua itu dan mereka semua duduk di ruangan itu. Thian Liong menceritakan lagi peristiwa pencurian dalam kamarnya itu.

Tak lama kemudian, tiba-tiba tampak sosok bayangan orang berkelebat. Semua orang menoleh dan memandang dan ternyata yang datang itu, adalah Cia Song. Cu Sian segera bangkit berdlri, menyambut pemuda tampan dan gagah itu dengan pertanyaan,

"Bagaimana, Cia Song, berhasilkah engkau menangkap penjahat itu

Cia Song mengerutkan alisnya dan memandang kepada Thian Liong dengan menyesal. Kemudian dia berkata kepada sang wakil ketua.

"Sayang sekali, susiok, teecu tidak berhasil menangkapnya. Teecu memang dapat menyusulnya dan kami bertanding mati-matian. Ternyata penjahat itu lihai bukan main. Dengan mengerahkan seluruh kemampuan, teecu hanya berhasil merenggut topeng kain hitam yang menutupi wajahnya, akan tetapi dia melompat jauh dan menghilang dalam kegelapan pohon-pohon di luar kuil kita." Pemuda itu mengambil sehelai kain hitam dari saku bajunya dan menyerahkan kain itu kepada Cu Slan Hwesio.

Pendeta itu menerima kain hitam yang tldak terlalu lebar itu dan mengamatlnya. Hanya kaln blasa yang dlpergunakan untuk menutup muka dan kepala dengan dua lubang di bagian mata.

"Kalau begitu, engkau tentu telah melihat dan mengenal muka penjahat itu!" kata Cu Slan Hwesio girang.

Cia Song mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala.

"Sayang sekali tidak, susiok. Teecu dapat mgnyusulnya setelah berada di luar kull dan kaml bertandlng dl kegelapan bayang-bayang, pohon, lebih mengandalkan pendengaran daripada penglihatan. Ketika teecu berhasil merenggut lepas topengnya, teecu tidak dapat melihat mukanya dalam kegelapan dan dia cepat melarikan diri."

"Cia-twako, apakah dia seorang wanita?" tanya Thian Liong.

"Souw-sute (adik seperguruan Souw), kenapa engkau masih menyebut twako (kakak) kepadaku? Bukankah aku ini sekarang termasuk menjadi suhengmu?"

"Maafkan, suheng. Apakah pencuri tadi seorang wanita?" Pertanyaan ini diajukan Thian Liong karena dla teringat akan dua orang gadis, yaitu gadis berpakaian merah yang telah mencurl Kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat millk Kun-lun-pai yang belum dia ketahui namanya dan yang seorang lagi Ang-hwa Sian-li Thio Siang In yang juga berminat untuk pinjam Kitab Sam-jong Cin-keng.

Mendengar perkataan ini, Cia Song dan juga Hui Sian Hwesio memandang heran.

"Sudah kukatakan bahwa aku tldak dapat melihai mukanya di tempat gelap Souw-sute. Melihat kelincahan gerakannya, mungkin saja ia seorang wahita. Aku tidak tahu jelas. Bagaimana pendapatmu? Bukankah engkau juga sudah bertanding melawannya?"

Thian Liong menggeleng kepala dengan ragu. Dia Juga tidak dapat menentukan. Pencuri itu jelas lihai sekali, akan tetapi gerakannya dalam bersilat tidak sama dengan gerakan Siang In.

"Mengapa engkau menduga bahwa pencuri itu seorang wanita, Souw-sicu?" Hwesio itu masih menyebut Thian Liong dengan sebutkan itu karena dia merasa sungkan mengingat bahwa Thian Liong adalah murid dan juga utusan Tiong Lee Cinjin yang amat dihormatinya.

"Teecu hanya nienduga saja, susiok. Bolehkah teecu meminjam sebentar kain topeng itu?"

"Ini, slmpanlah. Engkau yang digapg-gu pencuri, blar engkau yang menyimpan topeng ini. Siapa tahu dari topeng ini kelak engkau akan dapat menemukan pencurinya." kata Cu Sian Hwesio sambil tersenyum dan menyerahkan kain itu kepada Thian Liong. Thian Liong menerirnanya dan tak lama kemudian Cu Sian Hwesio menyerukan kepada semua orang untuk kembali ke kamar masing-masing. Akan tetapi dia juga memerintahkan para murid untuk malam itu melakukan penjagaan dan perondaan secara bergilir.

Setelah para murid pergi dan di situ hanya tinggal Thian Liong, Cia Song dan Cu Sian Hwesio bertiga, pendeta itu bertanya kepada Cia Song.

"Cia Song, bagaimana hasilnya dengan usahamu mencari pemerkosa puteri Kwee-kauwsu itu? Sekarang sudah tiba waktu yang dijanjikan. Kalau pinceng tidak salah meng-hitung, pada hari esok tentu guru silat itu akan datang menagih janji."

"Ah, jangan-jangan...." Thian Liong menahan kata-katanya.
"Apa maksudmu, Souw-sicu?" "Maksud teecu, jangan-jangan pemerkosa dan pencuri itu sama orangnya!"

"Hemm, benar juga! Susiok, harap jangan khawatir. Teecu sudah melakukan penyelidikan dan sudah dapat menemukan jejak pemerkosa itu. Mungkin juga dia pencuri kitab tadi. Teecu pasti akan dapat menghadapkannya ke depan Kwee-kauwsu pada besok pagl. Sekarang juga teecu akan melanjutkan penyelidikan dan menangkap orangnya agar besok dapat teecu hadapkan kepada Kwee-kauwsu." kata Cia Song dengan suara mantap.

"Omitohud! Sukurlah kalau begitu. Akan tetapi.... dia.... dia bukan murid Siauw-lim-pai?" tanya pendeta itu agak khawatir.

"Bukan, susiok. Dia bukan murid Siauw-lim-pai, hanya saja dia agaknya dapat mencuri ilmu Lo-han-kun dan menggunakannya sehingga Kwee-kauwsu menyangka bahwa dia murid perguruan kita."

"Sukurlah. Pinceng dapat tidur nye-nyak malam ini." kata Cu Sian Hwesio dan mereka lalu berpisah. Hwesio itu dan Thlan Liong kembali ke kamar masing-masing sedangkan Cia Song keluar dari kuil untuk melacak pemerkosa yang d carinya.

Pagi hari itu keadaan, di Siauw-lim-si seperti biasa. Matahari pagi bersinar lembut dan hangat, mepghidupkan sega-la yang tampak. Para hwesio murid Siauw-iim-si juga sibuk dengan tugas pekerjaan mereka sehari-hari. Akan tetapi biar keadaan sama dengan pagi-pagi yang lalu, namun suasananya sungguh berbeda. Dalam hati para hwesio itu terda-pat kegelisahan. Semua orang tahu bahwa hari ini adalah hari yang dijanjikan bagi guru silat Kwee Bun To. Tiga puluh hari telah berlalu dan agaknya Cia Song, murid andalan Siauw-lim-pai itu agaknya belum juga dapat menangkap penjahat perperkosa puteri Kwee Bun To itu. Dan kafau sampai hari ini Cia Song belum juga dapat menyerahkan pemerkosa itu, tentu guru silat Kwee Bun To akan mengamuk dan membunuhl murld-murid Slauw-llm-pal! Karena itu, suaeana amat menegangkan hati dan blarpun para hwe-sio itu melaksanakan tugas mereka masing-masing dan tidak ada yang menyebut-nyebut urusan dengan Kwee Bun To namun diam-diam mereka sudah bersiap-siap menghadapi kalau-kalau guru silat itu akan mengamuk.

Matahari telah naik tinggi dan Cla Song yang diharap-harapkan kedatangannya tnasih belum juga tampak batang hi-dungnya. Cu Sian Hwesio dan pembantu-nya, Ki Sian Hweslo yang biasarya tenang itu kini juga mulal menjadi gelisah. Mereka sudah menanti di pendopo kuil besar, duduk menunggu kemunculan Cla Song.

"Kenapa Cia Song belum juga datang, suheng?" tanya Ki Slan Hweslo.

Cu Sian Hwesio menghela napas "Pinceng juga merasa heran. Malam tadi dia mengatakan bahwa pagi ini dia pastl akan datang membawa penjahat itu.''

"Bagaimana kalau Kwee-kauwsu datang dan menuntut?"

"Tenanglah, sute. Kita melihat bagaimaria nanti saja. Apapun yang terjadi akan pinceng hadapi." kata Ci Sian Hwesio.

"Mari kita menanti di dalam saja sambil bersamadhi menenangkan hati agar nanti kuat menghadapi apapun juga. Mereka berdua lalu masuk ke dalam kuil.

Tak lama kemudian suasana menjadi semakin menegangkan ketika terdengar orang berteriak dengan suara lantang sekali dan gemanya berkumandang di seluruh kompleks bangunan kuil Siauw lim.

"Heii! Para pimpinan Siauw-lim-pai! Hayo serahkan penjahat laknat itu kepadaku atau mulai hari ini aku akan membunuh seorang murid Siauw-lim-pai setiap hari!"

Pada saat itu Thian Liong sedang menerima petunjuk dari Hui Sian Hwesio mengenai jurus ke lima dalam kitab Sam-jong Cin-keng. Selama satu bulan ini dia baru berhasll menguasai empat jurus saja. Ketlka suara lantang itu berkumandang sampai ke dalam ruangan yang menjadi kamar sang ketua, Hul Sian Hwesio menunda pelajaran itu dan berkata kepada Thian Liong.

"Thian Liong, keluarlah dan llhat apa yang terjadi. Bantulah Siauw-lim-pai kalau terancam, akan tetapi jangan menggunakan kekerasan agar tldak menimbulkan permusuhan."

"Balk, suhu," Thian Liong lalu keluar darl ruangan itu dan menuju ke pendopo. Ketika tlba dl pendopo, dla melihat semua murld Siauw-Lim-pal sudah berkumpul dl sltu dan mereka semua tampak tegang. Cu Slan Hweslo dan Ki Sian Hweesio juga sudah berdirl dl pendopo.

Di bawah anak tangga pendopo Itu berdlrl seorang lakl-lakl beruala sekitar lima puluh tahun. Tubuhnya sedang saja, namun tegap dan tampak kokoh dan gagah. Di punggungnya tergantung sebatang pedang beronce biru. Dia tampak marah. Kumisnya yang tipis itu bergerak-gerak, matanya mencorong tajam ketika dla menyapu tempat itu dengan ge|andang matanya, mencarl-carl.

"Di mana dia, Cia Song yang telah berjanji sebulan yang lalu untuk menghadapkan keparat yang memperkosa puteriku itu? Hayo cepat suruh dla keluar menemuiku untuk mempertanggung-jawabkan janjinya kepadaku!"

Cu Sian Hwesio melangkah maju menuruni anak tangga dan berhadapan dengan Kwe Bun To. Dia merangkap tangan dl depan dada dan berkata dengan suara lembut,

"Omltohud, selamat datang, Kwee-kauwsu. Hendaknya dlketahuil bahwa sejak malam tadi Cia Song teleh pergl untuk menangkap. penjahat itu,. Menurut katanya, pagi ini dia akan menghadapkan penjahat itu kepadamu di slni. Harap kauwsu bersabar dan menanti kedatangannya."

"Hemm, sudah sebulan aku bersabar. Malam itu Cia Song sudah datang berkunjung dan mendengar keterangan anakku tentang peristiwa terkutuk itu dan dla mengulang janjinya dalam waktu sebulan dia akan menangkap penjahatnya dan menyerahkannya kepadaku. Apakah dla hanya pendusta besar?" Guru silat itu tampak marah sekall. Thian Liong menghampiri dan berdiri di dekat Ki Sian Hweslo, siap untuk membantu kalau guru silat itu mengamuk.

"Omitohud, tidak ada murid Siauw-lim-pai yang melakukan kejahatan, apa lagi memperkosa wanita dan tidak ada yang menjadi pendusta, Kwee Kauwsu. Pinceng harap engkau suka bersabar dan menunggu sejenak." kata Cu Sian Hwesio.

"Aku tidak mau bersabar lagi! Aku tidak mau menunggu lagi!" Guru silat itu membentak marah.

Pada saat itu terdengar teriakan dari luar kuil,

"Kwee-kauwsu, aku datang!" Para hwesio girang mengenal suara ini, suara Cia Song! Tak lama kemudian tampak pemuda itu berlari datang sambil menggandeng tangan seorang laki-laki yang usianya sekitar tiga puluh tahun. Pemuda itu bertubuh sedang, wajahnya bersih tidak berkumis atau berjenggot akan tetapl wajah itu tak dapat dlsebut tampan. Hldungnya pesek dan blblrnya tebal, matanya sipit sepertl terpejam. Setelah berlarl menggandeng tangan o" rang itu dan tiba di depan Kwee Bun To, Cia Song mendorong pemuda itu ke depan sehlngga orang itu jatuh berlutut di depan guru silat yang mengamatinya dengan sinar mata tajam.

"Inilah orang yang engkau cari itu, Kwee-kauwsu." kata Cia Song tegas.

"Terbuktilah sekarang bahwa pelakunya bukan murid Siauw-lim-pai!"

Orang itu berlutut dan tampak ketakutan sekali. Matanya yang sipit dia coba untuk dibelalakkan, dan tubuhnya gemetaran. Setelah mengamati beberapa lamanya, Kwee Bun To mengerutkan alisnya dan bertanya,

"Orang macam ini ....??" Lalu dia berkata kepada orang itu membentak,

"Siapa namamu?"

Akan tetapi orang itu tidak menjawab hanya memberi hormat dengan mengangguk-anggukan kepalanya.

"Hemm, dia gagu?" tanya Kwee Bun To.

"Tidak, Kwee-kauwsu, aku telah menotoknya!" Setelah berkata demikian, Cia Song lalu menotok tengkuknya dan orang , Itu terbatuk-batuk.

"Hei, siapa namamu?" kemball Kauw-su (guru silat) Kwe Bun To membentak.

"Na.... nama saya.... Giam Ti...." kata orang itu dengan suara gemetar.

"Dia mempunyai alias Hui-houw-ong (Raja Macan Terbang) dan menjadi kepala gerombolan di Bukit Angsa, Kwe-kauwsu." Cia Song menjelaskan. Kwee Bun To mengerutkan alisnya. Engkau sudah beristeri?" tanya guru silat itu ketus.

Orang yang bernama Giam Ti dan berjuluk keren itu diam saja, hanya mendekam seperti macan kelaparan.

"Plak!" Cla Song menampar pundaknya.

"Hayo jawab sejujurnya!"

Glam Ti meringis, agaknya tamparan itu terasa nyeri dan diapun mengangguk-angguk.

"Su....dah,... saya.... sudah beristerl...."

"jahanam busuk! Engkau sudah beristerl dan engkau berani memasuki kamar anakku, menotoknya lalu memperkosanya? Hayo jawab!" Kwee Bun To menghardlk.

"Saya.... saya...."

Cia Song menekan pundak orang itu.

"Hayo,mengaku, atau engkau ingin kusiksa lebth dulu?" Tekanan pundak itu mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa. Rasa jantung orang itu sepertl dltusuk ratusan batang jarum sehingga dia merintih lemah.

"Ya.... ya.... saya.... saya yang melakukan...perkosaan... itu....!"




"Keparat terkutuk!" Kwee Bun To menampar.

"Plakkkk!" tangan yang kokoh tegang itu menampar pipi. Giam Ti terpelanting dari tempat dia berlutut dan bibirnya yang tebal pecah berdarah. Dia mengaduh dan mencoba bangkit, akan tetapi Kwee Bun To kembali mengayun kaki menendang, mengenai dadanya.

"Dessss....!" Tubuh Glam Tl terjengkang dan dla muntah darah. Akan tetapl Thian Liong merasa heran mengapa guru sllat itu membatasl pukulan dan tendangannya. Kalau guru silat yang lihai itu menghendaki, sekali tampar saja kepala orang itu pasti akan pecah. Akan tetapi ternyata tamparan dan tendangan itu tidak membuat Giam Ti tewas dan ini merupakan bukti bagi Thian Liong bahwa guru silat itu sengaja tidak membunuh orang itu. Atau pemerkosa itu yang memiliki slnkang yang cukup, tinggi sehingga dia dapat melindungi dirinya dengan kekebalannya.

Tiba-tiba Thian Liong terkejut sekali ketika dia melihat Cia Song tiba-tiba menerjang maju dan mengayun tangan terbuka memukul ke arah kepala Giam Ti.

"Wuuuttt.... prakkk!" Tangan itu menghantam kepala Giam Ti. Orang itu terpelanting roboh dan tidak mampu bergerak lagi, tewas dengan kepala retak!

Kwee Bun To terbelalak. Agaknya dia juga terkejut sekali seperti Thian Liong. Juga Cu Sian Hwesio mengerutkan alisnya.

"Omitohud....! Cia Song, mengapa engkau lakukan itu? tegurnya.

"Cia-sicu, kenapa engkau membunuhnya?" Kwee Bun To juga menegur.

Cia Song menghela napas panjang.

"Susiok, maafkan teecu karena teecu tak dapat menahan amarah terhadap penjahat ini. Teecu merasa sakit hati karena dia melakukan perbuatan keji dan melempar fitnah kepada murid Siauw-lim-pai. Kwee-kauwsu, kenapa engkau menegur aku yang membunuhnya? Aku juga mendendam kepadanya dan bukankah engkau juga sedang menyiksanya untuk membunuhnya? Aku tidak suka melihat orang disiksa, kalau memang dia jahat dan hendak dihukum bunuh, segera lakukan saja dan tidak perlu menyiksanya. Itu terlalu kejam bagiku."

"Omitohud....! Bagaimanapun juga, ada benarnya pendapat Cia Song tadi. Menyiksa dulu sebelum dibunuh amatlah kejamnya. Kwe-kauwsu, sekarang pelaku kekejian itu sudah tertangkap dan sudah dihukum mati sehingga jelas bahwa di antara engkau dan kami tidak ada urus-an apapun. Harap engkau suka meninggalkan biara kami dengan damai dan sebagai seorang sahabat." kata Cu Sian Hwesio sambil memberi hormat kepada guru silat itu.

"Biarlah kami yang akan mengurus jenazah Giam Ti ini."

Kwe Bun To mengerutkan alisnya dan memandang kepada mayat kepala gerombolan itu.

"Memang urusan antara kita sudah beres dan ternyata murid Siauw-lim-pai tidak bersalah. Maafkan slkapku tadi. Akan tetapi, sungguh menyesal sekali bahwa Cia-sicu membunuh orang ini. Itu lancang dan tergesa-gesa namanya"

Cia Song melangkah maju menghadap guru silat itu.

"Maaf, Kwee-kauwsu. Bagaimana engkau dapat mengatakan aku lancang dan tergesa-gesa? Aku tidak membunuh dia karena kesalahannya kepadamu, melainkan aku membunuhnya karena dia melempar fitnah kepada Siauw-lim-pai! Dan aku tidak tergesa-gesa, karena aku membunuhnya setelah melihat engkau juga sedang menyiksanya dan hendak membunuhnya.

"Hemm, siapa bilang aku mau membunuhnya? Aku tadi hanya ingin menghajarnya, tidak membunuhnya."

"Akan tetapi mengapa? Bukankah dia .. dia telah menodai puterimu?"

"Justeru itulah! Kalau dia mati, lalu bagaimana dengan nasib anakku? Tadinya mauku agar dia mempertanggung-jawabkan perbuatannya dan mengawini anakku!'"

"Omitohud! Kenapa tidak engkau katakan sejak semula, Kwee-kauwsu? Kalau Cia Song tahu, pinceng yakin dia tidak akan membunuhnya'." kata Cu Sian Hwesio.

"Benar sekali. Ah, maafkan aku, Kwee-kauwsu. Siapa yang dapat mengira bahwa engkau akan mengambil dia sebagai mantu. Dia? Orang jahat terkutuk ini menjadi mantumu, menjadi suami nona Kwee Bi Hwa? Sungguh tidak patut orang macam dia mendapat kehormatan seperti itu! Sungguh sama sekali tidak pernah kusangka, maka maafkan aku, Kwee-kauwsu."

Kwee Bun To menghela napas panjang.

"Sudahlah, semua sudah terjadi. Agaknya memang nasib keluarga kami yang buruk. Selamat tinggal!" Guru silat itu lalu melangkah pergl, langkahnya loyo menunjukkan bahwa perasaan hatinya sedang gundah memikirkan nasib puterinya.

Setelah terjadinya peristiwa itu, Thian Liong masih tinggal di biara Siauw-lim selama dua bulan lagi. Sedangkan Cia Song telah meninggalkan Siauw-lim-pai untuk merantau dan melakukan tugas sebagai pendekar yang membela keadilan dan kebenaran, menentang yang jahat dan membela yang lemah.

Thian Liong membutuhkan waktu tiga bulan untuk mempelajari ilmu dari Kitab Sam-jong Cin-keng. Setelah melihat bahwa Thian Liong benar-benar sudah menguasai ilmu itu, Hui Sian Hwesio memanggilnya menghadap dan hwesio itu berkata,

"Souw Thian Liong, pelajaranmu telah selesai. Lega hati pinceng bahwa murid Tiong Lee Cin-jin telah menguasai ilmu dari kitab yang dia temukan. Dengan begini, selain dapat membalas budi kebaikan Tiong Lee Cin-jin yang telah mengembalikan kitab pusaka Siauw-lim-pai, juga Siauw-lim-pai telah membuktikan bahwa kami bukanlah partai yang serakah dan tidak pelit untuk membagi ilmu kepada sahabat baik."

"Akan tetapi sekarang teecu bukan orang luar, suhu, melainkan juga murid Siauw-lim-pai."

"Ha-ha, omitohud. Bagus sekali kalau engkau merasa demikian, Thian Liong, Memang, pinceng sudah mengakui engkau menjadi murid pinceng dan selanjutnya dalam sepak terjangmu, jangan lupa bahwa engkau selain murid Tiong Lee Cin-jin, juga murid Siauw-lim-pai. Kalau kelak engkau mempergunakan ilmu dari Sam-jong Cin-keng untuk melakukan perbuatan jahat, terpaksa pinceng sendiri yang akan mencari dan menghukummu.'"

"Peringatan dan nasihat suhu akan selalu teecu ingat dan laksanakan dengan baik."

"Pinceng yakln dan percaya kepadamu. Nah, sekarang, berangkatlah engkau melanjutkan perjalananmu dan sempatkan salam hormat pinceng kepada yang mulia Tiong Lee Cin-jin. Engkau pernah bercerita bahwa kitab pusaka Kun-lun-pai yang ditemukan gurumu dan yang harus kaukembalikan kepada Kun-lun-pai telah dicuri orang dari tanganmu. Pinceng anjurkan agar engkau cari kitab itu sampai dapat, Thian Liong. Karena itu merupakan tanggung Jawabmu dan agar jangan mengurangi arti kebaikan yang ditunjukkan oleh yang mulia Tiong Lee Cin-jin."

"Baik, suhu. Memang teecu sudah mengambil keputusan untuk mencari kitab itu sampai dapat dan tidak akan kembali kepada suhu Tiong Lee Cln-jin sebelum kitab Itu dapat teecu temukan, dan teecu serahkan kepada Kun-lun-pai."

Thian Liong lalu betpamit dari semua . Hwesio di biara itu dan meninggalkan Siauw-lim-si, berjalan kaki dan menggendong buntalannya.

* *

Kakek Itu telah berusia kurang lebih tujuh puluh tahun. Tubuhnya besar gendut dan tinggi. Biarpun usianya. sudah lanjut, tubuhnya masih sehat dan subur, juga wajahnya yang bundar gemuk itu belum dihias keriput. Kepalanya yang gundul itu memakai sebuah peci berwarna kuning dan jubahnya kunlng dengan kotak-kotak tnerah. Dari pakaiannya inl mudah diketahui bahwa dia adalah seo-rang pendeta Lama, yaitu pendeta Bud-dhis dari Tibet. Mengherankan sekaH melihat seorang pendeta Tibet berada di sebuah di antara puncak-puncak pegunungan Kun-lun. Bahkan sudah kurang lebih sepuluh tahun pendeta Lama itu bersem-bunyi di puncak Kun-lun-san. Pendeta Lama ini bukan laln adalah Jlt Kong Lama.

Sepertl sudah dlcerltakan di baglah depan kisah inl, Jit Kong Lama adalah seorang pendeta pelarlan darl Tibet. Karena melakukan penyelewengan, hidup bersenang-senang menuruti nafsu, dia terancam hukuman dari Dalai Lama dan terpaksa dia melarikan diri dar tidak berani kembali ke Tibet: Dia juga gagal untuk merebut kitab-kitab pusaka dari tangan Tiong Lee Cin-jin. Kemudian dia menyelamatkan Han Bi Lan yang berusia tujuh tahun dari tangan penculik anak itu, yaitu Ouw Kan, tokoh atau dukun dari Suku Uigur. Kemudian, dia mengambil Bi Lan sebagai muridnya dan sudah sepuluh tahun gadis itu menjadi rnuridnya. Dalam usianya yang sudah tua, Jit Kong Hwesio yang dulu hidup malang melintang mengandalkan kesaktiannya dan banyak mengalami suka duka dan pertentangan, merasa berubah hidupnya ketika bersama Bi Lian bersembunyi di puncak Kun-lun-san. Dia merasa tenteram dan damai, dan dia merasa amat sayang kepada Bi Lan.

Matahari telah condong ke barat. Burung-burung beterbangan pulang sarang Jit Kong Lama duduk di depan pondok kayu dan menatap ke depan, termenung. Hatinya merasa tidak enak sekali. Sudah tiga hari Bi Lan pergi meninggalkan pondok. Pamitnya hanya untuk bermaln-main di sekitar pegunungan Kun-lun-san. Dia merasa yakin bahwa muridnya itu tidak akan meninggalkannya tanpa memberita-hu. Karena itulah dia merasa tidak enak khawatir kalau-kalau muridnya itu meng-alami halangan. Memang, dia sudah menggembleng Bi Lan selama hampir sepuluh tahun. Dia telah mengajarkan semua ilmunya yang terampuh dan gadis yang kini berusia tujuh belas tahun itu kini telah menjadi seorang yang tangguh dan tidak sembarangan orang akan mampu mengalahkannya. Akan tetapi dia tahu bahwa betapapun lihainya, Bi Lan hanyalah seorang gadis muda yang kurang pengalaman, walaupun dia tahu bahwa muridnya itu memiliki kecerdikan yang luar biasa.

"Suhu.....! Aku datang.......'!" Tiba-tiba terdengar suara melengking dari jauh dan Jit Kong Lama tersenyum mengenal suara muridnya. Gadis itu telah menjadi begitu manja kepadanya, bahkan begitu akrabnya sehingga berani beraku dan berengkau kepadanya! Diapun menganggap gadis itu seperti anaknya sendiri yang tidak pernah dipunyainya.

Segera tampak Bi Lan berlarian seperti terbang mendaki lereng-lereng puncak terakhlr. Tak lama kemudian la sudah berdlrl di depan Jlt Kong Lama dengan senyumnya yang cerah dan manis. jit Kong Lama mendadak melihat segala, sesuatu menjadl cerah dan indah.

"Bi Lan, ke mana saja engkau selama tiga hari ini? Engkau membikin aku gelisah saja!" kakek itu menegur, akan tetapi sambil tersenyum lebar.

"Aih, suhu. Mengapa mengkhawatirkan aku? Aku bukan anak kecil lagi. Dan pula, tidak percuma selama ini aku berguru kepadamu! Aku dapat menjaga diri. Aku membawa kabar gembira, suhu. Aku menemukan sebuah kitab pusaka pelejaran silat yang langka, kuno dan ampuh sekali! Akan tetapi setelah kupenksa isinya, aku menjadi bingung. Bahasanya kuno banyak huruf yang tidak kumengerti. Karena itu, aku harap suhu suka membimbingku mempelajari ilmu silati itu."

"Eh? Kitab pusaka? Coba perlihatkan padaku!" kata Jit Kong Lama sambil ter-senyum dan mengira muridnya bicara berlebihan. Bi Lan mengambil kitab dari buntalannya dan menyerahkannya kepada gurunya.

Jlt Kong Lama menerima kitab itu dan membuka-buka lembarannya. Bi Lan berdiri memandang dan merasa glrang dan bangga melihat kakek itu membelalakkan mata dan tampak terkejut dan heran sekali.

"Omitohud....!" Saking kaget dan herannya, Jit Kong Lama mengucapkan pujian ini yang selama sepuluh tahun ini hampir terlupa olehnya.

"Ini adalah Kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, kitab pusaka milik Kun-lun-pai! Dari mana engkau mendapatkan kitab ini, Bi Lan? Engkau tidak mencurinya dari Kun-lun-pai, bukan?"

Bi Lan memandang gurunya dengan bibir cemberut manja.

"Aih, suhu. Aku tidak mencurinya, hanya meminjaiTi. Kalau aku sudah selesai mempelajarinya, pasti kukembalikan kepada Kun-luri-pai kalau memang kitab ini milik Kun-lun-pai."

"Kitab pusaka ini memang merupakan puaaka Kun-lun-pai yang amat lang-ka!" Kakek itu mengahgguk-angguk dan membalik-balikkan lembaran kitab itu.

"Sungguh pelajaran silat yang hebatl Sayang aku sudah terlalui tua untuk mempelajarinya."

"Aku mendapatkannya bukan untukmu, suhu, akan tetapi untuk aku sendiri. Asal suhu mau membimbingku dan memberi penjelasan, aku tentu akan dapat menguasai ilmu itu."

"Baiklah. Akan tetapi setelah selesai harus kau kembalikan. Kalau sampai Kun-lun-pai mengetahui bahwa engkau mengambil kitab pusaka mereka, engkau tentu akan dimusuhi dan.... wah, berat sekali kalau harus bermusuhan dengan sebuah partai persilatan sebesar Kun-lun-pai yang mempunyai banyak sekali orang-orang sakti!"

"Aku pasti akan mengembalikannya kelak, suhu. Sekarang, ajarilah aku!" .

Setelah menyimpan buntalan pakaiannya dalam kamar, mulailah Bi Lan dilatih oleh Jit Kong Lama menurut kitab itu. Mula-mula dia memberi petunjuk seperti yang tertulis di halaman pertama.

"Kitab ini mengandung ilmu silat tangan kosong yang disebut Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat atau singkatnya Ilmu Silat Berantai Lima Unsur utama, yaitu, air, api, logam dan kayu. Lima unsur inl mempunyai hubungan erat satu sama lain dan hubungan ini mengatur keseimbangan. Tanah mengalahkan air, air mengalahkan api, api mengalahkan logam, logam mengalahkan kayu dan kayu mengalahkah tanah. Juga kebalikannya, mereka saling menunjang. Kelimanya saling melengkapi sehingga mengatur keseimbangan dan kesempurnaan keadaan di bumi. Tanah berkedudukan di tengah, logam di utara, kayu di selatan, air di bawah dan api di timur. Tubuh kita merupakan alam kecil yang juga terikat pada hukum gerakan kelima unsur itu" Demikianlah, semalam suntuk Jit Kong Lama menjelaskan tentang Ngo-heng (Lima Unsur Pokok) kepada muridnya. Kemudian pada hari-hari selanjutnya dia mulai membimbing Bi Lan berlatih ilinu silat yang luar biasa dan yang menjadi pusaka perguruan Kun-lun-pai. Pada waktu itu, jarang ada murid Kun-lun-pai yang mengenal ilmu silat Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat karena kitab itu telah hilang seratus tahun lebih. yang lalu. Bahkan ketua Kun-lun-pai saat itu, Kui Beng Thaisu yang berusia tujuh puluh tahun, hanya menguasai tidak lebih dari tujuh bagian saja dari ilmu itu.

Demikianlah dengan amat tekun dan tldak mengenal lelah Bi Lan mempelajari ilmu silat dari kitab pusaka itu. Saking tekunnya, setiap hari ia berlatih tanpa mengenal waktu sehingga waktu meluncur dengan cepat tanpa ia sadari dan tahu-tahu setahun sudah berlalu sejak ia mempelajari ilmu silat itu. Setelah setahun berlatih keras, barulah. Ia berhasil menguasal. seluruh ilmu silat itu.

Pagi hari itu Jlt Kong Lama sudah bangun dan mandi sehingga dia tampak segar. Namun ada sesuatu dalam sinar matanya yang mengandung kemuraman. Wajah bulat gemuk yang biasanya selalu dihias senyum itu pagi ini tampak lesu. Dia duduk menanti Bi Lan yang pagi-pagi sekali tadi sudah mandi dan sekarang sedang sibuk di bagian belakang pondok kayu itu menyiapkan minuman pagi untuknya. Akhirnya Bi Lan memasuki ruangan depan dan meletakkan sebuah poci air teh dan cawannya ke atas meja sambil berkata,

"Minumlah, suhu, selagi air teh ini masih panas." Dara itu kemndian hendak kembali ke belakang.

"Bi Lan, duduklah, aku ingin bicara denganmu." kata jit Kong Lama.

Bi Lan menahan langkahnya, lalu kembali dan duduk di seberang meja. la memandang wajah gurunya dan baru melihat wajah yang muram dan kehilangan kecerahannya itu.

"Eh? Ada apakah, suhu? Suhu tampaknya sedang memikirkan sesuatu dan merasa tidak gembira." tegurnya.

"Bi Lan, engkau telah berhasil menguasai Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, rnaka stidah sepahtasnya dan tiba saatnya bagimu untuk mengemballkan kitab pusaka itu kepada Kun-lun-pai."

"Ah, tentu saja, suhu! Memang akupun sedang memikirkan hal itu dan besok atau lusa aku akan mengembalikarinya ke sana. Akan tetapi hal itu tidak perlu disedihkan, bukan? Kitab pusaka itu memang hak milik mereka dan akukan sudah menguasai seluruhnya?"

"Aku tidak menyedihkan hal itu, Bi Lan, Akan tietapi tahukah engkau babwa engkau sudah sebelas tahun mempelajari ilmu dariku?"

Bi Lan mengangguk.

"Aku tahu, suhu. Setahun yang lalu, ketika aku belum menemukan kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, aku sudah sepuluh tahun berada di sini bersamamu dan sudah selesai belajar."

"Kau tahu apa artinya itu? Apakah engkau lupa akan janjiku kepadamu dulu?"

"Aku tidak lupa, suhu. Suhu akan mengajarku selama sepuluh tahun. Karena itulah, setahun yang lalu aku sengaja turun dari sini dan selama tiga hari bermain-main di sekitar Kun-lun-san. Kemudian aku mendapatkan kitab itu dan ingin sekali mempelajarinya sehingga aku tinggal setahun lagi di sini. Berarti aku sudah sebelas tahun tinggal bersama suhu. Aku tahu bahwa sudah tiba saatnya aku harus turun gunung, mencari orang tuaku, membalaskan kematian Nenek Lu-ma yang dibunuh oleh tokoh Uigur yang bernama Ouw Kan seperti yang suhu pernah ceritakan, dan juga tidak lupa mencari musuh suhu yang bernama Tiong Lee Cin-jin untuk membunuhnya. Akan tetapi, mengingat bahwa suhu sekarang telah begini tua, bagaimana aku tega untuk meninggalkanmu hidup seorang diri disini?"

Wajah yang bulat itu kini berseri kembali, mulutnya tersenyum dan Jit Kong Lama menjulurkan kedua tangannya di atas meja, menangkap tangan Bi Lan dan menggenggamnya.

"Terima kasih, Bi Lan. Tidak percuma aku dahulu menyelamatkanmu, tidak sia-sia aku mendidikmu selama sebelas tahun. Aku telah mendapatkan hadiah yang teramat besar dan tak ternilai harganya, hadiah yang mendatangkan kebahagiaan yang tak pernah kurasakan selama, hidupku, yaitu kasih sayangmu, Bl Lan. Selama ini engkau menyayangku seperti ayahmu sendiri, memasak, mencuci pakaian untukku. Engkau begitu manis, seperti matahari dalam hidupku. Ah, terima kasih Bi Lan." Sepasang mata kakek itu menjadi basah.

Bi Lan tersenyum.

"Aih, suhu ini, ada-ada saja! Sudah tentu saja aku sayang kepada suhu! Suhu bukan hanya menjadi guruku, juga menjadi pengganti orang tuaku, suhu mendidikku dengan penuh kasih sayang, tentu saja aku sayang kepada suhu. Karena itu pula aku tidak tega meninggalkanmu, suhu."

"Tidak, Bi Lan. Aku selama sebelas tahun ini juga belajar dengan tekun, belajar untuk menguasai nafsu-nafsu keinginanku sendiri, keinginan yang mengejar kesenangan hati bagiku sendiri. Nafsu keinginan untuk menang sendiri inilah yang dulu menyeretku ke dalam kesesatan sehingga terpaksa aku harus meninggalkan Tibet. Dan sekarang aku juga telah tamat belajar seperti engkau, Bi Lan. Aku menemukan jawabannya bahwa hanya dengan kasih sayang murni terhadap segala sesuatu yang tampak dalam dunia ini, terutama terhadap sesama manusia, maka aku akan mampu menundukkan nafsu-nafsuku sendiri. Dengan mengesampingkan kepentingan pribadi dan mendahulukan kepentingan orang lain, maka nafsu dalam diriku akan menjadi jinak.

Aku tidak mau menuruti keinginan hati sendiri dengan menahanmu di sampingku. Tidak, engkau harus turun gunung engkau harus mencari orang tuamu dan menentang si jahat Ouw Kan. Dan engkau tidak perlu lagi mencari Tiong Lee Cin-jin karena akulah yang bersalah terhadap dia. Pergilah, Bi Lan, pergilah tinggalkan aku dan doa restuku selalu menyertaimu." Kakek itu melambaikan tangan ke arah luar pintu pondok.

"Akan tetapi, bagaimana aku akan tega meninggalkanmu seorang diri di sini, suhu? Suhu sudah tua, siapa yang akan membuatkan air teh? Siapa yang akan memasakkan makanan? Siapa yang akan mencucikan pakaian suhu dan siapa yang akan merawat dan membersihkan isi rumah dan halaman?"

Kakek itu tersenyum.

"Jangan khawatir, aku dapat melakukannya sendiri. Dahulu, sebelum engkau menjadi muridku, akupun hidup seorang diri."

"Akan tetapi suhu sekarang sudah tua sekali. Ah, begini saja baiknya, suhu.. Mari suhu ikut bersama aku pergi ke Lin-an. Di kota raja itu orang tuaku memiliki rumah yang cukup besar. Suhu dapat tinggal bersama kami di sana!"

Jit Kong Lama menggeleng kepala sambil tersenyum.

"Tidak, Bi Lan. Aku harus kembali ke tempat asalku."

"Apa? Ke Tibet? Akan tetapi suhu akan dimusuhi di sana!" kata Bi Lan yang sudah pernah mendengar cerita gurunya bahwa gurunya seorang pelarian dari Tibet.

Jit Kong Hwesio tersenyum lebar.

"Sekarang aku mengerti bahwa aku tidak akan dapat melarikan diri dari jangkauan karma. Aku tahu bagaimana untuk menghadapi para pendeta Lama di Tibet, yaitu dengan kasih sayang! Aku sudah tua, kalau mereka ingin membunuhku, silakan. Akan tetapi aku tetap akan menghidupkan kasih sayang di dalam hatiku. Sudahlah, Bi Lan. Keputusanku sudah tetap. Engkau harus turun gunung dan jangan meinikirkan aku lagi. Tugasmu di masa depan masih banyak sekali dan jauh lebih penting daripada memikirkan tentang diriku."

Bl Lan tidak dapat membantah lagi. la lalu membungkus semua pakalannya dalam sebuah buntalan. la tidak membawa senjata karena memang tidak memiliki senjata. Gurunya mengajarkan ilmu-ilmu silat tinggi sehingga benda apapun di tangannya dapat dipergunakannya sebagai senjata, terutama sekali sepotong kayu yang menjadi senjata tongkat. Setelah siap berkemas, ia menghampiri gurunya. Mereka berdirl berhadapan di depan pintu pondok karena kakek itu mengantar muridnya sampai di depan pintu. Mereka saling berhadapan.

Bi Lan memandang wajah yang bulat dan yang tersenyum itu, namun ia melihat mata Itu demikian sayu.

"Selamat tinggal, suhu." katanya lirih.

"Selamat jalan, Bi Lan. Semoga hidupmu selalu bahagia, muridku.... anakku...." Bi Lan mengeraskan hatinya namun tidak dapat menahan keharuan hatinya.

"Suhu....!" la berseru dan merangkul kakek itu. Jit Kong Lairta juga merangkul Bi Lan dan mengelus kepala gadis itu dengan tangannya.

"Berangkatlah, anakku, jangan memperlihatkan kelemahan hati seperti ini." katanya menghibur. Bi Lan menangis sejenak, terisak di dada gurunya. Kemudian ia menguatkan hatinya dan tiba-tiba ia teringat betapa selama ini ia bersikap akrab dan tidak menghomati gurunya, maka ia lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki gurunya.

"Suhu...." ia merangkul kedua kaki gurunya.

Jit Kong Lama mengejap-ngejapkan mata untuk mengusir dua titik air mata , dari pelupuk matanya. Kemudian dia membungkuk, memegang kedua pundak gadis itu dan menariknya berdiri. Kakek Itu menepuk-nepuk pundak Bi Lan dan tersenyum lebar.

"Aih, engkau membikin aku malu saja mempunyal murid yang cengeng! Hei Bi Lan, sama-sama menggerakkan mulut dan mengeluarkan suara, mengapa tidak tertawa saja daripada menangis? Tertawa lebih enak dilihat dan didengar, ha-ha-ha-ha"

Bi Lan segera tersenyum. Biasanya, setiap hari, gurunya ini memang selalu berkelakar dan tertawa. Kedua orang Itu tertawa dan aneh sekall melihat mereka tertawa dengan kedua mata basah.

"Selamat tinggal, suhu, selamat berpisah. Aku sayang kepadamu, suhu!"

"Selamat jalan, selamat berpisah. akupun sayang kepadamu, Bi Lan!"

Bi Lan lalu melompat pergi. Pada sebuah tikungan, ia menoleh dan melambaikan tangan dibalas oleh gurunya vang masih tertawa!

Setelah Bi Lan pergi meninggalkahi pondok kayu di sebuah di antara puncak-puncak Kun-lun-san, Jit Kong Lama juga meninggalkan pondok itu. Kakek ini tidak membawa apa-apa kecuali tongkat panjang berkepala naga. Dia menurunt puncak dan menuju ke barat karersa dia inengambil keputusan untuk kembali ke Tibet, siap menyambut apapun yang akan menimpa dirinya.

Pada sore harinya setelah Jit Kong Lama pergi, muncul seorang laki-lakl berusia kurang lebih empat puluh tahun, berkepala gundul dan memakai peci kuning, berjubah pendeta Lama dan membawa sebatang pedang di pungungnya. Pendeta Lama ini bertubuh kekar, wajahnya penuhbrewokj ,dan matanya menyeramkan, mencorong seperti mata harimau. Mulut dan matanya menibayahgkan keke-rasan hati. Dia menendang daun pintu pondok sampai jebol, lalu masuk dan memeriksa ke dalam pondok itu. Tak lama kemudian dia keluar lagi, bersungut-sungut karena tidak menemukan seorangpun di sana. Dia lalu mengamuk. Kedua kakinya menendangi pondok kayu itu. Terdengar suara hiruk pikuk dan pondok kayu itupun ambruk. Tihang-tihang kayunya patah-patah. Atapnya ambruk dan rata dengan tanah. Setelah melampias-kan kemarahannya kepada pondok kosong itu, diapun segera memutar tubuh me-ninggalkan pondok lalu menggunakan ilmunya berlari cepat sekali menuju ke markas. Kun-lun-pai.

Sementara itu" menjelarig tengah hari, para murld Kun-lun-pai laki maupun wanita, sedang sibuk bekerja. Ada yang bekerja dalam kompleks perkampungan Kun-lun-pai, ada pula yang bekerja di ladang. Seperti biasa, lima orang murid laki-laki duduk di gardu penjagaan di pintu gerbang Kun-lun-pai.

KISAH SI NAGA LANGIT JILID 12
Pada siang hari itu, Hui In Sian-kouw, Ketua Kun-lun-pai bagian wanita datang berkunjung ke kuil induk dan mengadakan percakapan dengan Kui Beng Thaisu, Ketua umum Kun-lun-pai yang menjadi suhengnya. Hui In Sian-kouw se-perti biasa melaporkan keadaan para mu-rid wanita, dan menceritakan bahwa sumoinya (adik perempuan seperguruannya.) Biauw In Suthai yang menjalani hukuman prihatin di pondok pengasingan tekun bersamadhi. Sudah setahun leblh Biauw In Suthai dan menurut hukumannya, ia masih harus berprihatin di pondok pengasingan itu selama dua tahun lagi.

"Biarlah, Biauw In sumoi memang membutuhkan itu untuk dapat melunakkan kekerasan hatinya yang luar biasa.

Mudah-mudahan saja sekali ini usahanya berhasil." kata Kui Beng Thaisu sambil mengelus jenggotnya yang panjang dan putih.

"Akan tetapi, apakah kedua orang muridnya itu belum juga pulang?"

Hui In Siankouw menghela napas dan menggeleng kepalanya.

"Kasihan Kim Lan dan Ai Yin. Sudah setahun lebih Kim Lan pergi mencari Souw Thian Liong. Bagaimana mungkin ia akan mampu membunuh Thian Liong, biar ia dibantu Ai Yin sekalipun? Tingkat kepandaian Thian Liong jauh lebih tinggi."

"Ya, memang kasihan mereka itu menjadi korban kekerasan hati guru mereka. Akan tetapi yang pinto (aku) herankan, mengapa sampai sekarang Thian Liong belurn JugaJ datang ke sini menyerahkan kitab pusaka kita? Apakah dia belum berhasil menemukan kitab yang 'katanya dicuri orang itu?"

"Pinni (aku) juga heran, suheng. Menurut penglihatanku, murid Tiong Lee Cin-jin itu bijaksana dan dapat dipercaya sepenuhnya. Akan tetapi sampai kini dla belum juga datang. Mungkin pencuri kitab itu lihai sekali sehingga dia belum dapat menemukannya, suheng."

Pada saat itu, tiba-tiba seorang murid Kun-lun-pai memasuki ruangan itu dan melihat bahwa Kui Beng Thaisu dan Hui In Sian-kouw sedang duduk bercakap-cakap, dia segera berlutut.

"Mohon ampun, losuhu, lo-suthai, kalau teecu mengganggu...." katanya gagap. Wajah murid berusia tiga puluhan tahun ini tampak pucat.

"Tenanglah dan bicara dengan jelas, Apa yang terjadi maka engkau segelisah ini?" tanya Kui Beng Thaisu.

"Di luar pintu gerbang datang seorang pendeta Lama yang berkeras ingin masuk untuk bertemu dengan pimpinan Kun-lun-pai. Teecu berlima melarangnya dan ingin melapor lebih dulu ke dalam, akan tetapi dia memaksa dan merobohkan teecu berlima. Dia memaksa masuk dan kini dia dihadapi ketiga suhu di pekarangan depan."

"Hemm, seorang pendeta Lama? Mengapa seorang pendeta Lama datang membawa kekerasan? Aneh sekali! Mari, sumoi, kita melihat ke sana!"

Hui In Sian-kouw mengangguk dan keduanya segera keluar diikuti murid yang melapor tadi. Setelah tiba di depan beranda, mereka melihat seorang yang ber-kepala gundul dan berpakaian seperti pendeta Lama berusia empat puluh tahun lebih, tubuhnya kekar mukanya brewokan dan kulitnya coklat gelap seperti kulit orang India, sedang dikeroyok oleh tiga orang tosu (pendeta To) yang menjadi guru-guru pelatih para murid Kun-Lun-pai bagian pria. Tiga orang sute termuda dari Kui Beng Thaisu yang berusia kurang lebih lima puluh tahun itu masing-masing menggunakan sebatang pe-dang dan ketiganya menyerang pendeta -Lama itu dengan Ilmu pedang Kun-lun-pal yang dahsyat, yaitu Tian-lui Kiam-sut (Ilmu Pedang Kilat Guntur). Akan tetapi, pendeta Lama itu hanya menggunakan kedua ujung bajunya yang longgar dan panjang uhtuk melawan. Kedua ujung bajunya itu menyambar-nyambar dan ftiendatangkan angtn dahsyat yang kuat sekall sehingga terdengar suara berdesir-desir.

Ketika pendeta Lama itu melihat munculnya Kui Beng Thaisu dan Hui In Sian-kouw, dia secara tiba-tiba mengebutkan kedua ujung lengan bajunya ke arah tiga orang pengeroyoknya. Tiga orang tosu itu cepat menyambut dengan pedang mereka.

"Wuuuuttt.... plak-plak-plak....!" Ttga orang tosu itu terjengkang dan terhuyung ke belakang ketika pedang mereka bertemu dengan ujung lengan baju.

!"Siancai.....i Kalian berttga mundur-, lah, sute. Sungguh tidak patut menyam-but kunjungan rekan dari Tibet dengan pedang di tangan!" kata Kui Beng Thai-su yang berdlrl di atas tangga bersnda itu. Tiga orang sutenya segera 'mundur dan berdiri dt bawah tangga, menantl perintah.

Pendeta Lama ttu tersenyum mengejek memandang kepada Kui Beng Thaisu dan Hui In" Siankouw.

"Kami bukan rekan kalian!"

Kui Beng Thaisu berkata hormat namun tegas,

"Sobat. klta sama-sama bertugas untuk mengajarkan kebaikan dan menunjukkan jalan kebenaran kepada manusia, maka kita adalah rekan. Mengapa engkau mengatakan bahwa engkau bukan rekan kami?"

"Hemm, dengan siapakah aku berhadapan? Apakah kalian berdua ini yang menjadi pirnpinan Kun-lun-pai?" tanya pendeta Lama itu.

"Perkenalkan. Pinto adalah Kui Beng Thaisu, ketua umum Kun-lun-pai dan ini adalah sumoi Hui In Sian-kouw, ketua bagian wanita. Siapakah engkau, sobat?"

"Aku berjuluk Gwat Kong Lama dari Tibet,! utusan istimewa dari Yang Mulia Dalai Lama di Lhasa."

"Siancai....! Kiranya engkau adalah utusan istimewa dari Dalai Lama! Kami merasa terhormat sekali menerima kunjunganmu." kata Kui Beng Thaisu.

"Hemm, Kui Beng Thaisu, kalian mengaku mengajarkan kebaikan dan menunjukkan jalan kebenaran kfepada manusia, akan tetapi apa yang kalian ajarkan' itu tidak cocok dengan perbuatan kalian sebagai pimpinan Kun-lun-pai!"

"Gwat Kong Lama!" bentak Hul In Sian-kouw, kehilangan kesabaran.

"Kalau kedatanganmu ini bermaksud baik, tidak semestinya engkau mengeluarkan kata-kata celaan tanpa bukti itu! Pergilah dari sini, Kami tidak suka berurusan dengan orang kasar sepertimu!"

"Hemm, kalian menyangkal? Kalau telah menyembunyikan seorang pendeta Lama yang telah bertahun-tahun menjadi buruggn kami. Yang Mulia Dalai Sama mengutas aku untuk menangkap buruan itu dan menurut penyelidikanku, dia bersembunyi di Kun-lun-sah. Kemarin sore aku menelusuri pondoknya di sebuah puncak pegunungan Kun-lun ini, akan tetapit dla telah kabur. Bukankah itu berarti bahwa Kun-lun-pai sengaja melindungi buronan kami? Hayo cepat akui di mana adanya Jit Kong Lama, buruan kami Itu!"

"Sial ....!" seru Kui Beng Thaisu.

"Kami tidak mengenal Jit Kong Lama, tidak tahu bahwa dia tinggal di daerah Kun-lun-san. Kami juga tidak tahu sekarang dia berada di mana."

"Gwat Kong Lama, tuduhanmu sungguh kasar. Kami memang tidak tahu, akan tetapi andaikata kami tahu juga, tidak akan kami beritahukan kepadamu yang bersikap sekasar ini!" kata Hui In Sian-kouw dengan hada suara marah.

Mendengar ini, Gwat Korig Lama memandang dengan mata mencorong kepada Hui In Sian-kouw.

"Bagus, kalau begi-tu aku akan menggeledah seluruh peru-mahan Kun-lun-pai dan akan, mencarl sendiri. Aku yakin dia kalian sembunyikan di sini!" Setelah berkata demikian, Gwat Kong Lama melangkah lebar hendak memasuki kuil besar. Akan tetapi cepat tubuh Hui In Sian-kouw berkelebat dan wanita berusia enam puluh satu tahun ini telah menghadang di depan pendeta Lama itu.

"Berhentl!" bentaknya.

"Siapapun tidak boleh memasuki perkampungan kami tanpa ijin'"

"Ho-hp, bagus sekali! Aku memang ingin sekali melihat sampai di mana kehebatan ilmu kepandalan para pimpinan Kun-lun-pai. Cabut senjatamu Hui In Sian-kouw dan mari kita bertanding untuk menentukan siapa di antara kita yang lebih unggul. Kalau aku nienang, aku akan menggeledah perkampungan Kun-lun-pal inl. Sebaliknya kalau aku kalah, aku akan pergi tanpa banyak cakap lagi."

"Gwat Kong Lama, kami tidak pernah bermusuhan dengan para pendeta Lama di Tibet, karena itu pinni tidak ingin rnenggunakan senjata untuk bertanding. Cukup dengan tangan kosong saja untuk membuktikan siapa di antara kita yaog lebih benar."

"Bagus! Engkau hendak mengandalkan kun-hoat (ilmu silat) dari Kun-lun-pai? Mari, kita lihat siapa yang lebih tangguh. Pendeta Lama berkulit' kehitaman Itu memasang kuda-kuda dengan berdirl dengan kedua kaki berdiri di atas ujung jari dan kedua tangan menyembah di depan dada.

Hui In Siankouw juga memasang ku-da-kuda ilmu silat Kun-lun-pai dengati mengembangkan sedikit kedua kaki dan kedua tangannya dikembangkan lebar dl depan dan belakang tubuhnya.

"Hui In Siankouw, aku telah siap. Mulailah!" tantang Gwat Kong Lama.

"Engkau adalah tamu, silakanf mulai dulu!" kata Hui In Siankouw.

"Baik, lihat seranganku!" Lama itu berseru dan tiba-tiba dia sudah menerjang maju, kedua tarigannya bergerak cepat melakukan serangan beruntun dari kanan kiri. Hui In Sian-kouw adalah ketua Kun-lun-pai bagian wanita, tehtu sa-ja ilmu silatnya sudah matang dan tinggi. Dengan gerakan cepat ia Wengelak ke belakang dan memutar- tub.(A untuk balas menyerang. Akan tetapi pendeta Lama itu telah menyusulkan tendangan bertubi-tubi dengan kedua kakinya. Kem-bali Hui In Sian-kouw bergerak lincah untuk mengelak. Setelah mendapat kesempatan melepaskan diri dari kurungan serangan beruntun lawannya, ia membalas dengan serangan tangan kirinya yang menusuk ke arah lambung dengan jari-jari, tangan terbuka.

"Syuuuttt .. plakk!" Tubuh Hui In Sian-kouw terdorong ke belakang ketikal serangannya itu ditangkis oleh lawan. Tahulah ia bahwa lawannya memiliki tenaga sinkang yang amat kuat. Terdengar pendeta Lama itu tertawa mengejek danj kini dia menerjang dengari dahsyat dan ganas sekali. Pukulan dan tendangan bertubi-tubi mendesak Hul In Sian-kouw sehingga ia tidak mampu membalas. Akan cetapi, wanita ini mengerahkan ginkangnya (ilmu meringankan tubuhnya) dan tubuhnya berkelebatan menjadi bayang-bayang yang dengan cepat dapat menghindarkan dlri dari semua serangan Gwat Kong Lama. Dengan sendirinya Hui In Sian-kouw terdesak terus oleh lawannyal yang sering tertawa mengejek. Akan tetapi karena Hui In Sian-kouw memilikl ginkang yang istimewa, piaka betapa gencar dia mendesaknya, belum juga ada pukulan atau tendangan yang dapat mengenai sasaran. Gwat Kong Lama merasa seolah-olah dia menyerang sebuah bayang-bayang saja! Dia menjadi marah dan penasaran. Dia mulai memperhati-kan gerakan Hui In Sian-kouw yang demikian ringan dan tahulah dia ilmu silat apa yang mendasari gerakan pendeta wanita itu. Maka tiba-tiba Gwat Kong La-ma mengubah gerakannya dan dia mein-^ bentak nyaring.

"Sambutlah ini!"

Hui In Sian-kouw terkejut sekali ketika menghadapi serangan yang seperti menyambung gerakannya sendiri, dan pada dasarnya menutup semua gerakannya. Serangan dahsyat menyambar dan ketika dia menghindar dengan elakan cepat tahu-tahu tangan pendeta Lama itu telah mengancam pelipis kirinya.'

Kui Beng Thaisii, ketua Kun-lun-pai yang sudah berusia lebih dari tujuh puluh tahun terkejut. Sejak tadi dia menonton pertandingan itu hatinya merasa lega karena dia merasa yakin bahwa gin-kang (ilmu meringankan tubuh) sumoinya cukup tangguh untuk dapat menghindarkan diri dari ancaman serangan pendeta Lama itu. Akan tetapi dla terkejut ketika melihat perubahan gerakan Gwat Kong Lama. Biarpun hanya tinggal lima atau enam bagian saja dari ilmu silat pusaka Kun-lun-pai itu yang masih diingatnya, namun dia tahu bahwa pendeta Lama itu kini menyerang sumoinya dengan ilmu silat Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat! Pa-dahal kitab itu sudah lama hilang dari Kun-lun-pai dan setahun yang lalu, murid Tiong Lee Cin-jin yang bernama Souw Thian Liong itu datang dan mengatakan bahwa sebetulnya dia diutus suhunya untuk mengembalikan kitab yang hi-lang itu dan yang ditemukan Tiong Lee Cin-jin dalam perjalanannya ke barat, akan tetapi bahwa kitab itu hilang, ada yang mencurinya. Kini tiba-tiba muncul seorang pendeta Lama yang menyerang sumoinya dengan menggunakan jurus ilmu silat Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat! Tentu saja Hui In Sian-kouw terdesak karena ilmu itu merupakan dasar dari ilmu-ilmu perguruan Kun-lun-pai sehingga seolah dasar gerakan pendeta wanita itu tertutup atau mendapatkan imbangan dari gerakan pendeta Lama bermuka brewok itu.

"Pergilah!" tiba-tiba Goat Kong Lama membentak, tangan kanannya mendorong dan biarpun Hui In Sian-kouw sudah cepat mengelak, namun tetap saja pundak kirlnya terkena dorongan itu dan tubuh pendeta wanita ini terhuyung ke belakang dan untung saja mempunyai gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat sehingga sebelum roboh terjengkang ia sudah dapat berjungkir balik tiga kali ke belakang sehingga tidak sampai jatuh. Wajahnya menjadi pucat dan dengan jujur ia merangkap kedua tangan depan dada dan berkata lirih.

"Siancai....! Aku mengaku kalah." Kui Beng Thaisu menghampiri pendeta Lama itu.

"Goat Kong Lama, engkau suqgguh keterlaluan. Tidak malu melawan kami dengan llmu kami sendlri yang kitabnya hilang."'

"Tidak perlu banyak blcara lagi, Kul Beng Thaisu. Aku hanya akan menggeledah dan mencari kalau-kalau kalian menyembunyikan orang yang kucari itu dl dalam kuilmu.

"Hemm, jangan harap engkau akan dapat menghina pergunlan Kun-lun-pai selama pinto (aku) masih berada di sini!" Kui Beng Thaisu yang biasanya penyabar itu kini berkata dengan muka merah karena pendeta Lama ini agaknya sama sekali tidak percaya kepadanya dan h^n-dak memasuki kuil tanpa ijin yang ber-arti suatu pelanggaran dan penghinaan.

"Kalau begitu, terpaksa akupun harus merobohkanmu, Kui Beng Thaisu!" kata pendeta Lama itu dan kedua orang pendeta itu sudah siap untuk saling serang. Akan tetapi pada saat itu terdengar su-ara lembut namun nyaring berwibawa.

"Tahan! locianpwe Kui Beng Thaisu, silakan locianpwe (orang tua gagah) mundur. Akulah lawan pendeta asing ini!" Sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang gadis cantik berpakaian merah muda telah berdiri di depan Goat Kong Lama.

Melihat bahwa yang datang hanyalah seorang gadis yang masih muda, paling banyak delapan belas tahun usianya, tentu saja Kui Beng Thaisu tidak percaya bahwa gadis semuda ini akan mampu menandlngi Goat Kong Lama yang selain memillkl tingkat kepandaian tinggi, juga mcmiliki banyak pengalaman. Bahkan sumoinya saja tidak mampu menandinginya, apa lagi gadis semuda ini. Selain itu, dia tidak mengenal gadis asing ttu, bagaimana dia dapat membiarkan gadis itu mencampuri urusan Kun-lun pai dengan pendeta Lama itu.

"Nona, terima kasih atas pembelaanmu. Akan tetapi, harap engkau murdur dan jangan mencampuri urusan Kun-lun-pai yang membela diri terhadap desakan Gwat Kong Lama Inl. Kaml sungguh akan merasa amat menyesal kalau sampal engkau sebagai orang luar terluka atau cldera karena membela Kun-lun-pai." kata pendeta ketua Kun-lun-pai itu deingan suara lembut.

"Loclanpwe, maafkan aku. Sesungguhnya masih terhltung cucu murid locianpwe sendirl. Aku sengaja datang untuk menghadap loclanpwe dan memperkenalkan dirl. Akan tetapi aku tadl melihat pendeta Lama inl menyerang Kun-lun-pai, karena itu aku harus menandinglnya. Locianpwe saksikan saja, aku pasti akan mempergunakan ilmu silat Kun-lun-pai dan tidak berani mempergunakan ilmu silat lain." Gadis itu berkata lantang. Gadis ini bukan lain adalah Han Bi Lan. (Seperti kita ketahui, Bi Lan berpisah dari gurunya dan oleh gurunya ia diharuskan merigembalikan kitab puSaka Kun-lun-pai, yaitu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang dulu, setahun yang lalu dicurinya dari buntalan pakaian Thian Liong. Kini la telah mempelajari dan menguasal ilmu itu sepenuhnya. Ketika tadi ia datang ke Kun-lun-pai ia sempat menyaksikan kunjungan Goat Kong Lama. Melihat Gwat Kong Lama mengalahkan Hui In Sian-kouw dengan menggunakan jurus-jurus dari Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, ia merasa penasaran sekali. la merasa bersalah. Karena ia mencuri kitab itu, maka pendeta wanita itu tidak dapat menguasai ilmu itu dan dikalahkan pendeta Lama itu justru menggunakan Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat. la ingin menebus kesalahannya, maka cepat ia menawarkan diri untuk menandingi pendeta Lama itu.

Mendengar gadis itu mengaku sebagai murid Kun-lun-pai, Kui Beng Thai-!u menoleh kepada Hui In Sian-kouw yang juga memandangi kepada Bi Lan dengan heran.

"Sumoi, apakah engkau mengenal nona ini sebagai murid Kun-Lin pai. Hui In Sian-kouw menggeleng kepalanya tanpa menjawab karena ia merasa heran dan juga kagum sekali akan keberariian gadis muda itu. Gadis itu tadi tentu melihat ia dikalahkan pendeta Lama itu, mengapa ia masih nekat hendak menandingi Goat Kong Lama dan berjanji akan melawan pendeta itu dengan ilmu silat Kun-lun-pai? Ilmu silat Kun-lun-pai yang mana mampu menandingi Goat Kong Lama, kecuali Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat selengkapnya atau ilmu simpanan yang masih dirahasiakan suhengnya sebagai ketua Kun-lun-pai?

Sementara itu, Goat Kong Lama sudah tidak sabar lagi. Melihat sikap ngotot para pimpinan Kun-lun-pai yang-melarang dia melakukan penggeledahan ke dalam bangunan-bangunan Kun-lun-pal, semakin besar kecurigaannya bahwa yang dicarinya, Jit Kong Lama, pasti bersembunyi di dalam kuil itu.

"Hei, bocah!" tegurnya kepada Bi Lan.

"Engkau anak-anak jangan turut campur. Aku hanya akan menggeledah kuil ini untuk mencari seseorang yang kuduga tentu bersembunyi di sini, akan tetapi para pimpinan Kun-liln-pai ini menghalangi aku. Minggirlah dan jangan mencari penyakit!"

Tiba-tiba Bi Lan mengerutkan alisnya. Pendeta ini adalah seorahg pendeta Lama, seperti suhunya. Juga namanya Goat Kong Lama, mirip nama suhunya Jit Kong Lama! Jangan-jangan yang dicari pendeta Lama ini adalah suhunya? Apakah ada hubunganantara gurunya dan pendeta Lama ini? Akan tetapi usia mereka jauh berbeda. Pendeta Lanta ini berusia sekitar empat puluh dua tahun, sedangkan suhunya sudah berusia tujuh puluh satu tahun!

"Heh, Goat Kong Lamal Engkau sendlrl belum begitu tua, jangan berlagak seperti seorang kakek-kakek! Apakah yang kaucari itu bernama Jit Kong Lama?

Goat Kong Lama memandang Bi Lan dengan mata terbelalak.

"Omitohud! Bagaimana engkau bisa tahu?"

"Tak penting bagaimana aku bisa tahu, akan tetapi kiranya hanya akulah satu-satunya orang yang tahu di mana adanya orang yang kaucari itu. Beliau tidak berada di dalam kuil ini!"

"Hah? Engkau tahu? Katakan, nona, di mana dia?" tanya Goat Kong Lama dengan penuh semangat dan harapan.

"Aku melakukan perjalanan ribuan Li jauhnya hanya untuk mencari dia'."

"Katakan dulu, apamukah Jit Kong Lama itu?"

"Dia adalah supekku (uwa guruku). Bi Lan teringat akan pengakuan suhunya bahwa dulu suhunya adalah seorang yang sesat dan berdosa. Pantas memilikl murid keponakan sekasar ini!

"Hemm, kiranya dia itu uwa gurumu? Lalu mau apa engkau mencarinya Bi Lan mendeaak, ingin tahu apakah orang ini kawan ataukah lawan gurunya karena gurunya pernah mencerltakan bahwa gurunya merupakan seorang pelarian dari Tibet dari dimusuhi para pendeta Lama di sana.

"Ih, engkau ini bocah perempuan cerewet amaT sih? Hayo katakan di mana adanya Jit Kong Lama!" bentak Goat Kong Lama kehabisan kesabaran.

"Tidak akan kukatakan kalau engkau belum menjawab pertanyaanku. ini. Mau apa engkau mencarinya?"

Goat Kong Lama menjadi merah mukanya. Dia marah sekali, akan t6tapi merasa tidak mampu menang berbantahan dengan gadis yang lincah dan pandai blcara itu, maka diapun menjawab dengan nada kasar dan keras.

"Aku akan menangkap pengkhianat itu, menyeretnya kembali ke Tibet hidup atau mati!"

Tentu saja Bi Lan marah sekali mendengar orang ini hendak menyeret suhunya. Akan tetapi ia menahan perasaannya dan tersenyum mengejek.

"Hemm, begitukah? Kurasa engkau tidak akan becus melakukan itu!"

"Bocah! Jangan mempermalnkan aku! Hayo katakan dl mana adanya Jtt Kong Lama!" bentak Goat Kong Lama sambll melangkah maju mendekat.

"Sekarang begini saja, Goat Kong Lama. Engkau lancang berani menyerbu Kun-lun-pai, maka aku sebagai murid Kun-lun-pai menantangmu bertanding, mewakili para pemimpin Kun-lun-pai. Kalau engkau dapat mengalahkan aku, barulah aku akan memberi tahu kepadamu di mana adanya Jit Kong Lama. Akan tetapi kalau engkau yang kalah engkau Harus mohon maaf kepada locianpwe Kui Beng Thaisu. Beranikah engkau menerima tantanganku ini?"

Kui Beng Ttiaisu, Hui In Sian-kouw dan para murid Kun-lun-pai yang sekarang telah berkumpul di pekarangan itu, terkejut dan heran melihat keberanian gadis muda itu yang seolah mempermainkan pendeta Lama yang amat lihai itu. Mendengar bahwa gadis itu mengetahui di mana adanya orang yang dicari Goat Long Lama, maka ini berarti bahwa gadis itu mempunyai urusan langsung dengan pendeta Lama itu, bukan sekedar mencampuri urusan Kun-lun-pai. Karena itu Kui Beng Thaisu tidak mempunyai alasan untuk melarang gadis itu menandingi Goat Kong Lama. Pendeta Lama itu sendiri mendengar tantangan Bi Lan, tersenyum mengejek.

"Heh-heh, baik, kuterima tantaniganmu. Katakan dulu siapa namamu, agar aku mengetahul dengan siapa aku bertandlng."

"Namaku Han Bi Lan. Nah, bersiaplah engkau untuk mohon maaf kepada pimpinan Kun-lun-pai!"

"Nanti dulu! Taruhannya harus ditambah. Kalau engkau yang kalah, selain engkau mengatakan di mana adanya Jit Kong Lama, juga engkau harus menjadi penunjukan jalan dan mengantar aku sampai aku dapat menemukan orang itu!" Sambil berkata demikian, pendeta Lama itu tersenyum, senyum yang mengandung ejekan yang kurang ajar. Semua orang dapat merasakan bahwa ucapan pendeta Lama itu mengandung arti bahwa kalau ia kalah Bi Lan harus menemaninya, tentu saja dengan maksud yang tidak senonoh terbukti dari senym dan panjdangan mata itu.

Wajah Bi Lan menjiadi merah. Akan tetapi dasar ia seorang gadis yang lincah, nakal, cerdik dan pandai bermain kata-kata, maka la berkata, Akupun menambah taruhan Ini. Kalau engkau yang kalah, engkau harus mohon maaf kepada locianpwe Kui Beng Thaisu dengan berlututl"

Goat Kong Lama yang memandang rendah kepada Bi Lan dan merasa yakin bahwa dia pastl akan mampu mengalahkan gadls muda Itu, mengangguk.

"Balk, janji taruhan ini disaksikan orang banyak dan harus dipenuhi!"

Bi Lan juga tersenyum, lalu ia menanggalkan pakaiannya dan meletakkan dl atas lantai, dekat tempat Kul Beng Thalsu dan Hui In Slan-kouw berdiri. Kemudlan ia menghadapl pendeta Lama itu dan berkata,

"Nah, aku sudah slap, Goat Kong Lama. Mulailah karena engkau yang mendatangkan keributan ini!"

Goat Kong Lama ingin cepat menye-lesaikan pertandingan itu, maka dia sudah cepat menyerang dan dia langsung menggunakan jurus Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat mengingat tadi dia mengalahkan Hui In Sian-kouw dengan ilmu silat ini. Dia yakin bahwa dengan ilmu pusaka Kun-lun-pai sendiri ini yang telah lama hilang dari perguruan Kun-lun-pai, akan mudah sekali baginya untuk mengalahkan Bi Lan sebagai murid muda Kun-lun-pai.

"Hiiyyeeehhh!" bentaknya dan lengannya yang kekar panjang itu sudah menyambar ke arah dada gadis itu dengan cengkeraman. Sebuah serangan berbahaya dan juga tidak sopan! Kui Beng Thaisu yang mengenal jurus ilmu silat pusaka itu memandang dengan penuh perhatian dan sepasang alisnya berkerut. Bagaimana mungkin gadis muda itu akan mampu bertahan menghadapi serangan ilmu silat Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat itu? Dia sendiripun hanya sempat mem-pelajari ilmu itu sebanyak lima atau enam bagian saja dan melihat gerakan pendeta Lama itu, biarpun agaknya dia juga belum menguasai ilmu itu sepenuhnya, namun setidaknya sudah menguasai lima bagian dan hal ini saja sudah cukup membuat dia lihai sekali. Bahkan Hui In Sian-kouw juga tadi tidak mampu menandinginya.

"Heiiittt....!!" Bi Lan berteriak melengking dan tubuhnya sudah mengelak dengap cepat dan mudah. Tentu saja mudah baginya karena ia sudah menguasai Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat sepenuhnya, maka jurus serangan yang amat dikenalnya itu tentu saja dengan mudah dapat dihindarkannya. la tahu ke mana lawan akan nienyerang dan bagaimana perkembangan serangan selanjutnya. Serangan dari ilmu silat ini memang beratai dan di sinilah terletak kehebatannya. Begitu cengkeraman tangan kiri Goat Kong Lama tadi luput, tangan kanannya sudah menyambung dengan tamparan ke arah leher dan ini diikuti pula dengan tendangan kedua kaki secara bergantian! Hebat serangan beruntun ini, akan tetapi karena sudah hafal maka Bi Lan mudah saja menghindarkan diri. la juga bergerak dengan ilmu silat yang sama dan gerakantiya juga berantal. Begitu menghindarkan diri dari tendangan bertubl Itu, ia menyambung elakannya dengan serangan balik. Tiba-tiba saja tangan kirinya membuat gerakan memotong dengan tangan miring seperti orang menggunakan golok menebang pohon ke arah kaki yang meluncur lewat samping tubuhnya!

Goat Kong Lama terkejut sekali. Cepat dia menarik kembali kakinya, akan tetapi Bi Lan sudah menyambung serangannya dengan totokan ke arah dada dan serangan inipun dlsambung dengan tendangan kaklnya yang menyambar ke arah pusar. Goat Kong Lama menjadi heran dan bingung dan terpaksa dia menibuang tubuh ke belakang dan bergulingan dl atas tanah karena hanya itu satu-satunya cara untuk mematahkan rangkaian serangan gadls Itu. Dla melompat bangun dan berdlrl dengan mata terbelalak memandang lawannya Itu. Dalam segebrakan saja dia hampir kalah oleh gadis yang Juga mempergunakan ilmu silat Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat!

Sementara itu, Kui Peng Thaisu dan Hui In Sian-kouw saling pandang dengan terheran-heran. Gadis itu memainkan Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat dengan gerakan yang sempurna Akan tetapi mereka tahu benar bahwa tidak ada murid Kun-lun-pai, apa lagi yang begitu muda, yang menguasai ilmu pusaka yang telah lama hilang itu. Bahkan Kui Beng Thalsu sendlrl hanya menguasai paling banyak enam bagian dan Hui In Sian-kouw paling banyak tiga baglan saja. Biauw In Su-thal bahkan tidak pernah mempelajarinya. Akan tetapi Goat Kong Lama menguasai ilmu itu dengan baik dan kini gadis muda itu bahkan menguasainya lebih baik lagi!

Setelah tahu bahwa gadis muda yang dipandang rendah itu ternyata dapat bersilat dengan ilmu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat secara sempurna, Goat Kong Lama maklum bahwa dia tidak akan menang kalau menggunakan ilmu itu. Kalau ingin menang, dia harus mempergunakan ilmunya sendiri dan dia ingin mempermalukan gadis itu dengan menggunakan ilmu sihirnya. Maka, mulutnya berkemak-kemik dan sepasang matanya seperti mencorong menatap wajah Bi Lan. Gadis Itu mendengar mantram yang dlucapkan lirih oleh Goat Kong Lama. la tersenyum. Tentu saja ia mengenal baik penggunaan sihir melalui pandang mata dan suara itu. lapun diam-diam mengerah kan tenaga batin seperti diajarkan gurunya, dengan berani membalas tatapan mata Goat Kong Lama. Diam-diam pendeta Lama itu terkejut melihat betapa sinar mata gadis itu juga mencorong dan berani menyambut sinar matanya yang penuh kekuatan sihir, Bahkan sambil tersenyum!

Goat Kong Lama lalu mengembangkan kedua lengannya, dan perlahan-lahan kedua tangannya bergerak ke atas kepala dalam bentuk sembah, kemudian didorongkan ke depan dan mulutnya mengeluarkan dengungan aneh. Tiba-tiba ada angin menyambar ke depan. Angin itu berpusing dan menerjang Bi Lan. Akan tetapi Bi Lan merangkap kedua tangan depan dada seperti sembah, kedua matanya terpejam. la membiarkan angin itu berpusing di sekitar tubuhnya. Angln berpusing kuat dan membawa tanah dan debu ke atas, akan tetapi tidak kuat mengangkat tubuh Bi Lan. Kini perlahan-lahan Bi Lan mengembangkan kedua tangannya dan mendorong ke depan. Angin berpusing itu kini meninggalkannya dan membalik menyerang Goat Kong Lama! Pendeta Lama itu terkejut. Tubuhnya hamplr terpelanting oleh putaran angln dan cepat dla menghentlkan sihirnya. Angin berhentl dan wajah pendeta Lama Itu menjadl pucat.

Goat Kong Lama mengerahkan tenaganya dan membentak dengan auara menggetar penuh wibawa.

"Han Bi Lan, berlututlah engkau"

Bi Lan juga mengerahkan tenaga batin dalam suaranya ketika ia berkata,

"Siapa yang berlutut? Aku ataukah engkau? Yang pasti engkau, Goat Kong Lama. Hayo, berilah contoh!"

Goat Kong Lama terkejut karena tiba-tiba tanpa dapat ditolaknya lagi, kedua lututnya menjadi lemas dan dia jatuh berlutut. Akan tetapi dia segera menyadari keadaan yang tidak wajar ini dan cepat meloncat berdiri lagi. Terdengar suara tawa dari para murid Kun-lun-pai yang merasa senang melihat pendeta Lama itu dipermainkan. Sementara itu, Kui Beng Thaisu dan Hui In Sian-kouw menjadi semakin heran. Mereka tahu bahwa dua orang itu tadi mengadu kekuatan sihir. Siapakah gadis muda yang selain menguasal Ngo-heng Llan-hoan Kun-hoat juga memiliki llmu slhlr yang demikian kuat ini?

Goat Kong Lama maklum bahwa dengan sihirpun dia tldak akan mampu mengalahkan gadls aneh ini. Maka sambil mengeluarkan gerengan dahsyat, dia segera menerjang ke depan dan menyerang gadis itu dengan cepat. Semua serangan dilakukan dengan kedua tangan terbuka dan miring, seringkali gerakannya seperti orang menyembah dan gerakan silatnya lemah lembut, namun setiap sambaran tangan yang menerjang mengandung tenaga yang kuat. Bi Lan segera mengenal ilmu silat Kwan Im Sin-caang (Tangan Sakti Dewi Kwan Im) itu. Untuk menyenangkan hati para pimpinan Kun-lun-pai, ia tetap memainkan ilmu silat Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat. Terjadilah pertandingan hebat dan seru. Tentu saja pihak Bi Lan lebih untung. la mengenal dan hafal sekali ilmu silat Kwan Im Sin-ciang yang diajarkan Jlt Kong Lama kepadanya. Maka menghadapi serangan dengan ilmu silat ini tentu saja ia sudah mengenal lika-liku dan perkembangannya sehingga mudah menghindarkan diri. Sebaliknya, Goat Kong Lama yang tidak menguasai Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat sepenuhnya, hanya menguasai setengahnya saja, menjadi repot menghadapi desakan Bi Lan.

Beberapa kali kaki atau tangan gadis itu mengenai sasaran, akan tetapi Goat Kong Lama melindungi dirinya dengan ilmu kebal yang kuat sehingga dia tidak sampai roboh. Selain itu, juga Bi Lan tidak menggunakan tenaga sepenuhnya karena bagaimanapun juga, gadis ini tahu bahwa lawannya adalah murid keponakan suhunya sehingga masih terhitung saudara seperguruan sendiri.

Akan tetapi mellhat Goat Kong. Lattia belum juga mau mengaku kalah walau-pun sudah beberapa kali terkena tendangan atau tamparannya, Bi Lan menjadi marah juga. Orang ini tak tahu diri, pikirnya dan perlu diberi hajaran yang leblh keras.

"Haiiittt.... Ia menyerang dengan serangkaian serangan dari Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang sambung menyambung. Goat Kong Lama berusaha untuk mempertahankan diri dengan tangkisan dan elakan, akan tetapi karena Jurus yang dipergunakan Bi Lan int meru-; pakan jurus-jurus llmu sllat yang belum pernah dipelajarinya, maka dia menjadi bingung tidak mengenal perkembangannya dan tidak dapat menghindarkan diri lagt ketika kaki kiri gadis itu mencuat dengan cepat dan kuat ke arah dada kanannya. Sekali ini Bi Lan mengerahkan tenaga sln-kangnya.

"Desss,...!" Biarpun Goat Kong ama telah mellndungi dirlnya dengan ilmu kebalan, namun tendangan itu terlalu kuat menembus kekebalannya dan diapun terjengkiing dan terbantlng jatuh. Dia merasa dada kanannya nyeri dan ketika dirabanya, tahulah dia bahwa sebuah tulang iganya patah.

Goat Kang Lama terkejut dan merasa penasaran sekall. Menang kalah merupakan hal blasa dalam pertandingan silat, akan tetapi dia merasa dipermalukan dl depan semua anggauta Kun-lun-pai yang berkumpul di situ dan yang kini semua tersenyum gembira melihat kemenangan Bi Lan. Dia meraba punggung-nya dan sratt...! Tangan kanannya telah mencabut pedang.

Pada saat itu, Kui Beng Thaisu dan Hui In Sian-kouw melompat ke depan.

"Siancai....! Goat Kong Lama, pertandingan ini bukan permusuhan, mengapa menggunakan senjata? Kalau engkau menggunakan senjata, terpaksa kami akan rnengusirmu dengan kekerasan! Engkau jelas telah dikalahkan seorang murid Kun-lun-pai, mengapa masih nekat? Han Bi Lan, sebagai murid Kun-lun-pai, engkau kami minta untuk menceritakan di mana adanya pendeta Lama yang dicari Goat Kong Lama Itu agar tidak ada urusan lagi antara Kun-lun-pal dan dla."

Bl Lan menghadapi Goat Kong Lama yang terpaksa menyarungkan kemball pe-dangnya karena kalau sampai para pimpinan Kun-lun-pai marah dan turun tangan, tak mungkin dia akan dapat lolos. Baru melawan gadis itu saja sudah berat sekali.

"Goat Kong Lama. Kalau engkau merasa sebagai orang gagah kenapa tldak memenuhi, Janjlmu tadl? Engkau telah kalah dan engkau harus mohon ampun kepada pimplnan Kun-lun-pal. Setelah itu baru akan dapat kuberitahu dimana adanya Jit Kong Lama.

Goat Kong Lama tidak dapat menyangkal lagl akan kekalahannya tadi, maka dengan muka merah dia lala menjatuhkan dirl berlutut menghadap Kui Beng Thaisu dan berkata,

"Kui Beng Thaisu, pinceng (aku) bersalah dan minta maaf."

"Sudahlah, Goat Kong Lama. Kami tidak dapat menerima penghormatah seperti ini. Semua itu hanya kesalahpahaman belaka. Yang sudah biarlah berlalu. Bangkitlahl" Ketua Kun-lun-pai itu menggerakkan tangan kanannya ke depan dan Goat Kong Lama merasa ada angln amat kuat menyambar dan seolah mengangkatnya sehlngga dia terpaksa bangklt berdiri. Dia terkejut sekali dan menyesal bahwa tadl dia terlalu memandang rendah orang. Ternyata ketua Kun-lun pai yang sudah tua inl memillkl tenaga sakti yang luar biasa!

"Han Bl Lan, sekarang katakan dl mana adanya Jit Kong Lama." katanya kepada Bi Lan, kini lenyaplah sikapnya yang angkuh tadi.

"Dia sudah pergi ke barat, hendak kembali ke Tibet dan menyerahkan diri kepada para pimpinan Lama di sana." kata Bl Lan dan dalam suaranya terkandung kesedihan mengenang gurunya yang disayangnya itu.

Pendeta Lama itu memandang kepadanya dengan alis berkerut dan sinar matanya membayangkan ketidak-percayaannya.

"Bagaimana aku dapat mempercayai keterangan itu?"

"Engkau harus percaya karena aku adalah muridnya!" kata Bi Lan.

"Engkau.... engkau.... muridnya?" kata Goat Kong Lama dengan mata ter-belalak.

"Tapi.... engkau tadl melawanku dengan Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat....!"

"Benar. Aku juga murid Kun-lun-pal. Akan tetapi Jit Kong Lama juga guruku. Kau lihat ini!" kata gadl? itu dan ia segera membuat gerakan silat dengan kedua tangan miring seperti orang memuja.

"Kwan Im Sin-ciang (Tangari Sakti Dewi Kwan Im)....!" seru Goat Kong Lama.

"Dan lihat ini!" Bi Lan memungut sebatang ranting kayu lalu bersilat beberapa jurus dengan ranting kayu itu.

"Kim Bhok Sin-tung-hoat (Ilmu Tongkat Sakti Kayu Emas)'." kembali Goat Kong Lama berseru.

"Kau.... .kau benar muridnya!"




"Nah, percayakah engkau sekarang?'"

Suhu Jit Kong Lama sudah pularig ke Tibet untuk menyerahkan diri, bertaubat dan menebus semua dosanya. Pergilah!"

Goat Kong Lama mengangguk-angguk, mengangkat kedua tangan depan dada, menghadapi pimpinan Kun-lun-pai, membungkuk lalu berkata "Omitohud! Pinceng mohon maaf dan mohon diri!" Setelah berkata demikian, pendeta Lama itu memutar tubuhnya lalu berlari cepat seperti terbang meninggalkan tempat itu.

Kini Bi Lan menghadapi Kui Beng Thaisu dan Hui In Sian-kouw. Dua orang pimpinan Kun-lun-pai itu menatap wajah Bi Lan dengan penuh keheranan. Mereka merasa penasaran sekali. Murid pendeta Lama Tibet dan sekaligus juga murid Kun-lun-pai yang dibuktikannya dengan kemahiran ilmu silat pusaka Kun-lun-pai! Banyak pertanyaan yang memenuhi hati Kui Beng Thaisu. Betapapun Juga, gadis ini telah membela nama Kun-lun-pai dengan mengalahkan Goat Kong Lama tadi. Dan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi hatinya, dia merasa tidak leluasa karena di sltu berkumpul semua murid Kun-lun-pai.

"Nona Han Bi Lan, engkau tadi me-ngatakan bahwa engkau datang ini untuk menghadap kami?" tanya ketua Kun-lun-pai itu.

"Benar, locianpwe." jawab Bi Lan sambil menghampiri buntalan pakaiannya.

"Kalau begitu, mari kita masuk dan bicara di dalam." ajak ketua Kun-lun-pai itu. Bi Lan mengangguk dan ia mengikuti Kui Beng Thaisu dan Hu in Sian-kouw memasuki kuil.

Setelah mereka duduk dalam ruangan tengah yang tertutup, Bi Lan meletakkan buntalan pakatannya di atas meja.

"Nah, sekarang janganlah membuat kami terlalu lama keheranan dan menduga-duga, nona Han Bi Lan. CeritaKanlah mengapa engkau datang ke Kun-lun-pai dan hendak bertemu dengan kami?" tanya Kui Beng Thaisu.

"Dan bagaimana pula engkau mengaku sebagai murid Kun-lun-pai dan menguasai, Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat?" tanya pula. Hui In Sian-kouw.

Bi Lan tersenyum, akan tetapi menghela napas panjang.

"Panjang ceritanya dau sebelumnya saya harap locianpwe pimpinan Kun-lun-pai suka memaafkan saya. Saya sudah sebelas tahun lamanya ikut suhu Jit Kong Lama yang mengasingkan diri di sebuah puncak Kun-lun-san, mempelajari ilmu-ilmu dari suhu. Beberapa hari yang lalu, saya berpisah dari sUhu yang ingin kembali ke Tibet, Tugas saya yang pertama adalah berkunjung ke Kun-lun-pai, menghadap para pimplnan Kun-lun-pai. Akan tetapi baru saja tiba di pekarangan kuil saya melihat Goat Kong Lama, mendengar pembicaraannya dan melihat betapa dia menantang bertanding kepada para pimpinan Kun-lun-pai. Karena itulah maka saya memberanikan diri menghadapinya untuk membela Kun-lun-pai karena saya merasa sebagai kewajiban saya membe-la Kun-lun-pai."

"Tapi..,. engkau menguasai ilmu si-lat pusaka kami...." kata Hui In Sian-kouw.

Bi Lan tersenyum.

"Terjadinya kurang lebih setahun yang lalu. Pada suatu hari saya bertemu dengan seorang pemuda sombong. Ketika melihat bahwa dia membawa kitab-kitab kuno dalam buntalan pakaiannya, saya lalu meminjam sebuah kitab tanpa dia ketahui."

"Siancai! Itu namanya mencuri!" se-ru Hui In Sian-kouw.

Bi Lan tersenyum manis memandang wajah pendeta wanita itu dan matanya. bersinar-sinar nakal.

"Saya hanya ingin memberi pelajaran padanya agar dla ti-dak sombong. Biar tahu rasa dia! Ketika saya melihat bahwa kitab itu berisi pelajaran ilmu silat, saya tertarik sekall dan saya mendengar darl suhu bahwa kltab Itu adalah kltab pusaka mlllk Kun-lun-pal. Saya mengambll keputusan untuk memlnjam kitab itu dan di bawah bimbingan dan petunjuk suhu, saya mempelajari dan melatihnye selama setahun. Karena saya memang merasa pinjam, maka setelah selesai saya pelajari dan saya kuasai, begitu berpisah dari suhu, saya langsung tnenghadap pimpinan Kun-lun-pai untuk mehgembalikan Kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat ini." la membuka buntalan pakaiannya mengambil kitab itu dan menyerahkannya kepada Kui Beng Thaisu.

Kui Beng Thaisu menerima kitab itu memeriksanya sebentar dan dia mengangguk-angguk,

"Sian-cai....! Memang inilah kitab kaml yang hilang puluhan tahun yang lalu itu. Nona Han Bi Lan, pemuda yang kaumaksudkan itu adalah murid dari Tiong Lee Cin-jin yang bermaksud mengembalikan kitab itu kepada kami. Dia melaporkan bahwa kitab itu hilang dalam perjalanan. Kiranya engkau yang mengambllnya."

"Saya memlnjamnya, locianpwe, dan harl Inl saya kembalikan. Harap Locian-pwe suka memaafkan saya."

"Kaml memaafkanmu, nona. Bagaimanapun juga, engkau sudah berani membela Kun-lun-pai dengan taruhan nyawa dan mengaku sebagai murid Kun-lun-pai. Kalau engkau murid Kun-lun-pai, maka mempelajari Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat tentu tidak bersalah karena tingkat kepandaianmu juga sudah memadai. Karena itu, engkau baru sah kami terima sebagai murid Kun-lun-pai kalau engkau mengakui pinto (aku) sebagai guru dan. ini adalah Hui In Sian-kouw, sumoiku yang menjadi ketua kun-lun-pai bagian wanita, jadi ia juga gurumu."

Bi Lan mengerti apa yang dirnaksudkan kakek itu, maka iapun segera berlutut memberi hormat kepada kedua orang tua itu, memberi hormat kepada Kui Beng Thaisu dan menyebut "suhu" lalu kepada Hui In Sian-kouw dengan menyebut "subo (ibu guru)". Hui In Sian-kouw menyentuh kedua pundak Bi Lan dan pienyuruhnya bangkit dan duduk kembali.

Setelah kedua orang ketua Kun-lun-pai ini menerima Bi Lan sebagai murid Kun-lun-pai, gadis itu lalu diperkenalKan kepada semua murid Kun-lun-pai. Semua murid merasa girang dan kagum mempunyai saudara seperguruan yang demikian lihai. Hui In Sian-kouw tidak lupa untuk rnemperkenalkan Bi Lan kepada Biauw In Suthai yang masih menjalani hukuman dalam Pondok Pengasingan. Pendeta wanita ini ketika diberitahu tentang Han Bi Lan yang telah membela Kun-lun-pai dan kini diakui sebagai murid yang sah dari Kun-lun-pai, mau menerima Bl Lan berkunjung kepadanya di Pondok Pengasingan.

Bi Lan memasuki pondok yang sepi itu dan segera berlutut menghadap pendeta wanlta yang juga duduk dl atas lantai sambil bersila itu. Bi Lah sudah mendengar tentang Biauw In Su-thal yang menjalani hukuman dan ia merasa kasihan kepada pendeta wanlta yang masih tampak berwajah manls itu. Baru mengaslngkan dlrl selama setahun saja wajah Biauw In Suthai sudah berubah, tidak ada garis-garls yang menunjukkan kekerasan hatlnya lagl pada wajahnya.

"Bibi guru.,.,.1" Bi Lan menegur ragu.

Blauw In Suthal membuka mata, memandang kepada Bi Lan dan ia tersenyum kagum.

"Ah, engkau cantik jelita dan lincah sekali! Engkau yang bernama Han Bi Lan dan yang telah membela Kun-lun-pai dan mengalahkan pendeta Lama yang amat lihai? Setelah berkunjung ke sini dan mengembalikan kitab engkau lalu hendak pergl ke mana, Bi Lan?"

"Saya akan melanjutkan perjalanan saya, bibi guru. Saya akan kembali ke rumah orang tua saya di Liang-an (Hang-chouw)."

"Ah, ke kota raja kerajaan Lam Sung (Sung Selatan)? Jauh sekali. Bi Lan, engkau adalah murid Kun-lun-pai yang telah menguasai Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, berarti tlngkat kepandaianmu sudah tinggi sekali. Aku ingin minta bantuanmu, maukah engkau menolongku, Bi Lan?"

Bi Lan merasa heran sekali. Bantuan apa yang dibutuhkan pendeta wanita ini? la hanya mendapat keterangan dari para murid Kun-lun-pai dan juga dari Hui In Sian-kouw bahwa Biauw In Suthai ini sedang merijalani hukuman dan diharuskan tinggal di Pondok Pengasingan untuk bersamadhi dan bertaubat. Kini wanita yang sudah menjalani hukuman selama setahun itu ingin minta pertolongannya!'

"Bibi guru, tentu saja saya suka me-nolongmu, asal saja tidak melanggar peraturan Kun-lun-pai dan tidak berlawanan dengan hati nurani saya sendiri." jawabnya hati-hati.

Biauw In Suthai mengangguk-angguk.

"Bagus sekali. Memang demikianlah seharusnya seorang pendekar dan murid Kun-lun-pai yang baik. Tidak seperti aku dahulu yang hanya menurutkan gejolak perasaan hati sendiri. Kekerasan hatiku membuat dua orang murid yang kusayangi sekarang Ini, pergi mencarl seseorang untuk membunuhnya dan aku mlnta bantuanmu, yaitu apabila dalam perjalananmu engkau menjumpai mereka, sampaikanlah pesanku bahwa peraturan pernikahan itu sekarang sudah kubatalkan dan katakan agar mereka berdua tidak lagi berusaha membunuh laki-laki itu"

Bl Lan mendengarkan dengan heran.

"Bibi guru, apakah bibi guru tldak mau memberi penjelasan kepada saya agar saya mengerti duduknya perkara? Siapakah kedua orang murid bibi guru itu dan siapa pula laki-laki yang hendak mereka bunuh itu? Mengapa pula hendak mereka bunuh?"

Biauw In Suthai menghela napas panjang.

"Baiklah, akan kujelaskan, Bi Lan. Setahun yang lalu, muridku Kim Lan dalam pertandingan silat dikalahkan seorang pemuda. Sudah 'menjadi peraturanku ketika itu bahwa muridku yapg kalah oleh seorang pria harus menjadi isterinya. Kalau pria itu menolaknya, maka muridku harus membunuh prla itu. Kiiri Lan kalah dan pria itu menolak menjadi .suaminya, maka Kim Lan lalu pergi untuk mencari pemuda itu dan membunuhnya. Ai Yin, muridku yang kedua, ikut pergi bersama sucinya (kakak seperguruannya). Pemuda itu bernama Souw Thian Liong, murid Tiong Lee Cin-jin."

"Murid Tiong Lee Cin-jin? Bibi maksudkan, peniuda itu yang tadinya membawa kitab untuk diserahkan kepada pimpinan Kun-lun-pai?" Bi Lan teringat akan Souw Thian Liong yang tadinya belum ia ketahui namanya.

"Benar, Bi Lan. Dialah orangnya yang telah mengalahkan Kim Lan akan tetapi tidak mau menjadi suaminya."

"Tapi..... tapi, bibi! Bagaimarta ada aturan seperti itu? Kalau kalah harus menjadi isteri orang yang mengatahkan dan kalau pria itu menolak atau dibunuh? Aneh sekali peraturan itu bibi. Maafkan saya, akan tetapi bagaimana mungkin perjodohan dapat dipaksakan sepertl Itu?" kata Bi Lan sambil menahan tawa karena hatinya merasa geli. Peraturan itu dianggapnya konyol.

Biauw In Suthai menghela napas panjang.

"Sekarang akupun dapat melihat betapa bodohnya peraturan yang kubuat menurutkan perasaan hari itu. Karena itu, suheng menegurku dan menyuruhku bertaubat di sini selama tiga tahun. Aku menyesal, maka tolonglah aku, Bi Lan. Kalau engkau bertemu dengan Kim Lan dan Ai Yin, cegah mereka membunuh Souw Thian Liong dan katakan bahwa peraturanku itu sudah kucabut."

Bi Lan mengangguk.

"Baiklah, bibi. Mudah-mudahan saya akan dapat bertemu dengan mereka."

Setelah meninggalkan Pondok Penga-singan itu, Bi Lan tak dapat menahan rasa geli hatinya dan ia tertawa sendiri. Peraturan yang aneh! Dalam pertanding-an sudah dikalahkan pemuda itu, bagai-^inana dapat membunuhnya? Hemm, jadi pemuda itu bernama Souw Thian Liong, .murid Tiong Lee Cin-jin? Ilmu silatnya memang hebat dan ia sudah menyaksi-kannya sendiri ketika pemuda itu meno-. long para saudagar yang diganggu 'pe-rampok-perampok llhai.

Setelah tinggal dl Kun-lun-pai selama dua harl, Bi Lan lalu berpamlt untuk melanjutkan perjalanannya. la Ingin menjenguk ayah Ibunya dl kota raja dan hatinya berbahagia sekali membayangkan ia akan bertemu dan berkumpul kenbali dengan orang tuanya. Tentu selama ini orang tuanya amat mengkhawatirkan keselamatannya. la membayangkan betapa akan gembiranya hati ayah ibunya kalau bertemu dengannya. Dan iapun akad mencari Ouw Kan yang telah membunuh Lu Ma, pelayan tua yang setia dan yang menurut ibunya masih bibi ibunya sendirl dan yang amat mencintanya. la rnasih ingat bahwa ayah ibunya adalah orang-orang gagah yang memimpin pasukan dan ketlka menlnggalkannya, mereka berangkat untuk perang membantu pasukan besar Jenderal Gak Hui. lapun ter-ingat bahwa ia pesan kepada ayahnya untuk membawa oleh-oleh sebatang pedang bengkok yang biasa dipakai perwira Kerajaan Kin. Bi Lan tersenyum kalau ingat akan hal ini. Apakah kini ayahnya sudah membawakan oleh-oleh itu dan maslh menyimpannya?

* * *

"Tidak, ayah....... tidak...... aku tidak percaya!" Gadis itu menangis sesenggukan. la adalah Kwee Bi Hwa, berusia kurang lebih sembilan belas tahun. Gadis ini memiliki wajah yang manis sekali, kecantikan yang khas, tidak seperti perempuan bangsa Han lainnya. KeJelitaannya terasa asing. Memang sesungguhnya, ada kecantikan suku Mancu dalam dirinya.

"Ayahnya, Kwee Buh To, adalah seorang peranakan Mancu yang menjadi guru silat dari perguruan silat Pek-eng Bukoan (Perguruan Silat Garuda Putih) dan tlnggal d! daerah utara. Isteri Kwee Bun To Juga seorang wanita Mancu, maka tldak mengherankan kalau kecantikan yang dimiliki Kwee B Hwa adalah kecantlkan peranakan Han dan Mancu. Ketlka bangsa Yu-cen nenguasai daerah utara dan mendirikan dinasti Kin, Kwee Bun To melarikan diri, membawa istri dan seorang anaknya. Akan tetapi isterinya mati dalam perjalanan dan akhirnya dia tlnggal dl pegunungan dekat Siauw-Lim-pai.

Seperti telah dlceritakan di bagian depan, pada suatu malam seseorang me" tnasuki kamar Bi Hwa, menotoknya dan memperkosanya. Kwee Bun To marah sekall dan menyerbu Siauw-lim-sl karena merasa yakin bahwa pelakunya adalah murid Siauw-lim-pai. Akan tetapi kemudian ternyata bahwa pelakunya yang berhasil ditangkap Cia Song, murid Siauw-lini-pai yang llhai itu, adalah seorang kepala perampok dan pemerkosa itu kemudian dibunuh Cia Song. Dengan hati sedih Kwee Bun To pulang dan menceritakan hal itu kepada puterinya. Bi Hwa menyambut cerita ayahnya itu dengan tangis.

Kwee Bun To memandang puterinya dan menghela napas panjang. Dia merasa iba sekali kepada puterinya yang tersayang. Puterlnya adalah satu-satunya orang yang dia miliki di dunla ini, satu-satunya orang yang paling dekat dengan hatinya. Dla mau berkorban apa saja, kalau perlu nyawanya, untuk puterinya.

"Bi Hwa, percayalah, akupun menyesal bukan main. Tadinya aku bermaksud minta pertanggungan lawab Giam Ti dan ia harus menikahimu untuk mencucl aib. Akan tetapi murid Siauw-lim-pai Itu terlanjur turun tangan membunuhnya.

Bl Hwa sudah menguatkan hatlnya dan menghentlkan tanglsnya, la meng-angkat mukanya yang agak pucat dan sepaaang matanya yang merah karena? tangls.

"Ayah, aku sukar dapat percaya bahwa pelakunya adalah seorang kepala perampok. Bagaimana dia beranl mengganggu keluarga ayah?"

"Anakku, bagaimana aku tldak akan mempercayanya? Ketika dia ditangkap Cia Song murid Siauw-lim-pai itu dan dihadapkan padaku, penjahat itu telah mengaku sendlri. Dan Ingat, dia bukan kepala perampok biasa. Dia menJadl kepala gerombolan yang bersarang di Buklt Angsa tak jauh dari sini. Julukannyai Hui-houw-ong (Raja Harimau Terbang) sedikitnya menunjukkan bahwa dia memiliki kepandaian yang tinggi juga."

"Aku masih merasa penasaran, ayah. Orang itu sangat lihai. Ketika memasuki kamarku, sama sekali aku tidak mendengar apa-apa. Hal inl menunjukkan dia tentu memiliki gin-kang (ilmu me-ringankan tubuh) yang sempurna. Paria hal, aku biasanya peka sekali, sedikit saja suara mencurigakan sudah cukup untuk membangunkan aku. Dan totokannya itu! Benar-benar melumpuhkan seluruh tubuhku. Bukan main lihainya'."

"Sudahlah, Bi Hwa. Tidak perlu penasaran lagi. Bagaimanapun juga, pelakunya sudah mengaku dan sudah terhukum mati. Aku merasa lelah sekali lahir batin, periu mengaso." kata Kwee Bun To sambil memasuki kamarnya.

Bi Hwa. masih duduk termenung. Ia merasa menyesal sekali, dan kecewa mendengar bahwa yang memperkosanya dahulu adalah seorang kepala perampok, seorang penjahat. Kalau saja pelakunya itu seotang murid Siauw-lim-pai, seorang pendekar seperti yang disangkanya semula, tentu ia tidak akan merasa sehina itu. Akan tetapi seorang kepala perampok? Andaikata penjahat Itu tertangkap hldup-hldup pun ia tidak akan sudi menjadl isteri seorang kepala perampoki Akan tetapi hatinya masih belum puas.

la masih penasaran sekali. la masih ingat benar. Pria yang memperkosanya malam itu, walaupun dalam keadaan gelap dan ia sama sekali tidak dapat melihat wajahnya, namun tidak mungkin laki-laki Itu seorang penjahat yang kasar dan kejam. Biarpun tidak mengucapkan sepatahpun kata, biarpun la tldak dapat melihat orangnya, namun lakl-lakl itu demlkian lemah lembut! Tidak mungkin dia seorang kepala perampok, seorang penjahat yang kasar dan kejam!

la harus menyelidikinya sendiri! Ayahnya kadang terlalu keras, lebih banyak penggunakan tenaga daripada akal. Timbullah semangat Bi Hwa dan pada keesokan harinya, Kwee Bun To mendapatkan kamar anakpya kosong dan hanya menemukan sepucuk surat tulisan tangan anaknya yang ditujukan kepadanya.

Ayah,

Saya pergi merantau untuk menghibur hati yang gundah. Harap ayah Jangan mencari saya karena saya tidak akan pulang sebelum kedukaan ini lenyap.

Kalau sudah tiba saatnya saya pasti pulang;

Anak:
Kwee Bi Hwa.

Pada saat Itu muncul keinginan Kwee Bun To untuk mengejar anaknya, dan mencegahnya pergi. Dia sudah melompat keluar kamar dan hendak lari mengejar keluar rumah, Akan tetapi setibanya di luar rumah, dia berhenti dan sekali lagi dibacanya surat anaknya. Dia menggeleng kepalanya dan menghela napas panjang, lalu menyimpan surat itu dan masuk kembali ke dalam rumah. Tidak dia tidak akan melakukan pengejaran. Dia mengenal baik puterinya itu. Di balik kelembutannya, anak itu mempunyai hati yang keras, tekad yang bulat seperti yang dimiliki kaum wanita suku Mancui pada umumnya. Anaknya sudah mengambil keputusan untuk pergi merantau dan ia tidak akan mau dicegah, tidak akan dapat dilarang ataupun dibujuk. Apa lagi anaknya itu bukan seorang wanita lemah. Sejak kecil sudah belajar dan berlatih silat dengan baik dan termasuk seorang yang berbakat. Anaknya tidak akan mudah diganggu orang jahat. la pandai menjaga dan membela diri. Hal itu tidak perlu dia khawatirkan. Dia ha-nya merasa sedih harus berpisah dari puterinya. Akan tetapi dia maklum bahwa kalau dia menghalangi niat puterinya, hal itu akan membuat Bi Hwa marah dan berduka. Maka, dengan hati berat ayah ini mengambil keput.usan untuk rnenanti saja di situ sampai puterinya pulang.

Pada keesokan harinya, Kwee Bi Hwa berjalan seorang diri mendaki lereng dekat puncak Bukit Angsa. Tidak sukar ba-ginya untuk menemukan bukit ini yang tidak berada terlalu jauh dari tempat tinggalnya yang berada di bukit lain dari pegunungan itu. Bukit Angsa itu dard jauh sudah tampak. Blarpun tlngginya ti-dak banyak bedanya dengan buklt-buklt lain yang memenuhl daerah pegunungan iltu, namun Bukit Angsa mempunyai cirl yang khas, yaitu bentuk puncaknya. Puncak bukit dengan pohon-pohon besar itu, tampak dari jauh membentuk seekor angsa!

Setelah Bl Hwa tiba dl dekat puncak tlba-tlba berkelebatan bayangan belasan orang dan dia sudah dik-epung oleh orang-orang yang tampak bengis menyeramkan. Mereka aemua membawa sebaiang golok dengan tangan kanan. Dl baju mereka baglan dada terdapat luklsan seekor harimau terbang! Tahulah Bi Hwa ia berhadapan dengan gerombolan yang dipimpin oleh Hui-houw-ong Giam Ti, pemlmpin Gerombolan Harimau Terbang. Seorang di antara mereka, yang agaknya menjadl pemimpin, ketika melihat sebatang ipedang tergantung dl punggung gadis manis itu. bersikap hati-hati dan dia melangkah maju menghadapi Bi Hwa dan bertanya.

"Nona, siapakah engkau dan apa kehendakmu datang dan melanggar daerah kekuasaan kami?"

"Tidak perlu kalian tahu siapa aku. Aku sengaja datang ke sini hendak mencari keterangan tentang seorang yang bernama Hui-houw-ong Giam Tl." kata Bi Hwa.

Mendengar jawaban ini, orang-orang itu tampak terkejut dan marah. Mereka mengepung ketat dan siap dengan golok mereka.

"la mata-mata musuhi"

"Bunuh ia untuk menyembahyangi arwah Giam Toa-ko!"

Lima belas orang itu serentak menyerbu. Bi Hwa dari segala jurusan. Bi Hwa menggerakkan tangan kanannya dan tampak sinar berkilat ketika ia mencabut pedang. Kemudian sinar pedangnya bergulung-gulung ketlka ia menyambut serangan,mereka. Sinar pedang itu menyambar-nyambar . dilkuti tamparan tangan kirl dan tendangan kaklnya. Terdengar terlakan para pengeroyok dan merekapun roboh berpelantingan, terkena tamparan atau tendangan, sedangkan golok mereka patah dan terpental ketika bertemu sinar pedang. Lima belas orang itu terkejut bukan main dah mereka menjadi ketakutan lalu melarikan diri pontang panttng ke arah puncak.



KISAH SI NAGA LANGIT JILID 13



Bi Hwa melakukan pengejaran ke puncak Bukit Angsa. Di puncak la menemukan sarang gerombolan yang merupakan sebuah perkampungan dengan rumah-rumah kayu sederhana.' Ketika ia memasuki perkampungan itu, di situ tampak sepi. Semua-pondok tertutup pintu dan jendelanya. Akan tetapi ia maklum bahwa para anggauta gerombolan itu masih berada di situ, bersembuyi dalam rumah-rumah yang tertutup.

Bi Hwa mellhat sebuah rumah yang paling besar di antara rumah-rumah lain. la menghampiri rumah besar itu, berdirl di depannya lalu berseru sambll mengerahkan sin-kangnya sehlngga suaranya terdengar melengklng nyarlng dan menggetar dl seluruh perkampungan itu.

"Hel, semua anggauta gerombolan Macan Terbang, keluarlah Aku tidak Ingin mencelakai kalian. Kedatanganku hanya ingin minta keterangan dari kalian! Hayo keluar, kalau tidak aku akan marah dan akan kubakar seluruh perkampungan ini!"

Gertakannya berhasil. Rumah-rumah mulai membuka pintunya dan bermunculanlah para anggauta gerombolan yang tadi mengeroyoknya dan bersama mereka keluar pula wanita-wanita dan kanak-kanak, yaitu keluarga mereka. Setelah pemimpin mereka menjatuhkan diri berlutut, semuanya lalu berlutut bersama keluarga mereka. Jumlah para anggauta gerombolan itu sebanyak dua puluh orang lebih dan keluarga mereka lebih banyak lagi.

"Li-hiap (pendekar wantta), ampunkan kami...." kata pemimpin gerombolarr itu. Bi Hwa memperhatikan seorang wanita cantik berusia kurang lebih dua puluh llma tahun yang menuntun seorang anak perempuan berusia sekitar empat tahun keluar dari rumah besar, diikuti beberapa orang wanita berpakaian. pelayan. Wanita inipun mengajak anaknya menjatuhkan diri berlutut.

"Aku tidak akan mencelakai kalian asalkan kalian mau memberitahu padaku dengan sejujurnya tentang Hui-houw-ong Giam Ti. Siapa di antara kalian yang dapat memberi keterangan yang lengkap tentang dia?

"Saya dapat, lihiap. Saya Giam Kui, adik kandung kakak Giam Ti." kata laki-laki berusia dua puluh tujuh tahun yang tadi bersikap sebagai pimpinan gerombolan itu.

"Saya juga bisa, lihiap. Saya adalah isteri Hui-houw-ong Giam Ti." kata wanita cantik tadi dengan suara lembut.

"Baik, kalian berdua boleh menjawab semua pertanyaanku dengan sejujurnya. Dan yang lain bubarlah, lakukan pekerjaan kalian masing-masing."

Semua anggauta gerombolan tampak lega dan mereka lalu bubaran. Isteri Giam Ti bangkit dan berkata,

"Li-hiap, mari silakan masuk rumah agar kita lebih leluasa bicara."

Bl Hwa mengangguk dan ia laiu diiringkan Nyonya Giam Ti yang memondong anaknya, dan Giam Kui. Para pelayan terus masuk ke belakang untuk mempersiapkan minuman, sedangkan Bi Hwa dipersilakan duduk di ruangan depan.

"Sekarang katakan, di mana adanya Hui-houw-ong Giam Ti?" tanya Bi Hwa sebagai pancingan.

Isteri dan adik mendiang Giam Ti itu tampak terkejut dan saling pandang dengan heran.

"Akan tetapi...., lihiap.... dia sudah mati...." kata Nyonya Giam Ti dengan suara terisak.

"Apa yang telah terjadi dengan dia? Coba ceritakan dengan sejelasnya Jangan berbohong!"

Nyonya Giarii Ti menoleh kepada adik iparnya dan berkata,

"Adik Giam Kui, engkau yang lebih tahu duduk persoalannya. Engkau ceritakanlah kepada lihiap." Giam Kui mengangguk lalu berkata.

"Kejadian itu baru beberapa hari yang , lalu, lihiap. Seorang pemuda yang amat lihai datang ke perkampungan kami ini dan dia mengamuk, merobohkan kami semua, termasuk kakak saya Giam Ti. Kemudian dia memaksa kakak saya untuk ikUt dengannya dan melaksanakan semua perintahnya dengan ancaman bahwa kalau kakak saya tidak mau menurut, dia bukan saja akan membunuh kakak Giam Ti, akan tetapi dia juga akan menyiksa dan membunuh kakak ipar ini dan anaknya. Karena tidak mampu melawan dan takut akan ancaman itu, kakak Giam Ti pergi dengan dia." Giam Kui menghentikan ceritanya dan memandang wajah Bi Hwa seolah dia sebetulnya tidak perlu bercerita karena gadis perkasa di depannya itu tentu telah mengetahui semua peritiwa itu.

"Hemm, begitukah? Tahukah engkau siapa nama pemuda itu?" tanya Bi Hwa.
Dua orang itu saling pandang lagi dan menggeleng kepala.

"Kami semua tidak ada yang tahu siapa dia, li-hiap. Dia seorang pemuda yang tampan dan gagah sikap dan gerak geriknya halus, akan tetapi dia lihai bukan main. Usianya sekitar dua putuh. lima tahun." kata Giam Kui.

"Lalu bagaimana selanjutnya?" tanya Bi Hwa.

"Kakak saya tidak pulang malam itu dan pada keesokan harinya, ada utusan dari Siauw-lim-si yang mengabarkan bahwa kakak saya telah tewas dan kami disuruh mengambil jenazahnya yang telar berada di luar kuil." kata Giam Kui dan kakak iparnya menangis terisak.

"Sekarang katakan, bagaimanakah tingkat ilmu silat Giam Ti itu? Apakah dia lihai sekali? Apakah tingkatnya jauh lebih tinggi dibandingkan tingkatmu?" tanya Bi Hwa kepada Giarn Kui.

"Li-hiap, dia adalah kakak saya dan juga kakak seperguruan saya. Memang tingkat kepandaiannya lebih tinggi dari pada tingkat saya, akan tetapi tidak jauh selisihnya."

Mendengar ini Bi Bwa mengerutkan alisnya. Tingkat ilmu silat Giam Kui ini tidak berapa tinggi, dalam dua tiga gebrakan saja roboh olehnya. Kalau tingkat kepandaian Giam Ti hanya sedikit lebih tinggi dari adiknya ini, tidak mungkin di malam itu mampu memasuki kamarnya tanpa terdengar dan dapat menotoknya.

"Jawablah sejujurnya, apakah lebih sebulan yang lalu dia pernah menyerbu rumah Kwee Bun To yang berada di puncak bukit sana itu? Pada malam hari dia melakukan penyerbuan itu?"

Giam Kui mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya.

"Ah, tidak sama sekali, lihiap. Terus terang saja, walaupun kami suka melakukan pekerjaan merampok, namun kami tidak pernah menggapggu penduduk sekitar pegunungan ini. Kami takut kepada Siauw-lim-pai dan kami hanya minta sumbangan dari orang-orang luar yang kebetulan lewat di daerah ini."

"Hemm,! pertanyaan terakhir dan kuharap kallan menjawab dengan terus terang karena Jawaban ini penting bagi penyelidikanku. Apakah Glam Tl seorang laki-laki yang mata keranjang dan suka mengganggu wanlta?"

"Ah, sama sekall tidak" Nyonya Glam Ti tiba-tiba berterlak.

"Mendiang suamlku adalah seorang suaml yang baik. Dia amat mencinta saya dan mencinta anak kami!"

Bi Hwa merasa sudah cukup mendapatkan keterangan yang memuaskan hatinya. la bangkit berdiri dan berkata kepada Giam Kui.

"Nah, cukuplah keterangan kalian. Terima kasih dan aku berpesan kepada semua ahggauta gerombol-an ini untuk mengubah cara hidup dan cara kerja kalian. Hentikanlah pekerjaan kalian merampok itu. Giam Kui, engkau pimpinlah anak buahmu untuk bekerja sebagai petani dengan rajin. Kulihat bukit ini memiliki tanah yang amat subur. Kalau kalian rajin dan tekun, bertani di sini tentu akan mendatangkan hasil yang cukup baik. Juga terdapat banyak binatang buruan dalam hutan-hutan di pegunungan ini. Kalian dapat juga menjadi pemburu binatang. Kulit dan daglngnya dapat kalian jual. Jangan melakukan kejahatan lagi karena kalau kalian masih tidak mau mengubah jalan hidup kalian, pada suatu hari tentu akan muncul pendekar yang membasmi kalian. Bahkan aku sendlrl kalau kelak mendapatkan kalian masih menjadi gerombolan perampok, tentu takkan tlnggal diam dan takkan memberi ampun."

"Baik, lihlap, kami akan mentaati pesan lihiap." kata Giam Kui yang memang sudah merasa jerih melihat kematian kakaknya.

Bi Hwa meninggalkan Buklt Angsa dengan hatl puas. Yakinlah kini hatinya bahwa yang memperkosanya dahulu Itu jelas bukan Hul-houw Giam Tl.

Sambil berjalan menuruni bukit itu Bi Hwa termenung. Akan tetapi mengapa Giam Ti mengaku di depan ayahnya bahwa dia yang melakukan pemerkosaan itu? pan mengapa murid Siauw-lim-pai itu menangkapnya? Kemudian malah membunuhnya? Tidak salah lagi, pikirnya. Pasti ada rahasia di balik peristiwa ini dan satu-satunya orang yang patut dicurigainya adalah murid Siauw-lim-pai itu. la sudah melihat pemuda itu. Pemuda yang tampan dan halus budinya. Dan menurut ayahnya, pemuda itu yang bernarna Cia Song, memiliki tingkat ilmu silat amat tinggi!

Bi Hwa mengepal kedua tangannya. Tak salah lagi! Tentu Cia Song itulah pelakunya! Ketika ayahnya menuntut ke Siauw-lim-pai, Cia Song berjanji kepada ayahnya untuk dalam waktu sebulan menangkap pelaku pemerkosaan itu. Cia Song juga datang ke rumahnya untuk mendengar sendiri keterangan dari mulutnya. Semua itu hanya untuk mengelabuhi ayahnya saja. Tentu pemuda itu menangkap Giam Ti dan memaksa kepala gerombolan itu untuk mengaku bahwa dialah pelakunya. Agaknya Giam Ti terpaksa membuat pengakuan palsu karena takut kalau-kalau isteri dan anaknya dibunuh seperti yang diancamkan Cia Song ketika datang dan menangkapnya. Setelah Giam Ti terpaksa mengakui perbuatannya yang sebenarnya tidak dilakukan-nya untuk melindungi isteri dan anaknya, Cia Song lalu membunuhnya agar rahasianya tidak ada yang rnengetahui dan membocorkannya.

"Pasti begitulah yang telah terjadi'" desis mulut Bi Hwa dan ia. mengepal lagi tangan kanannya.

"Cia Sohg, engkau harus mempertanggung-jawabkan perbuatanmu. Aku akan mencarimu dan sampai mati aku tidak akan berhenti mencarimu sampai aku dapat bertemu dengan-mu!" Setelahimengambilkeputusan ini dalam hatinya, Bi Hwa lalu melanjutkannya berlari cepat, dan kedua matanya menjadi basah.

* * *

Bi Lan memasuki kota raja Lin-an yang merupakan ibu kota Kerajaan Sung Selatan dengan berjalan perlahan-lahan. la tidak mengacuhkan pandang mata pa-ra pria di jalanan yang ditujukan kepadanya karena hal itu sudah biasa baginya. Semenjak berpisah dari Jit Kong Lama dan turun gunung, di setiap kota dan dusun yang dilewatinya, ia selalu melihat mata para pria yang memandang kepadanya dengan kagum.- Ia tidak memperdulikan lagi pandang mata mereka itu karena ia sendiri sedang asik terkagum-kagum melihat bangunan-bangunan besa? di kota raja Lin-an. Ketika ia menlnggalkan kota raja, dilarikan oleh kakek Ouw Kan yang menculiknya, ia baru berusia tujuh tahun. Selama lebih dari sebelas tahun la meninggalkan kota ini, dan sekarang ia memasuki kota ini dengan rasa kagum brkan main. Segalanya sudah berubah. Bangunan-bangunan besar dan indah. Taman-taman yang luas. Toko-toko penuh bermacam-macam barang. rumah-rumah penginapan dan rumah-rumah makan. la menjadi bingung dan tidak mengenal jalan. la sudah lupa di mana letak rumah orang tuanya! "

Kemudian ia teringat. Rumah orang tuanya berada di sebelah barat istana raja. Tidak begitu jauh dari istana, sekitar satu kilometer saja jauhnya. Teringat akan ini, ia lalu mencari istana kaisar. Dengan bertanya-tanya, mudah saja.! ia menemukan bangunan-bangunan megah istana itu. Dari sini diambilnya jalan yang menuju ke barat. Setelah berjalan sekitar satu kilometer, ia menjadi bingung lagi karena rumah-rumah di situ sudah banyak berubah ia tak dapat mengenal lagi yang mana rumah orang tuanya. Hatinya yang tadinya semakin tegang setelah ia mengambil jalan inl, berubah menjadi bingung. Yang mana rumah orang tuanya?

la berhenti di depan sebuah rumah besar yang tampaknya baru. Pekarangan rumah itu mirip dengan pekarangan rumah orang tuanya dahulu. Dan bentuk rumahnya juga sama, hanya yang ini tampak baru. Ah, tak salah lagi. Inilah ru-mah orang tuanya. Pohon tua di sebelah kiri itu, di mana ia sering bermain, masih ada.

Dengan hati gembira penuh harapan Bi Lan memasuki pekarangan itu. Karena hatinya tegang dan pandang matanya ditujukan penuh perhatian ke arah bangunan, ia tidak tahu bahwa sejak tadi beberapa pasang mata menatap dan mengikuti gerak-geriknya dari sebuah gardu penjagaan yang terdapati di peka-rangan itu.

Bi Lan melangkah masuk.

"Hei, nona! Berhenti!" terdengar bentakan dan tiba-tiba dari sebelah kanannya muncul litna orang berpakaian perajurit yarig membawa tombak, langsung mereka itu berdiri .menghadang di depannya, memandang dengan sikap keren akan tetapi mulut mereka menyeringai secara kurang ajar.

Bi Lan memandang mereka dengan heran. Dahulu, rumah orang tuanya tidak dijaga oleh perajurit, maka ia menjadi ragu lagi apakah ia memasuki pekarangan rumah, yang kellru.

Seorang perajurit jangkung dan agak-pya menjadi kepala penjaga, mengamati wajah dan tubuh Bi Lan dengan pandang mata "lapar", kemudian bertanya dengan suara keren.

"Nona manis, engkau tidak boleh memasuki pekarangan ini begitu saja tanpa ijln dari kami! Engkau siapakah dan apa kehendakmu memasuki pekarangan ini?"

Melihat sikap yang ceriwis itu, Bi Lan tldak mau memperkenalkan namanya. Langsung saja ia bertanya.

"Bukankah ini rumah Perwira Han Si Tiong?"

Si jangkung itu memandang kepada Bl Lan dengan mata terbuka lebar karena heran, lalu menoleh kepada teman-temannya dan tertawa, diikuti suara tawa teman-temannya. Mereka adalah perajurit-perajurit yang berusia antara dua puluh dua dan dua puluh lima tahun,

Tentu saja mereka tidak mengenal nama itu karena pada waktu Perwira Han Si Tiong tinggal di situ, belasan tahun yang lalu, mereka masih kecil dan belum menjadi perajurit.

"Ha-ha-ha, nona manis, apakah engkau bermimpi?" kata si jangkung sambil menengok ke arah rumah yang ditunjuk oleh Bi Lan.

"Gedung ini adalah milik dan tempat tinggal Ciang Kongcu (Tuan Muda Ciang) dan kami tidak mengenal Siapa itu Perwira Han Si Tiong!"

Bi Lan mengerutkan alisnya. Setelah klni melihat keadaan pekarangan dan ru-mah gedung itu, walaupun terdapat banyak perubahan, namun ia merasa yakin bahwa inilah rumah orang tuanya. la memandang lima orang perajurit dan maklum bahwa mungkin mereka inl tidak tahu apa yang terjadi sebelas tahiin lebih yang lalu karena pada waktu itu mereka ini tentu belum menjadl perajurlt. Akan tetapl, penghunl baru rumah inl tentu tahu di mana adanya orang tuanya. Mungkin saja orang tuanya sudah plndah tempat atau dltugaskan di kota lain.

"Kalau begitu aku akan bertemu dengan Ciang Kongcu." kata Bl Lan.

Mendengar Ini, lima orang perajurit itu menyerinyai semakin lebar.

"Wah, ini namanya domba muda gemuk menghampiri harimau yang sedang lapar! Engkau akan ditelannya bulat-bulat!" kata seorang perajurit.

Si jangkung tertawa,

"Ha-ha, itu benar, nona. Engkau begini cantik, begini lembut. Daripada daglngmu yang lembut dicabik-cabik harimau kelaparan, lebih baik engkau kujadikan isteriku. AKU ftasih perjaka ting-ting dan sebentar lagi naik pangkat. Marl kita bicara di dalam gardu, biar lebih bebas, leluasa aan asik."

Si jangkung itu menjulurkan tangan-nya menangkap pergelangan tangan kanan gadis itu dan hendak menarlknya untuk diajak memasuki gardu penjagaan, ditertawakan oleh empat orang temannya. Bi Lan menjadi marah Sekali. Sekali menggerakkan tangan kanannya, ia sudah menusuk lambung orang itu dengan jari-jari tangannya.

"Hukk....!" Tubiih si jangkung ditekuk ke depan karena perutnya terasa nyeri bukan main dan ketika dia membungkuk itu, Bi Lan menangkap dan menjambak rambutnya sehingga topi seragamnya terlepas dan rambutnya terurai. Bi Lan menjarnbak rambut dan menekan kepala itu sehingga si jangkung mengaduh-aduh dan kepalanya tertekan ke bawah, tak dapat meronta karena dia masih menderita nyeri hebat pada perutnya yang disodok tadi! Empat orang temannya terkejut dan cepat mereka itu menerjang maju, hendak memukul dengan tombak mereka. Akan tetapi, Bi Lan menggerakkan tangan kiri dan kaki kanait enipat kali. Empat orang perajurit itupun roboh terbariting dengan keras, tombak mereka. terpental dan terlepas. Sekali sambar, Bi Lan telah merampas tombak dari tangan si jangkung, kemudian melepaskan jambakan dan menggunakan kaki kiri menginjak kepala itu dari belakang sehingga muka si jangkung tertekan dan mencium tanah!

Bi Lan menodongkan ujung toitibak runcing itu pada punggung si jangkung, menghardik.

"Berani engkau kurang ajar kepadaku?"

Si jangkung ketakutan dan tanpa terasa celananya menjadi basah.

"Ampun, nona, ampunkan saya.... saya tidak beranl lagi...."

Empat perajurit lain merangkak bangun dan merekapun tidak berani menye-rang melihat betapa nona itu ternyata lihai bukan main dan kini mengancam komandan mereka dengan tombak.

"Hayo cepat antar aku menewui penghuni rumah ini. Jangan banyak tingkah kalau engkau tldak ingin tombakmu . Ini menembus dadamu!" Bi Lan menghardik sambil melepaskan tekanan kakinya pada kepala orang Itu.

"Baik.... baik.;..nona....'" Si jangkung merangkak dan bangkit berdiri sambil meringis dan memegangi perutnya yang masih nyerl, Mukanya, terutama bibir dan hidungnya, berlepotan tanah.

"Hayo maju!" Bi Lan menodongkan tombaknya di punggung si jangkung Itu yang berjalan menuju ke gedung dengan agak terpincang dan muka ditundukkan. Dia merasa takut sekali karena ujung tombak yang runcing itu terasa benar menekan punggungnya.

Setelah mereka tiba di pendapa, tiba-tiba pintu depan rumah gedung itu terbuka dari dalam dan muncullah empat orang laki-laki dari dalam. Bi Lan memandang penuh perhatian. Seorang dari mereka adalah pria berusia enam puluh tahun lebih, berpakaian gagah dan indah, pakaian seorang panglima perang, bertu-buh tinggi besar dan pandang matanya angkuh seperti pandang mata seorang yang sadar dan bangga akan kedudukan dan kekuasaannya. Orang ke dua juga berpakaian seperti seorang panglima, ha-nya tidak sementereng pakaian panglima tlnggi besar itu. Usia orang ke dua itu sekitar lima puluh tahun, tubuhnya tinggi kurus, mukanya begitu kurus mirtp muka tikus, akan tetapi matanya tajam dan bergerak-gerak membayangkan kecerdikan. Orang ke tiga berpakaian seperti seorang tosu (pendeta Agama To) tubuhnya pendek gendut, tampak lucu. Usianya sekitar enam puluh lima cahun, mukanya berwarna kekuningan, muiutnya tersenyum mengejek dan pandang mata-nya agak memandang rendah segala sesuatu. Adapun orang ke empat masih muda, sekitar tiga puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar, wajahnya tampan dan gagah dengan alisnya yang hitam tebal.

Dia berpakaian seperti seorang pemuda bangsawan, pakaiannya indah dan dia pesolek, rambutnya licin berminyak, bahkan kulit mukanya ada tanda-tanda bekas bedak. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang yang sarungnya cerukir indah.

"Apakah aku berhadapan dengan pemilik dan penghuni rumah ini?" tanya Bi Lan sambil memandang empat orang itu.

Orang muda bangsawan itu melangkah maju.

"Nona, akulah pemilik rumah ini. Nona slapakah dan ada keperluan apakah mencarl aku?"

Mendengar ini, Bi Lan mengayunkan kaki menendang dan perajurit jangkung itu terlempar dan jatuh terbantihg bergulingan. Bi Lan melemparkan-tombak itu ke dekat orang itu sambil membentak,

"Pergilah!" Tombak itu menancap di atas tanah, dekat si jangkung yang terlempar keluar ke pekarangan.
Setelah itu Bi Lan menghadapi empat orang itu. Sikapnya tenang saja biar" pun ia berhadapan dengan orang-orang yang melihat pakaiannya tentu merupakan orang-orang berkedudukan tinggi.

"Jadi engkaukah yang sekarang menempati rumah ini?" tanya Bi Lan sambil memandang kepada pemuda tinggi besar itu. la sudah dapat menduga agaknya orang inl yang tadi oleh para perajurit penjaga disebut sebagai Ciang Kongcu.

"Benar aekali, nona. Aku, Ciang Ban, yang menjadi penghuni rumah ini. Apakah yang dapat aku bantu untukmu?" Ciang Ban, atau lebih dikenal sebagai Ciang Kongcu, berkata sambil tersenyum ramah setelah dia melihat jelas betapa cantik jelitanya gadis itu. Diapun melihat betapa gadis itu lihai dan kuat sekali, tidak hanya dapat memaksa kepala jaga mengantarnya, akan tetapi juga dari tendang-annya tadi tahulah dia bahwa gadis itu memiliki ilmu silat yang tangguh.

"Aku ingin mengetahui tentang penghuni lama rumah ini, yaitu Perwira Han Si Tiong dan isterinya. Kalau mereka tidak tinggal di sini lagi, di mantakah mereka sekarang berada?"'

Mendengar pertanyaan ini, Ciang Kongcu menoleh kepada tiga orang lain yang keluar bersamanya, kemudian panglima yang tinggi besar dan berpakaian indah mewah itu berkata,

"Perwira Han Si Tiong? Ah,, tentu saja kami mengenalnya dengan baik, nona. Dia adalah rekan dan sahabat kami. Akan tetapi, siapakah engkau, nona?"

Mendengar bahwa panglima tua tinggi besar itu mengaku sebagai sahabat ayahnya dan hal ini sewajarnya karena mereka sama-sama perwira kerajaan, Bi Lan segera menjawab,

"Saya adalah Han Bi Lan, dan saya ingin mengetahui di mana adanya ayah dan ibu saya."

"Ahh! Kiranya engkau puteri Han ciangkun yang diculik penjahat ketlka masilh kecil? Senang sekall kami mellhat engkau dalam keadaan selamat, nona Han. Akan tetapl marllah klta masuk dan bicara di dalam tldak pantas kita bicara sambil berdiri di luar."

"Terima kasih, kata Bi Lan dan ia mengikuti mereka masuk ke ruangan dalam yang luas. Begitu memasuki rumah itu, Bi Lan merasa terharu karena rumah di mapa ia dilahtrkan dan dibesarkan sampai berusia tujuh tahun. Setelah memasuki rumah itu, ia yakin benar bahwa ini rumah orang tuanya dahulu walaupun prabot rumahnya telah diganti dengan barang-barang yang indah dan mahal.

Setelah mereka Han Bi Lan dan empat orang itu duduk, Ciang Ban atau Ciang Kongcu memperkenalkan tiga, orang lainpya kepada gadis itu.

"Han Siocla (Nona Han), perkenalkan. Ini adalah ayahku bernama Ciang Sun Bo atau disebut Ciang Goan-swe (Jenderal Ciang), sekarang menduduki jabatan panglima besar." Bi Lan memandang kepada panglima yang tinggi besar itu. Ciang Goan-swe mengangguk dan tersenyum kepadanya.

"Ha-ha, Han Siocia. Aku adalah sahabat baik ayahmu. Agaknya engkau telah lupa kepadaku, akan tetapi aku masih ingat kepadamu yang ketika itu masih kecil. Engkau baru berusia tujuh tahun ketika engkau dilarikan penculik. Kami telah mengerahkan pasukan penyelidik untuk mencarimu, namun tidak berhasil."

"Dan ini adalah Lui Ciangkun (Perwira. Lui), pembantu ayahku." Ciang Kongcu memperkenalkan perwira tinggi kurus bermuka tikus itu.
"Nama lengkapnya Lui Wan

"Han Soicia, akupun mengenal baik ayahmu, Perwira Han Si Tiong yang gagah itu." kata Lui Ciangkun dengan pandang matanya yang cerdik. Bi Lan hanya mengangguk karena semua itu tidak ingin ia ketahui. Yang ingin ia ketahui adalah di mana ia dapat bertemu dengan orang tuanya.

"Dan totiang (bapak pendeta) ini adalah Hwa Hwa Cin-jin. Dia adalah guruku, Han Siocia." Clang Kongcu memperkenalkan pendeta itu.

"Siancai! Han siocia adalah seorang gadis yang cantik dan gagah perkass sekali. Pinto (aku) senang dapat bertemu denganmu."

"Terima kasih atas perkenalan ini, Ciang Kongcu. Akan tetapi saya ingin sekali mengetahui di mana saya dapat bertemu dengan ayah ibu saya."

Ciang Kongcu tidak menjawah melainkan menoleh kepada ayahnya. Ciang Goanswe kini yang menjawab pertanyaan Bi Lan, sedangkan Ciang Kongcu memberi isarat kepada tiga orang itu. Lul Ciangkun segera bangkit dan berkata,

"Saya akan menyampalkan perintah Ciang Kongcu." Perwira tinggi kurus ini lalu pergi ke belakang.

"Han Siocla," kata Ciang' Goanswe.

"Kiranya akulah yang lebih tahu akan keadaan orang tuamu daripada sernua orang yang berada di sini karena ayahmu masih terhitung pembantuku. Kurang lebih sebelas tahun yang lalu, Han-ciang-kun dan isterinya berangkat ke perbatasan utara untuk memimpin Pasukan Halilintar berperang melawan musuh di utara."

Bi Lan mengangguk tak sabar.

"Saya masih ingat akan semua itu, Ciang Goanswe, Ketika ayah ibu pergi berperang, datang si jahanam Ouw Kan yang berjuluk Toat-beng Coa-ong Itu ke rumah ini, membunuh Luma dan tukang kebun yang tidak berdosa, lalu menculik saya.

Ciang Goan-swe mengangguk-angguk.

"Benar, agaknya orang tuamu mempunyai musuh yang hendak membalas dendam, akan tetapi karena orang tuamu tidak berada di rumah, maka musuh itu lalu menculikmu. Kami telah mengerahkan pasukan untuk mencari, namun sia sia sehingga kami putus asa. Maka, bukan main girang rasa hati kami ketika hari ini tiba-tiba engkau muncul dalam keadaan sehat dan selamat, Han Siocia. kami sudah menganggap keluargamu seperti keluarga sendiri!"

"Tapi di manakah sekarang orang tua-ku, Ciang Goan-swe?" tanya Bi Lan tak sabar.

Jenderal Ciang menghela napas panjang.

"Sesungguhnya, hal itu kami tidak mengetahuinya. Ketika mereka pulang setelah menang dalam perang, mereka kami beritahu tentang peristiwa di rumah Ini, bahwa engkau diculik penjahat tanpa kami ketahui siapa penculik itu. Ayah ibumu lalu pergi dari sini, katanya hendak mencarimu dan ayahmu bahkan mengembalikan pangkatnya kepada Sribaginda Kaisar karena dia akan pergi mencarimu. Dan sampai sekarang orang tua-mu itu tidak pernah kembali ke sini. Kami prihatin sekali, Han Siocia, akan tetapi setelah kini engkau kembali dalam keadaan selamat kami merasa girang bukan maln. Tentang orang tuamu, jangan khawatir, kami tentu akan menyebar penyelidik ke seluruh penjuru untuk mencari mereka sampai dapat ditemukanl"

Bi Lan merasa girang dengan janji ini. Memang akan sukarlah baginya mencari orang tuanya kalau ia tidak tahu ke mana mereka pergi. Kalau Jenderal Ciang menyebar banyak penyelidik, tentu hasilnya akan jauh lebih baik.

la bangkit berdiri dan merangkap ke-dua tangan depan dada.

"Terima kaslh, Goan-swe."

Jenderal Ciang melambaikan tangan menyuruh gadis itu duduk kembali.

"Aih, nona, atau lebih baik kusebut Bi Lan saja. Orang tuamu sudah seperti saudara denganku, maka engkau kuanggap sebagai keponakanku sendiri. Jangan sebut aku Goanswe, cukup dengan Paman Ciang saja!"

Kalau begitu, aku adalah toa-ko (kakak) bagimu dan pngkau siauw-moi (adik perempuan) bagiku!" kata Ciang Kongcu sambil tersenyum,

Pada saat itu, Kui Ciangkun memasuki ruangan itu diikuti beberapa orang pelayan wanita yang membawa hidangan yang maslh mengepul,

Melihat ini, Bi Lan berkata,

"Aih, Paman Ciang, tidak perlu repot-repot...." ,

"Sama sekali tidak repot, Bi Lan. Saking gembiranya hati kami, melihat engkau muncul dalam keadaan selamat dan sehat seolah-olah kami melihat seorang keponakan yang telah mati hidup kembali, maka kami ingin menyambutmu dengan pesta dan piakan bersama! Mari, jangan sungkan-sungkan!" kata Jenderal Ciang dengan gembira sambil menuangkan anggur ke dalam cawan di depan Bk Lan.

Bi Lan bangkit berdiri.

"Maafkan saya, paman. Saya.... saya ingin ke kamar mandi sebentar."

Jenderal Ciang tersenyum dan mengangguk maklum. Tentu gadis itu ada keperluan ke kamar mandi, mungkin hendak membuang air kecil. Maka dia menoleh kepada seorang pelayan wanita.

"Antarkan Nona Han ke kamar mandi".

Pelayan itu lalu menghampiri Bi Lan yang bangkit berdiri dan mengikuti pelayan itu masuk ke bagian dalam. Kamar mandi rumah gedung itu masih di tempat yahg dulu. Ada dua buah. Yang besar untuk keluarga dan yang kecil untuk para pelayan. Bi Lan memasuki kamar mandi yang besar dan menutup daun pintunya.

Setelah Bi Lan kembali ke ruangan tamu, hidangan sudah lengkap di atas meja. Uap yang sedap memenuhi ruangan itu. Bau sedap masakan bercampur dengan bau harum minuman anggur dan arak.

"Mari kita minum untuk menyambut keponakanku Han Bi Lan dan imengucapkan selamat datang!" kata Jenderal Ciang sambil mengangkat cawan araknya. Semua prang mengangkat cawan masing-masing dan minum untuk kehormatan Bi Lan. Gadis ini merasa gembira juga mendapatkan penyambutan seramah itu, Maka, iapun tidak sungkan-sungkan lagi ketika mereka mulai makan minum dengan gembira.




Makan minum bersama lima orang itu berlangsung gembira. Diam-diam Bi Lan merasa heran betapa Hwa Hwa Cin-jin makan daging dan minum arak dengan lahapnya! Akan tetapi ia teringat akan gurunya sendiri. Gurunya juga seorang pendeta Lhama yang lajimnya berpantang makan makanan berjiwa dan minum-minuman keras, akan tetapi gurunya melanggar pantangan itu. Banyak pendeta yang melanggar pantangan, baik secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi. Agaknya Hwa Hwa Cin-jin ini seperti gurunya, melanggar pantangan secara terbuka dan seenaknya saja. Sambil makan minum, Jenderal Ciang bertanya kepada Bi Lan.

"Kami ingin sekali mengetahui pengalamanmu, Bi Lan. Kami tadinya sudah putus asa mendengar engkau dilarikan penculik dan kami tidak berhasil mencarimu. Tahu-tahu setelah sebelas tahun engkau hilang, hari ini engkau muncul dalam keadaan selamat dan sehat. Apakah yang terjadi denganmu?"

Melihat keramahan dan kebaikan sikap tuan rumah, Bi Lan tidak keberatan untuk menceritakan pengalamannya.

"Saya dilarikan penculik itu dengan cepat keluar kota raja."

"Apa engkau tahu siapa penculik itu dan mengapa pula dia menculikmu?" tanya Jenderal Ciang.

Bi Lan mengangguk.

"Dia mengaku terus terang bahwa dia adalah Toat-beng Coa-ong Ouw Kan dan dia diutus oleh Raja Kin untuk membunuh ayah dan ibu sebagai balas dendam karena ayah telah menewaskan Pangeran Cu Si, putera Raja Kin, dalam perang. Karena ayah dan ibu tidak ada, maka Ouw Kan lalu menculikku dengan niat untuk menyerahkan saya kepada Raja Kin."

"Hemm, jahat......, jahat""!" kata Jenderal Ciang.

"Kemudian bagaimana Bi Lan?"

"Dalam perjalanan itu, saya ditolong oleh Suhu Jit Kong Lhama yang mengalahkan Ouw Kan dan selanjutnya saya ikut suhu untuk mempelajari ilmu silat sampai sebelas tahun lamanya. Setelah selesai belajar, saya lalu berpisah dari suhu dan datang ke ibu kota Lin-an ini untuk mencari ayah ibu."

"Hemm, jadi engkau selama ini menjadi murid Jit Kong Lhama? Ke mana saja engkau dibawanya?"

"Suhu mengajak saya mengasingkan diri di sebuah bukit di pegunungan Kun-lun-san."

"Ah, begitu jauh? Pantas saja usaha kami mencarimu tidak berhasil. Dan di mana sekarang adanya Jit Kong Lhama?"

"Suhu sudah kembali ke Tibet."

"Siancai......! Kiranya nona menjadi murid Jit Kong Lhama!" kata Hwa Hwa Cin-jin.

"Pantas nona amat lihai pinto (saya) sudah mendengar akan nama besar gurumu itu, nona!"

Akhirnya perjamuan makan itu selesai. Bi Lan makan sampai kenyang dan ia sudah minum cukup banyak anggur, minuman yang tidak biasa memasuki perutnya. Tiba-tiba gadis itu mengangkat tangan kiri menutupi mulutnya yang menguap. Tak dapat ia menahan untuk tidak menguap. Rasa kantuk yang kuat sekali menguasainya. Ia bangkit akan tetapi terkulai dan jatuh terduduk kembali. Kantuknya tak tertahankan dan akhirnya gadis itu merebahkan kepalanya di atas meja, berbantal lengannya sendiri dan dari pernapasannya yang lembut mudah diketahui bahwa ia telah tertidur!

Jenderal Ciang bertepuk tangan, lalu dia menjulurkan tangannya dan mengguncang pundak gadis itu. Namun Bi Lan tetap tidur pulas, agaknya tidurnya nyenyak sekali.

"Ha-ha-ha, bagus sekali, Cin-jin. Pekerjaanmu berhasil baik sekali!" dia memuji sambil memandang kepada Hwa Hwa Cin-jin karena dia tahu bahwa tosu itulah yang menaburkan bubuk putih ke dalam cawan anggur gadis itu ketika tadi Bi Lan pergi ke kamar mandi.

"Ha-ha, racun pembius pinto tidak akan ada yang mampu menahannya, Ciang-goanswe. Biar seekor gajah sekali pun akan tertidur pulas kalau menelan racun pembius buatan pinto," kata Hwa Hwa Cin-jin dengan bangga.

"Goanswe, saya kira gadis ini sebaiknya cepat dibunuh saja. Ia puteri Han Si Tiong dan ini berbahaya sekali. Kalau sampai ia mengetahui bahwa Toat-beng Coa-ong Ouw Kan itu ada hubungannya dengan kita dan bahwa kita memusuhi Han Si Tiong, tentu ia hanya akan menimbulkan kesulitan bagi kita," kata Lui To.

Jenderal Ciang mengangguk-angguk.

"Ya, engkau benar, Lui-ciangkun. Sejak dulu Han Si Tiong menentangku, bahkan dia menjadi pembantu setia dari mendiang Jenderal Gak Hui. Tadinya aku mengira dia sudah mati atau menjadi tawanan Raja Kin, karena Toat-beng Coa ong Ouw Kan tidak pernah memberi kabar. Kiranya gadis ini ditolong dan menjadi murid Jit Kong Lhama! Ia lihai sekali berbahaya, memang sebaiknya kalau dibunuh saja."

"Tapi, ayah, di manakah sebetulnya ayah ibu gadis ini?" tanya Ciang Ban, matanya memandang gadis yang tertidur itu dengan mata lahap.

"Siapa tahu mereka di mana? Mereka mengembalikan pangkat kepada Sribaginda Kaisar, mengundurkan diri dan sampai sekarang tidak ada yang tahu mereka berada di mana. Kalau saja kita tahu, tentu aku telah mencari jalan untuk membasmi mereka. Perdana Menteri Chin Kui sendiri pernah membicarakan mereka dan beliau juga menghendaki agar para pengikut mendiang Jenderal Gak yang setia itu dibasmi semua karena hanya akan mendatangkan kesulitan saja."

"Goanswe, tak perlu repot-repot membunuh gadis ini. Sekali menggerakkan tangan saja ia akan mati. Biarlah pinto membunuhnya sekarang juga selagi ia masih tidur pulas," kata Hwa Hwa Cin-jin sambil bangkit berdiri dan dia sudah mengangkat tangan kanan ke atas, siap untuk menotok jalan darah maut di tubuh Bi Lan.

"Nanti dulu, suhu!" tiba-tiba Ciang-kongcu bangkit dan menjulurkan tangan mencegah niat gurunya.

"Ayah, aku merasa sayang sekali kalau gadis sejelita ini, dibunuh begitu saja. Berikan ia kepadaku, ayah. Setelah aku merasa puas dengannya, tentu akan kubunuh!"

Jenderal Ciang memandang puteranya dan mengelus jenggotnya sambil tersenyum. Dia ingat kepada putera tunggalnya ini dan dia tahu bahwa puteranya itu memiliki kesukaan yang tiada bedanya dengan kesukaannya sendiri di waktu muda.

"Akan tetapi hati-hatilah, Ciang Ban. Gadis ini adalah murid Jit Kong Lhama dan ia lihai dan berbahaya sekali!"

Ciang-kongcu menyeringai lebar.

"Ha-ha, ayah. Aku mempunyai banyak cara untuk dia membuat ia tak berdaya dan tunduk kepadaku. Dengan totokan, dengan mengikat tangannya, atau dengan memberinya obat perangsang......"

"Hemm, sesukamulah. Hanya jangan engkau lengah. Nah, bawalah ia pergi ke kamarmu!" kata Jenderal yang mewariskan watak jahatnya kepada anak tunggalnya itu.

Ciang Ban yang sudah terlalu banyak minum arak sehingga mukanya merah itu tersenyum senang. Dia bangkit dan menghampiri Bi Lan yang masih tidur.

"Marilah, manisku. Mari kita bersenang-senang!" kata Ciang Ban dan tanpa malu-malu kepada ayahnya, Lui-ciangkun dan gurunya, pemuda ini hendak merangkul gadis itu, memondongnya dan membawanya ke kamar tidurnya yang berada tidak jauh dari ruangan itu. Dia mendorong daun pintu terbuka lalu masuk dan mendorong daun pintu kamar itu tertutup kembali dari dalam tanpa menguncinya.

Tubuh Bi Lan terasa lunak, kenyal, hangat dan menyebarkan keharuman dari pakaian dan rambutnya yang membuat Ciang Ban merasa semakin terbakar dan berkobar oleh nafsu berahinya. Melihat ulah puteranya itu, Jenderal Ciang malah tertawa geli.

Lui-ciangkun atau Lui To yang memang berwatak penjilat itu ikut tertawa bergelak dan Hwa Hwa Cin-jin yang memang berwatak cabul dan mata keranjang diam-diam merasa iri kepada Ciang-kongcu atau Ciang Ban. Tentu kalau bisa, ingin sekali dia menggantikan pemuda itu, mempermainkan gadis muda belia itu sepuasnya-puasnya dulu sebelum dibunuh!

Dengan muka kemerahan dan napas terengah-engah terbakar nafsu, Ciang Ban melempar tubuh Bi Lan ke atas pembaringan, kemudian bagaikan seekor singa kelaparan menerkam seekor domba, dia melompat dan menubruk ke arah gadis yang terlentang di atas pembaringan itu.

"Wuuuuttt...... desss""!!" Ciang Ban mengaduh ketika perutnya disambut tendangan sebatang kaki yang mungil namun yang kekuatannya seperti sepotong baja. Tubuhnya terlempar ke belakang dan jatuh berdebuk ke atas lantai kamar! Kiranya Bi Lan sama sekali tidak pingsan atau mabok seperti yang mereka semua kira.

Han Bi Lan adalah murid Jit Kong Lhama yang amat disayang datuk ini. Maka, selain ilmu-ilmu silat tinggi ia juga telah mempelajari segala macam ilmu sihir dan ilmu sesat dari datuk itu, termasuk ilmu tentang penolakan segala macam racun yang biasa dipergunakan oleh golongan sesat untuk menjatuhkan lawan secara licik. Ilmu sihirpun dikuasai oleh gadis ini. Dan iapun seorang gadis yang amat cerdik. Maka, ketika ia diterima dengan amat ramah oleh Ciang Ban dan Jenderal Ciang, juga melihat wajah Lui To dan terutama Hwa Hwa Cin-jin yang sinar matanya penuh kelicikan dan kepalsuan, ia sudah merasa curiga.

Diam-diam ia merasakan dan menyelidiki dengan lidahnya sebelum ia makan minum dan ia mendapat kenyataan bahwa makanan dan minuman itu tidak mengandung racun. Bagaimanapun juga, ia tetap berhati-hati, maka ketika ia permisi ke kamar mandi, di sana ia menelan sebutir pel merah, yaitu obat penolak racun untuk berjaga-jaga. Maka ketika ia minum lagi dan lidahnya merasakan sesuatu yang tidak wajar pada minumannya itu, ia menelannya saja seolah-olah tidak tahu apa-apa.

Setelah yakin bahwa minumannya mengandung obat pembius, Bi Lan pura-pura tertidur atau pingsan. Ia ingin tahu apa yang akan mereka lakukan dan apa yang akan mereka bicarakan. Setelah ia pura-pura pingsan, barulah ia mendengar pembicaraan mereka dan dengan kemarahan yang ditahan-tahan ia mengetahui bahwa mereka semua adalah orang-orang yang memusuhi ayahnya, bahkan mereka mempunyai hubungan dengan Ouw Kan, datuk suku Uigur yang dulu membunuh neneknya dan menculiknya.

Baru setelah tahu apa yang hendak dilakukan Ciang Ban terhadap dirinya, ketika pemuda bangsawan itu menerkam dirinya, Bi Lan menyambut dengan tendangan kakinya yang tepat mengenai perut pemuda itu. Ciang Ban mengaduh dan terjengkang lalu terbanting ke atas lantai. Akan tetapi pemuda ini bukan seorang lemah. Dia adalah murid dari Hwa Hwa Cin-jin, maka biarpun dia merasa perutnya mulas, dia memaksa diri melompat bangun sambil mencabut pedangnya yang belum keburu dia tanggalkan saking nafsunya sudah memuncak tadi.

Bi Lan sudah melompat turun dari atas pembaringan. Ciang Ban berteriak memberi isyarat kepada mereka yang berada di luar kamar, lalu dia membentak dan menyerang gadis itu dengan pedangnya. Dia menusukkan pedangnya lurus ke depan mengarah dada gadis itu dengan jurus serangan Tit-ci-thian-lam (Tudingkan Telunjuk ke Arah Selatan). Pedangnya meluncur cepat sekali dan seolah sudah pasti akan menembus dada Bi Lan. Namun Bi Lan merendahkan diri sehingga pedang itu meluncur ke atas kepalanya dan dari bawah, kedua tangannya bergerak cepat seperti dua ekor ular menyambar ke atas. Tangan kanannya memukul ulu hati lawan dan tangan kirinya merampas pedang.

"Ngekk".. uhhh"..!" Betapapun lihainya Ciang Ban, namun sekali ini dia bertemu lawan yang jauh lebih tinggi tingkat ilmu silatnya. Dia merasa ulu hatinya seperti ditotok toya baja, membuat dia tak dapat bernapas dan tiba-tiba saja pedang di tangan kanannya sudah direnggut lepas dari tangannya. Totokan pada ulu hatinya itu mendatangkan rasa nyeri yang hebat sehingga tubuhnya terhuyung ke arah pintu.

Bi Lan melompat ke depan, pedang rampasannya menyambar, disusul tendangan kakinya.

"Crakk...... desss......!"

Jenderal Ciang, Lui-ciangkun, dan Hwa Hwa Cin-jin, ketiganya adalah orang-orang yang tangguh, terutama sekali Hwa Hwa Cin-jin, terkejut mendengar teriakan Ciang Ban tadi. Mereka bertiga lari menuju ke pintu kamar itu. Akan tetapi tiba-tiba pintu kamar tertabrak sesuatu dan terbuka". Dan tubuh Ciang Ban melayang dan roboh di depan kaki tiga orang itu, disusul melayangnya kepala pemuda itu yang sudah terlepas dari lehernya. Darah membanjiri lantai dan tiga orang itu terbelalak.

Dapat dibayangkan betapa marah hati Jenderal Ciang melihat puteranya sudah menggeletak menjadi mayat dengan kepala terpisah. Demikian pula dengan Hwa Hwa Cin-jin dan Lui To. Otomatis mereka bertiga mencabut pedang masing-masing dan hendak menyerbu ke dalam kamar.

Akan tetapi pada saat itu, Bi Lan yang tidak ingin dikeroyok dalam sebuah kamar sempit, sudah melayang keluar dari dalam kamar. Tanpa banyak cakap saking marahnya, Jenderal Ciang sudah menerjangnya dengan pedangnya yang panjang dan tebal.

Bi Lan dengan mudahnya mengelak, akan tetapi pada saat itu Hwa Hwa Cin-jin sudah menyerang pula dan serangan tosu sesat ini jauh lebih berbahaya dibandingkan serangan Jenderal Ciang Sun Bo bahkan lebih berbahaya daripada gerakan Lui To yang juga mulai menyerang Bi Lan. Namun, setelah mempelajari Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat dari Kun-lun-pai, kitab yang dicurinya dari tangan Thian Liong itu, Bi Lan memiliki gerakan kaki yang aneh dan gesit luar biasa. Dengan beberapa lingkaran gerakan kaki saja ia sudah dapat menghindarkan diri dari serangan pedang tiga orang pengeroyoknya.

Kini, gadis yang tidak pernah memegang senjata, akan tetapi yang pandai mempergunakan senjata apa saja itu, telah merampas pedang milik Ciang Ban yang dibunuhnya. Kini ia memainkan pedang rampasan itu dengan Kwan Im Sin-kiam (Ilmu Pedang Dewi Kwan Im). Ilmu ini walaupun disebut ilmu pedang, namun Bi Lan dapat mempergunakan senjata apa saja, misalnya sebatang ranting kayu, untuk mainkan ilmu silat itu. Juga ia mahir ilmu Kim-bhok Sin-tung-hoat atau Ilmu Tongkat Sakti, akan tetapi ia pun dapat mempergunakan segala macam benda untuk memainkan ilmu silat ini.

Setelah pedangnya bergulung-gulung dalam permainan Kwan Im Sin-kiam, tiga orang pengeroyoknya terkejut. Bayangan gadis itu lenyap dan yang tampak hanya gulungan sinar pedang yang seperti gelombang samudera menggulung ke arah mereka.

Hwa Hwa Cin-jin masih dapat melindungi dirinya dengan putaran pedangnya sambil terus mundur, akan tetapi tidak demikian dengan Ciang Sun Bo atau jenderal Ciang. Dia menjerit ketika pedang puteranya yang dipegang Bi Lan itu menusuk ke dalam dadanya yang mengakibatkan dia roboh dan tewas seketika. Robohnya jenderal ini disusul robohnya Lui To atau Lui-ciangkun yang tersabet lehernya dan roboh mandi darah, tewas pula. Melihat ini, Hwa Hwa Cin-jin berteriak-teriak sambil melompat jauh melarikan diri.

Bi Lan melihat banyak perajurit pengawal berlarian datang, maka iapun lalu melompat ke ruangan samping yang terbuka, lalu tubuhnya melayang ke atas genteng. Para perajurit melakukan pengejaran, namun sebentar saja Bi Lan sudah lenyap dari tempat itu.

Namun di dalam gedung Jenderal Ciang terjadi kegemparan dan karena yang terbunuh adalah Jenderal Ciang, Perwira Lui, dan Ciang-kongcu, tentu saja hal ini menimbulkan kegemparan dan tak lama kemudian, kota raja penuh dengan perajurit yang melakukan pencarian dan pengejaran. Setiap Iorong jalan dijaga, sehingga Bi Lan menjadi bingung, tak ada jalan sama sekali untuk keluar dari kota raja.

Karena rumah gedung bekas tempat tinggal ayahnya yang kini ditempati Jenderal Ciang itu tidak jauh dari istana, maka ketika ia dihadang di sana-sini, terpaksa ia menyelinap ke sebuah lorong yang menembus ke arah istana. Di lorong ini tidak ada perajurit mencari atau berjaga karena siapa mengira bahwa si pengacau yang melakukan pembunuhan besar-besaran di rumah Jenderal Ciang akan berani melarikan diri ke daerah istana?

Sejak tadi udara diliputi mendung dan pada saat Bi Lan memasuki lorong itu, masih bingung bagaimana ia akan dapat melarikan diri keluar kota raja, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Hal ini agak menolongnya karena para perajurit penjaga keamanan kota yang dikerahkan untuk mengejar dan menangkap pembunuh, banyak yang berteduh di emper-emper rumah dan menghentikan pencarian mereka. Akan tetapi Bi Lan harus bergerak hati-hati, sambil sembunyi-sembunyi karena ia tahu bahwa biarpun mereka tidak mencari dan berlalu lalang di jalan, mata para perajurit itu tentu dengan penuh perhatian melihat ke arah orang-orang yang berani menempuh hujan di jalan.

Tiba-tiba saja, di sebuah tikungan, ia melihat seorang laki-laki berusia hampir enampuluh tahun yang berpakaian sebagai seorang panglima. Inilah jalan satu-satunya untuk dapat lolos dari kota raja, pikir Bi Lan. Ia masih memegang pedang rampasan dari tangan Ciang-kongcu tadi. Bagaikan seekor burung ia melompat keluar dan tahu-tahu ia sudah berada di depan panglima itu dan ujung pedangnya sudah menempel di tenggorokan orang itu. Sang panglima terkejut bukan main, terbelalak memandang, akan tetapi setelah melihat wajah gadis itu, wajahnya berseri-seri penuh harapan.

"Bi Lan......, engkau tentu Han Bi Lan puteri Han Si Tiong, bukan? Engkau yang telah mengamuk di rumah Jenderal Ciang?"

Tentu saja Bi Lan terkejut dan heran bukan main.

"Eh......, bagaimana engkau bisa tahu......?"

"Bi Lan, lupakah engkau kepadaku? Aku Kwee Gi, Panglima Kwee Gi, sahabat baik Han Si Tiong. Mari, mari cepat ikut aku, engkau harus bersembunyi, nanti saja kita bicara. Cepat pakai ini!" Panglima itu melepaskan mantelnya yang lebar lalu menyerahkannya kepada Bi Lan.

Gadis itu menutupi kepala dan badannya dengan mantel yang lebar ini, kemudian tanpa banyak cakap lagi ia membiarkan dirinya digandeng panglima itu melewati lorong-lorong yang sepi, kemudian memasuki rumah gedung dari pintu belakang.

Kini ia teringat akan Panglima Kwee Gi yang dulu seringkali datang bertamu ke rumah orang tuanya, bahkan sudah beberapa kali ia diajak ibunya berkunjung ke rumah sahabat ayahnya itu. Setelah teringat, tentu saja ia percaya sepenuhnya kepada panglima yang ia tahu merupakan sahabat baik ayahnya.

Setibanya di ruangan dalam, seorang pemuda tinggi besar muncul dan dia memandang heran melihat ayahnya bersama seorang gadis memasuki ruangan dalam itu.

"Ayah, siapa nona ini, dan mengapa""!"

"Cun Ki, ini adalah Bi Lan, puterinya pamanmu Han Si Tiong pemimpin Pasukan Halilintar yang terkenal itu. Ingat? Bi Lan, ini adalah Kwe Cun Gi, anak kami. Kalian sudah bersahabat dulu ketika masih kecil."

"Oh......! Kau Bi Lan...... yang dulu nakal dan manja itu?" seru pemuda tinggi besar berwajah tampan yang usianya sekitar duapuluh tahun itu.

"Dan engkau...... kakak Cun Ki yang dulu suka menggodaku. Engkau yang nakal sekali!" kata pula Bi Lan.

"Akan tetapi kabarnya engkau hilang diculik dan......"

"Cun Ki, tahan dulu bicaranya. Keadaan genting sekali. Bi Lan sedang dikejar-kejar seluruh perajurit penjaga keamanan di kota raja. Cepat kau keluar dan jaga agar jangan ada orang memasuki rumah kita. Atur para pengawal untuk berjaga ketat dan kalau ada yang mencariku, katakan aku sibuk memimpin pasukan di luar untuk mencari pembunuh."

Cun Ki membelalakkan matanya.

"Ah, aku mendengar tentang itu...... jadi".. engkaukah yang telah mengamuk dan melakukan pembunuhan terhadap Jenderal Ciang, Ciang Ban, dan Perwira Lui To itu?"

"Cun Ki, jangan banyak cakap! Cepat laksanakan perintahku! Nanti saja kalau mau bicara!"

"Baik, ayah." Pemuda itu lalu dengan gerakan yang gesit keluar dari ruangan dalam.

Panglima Kwee Gi membawa Bi Lan memasuki sebuah kamar, lalu berkata.

"Engkau tinggallah di sini sebentar, aku akan memanggil bibimu."

Bi Lan mengangguk. Ia tahu bahwa keadaannya berbahaya sekali. Kalau tidak ada Panglima Kwee yang melindunginya, kiranya akan sukar lolos dari kota raja yang kini semua pintu gapuranya pasti sudah terjaga ketat.

Tak lama kemudian, nyonya Kwee bersama suaminya muncul. Bi Lan segera mengenal wanita setengah tua yang masih tampak cantik itu. Nyonya Kwee juga mengenalnya dan mereka berangkulan.

"Aih, Bi Lan. Engkau lenyap begitu saja sebelas tahun yang lalu dan kini muncul secara mengejutkan pula." Nyonya itu lalu mengajak Bi Lan duduk di atas kursi dan daun pintu kamar itu ditutup rapat-rapat.

"B Lan, mulai hari ini engkau bersembunyi dulu di sini. Kepada para pelayan, kami akan memberitahukan bahwa engkau adalah seorang keponakan kami bernama Kwee Ciok Li. Ayahmu adalah adikku yang tinggal jauh di dusun sebelah selatan. Engkau tidak usah keluar dari rumah agar tidak berjumpa orang lain. Nanti kalau keadaan sudah aman, kita mencari jalan agar engkau dapat keluar dari kota raja."

"Ah, Paman Kwee, sungguh beruntung sekali aku bertemu dengan paman dan bibi. Paman telah menolong dan menyelamatkan nyawaku."

"Hemm, jangan berkata begitu. Tadi, begitu mendengar berita bahwa jenderal Ciang dan puteranya, juga Perwira Lui mati terbunuh seorang gadis cantik, aku segera dapat menduga bahwa agaknya engkaulah orangnya. Karena itu, ketika mendapat perintah untuk mengerahkan pasukan melakukan pencarian, aku sendiri lalu memisahkan diri dan mencarimu. Beruntung aku menemukan engkau sebelum yang lain menemukanmu. Sekarang, ceritakanlah siapa yang dulu membunuh nenekmu dan melukai tukang kebun dan apa yang terjadi selanjutnya denganmu?"

"Maaf, paman. Sebelum aku menceritakan pengalamanku, aku ingin lebih dulu mendengar tentang ayah ibuku. Untuk itulah aku datang ke kota raja, untuk mencari orang tuaku."

Pada saat itu Kwee Cun Ki melangkah masuk dan dengan singkat melaporkan bahwa penjagaan telah diatur sebaik mungkin. Setelah itu dia mengambil tempat duduk untuk ikut mendengarkan.

Panglima Kwee Gi menghela napas ketika, mendengar pertanyaan gadis itu tentang orang tuanya. Dia menggeleng kepala dan berkata.

"Bi Lan, ketika ayah dan ibumu pulang dari perang mereka mendapatkan engkau telah hilang diculik orang. Mereka lalu berusaha mencarimu. Bahkan akhirnya ayahmu, Han Si Tiong mengembalikan pangkatnya kepada pemerintah dan bersama isterinya lalu meninggalkan kota raja. Kepadaku mereka hanya mengatakan bahwa mereka hendak mencarimu sampai dapat. Sungguh menyesal sekali, Bi Lan, aku sendiri tidak dapat mengatakan di mana mereka berada karena sudah bertahun-tahun mereka tidak memberi kabar kepadaku."

Bi Lan mengerutkan alisnya. Hatinya kecewa akan tetapi ia tidak dapat menyalahkan panglima yang menjadi sahabat ayahnya itu.

"Biarlah aku akan membantumu mencari mereka, Lan-moi," kata Cun Ki.

"Terima kasih, Ki-ko (kakak Ki)," kata Bi Lan.

"Nah, sekarang ceritakan apa yang telah terjadi dengan dirimu, Bi Lan. Kami semua ingin sekali mengetahuinya."

"Ketika itu, aku diculik dan dilarikan oleh datuk sesat Ouw Kan. Dia menculikku untuk membalas dendam atas perintah Raja Kin karena ayah telah membunuh puteranya, Pangeran Cu Si, dalam perang. Ouw Kan hendak menyerahkan aku kepada Raja Kin. Di tengah jalan kami bertemu dengan Jit Kong Lhama dan pendeta Lhama itu berhasil mengalahkan Ouw Kan dan sejak itu aku menjadi murid Jit Kong Lhama."

"Pantas engkau menjadi lihai sekali, Lan-moi!" Cun Ki memuji, padahal dia belum melihat sampai di mana kelihaian gadis itu.

"Aku juga menjadi murid Kun-lun-pai," kata Bi Lan cepat agar diketahui bahwa ia bukan hanya menjadi murid datuk sesat itu, namun juga murid partai Ku-lun-pai yang terkenal! "Setelah tamat belajar, aku lalu cepat pergi ke kota raja untuk pulang ke rumah orang tuaku. Akan tetapi ternyata yang tinggal di sana adalah keluarga Jenderal Ciang Sun Bo. Bersama puteranya yang bernama Ciang Ban, dan seorang perwira bernama Lui To dan seorang pendeta tosu guru Ciang Ban bernama Hwa Hwa Cin-jin. Jenderal Ciang menyambutku dengan ramah. Dia mengatakan bahwa dia adalah sahabat baik ayah, maka dia menerimaku dengan baik, bahkan lalu mengadakan perjamuan makan untuk menyambut kedatanganku. Kami makan minum dan minumanku dicampuri obat bius."

"Jahat sekali!" Kwee Cun Ki berseru marah.

"Aku sudah menaruh kecurigaan maka diam-diam aku telah menjaga diri dan minum obat penawar racun. Aku lalu pura-pura pingsan terbius. Dalam keadaan itulah aku mendengar mereka bicara dan aku tahu bahwa mereka itu sebetulnya bersekutu dengan datuk jahat Ouw Kan yang dulu menculikku, berarti bersekutu dengan Raja Kin dan mereka adalah orang-orang yang memusuhi ayahku. Mereka hendak membunuhku, akan tetapi Ciang Ban yang terkutuk itu lalu memondongku ke dalam kamar dengan maksud kotor dan hina. Aku tidak dapat menahan kemarahanku lagi dan kubunuh pemuda itu. Jenderal Ciang, Perwira Lui To dan Pendeta Hwa Hwa Cin-jin menyerangku. Aku berhasil membunuh jenderal Ciang dan Perwira Lui, akan tetapi Hwa Hwa Cin-jin dapat melarikan diri. Karena banyak perajurit pengawal bermunculan, aku lalu melarikan diri."

Kwee Gi mengangguk-angguk.

"Hemm, akhirnya mereka menerima hukuman juga dan tewas di tanganmu, Bi Lan. Jenderal Ciang itu memang merupakan antek Perdana Menteri Chin Kui."

"Siapa itu Perdana Menteri Chin Kui, paman?"

"Dialah yang menjadi biang keladi semua ketidak-amanan dan kekacauan. Dia berhasil mempengaruhi kaisar dan perdana menteri itu bersekongkol dengan bangsa Kin di utara. Bahkan dia pula yang telah melakukan fitnah kepada jenderal Gak Hui pahlawan besar yang amat dihormati dan dibantu ayahmu. Han Si Tiong dan isterinya mengundurkan diri dari jabatannya, bukan hanya karena kehilangan engkau, akan tetapi terutama sekali karena kecewa melihat jenderal Gak Hui difitnah dan Kaisar berpihak kepada pengkhianat macam Chin Kui."

"Pantas Ouw Kan diutus raja Kin untuk mencelakakan ayahku, kiranya juga dikarenakan ayah menjadi pembantu setia Jenderal Gak Hui," kata Bi Lan gemas.

"Begitulah. Kita semua mengetahui bahwa Chin Kui seorang pengkhianat yang bersekongkol dengan penjajah Kin yang menguasai daerah utara Sungai Yang-ce. Bangsa Kin menguasai daerah itu dan Chin Kui telah membujuk kaisar agar tidak melawan, bahkan berbaik dengan penjajah mengirim upeti setiap tahun. Semua itu tentu ada imbalannya dan semua orang tahu betapa kaya rayanya Perdana Menteri Chin Kui itu."

"Hemm, kenapa ada pengkhianat macam itu di kerajaan tidak ada yang menentang? Kenapa kaisar begitu bodoh? Apa tidak ada pejabat tinggi yang setia kepada negara dan berusaha menentang perdana menteri jahat itu?" tanya Bi Lan penasaran.

Kwee-ciangkun menghela napas panjang.

"Apa yang dapat kami lakukan? Dia memiliki kekuasaan yang besar, bahkan kaisar sendiri selalu menuruti kata-katanya. Menentang dia, bisa berarti menentang pemerintah, menentang kaisar sendiri, dan akan berhadapan dengan pasukan pemerintah."

"Kalau begitu, sebaiknya orang seperti itu dibinasakan saja! Aku sanggup melakukannya, paman!" kata Bi Lan penuh semangat.

Panglima Kwee tersenyum dan mengangguk-angguk.

"Engkau memang pantas menjadi puteri Han Si Tiong dan Liang Hong Yi, Bi Lan! Semangatmu besar dan keberanianmu menakjubkan. Akan tetapi aku harus melarangmu. Entah sudah berapa banyak orang-orang gagah melakukan usaha itu, namun semua gagal dan bahkan mereka yang tewas. Perdana Menteri Chin Kui menjaga dirinya dengan ketat. Pasukan pengawal khusus yang terdiri dari jagoan-jagoan, di antaranya didatangkan dari utara, selalu melindunginya siang malam. Betapapun tinggi kepandaian silatmu, tidak mungkin menembus pertahanan yang amat kuat itu."


KISAH SI NAGA LANGIT JILID 14

"Hemm, kalau begitu, apakah orang macam itu dibiarkan saja mengkhianati tanah air dan bangsa?" Bi Lan penasaran.

"Tidak, Bi Lan. Kami, orang-orang setia kepada Kerajaan Sung, tidak tinggal diam. Kami sudah menyusun kekuatan dan kami sedang berusaha untuk mendapatkan bukti-bukti penyelewengannya, baik penyelewengannya dalam korupsi uang negara, pemerasan terhadap para bangsawan dan hartawan, pajak-pajak gelap yang dilakukannya, yang hasilnya masuk kantungnya sendiri, juga kami sedang mengumpulkan bukti penyelewengannya tentang persekongkolannya dengan Bangsa Kin. Bukti bahwa dia menerima banyak hadiah dari Bangsa Kin. Semua itu, kalau sudah dapat dikumpulkan, akan kami haturkan kepada Sribaginda Kaisar. Dengan demikian maka kaisar yang akan bertindak. Kecuali dengan jalan itu, amat sukar untuk mengalahkan Chin Kui yang memiliki kekuasaan dan pengaruh besar sekali. Satu-satunya orang yang akan mampu menundukkan hanyalah kaisar sendiri."

Bi Lan mengangguk-angguk.

"Ah, begitukah, paman? Kalau begitu, dalam hal ini aku tidak dapat membantu. Aku ingin segera keluar dari kota raja, paman, untuk mencari ayah dan ibuku."

"Tentu saja, akan tetapi bersabarlah. Sekarang sedang hangat-hangatnya pasukan mencarimu. Perdana Menteri Chin Kui sendiri tentu marah dan merasa kehilangan karena Jenderal Ciang dan Perwira Lui merupakan pembantu-pembantunya yang setia. Tunggu sampai beberapa hari, kalau suasananya sudah dingin dan mereka semua mengira bahwa engkau pasti sudah lolos dari kota raja, barulah aku akan mengatur agar supaya engkau dapat keluar dari kota raja."

"Baiklah paman. Akan tetapi, apakah paman dapat memberi petunjuk kepadaku, di manakah kiranya orang tuaku sekarang?"

Panglima Kwe menggeleng kepala dan menghela napas.

"Aku sudah berusaha menyebar orang-orangku untuk mencari, namun tidak berhasil menemukan jejak mereka. Aku hanya mempunyai satu perkiraan, yaitu besar sekali kemungkinannya mereka pergi ke utara untuk mencari Ouw Kan karena mendengar akan ciri-ciri penculik itu dari tukang kebun yang belum terbunuh mati, kami sudah dapat menduga bahwa pelakunya adalah Ouw Kan yang berjuluk Toat-beng Coa ong. Dia adalah seorang suku bangsa Hui dan berasal dari Sin-kiang. Kini dia membantu pemerintah bangsa Kin di utara. Karena itu besar kemungkinan ayah ibumu mencarinya ke utara, atau ke Sin-kiang."

Sampai seminggu lamanya Bi Lan bersembunyi di dalam rumah Panglima Kwee dan dalam waktu seminggu itu, hubungannya dengan keluarga itu menjadi akrab. Terutama sekali Kwee Cun Ki. Pemuda itu nampak benar-benar tertarik kepada Bi Lan, bahkan berulang kali dia mengatakan kepada gadis itu bahwa dia ingin menemani gadis itu mencari orang tuanya di utara dan Sin-kiang.

Ketika pada hari kedelapan Panglima Kwee mengatakan kepada Bi Lan bahwa waktunya sudah tiba bagi Bi Lan untuk diselundupkan keluar kota raja, Cun Ki mengulangi keinginannya itu kepada Bi Lan, di depan ayah ibunya.

"Lan-moi, sekali lagi aku minta agar engkau suka kutemani untuk mencari orang tuamu. Melakukan perjalanan seorang diri di daerah musuh itu sungguh amat berbahaya bagimu."

Panglima Kwee dan isterinya sudah maklum bahwa putera tunggal mereka itu jatuh cinta kepada Bi Lan. Di dalam hati, mereka setuju sekali kalau Bi Lan menjadi mantu mereka. Kwee Gi segera berkata,

"Kami setuju kalau Cun Ki menemanimu, Bi Lan. Dengan bantuannya, tentu akan lebih mudah menemukan orang tuamu."

"Benar, Bi Lan," kata Nyonya Kwee.

"Dengan adanya Cun Ki yang menemanimu, hati kami tidak akan merasa gelisah seperti kalau engkau pergi seorang diri. Seorang gadis merantau seorang diri tanpa kawan di tempat yang jauh itu, apalagi di daerah musuh, sungguh hatiku akan merasa gelisah selalu. Engkau sudah kuanggap seperti anak sendiri, Bi Lan."

Ucapan nyonya ini sebetulnya sudah merupakan isyarat yang jelas bahwa ia ingin Bi Lan menjadi anak mantunya. Akan tetapi Bi Lan tidak mengerti dan ia cepat menjawab.

"Terima kasih atas kebaikan hati paman, bibi dan juga Ki-twako. Kalian telah menolongku dan bersikap baik sekali kepadaku. Untuk itu aku mengucapkan banyak terima kasih. Akan tetapi, aku ingin melakukan perjalanan seorang diri. Terima kasih atas penawaranmu untuk menemaniku, Ki-twako. Ketahuilah bahwa aku masih mempunyai tugas pribadi yang harus kuselesaikan. Kelak, kalau semua tugas dan urusanku sudah selesai, aku pasti akan datang berkunjung untuk mengucapkan terima kasihku."

Karena Bi Lan bersikeras menolak, maka Cun Ki tidak berani memaksa, hanya dia merasa kecewa bukan main. Dia tadinya mengharapkan bahwa kalau melakukan perjalanan bersama, gadis yang membuatnya tergila-gila itu akan tergerak hatinya dan akan membalas cintanya. Akan tetapi melihat Bi Lan berkeras tidak mau ditemani, tentu saja dia tidak berani memaksa yang akan membuat gadis itu marah.

Usaha membawa Bi Lan keluar kota raja dipersiapkan. Sebuah kereta berhenti di depan gedung keluarga panglima Kwee. Kusirnya seorang laki-laki yang masih muda, berwajah tampan. Tak lama kemudian, Panglima Kwee masuk ke dalam kereta dan di belakang kereta terdapat belasan orang perajurit pengawal menunggang kuda. Rombongan kecil ini lalu berangkat dan keluar dari pintu gerbang kota raja sebelah utara.

Para perajurit yang menjaga di pintu gerbang segera memberi hormat ketika melihat bahwa penumpang kereta itu adalah Panglima Kwee Gi dan isterinya.

Pada hari-hari kemarin, tentu ada perwira anak buah Perdana Menteri Chin Kui yang ikut menjaga dan mengawasi. Kalau ada mereka, biarpun yang lewat itu Panglima Kwee, tentu mereka akan melakukan pemeriksaan yang teliti. Akan tetapi, pencarian pembunuh itu kini sudah tidak ketat 1agi. Seminggu telah lewat dan pembunuh itu tidak ditemukan jejaknya. Dianggap sudah kabur dari kota raja, maka kini di pintu gerbang hanya dijaga para perajurit keamanan biasa.

Panglima Kwee adalah komandan pasukan keamanan, maka tentu saja para perajurit percaya kepadanya dan setelah memberi hormat, para penjaga itu membiarkan kereta dan pengawalnya lewat keluar dari pintu gerbang.

Belasan orang perajurit itu adalah orang-orang kepercayaan Panglima Kwee. Setelah rombongan tiba jauh dari pintu gerbang, di jalan yang sunyi, rombongan berhenti. Seorang pengawal muda turun dari atas kudanya, menanggalkan pakaian luarnya dan kini mengenakan pakaian yang sama dengan yang dipakai kusir, lalu menggantikan kedudukan kusir. Kusir itu bukan lain adalah Bi Lan yang menyamar sebagai kusir. Semua perlengkapannya telah dibungkus dalam buntalan pakaian yang disembunyikan dalam kereta. Dalam buntalan itu, selain pakaiannya, juga ada sekantung uang emas sebagai bekal, merupakan hadiah dari Panglima Kwee.

Setelah mengucapkan terima kasih dan memberi hormat kepada Panglima Kwee Gi dan isterinya, Bi Lan lalu menunggangi kuda yang tadi ditunggangi pengawal yang kini menjadi kusir, dan gadis itupun membedal kudanya, membalap ke arah utara, diikuti pandang mata Panglima Kwee Gi dan isterinya. Kekecewaan dan keharuan membayang dalam pandang mata suami isteri itu. Mereka lebih senang melihat gadis itu berada di rumah mereka, sebagai anak mantu mereka! Kini gadis itu telah pergi, menuju ke seberang utara yang dikuasai bangsa Kin, tempat berbahaya sekali dan entah mereka akan dapat bertemu lagi dengan gadis itu ataukah tidak.

Thian Liong menuruni lereng bukit itu sambil melamun. Dia merasa kecewa dan menyesal sekali karena sebuah di antara tugas yang diberikan kepadanya oleh gurunya telah gagal. Dia telah berhasil menyerahkan kitab Sam-jong Cin-keng kepada Cu Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai, bahkan telah beruntung diberi kesempatan mempelajari ilmu dari kitab itu oleh ketua Siauw-lim-pai sehingga dia memperoleh kemajuan besar dalam ilmu silatnya. Kemudian dia juga telah menyerahkan kitab Kiauw-ta Sin-na kepada Ciang Losu ketua Bu-tong-pai. Akan tetapi kitab yang ketiga, yaitu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang seharusnya dia berikan atau kembalikan kepada Kun-lun-pai seperti yang diperintahkan gurunya, telah lenyap dicuri gadis liar berpakaian merah muda itu.

Dia harus bertanggung jawab. Dia harus dapat merebut kembali kitab itu dan menyerahkannya kepada yang berhak, yaitu kepada Kun-lun-pai. Akan tetapi dia tidak mengenal siapa gadis itu, siapa namanya dan ke mana harus mencarinya!

Kalau dia tidak dapat menemukan gadis maling itu dan mengembalikan kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat kepada Kun-lun-pai, dia belum mau sudah karena dia mengabaikan perintah gurunya dan dia merasa "berhutang" kepada Kun-lun-pai. Wah, gadis berpakaian merah muda itu! Gemas sekali dia! Awas kau, kalau dapat kutemukan, bukan saja kitab itu kurampas darimu, juga engkau patut diberi hajaran. Akan kupukul pantatmu sampai sepuluh kali, seperti yang dia seorang bapak memukul pantat anaknya yang nakal ketika dia berkunjung ke dusun kaki bukit dulu. Biar tahu rasa kau! Demikian gemas rasa hati Thian Liong sehingga dia bersungut-sungut sendiri. Gadis liar! Rampok, maling! Kurang ajar betul.

Tiba-tiba wajah gadis berpakaian merah muda yang tadinya dia membayangkan sebagai wajah setan, berubah dan tampaklah wajah lain. Wajah seorang gadis lain yang berpakaian serba hijau dan memakai bunga mawar merah di rambutnya. Wajah Thio Siang In yang berjuluk Ang Hwa Sianli! Gadis yang satu ini sama liarnya, juga sama lihainya, sama kurang ajarnya. Masa ingin pinjam kitab Sam-jong Cin-keng milik Siauw-lim-pai dan pinjamnya pakai memaksa lagi!

Hemm, bagaimanapun juga dia telah menghajar gadis itu dengan mengalahkannya sehingga ia pergi dengan marah marah. Tidak sekurang ajar gadis baju merah muda yang mencuri kitab milik Kun-lun-pai! Ah, kenapa nasibnya begini? Bertemu dengan dua orang gadis liar yang sama-sama membikin dia pusing dan marah. Tiba-tiba terbayang wajah seorang gadis lain! Nah, yang ini lagi! Tiada hujan tiada angin, menyerangnya mati-matian dan setelah dia berhasil mengalahkannya, dia harus mengawininya! Gila! Kalau dia menolak, gadis bernama Kim Lan itu harus membunuhnya dan kalau gagal, harus membunuh diri sendiri atau akan dibunuh gurunya! Aturan mana ini? Si nenek yang menjadi guru Kim Lan dan sumoinya yang bernama Ai Yin itu boleh jadi sudah gila, mengadakan peraturan seperti itu kepada murid-murid wanitanya. Gila! Apakah para wanita itu sudah gila semua?

Setelah meninggalkan Siauw-lim-si, Thian Liong mengambil keputusan untuk melaksanakan dua kewajiban yang dipesan oleh gurunya. Pertama, dia harus merebut kembali kitab pusaka milik Kun-1un-pai itu. Dan kedua, gurunya pesan agar dia membantu Kerajaan Sung menghadapi musuh-musuhnya. Dia mengingat-ingat. Suhunya pernah menyebut nama Perdana Menteri Chin Kui sebagai orang jahat dan berkhianat dan yang telah mempengaruhi kaisar. Dia diberi tugas untuk menyelamatkan Kerajaan Sung dari pengaruh para pembesar yang jahat. Akan tetapi, yang lebih dulu harus dia kerjakan adalah mencari gadis setan berbaju merah itu untuk merampas kembali kitab pusaka Kun-lun-pai!

Dia mengenang kembali pertemuannya dengan gadis berpakaian merah itu. Hemm, cantik jelita dan lincah jenaka memang. Tapi galaknya minta ampun. Dan kejam. Begitu saja membunuh orang, biarpun yang dibunuhnya itu seorang penjahat. Akan tetapi ilmu silatnya amat hebat. Hanya dengan sebatang ranting, ia mampu mempermainkan si gendut, perampok lihai itu, bahkan membunuhnya. Permainan rantingnya mirip ilmu pedang.

Thian Liong menghentikan langkahnya, memejamkan matanya untuk membayangkan kembali gerakan gadis baju merah itu ketika bertanding melawan perampok gendut. Dia banyak tahu akan aliran ilmu silat dari gurunya. Gurunya pernah membeberkan rahasia dasar gerakan silat perguruan-perguruan besar, bahkan ilmu silat dari aliran luar pedalaman Cina seperti ilmu silat yang berdasar pada aliran Tibet, Gobi, Mancu, Mongol dan lain-lain.

Sekarang dia teringat benar. Gerakan kedua kaki gadis baju merah itu ketika bergeser, dengan berjingkat dan berputar. Itu adalah gerakan dasar ilmu silat aliran Tibet yang diajarkan pendeta Lhama di Tibet. Gurunya, Tiong Lee Cin-jin sudah pernah bertahun-tahun tinggal di Tibet dan mempelajari ilmu silat dari suku bangsa itu.

Ah, tidak salah lagi. Dia ingat benar. Gadis yang mencuri kitab Ngo-heng Loan-hoan Kun-hoat milik Kun-lun-pai itu ada1ah seorang ahli silat aliran Tibet. Mungkin ia murid seorang tokoh pendeta Lhama yang sakti. Karena itu, dia harus mencari ke daerah utara, daerah yang diduduki bangsa Kin karena besar kemungkinan gadis maling itu melarikan diri ke sana. Pula, dalam perjalanan dia mendengar betapa bangsa Kin di utara itu melakukan penindasan dan pemerasan terhadap rakyat pribumi Han. Agaknya di sanalah dia akan lebih banyak dibutuhkan rakyat yang terjajah daripada di selatan.

Demikianlah, dia melakukan perjalanan ke utara, ke daerah yang dikuasai pemerintah bangsa Kin. Sesungguhnya, kerajaan Kin tidaklah begitu kuat. Andaikata Kaisar Kao Tsung yang kini bertahta di kota raja baru Nan-king mengerahkan para panglimanya seperti mendiang Gak Hui untuk menyerbu ke utara dan melakukan perlawanan, besar kemungkinan mereka akan mampu mengusir bangsa Kin dari tanah air. Akan tetapi, Kaisar Kao Tsung terlalu lemah dan terlalu dipengaruhi Perdana Menteri Chin Kui dan antek-anteknya yang menakut-nakuti kaisar, yang mengatakan bahwa bangsa Kin terlalu kuat dan sebagainya, maka Kaisar Kao Tsung mengalah dan tidak pernah melakukan perlawanan. Dia hanya puas dengan daerah di sebelah selatan Sungai Yang-ce yang dikuasainya. Memang daerah selatan ini jauh lebih subur dibandingkan daerah utara, namun kekalahan Dinasti Sung dari bangsa Kin ini menyuramkan kebesaran Kerajaan Sung yang pernah berjaya.

Benar saja seperti yang telah didengar dalam perjalanannya, ketika memasuki daerah jajahan itu, Thian Liong melihat keadaan rakyat yang hidup menyedihkan. Bukan hanya banjir besar di musim hujan dan kekeringan di musim panas yang membuat mereka hidup dalam keadaan miskin, hanya cukup untuk makan secara hemat sekali, akan tetapi yang, lebih daripada itu adalah tekanan dari para pembesar yang membuat mereka dicekam rasa ketakutan. Di kota kota, para pedagang ditekan dengan pajak yang luar biasa besarnya, yang memaksa banyak pedagang kecil menjadi bangkrut. Hanya pedagang yang besar dan mampu menyogok para pembesar saja yang dapat hidup.

Kehidupan rakyat di pedusunan tidak lebih baik. Hampir setiap orang kepala dusun, sikapnya seolah menjadi raja kecil yang menentukan mati hidupnya tiap warga dusun! Sang kepala dusun berhak menentukan apa saja. Keputusan pribadinya menjadi hukum tak tertu1is yang harus dipatuhi. Tidak ada satupun yang salah pada dirinya. Semua harus dianggap benar dan harus ditaati setiap warga dusun. Dia bisa merampok terang-terangan yang disebut menyita barang mereka yang berdosa, bisa memperkosa anak gadis orang yang disebutnya menikahinya sebagai selir. Tak seorangpun berani menentang kehendaknya kalau orang itu masih ingin hidup. Kalau kepala dusunnya seperti itu, kaki tangannya lebih mengerikan lagi!

Melihat keadaan seperti ini, jiwa kependekaran Thian Liong bangkit dan di mana saja dia berada, dia tentu turun tangan memberi hajaran kepada mereka yang bertindak sewenang-wenang mengandalkan kekuasaan dan kekerasan, dan menolong mereka yang tertindas dan lemah tak berdaya. Dia tidak pernah menyembunyikan namanya dan mengaku bernama Thian Liong setiap kali perbuatan gagahnya menggegerkan sebuah dusun atau kota. Sebentar saja dia dianggap sebagai Si Naga Langit (Thian Liong) seolah-olah mahluk yang menjadi lambang kebesaran dan kesaktian itu turun dari langit untuk membela dan menolong rakyat yang menderita!

Dalam perjalanan ini, tidak lupa Thian Liong bertanya-tanya, mencari keterangan tentang seorang gadis yang cantik jelita dan yang pakaiannya serba merah muda. Akan tetapi sampai hari ini, ketika dia menuruni lereng bukit di kaki Pegunungan Thai-san, tidak ada orang yang dapat memberi keterangan kepadanya tentang gadis itu.

Ketika dia melihat sebuah dusun yang cukup besar dan ramai di kaki bukit, Thian Liong segera memasukinya. Dusun itu tampak cukup ramai dan tidak seperti yang dia lihat di dusun-dusun yang pernah dilaluinya, dusun ini kelihatan tenang. Penduduknya tidak tampak begitu dicekam ketakutan seperti dusun-dusun lain sebelah selatan. Mungkin semakin dekat tempat itu dengan pemerintah pusat di Peking, semakin baiklah pembesarnya karena takut kepada atasan yang sewaktu-waktu dapat melakukan pemeriksaan, tidak seperti dusun-dusun yang jauh, yang tak pernah dilalui pejabat pejabat yang memeriksa keadaan di dusun-dusun.

Dusun Leng-ciu dapat juga disebut kota karena tampak ramai, banyak toko dan bahkan ada rumah makan dan rumah penginapan, walaupun sederhana. Dia mendapat harapan untuk mendengar berita tentang gadis baju merah di tempat ini. Hari sudah siang dan Thian Liong merasa perutnya lapar karena sejak kemarin malam dia belum makan. Pagi tadi tidak sempat makan karena dia melakukan perjalanan naik turun bukit dan tidak melewati dusun. Melihat sebuah rumah makan yang kosong, tidak ada tamunya, dia lalu masuk.

Seorang pelayan setengah tua, berusia kurang lebih empatpuluh tahun, menyambutnya dengan senyum ramah.

"Siauw-ko (saudara muda) hendak makan apa? Dan minum?"

"Hidangkan nasi dan masakan sayur, minumnya air teh saja."

"Air teh? Ah, siauwko, kami mempunyai arak yang lezat!" pelayan itu menawarkan.

"Terima kasih, paman. Aku...... eh, aku tidak biasa minum arak, takut mabok," jawab Thian Liong sambil tersenyum.

"Bagus! Bagus! Aku sendiri juga hampir tidak pernah minum arak, lebih baik teh, menyehatkan. Sebal sekali anakku laki-laki itu, setiap hari mabok. Ayaaa"" bikin jengkel orang tua saja!" Pelayan itu menggeleng-geleng kepala lalu pergi untuk menyediakan makanan yang dipesan Thian Liong.

Pemuda ini tersenyum sendiri, akan tetapi juga timbul niatnya untuk mengajak pelayan yang suka bicara itu untuk bercakap-cakap. Siapa tahu dia tahu tentang gadis yang dicarinya. Apalagi saat itu, rumah makan sepi tidak tampak tamu lain.

Ketika pelayan itu mengantar nasi dan semangkuk sayur, sepoci teh dengan cawannya, Thian Liong mengajaknya bicara sambil makan.

"Duduklah, paman dan mari temani aku minum teh. Nanti kalau ada tamu boleh paman tinggalkan aku."

Pelayan itu menerima undangan itu dengan senang dan setelah minum teh secawan, Thian Liong bertanya,

"Paman, aku ingin sekali bertanya. Apakah paman pernah melihat seorang gadis cantik berpakaian serba merah muda, punya lesung pipit di kanan kiri bibirnya dan...... gadis itu pandai ilmu silat?"

Pelayan itu mengerutkan alisnya.

"Gadis cantik jelita dan pandai ilmu silat? Wah, ada, benar tentu ia yang kau maksudkan itu! Masih muda belia, senyumnya semanis madu, kerling matanya seperti kilat menyambar, kalau tertawa semua bunga bermekaran, matahari bersinar semakin terang!"

"Betul, betul dara itu yang kumaksudkan! Di mana ia, paman?"

"Tapi pakaiannya bukan serba merah muda, melainkan putih, sutera putih halus dengan perhiasan gemerlapan. Memang ada yang merah, akan tetapi bukan pakaiannya melainkan sabuknya, sabuk sutera merah. Pakaiannya serba putih, elok anggun seperti burung Hong, karena itu semua orang menyebutnya Pek hong Niocu (Nona Burung Hong Putih)!"

Tiba-tiba ada serombongan orang memasuki rumah makan dan pelayan itu cepat bangkit.

"Maaf, siauw-ko, ada tamu!" Bergegas dia menyambut rombongan terdiri dari empat orang itu. Seorang laki-laki muda berusia duapuluh lima tahun, seorang gadis cantik berusia sekitar duapuluh tahun, dan suami isteri setengah tua sekitar limapuluh tahun.

Pelayan itu segera mempersilakan mereka duduk menghadapi sebuah meja sebelah dalam, terhalang tiga meja dari tempat Thian Liong makan. Thian Liong tidak memperhatikan mereka yang tampaknya seperti penduduk biasa. Dia sedang melamun, merenungkn cerita pelayan tadi.

Tidak mungkin nona yang disebut Nona Burung Hong Putih itu gadis maling yang mencuri kitab pusaka Kun-lun-pai. Walaupun sama cantik dan sama pandai silat, namun pakaiannya jauh berlainan. Maling wanita itu berpakaian serba merah muda, kalau yang diceritakan pelayan itu pakaiannya serba putih. Pula, maling wanita itu tidak memegang senjata, ketika membunuh perampok, hanya mempergunakan sebatang ranting. Akan tetapi Burung Hong Putih ini menggunakan sehelai sabuk sutera merah!

Tentu bukan gadis yang dicarinya. Betapapun juga, ia merasa tertarik. Siapa tahu gadis maling itu berganti warna pakaiannya? Atau, setidaknya, mungkin sebagai sama-sama wanita pandai ilmu silat, Burung Hong Putih ini mengenal gadis berpakaian merah muda.

Tiba-tiba dua orang laki-laki muda berusia antara duapuluh lima sampai duapuluh tujuh tahun memasuki rumah makan itu. Melihat betapa mereka berdua berjalan terhuyung sambil menyeringai dan tertawa-tawa, mudah diduga bahwa keduanya sudah mabok.

"Kita baru saja minum, masa mau minum lagi......?" kata seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus.

"Ha-ha-ha, di sini tempatnya mi bakso yang paling enak di dunia""! Ha-ha, heii, pelayan, hidangkan mi bakso komplit dua porsi! Cepat......!!" Dua orang itu lalu mengambil tempat duduk di meja yang berdekatan dengan meja rombongan pertama. Pelayan setengah tua itu agaknya mengenal mereka karena dia bergegas menghampiri meja itu dan menggunakan kain lap untuk membersihkan meja itu.

"Oh, Bouw-kongcu (Tuan Muda Bouw) dan Ban-kongcu (Tuan Muda Ban). Silakan duduk, silakan duduk......" kata pelayan itu dengan sikap hormat.

"Cerewet!" bentak si tinggi kurus yang disebut Bouw-kongcu.

"Hayo cepat sediakan bakmi bakso dua mangkok, bodoh!" bentak Ban-kongcu yang tubuhnya tinggi besar dan sikapnya kasar.

"Baik, baik, ji-wi kongcu (tuan muda berdua)......" pelayan itu ialu cepat-cepat mengambilkan pesanan dua orang muda itu. Ketika dia lewat di dekat Thian Liong, dia berbisik,

"hemm...... mereka putera kepala Dusun Bouw dan Kepala Keamanan Ban......"

Thian Liong melirik ke arah dua orang itu. Mereka mengeluarkan sebuah guci yang tadi dibawa Ban-kongcu dan bergantian minum lagi sambil tertawa-tawa.

"Ehh? Manis sekali!" Tiba-tiba Bouw-kongcu yang tinggi kurus itu memandang kepada gadis cantik yang duduk bersama rombongan pertama tadi. Gadis itu menundukkan mukanya.

"Heh-heh, kalau engkau suka, biar ia menemani kita makan minum," kata Ban-kongcu sambil bangkit berdiri.

"Ya, heh-heh, tentu saja. Ajak ia ke sini...... si manis itu...... heh-heh."

Orang muda she Ban yang bertubuh tinggi besar itu lalu bangkit berdiri dan menghampiri meja rombongan empat orang itu. Dia langsung menghampiri nona tadi dan berkata.

"Nona manis, Bouw-kongcu mengundang engkau makan minum bersama kami. Hayo, manis!"

Gadis itu tampak ketakutan dan menggeleng-geteng kepala.

Pemuda itupun bangkit berdiri, diikuti laki-laki setengah tua.

"Sobat, apa artinya ini? Kami tidak mengenal anda, jangan paksa adik saya untuk makan bersama, itu tidak sopan namanya!" kata pemuda itu dengan sikap marah. Juga laki-laki setengah tua itu marah.

"Jangan ganggu anakku!" bentaknya.

Ban Gu, demikian nama putera kepala keamanan dusun itu, membelalakkan matanya yang sudah lebar, memandang kepada ayah dan puteranya itu berganti-ganti.

"Ha-ha, kalian berani menentangku, ya? Kalian belum mengenal siapa aku dan siapa Bouw-kongcu itu?"

"Sabarlah, sobat," ayah pemuda itu mencoba untuk menyabarkan Ban Gu.

"Kami sekeluarga baru saja tiba di kota Leng-ciu ini, kami tidak mengenal siapa kalian berdua dan kamipun tidak melakukan kesalahan apapun. Karena itu, harap jangan ganggu puteri saya, jangan ganggu kami yang hanya ingin makan di sini."

"Bodoh! Aku Ban Gu adalah putera Kepala Pasukan Keamanan di sini dan Bouw-kongcu adalah putera kepala daerah yang berkuasa di sini, tahu? Hayo! nona ini harus menemani kami makan minum dan siapapun tidak boleh menghalangi!" Setelah berkata demikian, Ban Gu menangkap pergelangan tangan gadis itu dan menariknya berdiri.

Pemuda yang menjadi kakak gadis itu marah.

"Engkau kurang ajar, hendak menghina adikku?" Dia maju dan hendak menangkap pundak Ban Gu untuk ditariknya agar terlepas dari adiknya. Akan tetapi agaknya Ban Gu seorang yang pandai ilmu silat. Sekali dia melayangkan tinjunya, pemuda itu terpelanting roboh.

Ayah pemuda itu maju hendak mencegah Ban Gu menarik puterinya, akan tetapi sekali lagi Ban Gu mengayun tangan dan laki-laki setengah tua itupun terpelanting menabrak kursi. Sambil terbahak Ban Gu menangkap lagi tangan gadis itu dan menyeretnya menuju ke meja di mana Bouw-kongcu menunggu sambil menyeringai senang.

"Ting-yi......!" Ibu itu memburu, akan tetapi sebuah tendangan dari Ban Gu membuat nyonya itu terjengkang. Gadis itu menjerit, akan tetapi dengan mudah Ban Gu mengangkatnya dan memaksanya duduk di atas kursi di samping Bouw-kongcu.

Pada saat itu, Thian Liong sudah hampir tidak dapat menahan kemarahannya. Akan tetapi dia menahan diri karena terdengar derap kaki kuda di luar rumah makan dan seorang gadis berpakaian serba putih berkilau melompat turun dari punggung kuda. Thian Liong yang tadinya sudah bangkit berdiri untuk menghajar dua orang pemuda berandalan itu duduk kembali saking heran dan kagumnya. Gadis ini benar-benar mengingatkan dia akan gadis maling yang mencuri kitab pusaka Kun-lun-pai. Bentuk tubuh yang denok semampai itu sama, wajahnya memang agak beda, akan tetapi keduanya sama cantik dan sepasang mata itupun sama-sama mencorong, bibirnya tersenyum nakal dan gerakannya gesit sekali. Tanpa disadarinya, Thian Liong mengamati dengan penuh perhatian.

Gadis itu berusia sekitar sembilanbelas tahun, pakaiannya dari sutera putih bersih berkilauan, pinggang ramping itu dililit sabuk merah. Rambutnya dikuncir tebal panjang diberi pita merah dan di atas kepalanya terhias sebuah perhiasan berbentuk burung Hong putih dari perak bermata mirah yang indah sekali. Agaknya gadis itu sengaja membuat perhiasan yang sesuai dengan julukan yang diberikan orang, atau orang-orang memberi julukan kepadanya karena di antaranya melihat perhiasan itu.

Wajahnya manis sekali, kulitnya putih bersih, seperti biasa kulit wanita dari utara. Matanya mencorong seperti bintang dan senyumnya yang manis itu mengandung kenakalan. Tubuhnya yang ramping padat itu amat menggairahkan, dengan lekuk lengkung yang sempurna. Pakaiannya menunjukkan bahwa ia seorang wanita bangsawan bangsa Kin, dengan hiasan bulu indah pada leher dan pada sepatunya yang terbuat dari kulit berwarna hitam mengkilat berbentuk sepatu tinggi membungkus betis (sepatu boot). Gadis itu melompat turun dan berlari memasuki rumah makan dan tangan kanannya masih memegang sebatang pecut kuda.

"Aku mendengar ada keributan di sini! Siapa yang membikin ribut?" suaranya nyaring dan merdu dan biarpun ia bicara dalam bahasa pribumi Han, namun terdengar lucu karena aksennya asing suku bangsa Kin.

Suami isteri setengah tua dan putera mereka sudah bangkit berdiri sambil menyeringai kesakitan, dan mereka bertiga yang melihat wanita itu datang dengan sikap demikian anggun dan berwibawa, mereka bertiga hanya dapat menuding ke arah gadis yang masih duduk ketakutan, apalagi dua orang pemuda yang duduk di kanan kirinya itu dengan kurang ajar menowel-nowel dan meraba-raba dengan tangan mereka.

Gadis baju putih itu melihat ke arah yang ditunjuk tiga orang itu dan kini alisnya berkerut melihat gadis yang duduk di antara dua orang pemuda yang jelas sedang berbuat tidak sopan kepadanya, meraba-raba dada dan menowel dagu dan pipi.

"Hemm, kiranya kalian ini dua ekor buaya darat yang membikin ribut di sini?" bentak gadis itu sambil menghampiri meja di mana Bouw Kui, putera kepala daerah, dan Ban Gu, putera kepala pasukan keamanan kota Leng-ciu itu duduk mengapit gadis itu.

Dua orang pemuda itu terkejut mendengar ada suara wanita memaki mereka sebagai buaya darat. Cepat mereka bangkit dan memutar tubuh menoleh dan memandang. Keduanya terbelalak kagum.

"Huihhh! Alangkah cantiknya!" kata Bouw Kui sambil menyeringai kagum.

"Hebat! Seperti bidadari! Toako, engkau sudah punya yang itu, yang ini untukku!" kata Ban Gu.

"Ah, tidak, Gu-te (adik Gu). Biar gadis pemalu dan penakut itu untukmu, aku memilih yang baru datang dan pemberani ini!" kata Bouw Kui.

Pelayan setengah tua itu tahu-tahu sudah berada di dekat meja Thian Liong.

"Uhh, mereka mencari penyakit. Mereka pasti akan celaka""!" bisiknya dan Thian Liong menonton dengan ingin tahu sekali.

"Hei, kalian katak buduk! Hayo cepat kalian menjatuhkan diri berlutut dan minta ampun seratus kali, atau, aku akan menyiksa kalian sampai mampus!" bentak gadis itu sambil bertolak pinggang.

Ban Gu yang merasa dimaki-maki itu menjadi marah juga.

"Heh, jaga mulutmu, perempuan liar! Tahukah engkau siapa kami? Toako, ini adalah Bouw-kongcu, putera kepala daerah Bouw! Dan aku adalah Ban Gu, putera kepala pasukan keamanan kota ini. Berani engkau memaki kami? Kau bisa kutangkap dan kumasukkan penjara!"

"Memaki kalian? Menyiksa dan membunuh kalian pun aku berani," kata gadis itu dan tiba-tiba cambuk kuda di tangannya menyambar ke depan. Cepat sekali ujung cambuk itu menyambar, seperti kilat menyambar.

"Tar-tarrr......!!" dua kali cambuk itu menyambar dan dua orang pemuda itu mengaduh, kedua tangan mendekap muka mereka yang tampak ada balur memanjang merah dan berdarah! Tentu saja mereka marah sekali. Mereka berdua pernah belajar silat, apalagi Ban Gu yang memiliki ilmu silat yang cukup tangguh dan dia terkenal sebagai pemuda ugal-ugalan yang suka mengandalkan kekuatannya dan terutama kedudukan ayahnya.

"Perempuan gila......!!" Dia membentak dan tangan kanannya sudah mencabut sebatang. golok, lalu dia melompat ke depan dan menyerang dengan goloknya.

Bouw Kui juga tidak tinggal diam. Diapun sudah mencabut goloknya dan menerjang ke depan pula. Gadis yang ketakutan itu segera berlari menghampiri orang tuanya dan mereka berempat segera pergi dari situ, keluar dari rumah makan tanpa pamit karena merekapun belum makan apa-apa. Mereka merasa lebih cepat mereka meninggalkan Leng-ciu lebih baik.

"Tar-tar-tar-tarrrr......!" Pecut itu meledak-ledak.

Thian Liong memandang kagum. Bukan main gadis itu. Gerakan perutnya itu bukan gerakan sembarangan, melainkan gerakan tangan yang memiliki tenaga sinkang (tenaga sakti) yang amat kuat sehingga pecut yang hanya terbuat dari bambu itu kini berubah menjadi senjata yang kuat menangkis sambaran golok tanpa menjadi rusak!

"Trang-tranggg......! Dua kali pecut itu meledak lagi, tepat mengenai pergelangan tangan kedua orang pemuda yang memegang golok. Golok itu terlepas dan jatuh berkerontangan di atas lantai. Kini pecut itu menari-nari, meledak-ledak dan tubuh dua orang pemuda menjadi bulan-bulanan pecut.

Dua orang kongcu itu meloncat-loncat seperti dua ekor monyet menari karena tubuh mereka dihujani lecutan cambuk yang merobek-robek pakaian dan kulit tubuh mereka sehingga tubuh mereka itu kini mandi darah! Mereka merasa betapa tubuh mereka nyeri semua perih-perih dan panas, sakit sampai menusuk ke dalam tulang sumsum. Mereka jatuh terguling dan tanpa malu-malu lagi mereka berlutut dan menyembah-nyembah sambil mengangguk-anggukkan kepala seperti dua ekor ayam makan padi sambil merintih-rintih.

"Aduh...... ampun...... ampun".. jangan bunuh......!!" Keduanya minta-minta ampun.

Gadis itulah yang oleh banyak orang di banyak tempat dijuluki Pek Hong Nio-cu atau Nona Burung Hong Putih! Ia menghentikan cambukannya, hidungnya mendengus dan ia segera berkata kepada Ban Gu.

"He, kamu tikus she Ban! Cepat engkau panggil Kepala Daerah Bouw dan Kepala Pasukan Keamanan datang ke sini. Cepat dan tikus she Bouw ini biar berlutut terus di sini sampai kamu kembali bersama dua tikus yang kupanggil itu!"

Mendengar ini, Ban Gu diam-diam merasa girang sekali, akan memanggil ayahnya dan Bouw-taijin, baru tahu rasa engkau, perempuan iblis, pikirya. Dia mengangguk, lalu bangkit berdiri dan berlari dengan terhuyung-huyung karena tubuhnya terasa nyeri semua, seperti disayat-sayat rasa seluruh tubuhnya.

Banyak orang kini menonton peristiwa itu. Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani mendekat, hanya menonton dari jarak agak jauh sehingga rumah makan itu tampak sepi ditinggalkan orang. Bahkan mereka yang melalui jalan di depan rumah makan itu tidak berani lewat.

Semua orang berbisik-bisik dan merasa tegang karena kalau sang pembesar yang merupakan raja dan panglimanya itu muncul bersama pasukannya, tentu gadis itu akan celaka. Akan tetapi mereka yang sudah pernah melihat sepak terjang Burung Hong Putih, diam-diam merasa gembira sekali dan tahu bahwa mereka akan memperoleh tontonan yang menyegarkan hati mereka yang selama ini banyak mengalami penindasan itu.

Tak Iama kemudian, datanglah rombongan dua orang pembesar itu. Agaknya karena tergesa-gesa dan agar mereka cepat tiba di tempat itu, kedua orang pembesar itu naik sebuah kereta dan di belakang kereta terdapat duapuluh orang lebih perajurit penjaga keamanan yang biasanya suka dipergunakan untuk melakukan "pembersihan" kepada rakyat jelata untuk memaksa mereka membayar pajak atau melakukan apa saja yang dikehendaki kepala daerah atau komandan pasukan itu.

Begitu kereta berhenti di depan rumah makan, Ban Gu yang tidak sempat berganti pakaian, masih berpakaian koyak-koyak dan tubuh berlumuran darah, turun diikuti oleh ayahnya yang bertubuh tinggi besar berperut gendut sekali, berpakaian sebagai seorang perwira yang serba gemerlapan dan gagah. Wajah Ban Ho Tung, kepala pasukan keamanan ini, penuh brewok sehingga tampak menyeramkan, dan wajah itu sudah membayangkan bahwa dia biasa bersikap keras dan galak. Orang kedua, usianya sebaya dengan Ban Ho Tung, adalah Bouw Ti, kepala daerah Leng-ciu yang berpakaian sebagai seorang bangsawan, tubuhnya tinggi kurus, kumisnya seperti tikus dan sikapnya angkuh dan sombong sekali, jalannya saja dibuat-buat segagah mungkin, namun malah tampak lucu karena tubuhnya yang kerempeng seperti seorang pemadat berat itu.

"Mana ia perempuan iblis, penjahat dan pemberontak itu?" tanya Ban-ciangkun (Perwira Ban) kepada puteranya, sikapnya petentang-petenteng (membusungkan dada menantang).

"Ia tadi berada di dalam rumah makan ini, ayah," kata Ban Gu sambil menuding ke dalam.

"Siapa mencari aku?" terdengar bentakan nyaring merdu dan dari dalam rumah makan itu melangkah keluar gadis berpakaian putih itu. Tangan kanannya memegang pecut dan ujung pecut melingkar di leher Bouw Kui yang diseret sehingga pemuda itu berjalan dengan kaki tangannya seperti seekor anjing.

"Tikus kecil Ban, kamu ke sini. Berlutut!" Gadis itu membentak sambil menudingkan telunjuk kirinya kepada Ban Gu.

Pemuda ini memang merasa sakit hati dan marah sekali. Dia kini tidak merasa takut lagi. Bukankah ada ayahnya dan ada Bouw-taijin beserta duapuluh lebih perajurit di belakangnya?

"Perempuan iblis, engkau akan tahu rasa nanti"""



"Wuuuttt...... tarrrr......!!" Pecut itu sudah melayang dan tepat membelit kaki Ban Gu, kemudian sekali tarik tubuh Ban Gu terseret ke depan kaki gadis itu dalam keadaan berlutut! Ban Gu menjadi pucat dan dia berteriak-teriak.

"Tolooonggg......, ayah, toloonggg......!"

"Hemm, kalian ini dua orang pemuda brengsek, mengandalkan kedudukan orang tua untuk menghina wanita-wanita. Kalian sudah sepantasnya dihajar!" Setelah berkata demikian, kembali ia menggerakkan cambuknya dua kali.

"Tarrrr!! Tarrr!!"

Dua orang itu menjerit dan tangan mereka mendekap pinggir kepala yang berdarah-darah karena daun telinga kanan mereka telah putus terpenggal ujung cambuk dan kini dua potong daun telinga itu menggeletak di atas tanah! Keduanya lalu merangkak melarikan diri ke arah orang tua mereka.

"Perempuan jahat! Berani engkau menyiksa dan menghina putera kami? Kami adalah kepala daerah di Leng-ciu ini!"

"Keparat! Dan aku adalah kepala pasukan keamanan di Leng-ciu. Engkau telah berani menghina kami, berarti engkau sudah bosan hidup!" bentak pula Ban Ho Tung sambil mencabut pedangnya lalu dia memberi isyarat kepada duapuluh empat orang anak buahnya untuk menangkap atau mengeroyok gadis berpakaian putih itu. Para perajurit yang sudah turun dari kuda masing-masing maju mengepung.

Gadis itu mengeluarkan suara melengking seperti suara burung dan tiba-tiba tangannya sudah melolos ikat pinggang, yang berupa sabuk sutera merah. Ketika para perajurit menyerbu, ia bergerak bagaikan seekor burung cepatnya. Tubuhnya melesat dan seolah lenyap, merupakan bayangan yang berkelebatan di antara gulungan sinar merah yang menyambar-nyambar. Terdengarlah teriakan-teriakan mengaduh dan para perajurit itu roboh berpelantingan ketika mereka disambar sinar merah dari sabuk sutera merah yang digerakkan secara amat lihai itu. Diam-diam Thian Liong yang keluar dan ikut nonton perkelahian itu merasa kagum sekali. Tingkat kepandaian silat gadis ini, biarpun gerakannya aneh dan asing, namun dibandingkan tingkat ilmu silat yang dimiliki gadis maling berpakaian merah muda atau tingkat Ang Hwa Sian-li Thio Siang In, agaknya tidak kalah atau sukar ditentukan siapa yang paling lihai di antara mereka!

Setelah merobohkan duapuluh empat orang perajurit itu, Si Burung Hong Putih melihat betapa dua orang pembesar itu ketakutan dan hendak melarikan diri. Akan tetapi ia melompat mengejar, dan sinar merah sabuk suteranya meluncur ke depan. Tahu-tahu leher kedua orang itu telah terbelit ujung sabuk yang ternyata menjadi panjang sekali dan sekali tarik, dua orang itu roboh terguling-guling ke arah kakinya!

Dua orang itu bangkit berdiri dengan leher masih terbelit ujung sabuk merah. Pembesar Bouw yang berwatak angkuh dan sombong, biarpun ketakutan setengah mati melihat puteranya terpotong daun telinga kanannya dan semua perajurit pengawalnya dihajar sampai berjatuhan, namun masih mencoba untuk menggertak gadis itu.

"Nona, engkau telah berdosa besar sekali! Pasukan kerajaan akan datang, menangkapmu sebagai seorang pemberontak yang jahat!"

"Srattt......!" Gadis itu menggerakkan tangan kirinya dan ia telah mencabut sebatang pedang bengkok diukir gambar seekor naga, mengkilap saking tajamnya dan ukiran naga itu terbuat dari emas!

"Kalian ingin kupenggal leher kalian dengan ini?"

Ketika Bouw Ti dan Ban Ho Tung melihat pedang bengkok yang diukir gambar naga dari emas itu, seketika mata mereka terbelalak dan wajah mereka menjadi pucat, tubuh mereka gemetar dan kedua kaki menggigil. Mereka lalu menjatuhkan diri berlutut di depan gadis itu, membentur-benturkan dahi di tanah sambil berkata dengan suara penuh ketakutan.

"Ampun beribu ampun, hamba sama sekali tidak tahu bahwa paduka yang mulia adalah......"

"Tidak perduli aku siapa! Apakah kalian berdua mengakui dosa-dosa kalian?" bentak gadis itu sambil mengancam dengan pedang bengkoknya dan melepaskan sabuk sutera merahnya dari leher mereka.

"Hamba...... hamba...... tidak tahu kesalahan dan dosa apakah yang telah hamba perbuat, yang mulia......" Bouw Ti meratap dan melihat sikap dua orang pejabat itu yang berlutut lalu menyebut yang mulia kepada nona itu, Bouw Kui dan Ban Gu yang masih kesakitan terkejut dan ketakutan, lalu ikut berlutut mendekam di atas tanah, tidak berani bergerak, bahkan menahan napas agar tubuh mereka tidak membuat gerakan.

Demikian pula para perajurit pengawal, mereka juga ketakutan dan berlutut di atas tanah. Ada pula di antara mereka yang sudah lama menjadi perajurit mengenal pedang bengkok dengan ukiran naga emas itu. Itu adalah pedang tanda kekuasaan yang diberikan oleh Sribaginda Kaisar sendiri. Pemegang pedang itu boleh menghukum dan membunuh pembesar mana saja tanpa lebih dulu minta ijin dari Kaisar!

"Hemm, orang she Bouw dan orang she Ban. Kalian berdua adalah orang-orang pribumi yang dipercaya oleh Sribaginda, diberi kedudukan dan kekuasaan untuk mengatur rakyat di daerah kalian, menjaga keamanan dan mengusahakan kesejahteraan dan ketenteraman bagi rakyat. Akan tetapi ternyata kalian menindas rakyat, bangsamu sendiri, dan membiarkan anak-anak kalian menjadi pemuda berandalan yang jahat dan kejam. Dan sekarang kalian masih bertanya dosa apa yang kalian lakukan? Hayo jawab!"

Dua orang pembesar itu menjadi semakin ketakutan.

"Hamba layak dihukum...... akan tetapi hamba mohon beribu ampun dan hamba berdua berjanji tidak akan melakukan penindasan lagi, akan melaksanakan tugas kewajiban hamba sebaik-baiknya."

"Hemm, benarkah itu? Kalian akan berusaha agar kehidupan rakyat di daerah ini menjadi sejahtera dan makmur? Kalian akan bertindak seadil-adilnya?"

"Hamba bersumpah!" Dua orang pembesar itu menjawab dengan berbareng.

"Baik, sekarang disaksikan oleh semua orang yang melihat kejadian ini dari jauh itu," ia menuding ke arah banyak orang yang berdiri di kejauhan,

"biarlah sekarang aku memberi hukuman ringan kepada kalian!" Berkata demikian, secepat kilat sinar pedang berkelebat dan dua orang pembesar itu mengaduh dan memegangi tangan kiri mereka yang sudah kehilangan jari kelingking masing-masing, terbabat putus oleh pedang yang amat tajam itu.

"Sekarang hanya jari kelingking kiri kalian yang kuambil, lain kali kalau aku masih mendengar atau melihat kalian berlaku sewenang-wenang kepada rakyat, kalian akan kutangkap dan kuseret ke pengadilan kota raja, atau kalau aku tidak sabar, akan kupenggal leher kalian di sini juga!"

"Ampunkan hamba""!" Dua orang itu menyembah-nyembah. Dua orang putera mereka juga menyembah-nyembah ketakutan.

Gadis itu menyarungkan lagi pedangnya dan melibatkan sabuk sutera merah di pinggangnya, lalu menghampiri kudanya, melompat ke punggung kuda dan menjalankan kudanya meninggalkan tempat itu. Ketika ia melewati orang-orang yang berkerumun nonton dari kejauhan, ada yang berseru,

"Hidup Pek Hong Nio-cu".!"

Serentak semua mulut, seperti dikomando, berseru,

"Hidup Pek Hong Nio-cu""!!"

Akan tetapi, gadis itu hanya tersenyum dan membedal kudanya meninggalkan kota Leng-ciu. Ia tidak tahu bahwa ada bayangan orang berkelebat dan mengikutinya keluar dari pintu gerbang kota sebelah utara.

Yang dijuluki Pek Hong Nio-cu itu sebetulnya adalah seorang puteri kaisar yang lahir dari seorang selir kaisar yang cantik. Selir ini adalah seorang pribumi (bangsa China aseli yang menyebut dirinya bangsa Han). Biarpun ia hanya puteri seorang selir, namun karena selir itu menjadi kesayangan kaisar Dinasti Kin, maka tentu saja anak perempuan ini juga amat disayang dan dimanja kaisar.

Ia diberi nama Moguhai dan sejak kecil ia memiliki watak yang begal dan lincah seperti seorang anak laki-laki. Dalam usia lima tahun saja, ia sudah berani menunggang kuda dan membalapnya, berlumba dengan para putera bangsawan, bahkan yang usianya lebih tua dari padanya. Ia suka pula bermain panah-panahan sehingga sejak kecil dapat melepaskan anak panah dengan jitu.

Ketika para putera bangsawan yang sudah berusia sepuluh tahun ke atas mulai berlatih ilmu silat, Puteri Moguhai yang berusia enam tahun juga tidak mau ketinggalan, ikut-ikutan berlatih ilmu silat. Tentu saja guru silatnya tidak berani melarang karena ia puteri kaisar, pula ketika guru-guru silat melihat betapa bocah perempuan ini memiliki bakat yang luar biasa, mereka bahkan bersemangat untuk mengajarkan ilmu silat kepadanya. Maka tidak mengherankan apabila Puteri Moguhai memperoleh kemajuan pesat dan setelah berusia sepuluh tahun, dalam latihan, ia dapat mengalahkan murid-murid pria yang usianya lebih beberapa tahun dari padanya! Para gurunya tentu saja menjadi girang dan bangga dan mereka seolah berlumba untuk menurunkan ilmu-ilmu simpanan mereka kepada sang puteri, bukan hanya karena senang mempunyai murid demikian cerdiknya, melainkan tentu saja ada pamrih untuk menyenangkan hati sang kaisar!

Ketika Puteri Moguhai berusia sepuluh tahun, pada suatu hari, ketika itu senja telah tiba, ia berjalan-jalan ke dalam taman istana yang luas. Cuaca remang-remang, akan tetapi ia masih dapat menikmati bunga-bunga yang bermekaran karena waktu itu musim semi telah tiba. Ketika ia mendekati sebuah pondok yang berada di tengah taman itu, pondok kecil tempat peristirahatan keluarga kaisar, ia dari jauh melihat ibunya memasuki pondok itu bersama seorang laki-laki. Jelas tampak olehnya bahwa laki-laki itu bukan kaisar, bukan ayahnya!

Puteri Moguhai baru berusia sepuluh tahun dan belum dapat menduga apa-apa yang melanggar susila. Ia hanya merasa heran sekali, akan tetapi tidak berani mendekati pondok, hanya merunduk-runduk lebih dekat lalu bersembunyi di balik semak-semak di samping pondok untuk mengintai ke arah pintu dengan maksud agar dapat melihat siapa laki-laki itu, kalau nanti keluar dari pondok. Di atas pondok itu tergantung sebuah lampu sehingga ia akan dapat melihat wajah laki-laki itu nanti. Ia mendekam di situ, hati-hati sekali tidak berani banyak bergerak, bahkan ketika ada nyamuk menggigitnya, ia hanya mengusir nyamuk itu, tidak berani menamparnya.

Sementara itu, yang memasuki pondok itu memang Ibu Puteri Moguhai yang dulu adalah seorang wanita pribumi bernama Tan Siang Lin. Kini ia adalah seorang selir terkasih dari Kaisar Kin. Usianya sekitar duapuluh delapan tahun namun masih tampak cantik jelita dan gerak-geriknya lembut, seperti seorang gadis muda.

Selir kaisar itu memasuki pondok yang diterangi lampu gantung itu bersama seorang pria. Laki-laki itu berpakaian sederhana, tubuhnya sedang namun tegap, wajahnya bersih, tampan dan senyumnya menawan, sikapnya juga lembut dan sinar matanya mencorong. Begitu memasuki pondok dan daun pintunya ditutup, selir kaisar itu lalu mengeluh.

"Sie-koko (Kanda Sie)""!" Dan ia sudah menubruk hendak merangkul pria itu. Akan tetapi pria itu menyambut dengan memegang dan menahan kedua pundak wanita itu, lalu berkata dengan suara halus namun penuh wibawa.

"Tidak, Lin-moi. Jangan lakukan itu. Ingat, engkau adalah isteri seorang pria bahkan seorang kaisar! Aku tidak ingin melihat engkau menjadi seorang isteri yang melakukan hal tidak pantas dan mengkhianati suami. Mari, duduklah, kita bicara baik-baik dan pantas." Dia mendorong wanita itu duduk di atas buah kursi, sedangkan dia duduk di kursi depan wanita itu. Tan Siang Lin atau yang kini menjadi selir kaisar itu menggigit bibir dan mengusap beberapa butir air mata yang menetes di atas kedua pipinya.

"Akan tetapi, Sie-ko, aku...... aku rindu padamu...... apakah engkau tidak cinta lagi padaku, koko?" Dalam suara itu terkandung kesedihan yang ditahan-tahan.

Laki-laki itu menghela napas panjang.

"Lin-moi, justeru karena aku mencintaimu dengan sepenuh hatiku, maka aku tidak ingin melihat engkau menyimpang dari kebenaran. Aku ingin melihat engkau bahagia sebagai seorang isteri kaisar yang dimuliakan, dihormati, dan bersih dari pada noda."

"Lalu, kenapa engkau datang berkunjung ke taman ini, koko? Pada hal kunjunganmu ini berbahaya sekali, kalau sampai ketahuan, pasti nyawamu taruh-annya. Apa maksudmu berkunjung ini, kalau bukan karena"" rindu padaku seperti juga aku merindukanmu?"

Laki-laki itu tersenyum.

"Aku hanya ingin menyaksikan sendiri bahwa engkau hidup bahagia di sini, Lin-moi. Aku mendengar dan kini melihat sendiri bahwa engkau menjadi seorang selir yang dikasihi kaisar, dihormati dan dimuliakan orang, walaupun engkau seorang pribumi Han. Juga aku mendengar tentang...... siapa lagi nama anak itu""?"

"Puteri Moguhai"""

"Ya, nama yang indah, walaupun agak asing terdengarnya. Aku mendengar pula tentang anak itu. Kabarnya ia cerdik sekali dan berbakat baik dalam ilmu silat. Karena itu, kedatanganku ini untuk menyerahkan kitab-kitab ini kepadamu. Kelak, setelah anak itu berusia empatbelas tahun dan sudah memiliki dasar ilmu silat yang baik, kau berikan kitabkitab ini dan suruh ia melatih sendiri. Sudah kuberi petunjuk-petunjuk jelas dalam kitab-kitab ini. Hanya ini yang dapat kuberikan kepadanya, Lin-moi, dan ini, suruh ia kelak selalu memakai ini dan semoga Tuhan selalu melindunginya."

Selir kaisar itu menerima tiga buah kitab dan sebuah perhiasan rambut berbentuk burung Hong dari perak dengan mata mirah. Ia menerimanya dengan terharu sekali.

"Sekarang aku harus pergi, Lin-moi. Hati-hatilah engkau menjaga diri dan hati-hati pula mendidik dan menjaga puterimu." Pria itu bangkit berdiri dan hendak melangkah ke pintu.

"Nanti dulu, koko. Masih ada satu hal yang ingin kuceritakan padamu...... ini...... merupakan rahasia pribadiku...... dan hanya engkau saja yang boleh mendengarnya."

Pria itu duduk kembali dan menatap wajah Tan Siang Lin dengan sinar mata mencorong.

"Apakah itu, Lin-moi?"

"Ketika aku melahirkan...... sebetulnya anakku itu terlahir kembar, keduanya perempuan......"

Pria itu membelalakkan kedua matanya.

"Kembar? Dan...... yang seorang lagi""?"

"Ketika aku melahirkan, yang membantu adalah seorang wanita tua yang menjadi bidan, dan ditemani seorang sahabat baikku. Ia seorang janda pangeran, suaminya sudah mati dan ia tidak mau menikah lagi, pada hal ia masih muda, sebaya dengan aku. Kami menjadi sahabat yang akrab sekali, bahkan telah bersumpah mengangkat saudara. Ia seorang puteri kepala suku bangsa Uigur, namanya Miyana. Ketika melihat aku melahirkan bayi perempuan kembar, Miyana menangis dan mengatakan kepadaku bahwa kaisar adalah seorang yang percaya bahwa anak kembar wanita akan membawa malapetaka maka besar kemungkinan anak kembarku akan dibunuh! Maka, atas usul Miyana, anak yang satunya lagi ia selundupkan keluar dari kamarku sehingga aku dianggap melahirkan seorang anak perempuan saja, yaitu Moguhai itulah. Bidan tua itupun dipesan menyimpan rahasia, akan tetapi beberapa hari kemudian ia mati karena sakit mendadak. Aku menduga bahwa itu perbuatan Miyana yang takut kalau-kalau bidan itu membuka rahasia."

Pria itu mengangguk-angguk.

"Hemm, lalu...... anak yang satunya lagi itu?"

"Tak lama kemudian Miyana yang sudah janda, pulang kepada orang tuanya, kepada ayahnya yang menjadi kepala suku Uigur. Tentu saja anak itu diam-diam dibawanya dan sampai sekarang aku tidak pernah lagi, mendengar tentang ia dan anak itu. Nah, itu, koko, dan hanya engkau seorang yang mengetahui."

Pria itu menghela napas panjang.

"Aih, sungguh nasib mempermainkan keturunan kita, Lin-moi. Inikah hukuman akibat dosa kita herdua? Nah, terima kasih atas semua ceritamu, Lin-moi dan jangan lupa berikan kitab-kitab itu kepada Moguhai. Sekarang aku pergi."

Pria itu melangkah keluar, diikuti oleh selir kaisar itu. Moguhai yang mengintai di luar melihat mereka keluar dan ia menatap wajah pria itu dengan penuh perhatian. Ia melihat mereka berdiri berhadapan di luar pintu, lalu pria itu memegang pundak ibunya dan berkata dengan suara lirih,

"Nah, selamat tinggal, Lin-moi, semoga engkau hidup berbahagia. Selamat tinggal!"

"Selamat jalan, Sie-koko...... jaga dirimu baik-baik!" kata ibunya dengan suara mengandung isak.

Tiba-tiba pria itu mengerakkan kedua kakinya, sekali berkelebat dia telah lenyap dari situ. Moguhai terbelalak! Setankah yang dilihatnya tadi? Kalau manusia, mana mungkin menghilang begitu saja? Ibunya bergaul dengan setan yang disebutnya Sie-koko?

Saking tidak dapat menahan keheranannya, gadis cilik itu lalu lari menghampri ibunya.

"Ibu""!"

"Eh, engkau Moguhai? Dari mana engkau......?" Ibunya bertanya kaget, sama sekali tidak mengira anaknya muncul begitu tiba-tiba. Jangan-jangan anak itu telah melihat......

"Ibu, apakah ibu mempunyai sahabat setan?"

"Ehh? Setan......?"

"Aku tadi melihat ibu dengan seorang laki-laki yang ibu sebut Sie-koko, akan tetapi dia menghilang seperti setan!"

Siang Lin segera merangkul anaknya dan diajaknya masuk ke dalam pondok itu. Dia memeluk dan berkata dengan nada suara serius.

"Anakku, dia itu bukan setan, melainkan seorang pendekar yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Dia seorang sakti, Moguhai dan dia...... dia itu dahulu menjadi sahabat baik ibumu. Lihat, dia meninggalkan kitab-kitab dan perhiasan rambut ini untukmu. Kalau kelak engkau mempelajari tiga buah kitab ini, berarti dia itu juga gurumu, Moguhai. Akan tetapi ingat, anakku, jangan katakan tentang dia itu kepada siapapun juga. Kalau sampai diketahui Kaisar, ibumu ini tentu akan dihukum mati, dan mungkin engkau juga tidak akan terluput dari hukuman."

"Akan tetapi kenapa, ibu? Ayahanda Kaisar tentu tidak akan marah mendengar aku mendapatkan seorang guru yang sakti."

"Engkau tidak mengerti, anakku. Dia itu seorang pendekar bangsa Han, tentu ayahmu akan menaruh curiga dan mengira dia itu mata-mata dari kerajaan Sung yang akan menyelidiki istana. Karena itu, demi keselamatan kita sendiri, jangan katakan kepada siapapun juga. Engkau berjanji?"

Moguhai mengangguk-angguk.

"Baik, ibu."

Demikianlah, Moguhai hanya tahu dari ibunya bahwa laki-laki, yang memberi kitab kepadanya itu adalah "Paman Sie" dan ia tidak pernah bertemu lagi dengannya. Tiga kitab itu merupakan kitab-kitab pelajaran ilmu silat yang ampuh dan tinggi. Yang pertama mengajarkan cara berlatih untuk menghimpun sin-kang (tenaga sakti) sehingga ia selain memiliki tenaga dalam yang hebat, juga dapat mengerahkan tenaga sakti, untuk membuat dirinya ringan dan dapat bergerak cepat seperti terbang. Kitab kedua berisi pelajaran ilmu silat yang menggunakan senjata sabuk dan ilmu ini dilatih Moguhai dengan sehelai sabuk sutera panjang merah.

Adapun kitab ketiga berisi pelajaran ilmu pedang yang aneh akan tetapi hebat sekali. Itulah ilmu pedang Sin-coa-kiamsut (Ilmu Pedang Ular Sakti) yang dimainkan dengan pedang bengkoknya, pedang khas bangsa Kin sehingga kini, setelah berusia sembilanbelas tahun, Moguhai menjadi seorang gadis yang lihai bukan main sehingga ia mendapat julukan Pek Hong Nio-cu atau Nona Burung Hong Putih karena perhiasan rambutnya juga berupa burung Hong perak bermata mirah!



KISAH SI NAGA LANGIT JILID 15

Pek Hong Nio-cu atau Puteri Moguhai meninggalkan kota Leng-ciu menunggang kudanya. Biarpun ia puteri Kaisar, namun ia berjiwa pendekar. Hal ini berkat ibunya yang sering menceritakan tentang sepak terjang para pendekar persilatan yang selalu berjuang untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, selalu menentang kejahatan, melawan para penindas dan membela rakyat kecil yang tertindas. Karena itulah, ia seringkali meninggalkan istana dan merantau ke daerah-daerah. Setiap bertemu kejahatan, ia pasti menantang yang jahat dan memberi hajaran keras. Banyak pembesar yang korup menerima hajaran keras darinya dan banyak gerombolan penjahat dibasminya. Kaisar yang mendengar akan sepak
terjang puterinya ini, merasa kagum dan bangga, maka lalu menghadiahkan pedang bengkok berukir naga emas yang menjadi tanda kuasaan besar. Semua pembesar maklum bahwa pemilik pedang naga emas itu berkuasa seperti kaisar sendiri, boleh menghukum atau membunuh siapa saja tanpa ijin kaisar!

Ketika Pek Hong Nio-cu menjalankan kudanya dengan santai keluar kota Leng-ciu, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dari belakangnya dan tahu-tahu di tengah jalan berdiri seorang pemuda. Jalan itu sepi, tidak ada orang lain kecuali mereka berdua. Pemuda itu berdiri tegak di tengah jalan, jelas menghadang perjalanan kudanya.

Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnya. Ia memperhatikan seorang pemuda biasa saja, menggendong buntalan seperti orang-orang yang melakukan perjalanan jauh, pakaiannya sederhana dan wajah pemuda itupun biasa saja walaupun dapat dibilang tampan namun tidak ada yang terlalu menonjol atau mencolok. Seorang pemuda dusun biasa!

"Hei, minggir kamu! Apa tidak melihat kudaku hendak lewat? Apa ingin tertubruk kuda!" tegurnya.

Pemuda itu adalah Thian Liong. Dengan tenang dia lalu mengangkat kedua tangannya ke depan dada sambil membungkuk sedikit sebagai penghormatan.

"Maafkan aku, Pek Hong Nio-cu......"

"Eh! Dari mana engkau mengenal nama julukanku?" Pek Hong Nio-cu menegur, agak kesal karena perjalanannya terganggu.

"Aku mendengar dari orang-orang yang menyaksikan engkau menghajar orang pembesar brengsek di kota Leng-ciu tadi! Sungguh hebat sekali perbuatanmu tadi, nona. Aku merasa kagum sekali kepadamu!"

"Hemm, aku tidak butuh pujianmu!" bentak Pek Hong Nio-cu karena sudah sering ia mendengar laki-laki memujinya yang sebetulnya hanya merupakan rayuan untuk menyenangkan hatinya. Ia sudah mendapatkan kenyataan bahwa semua adalah perayu-perayu gombal kalau sudah berhadapan dengan wanita cantik!

"Aku tidak memuji kosong, nona, melainkan bicara sebenarnya!"

"Sudahlah, aku tidak mau mendengar ocehanmu. Apa maksudmu menghadang perjalananku? Minggir, atau kutabrak engkau!"

"Maaf, Pek Hong Nio-cu. Tadi, ketika melihat engkau beraksi, aku mengira bahwa engkau adalah seorang gadis yang pernah kukenal, gadis yang mencuri pusakaku."

"Tikus busuk!" Pek Hong Nio-cu yang pada dasarnya berwatak keras dan galak itu sudah melompat turun dari punggung kudanya. Agar kuda itu tidak melarikan diri, ia mengikatkan kendali kuda pada sebatang pohon di tepi jalan dan cepat ia kini berdiri menghadapi Thian Liong dengan sikap menantang.

"Kurang ajar, berani engkau mengira aku sebagai pencuri?"

Thian Liong kini memandang dengan mata terbelalak. Bukan, gadis ini bukanlah gadis berpakaian merah, pencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat milik Kun-lun-pai itu. Hanya bentuk tubuhnya saja yang sama, juga sama-sama cantik jelita.

Setelah Pek Hong Nio-cu turun dari kuda dan Thian Liong memandang wajahnya dengan penuh perhatian, dia terbelalak. Wajah yang bulat itu, pandang mata tajam dan senyum mengejek itu, dan terutama tahi lalat di ujung bibir kanan itu! Tak salah lagi! Siapa, lagi kalau bukan Ang Hwa Sian-li Thio Siang In? Memang benar, Ang Hwa Sian-li berpakaian serba hijau, akan tetapi pakaian mudah saja diganti, dari yang berwarna hijau kini menjadi yang berwarna putih. Tahi lalat itu, tak salah lagi! Thian Liong tertawa dan melangkah maju lalu menudingkan telunjuknya ke arah hidung gadis itu.

"Hei! Bukankah engkau Thio Siang In?"

"Ngawur! Siapa itu Thio Siang In?" Pek Hong Nio-cu membentak kehilangan kesabaran karena menganggap pemuda itu main-main.

"Aih, In-moi (adik In), masa engkau sudah lupa kepadaku? Atau pura-pura lupa? Aku Souw Thian Liong! Jangan marah kepadaku dan lupakanlah hal yang lalu. Kitab itu sudah kukembalikan yang berhak, yaitu Siauw-lim-pai yang menjadi pemilik sah. Maafkan kalau dulu aku tidak dapat meminjamkannya kepadamu, In-moi."

"Ngaco! jangan kira engkau dapat main-main dan kurang ajar kepadaku. Sambut ini!" Bentak Pek Hong Nio-cu ia sudah menerjang dengan pukulan kilat ke arah ulu hati Thian Liong.

Melihat pukulan yang cepat dan kuat sekali itu, Thian Liong cepat mengelak mundur.

"In-moi, aku tidak main-main, dan aku tidak ingin berkelahi denganmu."

Akan tetapi Pek Hong Nio-cu, malah menyerang semakin ganas dan gencar. Serangan-serangan gadis itu sungguh tak boleh dipandang ringan karena pukulannya mengandung tenaga sakti yang amat kuat.

Thian Liong menjadi terkejut dan timbul kegembiraannya untuk menguji kembali kepandaian gadis ini yang dulu pernah dia kalahkan. Siapa tahu Siang In sudah mempelajari ilmu-ilmu baru yang lebih lihai. Maka dia cepat mengelak dan membalas serangan lawan dengan tamparan-tamparannya yang kuat.

Pek Hong Nio-cu yang kini merasa terkejut dan heran. Pemuda yang disangkanya pemuda dusun biasa itu ternyata bukan main. Tidak saja dapat menghindarkan serangannya yang cepat dan bertubi, bahkan mampu membalas dengan tamparan yang mengandung tenaga sakti yang kuat. Pek Hong Nio-cu menjadi penasaran sekali lalu mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya dan menyerang dengan dorongan telapak tangannya. Thian Liong ingin mengukur tenaga gadis itu maka diapun menyambut dengan tangkisan sambil mengerahkan sinkangnya pula.

"Wuuuttt...... dukkk!" Tubuh Pek Hong Nio-cu terdorong ke belakang sampai lima langkah! Ia terbelalak dan menjadi marah karena melihat pemuda itu hanya mundur selangkah saja. Dalam adu tenaga sakti ini jelas bahwa ia kalah kuat.

"Srettt......!!" Tampak gulungan sinar merah berkelebat dan setelah sinar itu bergulung-gulung, lalu sinar itu mencuat dan menyambar ke arah kepala Thian Liong. Itulah senjata sabuk merah yang telah diloloskan Pek Hong Nio-cu dari pinggangnya.

"Hyaattt""!" Sinar merah itu menyambar cepat sekali, akan tetapi Thian Liong yang maklum akan berbahayanya senjata sabuk sutera merah itu, sudah cepat merendahkan dirinya sehingga sabuk itu lewat di atas kepalanya. Begitu sinar itu lewat di atas kepala, tangan Thian Liong menyambar dan ujung sabuk sudah dapat dipegangnya!

Pek Hong Nio-cu terkejut. Ia mencoba untuk menarik sabuknya, namun tetap saja ujung sabuk berada di tangan Thian Liong, tak dapat terlepas dari pegangannya. Pek Hong Nio-cu marah sekali cepat ia maju dan mengirim tendangan berantai ke arah tubuh Thian Liong. Pemuda ini menggunakan tangan kanannya yang bebas untuk menangkis tendangan-tendangan itu sehingga gadis itu merasa kakinya nyeri bertemu dengan tangan Thian Liong. Ia membetot sekuat tenaga.

Thian Liong khawatir kalau-kalau sabuk sutera merah itu putus. Dia tidak mau merusak senjata lawan, maka tiba-tiba dia melepaskan pegangannya dan otomatis tubuh Pek Hong Nio-cu terjengkang ke belakang. Thian Liong terkejut karena gadis itu tentu akan terbanting jatuh. Akan tetapi ternyata tidak. Tubuh yang padat langsing itu membuat pok-sai (jungkir balik) ke belakang sampai lima kali dengan indahnya dan tidak terbanting sama sekali, dan kembali berdiri dengan tegak, bahkan sabuk sutera itu telah dilibatkan kembali ke pinggangnya. Agaknya sambil berjungkir balik tadi ia masih sempat menyimpan kembali sabuknya.

"Hebat!" Thian Liong memuji kagum.

Gadis itu memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang bagus. Akan tetapi yang dia puji malah semakin marah. Pek Hong Nio-cu menganggap pujian Thian Liong itu sebagai ejekan dan kini begitu tangan kanannya bergerak, ia sudah mengeluarkan pedang bengkoknya yang mengeluarkan cahaya berkilauan saking tajamnya!

"Manusia sombong!" bentak gadis itu, kemarahannya memuncak karena dua kali ia telah kalah, pertama dalam ilmu silat tangan kosong, bahkan kedua kalinya, ia yang bersenjatakan sabuk sutera merah tidak mampu mengalahkan pemuda yang bertangan kosong itu.

"Kalau memang engkau gagah, cabut pedangmu dan lawan pedangku ini!"

Thian Liong mulai menyesal mengapa dia jadi menimbulkan permusuhan yang berlarut-larut dengan gadis yang galak, lihai dan jelas berjiwa pendekar yang tadi menentang pembesar-pembesar jahat sewenang-wenang itu. Dan diapun mulai curiga. Dia sama sekali tidak merasa salah lihat. Gadis ini jelas Thio Siang In yang berjuluk Ang Hwa Sian-li yang rambutnya dihias mawar merah dan pakaiannya serba hijau. Akan tetapi selain tanda-tanda itu, juga Ang Hwa Sian-li bersenjata sepasang pedang.

Akan tetapi gadis ini, yang wajahnya serupa benar, pakaiannya serba putih, bersenjata sabuk sutera merah, dan pedangnya bukan sepasang pedang melainkan sebatang pedang bengkok! Selain itu, ketika tadi bertanding, dia melihat ilmu silat mereka juga sama sekali berbeda. Ilmu silat yang dimainkan Thio Siang itu memiliki dasar ilmu silat dari daerah barat, bahkan ganas dan keji seperti yang biasa dipergunakan orang-orang golongan sesat. Akan tetapi sebaliknya ilmu silat yang dimainkan Pek Hong Nio-cu ini memiliki dasar yang bersih. Ternyata ilmu silat antara kedua orang gadis itu sama sekali berbeda, walaupun tingkatnya kira-kira hampir sama.

Setelah mempertimbangkan semua ini, dia lalu menjura dengan hormat.

"Maafkan aku, nona, kalau aku telah salah mengenal orang. Biarpun nona serupa benar, bahkan persis, seorang gadis bernama Thio Siang In yang berjuluk Ang Hwa Sian-li, namun senjata dan ilmu silat nona sama sekali berlainan. Karena itu aku mulai yakin bahwa aku telah salah mengenal orang. Karena itu, harap engkau suka maafkan aku karena aku tidak bermaksud buruk terhadap dirimu."

Pek Hong Nio-cu memandang dengan sinar mata mencorong. Mulutnya merengut dan kembali jantung Thian Liong berdebar. Kalau cemberut marah seperti itu, sungguh persis sekali gadis ini dengan Thio Siang In. Ang Hwa Sian-li, Thio Siang In dulu juga cemberut seperti ini ketika dia marah kepadanya!

"Engkau sudah memamerkan kepandaian mengalahkan aku dua kali dan masih bilang tidak berniat buruk terhadap aku? Hayo cabut pedangmu dan jangan kepalang kalau hendak mengujiku. Sebelum engkau dapat mengalahkan pedangku ini, aku masih belum mengaku kalah!"

"Nona, sungguh aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Aku Souw Thian Liong mengaku bersalah dan mohon maaf," kembali pemuda itu berkata.

"Hemm, aku tahu, engkau tentu Si Naga Langit yang selama ini disohorkan orang maka engkau menjadi begini sombong! Kalau engkau tidak mau mencabut pedangmu, terpaksa aku akan menyerangmu juga! Lihat pedang!" Pek Hong Nio-cu sudah menerjang dengan pedang bengkoknya dan begitu menyerang, ia sudah mengeluarkan jurus yang lihai dari ilmu pedang Sin-coa Kiamsut, yaitu jurus Sin-coa-jut-thong (Ular Sakti Keluar Guha) dan pedangnya berubah menjadi sinar terang meluncur ke arah dada Thian Liong!

Thian Liong terkejut. Tadi, serangan tangan kosong dan sabuk sutera merah gadis itu baginya masih belum merupakan serangan terlalu berbahaya. Akan tetapi serangan pedang bengkok ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Maka, dia cepat melompat ke belakang sambil mencabut Thian-liong-kiam.

Melihat pemuda itu sudah mencabut pedangnya, Pek Hong Nio-cu menyerang lagi, lebih ganas dari pada tadi. Pedangnya membuat gerakan seperti seekor ular dan tahu-tahu pedang itu "mematuk" dari samping. Serangannya tak terduga-duga dan gerakannya selain cepat juga aneh. Beberapa kali Thian Liong mengandalkan gin-kang untuk mengelak dan berlompatan ke sana-sini. Akan tetapi bayangan tubuhnya dikejar terus oleh gulungan sinar mengkilat pedang bengkok itu. Ketika pedang bengkok itu menyambar ke arah lehernya dengan bacokan dari samping, terpaksa Thian Liong menangkis dengan pedangnya.

"Tranggggg""!" Bunga api berpijar terang ketika dua batang pedang bertemu. Thian-liong-kiam adalah sebatang pusaka ampuh, akan tetapi ternyata pedang bengkok pemberian kaisar itupun ampuh sekali sehingga tidak menjadi rusak. Akan tetapi Pek Hong Nio-cu merasa betapa tangannya yang memegang pedang gemetar dan terguncang hebat.

Kembali ia terkejut dan diam-diam ia harus mengakui bahwa lawannya yang berjuluk Si Naga Langit itu benar-benar lihai sekali. Akan tetapi dasar ia seorang gadis yang keras kepala, ia tidak mau mengaku kalah dan menyerang terus dengan mengeluarkan semua kemampuannya.

Thian Liong mengimbangi permainan pedang gadis itu. Dia mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang gadis itu benar-benar merupakan ilmu pedang tingkat tinggi yang hebat sekali. Hanya sayang, agaknya gadis ini belum menguasai benar ilmu pedang itu, belum matang permainannya. Andaikata gadis itu sudah menguasai sepenuhnya, Thian Liong maklum bahwa pedangnya itu akan merupakan bahaya besar bagi lawannya.

Memang sesungguhnya demikian. Pek Hong Nio-cu atau yang nama aselinya Puteri Moguhai ini menerima ilmu pedang itu dari "pamannya", yaitu yang oleh ibunya disebut sahabat she Sie, yang memberikan tiga kitab ilmu silat kepadanya, juga hiasan rambut burung Hong Perak. Sayang ia hendak menyembunyikan ilmu pemberian "Paman Sie" itu dari orang lain, terpaksa melatihnya sendiri secara diam-diam, tidak di bawah pimpinan seorang ahli sehingga ia tidak dapat menguasai ilmu itu sepenuhnya.

Thian Liong mengimbangi permainan pedang gadis itu. Dia tidak ingin membuat gadis itu sakit hati, tidak mau mengalahkan secara mutlak, apa lagi melukainya. Maka setelah bertanding ramai selama tigapuluh jurus, tiba-tiba Thian Liong mengerahkan sin-kangnya, membuat pedang lawan melekat pada pedangnya. Pek Hong Nio-cu terkejut dan mencoba membetot lepas pedangnya, namun tanpa hasil, dan tiba-tiba Thian Liong membentak.

"Lepas!" Dia menggerakkan pedangnya dengan sentakan dan Pek Hong Nio-cu tidak dapat mempertahankan pedangnya lagi. Pedang itu seperti direnggut lepas dari tangannya, lalu melayang ke atas. Akan tetapi Thian Liong sengaja melompat ke belakang sehingga ketika pedang meluncur turun, Pek Hong Nio-cu dapat menangkapnya dengan tangan kanannya. Wajahnya berubah merah sekali dan ia menyimpan lagi pedangnya di sarung pedangnya.

Thian Liong cepat menghampiri dan dia menjura dengan kedua tangan dirangkap di depan dada dan membungkuk hormat.

"Harap engkau suka maafkan aku, nona. Sesungguhnya aku tidak bermaksud untuk bertanding denganmu dan aku tadi tidak berbohong ketika mengatakan bahwa engkau sungguh serupa benar dengan seorang pendekar wanita bernama Thio Siang In yang berjuluk Ang Hwa Sian-li, karena itu, maafkan kesalahanku mengenal orang, nona."

Sikap yang sopan dari Thian Liong sedikitnya menurunkan kadar kemarahan dan rasa penasaran di hati Pek Hong Nio-cu. Ia memandang pemuda itu dengan penuh perhatian, diam-diam merasa kagum karena pemuda itu benar-benar telah mengalahkannya. Begitu sederhana dan rendah hati, akan tetapi sesungguhnya memiliki ilmu silat yang amat tinggi.
"Hemm, engkau tentu hendak mengatakan bahwa ilmu kepandaian gadis pendekar sahabatmu itu jauh lebih tinggi daripada kepandaianku, bukan?" kata Pek Hong Nio-cu dengan suara mengandung kepahitan.

"Ah, tidak sama sekali, nona! Tingkat kepandaian kalian berimbang, bahkan, aku mau berterus terang, kalau ilmu pedangmu tadi sudah kaukuasai sepenuhnya dan kaulatih dengan sempurna, jangankan Ang Hwa Sian-li, bahkan aku sendiri belum tentu dapat menang melawanmu."

Pek Hong Nio-cu mulai tertarik, selama beberapa bulan ini ia sudah mendengar akan ketenaran nama Si Naga Langit yang disohorkan sebagai seorang pendekar yang selalu menentang kejahatan. Akan tetapi biasanya, begitu yang ia dengar, para pendekar itu selain menjadi pembela kebenaran dan keadilan, juga bersikap memusuhi pemerintahan Kerajaan Kin. Sebagai seorang yang berjiwa pendekar, Pek Hong Nio-cu tentu saja merasa cocok dengan sepak terjang para pendekar itu yang selalu menentang kejahatan. Akan tetapi sebagai seorang puteri Kaisar Kerajaan Kin, sebagai bangsa Nuchen yang mendirikan wangsa Kin, tentu saja ia merasa tidak senang kalau para pendekar menentang dan memusuhi pemerintah bangsanya! Memang, iapun tahu bahwa ibunya adalah seorang pribumi, seorang wanita berbangsa Han, akan tetapi ayahnya adalah Kaisar berbangsa Nuchen, Kaisar Kerajaan Kin!

"Souw Thian Liong, benarkah engkau yang disohorkan orang dengan sebutan Si Naga Langit?" Pek Nio-cu bertanya sambil menatap tajam wajah pemuda itu.

Wajah Thian Liong berubah kemerahan. Dia merasa rikuh juga dengan namanya yang disohorkan orang itu. Semua sepak terjangnya hanya didorong sebagai kewajibannya semata, sama sekali bukan untuk mencari ketenaran nama.

"Yah, begitulah orang-orang menyebut saya, padahal itu adalah nama aseli saya," katanya malu-malu.

"Jadi engkau seorang pendekar yang malang melintang di dunia kang-ouw, menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan?"

"Akan kuusahakan semampuku untuk membela kebenaran dan keadilan yang sudah menjadi kewajibanku, Pek Hong Nio-cu. Memang untuk itulah aku dengan susah payah mempelajari ilmu silat."

"Dan sebagai seorang Han, engkau berkewajiban pula untuk menentang dan memusuhi pemerintah Kerajaan Kin?" gadis itu mendesakkan pertanyaan ini.

Akan tetapi Pek Hong Nio-cu memandang heran ketika pemuda itu menggeleng kepalanya lalu menghela napas.

"Kerajaan Sung Utara telah kalah dan kekalahan itu harus diakui. Urusan negara diselesaikan oleh negara melalui perang. Apa artinya bagi perorangan untuk melawan balatentara negara? Tidak, Pek Hong Nio-cu, aku tidak mencampuri urusan negara. Mungkin kalau negaraku berperang, bisa saja aku membantu dan menjadi perajurit. Akan tetapi di luar itu, aku tidak mencampuri. Aku menentang bangsa apa saja yang bertindak sewenang-wenang dan jahat. Biar bangsaku sendiri, kalau dia melakukan kejahatan tentu akan kutentang dan biar bangsa apapun kalau dia berada di pihak benar dan tertindas, akan kubela. Aku setuju sekali dengan tindakanmu di kota Leng-ciu tadi, Pek Hong Nio-cu."

"Tindakan yang mana?" tanya gadis itu, semakin tertarik.

"Engkau telah membela seorang gadis pribumi dengan keluarganya ketika diganggu pemuda-pemuda putera pembesar, bahkan menghajar para pengawal mereka, kemudian engkau memberi hajaran keras kepada dua orang pembesar Kerajaan Kin. Tindakanmu itu membuktikan bahwa engkau berjiwa pendekar dan bertindak membela kebenaran dan keadilan tanpa pandang bulu sehingga para pembesarmu sendiri, kalau-kalau mereka bersalah, kauhukum berat! Karena itulah aku merasa kagum sekali kepadamu, Pek Hong Nio-cu."

Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnya.

"Pembesarku? Apa maksudmu dengan kata itu, Souw Thian Liong?"

'Thian Liong tersenyum.

"Engkau tidak perlu bersembunyi lagi, Pek Hong Nio-cu. Aku sekarang dapat menduga siapa engkau sebenarnya."

"Hemm, begitukah? Coba katakan, siapa aku?" kata gadis itu dengan kepala ditegakkan, anggun menantang.

"Engkau tentu seorang puteri bangsawan yang berkedudukan tinggi sekali, dan kalau aku tidak keliru menduga, engkau tentu puteri dari istana, puteri Kaisar Kerajaan Kin sendiri."

Sepasang alis itu berkerut, sepasang mata itu berkilat, dan hati Pek Hong Nio-cu semakin tertarik. Selama ini tidak ada orang yang tahu bahwa ia adalah puteri kaisar. Ketika ia memperlihatkan pedang bengkok, dua orang pembesar itupun hanya tahu bahwa ia mempunyai kekuasaan dari kaisar untuk menghukum siapa saja yang bersalah akan tetapi merekapun tidak tahu sama sekali bahwa ia sesungguhnya adalah puteri kaisar.

"Bagaimana engkau dapat menduga begitu, Souw Thian Liong?" tanyanya.

"Mudah saja. Sikapmu, begitu anggun dan agung dan sikap seperti ini jelas menunjukkan bahwa engkau seorang puteri bangsawan tinggi. Kemudian, setelah engkau memperlihatkan pedang bengkok itu kepada dua orang pembesar brengsek, mereka berlutut ketakutan. Berarti pedang itu menjadi tanda kekuasaanmu yang amat tinggi. Setelah engkau mencabut pedang itu dan kita bertanding, aku melihat ukiran naga emas pada pedang bengkok itu dan ternyata pedang itu juga merupakan pedang pusaka yang mampu beradu dengan pedangku. Ukiran naga emas hanyalah patut dimiliki seorang kaisar, maka mudah menduga bahwa tentu engkau mendapatkan pedang itu dari Kaisar sendiri. Demikianlah, aku dapat menduga bahwa engkau adalah puteri Kaisar Kerajaan Kin, melihat bahwa pakaianmu adalah pakaian seorang puteri bangsa Kin, Pek Hong Nio-cu."

Pek Hong Nio-cu kini memandang kagum kepada pemuda itu. Harus ia akui bahwa dalam hal ilmu silat, ia masih kalah jauh dibandingkan pemuda itu dan ternyata pemuda itu juga cerdik sekali sehingga dapat menduga bahwa ia adalah puteri kaisar sendiri.

"Hemm, kiranya engkau selain lihai ilmu silatmu, juga mempunyai pikiran yang amat cerdik, Souw Thian Liong. Aku girang dapat berkenalan dengan seorang pandai sepertimu, apa lagi aku sudah mendengar bahwa engkau adalah seorang pendekar penentang kejahatan yang dikenal sebagai Si Naga Langit!"

Puteri itu kini memandangnya dengan senyum manis. Hilang kini kesan angkuh dan galak dan wajah itu menjadi cantik jelita dan manis sekali. Kembali Thian Liong terheran-heran karena dia ingat benar bahwa gadis di depannya itu adalah wajah Ang Hwa Sian-li Thio Siang In! Pandang mata penuh keheranan dan penasaran dari mata pemuda itu agaknya dapat terlihat oleh sang puteri.

"Hei, Souw Thian Liong! Kenapa engkau memandangku seperti itu?" ia menegur, alisnya berkerut.

Thian Liong menyadari keadaannya dan ia cepat menjura dengan hormat.

"Maafkan saya, tuan puteri......!"

"Hushh......, jangan sebut aku seperti itu. Biarpun engkau sudah mengetahui siapa aku sebenarnya, jangan sebut-sebut itu dan anggap saja engkau berhadapan dengan Pek Hong Nio-cu, seorang pendekar wanita biasa, bukan seorang puteri kaisar!"

Thian Liong tersenyum maklum.

"Baiklah, Pek Hong Nio-cu, dan maafkan aku tadi yang memandangmu dengan penuh perasaan heran dan juga penasaran. Sesungguhnyalah, wajahmu, gerak-gerikmu, tiada bedanya sedikitpun dengan Ang Hwa Sian-li Thio Siang In. Kalau engkau mengaku bahwa engkau adalah Thio Siang In yang menyamar, aku tentu percaya sepenuhnya."

Pek Hong Nio-cu memandang penuh selidik dan tampaknya ia tertarik sekali.

"Hemm, coba perhatikan dengan seksama. Sama benarkah aku dengan gadis bernama Ang Hwa Sian-li Thio Siang In itu?"

"Sungguh mati, sama sekali tidak ada bedanya. Bahkan tahi lalat di ujung bibir itu sama benar! Wajah dan bentuk tubuh serupa, sedikitpun tiada bedanya. Yang beda hanyalah pakaian dan ilmu silat berikut senjatanya, juga gaya bahasanya."

"Bagaimana perbedaannya?"

"Ang Hwa Sian-li Thio Siang In itu berpakaian serba hijau dan rambutnya terhias bunga mawar merah. Senjatanya juga sebatang pedang dan gerakan silatnya sungguh berbeda dengan gerakanmu, ilmu silatnya bersifat keji seperti biasa dimiliki golongan sesat. Akan tetapi ia sendiri bukan seorang gadis jahat yang sesat. Bukan, ia juga berjiwa pendekar, hanya agak keras dan galak dan gaya bicaranya seperti logat orang-orang dari daerah barat."

"Ia itu seorang...... sahabat baikmu?" tanya Pek Hong Nio-cu yang kini duduk di atas sebuah batu di tepi jalan. Thian Liong juga duduk di atas sebatang akar pohon yang menonjol di atas tanah.

"Tidak juga, secara kebetulan saja kami saling jumpa ketika aku berkunjung ke Bu-tong-pai dan melerai perkelahian antara ia dan pihak Bu-tong-pai karena salah paham." Dengan singkat dia lalu menceritakan tentang perjumpaannya dengan Ang Hwa Sian-li di Bu-tong-pai di mana gadis itu berselisih dengan orang-orang Bu-tong-pai karena kesalahpahaman mereka.

"Hemm, kalau begitu gadis itu jelas bukan aku karena aku belum pernah pergi berkunjung ke Bu-tong-pai," kata Pek Hong Nio-cu.

"Akan tetapi tadi engkau mengira aku seorang gadis yang mencuri kitab pusakamu. Apa artinya itu? Apakah Thio Siang In itu mencuri kitab pusakamu?"

"Bukan, bukan Ang Hwa Sian-li Thio Siang In yang mencuri kitab itu. Akan tetapi seorang gadis cantik lain. Tadinya aku mengira engkau adalah ia karena perawakan kalian mirip. Gadis itu berpakaian serba merah muda, juga cantik jelita, cerdik, galak. Gerakan ilmu silatnya seperti berdasarkan ilmu silat Tibet. Ia lihai sekali dan ia telah mencuri kitab pusaka Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, kitab pusaka yang seharusnya kuserahkan kepada pemiliknya yang sah, yaitu Kun-lun-pai. Akan tetapi kitab itu dicurinya dan aku sekarang sedang mencari gadis itu untuk merampas kitab itu kembali."

"Wah, Souw Thian Liong! Agaknya di mana-mana engkau selalu bentrok dengan gadis-gadis cantik yang lihai! Tadi engkau juga mengatakan bahwa engkau bentrok dengan Thio Siang In itu karena ia juga ingin pinjam kitab!"

Thian Liong menghela napas panjang.

"Memang nasibku yang buruk. Thio Siang In hendak memaksa pinjam kitab Sam-jong Cin-keng yang harus kuserahkan kepada Siauw-lim-pai. Maka kami bertanding dan aku menyesal sekali kenapa aku harus selalu bertanding dengan gadis cantik yang lihai. Dan sekarang di sini aku harus bertanding pula melawan engkau, Pek Hong Nio-cu. Aahhh, agaknya sudah nasibku harus dibenci semua gadis cantik yang lihai."

"Akan tetapi aku tidak benci padamu, Souw Thian Liong. Aku bahkan kagum padamu. Akan tetapi untuk apa sih engkau membagi-bagikan kitab? Kepada Bu-tong-pai dan kepada Siauw-lim-pai, mungkin kepada partai persilatan lain? Kenapa engkau membagi-bagikan kitab kepada mereka?"

Mendengar kata-kata itu, Thian Liong tersenyum dan hatinya merasa girang. Gadis baju merah itu telah mencuri kitab milik Kun-lun-pai sehingga dia kini harus bersusah payah mencarinya, pada hal dia tidak tahu siapa nama gadis itu dan di mana tempat tinggalnya. Dan Ang Hwa Sian-li Thio Siang In juga hendak memaksa pinjam kitab yang bukan miliknya sehingga terpaksa mereka harus bertanding dan gadis itu pergi dengan menangis dan benci kepadanya. Akan tetapi gadis ini, puteri kaisar Kerajaan Kin tidak benci kepadanya bahkan mengatakan kagum!

"Terima kasih, Pek Hong Nio-cu. Senang hatiku mendengar bahwa engkau tidak benci kepadaku. Baiklah kuceritakan mengapa aku membagi-bagi kitab kepada para pimpinan partai persilatan. Semua itu adalah atas perintah guruku. Ketika aku turun gunung, suhu menyerahkan tiga buah kitab kepadaku untuk diberikan kepada pemiliknya, masing- masing, yaitu kitab Sam-jong Cin-keng kepada Siauw-lim-pai, kitab Kiauw-ta Sin-na kepada Bu-tong-pai, dan kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat kepada Kun-lun-pai. Tiga buah kitab itu tadinya dicuri orang dari pemiliknya masing-masing dan kebetulan suhu yang dapat menemukannya kembali dan menyuruh aku mengembalikannya kepada yang berhak. Akan tetapi di tengah jalan, gadis baju merah yang tidak kukenal itu telah mencuri Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat milik Kun-lun-pai. Kitab Sam-jong Cin-keng sudah kuserahkan kepada Siauw-lim-pai dan demikian pula kitab Kiauw-ta Sin-na kukembalikan kepada Bu-tong-pai. Tadinya Ang Hwa Sian-li Thio Siang In hendak pinjam kitab Sam-jong Cin-keng milik Siauw-lim-pai dengan paksa kepadaku, akan tetapi kutolak sehingga kami bertanding dan ia pergi dengan meninggalkan kebencian kepadaku. Sekarang, terpaksa aku harus mencari gadis baju merah untuk minta kembali kitab milik Kun-lun-pai itu."

"Hemm, siapakah gurumu itu, Thian Liong?"

"Guruku dikenal sebagai Yok-sian (Tabib Dewa) bernama Tiong Lee Cin-jin."

"Ahh, manusia sakti yang dikabarkan setengah dewa itu? Aku sudah mendengar akan nama besarnya! Pantas engkau begini lihai, kiranya engkau murid Si Tabib Dewa itu. Kau tahu, Thian Liong, ketika di istana ayahku berjangkit penyakit yang amat berbahaya sehingga banyak yang sakit pagi sorenya mati dan sakit sore paginya mati, Si Tabib Dewa itu melayang di atas kota raja dan membagi-bagikan obat penawar penyakit. Tak seorangpun melihatnya dengan jelas, hanya melihat bayangannya saja berkelebat ketika dia meninggalkan obat itu."

Thian Liong mengangguk-angguk. Dia percaya cerita itu karena memang gurunya sering melakukan hal-hal yang aneh dan dia tahu bahwa bagi gurunya, semua manusia itu, bangsa apapun juga, sama saja dan siap menjulurkan tangan menolong.

"Suhu memang selalu siap menolong siapapun juga," katanya pendek.

"Wah, melihat engkau membagi-bagikan ilmu silat, aku jadi teringat kepada Paman Sie!"

Thian Liong memandang wajah yang cantik jelita itu dan bertanya,

"Paman Sie? Siapakah dia?"

Pek Hong Nio-cu menggeleng kepala dan tersenyum.

"Entahlah, kata Ibuku, dia sahabat baik ibuku dahulu dan dia juga guruku karena seperti juga engkau, dia membagi tiga buah kitab kepadaku. Akan tetapi dia jauh lebih tua daripada engkau, Thian Liong."

"Nio-cu, setelah aku mengetahui bahwa engkau sesungguhnya puteri kaisar Kerajaan Kin, bolehkah aku mengetehui siapa namamu?"

"Namaku adalah Puteri Moguhai."

"Dan gurumu?"

"Sudah kukatakan, guruku terakhir adalah Paman Sie yang memberi tiga buah kitab kepadaku dan aku melatih sendiri ilmu-ilmu dari tiga kitab itu. Guru-guruku yang pertama, yang mengajarkan ilmu silat dasar kepadaku adalah jagoan-jagoan istana."

Thian Liong mengangguk-angguk.

"Pemanmu itu tentu seorang yang berilmu tinggi. Terus terang saja, Pek Hong Nio-cu, kalau ilmu sabuk dan ilmu pedangmu itu kau latih di bawah bimbingan seorang guru pandai, tentu engkau akan menguasainya dengan baik dan kurasa dengan itu akan sukar dicari orang yang akan mampu menandingimu. Ilmu-ilmumu itu kulihat tadi amat hebat, dahsyat dan sulit sekali diduga perubahannya, hanya sayang engkau belum menguasainya secara matang.

"Tepat,sekali dugaanmu, Thian Liong. Aku merasa girang bertemu denganmu dan kuharap eagkau dapat memberi petunjuk kepadaku."

"Ah mana mungkin, Nio-cu? Yang dapat memberi petunjuk tentu hanya pamanmu itu yang tentu sudah menguasai tiga kitab yang diberikan kepadamu."

"Sekarang, engkau hendak pergi ke mana, Thian Liong?"

"Sudah kukatakan tadi, aku haruslah mencari gadis baju merah yang telah mencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat milik Kun-lun-pai. Dan mengingat ilmu silatnya berdasar aliran Tibet, aku akan mencari ke barat."

"Ah, kebetulan sekali, Thian Liong. Akupun akan melakukan perjalanan ke sana. Di dekat perbatasan Sin-kiang terdapat seorang pamanku, Pangeran Kuang yang memimpin pasukan yang berjaga di perbatasan. Aku akan menemui dia untuk suatu keperluan penting sekali dan mungkin saja dia yang mempunyai banyak pengalaman akan dapat memberi petunjuk kepadamu tentang gadis baju merah yang mencuri kitab itu. Kita dapat melakukan perjalanan bersama."

Dalam hati Thian Liong timbul perasaan rikuh. Melakukan perjalanan bersama seorang gadis yang demikian cantik jelita, puteri kaisar pula?

''Akan tetapi".." dia meragu.

"Hemm, apakah engkau tidak suka melakukan perjalanan bersama seorang puteri kerajaan bangsa Nuchen yang memusuhi bangsa Han? Katakan saja terus terang!" kata Nio-cu sambil memandang tajam.

Thian Liong menggeleng kepalanya.

"Tidak, Nio-cu. Permusuhan antara kerajaan tidak berarti permusuhan perorangan. Aku tidak memusuhimu, akan tetapi"" apa akan kata orang kalau aku, seorang pemuda, melakukan perjalanan berdua dengan engkau, seorang gadis......?" Dia menahan mulutnya tidak mengatakan cantik jelita.



"Apa salahnya? Yang penting kita bersahabat dan tidak melakukan sesuatu yang tidak pantas. Kalau ada mulut usil bicara sembarangan, biar kupukul hancur mulut itu!"

Thian Liong menghela napas. Bagaimana dia dapat mencari alasan untuk menolaknya? Dia tidak berdaya menghadapi gadis yang berhati keras namun tidak dapat dibantah karena ucapannya memang benar itu.

"Baiklah kalau engkau memang menghendaki demikian. Akan tetapi kuperingatkan, melakukan perjalanan bersama aku tidak akan menyenangkan karena aku seorang yang miskin dan biasa hidup sederhana, terkadang harus melewatkan malam di tempat terbuka, di kuil-kuil kosong, di guha-guha, bahkan di bawah pohon. Mana mungkin engkau dapat melakukan perjalanan seperti itu?"

Pek Hong Nio-cu tertawa, suara tawanya mengingatkan Thian Liong kepada Ang Hwa Sian-li. Alangkah miripnya. Sama-sama begitu bebas kalau tertawa, tidak ditutup-tutupi atau malu-malu seperti gadis Han pada umumnya. Bebas membuka mulut sehingga tampak deretan gigi yang putih rapi seperti mutiara, bagian dalam mulut yang merah dan lidah yang merah muda.

"Tentu saja aku tidak sudi tidur di tempat-tempat kotor seperti itu!" katanya setelah tawanya reda.

"Akan tetapi akupun tidak perlu harus sengsara seperti itu. Kau tahu, aku membawa cukup banyak emas untuk membeli segala keperluan kita di dalam perjalanan, dan pedangku ini dapat membuat semua pembesar di daerah bertekuk lutut dun melayani segala keperluanku. Maka, kalau kita melakukan perjalanan bersama, perlu apa kita harus bersusah payah seperti yang kaugambarkan tadi? Mari kita berangkat. Tak jauh dari sini, di depan sana terdapat sebuah dusun dan kita dapat membeli seekor kuda untukmu."

Thian Liong merasa rikuh kalau selalu dibiayai gadis itu, akan tetapi dia tidak dapat membantah. Bagaimanapun juga, gadis itu adalah puteri kaisar, tentu saja kaya raya dan memiliki kekuasaan tinggi. Diapun lalu berjalan cepat di samping kuda yang ditunggangi Pek Hong Nio-cu.

Dua orang gadis itu melewati perbatasan kerajaan Sung Selatan dan memasuki daerah Kerajaan Kin utara. Keduanya berjalan kaki dan melihat langkah mereka yang tegap dan gesit, apalagi melihat pedang yang tergantung di punggung mereka, mudah diduga bahwa mereka berdua adalah gadis-gadis kang-ouw yang pandai ilmu silat. Yang seorang berusia duapuluh tahun, bermuka bulat dan cantik, bertubuh tinggi ramping. Yang kedua lebih pendek, juga cantik dengan wajahnya yang berbentuk bulat telur, usianya sekitar sembilanbelas tahun. Keduanya memiliki wajah cantik dan bentuk tubuhnya yang menggiurkan sehingga di dalam perjalanan mereka, banyak mata pria mencuri pandang dengan kagum. Namun jarang ada yang berani mengganggu mereka, melihat pedang yang tergantung di pungung mereka.

Mereka memang bukan gadis sembarangan, melainkan dua orang murid Kun-lun-pai yang pandai ilmu silat, terutama lihai ilmu pedang mereka. Yang pertama adalah Kim Lan dan yang kedua adalah su-moinya (adik seperguruannya) Ai Yin.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, karena dikalahkan oleh Thian Liong, sesuai dengan sumpah yang diharuskan oleh guru mereka, Biauw In Su-thai, Kim Lan harus menjadi isteri Thian Liong dan kalau Thian Liong menolak, Kim Lan harus membunuhnya! Sakit hati karena cintanya ditolak pria, membuat Biauw In Su-thai mengambil sumpah para murid wanitanya seperti itu. Kemudian ia menyesal ketika ditegur Kui Beng Thaisu ketua Kun-lun-pai dan ia dihukum harus bertapa di pondok pengasingan. Akan tetapi Kim Lan sudah terlanjur pergi untuk mencari dan membunuh Thian Liong yang menolak menjadi suaminya. Ai Yin yang amat mencinta sucinya (kakak seperguruannya) ikut pergi bersama Kim Lan.

Demikianlah, setelah melakukan perjalanan selama hampir dua bulan Kim Lan belum juga dapat menemukan Thian Liong. Ia lalu mengajak su-moinya untuk pergi mengunjungi bibinya yang tinggal di dusun Lui-touw di Propinsi Shantung, di lembah Sungai Huang-ho. Ai Yin menurut saja kepada sucinya.

"Suci, kalau sekiranya tinggal di dusun tempat tinggal bibimu itu enak, lebih baik kita tinggal saja di sana dan tidak usah ke Kun-lun-pai, tidak perlu bersusah payah mencari Souw Thian Liong. Mencari seseorang yang tidak diketahui ke mana perginya, mana mungkin? Ke mana kita harus mencarinya? Kita hidup di dusun saja bertani, suci," kata Ai Yin.

Mereka melepaskan lelah di bawah pohon besar di pinggir sebuah hutan. Siang itu hawa udara amat panasnya dan mereka telah melakukan perjalanan sejak pagi tadi.

Kim Lan menyusut keringat dari lehernya, memandang wajah su-moinya dengan alis berkerut dan pandang mata sedih. Lalu ia menghela napas panjang.

"Aih, mana bisa begitu, su-moi? Kita berdua sudah yatim piatu dan sejak kecil kita dirawat dan dididik oleh subo Biauw In Su-thai penuh kasih sayang. Subo menganggap kita seperti anaknya sendiri ia menjadi pengganti orang tua kita. Bagaimana kita dapat menjadi murid murtad? Apa lagi kita sudah bersumpah dan sungguh memalukan seorang gagah mengingkari sumpahnya sendiri!"

Tiba-tiba tampak debu mengepul tinggi dan terdengar derap kaki banyak kuda mendatangi dari utara. Setelah dekat ternyata mereka adalah sepasukan perajurit terdiri dari duapuluh empat orang, dipimpin oleh dua orang perwira. Dari pakaian seragam mereka mudah diketahui bahwa mereka adalah pasukan Kerajaan Kin yang menguasai daerah sebelah utara Sungai Yang-ce. Ketika dua orang perwira itu melihat dua orang gadis yang duduk di tepi hutan pinggir jalan itu, mereka segera mengangkat tangan memberi isyarat agar pasukannya berhenti. Semua kuda berhenti dan tentu saja hal ini menimbulkan debu mengepul tinggi di siang hari terik itu.

"Menyebalkan!" kata Kim Lan yang pemarah dan ia bangkit berdiri sambil menutupi hidung dan mulutnya dengan sehelai saputangan. Ai Yin juga menutupi hidung dan mulut, dan bangkit berdiri pula.

Dua orang perwira dan anak buah mereka itu telah melihat bahwa dua orang gadis itu cantik dan hanya berdua saja, maka timbul keisengan mereka. Dua orang perwira itu segera saling bicara, kemudian sambil tertawa keduanya melompat turun dari atas kuda masing-masing dan melangkah dengan gagah menghampiri Kim Lan dan Ai Yin. Dua losin perajurit itupun berlompatan dari atas kuda mereka, tertawa-tawa melihat tingkah kedua orang pimpinan mereka yang mereka anggap lucu. Sudah berbulan-bulan mereka meronda di perbatasan dan haus akan hiburan maka peristiwa ini mereka anggap sebagai hiburan yang menarik.

Kim Lan berbisik kepada su-moinya.

"Su-moi, hati-hati, mereka itu agaknya mencari perkara."

Dua orang gadis itu memandang penuh perhatian. Dua orang perwira itu berusia empatpuluh tahun lebih, yang seorang bertubuh tinggi besar bermuka merah halus, sedangkan yang kedua bertubuh lebih pendek gempal dengan muka penuh brewok. Dengan langah gagah dibuat-buat kedua orang perwira itu menghampiri dua orang gadis itu. Kini Kim Lan dan Ai Yin sudah melepaskan tangan dari muka mereka sehingga tampaklah wajah mereka yang cantik. Dua orang perwira itu memandang penuh gairah dan menyeringai lebar.

Setelah mereka berhadapan, dua orang perwira itu cengar-cengir memandang kepada dua orang gadis itu dan yang tinggi besar itu bertanya kepada Kim Lan.

"Nona berdua siapakah dan mengapa berada di sini?"

Kim Lan mengerutkan alisnya dan memang pada dasarnya Kim Lan berwatak galak dan angkuh, maka ia menjawab dengan sikap galak dan suara ketus.

"Kami berada di tempat umum dan tidak ada sangkut pautnya dengan kalian. Ada urusan apa engkau bertanya-tanya?"

"Ha-ha-ha!" Perwira tinggi besar itu tertawa dan menoleh kepada temannya yang brewokan.

"Lihat, betapa galaknya nona ini! Wah, aku suka yang galak-galak begini, makin liar semakin menyenangkan. Ha-ha-ha! Biarlah engkau mendapat yang satunya itu, Koan-te (adik Koan)!"

"Ha-ha-ha!" Yang brewokan juga tertawa senang.

"Aku lebih suka yang sikapnya halus ini!"

"Nona, jangan galak-galak. Marilah kalian ikut dengan kami, bersenang-senang daripada kesepian di sini!" Setelah berkata demikian, perwira tinggi besar menjulurkan tangannya hendak mengusap pipi Kim Lan.

Bukan main marahnya Kim Lan.

"Wwuutt...... plak!" Tiba-tiba Kim Lan sudah maju menampar dengan tangannya, mengenai pipi si perwira tinggi besar sehingga orang itu terhuyung ke belakang. Agaknya perwira itu memiliki tubuh yang kuat maka tamparan itu hanya membuatnya terhuyung.

"Jahanam, engkau bosan hidup!" Kim Lan membentak dan sekali tangannya bergerak, ia sudah mencabut pedangnya. Ai Yin juga sudah mencabut pedangnya dan kedua orang gadis itu sudah siap memasang kuda-kuda dengan gagahnya!

Dua orang perwira itu marah sekali. Terutama si tinggi besar yang kena ditampar pipinya. Dia juga mencabut golok yang tergantung di pinggangnya, diikuti perwira yang brewok.

"Berani kalian melawan kami! Kalian tentu mata-mata dari pemberontak di Kerajaan Sung Selatan!" kata si perwira tinggi besar.

"Kalau kami laporkan kepada Perdana Menteri Chin Kui, kalian tentu akan ditangkap dan dihukum berat!" kata pula perwira brewokan dan mereka berdua memberi isyarat kepada para anak buahnya. Dua losin perajurit itu sudah bergerak maju mengepung dengan senjata tajam di tangan.

"Hayo kalian dua orang gadis Han cepat membuang pedang kalian dan menyerah, atau kalian akan mati dengan tubuh hancur!" bentak pula perwira tinggi besar.

"Jahanam busuk, kalian semua yang akan mampus oleh pedang kami!" bentak Kim Lan dan iapun sudah menerjang maju dengan gerakan pedangnya, menyerang Perwira tinggi besar.

Ai Yin tidak tinggal diam, iapun menggunakan pedangnya Menyerang perwira brewokan. Gerakan pedang dua orang gadis murid Kun-lun-pai ini hebat bukan main, cepat dan dahsyat karena mereka mainkan Tian-lui-kiamsut (ilmu Pedang Kilat Guntur). Dua orang perwira itu cepat menggerakkan golok mereka menangkis sambil berlompatan ke belakang, terkejut menghadapi serangan kilat yang dahsyat itu. Perajurit-perajurit lalu bergerak mengeroyok dan dua orang gadis itu menghadapi pengeroyokan duapuluh empat orang perajurit yang dipimpin dua orang perwira itu.

Dengan memainkan pedang mereka menggunakan ilmu pedang andalan mereka, yaitu Tian-lui-kiamsut, Kim Lan dan Ai Yin mengamuk bagaikan dua ekor singa betina yang haus darah. Para murid wanita Kun-lun-pai yang langsung di bawah bimbingan Biauw In Su-thai memang sudah terbiasa dengan sifat galak dan keras guru mereka itu sehingga mereka sendiri rata-rata memiliki sifat yang keras. Berbeda dengan para murid wanita yang langsung ditangani Hui In Sian-kouw yang berwatak lembut, merekapun rata-rata berwatak lembut.

Kim Lan dan Ai Yin sebagai murid-murid kesayangan Biauw In Su-thai berwatak keras walaupun Ai Yin lebih lembut dibandingkan Kim Lan yang galak. Mereka berdua mengamuk dengan pedang mereka dan sebentar saja sudah ada empat orang perajurit terjungkal mandi darah dan pedang kedua orang gadis itu sudah mulai berlumuran darah. Akan tetapi, dua orang perwira itu kiranya bukan orang-orang lemah. Mereka berdua merupakan lawan yang lumayan tangguhnya dan dibantu oleh banyak perajurit cukup merepotkan Kim Lan dan Ai Yin yang mulai terdesak karena hujan serangan para pengeroyoknya yang jauh lebih banyak itu.

Biarpun mereka dapat merobohkan dua orang perajurit lagi, namun Kim Lan dan Ai Yin kini merasa lelah sekali. Mereka terpaksa harus saling membelakangi agar tidak dapat diserang dari belakang dan mereka hanya dapat mempertahankan diri, memutar pedang untuk menghalau semua senjata yang datang menyerang seperti hujan itu.

Kim Lan dan Ai Yin mulai merasa lelah sekali Mereka kehabisan tenaga. Untuk melarikan diri, mereka tidak mempunyai kesempatan lagi. Pula, andaikata mereka dapat melarikan diri, pasukan itu dapat mengejar mereka dengan naik kuda. Tidak ada jalan lain, mereka harus melawan terus mempertahankan diri sampai akhir.

Akan tetapi dua orang perwira itu agaknya tidak menghendaki mereka berdua mati begitu saja.

"Kepung terus, jangan bunuh mereka. Tangkap hidup-hidup!" teriak dua orang perwira itu.

Inilah yang ditakuti dua orang gadis murid Kun-lun-pai itu. Membayangkan tertawan hidup-hidup oleh segerombolan orang ini, mereka berdua menjadi ngeri. Lebih baik mati daripada tertawan hidup-hidup, pikir mereka sambil mengamuk terus.

Pada saat yang amat gawat bagi kedua orang gadis itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

"Ji-wi Li-hiap (Dua Nona Pendekar) jangan khawatir, mari kita basmi tikus-tikus busuk ini!"

Sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu beberapa orang perajurit Kin terpelanting, diterjang seorang pemuda yang gerakannya amat dahsyat. Pemuda itu berusia sekitar duapuluh enam tahun, berkulit putih, wajahnya bundar dan tampan dengan alis tebal dan sepasang mata tajam, sikapnya gagah. Tubuhnya sedang dan tegap dan pakaiannya bersih rapi. Dia memegang sebatang pedang dengan ronce merah. Begitu dia menerjang dengan pedangnya, empat orang perajurit berpelantingan.

Para pengeroyoknya terkejut sekali, apalagi ketika pemuda itu dengan gerakan pedangnya yang amat dahsyat kini menerjang kepada dua orang perwira dan dalam beberapa jurus saja dua orang perwira itu terjungkal mandi darah dan tewas! Tentu saja para perajurit menjadi terkejut dan gentar. Sebaliknya, Kim Lan dan Ai Yin menjadi girang dan bersemangat. Mereka berdua mengamuk dan sudah merobohkan empat orang pengeroyok lagi.

Akhirnya, sisa pasukan itu ketakutan dan mereka lalu melarikan diri, berloncatan ke atas punggung kuda mereka dan membalapkan kuda meninggalkan tempat yang berbahaya itu, meninggalkan mayat-mayat dua orang perwira dan kawan-kawan mereka.

Kim Lan dan Ai Yin kini berhadapan dengan pemuda yang telah menyelamatkan mereka dari ancaman bahaya yang bagi mereka lebih mengerikan dari pada maut itu.

Kim Lan merangkap kedua tangan ke depan dada memberi hormat kepada pemuda itu, diturut oleh Ai Yin.

"Terima kasih atas bantuan tai-hiap (pendekar besar) yang telah menyelamatkan kami berdua dari pengeroyokan pasukan itu."

Pemuda itu membalas penghormatan mereka lalu dengan sikap halus dan senyum ramah dia menjawab,

"Harap ji-wi lihiap (pendekar wanita berdua) tidak bersikap sungkan. Sudah menjadi kewajiban kita untuk saling bantu menentang kejahatan. Mari kita bicara di tempat lain. Tempat ini tidak nyaman untuk bicara, pula kalau sisa pasukan tadi datang membawa bala bantuan yang besar jumlahnya, kita bisa repot."

Setelah berkata demikian, pemuda itu dengan sikapnya yang hormat mengajak kedua orang gadis meninggalkan tempat itu dan memasuki hutan. Kim Lan dan Ai Yin mengerti bahwa ucapan pemuda itu memang benar, maka merekapun mengikuti pemuda itu dan sebentar saja mereka bertiga yang mempergunakan ilmu berlari cepat sudah meninggalkan tempat di mana mayat-mayat para perajurit bergelimpangan itu. Mereka berhenti di bagian terbuka dalam hutan itu.

"Nah, di sini kita dapat bicara dengan lebih nyaman," kata pemuda itu.

"Perkenalkan, nona berdua, namaku Cia Song, seorang murid Siauw-lim-pai. Kalau aku tidak salah lihat, permainan pedang kalian tadi adalah dari Kun-lun-pai. Benarkah?"

"Tidak salah dugaanmu, Cia-taihiap (pendekar besar Cia)......"

"Aih, nona. Harap jangan sebut tai-hiap padaku. Kita murid-murid dua partai persilatan besar yang segolongan, jadi seperti saudara saja. Kalian seperti adik-adikku seperguruan sendiri."

"Ah, engkau baik sekali, Cia-twako (kakak Cia)!" kata Ai Yin kagum.

"Baiklah, Cia-twako. Perkenalkan, aku bernama Kim Lan dan ini su-moiku (adik seperguruanku) bernama Ai Yin, murid-murid Kun-lun-pai."

"Hemm, Lan-moi dan Yin-moi, senang sekali dapat bertemu dan berkenalan dengan kalian di sini. Akan tetapi, bagaimana sampai kalian berdua dikeroyok tikus-tikus tadi?" tanya Cia Song, murid Siauw-lim-pai yang pernah kita kenal.

Dia adalah murid Hui Sian Hwesio yang pernah bertemu dengan Thian Liong ketika Thian Liong berkunjung ke Siauw-lim-pai untuk menyerahkan kitab Sam-jong Cin-keng kepada Hui Sian Hwesio. Cia Song inilah yang dulu menangkap kemudian membunuh Hui-houw-ong Giam Ti yang dituduh sebagai pemerkosa Kwee Bi Hwa, puteri Kwee Bun To.

"Kami berdua sedang melakukan perjalanan dan tiba di sini ketika rombongan pasukan itu muncul dan mereka hendak ganggu kami, maka kami melawan dan dikeroyok," kata Ai Yin. Gadis ini diam-diam kagum kepada Cia Song yang tampan dan gagah, dan yang telah menyelamatkan ia dan sucinya itu.

"Akan tetapi, kalian berdua jauh-jauh datang ke sini, ada urusan apakah, kalau aku boleh bertanya? Siapa tahu, aku dapat membantu kalian," kata Cia Song dengan sikapnya yang lemah lembut dan ramah.

Kim Lan dan Ai Yin saling berpandangan dan mereka setuju untuk berterus terang kepada pemuda yang menarik hati dan menyenangkan itu. Siapa tahu dia dapat membantu dan menemukan orang yang mereka cari-cari.

"Cia-twako sesungguhnya aku sedang mencari seseorang dan su-moi ini ikut denganku. Susahnya, aku tidak tahu ke mana harus mencari seseorang itu," kata Kim Lan.

"Hemm, siapakah orang yang kaucari itu, Lan-moi? Barangkali saja aku mengenalnya," tanya Cia Song sambil lalu karena sesungguhnya dia tidak tertarik kepada orang yang dicari kedua orang gadis cantik ini.

Akan tetapi jawaban Kim Lan sungguh tak disangka-sangka dan amat mengejutkan hatinya.

"Cia-twako, engkau tentu tidak mengenalnya. Dia adalah seorang pemuda yang bernama Souw Thian Liong."

"Souw Thian Liong......?" tanya Cia Song, tertarik sekali.

"Apakah engkau mengenal dia, Cia-twako?" Tanya Ai Yin.

"Hemm, bukankah yang kalian maksudkan itu, Souw Thian Liong murid dari Tiong Lee Cin-jin?"

"Benar sekali, twako!" seru Kim Lan girang.

"Apakah engkau tahu di mana dia?"

Cia Song mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tahu di mana Thian Liong berada! Di Siauw-lim-si dia sudah bergaul akrab dengan Thian Liong dan ia mendengar bahwa sebuah di antara kitab-kitab pelajaran ilmu silat, yaitu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang merupakan kitab pusaka Kun-lun-pai, yang seharusnya oleh Thian Liong dikembalikan kepada Kun-lun-pai, telah dicuri seorang gadis berpakaian merah yang tidak diketahui siapa nama dan di mana tempat tinggalnya. Dia tahu pula bahwa setelah pergi dari Siauw-lim-si, Thian Liong tentu akan mencari gadis pencuri kitab itu sampai dapat ditemukan untuk merampas kembali kitab pusaka Kun-lun-pai.

Diam-diam tanpa diketahui Thian Liong, Cia Song membayangi pemuda itu karena timbul keinginannya untuk menguasai kitab pusaka Kun-lun-pai itu! Dia tahu bahwa Thian Liong berada di kota Kiang-cu, tak jauh dari tempat itu dan Thian Liong dilihatnya telah menyewa sebuah kamar di rumah penginapan. Karena memang niatnya hendak mendahului Thian Liong menemukan gadis yang mencuri kitab pusaka Kun-lun-pai, maka selagi Thian Liong berada di kota itu, dia sengaja keluar kota untuk menyelidiki kalau-kalau gadis berpakaian merah itu berada di sekitar daerah itu dan kebetulan dia melihat Kim Lan dan Ai Yin yang dikeroyok perajurit Kin.

"Mungkin aku dapat membantu kalian mendapatkan Souw Thian Liong. Akan tetapi aku juga ingin sekali mengetahui, mengapa kalian mencari dia?"

"Suci Kim Lan yang mencarinya, twako. Dia adalah calon suami suci!" kata Ai Yin.

Cia Song terkejut dan memandang wajah Kim Lan yang berubah kemerahan.

"Ah, jadi engkau telah bertunangan dengan Souw Thian Liong, Lan-moi? Sungguh tidak kusangka! Kalau begitu, kiong-hi (selamat)!" Cia Song memberi selamat dengan menjura.

"Akan tetapi, kenapa sekarang engkau mencari dia sampai ke sini? Apakah dia pergi tanpa pamit dan ada urusan yang amat penting? Katakanlah terus terang karena aku adalah kenalan baiknya dan aku pasti akan dapat menemukan untukmu."

Dengan muka masih kemerahan, Kim Lan berkata,

"Sebetulnya, dia...... memang melarikan diri dan aku ingin bertemu dengan dia untuk minta keputusannya apakah dia mau menjadi suamiku atau kalau tidak......"

"Hemm, kalau tidak bagaimana?" kejar Cia Song yang menjadi semakin heran.

"Kalau tidak aku...... aku harus membunuhnya!"

Cia Song terbelalak heran.

"Bagaimana pula ini?" tanyanya dengan heran.

"Apa yang terjadi, Lan-moi?"

"Pendeknya, bagiku hanya ada dua pilihan. Dia mau menjadi suamiku atau kalau dia menolak, aku harus membunuhnya!" kata pula Kim Lan.

Cia Song mengerutkan alisnya, lalu dia mengangguk-angguk.

"Hemm, begitukah? Jadi dia dan engkau...... hemm, dia telah......"

"Tidak, tidak begitu, Cia-twako!" bantah Ai Yin yang tahu apa yang diduga pemuda itu.

"Tidak pernah ada hubungan apapun antara Souw Thian Liong dan suci. Akan tetapi suci harus melakukan itu untuk memenuhi sumpahnya, sumpah kami."

"Sumpah? Aku tidak mengerti......" kata Cia Song, semakin heran.

Kim Lan menghela napas panjang lalu berkata,

"Begini, Cia-twako. Karena engkau bersikap baik kepada kami, biarlah kami anggap saudara sendiri dan engkau boleh mengetahui persoalannya. Kami, murid-murid subo, sudah disumpah oleh subo bahwa kami tidak boleh menikah dengan pria kecuali kalau ada pria yang mengalahkan kami dalam pertandingan dan kalau pria itu menolak, kami harus membunuhnya. Kebetulan Souw Thian Liong mengalahkan aku dalam pertandingan, akan tetapi dia menolak untuk menjadi suamiku, bahkan lalu melarikan diri. Karena itu aku harus mencarinya dan minta kepastian darinya."

Cia Song mengangguk-angguk, diam-diam dalam hatinya dia tertawa mendengar tentang sumpah yang aneh itu.

"Hemm, begitukah? Apakah semua murid wanita Kun-lun-pai harus bersumpah seperti itu?"

"Tidak, twako," kata Ai Yin.

"Hanya subo Biauw In Su-thai yang mempunyai peraturan seperti itu dan kami sebagai murid-muridnya harus memenuhi sumpah kami."

"Hemm, aku pernah mendengar bahwa Souw Thian Liong datang ke Kun-lun-pai untuk menyerahkan sebuah kitab pusaka. Benarkah begitu?" tanya Cia Song.

"Ah, engkau tahu juga akan hal itu, Cia-twako?" kata Kim Lan.

"Memang benar, akan tetapi menurut pengakuannya, kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat itu telah dicuri orang."

"Hemm, itu menurut pengakuannya, ya? Aku sudah curiga kepadanya, aku sudah menduga bahwa Souw Thian Liong sebetulnya bukan orang baik-baik. Kitab pusaka Kun-lun-pai itu tentu ingin dia kuasai sendiri dan dia berbohong mengatakan bahwa kitab itu dicuri orang agar mendapat kesempatan untuk mempelajarinya sendiri. Dan kalau dia memang seorang gagah, tentu dia menghormati sumpahmu, Lan-moi. Bukankah mengalahkanmu lalu meninggalkan pergi, membiarkan engkau kebingungan dengan sumpahmu. Dan sementara ini, apa kalian tahu apa yang sedang ia lakukan? Hemm, aku melihat dia berhubungan dengan seorang puteri bangsawan Nuchen."



KISAH SI NAGA LANGIT JILID 16
"Apa? maksudmu, seorang puteri bangsawan kerajaan Kin?" tanya Ai Yin penasaran.

"Ya, aku melihatnya sendiri. Dia sekarang berada di kota Kiang-cu, tak jauh dari sini dan dia telah menyewa kamar di sebuah penginapan bersama puteri bangsawan Kerajaan Kin itu."

"Tak tahu malu!" kata Ai Yin, hatinya ikut panas mendengar betapa pemuda yang telah mengalahkan sucinya dan menolak menikah dengan Kim Lan itu kini bergaul dengan seorang wanita Kin, bahkan bersama-sama menginap di sebuah rumah penginapan.

"Cia-twako, tolonglah tunjukkan tempatnya. Aku harus menemuinya untuk memenuhi sumpahku!" kata Kim Lan dengan muka berubah kemerahan karena hatinya juga mulai merasa panas.

Cia Song memang tidak berbohong. Dia melihat betapa Thian Liong berkenalan dengan Pek Hong Nio-cu. Biarpun dia sendiri tidak mengenal Pek Hong Nio-cu, akan tetapi dari pakaiannya dan dari keterangan orang di jalan yang dia tanyai, tahulah dia bahwa Pek Hong Nio-cu adalah seorang puteri bangsawan yang selain lihai silatnya, juga memiliki kekuasaan besar sehingga ditakuti dua orang pembesar di kota Leng-ciu itu.

Diam-diam dia membayangi dan melihat Thian Liong bergaul akrab dengan Pek Hong Nio-cu. Diam-diam dia sendiri juga kagum kepada gadis cantik jelita yang lihai itu. Pula, kedatangannya di daerah yang diduduki Kerajaan Kin juga bukan semata-mata hendak membayangi Thian Liong dan kalau mungkin dapat menguasai kitab pusaka Kun-lun-pai yang katanya dicuri seorang gadis baju merah itu. Akan tetapi dia memiliki tugas pribadi yang teramat penting.

"Baiklah, aku akan mengantarkan kalian ke sana, akan tetapi kalian harus menaati petunjukku karena kalau tidak, keadaannya malah tidak menguntungkan, bahkan berbahaya sekali untuk kita semua. Ketahuilah, Souw Thian Liong seperti kalian sudah mengetahui, adalah seorang yang lihai sekali. Biarpun aku kiranya dapat dan mampu menandinginya, akan tetapi temannya itu, gadis bangsawan Kin itu, ia juga seorang yang lihai bukan main. Ia berjuluk Pek Hong Nio-cu dan memiliki ilmu kepandaian tinggi."

"Kami tidak takut!" kata Kim Lan.

"Biar kami hajar sekalian gadis kerajaan musuh itu!" kata pula Ai Yin.

"Wah, kalian ini agaknya sudah lupa berada di mana!" kata Cia Song sambil tersenyum.

"Kita berada di daerah yang dikuasai Kerajaan Kin, hal ini harus kalian ingat benar. Di mana-mana terdapat pasukan Kin. Kalau kita bentrok begitu saja melawan puteri bengsawan Kin itu, kemudian ia mendatangkan pasukan yang besar jumlahnya, celakalah kita!"

Dua orang gadis itu saling pandang dan baru menyadari kesalahan mereka.

"Habis, lalu apa yang harus kita lakukan, twako?" tanya Kim Lan, bingung.

"Nah, karena itu kukatakan tadi bahwa kalian harus menaati petunjukku. Kalian jangan tergesa-gesa turun tangan. Nanti kita memasuki kota Kiang-cu, kita menyewa kamar rumah penginapan, lalu aku akan menemui Thian Liong yang sudah kukenal baik. Aku akan membujuk dia agar dia mau menerimamu sebagai isterinya sehingga engkau tidak akan melanggar sumpahmu, Lan-moi. Kalau dia dapat kubujuk, maka segalanya menjadi beres. Kalau dia menolak, aku akan mencoba memancingnya keluar kota dan di tempat sunyi, tanpa ditemani Pek Hong Nio-cu, kita dapat memaksa dan menyerang dia."

"Kita?" Kim Lan bertanya.

"Ya, aku akan membantumu, Lan-moi. Kalau tidak, bagaimana kalian akan mampu mengalahkannya?"

Diam-diam Kim Lan berterima kasih sekali kepada Cia Song dan Ai Yin menjadi semakin kagum kepadanya. Mereka bertiga lalu meninggalkan hutan itu dan menuju kota Kiang-cu yang jaraknya hanya belasan lie (mil) dari situ.

"Souw-sute (adik seperguruan Souw)"..!"

Mendengar seruan itu, Thian Liong yang bersama Pek Hong Nio-cu berjalan keluar dari rumah penginapan itu terkejut dan menengok.

"Eh, suheng (kakak seperguruan) Cia Song......!" Dia berseru heran sekali ketika mengenal Cia Song. Sejak dia diberi pelajaran ilmu silat dari kitab Sam-jong Cin-keng oleh Hui Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai, Thian Liong diakui sebagai murid Siauw-lim-pai dan karena itu Cia Song menyebutnya sute (adik seperguruan) dan dia menyebut suheng (kakak seperguruan) kepada Cia Song.

Cia Song melangkah cepat menghampiri Thian Liong yang berdiri di samping Pek Hong Nio-cu. Gadis inipun memandang dengan sinar mata penuh selidik kepada pemuda tampan gagah yang menegur Thian Liong sebagai sutenya.

"Aih, Souw-sute, senang sekali kejutan ini bagiku, bertemu denganmu di tempat ini!" kata Cia Song, kemudian seolah baru melihat Pek Hong Nio-cu yang berdiri di samping Thian Liong, dia menyambung ragu,

"dan...... maaf, kalau boleh aku mengetahui, siapakah nona yang terhormat ini?"

Melihat di ruangan depan rumah penginapan itu terdapat tamu-tamu yang mulai memperhatikan mereka, Thian Liong segera berkata,

"Suheng, marilah kita bicara di dalam. Marilah Nio-cu." Ajaknya kepada Pek Hong Nio-cu. Mereka bertiga lalu memasuki rumah penginapan dan tak lama kemudian mereka bertiga memasuki kamar Thian Liong dan duduk berhadapan terhalang meja.

"Cia-suheng, lebih dulu perkenalkan. Ini adalah Pek Hong Nio-cu, seorang pendekar wanita yang terkenal di daerah ini. Nio-cu, ini adalah suheng Cia Song, murid suhu Hui Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai."

Dengan sikap lembut dan hormat Cia Song bangkit berdiri dan memberi hormat kepada gadis itu yang dibalas oleh Pek Hong Nio-cu dengan sikap anggun dan angkuh. Melihat sikap wanita itu, makin yakinlah hati Cia Song bahwa Pek Hong Nio-cu tentulah puteri seorang pembesar tinggi kedudukannya.

"Souw-sute, tidak kusangka akan dapat bertemu denganmu di sini. Engkau...... eh, kalau boleh aku bertanya, engkau dan nona Pek Hong Nio-cu hendak pergi ke manakah?"

"Saudara Cia Song tidak usah sungkan, sebut saja aku Nio-cu," kata gadis itu dengan sikap wajar. Kembali Cia Song mendapat kenyataan betapa dalam ucapannya itu gadis ini memiliki wibawa dan keanggunan yang amat kuat.

"Ah, terima kasih, Nio-cu," katanya.

"Cia-suheng, tentu engkau masih ingat bahwa kitab pusaka milik Kun-lun-pai dicuri orang""."

"Ah, pencuri wanita baju merah yang tidak kaukenal siapa namanya dan di mana tempat tinggalnya itu?" sambung Cia Song.

"Benar, suheng. Aku hanya ingat bahwa gerakan silatnya memiliki dasar ilmu silat Tibet. Karena itu, aku hendak mencari ke daerah barat dan kebetulan Pek Hong Nio-cu ini juga hendak melakukan perjalanan ke perbatasan Sin-kiang, maka kami melakukan perjalanan bersama. Dan engkau sendiri, hendak pergi ke manakah suheng?"

"Ah, aku...... aku hanya hendak melihat-lihat keadaan di utara ini saja. Akan tetapi tiba-tiba aku mendapatkan suatu urusan yang teramat penting, yang menyangkut pribadimu. Aku".. hem, agaknya urusan ini hanya dapat kaudengarkan sendiri saja, sute......"

Mendengar ucapan ini, tiba-tiba Pek Hong Nio-cu bangkit berdiri dan berkata kepada Thian Liong,

"Thian Liong, engkau bicarakanlah urusan pribadimu dengan saudara Cia Song. Aku hendak keluar sebentar. Nanti kita bertemu lagi!"

"Maafkan aku, Nio-cu," kata Cia Song.

"Ah, tidak mengapa!" kata Pek Hong Nio-cu dan gadis ini segera melangkah keluar dari kamar itu.

Thian Liong mengerutkan alisnya, merasa tidak enak karena dia maklum bagaimana perasaan Pek Hong Nio-cu mendengar kata-kata Cia Song yang jelas hendak membicarakan sesuatu yang dirahasiakan bagi orang lain itu.

"Cia-suheng, sebetulnya ada apakah maka engkau bicara seperti ada rahasia besar?" tanya Thian Liong.

"Tentu saja Nio-cu menjadi tidak enak dan pergi meninggalkan kita."

"Maafkan aku, Souw-sute. Akan tetapi aku tidak mengada-ada. Memang ada hal yang harus kuberitahukan kepadamu seorang diri saja dan amat tidak enak kalau sampai terdengar orang lain, apa lagi oleh seorang gadis seperti Nio-cu tadi."

"Akan tetapi ada urusan apakah, suheng? Aku tidak merasa mempunyai urusan pribadi yang harus disembunyikan dari orang lain!" kata Thian Liong penasaran.

"Hemm, Souw-te, ingatkah engkau akan nama Kim Lan dan Ai Yin?"

"Kim Lan dan Ai Yin?" Thian Liong mengingat-ingat. Tentu saja mudah baginya mengingat dua nama gadis itu yang membuatnya penasaran setengah mati. Kim Lan dan Ai Yin pernah mengeroyoknya, bahkan dibantu guru mereka, Biauw In Su-thai, dan hendak memaksanya untuk menikah dengan Kim Lan! Sumpah aneh dan gila itu!

"Maksudmu...... dua orang murid wanita dari Biauw In Su-thai, tokoh Kun-lun-pai itu?"

"Hemm, ternyata engkau masih ingat dengan baik. Ya, mereka itu mencarimu dan ingin memaksamu menikah dengan Kim Lan dan kalau engkau tidak mau menjadi suaminya, mereka berdua hendak membunuhmu!"

"Hemm, sumpah gila itu? Aku sudah tahu, suheng, dan aku tidak perduli. Salah mereka sendiri kenapa mereka mau membuat sumpah gila itu? Aku tidak ingin menjadi suaminya Kim Lan atau suami siapapun juga. Biarkan saja mereka mengancam akan membunuhku. Bagaimanapun mereka berada jauh di Kun-lun-pai!"

Cia Song tersenyum.

"Siapa bilang mereka berada jauh di Kun-lun-pai? Mereka berada dekat sekali, sute. Mereka berada di sini, di kota ini!"

Thian Liong terkejut. Berita ini benar-benar mengejutkan, tidak pernah disangkanya.

"Di sini? Di mana mereka? Biar kutemui mereka dan akan kujelaskan, kusadarkan mereka bahwa sumpah mereka itu benar gila dan tidak ada artinya!"

"Sssttt, tenanglah, Souw-sute. Aku telah bertemu secara kebetulan dengan mereka. Mereka dikeroyok segerombolan penjahat dan aku kebetulan lewat dan membantu mereka. Mereka lalu menceritakan semuanya tentang urusan Kim Lan denganmu dan Kim Lan sudah mengambil keputusan nekad, yaitu mengajak engkau menikah dan kalau engkau tidak mau, ia dan Ai Yin akan mengeroyokmu dan membunuhmu!"

"Aku tidak takut, Cia-suheng. Engkau bantulah aku menyadarkan mereka dari sumpah gila itu. Kalau mereka hendak mengeroyokku, aku dapat mengatasi mereka."

"Hemm, mudah saja kau bicara. Dan apa yang dapat kaulakukan kalau mereka membunuh diri?"

Thian Ltong terbelalak,

"Membunuh diri""?"

"Nah, ini agaknya yang kau tidak ketahui, Souw-sute. Kim Lan mengatakan kepadaku bahwa kalau engkau menolak. Ia dan Ai Yin akan mengeroyokmu. Kalau mereka kalah, mereka akan membunuh diri di depanmu, karena kalau tidak, mereka juga akan dibunuh oleh guru mereka."

"Gila betul"..!!"

"Gila atau tidak, apa yang dapat kaulakukan kalau mereka membunuh diri? Berarti mereka mati karena engkau, sute. Sama saja dengan engkau yang membunuh mereka."

"Wah-wah, cialat (celaka) kalau begitu!" Thian Liong bingung.

"Lalu apa yang harus kulakukan, suheng?"

"Apa lagi? Ya harus menjadi suami Kim Lan, itu jalan yang paling aman."

"Aih, mana bisa begitu, Cia-suheng. Kalau setiap ada gadis mengancam bunuh diri kalau tidak dinikahi, bisa repot! Tolonglah, suheng, berikan aku nasihat, bagaimana sebaiknya yang harus kulakukan. Apakah tidak baik kalau kutemui mereka dan kubujuk dan nasihati agar mereka tidak usah memenuhi sumpah mereka yang gila-gilaan itu?" tanya Thian Liong yang benar-benar merasa bingung sekali.

Cia Song meraba-raba dagunya dan berpikir-pikir.

"Kukira itu tidak baik, sute. Engkaulah orang yang mereka cari. Kalau engkau yang menemui mereka dan menasihati, jelas mereka menganggap engkau terang-terangan menolak dan hal itu akan membuat mereka menjadi sakit hati dan lebih marah lagi. Soal membujuk dan menasihati mereka, kurasa aku akan lebih berhasil. Pertama, bukan aku orang yang mereka kejar, kedua kalinya, bagaimanapun juga mereka berhutang budi padaku."

"Dan aku? Bagaimana dengan aku? Apa yang harus kulakukan?"

"Hemm, tidak ada jalan lain, sute. Sebaiknya engkau cepat pergi meninggalkan kota ini. Jangan sampai mereka mengetahui bahwa engkau berada di sini. Jangan sampai mereka melihatmu! Lebih cepat engkau lari lebih baik, lebih jauh dari mereka lebih baik!"

"Begitukah, suheng? Hemm, agaknya memang sebaiknya begitu. Terima kasih, Cia-suheng, engkau telah menolongku!" kata Thian Liong dengan girang.

"Sudahlah, Souw-sute. Sekarang aku mau cepat menghampiri mereka dan akan kujaga agar mereka jangan meninggalkan rumah penginapan sehingga tidak akan bertemu denganmu. Akan tetapi, sore ini juga engkau harus meninggalkan kota ini."

"Baik, akan kuusahakan, suheng. Terima kasih!"

Cia Song segera meninggalkan rumah penginapan itu dan bergegas dia pergi ke rumah penginapan di mana dia dan kedua orang murid wanita Kun-lun-pai menyewa dua buah kamar, untuk dia dan untuk mereka berdua. Rumah penginapan itu berada di sudut kota Kiang-cu, jauh dari rumah penginapan di mana Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu bermalam.

Tak lama setelah Cia Song pergi, muncullah Pek Hong Nio-cu. Ternyata gadis itu tidak pergi jauh, hanya duduk di rumah makan yang berada di depan rumah penginapan itu. Setelah ia melihat Cia Song pergi, cepat ia menemui Thian Liong.

"Thian Liong, biarpun Cia Song itu suhengmu, akan tetapi terus terang saja aku tidak suka padanya," kata Pek Hong Nio-cu sejujurnya.

"Eh, Nio-cu. Kenapa begitu? Dia memang bukan suhengku secara langsung, hanya karena kebetulan Hui Sian Hwesio melatih sebuah ilmu kepadaku, maka aku lalu dianggap sebagai sutenya. Akan tetapi, dia orang baik, Nio-cu, bahkan baru saja dia telah menolong aku keluar dari keadaan yang amat menyulitkan diriku."

"Hemm, kalau engkau juga hendak merahasiakan urusan besar dan penting pribadimu itu, tidak perlu kaubicarakan denganku!" kata Pek Hong Nio-cu ketus.

"Pendeknya aku tidak suka padanya, mungkin kata-katanya yang terlalu manis, sikapnya yang terlalu manis, sikapnya yang terlalu sopan, dan pandang matanya yang terkadang aneh. Aku tidak percaya orang itu, Thian Liong."

"Maafkan dia kalau tadi dia merahasiakan urusan itu, Nio-cu. Akan tetapi aku tidak perlu merahasiakannya kepadamu karena urusan itu aneh dan lucu dan juga terpaksa aku harus mengajak engkau untuk meninggalkan kota ini sekarang juga."

"Hemm, kenapa begitu?" Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnya.

"Nio-cu, mari kita bicara di dalam agar jangan terdengar orang lain." Thian Liong mengajak dan Pek Hong Nio-cu tanpa rikuh-rikuh lagi lalu mengikuti Thian Liong masuk kamar pemuda itu dan membiarkan daun pintu kamar terbuka sehingga mereka akan dapat melihat kalau ada orang mendekati kamar itu. Setelah mereka duduk, Thian Liong lalu menceritakan tentang sumpah Kim Lan pada subonya dan betapa sekarang Kim Lan, dibantu su-moinya yang bernama Ai Yin, mencarinya sampai ke kota Kiang-cu itu dan hendak memaksa dia mengawininya, kalau dia menolak, mereka akan mengeroyok dan membunuhnya!

"Hemm, dan engkau tidak mau menjadi suami Kim Lan itu?" tanya Nio-cu.

"Tentu saja aku tidak mau. Aku sama sekali belum mempunyai pikiran untuk mengikatkan diriku dengan sebuah perjodohan. Kalau aku mau tentu aku tidak akan melarikan diri dari mereka."

"Dan engkau takut menghadapi pengeroyokan dua orang gadis itu? Apakah mereka lihai sekali?"

"Tidak, aku tidak takut. Kurasa aku dapat mengatasi mereka, Nio-cu," kata Thian Liong sejujurnya.

"Hemm, kalau begitu mengapa engkau harus cepat-cepat melarikan diri? Kalau mereka menyerangmu, lawan saja dan hajar perempuan-perempuan tidak tahu malu itu!"

"Ah, engkau tidak tahu, Nio-cu. Masalahnya tidak sesederhana itu. Tadi suheng Cia Song memberi tahu bahwa Kim Lan sudah mengatakan kepadanya bahwa kalau ia dan su-moinya tidak dapat membunuhku, mereka akan membunuh diri di depanku."

"Perempuan-perempuan gila!" desis Pek Hong Nio-cu.

"Mereka itu terpaksa, Nio-cu. Mereka sudah bersumpah kepada guru mereka dan andaikata mereka tidak membunuh diri, merekapun akan dibunuh guru mereka sendiri."

"Huh, orang-orang gila! Mengapa engkau perduli amat? Kalau mereka mau bunuh diri, biarkan saja, bukan urusanmu!"

"Ah, bagaimana aku dapat membiarkan hal itu terjadi, Nio-cu? Kalau mereka membunuh diri karena tidak dapat mengalahkan aku, berarti mereka mati karena aku. Sama saja dengan aku yang membunuh mereka."

"Huh, habis apakah selama hidupmu engkau akan terus berlari-larian menjadi buruan mereka? Gila!"

"Tidak, Nio-cu. Suheng Cia Song sudah berjanji bahwa dia akan membujuk mereka untuk tidak melanjutkan pelaksanaan sumpah mereka itu."

"Perempuan dari manakah mereka itu? Begitu tidak tahu malu!"

"Mereka bukan perempuan sembarangan, Nio-cu. Mereka adalah murid-murid Kun-lun-pai dan subo merekalah yang gila, menyuruh mereka bersumpah seperti itu."

"Tidak perduli mereka itu murid partai mana, kelakuan mereka itu memalukan! Jadi engkau tetap akan melarikan diri meninggalkan kota ini sekarang?"

"Benar, Nio-cu. Terpaksa, maafkan aku."

"Tidak, aku tidak mau pergi sekarang!" kata wanita itu dengan suara tegas.

"Nio-cu, sekali ini harap engkau suka mengalah," pinta Thian Liong.

"Tidak, aku baru mau berangkat besok pagi-pagi. Kalau engkau takut bertemu mereka, malam ini tinggal saja di kamar, jangan keluar-keluar. Aku ingin sekali melihat orang-orang macam apa sih murid-murid Kun-lun-pai itu!"

"Aih, Nio-cu, harap jangan membuat gara-gara dengan mereka. Urusanku dengan mereka sudah cukup membuat aku pusing."

"Siapa mau cari gara-gara dengan mereka? Aku hanya ingin melihat macam apa mereka itu dan aku hanya mau pergi besok pagi-pagi. Terserah kalau engkau mau pergi sekarang!" Setelah berkata demikian, dengan sikap marah Pek Hong Nio-cu meninggalkan kamar itu.

Thian Liong menghela napas dan menutup daun pintu kamarnya, lalu merebahkan tubuhnya di atas pembaringan. Pikirannya pusing! Para wanita itu, selalu membikin pusing saja!

Mula-mula gadis baju merah. Lalu Ang Hwa Sian-li Thio Siang In. Kemudian Kim Lan dan sekarang diapun pusing melihat sikap keras Pek Hong Nio-cu! Mengapa mereka semua keras kepala? Terpaksa dia mengalah kepada Pek Hong Nio-cu. Malam ini dia tidak akan keluar kamar. Dia akan bersembunyi saja di dalam kamarnya dan besok pagi-pagi berangkat meninggalkan kota Kiang-cu itu bersama Pek Hong Nio-cu. Puteri itu telah membeli seekor kuda untuknya dan dua ekor kuda mereka berada di kandang rumah penginapan.

Terpaksa dia juga tidak keluar untuk makan malam. Akan tetapi malam itu daun pintu kamarnya diketuk pelayan yang mengantarkan makanan dan minuman untuknya.

"Nio-cu yang memerintahkan untuk mengantar ini kepada sicu (tuan)," kata pelayan itu.

Thian Liong tersenyum dan kejengkelannya terhadap Pek Hong Nio-cu mereda. Puteri itu ternyata memperhatikan kebutuhan makannya juga. Akan tetapi malam itu dia tidak mau keluar kamar, khawatir kalau-kalau sampai ketahuan oleh Kim Lan dan Ai Yin.

Kembalinya Cia Song ke rumah penginapan disambut oleh dua orang gadis murid Kun-lun-pai dengan hati ingin tahu sekali. Apa lagi Kim Lan, ia segera menyongsong kedatangan Cia Song dengan pertanyaan yang dilakukan dengan hati berdebar tegang.

"Bagaimana, Cia-twako? Apakah engkau berhasil bertemu dia?"

Cia Song tersenyum dan mengangguk.

"Beres! Aku sudah bertemu dengan Souw Thian Liong dan setelah aku membujuk dan berbantahan dengan dia, akhirnya dia menyatakan bersedia bertemu denganmu, Lan-moi."

"Ah, dia mau menikah dengan suci, twako?" tanya Ai Yin girang.

"Dia tidak mengatakan begitu, akan tetapi dia bersedia mengadakan pertemuan dengan kalian untuk membicarakan hal itu baik-baik. Aku yakin akhirnya dia akan mau menerimanya juga."

"Mana dia sekarang, Cia-twako? Kenapa tidak datang bersamamu?" tanya Kim Lan tidak sabar karena ia ingin segera mendapat keputusan akan masa depannya.

"Dia tidak dapat datang sekarang seperti kukatakan kepada kalian, dia bersama puteri bangsawan Kin itu. Akan tetapi dia bilang bahwa malam ini dia pasti datang mengunjungi kalian. Karena itu, kalian siap saja menerima kunjungannya malam ini. Setelah berkata demikian, Cia Song mengajak dua orang gadis yang sudah mandi dan berganti pakaian itu untuk makan malam.

"Mari kita makan minum untuk merayakan keberhasilanku membujuk Souw Thian Liong!" katanya dan mereka memasuki rumah makan.

Pemuda itu memesan bermacam masakan dan arak wangi. Untuk menyenangkan hati Cia Song yang mereka anggap sudah menolongnya dengan sungguh-sungguh itu, Kim Lan dan Ai Yin memaksa diri ikut merayakan keberhasilan itu. Bahkan mereka tidak dapat menolak ketika beberapa kali Cia Song mengajak mereka minum arak sehingga setelah perjamuan makan itu selesai, dua orang gadis itu merasa agak pening karena pengaruh arak yang cukup keras. Wajah mereka menjadi kemerahan dan keadaan setengah mabok membuat mereka gembira dan mudah terkekeh senang. Dengan langkah agak tidak tetap kedua orang gadis itu lalu diajak kembali ke rumah penginapan oleh Cia Song.

"Sekarang kalian tunggu saja dalam kamar. Nanti kalau keadaan sudah agak sepi, tentu dia akan datang berkunjung. Sebaiknya pintu kamar kalian ditutup saja, jangan dipalang dari dalam sehingga kalau dia datang, aku mudah memberitahu kalian tanpa harus menggedor daun pintu. Maklum, Souw Thian Liong menghendaki agar orang lain tidak ada yang tahu akan persoalan dia dan kalian."

Dua orang gadis itu mengangguk, kemudian mereka memasuki kamar dan menutupkan daun pintu kamar tanpa memalangnya dari dalam. Pengaruh arak membuat mereka agak pening dan mengantuk. Mereka lalu merebahkan diri di atas pembaringan tanpa mematikan lilin besar yang bernyala menerangi kamar itu, dan tanpa membuka sepatu. Karena merasa yakin bahwa Cia Song tidak berbohong dan bahwa pemuda itu tentu menunggu kedatangan Souw Thian Liong dan akan memberitahu mereka, maka dua orang gadis itu berbaring dengan santai dan akhirnya tak kuasa menahan kantuk dan tertidur.

Cia Song memang tidak tidur. Dia duduk di dalam kamarnya yang bersebelahan dengan kamar dua orang gadis itu.

Dia menelan sebutir obat pulung berwarna merah. Obat ini adalah obat penawar minuman keras sehingga minuman beberapa cawan arak di rumah makan tadi tidak mempengaruhinya dan dia tetap sadar. Tiba-tiba pendengarannya yang terlatih dapat menangkap suara lembut yang datangnya dari atas genteng. Dia terkejut dan menduga-duga. Benar-benarkah Thian Liong datang berkunjung? Kalau benar, gila orang itu. Bukankah dia sudah memesan agar Thian Liong segera melarikan diri meninggalkan kota Kiang-cu?

Dia tetap waspada dan segera menyelinap keluar lalu melompat ke atas genteng melalui bagian belakang. Dia akhirnya dapat melihat sesosok bayangan mendekam di atas kamar Kim Lan dan Ai Yin. Jantung Cia Song berdebar tegang. Benarkah Thian Liong datang berkunjung? Dan kalau benar dia yang datang, kenapa caranya seperti itu, mengintai dari atas dan membuka genteng seperti kelakuan seorang pencuri?

Dia hendak menegur dengan bentakan, akan tetapi ditahannya karena setelah dapat melihat lebih jelas, dia mendapatkan bahwa orang itu berpakaian serba putih dan ketika berjongkok, pinggulnya berbentuk bulat indah dan pinggangnya ramping. Seorang wanita! Ah, dia teringat sekarang. Bayangan itu tentulah Pek Hong Nio-cu, gadis bangsawan Kin itu! Mau apa dara itu datang seperti pencuri? Karena cuaca memang gelap, dia tidak melihat betapa Pek Hong Nio-cu melemparkan sesuatu ke dalam kamar dari lubang genteng yang dibuatnya.

Cia Song bergerak mendekati. Gerakannya itu agaknya terdengar oleh Pek Hong Nio-cu. Gadis ini cepat menutupkan kembali genteng yang dibukanya dan tubuhnya berkelebat cepat menghilang dari tempat itu.

Cia Song kagum melihat gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat dari gadis itu. Akan tetapi dia tidak melakukan pengejaran. Untuk apa? Dia mempunyai rencananya sendiri dan kemunculan orang tadi bahkan membantu rencananya. Tak lama kemudian, menjelang tengah malam setelah keadaan menjadi sunyi sekali dan dia yakin bahwa dua orang gadis murid Kun-lun-pai itu tertidur dalam penantian mereka, dia menghampiri kamar itu, mendorong daun pintu terbuka, menggunakan sin-kang (tenaga sakti) dari jauh meniup padam lilin di atas meja, menutupkan daun pintu, memalangnya dari dalam, lalu berjingkat menghampiri pembaringan.

Kim Lan dan Ai Yin terbangun dan terkejut. Mereka hendak meronta, akan tetapi mereka hanya dapat menggerakkan kaki tangan dengan lemah sekali, tanpa tenaga. Jalan darah mereka telah tertotok secara lihai sekali sehingga mereka tidak mampu mengerahkan tenaga dan tubuh mereka menjadi lemas! Mereka hendak berteriak, akan tetapi dengan kaget mendapat kenyataan bahwa leher mereka telah tertotok sehingga mereka tidak mampu mengeluarkan suara! Keadaan kamar dan sedikit cahaya yang menerobos melalui celah-celah di atas jendela, yang datangnya dari sinar lampu di luar, hanya membuat keadaan dalam kamar itu remang-remang, namun terlalu gelap untuk melihat jelas.

Kemudian, dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri rasa hati kedua orang gadis Kun-lun-pai itu ketika mereka berdua melihat bayangan seorang laki-laki dalam kamar mereka. Biarpun mereka tidak dapat melihat jelas wajah dan bentuk tubuh orang itu, namun mereka dapat melihat garis bayangan seorang laki-laki. Kemudian, bayangan itu mendekati mereka. Mereka hendak melompat dan meronta, namun hanya mampu menggerakkan tangan dan kaki dengan lemah saja, tanpa tenaga.


Dan ketika laki-laki itu menyentuh mereka, dunia bagaikan kiamat bagi dua orang gadis itu! Mereka tidak dapat melawan, tidak dapat menggunakan tenaga. Mereka hanya mampu menangis tanpa dapat mengeluarkan suara, hanya air mata yang bercucuran dan akhirnya mereka jatuh pingsan. Terlalu ngeri malapetaka yang menimpa diri mereka sehingga tak tertahankan lagi. Sebelum ketidak-sadaran menyelimuti mereka, kedua orang gadis itu mendengar suara laki-laki itu berbisik sinis.

"Kalian ingin mengenal Souw Thian Liong?" Suara itu disusul tawa lirih laki-laki itu dan selanjutnya mereka tidak mendengar apa-apa lagi karena keduanya jatuh pingsan.

Kalau keadaan sudah terbalik, yaitu kalau manusia yang sesungguhnya menjadi majikan dari nafsu-nafsunya sendiri yang menjadi hamba atau pelayannya itu malah menjadi hamba dari nafsu-nafsunya maka segala macam perbuatan keji dan terkutuk dapat saja dilakukan manusia itu! Manusia terlahir di dunia memang sudah disertai nafsu-nafsunya sebagai pelayan, sebagai penggerak hidupnya, pendorong semangat dan memberi kemungkinan manusia menikmati kehidupannya di dunia.

Kita tidak mungkin dapat hidup wajar tanpa disertai nafsu-nafsu kita, alat-alat hidup atau hamba-hamba kita yang amat penting ini. Akan tetapi, kita sama sekali tidak boleh lengah. Iblis mengetahui bahwa kita tidak dapat hidup tanpa nafsu, karena itu iblis mempergunakan nafsu-nafsu ini untuk menyeret kita ke dalam lembah dosa. Dengan umpan kesenangan-kesenangan duniawi, yang serba enak dan nikmat, maka nafsu-nafsu manusia berkobar dan dari keadaan sebagai hamba, nafsu berbalik menjadi majikan.

Manusia menjadi hamba, hidupnya sepenuhnya bergantung kepada ulah nafsu sehingga untuk mendapatkan kesenangan dan kenikmatan seperti yang dipamerkan dan dibisikkan iblis melalui nafsu akal pikiran, manusia tidak segan-segan melakukan apa saja. Rusaklah semua pertimbangan, patahlah semua ukuran manusiawi, dan manusia tiada ubahnya sebagai binatang yang hanya bergerak dalam hidup sebagai abdi nafsu-nafsunya sendiri.

Seperti juga nafsu lain, nafsu berahi merupakan nafsu alami yang murni, bahkan suci karena nafsu berahi selain menjadi puncak pernyataan rasa kasih sayang yang paling dalam, juga menjadi sarana perkembang-biakan segala mahluk hidup termasuk manusia. Tidak ada yang buruk atau kotor dalam nafsu ini. Akan tetapi ia akan menjadi buruk, kotor, busuk dan keji apabila ia telah menjadi alat iblis untuk menguasai manusia. Yang tadinya bersih murni seperti malaikat berubah menjadi kotor dan jahat seperti iblis! Kalau manusia yang diperhamba nafsu berahi, iblis menang dan si manusia melakukan segala hal yang amat keji seperti perjinahan, pelacuran, bahkan perkosaan!

Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali, begitu mereka dapat mempergunakan tenaga, kedua orang gadis murid Kun-lun-pai itu berloncatan turun dari pembaringan. Air mata mereka sudah terkuras habis sepanjang malam setelah mereka siuman dari pingsan. Tangis tanpa suara, bercucuran seperti hujan. Setelah dapat menggunakan tenaga dan dapat bersuara lagi, keduanya sambil terisak cepat membereskan pakaian mereka, kemudian sambil menahan jerit mereka saling berangkulan. Saling bertangisan dan menangisi nasib diri sendiri yang terkutuk!

"Jahanam Souw Thian Liong"..!" Ai Yin menangis tersedu-sedu namun menjaga agar supaya tangisnya jangan sampai terdengar orang.

"Lebih baik aku mati saja......!" Kim Lan tiba-tiba melompat ke dekat meja, mencabut pedangnya yang terletak di atas meja dan berniat menghabisi nyawanya sendiri.

Akan tetapi Ai Yin melompat dan merangkulnya, memegangi lengan yang memegang pedang.

"Tunggu suci. Kenapa engkau begitu bodoh? Kita harus membalas dendam ini! Kita harus membunuh iblis itu, baru boleh membunuh diri. Mari kita selidiki!"

Kim Lan teringat dan ia meletakkan pedangnya di atas meja. Wajahnya pucat sekali dan ia mengepal tinju.

"Engkau benar, su-moi. Aku bersumpah tidak akan berhenti sebelum membunuh iblis busuk Souw Thian Liong!"

Ai Yin sudah berdiri dekat jendela.

"Lihat, suci. Jendela ini dipaksa terbuka dari luar, kaitannya putus. Jahanam itu tentu masuk dan keluar dari jendela." Ia membuka daun jendela sehingga cahaya lampu kini menyinar ke dalam.

"Lihat, ini ada surat!" kata Kim Lan.

Ai Yin menghampiri. Kini setelah kamar agak terang oleh sinar lampu dari luar jendela, mereka melihat sehelai kertas bersurat di atas meja, tertancap sebilah pisau runcing. Keduanya lalu membaca kertas itu.

"Murid-murid perempuan Kun-lun-pai tak tahu malu! Memaksa seorang menjadi suaminya. Begitukah pelajaran yang kalian dapatkan dari Kun-lun-pai?"

Demikian bunyi surat itu, tanpa tanda tangan. Kim Lan hendak meremas surat itu, akan tetapi Ai Yin berkata,

"Jangan merusak surat itu, suci. Itu dapat kita jadikan bukti dan kita perlihatkan kepada para suhu dan subo di Kun-lun-pai!"

Kim Lan lalu melipat dan menyimpan surat itu.

"Sekarang mari kita cari Cia-twako! Barangkali dia mengetahui sesuatu tentang jahanam itu!" kata Kim Lan.

"Benar juga," kata Ai Yin.

"Kenapa Cia-twako tidak memberi tahu kita tentang kedatangan jahanam itu?"

"Mungkin dia tidak tahu. Bukankah jahanam itu datang masuk dan keluar melalui jendela? Mari kita tanya Cia-twako!" Dua orang gadis itu setelah membereskan pakaian mereka lalu bergegas keluar dan mengetuk daun pintu kamar Cia Song.

Karena dua orang gadis itu mengetuk pintu dengan gencar, Cia Song terkejut dan ketika dia membuka pintu, dua orang gadis itu melihat wajah yang pucat dan rambut pemuda itupun kusut.

"Eh, Lan-moi dan Yin-moi, ada apakah......?" tanyanya dengan kaget.

"Cia-twako, apakah engkau melihat dia?" tanya Kim Lan yang matanya masih merah dan bengkak, seperti juga mata Ai Yin karena keduanya terlalu banyak menangis.

"Ah, maksudmu Souw Thian Liong? Hemm, keparat itu tidak memegang janji. Dia tidak jadi datang, bukan? Semalam aku sempat melihat dia."

"Di mana? Di mana engkau melihat dia, twako?" tanya Ai Yin.

"Semalam aku mendengar suara di atas genteng. Aku naik ke atas dan melihat sesosok bayangan di atas genteng, tepat di atas kamar kalian. Akan tetapi begitu melihatku, dia menutup kembali genteng lalu pergi menghilang dalam gelap. Dia tidak jadi berkunjung kepada kalian, bukan?"

Dua orang gadis itu saling pandang dan keduanya merasa yakin bahwa yang dilihat Cia Song itu pastilah Souw Thian Liong yang kemudian berhasil memasuki kamar mereka, menotok mereka sehingga mereka tidak berdaya lalu melakukan kekejian terkutuk terhadap mereka.

"Eh, kenapa kalian....... heran, kalian begini pucat dan....... mata kalian itu. Kalian habis menangis? Apakah yang telah terjadi, Lan-moi dan Yin-moi?"

Melihat dua orang gadis itu tampak kebingungan dan seperti hendak menangis lagi, Cia Song berkata,

"Mari, kita masuk saja dan bicara di dalam." Dua orang gadis yang juga khawatir kalau ada orang lain melihat keadaan mereka itupun tidak membantah dan memasuki kamar Cia Song. Mereka duduk di sekeliling meja dan kembali Cia Song bertanya.

"Sebetulnya, apakah yang telah terjadi? Kalian tampak begitu pucat, bingung dan menangis. Ada apakah?"

Dua orang gadis itu kini tidak dapat menahan lagi tangis mereka. Mereka menangis sesenggukan dan menahan agar tidak bersuara. Kim Lan mengeluarkan lipatan kertas dan menyerahkannya kepada Cia Song tanpa berkata-kata.

Cia Song membaca tulisan di surat itu dan alisnya berkerut.

"Jahanam busuk! Berani dia menghina kalian dengan mengirimkan surat ini kepada kalian?" kata Cia Song dengan nada suara marah sekali.

"Bukan hanya itu, twako," Ai Yin berkata sambil menangis.

"Lebih celaka lagi......"

"Apa maksudmu, Yin-moi? Apa yang terjadi?" tanya Cia Song.

"Dia...... dia memasuki kamar kami dari jendela".. dan....... dan dia telah memperkosa kami......."

Cia Song melompat bangun.

"Apa?? Dan kalian tidak melawan?"

"Bagaimana kami dapat melawan? Dia telah lebih dulu menotok kami sehingga kami tidak mampu melawan, tidak mampu berteriak""" kata Kim Lan.

"Dan surat ini?" tanya Cia Song.

"Dia tinggalkan surat di atas meja, ditusuk dengan pisau ini," kata Kim Lan, mengeluarkan pisau runcing yang disimpannya. Cia Song mengamati pisau itu.

"Hemm, kalian melihat dia?"

"Lilin dipadamkan, keadaan dalam kamar gelap, hanya remang-remang kami melihatnya." kata Ai Yin.

"Begaimana kalian dapat yakin bahwa dia adalah Souw Thian Liong?" desak Cia Song.

"Kami yakin dia itu jahanam Souw Thian Liong. Dia bahkan mengaku sendiri," kata Kim Lan gemas.

"Mengaku? Bagaimana dia mengaku?" kejar Cia Song.

"Dia berbisik "Kalian ingin mengenal Souw Thian Liong?" begitulah bisiknya lalu dia tertawa. Iblis jahanam terkutuk itu. Aku harus membunuhnya!" kata pula Kim Lan penuh dendam.

"Keparat busuk! Betapa keji dan jahatnya dia! Ah, kalau saja aku tahu dia begitu jahat! Lalu, apa yang akan kalian lakukan sekarang?" tanya Cia Song.

"Kami akan laporkan penghinaan ini kepada suhu dan subo di Kun-lun-pai. Penghinaan ini bukan hanya urusan pribadi, melainkan sudah menghina pula Kun--lun-pai!" kata Ai Yin.

"Benar sekali itu! Aku juga akan melaporkan kejahatan Souw Thian Liong ini kepada suhu di Siauw-lim-pai. Bagaimanapun dia sudah diakui sebagai murid Siauw-lim-pai, maka berarti dia telah mencemarkan nama baik Siauw-lim-pai. Jangan khawatir, kelak aku yang akan menjadi saksi tentang kejahatannya itu, Lan-moi dan Yin-moi!" kata Cia Song penuh semangat.

"Terima kaslh, Cia-twako. Dengan bukti surat ini, kesaksian kami berdua dibantu kesaksianmu, semua orang tentu percaya. Jahanam busuk itu harus membayar kejahatannya!" kata Kim Lan.

"Kelau begitu, sekarang klta saling berpisah, Lan-moi dan Yin-moi. Aku akan pergi melaporkan kejahatan Souw Thian Liong ke Siauw-lim-pai, sedangkan kalian kembali ke Kun-lun-pai untuk melaporkan kepada para guru kalian," kata Cia Song.

Dua orang gadis itu menerima baik usul ini dan pada pagi hari itu juga, mereka saling berpisah. Kim Lan dan Ai Yin melakukan perjalanan ke Kun-lun-pai. Mereka menanggung derita batin yang hebat, dan gairah hldup mereka hanya terdorong oleh keinginan membalas dendam kepada Souw Thian Liong.

Cia Song memasuki kota Ceng-goan yang merupakan kota besar kedua setelah kota raja Peking di sebelah utaranya. Tanpa ragu-ragu dia memasuki halaman sebuah gedung besar yang berada di ujung barat kota. Dua orang perajurit Kin keluar dari gardu penjagaan dan menghadangnya. Cia Song tersenyum, mengeluarkan sebuah kartu merah dari saku bajunya dan memperlihatkan kepada mereka. Dua orang perajurit itu memberi hormat dan mempersilakan Cia Song masuk ke ruangan depan gedung besar itu. Seorang perajurit lain menyambutnya dan setelah melihat kartu merah yang diperlihatkan Cia Song, perajurit itu lalu mengantarkan Cia Song memasuki sebuah ruangan tamu di sebelah kanan depan gedung itu. Kemudian perajurit itu melaporkan ke dalam.

Cia Song memasuki ruangan tamu yang luas dan mewah sekali. Dia memandang kagum kepada hiasan dinding berupa lukisan-lukisan dan tulisan bersajak. Tak lama kemudian dua orang muncul dari pintu sebelah dalam. Cia Song cepat memutar tubuh dan setelah berhadapan dengan mereka, dia cepat memberi hormat dengan membungkuk dalam-dalam dan merangkap kedua tangan di depan dada kepada seorang di antara mereka yang mengenakan pakaian sebagai seorang bangsawan tinggi bangsa Kin.

"Hamba mohon beribu ampun kalau berani datang menghadap tanpa paduka panggil sehingga mengganggu waktu paduka yang amat berharga, Pangeran."

Laki-laki berpakaian bangsawan tinggi itu bertubuh tinggi kurus dan pakaiannya mewah, usianya sekitar limapuluh tahun, wajahnya tampan namun tampak licik dan cerdik pada pandang mata dan senyumnya yang khas. Jenggotnya panjang dan kumisnya dicukur pendek. Jari-jari tangannya berkuku panjang terpelihara. Dia adalah Pangeran Hiu Kit Bong, kakak dari kaisar Kerajaan Kin yang berkedudukan tinggi karena sebagai kakak tiri kaisar yang terlahir dari ibu selir, dia diangkat menjadi Menteri Kebudayaan dan juga Penasihat kaisar.

Gedung di kota Ceng-goan merupakan rumah peristirahatannya dan sering kali Pangeran Hiu Kit Bong ini beristirahat di gedungnya itu, meninggalkan kota raja yang bising di mana dia sibuk dengan tugas-tugasnya. Adapun orang kedua yang muncul bersamanya berpakaian sebagai seorang panglima perang, usianya sekitar empatpuluh lima tahun, bertubuh tinggi besar dan gagah, tampak bertubuh kuat.

"Ah, Cia-sicu (orang gagah Cia), selamat datang. Kami girang menerima kunjunganmu. Silakan duduk, sicu!" kata Pangeran Hiu Kit Bong dengan ramah. Mereka bertiga lalu duduk mengelilingi sebuah meja besar.

"Cia-sicu lebih dulu perkenalkan. Ini adalah panglima Kiat Kon seperti yang pernah kuceritakan kepadamu. Dan Kiat-ciangkun, inilah sicu Cia Song, orang kepercayaan yang menjadi utusan rahasia Perdana Menteri Chin Kui dari Kerajaan Sung Selatan." Pangeran itu memperkenalkan.

Cia Song cepat bangkit berdiri dan memberi hormat kepada panglima tinggi besar itu.

"Terimalah hormat saya, ciangkun. Sudah lama saya mendengar dan mengagumi nama besar ciangkun!"

Jenderal tinggi besar itu tersenyum, senang melihat sikap Cia Song yang demikian ramah.

"Ha-ha, terima kasih, Cia-sicu. Akupun sudah banyak mendengar tentang jasamu. Silakan duduk!"

Cia Song duduk kembali. Seorang pelayan masuk membawa minuman sehingga percakapan mereka terhenti. Setelah pelayan pergi, Pangeran Hiu Kit Bong bertanya kepada Cia Song.

"Cia-sicu, kabar apa yang kaubawa dari selatan? Kalau engkau datang barkunjung secara tiba-tiba begini, tentu engkau membawa berita penting sekali."

Cia Song yang menjadi murid yang disayang oleh Hui Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai, yang dikenal sebagai seorang pendekar Siauw-lim-pai itu, ternyata memiliki peran ganda dalam hidupnya. Di satu pihak, umum mengenalnya sebagai seorang pendekar Siauw-lim-pai yang suka membela kebenaran dan keadilan, sebagai murid Hui Sian Hwesio. Akan tetapi di lain pihak, secara rahasia dan sama sekali tidak diketahui, bahkan tidak pernah disangka oleh para golongan bersih, diam-diam Cia Song telah berguru kepada Ali Ahmed, seorang datuk bangsa Hui yang berasal dari Mongolia Dalam.

Dengan ilmu-ilmu yang dlpelajarinya dari datuk bangsa Hui itu, yaitu ilmu silat dan sihir, Cia Song menjadi semakin lihai. Akan tetapi dia amat cerdik dan tidak pernah dia menonjolkan atau memperlihatkan ilmu-ilmu asing itu. Hanya dia pandai memasukkan tenaga-tenaga yang dahsyat dari ilmu barunya ke dalam ilmu silat Siauw-lim-pai yang dikuasainya, pandai menggabung ilmu-ilmu dari Ali Ahmed dengan ilmu silatnya sendiri sehingga tidak kentara bahwa dia mempergunakan ilmu yang asing. Dan mulailah dia dikenalkan oleh Ali Ahmed kepada Pangeran Hiu Kit Bong.

Pergaulan dengan orang-orang yang menjadi hamba nafsu, orang-orang yang selalu hanya mengejar kenikmatan dan kesenangan daging dan dunia, menyeret Cia Song ke lembah hitam. Dia sudah mengesampingkan pelajaran tentang ke-bajikan yang dulu dia pelajari dari Hui Sian Hwesio dan mulailah dia menjadi hamba nafsunya, sering melakukan perbuatan-perbuatan yang sesat.

Bahkan dia kemudian oleh pergaulan itu diperkenalkan kepada Perdana Menteri Chin Kui yang bersekutu dengan Kerajaan Kin, yang telah mempengaruhi Kaisar Sung agar berbaik dengan Kerajaan Kin, bahkan tidak segan-segan Kaisar Sung mengirim upeti sebagai tanda damai dengan Kerajaan penjajah itu! Sebentar saja Cia Song telah menjadi orang kepercayaan Perdana Menteri Chin Kui dan menjadi utusan rahasia. Tidak ada yang tahu kecuali para sekutunya bahwa Cia Song telah menjadi antek perdana menteri korup yang telah mempengaruhi dan menguasai kaisar Sung itu!

Mendapat pertanyaan dari Pangeran Hiu Kit Bong, Cia Song mengangguk-angguk. Kini terjadi perubahan besar dalam hubungan gelap antara Perdana Menteri Chin Kui dan Kaisar Kerajaan Kin. Karena Kaisar Kerajaan Kin mulai tidak percaya kepada Perdana Menteri Chin Kui, maka diam-diam timbul kerenggangan. Dalam keadaan seperti itu, terjalinlah persekutuan antara Perdana Menteri Chin Kui dengan Pangeran Hiu Kit Bong. Pangeran ini sudah lama merencanakan hendak menggulingkan Kaisar Kin, yaitu adik tirinya dan menduduki tahta kerajaan Kin sendiri! Untuk itu, dia sudah menghimpun tenaga di kota raja Peking, bersekutu dengan beberapa orang perwira yang dipimpin oleh Jenderal Kiat Kon.

Jenderal ini hanya memperoleh kedudukan yang paling rendah di antara jajaran para panglima. Karena inilah maka dia tergiur oleh bujukan Pangeran Hiu Kit Bong yang menjanjikan kedudukan Panglima tertinggi kepadanya kalau usaha mereka merebut tahta kerajaan berhasil. Bahkan Pangeran Hiu Kit Bong mengadakan persekutuan gelap dengan Perdana Menteri Chin Kui dari kerajaan Sung Selatan melalui Cia Song yang lebih dulu mengenal Pangeran Hiu Kit Bong.

"Berita dari selatan yang hamba bawa kurang begitu menggembirakan, Pangeran. Saat ini banyak para pendekar mulai memperlihatkan sikap menentang Perdana Menteri Chin Kui secara berterang. Semua ini sesungguhnya disebabkan kekeliruan Perdana Menteri sendiri yang dulu tergesa-gesa mengusahakan pembunuhan terhadap Jenderal Gak Hui. Akibatnya, para pendekar dan juga banyak pejabat tinggi yang menghormati dan kagum kepada Jenderal Gak Hui, merasa sakit hati kepada Perdana Menteri Chin Kui. Hal ini bukan saja menyurutkan pengaruhnya, bahkan juga Sribaginda mulai berubah sikapnya terhadap Perdana Menteri."

Mendengar laporan ini, Panglima Kiat Kon berkata dengan suaranya yang besar parau.

"Ah, mudah saja itu! Kenapa pusing-pusing? Bukankah Perdana Menteri Chin Kui mempunyai banyak jagoan yang lihai? Suruh saja para jagoannya itu bertindak dan membunuhi mereka yang menentangnya. Habis perkara!"

"Hemm, tidak begitu mudah, ciangkun. Di antara para pendekar itu terdapat banyak orang yang lihai," kata Cia Song.

"Ah, memang repot menghadapi ahli-ahli silat petualang itu!" kata Pangeran Hiu Kit Bong.

"Kami sendiri di sini pusing oleh seorang puteri yang pandai ilmu silat. Ilmu silatnya tinggi dan puteri itu benar-benar merupakan batu sandungan bagi kami. Kalau ia berada dekat dengan ayahnya, yaitu Sribaginda, akan sukarlah untuk mengganggu Sribaginda."

Diam-diam Cia Song menjadi heran. Seorang puteri raja Kin memiliki ilmu silat tinggi?

"Siapakah puteri itu, Pangeran? Hamba tertarik sekali mendengar bahwa ada puteri Sribaginda Raja Kin amat lihai ilmu silatnya."

"Namanya Puteri Moguhai. Akan tetapi kami kira nama itu tidak ada artinya dan tidak terkenal bagimu. Akan tetapi ada julukannya yang lain dan mungkin saja engkau pernah mendengar nama julukan itu. Puteri Moguhai adalah Pek Hong Nio-cu. Pernahkah engkau mendengar nama itu?"

"Ohhh""!" Cia Song terkejut. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa Pek Hong Nio-cu yang pernah dilihatnya itu adalah Puteri Moguhai, puteri Raja Kin! "Jadi Pek Hong Niocu itu Puteri Moguhai, puteri Sribaginda Kerajaan Kin?"

"Nah, engkau mengenalnya, Cia-sicu. Gadis itu sungguh membuat kami pusing. Ia bahkan pernah menghajar beberapa orang pejabat yang menjadi pembantu--pembantuku. Ia tidak takut siapapun dan ini tidak aneh karena ia memegang pe-dang emas dari Kaisar sebagai tanda kekuasaan. Tidak ada pejabat yang berani menentangnya karena sebagai pemilik pedang emas, ia mewakili kehadiran kaisar sendiri. Dan beberapa kali ia memperlihatkan sikap tidak suka dan menentangku. Kalau gadis itu tidak dibinasakan, kelak ia akan menjadi penghalang besar bagi gerakan kita bersama."

"Ah, hamba tahu di mana adanya Pek Hong Nio-cu, Pangeran! Belum lama ini hamba bertemu dengannya. Ia sedang melakukan perjalanan bersama seorang pemuda yang hamba kenal. Mereka sedang menuju ke barat, hamba bertemu dengan mereka di kota Kiang-cu."

"Hemm, menuju ke barat. Ah, tidak salah lagi. Puteri Moguhai tentu akan berkunjung ke perbatasan Sin-kiang di mana adik tiriku, Pangeran Kuang, menjadi komandan pasukan yang menjaga di tapal batas barat. Wah, harus dicegah! Moguhai tentu mempunyai maksud tertentu hendak menghubungi Pangeran Kuang dan ini berbahaya. Pangeran Kuang merupakan orang yang amat setia kepada Sribaginda. Cia-sicu, maukah engkau membantu kami?"

"Tentu saja, Pangeran. Bukankah selama ini hamba membantu paduka dan Perdana Menteri Chin Kui?"

"Ya, kami menghargai semua bantuanmu, Cia-sicu. Akan tetapi permintaan bantuan kami kali ini istimewa, penting dan juga berat. Yaitu maukah engkau mengejar dan membunuh Puteri Moguhai yang berarti akan melancarkan jalannya semua rencana kami?"

Cia Song terkejut bukan main. Kalau dia disuruh membunuh orang lain, tentu akan segera dia sanggupi dan baginya merupakan pekerjaan yang tidak terlalu sukar dilaksanakan. Akan tetapi Pek Hong Nio-cu? Dia belum tahu sampai di mana kelihaian gadis yang kecantikannya pernah membuat dia tergila-gila begitu melihatnya itu. Akan tetapi ketika Pek Hong Nio-cu berada di atas genteng penginapan, ketika gadis itu melemparkan surat dan pisau ke atas meja Kim Lan dan Ai Yin, dia melihat gerakan Pek Hong Nio-cu ketika melarikan diri begitu cepat dan ringan. Harus diakui bahwa gadis bangsawan itu memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat dan mungkin saja ilmu silatnya juga lihai sekali.

"Bagaimana, Cia-sicu? Sanggupkah engkau?" Pangeran Hiu Kit Bong mendesak.

Cia Song menghela napas panjang lalu menjawab,

"Tugas itu berat sekali, pangeran."

"Hemm, engkau hendak mengatakan bahwa engkau merasa jerih kepada Puteri Moguhai?" tanya pangeran itu.

"Sama sekali tidak, Pangeran. Mungkin ilmu kepandaiannya tinggi, akan tetapi hamba tidak takut kepadanya. Akan tetapi, hamba melihat bahwa Pek Hong Nio-cu melakukan perjalanan bersama seorang pemuda, dan pemuda inilah yang merupakan lawan yang amat berat karena hamba sudah mengenalnya dan tahu betapa tangguhnya dia."

"Hemm, siapakah pemuda itu?" tanya Pangeran Hiu Kit Bong dengan alis dikerutkan.

"Namanya Souw Thian Liong, Pangeran. Dia adalah murid Tiong Lee Cin jin."

"Cia-sicu jangan takut. Kami tidak ingin engkau turun tangan seorang diri. Kami selalu ingin keyakinan bahwa kami pasti berhasil sebelum melakukan sesuatu. Kami akan mempersiapkan sebuah pasukan khusus, pasukan istimewa terdiri dari dua losin orang yang dipimpin oleh lima orang jagoan kami yang lihai dan boleh diandalkan kemampuannya. Mereka bukan saja pandai ilmu silat dan amat tangguh, akan tetapi juga merupakan ahli-ahli mengatur siasat pertempuran. Dengan bantuan mereka, engkau tidak perlu ragu dan khawatir. Pasti rencana kita berjalan dengan baik dan lancar."

Cia Song sudah tahu benar betapa tinggi ilmu kepandaian Thian Liong. Bahkan pemuda itu masih menerima pelajaran ilmu dari kitab Sam-jong-cin-keng dari Hui Sian Hwesio, hal yang membuat dia merasa iri hati sekali. Dan walaupun dia belum mengukur sampai di mana tingkat kepandaian Pek Hong Nio-cu, dia dapat menduga bahwa gadis itu pasti bukan lawan yang mudah dikalahkan. Karena itu, untuk memperoleh keyakinan, dia harus menguji dulu sampai di mana kelihaian lima orang jagoan yang hendak diperbantukan padanya itu. Sedikitnya lima orang pembantu itu harus mampu menandinginya, barulah bantuan mereka dan dua losin perajurit pilihan akan ada artinya.

"Maaf, pangeran. Akan tetapi siapakah lima orang jagoan yang akan diperbantukan kepada hamba itu? Hamba tetap merasa ragu sebelum menguji sampai di mana kemampuan mereka."

Pangeran Hiu Kit Bong tidak marah, malah tersenyum. Kehati-hatian Cia Song itu menyenangkan dia karena ini berarti bahwa pemuda itu seorang yang teliti dan boleh diandalkan akan berhasil dalam melaksanakan tugasnya.

"Mereka adalah bekas pengawal-pengawal pribadi Sribaginda sendiri. Karena melakukan pelanggaran kesusilaan di istana, mereka diusir dari istana. Kami menampung mereka dan mereka memang mempunyai perasaan dendam kepada Sribaginda, maka dapat merupakan pembantu-pembantu yang setia. Mereka adalah jagoan-jagoan yang telah menguasai banyak ilmu, bukan saja ilmu silat aliran utara, akan tetapi juga menguasai ilmu gulat dari Mongolia dan ilmu silat dari Jepang. Dan mudah saja untuk menguji mereka karena dapat segera dipanggil ke sini." Setelah berkata demikian, Pangeran Hiu Kit Bong mengutus seorang perajurit untuk memanggil lima orang jagoannya itu. Sambil menanti datangnya lima orang jagoan itu, mereka bertiga bercakap-cakap dan mengatur siasat selanjutnya, bukan hanya untuk membunuh Pek Hong Nio-cu, melainkan juga untuk gerakan pemberontakan dan menggulingkan kedudukan Kaisar Kin.

Cia Song yang teringat akan kecantikan Pek Hong Nio-cu yang membuat dia tergila-gila dan bangkit gairahnya, mengajukan usul kepada Pangeran Hiu Kit Bong.

"Pangeran, menurut pendapat hamba, akan lebih baik apabila Puteri Moguhai itu tidak dibunuh, melainkan ditawan saja."

"Eh? Kenapa begitu? Ia akan menjadi batu sandungan bagiku, mengganggu kelancaran rencanaku. Tidak, ia harus dibunuh, Cia-sicu. Untuk membunuh puteri itulah kami minta bantuanmu!"

"Harap paduka pertimbangkan dulu usul hamba. Kalau puteri itu dibunuh paduka hanya mendapatkan satu keuntungan yang tidak begitu berharga. Akan tetapi kalau ia ditawan, berarti paduka memperoleh dua keuntungan, seperti sebatang pedang yang tajam kedua sisinya, satu kali bergerak mendapatkan dua yang amat baik."
"Hemm, apa maksudmu, sicu?"

"Begini, Pangeran. Hamba akan menawan Puteri Moguhai itu dan dengan tawanan yang amat penting itu, paduka dapat menjadikan ia sebagai sandera dan paduka dapat mengancam agar Sribaginda suka menyerahkan tahta kepada paduka untuk ditukar dengan nyawa puteri Sribaginda. Dengan demikian, paduka akan dapat mengambil alih singasana tanpa banyak kesukaran lagi."

Mendengar usul ini, Pangeran Hiu Kit Bong tertegun dan saling pandang dengan Panglima Kiat Kon yang menjadi sekutu utamanya dalam ambisinya merebut kekuasaan kerajaan Kin. Keduanya saling pandang lalu mengangguk-angguk.

"Siasat itu sungguh hebat dan baik sekali, Pangeran!" kata Panglima Kiat Kon.

Pangeran Hiu Kit Bong juga mengangguk-angguk dan tersenyum kepada Cia Song.

"Bagus, Cia-sicu, gagasanmu itu cemerlang sekali! Kenapa aku tidak berpikir sejauh itu? Ha-ha-ha, tidak percuma Perdana Menteri Chin Kui mengangkatmu menjadi penghubung antara kami! Baik, siasatmu itu baik dan harus dilaksanakan begitu. Puteri Moguhai, keponakan tiriku itu, si cantik yang liar itu, jangan dibunuh, melainkan ditangkap dan dijadikan sandera! Bagus sekali!"

"Akan tetapi, Pangeran. Biarpun gagasan itu bagus dan sudah sepatutnya dilaksanakan, akan tetapi tetap saja kita harus menyusun kekuatan pasukan yang besar. Siapa tahu Sribaginda akan nekat dan tidak mau menyerahkan mahkota sehingga kita terpaksa harus menggunakan kekerasan, menyerbu istana dan untuk itu kita memerlukan pasukan yang amat kuat," kata Panglima Kiat Kon.

Pangeran Hiu Kit Bong mengangguk-angguk setuju. Mereka lalu bercakap cakap dan berunding, mencari siasat-siasat terbaik. Ada dua tujuan terpenting yang hendak dicapai oleh persekutuan antara Pangeran Hiu Kit Bong dan Perdana Menteri Chin Kui. Pertama, mahkota kerajaan Kin harus terjatuh ke tangan Pangeran Hiu Kit Bong dan kedua, kedudukan Perdana Menteri Chin Kui harus diperkuat dengan disingkirkannya mereka yang menentang kekuasaannya sehingga dia dapat makin kuat mencengkeram Kaisar Sung dalam kekuasaannya. Dengan demikian, maka Kerajaan Kin akan dapat tetap bersahabat dengan Kerajaan Sung Selatan.

Percakapan mereka terhenti ketika muncul lima orang memasuki ruangan itu. Mereka segera memberi hormat kepada Pangeran Hiu Kit Bong dengan membungkuk dalam-dalam.

Pangeran Hiu Kit Bong tersenyum gembira menyambut mereka.

"Ah, kalian telah datang? Duduklah!" Dia mempersilakan mereka duduk dan lima orang itu lalu duduk di atas kursi-kursi yang sudah tersedia di depan pangeran itu. Cia Song memandang mereka dengan penuh perhatian.

Pangeran Hiu Kit Bong lalu memperkenalkan Cia Song kepada mereka.

"Nah, kalian berlima kenalkanlah. Ini adalah pendekar besar Cia Song yang menjadi orang kepercayaan Perdana Menteri Chin Kui dari Kerajaan Sung!"

Lima orang itu agaknya sudah pernah mendengar nama Cia Song, maka mereka lalu bangkit dan memberi hormat kepada Cia Song, juga dengan membungkuk dalam-dalam. Cia Song membalas dengan merangkap kedua tangan depan dada. Dia pernah melihat cara penghormatan membungkuk seperti itu, yakni kebiasaan orang-orang Jepang. Agaknya lima orang ini pernah berguru kepada orang Jepang, pikirnya dan perkiraan ini agaknya tidak salah karena diapun melihat betapa di pinggang mereka berlima itu tergantung sebatang pedang samurai, yaitu pedang bangsa Jepang yang bentuknya agak melengkung, gagangnya agak panjang sehingga dapat dipegang kedua tangan dan hanya bermata sebelah seperti golok.

Pangeran Hiu Kit Bong memperkenalkan lima orang jagoannya kepada Cia Song. Cia Song memperhatikan mereka. Orang pertama bernama Con Gu, berusia empatpuluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus, mukanya panjang dan berwarna kuning sekali. Orang kedua bernama Koi Cu, usianya empatpuluh tiga tahun, bertubuh pendek gendut dan kepalanya botak. Orang ketiga bernama Jiu Hon, berusia empatpuluh tahun, bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh brewok menyeramkan. Orang keempat bernama Kian Su, usianya tigapuluh lima tahun, tubuhnya sedang dan wajahnya bersih tampan. Adapun orang kelima bernama Hayasi, berusia tigapuluh tahun, tubuhnya pendek dengan kaki tangan pendek akan tetapi kokoh berotot.

KISAH SI NAGA LANGIT JILID 17


Mereka berlima itu memiliki mata yang tampak cerdik, bersinar tajam dan dari sikap mereka mudah diduga bahwa mereka adalah orang-orang yang tangguh. Mereka berlima memiliki sebatang pedang samurai. Koi Cu dan Hayasi yang bertubuh pendek membawa pedang samurai mereka di punggung, akan tetapi tiga orang yang lain menggantung pedang samurai mereka di pinggang.

"Paduka memanggil kami menghadap, ada tugas apakah yang harus kami laksanakan, Pangeran?" tanya Con Gu, orang tertua yang agaknya juga menjadi juru bicara mereka berlima.

"Ada tugas penting sekali untuk kalian berlima. Tugas itu sebetulnya sudah kami serahkan kepada Cia-sicu, akan tetapi karena tugas itu berbahaya dan akan menghadapi lawan yang amat kuat, maka kami membutuhkan bantuanmu yang akan memimpin dua losin perajurit pilihan untuk membantu tugas Cia-sicu," kata Pangeran Hiu Kit Bong.

"Bolehkah kami mengetahui, tugas apa yang harus kami lakukan, Pangeran?" tanya Con Gu.

"Kalian berlima dan pasukan yang kalian pimpin harus membantu Cia-sicu untuk menangkap seseorang."

"Menangkap seorang saja mengapa harus memakai begitu banyak orang?" Hayasi bertanya dan logat bicaranya jelas menunjukkan bahwa dia adalah seorang berbangsa Jepang.

"Yang harus ditangkap adalah Puteri Moguhai yang di luar istana terkenal sebagai Pek Hong Nio-cu!" kata Pangeran Hiu Kit Bong.

Lima orang itu terkejut sekali.

"Oh......! Sang Puteri Moguhai.......?" kata Con Gu, lalu dia mengangguk-angguk.

"Pangeran, kami tahu bahwa Puteri Moguhai memang memiliki kepandaian tinggi dan lihai sekali. Memang harus hamba akui kalau kami berlima maju satu-satu, agaknya masih akan sukarlah menangkapnya. Akan tetapi kalau kami berlima maju, agaknya sudah pasti kami dapat menangkapnya. Mengapa harus menyusahkan Cia-sicu dan bahkan ditambah dua losin perajurit lagi?"

"Wah, tidak semudah itu, Con Gu!" kata Pangeran Hiu Kit Bong.

"Ketahuilah bahwa selain Puteri Moguhai sendiri seorang yang tangguh, ia ditemani oleh seorang pemuda yang namanya....... eh, siapa tadi namanya, Cia-sicu?"

"Namanya Souw Thian Liong, Pangeran."

"Ya, temannya itu bernama Souw Thian Liong dan menurut keterangan Cia-sicu, pemuda itu lihai sekali karena dia adalah murid Tiong Lee Cin-jin."

Lima orang jagoan itu saling pandang dan dari sinar mata mereka Cia Song tahu bahwa mereka terkejut dan gentar mendengar nama Tiong Lee Cin-jin yang dikenal sebagai seorang manusia setengah dewa itu!

"Kami akan membantu Cia-sicu sekuat tenaga kami!" kata Con Gu.

"Karena menghadapi pekerjaan penting, Cia-sicu masih ragu apakah bantuan kalian berlima berikut dua losin perajurit pilihan sudah cukup. Oleh karena itu, untuk menyakinkan hatinya, dia minta agar diperbolehkan menguji ketangguhan kalian berlima."

Mendengar ucapan pangeran itu, kelima orang jagoan mernandang kepada Cia Song dengan sinar mata tajam.

"Bagaimana, sobat-sobat? Apakah kalian tidak keberatan kalau aku hendak menguji ilmu silat kalian?" tanya Cia Song.

Lima orang itu menggeleng kepala dan Con Gu berkata sambil tersenyum.

"Tentu saja tidak, Cia-sicu. Kami siap untuk diuji sewaktu-waktu."

Pangeran Hiu Kit Bong tertawa.

"Ha-ha, bagus. Waktunya sekarang saja dan ruangan ini kiranya cukup luas untuk dipakai sebagai tempat ujian bertanding. Bagaimana pendapatmu, Cia-sicu?"

Cia Song bangkit berdiri.

"Memang cukup luas, Pangeran. Marilah, sobat-sobat, kita mulai saja." Dia lalu melangkah ke tengah ruangan yang luas.

Con Gu juga bangkit dan setelah membungkuk di depan sang pangeran, diapun melangkah lebar menghampiri Cia Song, setelah berhadapan lalu berkata,

"Cia-sicu, kami telah siap. Biarlah saya yang maju pertama untuk menerima ujian."

"Bukan satu-satu, maksudku kalian berlima maju berbareng. Aku ingin melihat apakah kalau kalian maju berbareng cukup kuat untuk melawan musuh yang tangguh."

"Kami berlima maju berbareng? Mengeroyokmu, sicu? Ah, jangan bergurau!" kata Con Gu sambil tertawa dan empat orang rekannya juga tertawa lirih karena mereka berada di depan Pangeran.

"Aku sama sekali tidak bergurau. Ketahuilah bahwa lawan-lawan yang akan kita hadapi sungguh tangguh dan lihai sekali, maka aku harus yakin bahwa kalian cukup kuat untuk menandingi seorang di antara mereka. Nah, marilah, kalian berlima maju berbareng dan jangan sungkan mengeroyok aku, keluarkan semua kemampuan kalian agar aku dapat merasa yakin sehingga tugas kita akan dapat terlaksana dengan hasil baik."

"Hayolah, kalian berlima jangan ragu. Turuti perintah Cia-sicu. Dalam tugas dia adalah pemimpin kalian!" kata Pangeran Hiu Kit Bong.

Mendengar perintah pangeran, tentu saja lima orang itu tidak berani membantah lagi dan empat orang jagoan yang lain segera bangkit berdiri dan menghampiri Cia Song. Mereka berlima berdiri berjajar menghadapi Cia Song dengan sikap masih ragu-ragu. Mereka adalah jagoan-jagoan pilihan, bahkan pernah menjadi pengawal pribadi Raja Kin yang jarang menemui tanding. Bagaimana sekarang mereka berlima disuruh mengeroyok seorang lawan saja? Bagi mereka, hal ini memalukan sekali. Andaikata mereka menang sekalipun, tidak dapat dibanggakan. Akan tetapi karena pangeran yang memerintah dan Cia Song juga hanya bermaksud untuk menguji, maka mereka berlima siap.

Melihat mereka berdiri berjajar, bukan mengepung seperti lima orang yang hendak mengeroyok, Cia Song maklum bahwa mereka masih merasa sungkan. Dan dia maklum akan perasaan mereka. Mereka adalah jagoan-jagoan istana Kin dan usia mereka juga lebih tua daripada dia, maka tentu saja mereka sungkan untuk melakukan pengeroyokan.

"Sekarang begini saja," katanya,

"agar kalian tidak merasa sungkan, biarlah kalau sampai robek sedikit pakaianku terkena ujung pedang kalian, kuanggap kalian sudah lulus ujian dan dapat mengalahkan aku. Nah, sekarang aku hendak bertanya dan kuharap kalian menjawab sejujurnya. Aku ingin agar kalian mengeluarkan ilmu kalian yang paling ampuh. Kalau kalian maju berlima, kalian hendak mempergunakan ilmu pedang apakah yang kalian anggap paling ampuh?"

"Sesungguhnya, Cia-sicu. Kami berlima malu untuk maju berbareng dan mengeroyokmu. Akan tetapi karena Pangeran telah memerintahkan dan sicu hanya ingin menguji, maka apa boleh buat, kami akan menaati perintah. Kami masing-masing mempunyai keistimewaan sendiri, akan tetapi kalau kami maju bersama, kami telah menciptakan permainan pedang gabungan yang kami namakan Ngo heng Kiam-tin (Barisan Pedang Lima Unsur). Dengan memainkan Ngo-heng Kiam tin, kami berlima belum pernah terkalahkan."

"Bagus! Aku menghendaki agar kalian berlima mengeroyok aku dengan Ngo heng Kiam-tin itu dan jangan sungkan. Serang aku sekuat kalian dan kalahkan aku secepat mungkin. Aku percaya bahwa ahli-ahli pedang seperti kalian tentu tidak akan salah tangan, tidak akan melukai tubuhku, cukup dengan merobek pakaianku saja." Cia Song bicara sambil tersenyum ramah, sama sekali tidak terkandung nada atau sikap mengejek.

"Baiklah, Cia-sicu. Maafkan kami." Con Gu memandang kepada empat orang rekannya dan mereka berlima lalu menggerakkan tangan kanan. Tampak kilatan lima sinar ketika mereka telah mencabut pedang samurai mereka masing masing. Lima batang pedang panjang yang agak melengkung itu berkilauan dan ini menunjukkan bahwa pedang-pedang itu amat tajam. Ketika dicabut dengan amat cepatnya, terdengar suara berdesing yang menandakan bahwa lima orang itu memiliki tenaga yang kuat. Setelah mencabut pedang samurai masing-masing, lima orang itu lalu mulai melangkah dengan geseran-geseran kaki dan mereka telah mengepung Cia Song dari lima penjuru.

"Bersiaplah, Cia-sicu!" kata Con Gu yang memberi kesempatan kepada Cia Song untuk mengeluarkan senjatanya.

Dari gerakan mereka saja Cia Song maklum bahwa akan sukar menandingi mereka berlima kalau dia bertangan kosong. Maka diapun segera mencabut pedang yang berada di punggungnya, sebatang pedang beronce merah. Dia mencabutnya dengan perlahan lalu melintangkan pedangnya di depan dada. Biarpun dia tidak memasang kuda-kuda secara khusus, namun Cia Song bersikap hati-hati dan waspada karena dia maklum bahwa lima orang lawannya ini benar-benar tangguh. Dia harus menjaga agar dia jangan sampai kalah atau kalau dikalahkan juga dia harus dapat melakukan perlawanan yang cukup kuat dan seimbang.

Setelah melihat Cia Song mencabut pedang, Con Gu mewakili rekan-rekannya bertanya,

"Cia-sicu, apakah kami sudah boleh mulai menyerang?"

"Boleh, silakan, aku sudah siap!" kata Cia Song.

"Sambut serangan Unsur Swee (Air)!" bentak Con Gu dan dia menyerang dari depan Cia Song. Pedang samurainya menyambar dan gerakannya bergelombang seperti ombak sehingga cocok sekali kalau Con Gu memperkenalkan dirinya sebagai pemain Unsur Air dalam Ngo-heng Kiam-tin (Barisan Pedang Lima Unsur) itu. Cia Song sengaja menggunakan pedangnya menangkis dengan pengerahan tenaga karena dia hendak mengukur tenaga Con Gu melalui serangan pedang samurainya itu.

"Tranggg!!" Pedang samurai itu tergetar dan Con Gu melangkah ke belakang lima kali. Cia Song juga merasakan pedangnya tergetar dan tahulah dia bahwa tenaga Con Gu cukup kuat walaupun masih jauh kalau dibandingkan dengan sin kang (tenaga sakti) yang dikuasainya.

"Cia-sicu, sambut serangan Unsur Hwe (Api)!" teriak Koi Cu yang berkepala botak dan bertubuh pendek gendut dari sebelah kanan Cia Song. Pedang Samurai yang terlalu panjang bagi tubuh yang pendek itu menyambar lurus, dari bawah ke atas seperti berkobarnya api dan gerakannya dahsyat sekali. Cia Song sudah mengukur kekuatan Con Gu dan dia menduga bahwa tentu tenaga orang pertama itu yang paling kuat di antara mereka berlima. Maka dia menghadapi serangan Unsur Api ini dengan mengandalkan kecepatan gerakan tubuhnya. Dia mengelak sehingga pedang Koi Cu menyambar di samping tubuhnya.

"Sambut serangan Unsur Bhok (Kayu)!" teriak Jiu Hon yang bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh brewok. Orang ketiga ini menyerang dari belakang, maka Cia Song memutar tubuhnya, menggeser kakinya dan melihat pedang samurai Jiu Hon menusuk ke arah lambungnya. Cia Song memiringkan tubuhnya dan menggunakan pedangnya untuk menangkis dari samping sehingga serangan Jiu Hon gagal, pedang samurainya terpental.

"Awas serangan Unsur Kim (Emas, logam)!" bentak Kian Su, orang keempat yang berwajah tampan. Pedangnya meluncur dan menyerang dari sebelah kiri tubuh Cia Song. Kembali Cia Song mengelak dengan mengandalkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi tingkatnya.

"Sambut serangan Unsur Tho (Tanah)!" bentak Hayasi. Orang yang paling pendek ini menyerang dan pedangnya berputar menyerang ke arah kedua kaki Cia Song. Serangannya tidak kalah dahsyat dibandingkan empat orang rekannya. Cia Song dengan tenang namun cepat meloncat untuk menghindarkan serangan itu.

Setelah lima orang itu masing-masing mengeluarkan jurus serangannya secara bergiliran dan semua serangan itu dapat dihindarkan dengan mudah oleh Cia Song mereka berlima maklum bahwa Cia Song benar-benar lihai, maka mereka tidak merasa ragu lagi untuk mengeroyok. Con Gu memberi isyarat kepada empat orang rekannya dan mulailah mereka berlima menyerang dari lima penjuru dengan berbareng! Serangan mereka datang bergelombang dan bertubi-tubi, dan hebatnya serangan mereka itu saling menunjang, saling melengkapi sesuai dengan watak ngo-heng (lima unsur) sehingga serangan beruntun yang saling menunjang dan saling melengkapi akan tetapi yang sifatnya juga saling berlawanan itu menjadi membingungkan, aneh dan dahsyat sekali!

Diam-diam Cia Song terkejut. Dia tahu bahwa kalau mereka itu maju satu demi satu, tidak begitu sukar baginya untuk mengalahkan mereka. Akan tetapi, dengan maju bersama membentuk Barisan Pedang Lima Unsur, mereka sungguh merupakan lawan yang tangguh dan amat berbahaya. Untuk dapat melakukan perlawanan yang kuat, Cia Song segera memainkan ilmu silat gabungan, yaitu pada dasarnya merupakan ilmu silat pedang aliran Siauw-lim-pai, akan tetapi dia memasukkan unsur ilmu yang dipelajarinya dari Ali Ahmed, datuk suku bangsa Hui itu. Ilmu pedang menjadi aneh namun kuat sekali. Tubuh Cia Song lenyap dibungkus sinar pedangnya yang bergulung-gulung dan berkelebatan, bukan hanya sinar pedang itu menangkis lima batang pedang samurai yang mengancamnya dari lima jurusan yang kadang berputaran, namun juga mengirim serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya!

Pangeran Hiu Kit Bong yang hanya menguasai ilmu silat yang rendah, tidak dapat mengikuti jalannya pertandingan. Gerakan enam orang itu terlampau cepat baginya sehingga pandang matanya menjadi kabur. Kilatan sinar pedang yang mencuat ke sana-sini, kadang bergulung gulung, diseling suara berdentangan nyaring membuat dia hanya dapat memandang kagum.

"Bagaimana pendapatmu, ciangkun?"

Dia bertanya kepada Panglima Kiat Kon yang juga menonton pertandingan itu dengan tertarik sekali. Tingkat kepandaian silat panglima ini juga sudah cukup tinggi, seimbang dibandingkan tingkat masing-masing anggauta Ngo-heng Kiam-tin itu, maka dia dapat mengikuti pertandingan itu dan menjadi amat kagum melihat betapa Cia Song dapat mempertahankan diri bahkan mengimbangi serangan gabungan yang dahsyat itu. Dia sendiri akan kalah dalam waktu pendek kalau harus menandingi pengeroyokan Ngo-heng Kiam-tin itu.

"Hebat, Pangeran. Ngo-heng Kiam-tin memang dahsyat sekali, akan tetapi kepandaian Cia-sicu juga luar biasa sehingga dia mampu mengimbangi pengeroyokan itu," katanya sambil mengangguk angguk dengan hati kagum.

Pertandingan itu memang hebat bukan main. Semua serangan dari barisan pedang lima orang itu dapat dihindarkan dengan baik oleh Cia Song, biarpun serangan itu datang bergelombang dan bertubi-tubi. Akan tetapi serangan balasan dari Cia Song juga selalu dapat ditangkis. Kalau Cia Song hendak mengandalkan kelebihan tenaganya, diapun gagal karena yang menangkis pedangnya tentu sedikitnya dua orang, bahkan kadang tiga-empat pedang samurai sekaligus menyambut pedangnya sehingga kelebihan tenaganya diimbangi tenaga gabungan para pengeroyok. Sampai seratus jurus mereka bertanding dan belum tampak siapa yang akan keluar sebagai pemenang.

Cia Song merasa sudah cukup menguji jagoan itu dan dia merasa girang. Ternyata Ngo-heng Kiam-tin memang tangguh dan boleh diandalkan. Dibantu lima orang seperti ini, apalagi yang memimpin dua losin perajurit pilihan, dia akan merasa kuat menghadapi Pek Hong Nio-cu dan Souw Thian Liong. Maka dia ingin menyudahi ujian itu. Akan tetapi dasar dia memiliki watak yang sombong, walaupun disembunyikan di balik sikapnya yang halus dan sopan, maka dia tidak akan merasa puas kalau tidak lebih dulu mengalahkan mereka agar dia memperoleh kesan yang baik dan agar lima orang itu tunduk kepadanya sehingga dapat menjadi pembantu-pembantu yang taat kepadanya.

Diam-diam Cia Song mengerahkan tenaga saktinya dan mempergunakan ilmu pukulan jarak jauh bercampur kekuatan sihir yang dipelajarinya dari Ali Ahmed.

"Hyaaaattt....... ahhhh!" Tangan kirinya mendorong ke depan dan tubuhnya berputar sehingga sasaran pukulan jarak jauh itu diarahkan kepada lima orang pengeroyok yang mengepungnya. Dari telapak tangan kirinya keluar asap hitam yang menyambar ke arah lima orang itu. Terdengar teriakan-teriakan kaget dan lima orang itu satu demi satu terhuyung ke belakang. Cia Song bergerak cepat sekali. Pedangnya menyambar-nyambar dan ketika dia melompat agak ke belakang menjauhi mereka, lima orang itu melihat betapa ujung baju mereka telah terbabat putus oleh sinar pedang Cia Song selagi mereka terhuyung tadi!

Lima orang itu membungkuk sampai dalam dan Con Gu mewakili para rekanrrya berkata,

"ilmu pedang Cia-sicu hebat bukan main! Kami mengaku kalah!"

Cia Song menyimpan kembali pedangnya dan berkata,

"Ngo-heng Kiam-tin amat tangguh. Aku girang sekali mendapatkan pembantu seperti kalian berlima!"

Mendengar ini, Pangeran Hiu Kit Bong dan Panglima Kiat Kon bertepuk tangan.

"Kami girang sekali bahwa mereka berlima lulus ujian, Cia-sicu. Bagaimana pendapat sicu? Apakah ditemani mereka yang akan memimpin dua losin perajurit pilihan dianggap cukup kuat?"

"Lebih dari cukup, Pangeran. Dengan bantuan mereka dan dua losin perajurit pilihan, hamba yakin kami dapat menangkap Puteri Moguhai dan Souw Thian Liong."

"Bagus! Duduklah kalian berenam!" kata Pangeran Hiu Kit Bong.

"Akan tetapi kalau Puteri Moguhai jangan dibunuh, sebaliknya pemuda lihai yang menjadi temannya itu harus dibunuh karena dia membahayakan kita."

"Tidak, Pangeran. Souw Thian Liong juga akan hamba tangkap karena dia harus memperhitungkan dosa-dosanya kepada Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai. Dia harus menerima hukumannya," kata Cia Song.

"Hemm, apa sih yang dilakukannya? Ah, sudahlah, bukan urusan kami. Terserah kepadamu kalau engkau hendak menangkap pemuda itu, Cia-sicu. Yang terpenting bagi kami adalah menawan Puteri Moguhai untuk dijadikan sandera," kata Pangeran Hiu Kit Bong.

Setelah mengadakan perundingan matang dan membuat persiapan, berangkatlah Cia Song bersama kelima Ngo-heng Kiam-tin, memimpin dua losin perajurit yang terlatih baik dan rata-rata pandai ilmu silat melakukan pengejaran kepada Puteri Moguhai dan Souw Thian Liong yang menuju ke barat. Mereka menunggang kuda-kuda pilihan sehingga dapat melakukan perjalanan cepat.

Souw Thian Liong mendapat kenyataan yang amat menyenangkan hatinya. Setelah melakukan perjalanan dengan Pek Hong Nio-cu selama hampir sebulan lamanya, dia mendapat kenyataan betapa amat menggembirakan perjalanan itu.

Pek Hong Nio-cu ternyata merupakan teman seperjalanan yang amat baik. Wataknya gembira, pandai bicara dan di mana saja pendekar wanita yang sesungguhnya puteri raja ini memperlihatkan watak aselinya yang mengagumkan. Ia ramah terhadap rakyat jelata, murah hati dan siap menolong rakyat yang hidup sengsara. Ringan tangan menghajar orang orang yang mengandalkan kekerasan dan kekuasaan untuk menindas rakyat. Terutama sekali ia amat keras terhadap para pembesar kecil yang bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Dan di mana saja, para pembesar itu selalu mati kutu dan ketakutan setelah memperlihatkan pedang bengkok dari emas yang menjadi lambang kekuasaan Kaisar kerajaan Kin. Puteri raja ini selain cantik jelita dan menarik hati, juga gagah perkasa dan memiliki watak yang budiman.

Di lain pihak, diam-diam Pek Hong Nio-cu juga kagum bukan main kepada Thian Liong. Pemuda itu selalu sopan dan penuh perhatian. Tidak pernah sedikitpun mernperlihatkan watak mata keranjang, tidak pernah mencoba untuk merayunya seperti yang banyak ditemui pada diri para pria kalau bertemu dengannya. Sungguh seorang pemuda yang hebat, berjiwa pendekar dan juga pandai bicara dan suka berkelakar dengan sopan.

Seperti kita ketahui, ketika mereka berdua tiba di kota Kiang-cu dan bermalam di sebuah rumah penginapan, Cia Song menemui Thian Liong dan membujuk agar Thian Liong segera meninggalkan kota itu karena Kim Lan dan Ai Yin mencarinya untuk memaksa Thian Liong menikahi Kim Lan atau kalau tidak mau, dua orang gadis itu hendak membunuhnya.

Setelah Cia Song pergi, Pek Hong Nio-cu mendengar dari Thian Liong tentang gadis murid Kun-lun-pai yang hendak memaksa dia mengawini dengan alasan bahwa gadis itu sudah bersumpah akan berjodoh dengan pria yang dapat mengalahkannya. Kalau dia tidak mau, Thian Liong akan dibunuhnya! Mendengar ini, Pek Hong Nio-cu marah sekali.

Malam itu, tanpa setahu Thian Liong, Pek Hong Nio-cu pergi mengunjungi rumah penginapan di mana Kim Lan dan Ai Yin bermalam. Ia melemparkan surat celaannya yang disambitkan ke atas meja dengan sebuah pisau lalu meninggalkan atap rumah penginapan itu karena ia melihat bayangan orang. Dan pada keesokan harinya, Thian Liong mengajaknya segera pergi meninggalkan kota Kiang-cu.

Pemuda ini ingin menghindarkan diri dari kejaran dua orang gadis Kun-lun-pai itu. Pek Hong Nio-cu juga tidak pernah bicara tentang dua orang gadis itu juga tidak pernah menceritakan tentang perbuatannya mengirim surat teguran yang isinya rnencela murid wanita Kun-lun-pai sebagai wanita yang tidak tahu malu hendak memaksa seorang pria menjadi suaminya!

Matahari telah naik tinggi dan udara lumayan panasnya. Mereka berdua menjalankan kuda mereka perlahan-lahan, menyusuri sepanjang tepi Sungai Han, yaitu sungai yang menjadi cabang Sungai Yang-ce yang besar. Pemandangan alamnya di lembah sungai itu amat indah. Daerah ini termasuk daerah yang kecil jumlah penduduknya sehingga tempat yang mereka lalui itu sunyi. Thian Liong menjalankan kudanya di sebelah kiri kuda yang ditunggangi Pek Hong Nio-cu. Dua ekor kuda itu berjalan seenaknya karena dua orang penunggangnya tidak ingin memaksa binatang yang juga sudah tampak kelelahan itu. Thian Liong melamun.

Dia melamun tentang keadaan dirinya. Sungguh tak pernah disangkanya sama sekali bahwa dia akan melakukan perjalanan berdua saja dengan puteri Raja Kin! Dan perjalanan bersama itu sudah dilakukan selama kurang lebih satu bulan! Sungguh amat mengherankan dan tentu banyak yang tidak percaya kalau dia bercerita kepada orang lain. Dia disambut oleh pejabat-pejabat pemerintah Kin di sepanjang jalan dengan sikap hormat sekali karena dia diperkenalkan oleh Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu sebagai sahabatnya. Dan puteri itu begitu manis, begitu ramah dan akrab dengan dia. Akan tetapi yang menunggang kuda di sisinya ini adalah seorang puteri bangsawan tinggi, Puteri Raja Kin sedangkan dia apa? Seorang pemuda yatim piatu yang bodoh dan miskin, rumahpun tidak punya! Akan tetapi Thian Liong tidak merasa rendah diri. Mengapa rendah diri?

Dia tidak mempunyai pamrih apapun dalam persahabatannya dengan Pek Hong Nio-cu. Memang harus dia akui bahwa dia amat tertarik, kagum dan suka sekali kepada gadis bangsawan ini. Sungguh jauh bedanya gadis ini dibandingkan gadis-gadis yang pernah dia jumpai. Berpikir sampai di sini, terbayang olehnya wajah seorang gadis yang manis. Wajahnya bulat telur, rambutnya hitam panjang dengan anak rambut melingkar di dahi dan pelipis. Dahinya halus dan putih sekali, dengan alis hitam kecil panjang dan tebal, matanya seperti sepasang bintang, bersinar tajam dan penuh gairah hidup, hidungnya mancung dan mulutnya amat menggairahkan, dengan bibir merah basah dan lesung pipit menghias kanan kiri mulut itu. Dagunya runcing dan kulitnya putih mulus. Tubuhnya padat ranum dengan pinggang ramping.

Gadis yang lincah dan liar, galak penuh semangat, berpakaian merah muda. Gadis yang telah mencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun hoat dari buntalan pakaiannya, kitab yang seharusnya dia serahkan kepada para ketua Kun-lun-pai seperti yang dipesan gurunya. Gadis cantik jelita dan juga gagah perkasa. Akan tetapi sayang, ia mencuri kitab, dan lebih sayang lagi, dia tidak tahu siapa nama gadis itu dan di mana tempat tinggalnya. Perjalanannya ke barat inipun untuk mencari gadis pencuri itu. Dia hanya menduga bahwa gadis itu tentu berada di daerah barat mengingat bahwa ilmu silatnya seperti ilmu silat aliran Tibet.

Kalau dibuat perbandingan antara gadis baju merah itu dengan Pek Hon g Nio-cu, alangkah jauh bedanya. Memang mereka berdua sama sama cantik menarik, sama-sama gagah perkasa, bahkan sama-sama lincah, agak liar dan galak bersemangat. Akan tetapi gadis baju merah yang liar itu adalah seorang gadis kang-ouw tulen dan seorang pencuri, sebaliknya Pek Hong Nio-cu adalah seorang puteri raja yang baik hati. Akan tetapi aneh, dia sukar dapat melupakan gadis baju merah itu dan kalau teringat padanya, jantungnya berdebar dan wajahnya berseri. Padahal, dia berjanji kalau dapat menemukan gadis baju merah itu, akan direbahkan gadis itu menelungkup di atas kedua pahanya lalu akan ditamparnya pinggul gadis itu seputuh kali seperti orang mengajar anaknya yang nakal!

Kemudian, bayangan wajah gadis baju merah yang mencuri kitab milik Kun-lun pai itu terganti wajah seorang gadis lain. Wajah yang setelah kini terbayang olehnya, makin tampak betapa wajah itu tidak ada bedanya dengan wajah Pek Hong Nio-cu! Dia mencoba untuk mencari perbedaan antara dua wajah itu. Namun, seingatnya, tidak ada bedanya sama sekali! Wajah Thio Siang In yang berjuluk Ang-hwa Sian-li, gadis yang suka memakai pakaian serba hijau itu.

Ada bunga mawar merah di rambutnya. Cantik jelita dan cerdik sekali. Juga amat lihai ilmu silatnya. Hebatnya, seingatnya Thio Siang In juga mempunyai setitik tahi lalat di dekat mulutnya, di ujung bibir, sama dengan Puteri Moguhai! Kedua wajah itu serupa benar. Kalau ada perbedaan yang sangat mencolok adalah warna dan bentuk pakaian mereka. Pek Hong Nio-cu berpakaian serba putih dan Ang-hwa Sian-li berpakalan serba hijau. Akan tetapi, walaupun tidak sampai mencuri seperti yang dilakukan gadis baju merah, Thio Siang In itupun seorang gadis yang ugal-ugalan. Hendak meminjam kitab Sam-jong-cin-keng milik Siauw-lim-pai dengan paksa! Ketika dia tidak mau menyerahkan kitab itu, Ang-hwa Sian-li Thio Siang In marah dan mengajak bertanding! Sayang sekali, padahal gadis itu gagah perkasa dan tadinya sudah menjadi teman akrab dengannya. Seperti juga bayangan gadis baju merah, bayangan Ang-hwa Sian-li ini selalu muncul dalam ingatannya.

Kemudian teringat dia akan wajah Kim Lan, murid Kun-lun-pai itu, bersama su-moinya (adik seperguruannya) yang bernama Ai Yin. Mereka juga gadis-gadis manis, cantik menarik, gagah perkasa dan sebagai murid-murid Kun-lun-pai, tentu saja kepandaian mereka tinggi dan watak mereka seperti pendekar. Akan tetapi sayang, terutama sekali Kim Lan, gadis cantik itu diikat sumpah yang aneh sehingga ketika kalah bertanding melawannya, kini mengejarnya untuk memaksa dia mengawininya dan kalau dia menolak, dia akan dibunuhnya!

Thian Liong menghela napas panjang. Aneh-aneh saja pengalamannya dengan gadis-gadis itu! Dan biarpun mereka, yang tiga orang itu, gadis baju merah, Ang-hwa Sian-li, dan Kim Lan tidak dapat disamakan dengan Pek Hong Nio-cu yang anggun, bangsawan tinggi dan tidak ada kesalahan kepadanya, namun tetap saja ada rasa suka pula dalam hatinya terhadap mereka. Dan wajah mereka selalu bermunculan dalam kenangannya.

"Souw Thian Liong, kenapa engkau menghela napas panjang setelah sejak tadi melamun seorang diri?" tiba-tiba suara Pek Hong Nio-cu menyadarkan dan seolah menyeret dia kembali ke alam sadar.

"Eh? Apa maksud paduka, Puteri?" tanya Thian Liong gagap, seperti orang baru bangun tidur.

"Hushh! Berapa kali aku memperingatkan agar engkau jangan menyebut aku paduka dan puteri, kecuali kalau berhadapan dengan para pembesar dan dalam suasana resmi!" tegur Pek Hong Nio-cu dengan alis berkerut.

"Dalam percakapan pribadi, aku ini bukan lain adalah Pek Hong Nio-cu, seorang sahabat yang sederajat denganmu."

"Ah, maafkan, Nio-cu. Aku memang pelupa, akan tetapi apa yang kau maksudkan dengan pertanyaanmu tadi?"

"Hemm, bagaimana sih pertanyaanku tadi, Thian Liong?"

Thian Liong menggeleng kepalanya.

"Aku tidak tahu, tidak ingat lagi."

"Nah, itu tandanya bahwa engkau tenggelam ke dalam lamunanmu," kata Pek Hong Nio-cu sambil menahan dan menghentikan kudanya. Melihat ini, Thian Liong juga menghentikan kudanya.

"Thian Liong, sejak tadi aku melihat engkau melamun dengan pandang mata kosong, kadang tersenyum-senyum dan kemudian engkau menghela napas panjang. Nah, tadi aku bertanya mengapa engkau melamun terus dan menghela napas panjang?"

Ah, itukah yang kautanyakan? Nio-cu, marilah kita mengaso dan berteduh di bawah pohon itu," kata Thian Liong.

"Baiklah, memang sinar matahari panas bukan main dan kuda kita juga sudah lelah," kata Pek Hong Nio-cu.

Mereka menuju ke sebuah pohon besar yang tumbuh di tepi Sungai Han, turun dari kuda dan menambatkan kuda di batang pohon kecil tak jauh dari situ.

"Kota Yun-sian berada tidak jauh lagi di depan. Sebelum sore kita sudah dapat memasuki kota itu."

"Nio-cu, agaknya engkau mengenal betul daerah ini," kata Thian Liong.

"Tentu saja, sudah beberapa kali aku mengunjungi Paman Kuang yang memimpin pasukan menjaga perbatasan. Tapi, engkau belum menjawab pertanyaan tadi, Thian Liong."

Pemuda itu duduk di atas batu di bawah pohon yang teduh itu dan Pek Hong Nio-cu juga duduk di atas batu di depannya. Pemandangan di situ amat indah. Di dekat mereka, hanya empat meter jauhnya, tampak Sungai Han mengalirkan airnya yang masih jernih dengan tenang.

Di tepi sungai, kanan kiri, tumbuh subur segala macam pohon dan semak. Sebuah perahu terapung di tepi sungai tak jauh dari tempat mereka duduk. Seorang pengail duduk di atas perahu itu, duduk seperti patung, memegangi tangkai pancingnya, bahkan menengokpun tidak ketika Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu berhenti di bawah pohon. Dia tenggelam ke dalam keasyikan memancing ikan.

Pengail itu memakai caping lebar akan tetapi sedikit bagian mukanya kelihatan dan ternyata dia adalah seorang laki laki yang sudah tua. Thian Liong, dan Pek Hong Nio-cu tidak memperdulikan kakek itu yang dari bentuk capingnya dapat diduga bahwa dia tentu seorang bersuku bangsa Hui.

"Aku harus menjawab bagaimana, Pek Hong Nio-cu? Aku tadi memang sedang melamun. Panasnya sinar matahari dan kuda kita yang berjalan perlahan membuat aku mengantuk lalu melamun."

"Hemm, melamun sambil cengar-cengir, tersenyum dan menghela napas. Apa saja sih yang kaulamunkan?"

Tentu saja Thian Liong merasa malu untuk menceritakan bahwa tadi dia melamun, membayangkan gadis-gadis yang pernah berurusan dengannya! "Ah, aku melamun tentang masa laluku sampai saat ini."

"Kenapa senyum-senyum dan menghela napas segala? Seperti orang bergembira kemudian bersedih!" desak puteri itu.

"Aku bergembira ketika teringat ketika aku masih kanak-kanak lalu bersedih kalau mengingat keadaanku sekarang, mengejar pencuri kitab yang tidak kuketahui namanya dan kuketahui tempat tinggalnya. Kitab itu harus kudapatkan kembali untuk kuserahkan kepada yang berhak di Kun-lun-pai, kalau tidak berarti aku gagal melaksanakan perintah suhu."

Pek Hong Nio-cu menatap wajah pemuda itu penuh perhatian. Agaknya hatinya tertarik sekali.

"Souw Thian Liong, maukah engkau menceritakan rlwayatmu ketika engkau masih kecil, tentang orang tuamu, tentang gurumu? Aku sudah lama mendengar tentang Tiong Lee Cin-jin yang sangat terkenal sebagai seorang yang sakti berilmu tinggi, juga yang dikenal sebagai Tabib Dewa, suka menolong siapa saja tanpa pilih bulu. Bahkan semua keluarga ayahku di istana mengenal nama itu dan merasa kagum."

"Tidak ada apa-apa yang menarik tentang diriku, Nio-cu. Aku seorang anak desa yang tlnggal di sebuah dusun kecil di lereng Mao-mao-san. Ketika berusia lima tahun, ayah ibuku meninggal dunia karena wabah penyakit perut yang mengamuk di dusun kami."

"Aduh, kasihan sekali engkau, Thian Liong. Dalam usia lima tahun sudah piatu, ditinggal mati ayah ibu," kata Pek Hong Nio-cu sambil memandang wajah Thian Liong dengan iba.

"Aku hidup berdua dengan nenekku dan setelah berusia sepuluh tahun aku bekerja kepada Lurah Coa di dusun kami. Pekerjaanku menggembala kerbau."

Pek Hong Nio-cu tersenyum lebar.

"Ah, aku teringat akan dongeng Ibuku. Ketika aku masih kecil ibu mendongeng tentang seorang pemuda penggembala kerbau yang dengan tiupan sulingnya menarik perhatian seorang bidadari sehingga bidadari turun dari langit kemudian menjadi isteri si penggembala kerbau."

Thian Liong tertawa.

"Ha-ha, kalau meniup suling akupun bisa, akan tetapi mana mungkin ada bidadari memperhatikan aku?"

"Hemm, siapa tahu? Engkau juga seorang penggembala kerbau yang istimewa, Thian Liong. Lanjutkan ceritamu yang menarik sekali itu."

Thian. Liong merasa heran. Bagaimana kisah tentang seorang penggembala kerbau saja menarik hati gadis ini? Akan tetapi segera dia teringat bahwa gadis ini adalah seorang puteri raja, tentu saja tertarik mendengar akan kehidupan seorang penggembala seperti juga seorang penggembala akan tertarik mendengar akan kehidupan seorang puteri raja. Setiap orang selalu tertarik akan hal yang baru, akan hal yang tak pernah dialaminya atau keadaan yang berlawanan dengan keadaannya sendiri.

"Ketika aku berusia sepuluh tahun, pada suatu hari aku menggembala kerbau dan kebetulan aku bertemu dengan suhu Tiong Lee Cin-jin. Nenekku yang sudah berusia delapanpuluh tahun, meninggal dunia dan aku lalu ikut dan menjadi murid suhu. Selama sepuluh tahun aku mempelajari ilmu dari suhu. Kemudian, setahun lebih yang lalu, suhu menyuruh aku turun gunung dan aku diberi tugas untuk menyerahkan kitab-kitab kepada Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai. Sayang sekali, kitab untuk Kun-lun-pai itu dicuri gadis baju merah yang kini sedang kucari itu. Nah, itulah riwayatku, Nio-cu. Sekarang akupun ingin mendengar riwayat seorang puteri raja, kalau saja engkau tidak keberatan untuk menceritakan kepada seorang penggembala kerbau."

Pek Hong Nio-cu tertawa.

"Heh-heh, engkau membalas atau menagih? Riwayatku ketika masih kecil lebih tidak menarik lagi. Aku hidup di dalam istana, serba tertutup, tidak bebas seperti engkau. Ke mana-mana dikawal, sungguh menyebalkan. Akan tetapi untung bagiku, ayahku memberi kebebasan kepadaku setelah aku remaja, bahkan mengijinkan aku mempelajari segala macam ketangkasan. Menunggang kuda sudah bisa kulakukan sejak aku berusia lima tahun. Akan tetapi masih kalah olehmu. Engkau berani menunggang kerbau sejak kecil, sedangkan aku, sampai sekarangpun nanti dulu kalau disuruh menunggang kerbau!"

"Siapakah yang mengajarimu ilmu silat sehingga engkau kini memiliki kepandaian yang tinggi?"



"Guruku banyak sekali. Jagoan istana yang mana saja tentu akan mengajarkan ilmu silatnya kepadaku kalau aku memberitahu ayah. Ayah yang memerintahkan mereka untuk mengajariku dengan baik."

"Wah, agaknya engkau seorang anak yang manja dan nakal!" kata Thian Liong sambil tertawa.

Pek Hong Nio-cu juga tertawa dan bukan main manisnya kalau puteri ini tertawa. Tawanya bebas sehingga tampak deretan giginya yang putih rapi seperti mutiara dan lidahnya yang kecil merah sehat.

"Memang aku dimanja olah ayahku akan tetapi aku tidak nakal!" katanya.

"Dan guruku yang terakhir malah belum pernah berhadapan muka dan belum pernah bicara dengan aku, sungguhpun aku pernah melihatnya satu kali."

"Lho, bagaimana mungkin? Lalu bagaimana dia kauanggap sebagai gurumu dan bagaimana pula caramu mempelajari ilmunya?" tanya Thian Liong heran.

"Begini ceritanya. Pada suatu waktu, aku melihat ibu....... bicara dengan seorang laki-laki dalam taman. Aku tidak berani mengganggu dan ketika aku bertanya kepada ibu, ibu hanya menceritakan bahwa laki-laki itu adalah seorang sahabat lama dan aku disuruh menyebutnya paman Sie. Paman Sie itu menurut ibuku, menjadi guruku juga karena dia telah memberikan tiga buah kitab pelajaran silat seperti yang pernah kuperlihatkan padamu dan sebuah perhiasan rambut yang kupakai ini." Pek Hong Nio-cu meraba perhiasan rambut berbentuk burung Hong yang berada di kepalanya.

"Hemm, jadi karena engkau memakai perhiasan itu maka engkau mendapat julukan Pek Hong Nio-cu (Nona Burung Hong Putih?"

"Kira-kira begitulah, akan tetapi ibuku memesan agar aku merahasiakan dari siapa juga tentang kunjungan Paman Sie itu. Bahkan kepada ayahpun aku tidak menceritakannya."

"Akan tetapi kenapa kepadaku engkau menceritakan?"

"Ah, entahlah. Aku percaya padamu, Thian Liong. Dan pula, aku kira ibuku melarang aku bercerita karena ibuku adalah seorang wanita berbangsa Han dan agaknya Paman Sie itu juga berbangsa Han. Aku tidak menceritakan kepada seorangpun dari bangsa Nuchen (Kin) dan aku hanya bercerita kepadamu karena engkau adalah seorang pemuda Han juga dan aku percaya sepenuhnya kepadamu."

"Terima kasih, Nio-cu. Apakah semenjak itu engkau tidak pernah bertemu atau melihat Paman Sie itu?"

"Tidak pernah. Aku amat berterima kasih kepadanya karena setelah aku mempelajari ilmu-ilmu dari kitabnya, aku memperoleh kemajuan pesat. Aku ingin sekali bertemu dan menghaturkan terima kasih kepadanya, akan tetapi aku tidak tahu di mana dia. Bahkan ketika aku bertanya kepada ibu, Ibu juga tidak mengetahuinya dan hanya mengatakan bahwa Paman Sie adalah seorang perantau besar."

"Tiga buah kitab pelajaran ilmu silat itu memang mengandung pelajaran ilmu silat yang amat hebat, Nio-cu. Paman Sie itu tentu seorang yang berilmu tinggi. Oya, kalau Ibumu seorang wanita Han, siapakah namanya?"

"Namanya Tan Siang Lin. Nama yang bagus, bukan? Dan engkau nanti setelah berhasil menemukan gadis pencuri kitab dan merampasnya lalu mengembalikan kepada Kun-lun-pai, lalu apa selanjutnya yang akan kaulakukan, Thian Liong?"

"Suhuku masih memberi sebuah tugas lain yang tidak kalah pentingnya. Aku harus membantu para pendekar yang berusaha menyelamatkan Kerajaan Sung dari cengkeraman kekuasaan Perdana Menteri Chin Kui."

Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnya.

"Ah, aku tahu siapa itu Perdana Menteri Chin Kui. Dia banyak membantu Kerajaan Kin, akan tetapi ibuku seringkali bilang bahwa Perdana Menteri Chin Kui dari Kerajaan Sung itu adalah seorang pengkhianat besar dan seorang jahat. Bahkan akhir-akhir ini ayahku, Raja Kerajaan Kin, juga mengecamnya dan pernah bilang kepadaku bahwa Chin Kui adalah seekor ular kepala dua yang berbahaya dan tidak boleh dipercaya. Sebagai perantara hubungan Kerajaan Kin dan Kerajaan Sung, Chin Kui itu sering kali menjegal dan telah ketahuan bahwa dia juga mencuri sebagian dari hadiah-hadiah yang dikirimkan oleh Raja Sung untuk Raja Kin. Maka, sekarang ayahku mulai tidak percaya dan merenggangkan hubungannya dengan pembesar Chin Kui itu."

"Wah, agaknya engkau mengerti banyak tentang keadaan politik kerajaan Kin, Nio-cu!" kata Thian Liong sambil memandang kagum. Ternyata gadis ini memiliki banyak kemampuan dan pengetahuan yang mengejutkan. Biasanya wanita jarang ada yang mau tahu tentang pemerintahan.

"Tentu saja, Thian Liong. Akupun bertanggung jawab atas keselamatan pemerintahan Kerajaan Kin yang dipimpin ayah, bukan? Malah diam-diam akupun melakukan penyelidikan dan selalu menentang dan memberantas para pembesar Kin yang lalim, tidak jujur dan tidak setia. Aku tahu pula bahwa diam-diam ada persekutuan di kota raja dan aku mendengar bahwa persekutuan untuk memberontak itu dibantu pula oleh pembesar Chin Kui dari Kerajaan Sung."

"Ah, begitukah?"

"Karena itulah aku sekarang pergi ke barat untuk mengunjungi Paman Pangeran Kuang yang menjadi panglima yang memimpin bala tentara yang menjaga perbatasan. Aku akan menceritakan semua itu kepada Paman Pangeran Kuang karena dia adalah seorang ahli yang setia kepada ayah dan menjadi komandan pasukan besar dan kuat. Dia tentu akan datang ke kota raja membawa pasukannya untuk menghancurkan komplotan pemberontak itu."

"Siapakah yang memimpin persekutuan untuk memberontak, Nio-cu?" Thian Liong merasa heran. Ternyata Kerajaan Kin yang merupakan kerajaan bangsa Nu-chen yang menjajah dan terkenal kuat itupun keadaannya sama saja dengan kerajaan Sung yang karena penyerangan bangsa Nuchen terpaksa pindah ke sebelah selatan Sungai Yang-ce, yaitu ada saja orang-orang yang berkhianat.

"Atau, barangkali aku tidak boleh mengetahui?"

"Ah, aku percaya padamu, Thian Liong. Engkaupun tadi sudah bicara blak blakan tentang Perdana Menteri Chin Kui kepadaku. Penggerak persekutuan pemberontak itu adalah seorang pangeran juga, jadi masih pamanku sendiri, paman tiri. Dia bernama Pangeran Hiu Kit Bong. Akan tetapi karena belum mendapatkan bukti bahwa dia akan memberontak dan menyusun kekuatan secara diam-diam, bahkan mungkin sekali mengadakan persekutuan dengan Chin Kui, maka aku tidak dapat berbuat sesuatu. Melapor kepada ayahpun pasti tidak akan dipercaya kalau tidak ada buktinya. Karena itu, jalan satu-satunya adalah menceritakan kepada Paman Pangeran Kuang yang tentu akan dapat membasmi para pemberontak."

"Hemm, kalau ada kesempatan, aku siap untuk membantumu, Nio-cu," kata Thian Liong.

Pek Hong Nio-cu menatap wajah Thian Liong, seolah ingin menjenguk isi hati pemuda itu.

"Akan tetapi, Thian Liong, engkau seorang pemuda berbangsa Han!"

"Hemm, kalau begitu, kenapa Nio-cu?"

"Bagaimana engkau akan membela kepentingan kerajaan Kin? Bukankah kerajaan Kin telah menyebabkan kerajaan Sung mengungsi ke selatan? Apakah engkau tidak mendendam kepada bangsa Nuchen yang mendirikan kerajaan Kin yang menjajah tanah airmu?"

Thian Liong merasa heran. Bagaimana puteri raja Kin dapat berkata begitu ke-padanya? Ini tentu pengaruh ibu puteri itu, yang juga seorang wanita berbangsa pribumi Han.

"Suhu mengajarkan kepadaku agar aku tidak mencampuri urusan antara kerajaan Kin dan kerajaan Sung. Menurut suhu, yang terpenting adalah menyejahterakan kehidupan rakyat, melenyapkan kejahatan dan kebodohan. Karena kalau rakyat hidup sejahtera dan kejahatan dapat dlbasmi atau setidaknya dikurangi, maka negara akan menjadi kuat. Kalau para pejabat melakukan tugasnya dengan jujur dan setia, mementingkan kebutuhan rakyat jelata, maka rakyat pasti akan mendukung pemerintah dan pemerintah menjadi kuat. Kalau terjadi sebaliknya, yaitu kalau para pejabat saling berebutan kekuasaan dan harta benda, tanpa memperdulikan rakyat bahkan menindas rakyat, pasti pemerintah yang tidak didukung rakyat akan menjadi lemah dan mudah dikalahkan musuh, seperti halnya kerajaan Sung dahulu. Mengingat akan ajaran suhu itu, aku tidak mau mendendam kepada kerajaan Kin, bahkan aku siap membantu selama kerajaan Kin mempunyai pemeritahan yang baik dan yang memperhatikan kepentingan rakyat jelata."

"Bagus! Akupun berpendirian seperti engkau, Thian Liong. Apalagi aku mempunyai darah campuran, ayahku orang Nuchen dan ibuku orang Han. Kalau engkau mau membantu aku menentang pemberontak di kerajaan Kin, kelak aku pasti akan membantumu untuk menentang kekuasaan Chin Kui yang berkhianat terhadap kerajaan Sung."

Tiba-tiba terdengar suara derap kaki banyak kuda. Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu duduk dengan tetap tenang dan memandang ke arah rombongan berkuda yang mengakibatkan debu mengepul itu. Akan tetapi ketika rombongan itu tiba di dekat mereka, terdengar seruan nyaring.

"Berhenti......!!"

Pek Hong Nio-cu dan Thian Liong masih duduk dengan tenang walaupun kini mereka memandang kepada rombongan itu dengan penuh perhatian. Mereka melihat bahwa mereka semua terdiri dari sekitar tigapuluh orang akan tetapi tidak dapat dilihat jelas wajah mereka karena debu mengepul dan banyak di antara mereka yang wajahnya tertutup debu seperti dibedaki.

Akan tetapi melihat pakaian seragam pasukan itu, Pek Hong Nio-cu mengenal mereka sebagai pasukan kerajaan Kin. Maka ia cepat bangkit dan melangkah maju menghadapi mereka.

Kembali terdengar aba-aba dan semua perajurit berlompatan turun dari atas kuda mereka. Beberapa orang di antara mereka yang bertugas mengatur kuda segera mengumpulkan kuda-kuda itu agak menjauh dan menambatkannya pada pohon pohon.

Lima orang jagoan yang memimpin pasukan itu cepat maju dan berhadapan dengan Pek Hong Nio-cu. Tentu saja puteri ini segera mengenal mereka karena dahulu, ketika ia masih remaja dan lima orang itu masih menjadi pengawal-pengawal pribadi Raja Kin, ia pernah juga menerima pelajaran silat dari mereka. Akan tetapi kemudian lima orang ini melakukan pelanggaran dan dikeluarkan dari istana. Maka, tentu saja Pek Hong Nio-cu tidak lagi menganggap mereka sebagai guru, bahkan memandang mereka sebagai orang-orang yang jahat dan khianat.

Dengan alis berkerut Pek Hong Nio-cu memandang lima orang yang berdiri dengan sikap sungkan itu, lalu ia menegur mereka.

"Mau apa kalian datang ke sini? Hayo pergi dan jangan mengganggu aku!"

Bagaimanapun juga, Puteri Moguhai amat terkenal dan disegani segenap orang di kerajaan Kin. Ia memiliki wibawa yang amat kuat sehingga ketika puteri itu membentak mereka, lima orang jagoan itu menjadi gentar dan mereka saling pandang, menjadi salah tingkah.

Con Gu mewakili rekan-rekannya berkata kepada Pek Hong Nio-cu setelah membungkuk dalam-dalam.

"Harap paduka maafkan kami kalau kami mengganggu. Kami melaksanakan perintah Sri baginda Kaisar untuk mengajak paduka pulang ke kotaraja."

Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnya.

"Kenapa aku harus pulang? Apa yang terjadi di istana?" terkandung kekhawatiran dalam suaranya.

"Kami tidak tahu, tugas kami hanya mengajak paduka segera kembali ke kota raja," kata Con Gu.

Pek Hong Nio-cu adalah seorang gadis yang cerdik. Ia berpikir, kalau ayahnya memanggilnya puIang, tidak mungkin ayahnya mengutus lima orang ini. Apa lagi pasukan itu bukan pasukan pengawal istana karena ia tidak mengenal mereka. Ada sesuatu yang ganjil di sini, sesuatu yang agaknya tidak beres.

"Kalau Sribaginda memanggil aku pulang dan memerintahkan kalian menjemputku, perlihatkan padaku surat perintahnya!" katanya sambil menatap tajam wajah Con Gu.

Con Gu menjadi salah tingkah dan kembali dia saling pandang dengan empat orang rekannya dan tampak bingung.

"Akan tetapi......" Dia berkata gagap.

"Tidak ada tapi, cepat keluarkan surat perintah Sribaginda Kaisar!" bentak Pek Hong Nio-cu sambil menghunus pedang bengkok dari emas yang menjadi tanda kekuasaannya sebagai wakil Kaisar itu.

Con Gu menjadi semakin bingung. Akan tetapi tiba-tiba Koi Cu, orang kedua dari lima jagoan itu, yang lebih tabah, berkata,

"Surat perintahnya berada di tangan Pangeran Hiu Kit Bong dan kami menerima perintah dari beliau. Harap paduka menurut dan ikut saja dengan kami!"

Wajah Pek Hong Nio-cu yang putih itu kini berubah kemerahan, sinar matanya menyambar penuh kemarahan.

"Keparat! Kalian tidak melihat pedang kekuasaan ini? Aku tidak mau pulang bersama kalian, habis kalian mau apa?"

Melihat keberanian Koi Cu tadi, kini Con Gu pulih kembali ketabahannya dan dia berkata,

"Kalau paduka menolak, terpaksa kami menggunakan kekerasan."

"Berani kalian melawan aku yang membawa pedang kekuasaan ini? Berarti kalian berani melawan Sribaginda Kaisar, berarti kalian pengkhianat dan pemberontak!"

"Kami hanya melaksanakan perintah Pangeran Hiu Kit Bong!" kata Con Gu.

"Kalau begitu paman Pangeran Hiu Kit Bong itu yang hendak memberontak! Aku tetap tidak mau ikut kalian pulang. Hendak kulihat kalian dapat berbuat apa terhadapku!" Pek Hong Nio-cu membentak marah.

"Kalau begitu, terpaksa kami akan menangkap paduka!" Con Gu berkata dan dia memberi isyarat.

Dua losin perajurit itu lalu bergerak mengepung kanan kiri dan depan Pek Hong Nio-cu dan Thian Liong yang masih duduk. Di belakang kedua orang muda ini adalah sungai sehingga mereka tidak mendapatkan jalan keluar, sudah terkepung rapat. Thian Liong lalu melompat dan berdiri di sisi Pek Hong Nio-cu. Tadi dia diam saja karena tidak ingin mencampuri Pek Hong Nio-cu yang bicara dengan pimpinan pasukan kerajaan Kin dan dia merupakan orang luar. Akan tetapi melihat perkembangannya, mau tidak mau harus mencampurinya.

"Hei, apakah kalian berlima ini tidak malu? Yang hendak kalian lawan ini adalah puteri Sri Baginda Kaisar kerajaan Kin, junjungan kalian sendiri! Berarti kalian ini terang-terangan menjadi pengkhianat dan pemberontak!" kata Thian Liong sambil memandang tajam mereka berlima.

Tiba-tiba dari belakang pasukan itu menerobos seorang pemuda yang pakaiannya menunjukkan bahwa dia bukan anggauta pasukan.

"Souw Thian Liong, engkau harus kutangkap untuk menerima pengadilan di depan para ketua Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai!" bentak pemuda itu yang bukan lain adalah Cia Song yang tadi memang bersembunyi di belakang pasukan.

Melihat pemuda itu, Thian Liong terbelalak kaget dan heran bukan main.

"Cia-suheng (kakak seperguruan Cia)! Engkau di sini, bersama pasukan pengkhianat ini? Apa artinya ini, suheng?"

"Tak usah engkau mengurus hal itu. Menyerahlah engkau untuk kubawa menghadap para ketua Siauw-lim-pai dan Kun lun-pai untuk mempertanggung-jawabkan perbuatanmu!"

"Perbuatan apakah itu, Cia-suheng?" Thian Liong bertanya, heran dan penasaran.
"Jangan pura-pura bertanya! Menyerah saja dan engkau akan diadili!"

Pek Hong Nio-cu berseru keras,

"Ah, sekarang aku tahu, Thian Liong. Orang yang kausebut suhengmu ini tentulah utusan Perdana Menteri Chin Kui untuk menghubungi pengkhianat Pangeran Hiu Kit Bong itu!"

Thian Liong terbelalak memandang kepada Cia Song.

"Ah! Benarkah engkau menjadi anak buah Perdana Menteri Chin Kui dan bersekutu dengan pangeran yang memberontak di kerajaan Kin? Cia-suheng, bagaimana engkau bisa......."

"Tangkap mereka! Keroyok pemuda itu, biar aku yang menangkap Pek Hong Nio-cu!" kata Cia Song dan dia sudah menerjang maju, menyerang Pek Hong Nio-cu dengan pedang beronce merah yang dia cabut dari punggungnya.

"Tranggg......!" Pek Hong Nio-cu menangkis dan keduanya merasa betapa tangan mereka tergetar, menunjukkan bahwa mereka memiliki tenaga sin-kang yang tidak berselisih jauh kekuatannya.

Sementara itu, lima orang jagoan Kin itu sudah membentuk Ngo-heng Kiam-tin mengeroyok Thian Liong. Melihat hebatnya barisan pedang itu, yang masing masing anggautanya menggerakkan pedang samurai dengan dahsyat sekali, Thian Liong juga mencabut Thian-liong-kiam dan memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya dari serangan yang datangnya bertubi-tubi dari lima jurusan itu.

Thian Liong maklum bahwa dia menghadapi orang-orangnya para pengkhianat, baik pengkhianat kerajaan Sung maupun pengkhianat kerajaan Kin dan pasti mereka itu tidak mempunyai niat baik terhadap Pek Hong Nio-cu. Akan tetapi dia merasa heran sekali mengapa Cia Song yang sama sekali tidak diduganya telah menjadi antek Chin Kui dan bersekongkol dangan pengkhianat kerajaan Kin kini hendak menangkapnya untuk dihadapkan kepada para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai untuk diadili! Apa yang terjadi? Dia tidak melakukan sesuatu kesalahan terhadap dua perkumpulan besar itu! Karena merasa penasaran, Thian Liong lalu mengamuk.

Thian-liong-kiam di tangannya berubah menjadi sinar bergulung-gulung sehingga Ngo-heng Kiam tin itupun tidak mampu mendesaknya dan serangan mereka selalu terpental apabila bertemu dengan sinar pedang itu. Akan tetapi Thian Liong juga mendapat kenyataan bahwa barisan pedang yang terdiri dari lima orang itu tak boleh dipandang ringan. Kerja sama mereka rapi sekali, saling melindungi dan saling memperkuat daya serang sehingga dia harus berhati-hati.

Sementara itu, Pek Hong Nio-cu menjadi marah sekali ketika Cia Song berkata dengan suara merayu,

"Ah, puteri jelita, sebaiknya engkau menyerah saja daripada kulitmu yang putih mulus itu menjadi lecet. Sayang kalau engkau sampai terluka, manis."

"Singgg......!" Itulah jawaban Pek Hong Nio-cu. Pedangnya menyambar dahsyat sehingga Cia Song menjadi terkejut sekali dan dia harus cepat mengelak sambil menggerakkan pedangnya menangkis.

"Cringgg......!" Akan tetapi begitu tertangkis, pedang di tangan Pek Hong Nio cu itu telah menyambar lagi, sekali ini dengan babatan seperti kilat menyambar ke arah leher lawan!

Cia Song kembali harus melompat ke belakang untuk menghindarkan diri, kemudian mau tidak mau dia membalas dengan serangannya karena tak mungkin melawan gadis ini hanya dengan bertahan saja. Pek Hong Nio-cu terlalu tangguh untuk dilawan dengan seenaknya. Dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmunya untuk dapat mengimbangi gadis bangsawan itu. Bahkan ketika dia mencoba untuk mempergunakan ilmu sihirnya, mengeluarkan bentakan dengan suara yang mengandung sihir dan dayanya melumpuhkan, Pek Hong Nio-cu sama sekali tidak terpengaruh. Hal ini adalah karena dara itu juga telah menghimpun tenaga sakti yang kuat sehingga dapat menolak pengaruh sihir lawan.

Melihat betapa tidak mudah baginya untuk mengalahkan Pek Hong Nio-cu, apalagi menangkapnya, dan melihat pula sekelebatan betapa keadaan Ngo-heng Kiam-tin juga tidak lebih baik karena mereka itu agaknya bahkan kewalahan menghadapi gulungan sinar pedang Thian Liong, Cia Song lalu berseru kepada pasukan yang terdiri dari dua losin perajurit itu.

"Pasukan bergerak, serbu......!!"

Dua losin perajurit itu bergerak, terpecah menjadi dua bagian. Selosin perajurit mengeroyok Thian Liong dan yang selosin lagi mengeroyok Pek Hong Nio-cu.

Pek Hong Nio-cu yang mendapatkan lawan seimbang, bahkan merasa betapa Cia Song merupakan lawan yang amat tangguh, menjadi marah sekali ketika selosin orang perajurit itu membantu Cia Song mengeroyoknya. Ia berseru melengking dan pedangnya yang membentuk sinar keemasan itu menyambar-nyambar.

Dua orang perajurit mengaduh dan terpelanting roboh. Melihat ini, Cia Song memperhebat desakannya dan para perajurit yang mengeroyok mulai khawatir. Mereka adalah perajurit pilihan, namun dalam beberapa jurus saja gadis itu telah mampu merobohkan dua orang!

Thian Liong juga mempercepat gerakan pedangnya setelah selosin orang perajurit ikut mengeroyok. Menghadapi Ngo heng Kiam-tin dia masih dapat mengatasi mereka, akan tetapi sebelum dapat merobohkan lima orang samurai itu, kini maju selosin perajurit mengeroyoknya. Maka dia segera menerjang dan tiga orang perajurit roboh oleh sambaran sinar pedangnya.

Tiba-tiba Cia Song mengeluarkan aba aba. Memang dialah sebenarnya yang menjadi pemimpin pasukan itu dan Ngo heng Kiam-tin hanya menjadi pembantu-pembantunya. Setelah dia mengeluarkan aba-aba, sisa perajurit yang masih sembilanbelas orang itu segera mengeluarkan jaring yang memang sudah dlpersiapkan dan mereka adalah perajurit-perajurit yang terlatih menggunakan senjata istimewa ini. Begitu mereka menyerang maka jaring-jaring ditebarkan ke arah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu! Dua orang muda itu mengelak ke sana-sini dan menggunakan pedang untuk menangkis dan merobek jaring yang menyambar. Akan tetapi mereka terkejut karena ternyata jaring-jaring itu terbuat dari tali istimewa yang tidak mudah dirusak senjata tajam!



KISAH SI NAGA LANGIT JILID 18
Akhirnya tubuh Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu tertangkap jaring! Thian Liong mengerahkan tenaga saktinya, meronta dan menggerakkan pedangnya. Dua orang yang berhasil menangkapnya dengan jaring dan memegangi tali jaring itu, disambar sinar pedangnya yang mencuat keluar dari jaring. Dua orang ftu terpelanting roboh. Thian Liong meronta keluar dari selimutan jaring-jaring itu.

Dia melihat betapa Pek Hong Nio-cu juga tertangkap oleh dua jaring dan dara itu meronta-ronta, mengamuk dengan pedangnya namun tidak dapat melepaskan dirinya. Melihat ini, Thian Liong mengeluarkan pekik melengking dan getaran suara pekik yang amat lantang ini membuat pengeroyok mundur beberapa langkah. Dia lalu melompat mendekati Pek Hong Nio-cu. Pedangnya digerakkan menangkis sambaran pedang Cia Song.

'Tranggg......!" Bunga api berpijar dan Cia Song terpental mundur beberapa langkah. Biarpun tubuhnya sudah diselimuti jaring, namun Pek Hong Nio-cu masih dapat melindungi dirinya dengan pedangnya yang dapat keluar dari sela-sela tali jaring. Thian Liong mendesak maju dan begitu pedangnya berkelebat, dua orang perejurit yang menangkap Pek Hong Nio-cu dengan jaring mereka terpelanting roboh. Thian Liong cepat membuka tali jaring dan menyambar tangan Pek Hong Nio-cu. Keadaannya terlalu berbahaya setelah para perajurit mempergunakan senjata jaring itu.

"Kita pergi!" katanya dan dia mengajak Pek Hong Niocu melompat ke tepi sungai lalu sekali menggerakkan kaki, mereka berdua melompat ke atas perahu di mana kakek tadi masih memegang tangkai pancingnya dengan tenang seolah tidak mendengar atau melihat adanya pertandingan di dekat sungai. Dengan ginkangnya yang tinggi, Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu dapat hinggap di atas perahu pengail ikan itu tanpa mengakibatkan perahu itu oleng terlalu kuat.

"Maafkan, paman. Kami menumpang di perahumu......" kata Thian Liong.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika pengail ikan yang tua itu tiba-tiba saja menggerakkan kedua tangannya mendorong ke depan, ke arah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu. Dorongan itu mendatangkan angin yang dahsyat. Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu berusaha menangkis, namun karena mereka berdiri di atas perahu yang kecil, maka tak dapat dihindarkan lagi tubuh mereka terdorong dan keduanya terjengkang dan terjatuh ke dalam air!

Mereka memang tidak sampai terluka oleh serangan pukulan jarak jauh, akan tetapi mereka terjatuh ke dalam air yang dalam. Keduanya hanya dapat berenang sekadar tidak tenggelam saja. Akan tetapi ketika mereka berusaha berenang, para perajurit berloncatan ke dalam air dan tak lama kemudian, Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu merasa betapa kaki mereka dipegang orang dari bawah dan tubuh mereka diseret ke dalam air!

Tentu saja mereka terkejut bukan main dan berusaha melepaskan kaki mereka yang dipegang orang. Akan tetapi, kini yang memegangi kaki mereka bertambah banyak. Di darat boleh jadi mereka merupakan orang-orang yang amat lihai. Akan tetapi dalam air, mereka tak mampu berbuat banyak karena melawan air agar tidak tenggelam saja sudah membutuhkan sebagian besar tenaga mereka. Karena itu, ketika kaki mereka dipegang banyak orang yang memang merupakan pakar dalam air, mereka tidak berdaya. Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu berusaha untuk menahan napas, namun mereka menjadi lemas dan akhirnya tak dapat meronta lagi dan mereka berdua dibelit-belit tali yang kuat lalu dinaikkan ke darat dalam keadaan setengah pingsan!

Karena Cia Song tidak menghendaki mereka mati, maka dia lalu memerintahkan para perajurit yang ahli dalam menolong orang yang hanyut dalam air untuk menyelamatkan dua orang tawanan itu. Tubuh Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu ditelungkupkan dan banyak air yang tertelan dapat dikeluarkan melalui mulut. Akhirnya kedua orang tawanan itu sadar betul.

Thian Liong melihat bahwa dia dan Pek Hong Nio-cu sudah terbelenggu kaki tangan mereka, bahkan tubuh mereka tidak dapat digerakkan karena agaknya telah ditotok secara lihai sekali. Dia menduga bahwa yang menotok jalan darah mereka tentulah Cia Song. Dia tidak berkata apa-apa hanya memandang mereka yang berdiri menghadapinya. Dia melihat lima orang yang membentuk Ngo-heng Kilam-tin yang tadi mengeroyoknya dan di samping mereka berdiri Cia Song yang memandang kepada Pek Hong Nio-cu dengan mulut menyeringai.

Dan di sebelah murid Siauw-lim-pai yang menjadi antek Chin Kui dan bersekongkol dengan para pengkhianat kerajaan Kin itu berdiri seorang kakek yang bukan lain adalah tukang pancing tadi! Kiranya kakek tukang pancing itu merupakan seorang di antara mereka, bahkan yang mengejutkan hati Thian Liong adalah ketika Cia Song bicara kepada kakek itu dan menyebutnya suhu. Jadi, di samping menjadi murid Siauw-lim-pai, diam-diam Cia Song telah berguru kepada kakek ini yang belum dia ketahui siapa orangnya.

"Suhu, sungguh kebetulan sekali suhu berada di sini. Teecu (murid) tadi sama sekali tidak mengenal suhu yang teecu kira seorang pemancing ikan biasa. Maafkan teecu dan terima kasih atas bantuan suhu sehingga mereka berdua ini dapat ditangkap," kata Cia Song yang membuat Thian Liong keheranan dan kini dia mengamati kakek itu.

Kakek yang memakai caping lebar itu sudah tua, kurang lebih delapanpuluh tahun usianya. Tubuhnya tinggi kurus dan sikapnya lemah lembut. Dia memegang sebatang tongkat bambu.

Kakek itu tertawa lirih.

"Heh-heh, memang akhir-akhir ini aku sedang suka hidup di atas perahu dan setiap hari memancing ikan. Cia Song, aku dengar tadi semua pembicaraan. Jadi Pek Hong Nio-cu yang namanya terkenal itu adalah puteri Kaisar kerajaan Kin? Bukan main! Dan pemuda ini, ilmu silatnya hebat sekali. Murid siapakah dia?"

"Suhu, dia itu Souw Thian Liong murid Tiong Lee Cin-jin," jawab Cia Song.

"Eh? Murid Tiong Lee Cin-jin? Kalau begitu mengapa tidak kau bunuh saja dia? Kalau dibiarkan hidup, kelak akan menjadi bahaya besar bagimu. Ilmu kepandaiannya lihai sekali, engkau tidak akan menang melawannya. Kalau tidak dibantu air sungai ini, mustahil engkau dapat menangkapnya." Kakek itu menggunakan tangan kiri mengelus jenggotnya yang tebal dan sudah berwarna putih.

"Tidak, suhu. Teecu akan membawanya menghadap para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai yang akan mengadili dan menghukumnya."

"Lalu apa yang hendak kaulakukan dengan puteri ini?" tanya pula kakek itu.

"Ia akan kami bawa kepada Pangeran Hiu Kit Bong untuk dijadikan sandera. Suhu, kalau suhu tidak ada urusan sesuatu, marilah suhu ikut dengan teecu. Sebaiknya kalau suhu membantu Pangeran Hiu Kit Bong agar kelak di hari tua suhu akan mendapatkan kemuliaan dan kehormatan."

"Ha-ha, baiklah, Cia Song. Akupun sudah mulai bosan memancing ikan setiap hari. Aku ikut denganmu," kata kakek itu lalu dia membuang pancing dan capingnya. Ternyata di bawah capingnya itu dia memakai sebuah sorban berwarna putih.

Pada saat itu Pek Hong Nio-cu baru sadar betul dan begitu ia sadar, ia lalu mencaci maki.

"Jahanam keparat kalian para pengkhianat! Kalau Sribaginda mendengar, kalian tentu akan mendapatkan hukuman siksa sampai mati! Dan kamu, tua bangka keparat, aku tahu siapa kamu! Kamu adalah Ali Ahmed, datuk bangsa Hui yang sudah terkenal jahat dan kejam. Engkau manusia terkutuk, sudah tua bangka mau mati masih tidak mencari jalan terang. Matimu tentu akan tersiksa dan engkau akan masuk neraka jahanam!"

Cia Song memerintah anak buahnya.

"Bawa kereta itu ke sini!"

Ternyata rombongan itu sudah mempersiapkan sebuah kereta untuk mengangkut kedua tawanan mereka. Setelah kereta yang ditarik dua ekor kuda itu datang, Cia Song berkata kepada Con Gu.

"Paman Con Gu, kau angkat Thian Liong dan aku yang mengangkat sang puteri, kita masukkan mereka dalam kereta. Dan suhu, teecu harap suka duduk dalam kereta agar tidak lelah dalam perjalanan dan sekalian suhu menjaga dua orang tawanan ini agar tidak sampai lolos."

"Hu-hu-ha-ha, baik, baik. Aku senang naik kereta," kata kakek itu yang bukan lain adalah Ali Ahmed yang sepuluh tahun lebih yang lalu pernah mencoba untuk merampok kitab-kitab dari Tiong Lee Cin-jin. Dia memang menjadi guru dari Cia Song selama beberapa tahun.

Thian Liong diangkut oleh Con Gu, dibantu oleh Koi Cu, dan memasukkan pemuda itu ke dalam kereta. Cia Song sendiri memondong tubuh Pek Hong Nio-cu dan dia sengaja mendekap tubuh yang lunak hangat itu kuat-kuat ke dadanya, membuat jantungnya berdebar keras dibakar gairah berahinya.

Pek Hong Nio-cu tidak dapat meronta karena seluruh tubuhnya, dari kaki sampai ke dada, dibelit tali dan kaki tangannya diborgol kuat-kuat. Hanya matanya yang memandang kepada Cia Song dengan kebencian yang meluap-luap. Melihat sinar mata ini, kuncup juga hati Cia Song dan dia mencoba mengambil hati.

"Pek Hong Nio-cu, kalau engkau bersikap manis kepadaku, aku jamin engkau akan diperlakukan dengan baik dan tidak akan ada yang berani mengganggumu."

"Siapa sudi mendengar ocehanmu!" kata sang puteri dengan marah.

Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu didudukan di dalam kereta, berdampingan menghadap ke belakang sedangkan Ali Ahmed duduk di bangku di depan mereka. Begitu duduk dan bersandar, kakek tua renta itu segera tertidur sambil memegang tongkat bambunya. Akan tetapi baik Thian Liong maupun Pek Hong Nio cu maklum bahwa kakek itu tidak kehilangan kewaspadaannya dan selalu memperhatikan gerak gerik mereka berdua.

"Nio-cu aku menyesal sekali bahwa engkau sampai menjadi tawanan seperti ini. Semua ini gara-gara orang yang selama ini kuanggap sebagai suhengku (kakak seperguruanku). Tidak tahunya dia seorang murid Siauw-lim-pai yang berkhianat, tidak saja terhadap Siauw-lim-pai, akan tetapi bahkan terhadap bangsa dan negara."

"Tidak usah menyesal, Thian Liong. Kalau ada yang menyesal, maka akulah orangnya. Kalau engkau tidak melakukan perjalanan bersama aku, engkau tentu tidak akan mengalami seperti sekarang ini."

"Hemm, aku masih tidak mengerti mengapa jahanam itu menangkap aku. Engkau...... tidak takut, Nio-cu?"

Dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya dan tidak berdaya seperti puteri yang gagah perkasa itu masih dapat tersenyum manis sekali.

"Takut? Bukankah engkau pernah rnengatakan bahwa hidup atau matinya seseorang itu berada di tangan Yang Maha Kuasa? Mengapa mesti takut? Kalau Yang Maha Kuasa menghendaki kita mati, siapa yang akan mampu mencegahnya, dan kalau Dia menghendaki kita hidup, siapa yang akan mampu membunuh kita?"

"Bagus! Engkau benar, Nio-cu. Akan tetapi, apakah engkau tidak putus harapan?"

"Mengapa putus harapan? Selama masih hidup, kita masih dapat berusaha untuk mengatasinya. Putus harapan berarti sudah menyerah sebelum berusaha. Aku tidak akan pernah putus harapan selagi masih hidup."

Thian Liong merasa kagum akan tetapi diam-diam dia merasa khawatir bukan main. Bukan khawatir kalau puteri itu akan dibunuh, melainkan khawatir akan bahaya yang lebih mengerikan daripada kematian itu sendiri. Cara Cia Song memandang sang puteri tadi, cara dia memondong dan mendekapnya yang sempat dilihatnya, membuat dia merasa khawatir sekali. Dia dapat merasakan betapa pemuda sesat itu memandang Pek Hong Nio-cu seperti seekor serigala memandang seekor kelinci!

Setelah rombongan itu berjalan sekitar dua jam mereka memasuki sebuah hutan yang cukup lebat. Akan tetapi terdapat sebuah jalan yang cukup lebar dalam hutan itu, jalan yang dibuat oleh pasukan kerajaan Kin untuk membuat hubungan dari daerah perbatasan sampai ke kota raja menjadi lancar. Juga para pedagang yang suka melakukan perjalanan dalam rombongan besar, yaitu dalam kafilah, membawa barang-barang dagangan dari timur ke barat dan sebaliknya, amat memerlukan jalan raya ini sehingga merekapun turun tangan mengeluarkan biaya untuk memperbaiki jalan itu sehingga kini jalan itu merupakan jalan yang cukup lebar dan nyaman.

Akan tetapi, baru kurang lebih satu lie (mil) rombongan pasukan yang dipimpin Cia Song itu memasuki hutan, tiba tiba saja terdengar suara berisik di depan dan mereka segera menahan kuda masing-masing. Kereta yang berada di tengah-tengah rombongan itupun dihentikan karena mereka semua melihat sebatang pohon besar tumbang menimbulkan suara berisik dan jatuh berdembum melintang dan menghalangi jalan!

Semua orang merasa heran dan mendekati pohon yang tumbang itu. Pohon itu besar dan cabangnya malang melintang memenuhi jalan. Bagi kuda-kuda tentu dapat mengambil jalan melalui pohon-pohon di tepi jalan, akan tetapi karena pohon-pohon itu berdekatan dan lebat sekali, juga banyak semak belukar, maka tidak mungkin bagi kereta untuk mendapatkan jalan lain kecuali jalan yang terhalang pohon roboh itu,

"Cepat singkirkan pohon itu!" Cia Song memberi perintah.

Para perajurit segera turun tangan dan beramai-ramai mereka memotongi batang pohon dan menariknya ke tepi jalan. Pekerjaan itu memakan waktu satu jam lebih, barulah kereta dapat lewat. Akan tetapi, baru saja kereta bergerak, belum ada duapuluh tombak jauhnya, kembali sebatang pohon di depan mereka roboh melintang di jalan!

Cia Song dan lima orang Ngo-heng Kiam-tin mulai curiga. Robohnya pohon pertama mereka anggap sebagai hal yang kebetulan saja karena mungkin batang pohon itu sudah keropos. Akan tetapi robohnya pohon kedua ini tak mungkin hanya kebetulan saja. Mereka berenam, juga para perajurit, memandang ke sekeliling. Akan tetapi tidak tampak bayangan seorangpun manusia lain di sekitar tempat itu.

Karena tidak dapat ditemukan orang lain yang mungkin menjadi penyebab tumbangnya pohon itu, terpaksa Cia Song kembali memerintahkan para perajurit untuk menyingkirkan pohon kedua yang roboh itu. Dia kini melihat hal yang membuat dia bergidik dan merasa seram. Kalau pohon pertama itu tumbang dan patah batangnya, pohon kedua ini tumbang dan jebol berikut akar-akarnya! Tenaga apa yang mampu merobohkan pohon sebesar itu sampai jebol berikut akarnya? Seekor gajahpun belum tentu mampu melakukannya!

Kembali waktu lebih dari satu jam dipergunakan untuk menyingkirkan pohon kedua. Akan tetapi baru saja pohon itu disingkirkan, terdengar lagi bunyi berisik dan pohon berikutnya di depan yang lebih besar lagi tumbang melintang di pinggir jalan!

Sekali ini Cia Song tidak merasa ragu lagi. Pasti ada yang merobohkan pohon pohon itu! Akan tetapi, kiranya tidak mungkin ada manusia yang sanggup merobohkannya. Dia cepat menghampiri kereta di mana gurunya masih duduk dan agaknya Ali Ahmed tidak begitu perduli akan robohnya dua batang pohon tadi.

Sementara itu, Thian Liong saling pandang dengan Pek Hong Nio-cu dan pemuda itu tersenyum, juga sang puteri tersenyum karena mereka berdua merasa yakin bahwa robohnya pohon-pohon secara berturut-turut itu bukan hal kebetulan dan jelas merupakan halangan bagi pasukan itu. Halangan bagi pasukan yang menawan mereka berarti harapan pertolongan bagi mereka.

"Suhu, pasti ada yang merobohkan pohon-pohon itu! Harap suhu suka keluar dan melakukan pemeriksaan," katanya.

Ali Ahmed yang tua lalu turun dan keluar dari kereta sambil ditopang oleh tongkat bambunya. Dia menggeleng kepalanya yang bersorban lalu berkata,

"Memang aneh. Kiranya sukar mencari orang yang kuat merobohkan pohon-pohon itu, dengan tenaga lahir maupun batin, kecuali......."

"Kecuali siapa, suhu?"

"Hemm, kecuali setan itu."

Mendengar ucapan datuk Hui ini, Cia Song dan lima orang Ngo-heng Kiam-tin merinding. Mereka adalah orang-orang yang percaya sekali akan setan-setan dan ketahyulan semacam itu seperti hampir semua orang pada umumnya di jaman itu. Mendengar ini, Cia Song segera menghadap ke arah depan, ke arah pohon yang tumbang lalu menjatuhkan diri berlutut.

"Paduka yang menjaga dan menguasai hutan, harap maafkan kami kalau melanggar wilayah paduka. Hamba berjanji akan mengirim orang untuk membakar dupa dan bersembahyang di sini kelak. Ijinkanlah kami melewati jalan ini!"

Lima orang Ngo-heng Kiam-tin, bahkan semua perajurit yang juga tahyul ikut pula berlutut di belakang Cia Song. Juga kusir kereta sudah turun dan berlutut menghadap ke arah pohon ke tiga yang tumbang. Hanya Ali Ahmed yang tidak berlutut. Dia berdiri, bertopang pada tongkat bambunya dan sepasang matanya yang masih tajam itu mencari-cari ke depan, kanan dan kiri. Ketika menyebut setan tadi, dia sama sekali tidak maksudkan hantu. Akan tetapi dia membiarkan saja muridnya dan para perajurit itu keliru menafsirkannya dan menyangka bahwa yang menumbangkan pohon-pohon benar-benar setan atau mahluk halus.

Setelah berlutut dan mengucapkan kata-kata minta maaf dan berjanji akan mengirim orang untuk menghormati "penguasa hutan" itu, Cia Song kembali menyuruh orang-orangnya untuk menyingkirkan pohon ketiga itu.

Akan tetapi tiba-tiba saja, mereka terkejut mendengar suara Pek Hong Nio-cu.

"Pengkhianat-pengkhianat jahanam!"

Cia Song dan teman-temannya memutar tubuh mereka dan alangkah kaget dan heran hati mereka melihat Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu sudah berdiri di atas tanah dan telah bebas dari semua belenggu. Bahkan yang membuat Cia Song terkejut sekali adalah ketika melihat betapa dua orang tawanan itu sudah memegang pedang masing-masing! Padahal, dia sudah merampas kedua pedang mereka itu dan menaruhnya di atas punggung kudanya, menyelipkan di sela kuda. Otomatis dia menoleh ke arah kudanya yang ditambatkan di tepi jalan dan melihat betapa pedang-pedang itu sudah tidak berada di sela kudanya!

Bukan hanya Cia Song dan semua temannya yang merasa heran. Bahkan Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu sendiri merasa terheran-heran. Tadi, ketika Ali Ahmed turun dari kereta, tiba-tiba saja mereka melihat sinar berkelebat menyambar ke dalam kereta dan tahu-tahu ikatan tangan mereka telah putus dan pedang mereka dilempar ke atas pangkuan mereka! Tentu saja dengan tangan bebas dan pedang di pangkuan mereka, dengan mudah mereka lalu membikin putus semua tali yang mengikat tubuh dan kaki mereka. Kemudian mereka turun dari kereta dengan pedang masing-masing di tangan, lalu Pek Hong Nio-cu mengeluarkan bentakan marah itu.

Dapat dibayangkan kagetnya hati Cia Song melihat betapa dua orang tawanan itu telah lolos bahkan telah memegang pedang mereka kembali. Dia segera berkata dengan gurunya.

"Suhu, harap suhu cepat robohkan mereka!"

Tadi ketika semua orang memutar tubuh, kakek itupun ikut memutar tubuh dan diapun merasa terkejut melihat dua orang tawanan itu sudah bebas dari belenggu. Diam-diam dia merasa gentar juga karena sejak pohon pertama tadi dia sudah mempunyai dugaan yang membuat hatinya merasa jerih. Kini, mendengar permintaan muridnya, dan juga untuk menyelamatkan diri sendiri mengandalkan bantuan banyak orang, dia lalu menudingkan tongkatnya ke arah dua orang muda itu. Tongkatnya terbuat dari Bambu Sisik Naga, semacam bambu yang bentuk kulitnya mirip sisik ikan atau naga. Mulutnya berkemak-kemik membaca mantra dan dia mengerahkan ilmu sihirnya.

"Bummm......!" Tampak asap hitam mengepul dan tiba-tiba saja tongkat itu terlepas dari tangannya, dan dalam pandangan semua orang, tongkat itu telah berubah menjadi seekor naga yang terbang melayang ke arah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu. Mengerikan sekali naga jadi-jadian itu. Matanya mencorong dan moncongnya terbuka lebar, lidahnya terjulur keluar dan mahluk itu menyemburkan api!

Akan tetapi tiba-tiba dari arah kiri, meluncur sebuah bola api sebesar tangan. Bola api itu tepat menghantam kepala naga jadi-jadian itu.

"Darrr""!" Naga itu terpental dan asap hitam mengepul tebal. Naga lenyap dan tongkat bambu sisik naga itu terlempar ke dekat Ali Ahmed.

Semua orang menengok ke kiri dan tampaklah seorang laki-laki berusia enampuluh tahun lebih, tubuhnya sedang, mengenakan pakaian yang hanya terdiri dari kain kuning dilibatkan di tubuhnya, memakai sepatu dari kain yang berlapis besi dan rambutnya diikat pita kuning. Matanya tajam, hidung mancung dan mulut penuh kesabaran. Wajah yang masih tampak tampan itu bulat telur dengan dagu agak runcing, bersih tanpa kumis atau jenggot.

Melihat laki-laki ini, Ali Ahmed marah sekali. Dia lalu berkemak-kemik membaca mantra lalu kedua tangannya didorongkan ke depan. Asap hitam bergulung-gulung menyambar ke arah laki laki itu, membawa angin pukulan yang dahsyat sekali dan berhawa panas.

"Siancai......!" Laki-laki itu berkata lirih dan tangan kirinya didorongkan seperti hendak menahan serangan jarak jauh yang dahsyat dan berbahaya dari Ali Ahmed.

"Blarrrr......!" Hawa pukulan berasap hitam yang dahsyat itu seolah bertemu perisai yang amat kuat dan membalik. Tubuh Ali Ahmed terjengkang roboh dan dia tidak bergerak lagi.

Cia Song melompat, menghampiri gurunya dan alangkah kagetnya melihat gurunya telah tewas! Agaknya kakek yang sudah delapanpuluh lebih usianya itu dan sudah lemah daya tahannya, tidak kuat menerima tenaganya sendiri yang membalik.

"Suhu......!" Thian Long berseru ketika melihat laki-laki berpakaian kuning itu.

"Paman Sie......!" Pek Hong Nio-cu juga berseru.

Laki-laki yang bukan lain adalah Tiong Lee Cin-jin itu memandang kepada Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu, lalu mengangguk dan tersenyum lebar, tampaknya bahagia sekali, kemudian sekali berkelebat dia sudah lenyap dari sana.

Melihat dua orang tawanan itu lolos, Ngo-heng Kiam-tin segera mengerahkan semua perajurit untuk menerjang dan mengeroyok. Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu mengamuk dengan pedang mereka.

Lima orang jagoan dari Pangeran Hiu Kit Bong itu mencari-cari, akan tetapi Cia Song sudah tidak tampak batang hidungnya lagi. Diam-diam pemuda ini sudah melarikan diri ketika melihat gurunya tewas dan Thian Liong menyebut "suhu" kepada laki-laki setengah tua yang tadi merobohkan gurunya. Tahulah dia bahwa kakek yang amat lihai itu tentulah Tiong Lee Cin-jin dan dia menjadi ketakutan, diam-diam terus kabur dari situ!

Demikianlah memang watak seorang yang berbudi rendah. Paling penting menyelamatkan diri sendiri dan tidak perduli kepada orang-orang yang menjadi sahabat, rekan dan sekutunya. Bahkan dia tidak perduli kepada gurunya yang tewas!

Setelah tahu bahwa Cia Song yang mereka andalkan, bahkan yang menjadi pemimpin mereka itu tidak muncul dan jelas sudah melarikan diri, lima orang Ngo-heng Kiam-tin menjadi panik dan gentar. Tentu saja mereka menjadi "makanan lunak" bagi Pek Hong Nio-cu dan Thian Liong, walaupun lima orang itu dibantu sembilanbelas orang perajurit berikut seorang perajurit yang tadi menjadi kusir kereta.

"Jangan bunuh mereka, Nio-cu. Kita tawan mereka hidup-hidup untuk dijadikan saksi akan pemberontakan Pangeran Hiu Kit Bong!" Tentu saja Thian Liong berseru begini terutama sekali untuk mencegah puteri itu menyebar maut.

Pek Hong Nio-cu dapat memaklumi kebenaran ucapan Thian Liong, maka ketika ia mengamuk, pedangnya merobohkan para pengeroyok tanpa membunuhnya. Thian Liong juga merobohkan banyak orang dan tak lama kemudian, Ngo-heng Kiam-tin dan duapuluh orang perajurit itu roboh semua oleh tamparan, tendangan, atau terluka oleh pedang.

Thian Liong mempergunakan tali-tali yang dibawa oleh pasukan itu untuk mengikat kedua tangan mereka semua di belakang tubuh. Mereka menurut saja karena sudah terluka dan merasa sudah tidak mungkin dapat melawan dua orang muda sakti itu. Terutama terhadap Pek Hong Nio-cu mereka merasa takut sekali. Dari sikap puteri itu mereka maklum bahwa kalau tidak dicegah Thian Liong, mereka semua pasti akan dibunuh oleh Puteri Moguhai yang amat marah dan benci kepada mereka yang menjadi kaki tangan pemberontak.

Setelah tangan mereka semua diikat, Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu membawa mereka ke markas pasukan penjaga tapal batas yang dipimpin oleh Pangeran Kuang sebagai komandannya. Benteng pasukan itu tidak berapa jauh lagi dari situ sehingga setelah melakukan perjalanan cepat, pada sore harinya mereka tiba di benteng itu.

"Thian Liong, benarkah penolong kita tadi itu suhumu?" tanya Pek Hong Nio-cu dalam perjalanan menggiring para tawanan itu menuju markas pasukan penjaga perbatasan.

"Tidak salah lagi, Nio-cu. Masa aku dapat lupa kepada guruku sendiri? Akan tetapi, mengapa engkau menyebutnya paman Sie? Benarkah itu Paman Sie seperti yang pernah keuceritakan kepadaku itu?"

"Benar, Thian Liong. Biarpun dulu ketika aku melihatnya dia berpakaian biasa, akan tetapi aku tidak melupakan wajahnya. Dialah orangnya yang oleh ibu diakui sebagai sahabat baik dan yang disebut Paman Sie. Dia yang memberi perhiasan kepala yang kupakai ini dan memberi tiga buah kitab pelajaran ilmu silat. Akan tetapi mengapa setelah menolong kita, dia pergi begitu saja tanpa memberi kesempatan kepada kita untuk bertemu dan bicara dengannya?"

"Entahlah, Nio-cu. Akan tetapi, suhu adalah seorang yang arif bijaksana. Mungkin belum saatnya kita dapat berbicara dengan beliau. Kita tunggu saja, kalau sudah tiba saatnya, tentu aku dapat bertemu dengan guruku dan engkau dapat bertemu dengan pamanmu itu. Akan tetapi sungguh aku heran, bagaimana guruku itu menjadi sahabat ibumu dan dikenal sebagai Paman Sie? Sungguh aku tidak mengerti."

"Apakah engkau tidak mengetahui she (Marga) gurumu itu?" tanya Pek Hong Nio-cu.

Thian Liong menggeleng kepalanya.

"Suhu tidak pernah memperkenalkan nama aselinya. Yang aku tahu, beliau disebut Tiong Lee Cin-jin dan berjuluk Yok-sian (Dewa Obat atau Tabib Dewa). Beliau juga tidak pernah menceritakan tentang masa lalunya."

"Akan kutanyakan nanti kepada ibuku. Aku merasa heran sekali, bagaimana gurumu yang namanya juga sudah sering kudengar itu, Tong Lee Cin-jin, ternyata adalah seorang yang oleh ibuku diaku sebagai sahabatnya dan mengharuskan aku memanggilnya Paman Sie yang juga menjadi guruku."

"Sudahlah Nio-cu. Kalau tiba saatnya, Suhu pasti akan mau menceritakan tentang hal itu. Sekarang, engkau hendak membawa orang-orang ini ke mana?"

"Akan kuserahkan kepada Paman Kuang yang bentengnya tidak jauh lagi dari sini. Engkau benar, orang-orang ini dapat menjadi saksi penting bagi pengkhianatan Pangeran Hiu Kit Bong yang memberontak. Aku akan minta Paman Kuang secepatnya kembali ke kota raja membawa pasukannya untuk menumpas para pemberontak."

Setelah mereka tiba di benteng, Pangeran Kuang yang menjadi komandan pasukan penjaga tapal batas menyambut mereka dengan gembira akan tetapi juga heran.

"Moguhai. Lagi-lagi engkau, melakukan perjalanan begitu jauh! Dan sekarang engkau membawa tawanan begini banyak! Apa artinya ini dan siapa pula"" pemuda ini?" Pangeran Kuang yang berusia empatpuluh tahun lebih, berpakaian sebagai seorang panglima dan berwajah tampan, bertubuh tinggi besar.

Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu tersenyum.

"Paman, apakah paman tidak menyuruh kami duduk dulu dan memerintahkan orang-orangmu menahan orang orang yang kutawan itu? Kami lelah sekali, paman."

Pangeran Kuang baru menyadari kelalaiannya.

"Ah, sampai lupa aku karena kunjunganmu yang tiba-tiba ini sungguh mengejutkan aku. Mari, silakan duduk di dalam dan engkau juga, orang muda." Dia menyuruh para pengawal untuk mengurus tawanan.

Mereka lalu memasuki ruangan dan duduk berhadapan. Pek Hong Nio-cu segera bercerita karena ia tahu bahwa waktunya mendesak sekali.

"Paman, orang yang kutawan itu...... oya, aku lupa, ini adalah Souw Thian Liong, sahabat baikku yang membantuku menghadapi para pengkhianat itu! Ketahuilah, paman. Orang-orang yang kami tawan itu adalah anak buah Paman Pangeran Hiu Kit Bong yang berkhianat dan merencanakan pemberontakan!"

Pangeran Kuang membelalakkan matanya.

"Apa? Kanda Pangeran Hiu Kit Bong memberontak?"

"Benar, paman. Hal ini memang sudah kucurigai dan kuduga. Akan tetapi sekarang sudah terbukti. Mereka ini diutus oleh Pangeran Hiu Kit Bong untuk menangkap aku, untuk dijadikan sandera dan memaksa sri baginda untuk menyerahkan tahta kepadanya. Orang-orang ini dapat dijadikan saksi. Kalau tidak ada bantuan Souw Thian Liong ini, tentu aku telah tertawan oleh mereka. Cepat, paman. Hanya Paman Kuang saja yang dapat menyelamatkan kerajaan dan membasmi para pemberontak. Cepat paman kerahkan pasukan dan kembali ke kota raja bersama kami. Aku khawatir kalau-kalau kita terlambat. Aku khawatir akan keselamatan ayah."

Mendengar ini, Pangeran Kuang terkejut dan marah bukan main. Pangeran Hiu Kit Bong adalah kakak tirinya, seayah berlainan ibu. Dia diangkat menjadi panglima oleh kaisar, juga kakak tirinya, sesuai dengan kepandaiannya, juga Pangeran Hiu Kit Bong sudah diberi kedudukan sebagai Menteri Kebudayaan merangkap penasihat kaisar. Kalau sekarang Pangeran Hiu Kit Bong hendak memberontak, sungguh dia merupakan seorang yang tidak tahu diri, tidak mengenal budi, angkara murka dan pengkhianat!

"Hemm, sungguh tidak disangka Kanda Pangeran Hiu Kit Bong akan melakukan tindakan terkutuk seperti itu!" kata Pangeran Kuang.

"Baiklah, aku akan mempersiapkan pasukan dan kita berangkat sekarang juga!"

Demikianlah, Pangeran Kuang lalu mempersiapkan sebagian dari pasukannya berjumlah limaribu orang dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia memimpin pasukan itu berangkat menuju ke Kota raja. Pek Hong Nio-cu dan Souw Thian Liong mendahului pasukan, membalapkan kuda pilihan yang diberikan Pangeran Kuang kepada mereka berdua.

Cia Song berhasil melarikan diri sebelum Thian Liong dan Pek Hong Niocu mengamuk. Nyalinya sudah terbang begitu dia melihat munculnya kakek sakti yang membuat gurunya tewas terpukul tenaganya sendiri yang membalik. Datuk Hui itu saja yang menjadi gurunya, sekali menyerang Tiong Lee Cin-jin roboh sendiri. Apalagi dia. Baru menghadapi Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu saja dia akan sukar mendapatkan kemenangan, apalagi di sana ada manusia setengah dewa yang sakti itu!

Cia Song berlari cepat menuju ke kota raja kerajaan Kin dan menghadap Pangeran Hiu Kit Bong. Melihat malam-malam Cia Song datang menghadapnya dengan muka pucat dan basah keringat, Pengeran Hiu Kit Bong menjadi kaget dan heran. Lalu dia menggebrak meja dengan marah sekali.

"Sialan! Ternyata kepercayaanku kepadamu salah tempat, Cia-sicu! Melakukan tugas begitu saja engkau gagal sama sekali, malah semua anak buahmu terancam bencana. Celaka!"

"Akan tetapi saya sama sekali tidak menduga bahwa di sana akan muncul Tiong Lee Cin-jin, Pangeran! Tadinya kami sudah berhasil menangkap Souw Thian Liong dun Puteri Moguhai, sudah kami belenggu dan hendak kami bawa pulang ke sini. Siapa kira di tengah jalan muncul Tiong Lee Cin-jin yang memiliki ilmu kepandaian seperti dewa. Bahkan Ali Ahmed, guru saya sendiri, tewas ketika menyerangnya!

Pangeran Hiu Kit Bong berteriak memanggil pengawal dan memerintahkan pengawal mengundang para panglima sekutunya untuk malam itu juga datang berkumpul. Mereka itu datang satu demi satu. Setelah semua berkumpul lengkap, Pangeran Hiu Kit Bong berkata.

"Saudara-saudara semua, Puteri Moguhai telah pergi ke perbatasan barat mengunjungi Pangeran Kuang. Tentu ia bermaksud mengadu dan minta bantuan pasukan yang berjaga di perbatasan. Karena itu, kita tidak boleh tinggal diam. Malam ini juga kita mempersiapkan pasukan dan besok pagi-pagi kita serbu istana, kita tangkap Kaisar. Jangan sampai kita terlambat. Kalau kaisar sudah kita sandera, biarpun Pangeran Kuang datang bersama pasukannya, dia tidak akan dapat berbuat apa-apa demi keselamatan Kaisar."

Pangeran Hiu Kit Bong tidak menceritakan kegagalan orang-orangnya menangkap Puteri Moguhai karena hal itu akan membuat sekutunya gentar dan patah semangat.

Setelah berunding bagaimana caranya melakukan pengepungan terhadap istana, para Panglima yang dipimpin Panglima Kiat Kon itu lalu meninggalkan gedung Pangeran Hiu Kit Bong untuk mempersiapkan pasukan masing-masing. Mereka terdiri dari empat orang perwira, dikepalai Panglima Kiat Kon.

Sementara itu, Cia Song sendiri bertugas sebagai pengawal pribadi Pangeran Hiu Kit Bong. Sebetulnya Cia Song segan menjadi pengawal pribadi pangeran itu dan dia sudah ingin pulang saja ke selatan untuk melapor kepada Perdana Menteri Chin Kui. Akan tetapi dia merasa sungkan juga karena dia telah gagal menangkap Puteri Moguhai, malah semua anak buahnya mungkin tertawan dan hal itu tentu saja membahayakan karena rahasia Pangeran Hiu Kit Bong akan terbongkar. Karena itulah maka Pangeran Hiu Kit Bong hendak melakukan serangan mendadak sebelum terlambat.

Akan tetapi, ketika persekutuan pemberontak itu mengumpulkan pasukan mereka, ada perajurit yang diam-diam masih setia kepada Kaisar dan malam itu juga dia meloloskan diri dari kesatuannya dan pergi melaporkan persiapan pemberontakan Pangeran Hiu Kit Bong itu kepada Panglima Muda Ceng yang setia kepada Kaisar kerajaan Kin.

Panglima Muda Ceng terkejut sekali dan malam hari itu juga dia mengumpulkan teman-teman yang masih setia kepada Kaisar lalu mengerahkan pasukan seadanya untuk ditarik menjaga istana! Juga diam-diam Panglima Muda Ceng melaporkan kepada kaisar yang tentu saja menjadi terkejut, khawatir dan marah sekali.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, rakyat yang tinggal di kota raja menjadi geger. Banyak sekali tentara mengepung istana kaisar. Akan tetapi, dari tembok istana muncul pasukan lain yang menghadang. Terjadilah pertempuran hebat di sekeliling luar istana. Pangeran Hiu Kit Bong terkejut dan marah sekali melihat betapa istana dijaga banyak perajurit. Dia memerintahkan pasukannya bergerak dan menyerbu. Pertempuran hebat terjadi dan rakyat yang menjadi penduduk kota raja berserabutan melarikan diri mengungsi keluar dari kota raja!

Karena merasa penasaran, Pangeran Hiu Kit Bong keluar dan memimpin sendiri pasukannya, yang dipimpin Panglima Kiat Kon dan para perwira sekutunya. Cia Song yang ingin menebus kegagalannya memperlihatkan kepandaiannya. Di depan mata Pangeran Hiu Kit Bong dia mengamuk dengan pedangnya dan banyak tentara pihak pasukan pembela kaisar roboh dan tewas di tangannya.

Biarpun jumlah pasukan pemberontak dua kali lebih banyak dibandingkan pasukan pembela kaisar, namun pasukan yang dipimpin Panglima Muda Ceng dan rekan-rekannya itu melakukan perlawanan mati-matian! Maka, setelah pertempuran berlangsung sampai satu hari lamanya, pasukan pemberontak belum juga dapat menduduki istana.

Pasukan pembela kaisar menutup pintu benteng istana dan biarpun banyak perajurit mereka yang tewas, semangat mereka masih besar dan mereka memperkuat benteng istana dengan balok-balok yang kokoh. Malam itu mereka melakukan penjagaan ketat dengan bergiliran, memberi kesempatan kepada pasukan untuk beristirahat dan merawat luka-luka mereka.



Kaisar dan keluarganya sudah merasa khawatir sekali. Mereka tahu bahwa pasukan yang melindungi mereka kalah besar jumlahnya dibandingkan pasukan para pemberontak. Mereka mendengar pula bahwa kalau siang tadi pertempuran masih terjadi di luar istana, maka sekarang semua perajurit pembela kaisar sudah mundur memasuki benteng istana dan pintu gerbang sudah ditutup. Mereka hanya akan mempertahankan benteng istana. Kalau sampai benteng istana bobol, berarti pasukan pembela kaisar kalah dan pasukan pemberontak tentu akan menyerbu istana!

Malam itu gelap sekali, bahkan bintang-bintang di langit juga tak tampak, tertutup mendung tebal. Hawa udaranya dingin. Pasukan kedua pihak mempergunakan kesempatan itu untuk melepas lelah setelah sehari tadi bertempur mati matian. Benteng istana dijaga ketat oleh pasukan pembela kaisar. Ronda berjalan sepanjang malam dan para penjaga itu bergiliran.

Akan tetapi di malam yang gelap dan dingin itu, tampak dua bayangan berkelebat cepat sekali. Ilmu meringankan tubuh mereka sungguh amat hebat karena saking cepatnya mereka bergerak, tidak ada penjaga dalam benteng yang sempat melihat mereka. Tubuh kedua bayangan itu melayang ke atas tembok benteng lalu meluncur turun ke sebelah dalam. Mereka menyelinap di antara kegelapan yang pekat dan tak lama kemudian tubuh mereka sudah melayang naik ke atas wuwungan istana!

Dua orang itu adalah Cia Song dan Panglima Kiat Kon sendiri! Mereka berdua menerima tugas istimewa dari Pangeran Hiu Kit Bong.

Melihat betapa pasukan pembela kaisar melawan mati matian, Pangeran Hiu Kit Bong menjadi tidak sabar. Dia memanggil Cia Song dan mengingatkan pemuda ini akan kegagalannya menangkap Puteri Moguhai.

"Aku mempunyai tugas penting dan kuharap sekali ini engkau akan melaksanakan dengan baik dan berhasil, Cia-sicu, untuk menebus kegagalanmu menangkap Puteri Moguhai," kata Pangeran itu.

Diam-diam Cia Song mendongkol. Siang tadi dia sudah memperlihatkan jasanya dengan merobohkan banyak perajurit pembela kaisar, namun tetap saja pangeran ini masih penasaran karena kegagalannya menangkap Puteri Moguhai.

"Tugas apa yang harus saya lakukan, pangeran?"

"Malam ini mereka tentu sedang beristirahat dan lengah. Karena itu, aku perintahkan engkau dan Panglima Kiat Kon untuk menggunakan kepandaian kalian, menyusup masuk istana dan menawan Sri Baginda dan membawanya ke sini. Kalau kalian berhasil, berarti kita tidak perlu bertempur lagi besok. Juga kalau pasukan Pangeran Kuang datang mereka juga tidak dapat berbuat apa-apa dan tidak berani menyerang kita yang sudah menyandera Sri Baginda Kaisar."

"Saya siap melaksanakan perintah itu, pangeran!" kata Panglima Kiat Kon dengan tegas.

"Kalau Cia-sicu menemani saya, tugas itu pasti akan dapat kami lakukan dengan berhasil baik!"

"Bagaimana dengan engkau, Cia-sicu?" tanya Pangeran Hiu Kit Bong sambil menatap wajah pemuda itu dengan tajam.

Biarpun di dalam hatinya dia mendongkol sekali, akan tetapi Cia Song tidak dapat menolak. Dia mengangguk dan menjawab,

"Saya sanggup, hanya tidak berani memastikan hasilnya karena di istana tentu diadakan penjagaan kuat."

Demikianlah, malam gelap dingin itu ditempuh Cia Song dan Panglima Kiat Kon. Dengan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) mereka yang tinggi, mereka berhasil melompati benteng tanpa diketahui perajurit pembela kaisar dan mereka berdua berhasil tiba di wuwungan istana!

Akan tetapi selagi mereka berdua, dengan petunjuk Panglima Kiat Kon yang mengenal daerah itu, meneliti di mana kiranya kamar kaisar berada, tiba-tiba begitu mereka melangkah, kaki mereka terpeleset genteng wuwungan istana yang agaknya bergerak sendiri! Mereka terkejut dan merasa aneh. Akan tetapi ketika mereka memandang ke sekeliling yang gelap, mereka tidak mendengar apapun.

Mereka melangkah lagi. Akan tetapi baru beberapa langkah, kembali genteng yang mereka injak bergerak dan mereka terpeleset, hampir jatuh. Mereka masih mampu bertahan agar tidak terjatuh.

"Eh, apa ini, sicu?"

Cia Song merasa bulu tengkuknya meremang.

"Entahlah, ciang-kun, mungkin kebetulan saja"..."

Akan tetapi mereka berdua merasa betapa ada benda kecil menyambar ke arah mereka. Mereka cepat mengelak, akan tetapi sungguh luar biasa, benda kecil itu tetap saja mengenai pundak mereka seolah benda hidup yang terbang mengejar ketika mereka mengelak.

Mereka menahan seruan kaget karena pundak yang terkena benda itu terasa nyeri dan lengan di pundak itu untuk beberapa detik lamanya menjadi kesemutan dan lumpuh. Ketika dua buah benda kecil itu terjatuh ke atas genteng, terdengar suara berketikan seperti batu kerikil yang jatuh ke atas genteng. Mereka terkejut bukan main. Penyambit batu kerikil itu pasti memiliki kesaktian yang luar biasa sehingga mereka tidak mampu mengelak. Maklumlah keduanya bahwa ada orang sakti yang sengaja mengganggu mereka dan kalau tadi dua kali kaki mereka terpeleset, tentu juga akibat ulah orang yang mengganggu mereka itu.

"Ciang-kun, kita pergi. Cepat!" kata Cia Song yang menjadi ketakutan. Kalau sampai orang sakti itu muncul dan mereka berdua ketahuan lalu dikepung ribuan orang perajurit, akan celakalah mereka! Keduanya lalu cepat meninggalkan wuwungan istana dan dengan gin-kang mereka yang tinggi, mereka berlompatan dan keluar dari benteng istana itu. Akan tetapi setibanya di luar benteng, dalam kegelapan malam itu Panglima Kiat kon tidak dapat menemukan Cia Song.

Dia memanggil-manggil, akan tetapi Cia Song tidak menjawab. Tahulah panglima itu bahwa Cia Song diam-diam telah meninggalkannya. Dia merasa dongkol sekali. Tentu Cia Song takut bertemu Pangeran Hiu Kit Bong karena lagi-lagi gagal melaksanakan tugasnya malam ini.

Kiat Kon kembali kepada Pangeran Hiu Kit Bong, menceritakan tentang kegagalannya.

"Entah siapa yang mengganggu kami berdua, akan tetapi jelas bahwa dia seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Terpaksa kami tidak dapat melanjutkan rencana itu, Pangeran, karena dengan adanya orang yang demikian saktinya, tentu usaha kami akan gagal, bahkan tidak mustahil kalau kami akan tertangkap atau terbunuh. Maka kami segera meninggalkan wuwungan istana."

Pangeran Hiu Kit Bong mengepal tinju.

"Sialan, gagal lagi! Mana orang she Cia itu?"

"Ketika saya melompat keluar dari benteng istana, Cia-sicu tidak ada, Pangeran. Saya kira dia sengaja pergi meninggalkan kota raja karena tidak berani bertemu dengan paduka."

Pangeran Hiu Kit Bong marah sekali, lalu memerintahkan sekutunya untuk mempersiapkan pasukan dan besok pagi pagi melakukan penyerangan besar-besaran. Dia berpendapat bahwa besok benteng istana harus dapat dibobolkan dan kaisar harus dapat ditangkap. Kalau tidak, dia khawatir pasukan Pangeran Kuang keburu datang dan menyerang mereka.

Akan tetapi Pangeran Hiu Kit Bong masih punya rencana jahat lain yang belum dilaksanakan, akan tetapi yang besar sekali harapannya akan lebih berhasil daripada tugas yang gagal dilaksanakan oleh Cia Song dan Kiat Kon tadi. Diam-diam pangeran yang licik ini telah berhasil memperalat dua orang pengawal pribadi kaisar. Dengan menyandera keluarga dua orang pengawal pribadi kaisar dan mengancam akan membunuh isteri dan anak-anak mereka, pangeran itu memerintahkan mereka untuk membunuh kaisar malam itu. Kalau hal ini tidak dilakukan, seluruh keluarga mereka yang disandera akan dibunuh!

Malam itu, Kaisar kerajaan Kin berkumpul dengan semua isteri dan anak anaknya di ruangan dalam. Mereka tidak berani tidur di kamar sendiri-sendiri seperti biasa. Mereka semua duduk di dalam ruangan itu dengan wajah membayangkan ketakutan, bahkan di antara para isteri dan puteri istana ada yang terisak perlahan. Mereka semua maklum bahwa kalau pasukan yang melindungi mereka kalah, mereka akan terjatuh ke tangan pemberontak.

Kaisar sendiri berdiri dengan tegar dan sama sekali tidak tampak ketakutan. Hanya penasaran dan kemarahan yang tampak membayang di wajahnya yang gagah dan keren. Dia merasa penasaran sekali mendengar bahwa Pangeran Hiu Kit Bong, kakak tirinya, orang yang telah diberikan kedudukan tinggi, memimpin pemberontakan itu. Sama sekali tidak pernah disangkanya. Dia kini merasa menyesal mengapa dia tidak mendengarkan peringatan Moguhai, puterinya yang kini tidak berada di istana.

Puteri Moguhai pernah memperingatkan agar dia berhati-hati terhadap kakak tirinya itu dan jangan terlalu percaya kepadanya. Akan tetapi dia malah menertawakan puterinya itu yang dia anggap terlalu berprasangka buruk. Sekarang, peringatan puterinya itu menjadi kenyataan! Dia menghela napas panjang dan ketika dia melayangkan pandang matanya kepada belasan orang selir-selirnya, dia melihat Tan Siang Lin, ibu kandung Moguhai, duduk tak jauh darinya dan hanya selir keturunan pribumi Han ini sajalah yang kelihatan tabah dan tidak membayangkan ketakutan. Ia tetap tenang dan anggun sehingga kaisar teringat kembali kepada puteri mereka.

"Dinda Siang Lin, sayang sekali Moguhai tidak berada di sini. Tahukah engkau ke mana ia pergi?" tanya kaisar dengan suara lembut kepada selirnya tercinta ini.

Tan Siang Lin memandang kepada kaisar. Sejak tadi wanita ini seringkali menengok dan memandang kepada suaminya. Dalam hati ia merasa kagum dan juga bangga melihat pria yang menjadi suaminya itu sama sekali tidak tampak khawatir atau takut menghadapi keadaan yang amat gawat dan berbahaya itu.

"Hamba tidak tahu, Sri Baginda. Paduka mengetahui sendiri betapa puteri kita itu suka sekali berkelana."

Kaisar mengangguk-angguk.

"Aku percaya bahwa Moguhai pasti mendengar akan peristiwa di kota raja ini dan ia pasti akan datang untuk menyelamatkan kita semua."

"Semoga saja demikian, Sri Baginda," kata Tan Siang Lin.

Dalam ruangan yang luas itu terdapat belasan orang perajurit pengawal pribadi kaisar yang melindungi keluarga istana itu. Mereka berdiri dengan pedang di tangan, menjaga di pintu dan jendela jendela yang terbuka. Wajah mereka ini rata-rata tegang, karena mereka maklum bahwa kalau pertahanan pasukan pembela kaisar bobol, mereka harus melindungi keluarga kaisar dengan taruhan nyawa.

Tiba-tiba, dua orang perajurit pengawal pribadi itu, yang berdiri menjaga di sebelah belakang kaisar, dalam jarak lima meter, bergerak maju sambil mengangkat pedang menyerbu ke arah Kaisar!

"Ampunkan hamba, Sri Baginda!" seru yang seorang.

"Ampunkan hamba, hamba...... terpaksa membunuh paduka!" seru orang kedua.

Semua orang terkejut dan tertegun. Para perajurit pengawal lainnya juga terpukau, tidak sempat mencegah karena dua orang itu sudah menyerang kaisar.

Seorang membacokkan pedang dari atas, orang kedua menusukkan pedangnya. Akan tetapi, tiba-tiba dua sinar hijau kecil meluncur dari arah jendela dan dua sinar hijau ini menyambar ke arah tangan dua orang perajurit pengawal yang memegang pedang. Mereka berdua berteriak mengaduh dan pedang mereka terlepas dari pegangan, jatuh berdenting ke atas lantai dan dengan tangan kiri mereka memegangi lengan kanan masing masing di mana menancap sehelai daun hijau! Para perajurit segera berlompatan dan meringkus dua orang perajurit pengawal yang tiba-tiba menyerang kaisar itu.

Tan Siang Lin bangkit berdiri dari kursinya, memandang ke arah jendela dari mana sinar hijau tadi meluncur masuk. Wajahnya berseri, kedua matanya bersinar dan ia berseru girang.

"Sie-ko (kanda Sie)......!" Akan tetapi ia sadar dan menahan seruannya sehingga tidak terdengar jelas.

"Jangan bunuh. Seret mereka ke depanku!" kata kaisar dengan tegas, sama sekali tidak menjadi panik oleh peristiwa itu. Dua orang itu lalu didorong berlutut di depan kaisar di mana mereka menyembah-nyembah dan menangis!

"Ampun, Yang Mulia"..! Ampunkan hamba berdua yang terpaksa......" mereka mengeluh dalam tangisan mereka.

"Hemm, siapa yang memaksa kalian melakukan pengkhianatan hendak membunuh kami?" bentak kaisar.

Seorang dari mereka menyembah dan berkata ketakutan,

"Hamba berdua terpaksa melaksanakan perintah Pangeran Hiu Kit Bong untuk membunuh paduka karena kalau hamba tidak mau, seluruh keluarga hamba berdua yang sudah disandera akan dibunuh."

Kaisar dan semua orang melihat jelas betapa sehelai daun menancap di pergelangan kedua orang itu dan lengan mereka berdarah. Semua orang merasa takjub. Bagaimana mungkin sehelai daun dapat menancap pada lengan tangan dua orang itu sehingga mereka gagal membunuh kaisar? Pada hal daun hijau basah itu lunak dan lentur!

"Jebloskan mereka dalam tahanan, jangan bunuh," kata kaisar kepada para pengawalnya.

Dua orang itu membentur-benturkan dahi di lantai menghaturkan terima kasih kepada kaisar. Akan tetapi dua orang perajurit memegang lengan mereka dan menarik mereka keluar dari ruangan itu.

Kaisar menoleh kepada Tan Siang Lin,

"Dinda Siang Lin, tadi engkau memandang ke arah jendela dan memanggil seseorang. Siapakah yang kau panggil itu? Apakah engkau melihat seseorang?"

Wajah Siang Lin berubah kemerahan.

"Hamba tidak melihat seseorang, Sri Baginda, akan tetapi hamba dapat menduga siapa yang telah menyelamatkan paduka. Dia pasti guru puteri kita Moguhai, karena hanya dialah kiranya yang mampu melukai dua orang tadi hanya dengan menggunakan sehelai daun."

"Luar biasa! Siapakah nama guru Moguhai itu?" tanya kaisar dan sedikit banyak kehadiran seorang manusia sesakti itu membesarkan hatinya dan dia merasa terlindung oleh suatu kekuatan yang hebat.

Jantung dalam dada Siang Lin berdebar. Ia merasa serba salah, akan tetapi harus menjawab pertanyaan kaisar yang menjadi suaminya itu.

"Hamba hanya mendengar bahwa guru Moguhai itu bermarga Sie, Sri baginda."

"Hemm, mengapa dia melindungiku secara diam-diam? Kalau saja dia mau muncul, mungkin dia dapat memberi tahu kami di mana adanya Moguhai sekarang ini."

Tiba-tiba tampak benda putih melayang masuk dari jendela. Seorang perajurit pengawal cepat menangkapnya dan ternyata benda itu sehelai kertas putih.

"Apa itu?" tanya kaisar.

"Sehelai kertas putih tertulis, Yang Mulia," kata pengawal itu.

"Cepat bawa ke sini!" perintah Sri Baginda dan perajurit itu segera menyerahkan kertas itu kepada kaisar.

Kaisar membacanya dan seketika wajahnya berseri. Dia menengok ke arah jendela dan berkata dengan suara lantang.

"Siapapun adanya engkau, orang gagah, kami berterima kasih sekali padamu!"

Dengan wajah berseri Kaisar lalu menyerahkan surat itu kepada Siang Lin yang segera membacanya. Sepasang mata selir kaisar ini menjadi basah saking bahagia dan terharunya membaca isi kertas bertulis itu.

"Moguhai dan Pangeran Kuang sedang menuju ke kota raja dengan pasukannya. Pertahankan istana sampai mereka datang."

Surat itu lalu berpindah-pindah tangan, mula-mula Siang Lin memberikannya kepada permaisuri yang setelah membacanya menyerahkan kepada para selir. Mereka bergantian membaca dan semua wajah menjadi berseri gembira. Timbul harapan dalam hati mereka. Pasukan penolong yang dipimpin pangeran Kuang dan Pureri Moguhai akan menolong mereka!

"Biar aku sendiri yang memimpin pertahanan istana!" Kaisar timbul semangatnya dan diapun keluar dari ruangan itu menemui para perwira yang setia kepadanya untuk mengawasi sendiri pasukan yang mempertahankan istana. Dengan munculnya kaisar sendiri ke tengah-tengah mereka, para perajurit yang membela kaisar bersorak gembira dan semangat mereka berkobar, apalagi ketika mereka mendengar bahwa bala bantuan segera datang!

Pada keesokan harinya, diiringi sorak yang gegap gempita dan bunyi terompet, tambur dan canang, pasukan pemberontak menyerbu dan berusaha mendobrak pintu gerbang tebal yang terbuat dari baja itu. Ada pula yang mempergunakan tangga untuk naik ke atas tembok benteng istana. Pasukan pembela kaisar menyambut dari dalam dan terjadilah pertempuran yang seru dan mati-matian.

Anak panah meluncur dari luar dan dari dalam seperti hujan. Bunyi denting beradunya senjata bercampur sorak-sorai dan teriakan-teriakan marah, jerit-jerit kesakitan membubung bersama debu yang mengepul tebal. Darah mulai berceceran membasahi bumi. Perang! Puncak ulah nafsu yang menguasai hati dan pikiran manusia, membuat manusia bahkan lebih ganas daripada binatang.

Karena jumlah pasukan pemberontak hampir tiga kali lebih banyak dibandingkan pasukan pembela kaisar, maka tentu saja pihak pembela kaisar mulai kewalahan dan terdesak hebat. Bahkan pihak penyerang sudah banyak yang dapat naik ke atas tembok benteng dan di sana sudah terjadi pertempuran seru. Pintu gerbang mulai didekati pasukan pemberontak dan mereka mempergunakan kayu balok besar yang digotong beramai-ramai untuk mendobrak pintu gerbang baja. Suaranya nyaring menggelegar setiap kali ujung balok itu menghantam pintu gerbang.

Para perajurit pembela kaisar menggunakan segala daya untuk mempertahankan pintu gerbang itu dengan mengandalkan benda-benda berat. Namun, mereka kalah kuat karena kalah banyak dan akhirnya, pintu gerbang yang tebal dan besar itu jebol dan roboh ke dalam mengeluarkan suara hiruk-pikuk dan belasan orang perajurit di sebelah dalam yang tadi mempertahankan pintu itu, tertimpa pintu besi yang amat berat itu sehingga tewas terhimpit.

Para perajurit pemberontak menyerbu melalui pintu gerbang yang sudah terbuka itu bagaikan air bah mengamuk. Perajurit pembela kaisar yang berada di sebelah dalam menyambut dan terjadilah pertempuran seru. Karena lubang pintu itu tidak terlalu besar, hanya sekitar tiga tombak lebarnya, maka para penyerbu itu tidak dapat masuk terlalu banyak dan hal ini membuat pertahanan sebelah dalam masih kuat. Puluhan orang perajurit penyerbu yang berhasil masuk disambut oleh ratusan orang perajurit pembela kaisar dan yang di luar terhalang oleh yang berada di depan.

Karena itu untuk sementara pertahanan masih kuat. Betapapun juga keadaan sudah sangat gawat karena dapat diramalkan bahwa tidak lama lagi pasti pasukan pemberontak akan dapat menyerbu ke dalam bangunan istana.

Kaisar memimpin sendiri para perajurit yang setia kepadanya. Dia memberi komando. Ada yang menyambut serbuan lewat pintu gapura atau gerbang yang sudah roboh daun pintunya, ada yang diperintahkan tetap menjaga di atas tembok benteng untuk menghalau musuh yang memasuki benteng lewat tembok.

Pada saat yang amat gawat itu, tiba tiba terdengar sorak-sorai bercampur suara terompet, genderang dan canang. Para perajurit pemberontak terkejut sekali dan tiba-tiba mereka menjadi kacau-balau ketika diserang oleh pasukan yang baru datang, pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Kuang dan Puteri Moguhai bersama Thian Liong!

Puteri Moguhai didampingi Thian Liong mengamuk, membuka jalan berdarah memasuki kerumunan perajurit-perajurit pemberontak, merobohkan siapa saja yang menghalangi mereka. Melihat betapa pintu gerbang yang sudah terbuka itu penuh orang, mereka berdua lalu melompat ke atas tembok benteng.

Para perajurit pembela kaisar yang bertempur di atas tembok benteng melihat datangnya pasukan penolong itu. Ketika mereka melihat dua orang melompat ke atas benteng dan mengenal seorang di antara mereka adalah Puteri Moguhai, mereka bersorak dan semangat mereka berkobar. Apalagi ketika Puteri Moguhai dan Thian Liong mengamuk, merobohkan banyak perajurit pemberontak yang berhasil naik ke atas benteng, mereka pun bersorak sambil mengamuk.


KISAH SI NAGA LANGIT JILID 19
Puteri Moguhai dan Thian Liong segera melompat ke dalam dan Thian Liong mengikuti Pek Hong Nio-cu atau Moguhai itu memasuki istana. Para perajurit pengawal kaisar yang melihat sang puteri, juga bersorak gembira. Mereka semua telah mendengar bahwa pasukan Pangeran Kuang sudah berada di luar dan sedang menyerang pasukan pemberontak.

Moguhai dan Thian Liong memasuki ruangan di mana keluarga istana berkumpul. Melihat puterinya, Tan Siang Lin lari menyambut.

"Moguhai""!"

"Ibu......!" Mereka berangkulan.

"Semua keluarga selamat, bukan?"

Tan Siang Lin mengangguk dan tersenyum, gembira sekali melihat puterinya datang bersama pasukan Pangeran Kuang. Ternyata isi surat yang melayang masuk tadi benar. Dan ia tahu siapa yang menulis surat itu. Siapa lagi kalau bukan dia yang tadi merobohkan dua orang penyerang suaminya dengan sambitan daun?

"Di mana Sri Baginda?" tanya Moguhai ketika tidak melihat ayahnya, di antara mereka.

Permaisuri yang juga menghampiri dan merangkul Moguhai karena lega dan gembira hatinya, berkata,

"Moguhai, ayahmu sedang memimpin sendiri pasukan melawan serbuan pemberontak."

"Ah, mari ikut aku keluar, Thian Liong!" kata Puteri Moguhai kepada pemuda itu.

Mereka berdua lalu cepat keluar dan benar saja, gadis itu melihat kaisar sendiri sedang memberi perintah kepada para perwira pasukan yang mempertahankan benteng. Serbuan Pasukan yang datang membuat kaum pemberontak panik dan yang sedang menyerbu ke dalam juga sudah mendengar akan datangnya pasukan Pangeran Kuang itu. Hal ini melemahkan semangat mereka dan mereka didesak keluar oleh pasukan yang berada di dalam benteng istana.

"Sri Baginda......!" seru Puteri Moguhai dengan hati bangga melihat betapa ayahnya sendiri maju memberi dorongan semangat kepada para perajurit.

Kaisar menengok dan wajahnya yang berkeringat itu berseri melihat puterinya.

"Ah, Moguhai! Kedatanganmu bersama Pangeran Kuang membawa pasukan sungguh tepat pada waktunya! Kami semua merasa gembira sekali!"

"Biarlah pasukan Paman Pangeran Kuang menghancurkan pasukan pemberontak, tidak. perlu paduka sendiri bersusah payah. Harap paduka mengaso dan saya bersama sahabat saya Souw Thian Liong ini yang akan membantu pasukan menyerbu keluar!"

Kaisar mengangguk-angguk ketika Thian Liong memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada dan membungkuk sampai dalam.

"Baiklah, kukira kini bahaya sudah lewat," kata Kaisar dan dia lalu kembali ke dalam istana, diikuti lima orang pengawal pribadi yang sejak tadi tidak pernah meninggalkannya dan selalu mengikuti dari jarak dekat ke manapun kaisar pergi.

Puteri Moguhai dan Thian Liong lalu membantu pasukan dan dengan mudah mereka mendesak para pemberontak keluar dari benteng. Kini para pemberontak dihimpit dari dalam dan luar. Mereka menjadi panik dan banyak di antara mereka terluka atau tewas.

Panglima Kiat Kon yang tinggi besar, gagah dan mukanya penuh brewok itu mengamuk seperti seekor harimau terluka. Dia sudah merasa kepalang tanggung. Ambisinya adalah umntuk menjadi panglima besar kalau Pangeran Hiu Kit Bong berhasil menduduki singgasana. Tadi penyerbuan mereka sudah hampir berhasil. Akan tetapi tiba-tiba muncul pasukan yang dipimpin Pangeran Kuang sehingga kini pasukannya terjepit antara pasukan dari luar dan dalam. Dia sendiri mengamuk di tengah-tengah pertempuran dekat benteng istana, tidak mungkin keluar dari pertempuran. Juga dia tidak ingin melarikan diri. Sudah kepalang karena andaikata dia dapat melarikan diri, keluarganya tentu tidak luput dari hukuman. Maka dia mengamuk dengan pedangnya yang besar dan berat dan sudah banyak perajurit pembela kaisar yang roboh dan tewas terkena babatan pedangnya.

Tiba-tiba pedangnya tertangkis ketika dia membabatkan ke arah seorang perajurit musuh berikutnya.

"Trangggg......!" bunga api berpijar dan Kiat Kon merasa betapa tangan kanannya tergetar hebat. Telapak tangannya yang memegang pedang terasa panas sekali sehingga hampir dia melepaskan pedangnya. Akan tetapi dia masih sempat mempertahankan pedangnya dan cepat memandang ke kanan untuk melihat siapa yang menangkis pedangnya itu. Ketika dia melihat siapa orang yang memegang pedang bengkok menangkis serangannya, mukanya berubah pucat. Kiranya Puteri Moguhai yang berdiri di depannya dengan mata bersinar penuh kemarahan.

"Puteri...... Moguhai"..!" dia berseru gagap.

"Panglima Kiat Kon, pengkhianat tak mengenal budi!" bentak Pek Hong Nio-cu atau puteri Moguhai.

"Sri Baginda telah memberi kedudukan tinggi kepadamu, akan tetapi apa balasanmu? Engkau malah menjadi pengkhianat dan pembantu pemberontak! Aku tidak dapat mengampunimu lagi?" Setelah berkata demikian, Pek Hong Nio-cu lalu menerjang dengan dahsyat.

Panglima Kiat Kon sudah tahu akan kelihaian puteri ini, maka dia menjadi gugup dan gentar. Akan tetapi tidak ada jalan keluar lagi baginya. Pasukan pembela kaisar sudah berada di mana-mana dan kiranya tidak mungkin melarikan diri dari Puteri Moguhai. Puteri itu memang pernah belajar ilmu silat dari dia sendiri. Akan tetapi itu dulu ketika Puteri Moguhai masih remaja. Sekarang ia telah memiliki ilmu silat yang jauh lebih tinggi tingkatnya daripada kepandaiannya sendiri. Maka Kiat Kon lalu melawan mati-matian.

Sementara itu, Thian Liong melihat betapa tak jauh dari situ, seorang laki-laki berusia sekitar limapuluh tahun yang bertubuh tinggi kurus, berjenggot panjang dan berkumis pendek, pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang bangsawan tinggi, sedang berdiri dengan pedang di tangan. Lima orang pengawal melindunginya, melawan para perajurit istana yang mengepung bangsawan tinggi itu. ternyata lima orang pengawal itu cukup lihai dan banyak perajurit istana yang roboh oleh amukan lima orang yang memegang golok besar itu.

Ketika melihat bangsawan itu, Thian Liong teringat akan Pangeran Hiu Kit Bong seperti yang pernah digambarkan oleh Pek Hong Nio-cu. Tinggi kurus berjenggot panjang berkumis pendek. Tentu inilah pangeran yang menjadi biang keladi pemberontakan itu. Dia cepat melompat ke arah orang itu. Dua orang pengawal menyambutnya dengan golok mereka. Akan tetapi dua kali tangan Thian Liong menampar dan dua orang itu terpelanting roboh. Kemudian Thian Liong menerjang ke depan. Pangeran Hiu Kit Bong mencoba untuk membacoknya dengan pedangnya. Akan tetapi sekali menampar dengan tangan kirinya, pedang itu terlepas dari pegangan sang pangeran dan secepat kitat Thian Liong menotoknya sehingga Pangeran Hiu Kit Bong tidak mampu bergerak lagi. Thian Liong lalu membawa tubuh Pangeran itu melompat ke atas tembok benteng dan dari tempat tinggi itu dia berseru sambil mengerahkan khi-kangnya sehingga suaranya terdengar lantang sampai jauh.

"Haiii! Para perajurit pemberontak! Lihatlah ke sini! Pemimpin kalian sudah ditawan, kalian yang tidak ingin mati cepat lempar senjata dan menyerah!!"

Suara itu lantang sekali dan terdengar oleh semua orang. Akan tetapi karena semua perajurit pemberontak tidak mengenal pemuda di atas tembok benteng yang menawan Pangeran Hiu Kit Bong, maka mereka menjadi ragu. Pada saat itu, sesosok bayangan berkelebat, melompat ke atas tembok benteng dan ternyata ia adalah Pek Hong Nio-cu. Puteri ini telah berhasil merobohkan Panglima Kiat Kon dengan sebuah tusukan yang menewaskan panglima pemberontak itu. Setelah berdiri di dekat Thian Liong, yang merangkul Pangeran Hiu Kit Bong yang sudah tidak mampu bergerak, puteri itu berteriak melengking.

"Semua perajurit pengikut Pangeran Hiu Kit Bong, lepaskan senjata kalian dan menyerahlah. Kalau tidak, kalian akan dibasmi habis! Lihat pemimpin pemberontak telah kami tawan dan Panglima Kiat Kon juga sudah tewas!"

Semua perajurit pemberontak tentu saja mengenal Puteri Moguhai dan melihat betapa Pangeran Hiu Kit Bong benar-benar telah ditawan, mereka menjadi putus asa. Tanpa ragu lagi mereka membuang senjata mereka dan menjatuhkan diri berlutut tanda menyerah.

Melalui para perwira pembantunya, Pangeran Kuang lalu menyerukan agar para perajurit pemberontak tidak dibunuh. Mereka lalu ditawan dan digiring ke benteng pasukan yang tadi membela kaisar.

Pertempuran berhenti. Para tawanan dibawa ke dalam benteng. Para perajurit melakukan penangkapan-penangkapan teradap mereka yang menjadi kaki tangan Pangeran Hiu Kit Bong, di bawah pimpinan para panglima yang setia kepada kaisar. Ada pula yang bertugas membersihkan benteng istana, merawat yang terluka dan mengurus penguburan mereka yang tewas.

Pangeran Hiu Kit Bong dan beberapa orang pembesar yang menjadi anak buah dan sekutunya, dengan kedua tangan diborgol, dihadapkan kepada kaisar, diikuti oleh Pangeran Kuang, Puteri Moguhai dan Thian Liong. Semula Thian Liong tidak ingin menghadap kaisar karena dia tidak mengharapkan imbalan jasa untuk bantuannya. Akan tetapi Pek Hong Nio-cu memaksanya. Sambil menarik tangan Thian Liong Puteri Moguhai berkata.

"Hayolah, Thian Liong. Kau ikut denganku menghadap ayahku. Engkau telah membantu kami, sudah sepantasnya kalau ayah bertemu dan mengenalmu. Pula, sekali ini engkau yang membantu aku, nanti aku akan membantumu mencari gadis berpakaian merah yang telah mencuri kitab itu. Marilah!"

Thian Liong merasa tidak enak kalau menolak, maka diapun ikut Puteri Moguhai dan Pangeran Kuang menggiring tawanan yang jumlahnya tujuh orang itu menghadap kaisar kerajaan Kin. Dia merasa janggal. Dia memasuki istana Kaisar Kin yang merupakan kerajaan yang telah mengusir Kerajaan Sung, menjajah tanah air bangsanya. Akan tetapi Thian Liong tidak merasa bersalah. Dia pasti tidak akan membantu Kerajaan Kin sekiranya kerajaan ini berperang melawan kerajaan Sung. Kalau sekarang dia membantu kerajaan Kin adalah karena dia memihak yang benar dan menentang para pemberontak yang tentu saja merupakan pihak yang tidak benar karena memberontak. Apalagi kalau diingat bahwa, Pangeran Hiu Kit Bong, pengkhianat dan pemberontak itu bersekongkol dengan Perdana Menteri Chin Kui yang harus ditentangnya karena pembesar itu hendak menguasai dan menanamkan pengaruh buruk kepada Kaisar kerajaan Sung.

Ketika mereka semua memasuki ruangan di mana Kaisar menerima mereka, Puteri Moguhai lalu berlari menghampiri ibunya dan duduk di dekat ibunya. Pangeran Kuang memberi hormat kepada kakak tirinya dengan sikap gagah sebagai seorang panglima. Para tawanan segera didorong dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaisar.

Thian Liong meragu. Kalau berhadapan dengan kaisar bangsanya sendiri, kaisar kerajaan Sung, dia tidak akan ragu-ragu untuk menjatuhkan diri berlutut sebagai penghorrmatan. Akan tetapi dia berhadapan dengan kaisar kerajaan Kin, kerajaan bangsa Nuchen yang menjajah. Maka dia hanya mengangkat kedua tangan depan dada sambil membungkuk sebagai penghormatan. Moguhai sudah mendekati kaisar dan berkata lirih.

"Sri Baginda, pemuda itu adalah Souw Thian Liong yang membantu kita dan dia pula yang menangkap Pangeran Hiu Kit Bong sehingga perlawanan pasukan pemberontak dapat dihentikan."

Kaisar telah mendengar akan bantuan seorang pendekar bangsa Han itu. Dia tersenyum dan memandang kepada Thian Liong lalu mengangguk-angguk.

"Souw sicu, silakan duduk di kursi itu. Engkau juga, Pangeran Kuang!"

Kemudian Kaisar menjatuhkan hukuman kepada para pimpinan pemberontak. Kaisar kerajaan Kin ini setelah mengambil Tan Siang Lin sebagai selir terkasih banyak mengalami perubahan. Kalau dahulu dia terkenal keras, kini dia berubah menjadi lebih lunak. Banyak nasihat dia terima dari Tan Siang Lin sehingga dia menjadi seorang penguasa yang bijaksana tidak lalim. Semua orang tentu mengira bahwa kaisar akan menghukum mati pimpinan pemberontak itu

Akan tetapi kenyataannya tidak. Seperti yang diharapkan Siang Lin, Pangeran Hiu Kit Bong dan para sekutunya tidak dijatuhi hukuman mati, melainkan dihukum buang bersama keluarga mereka di daerah utara, hidup dalam pengasingan dengan suku-suku yang masih terbelakang di sana sehingga tidak ada kemungkinan bagi mereka untuk melakukan hal-hal yang tidak baik.

Setelah tawanan itu dibawa pergi, Pangeran Kuang melaporkan gerakannya menumpas pemberontak, dimulai dari kunjungan Puteri Moguhai dan Souw Thian Liong yang membawa tawanan, yaitu Ngo-heng Kiam-tin dan belasan orang perajurit yang diutus Pangeran Hiu Kit Bong untuk membunuh Moguhai, sampai pengerahan pasukan yang dia pimpin ke kota raja dan berhasil membasmi para pemberontak pada saat yang tepat.

Setelah Pangeran Kuang selesai bercerita, tiba giliran Puteri Moguhai untuk menceritakan pengalamannya bersama Souw Thian Liong. Cerita Pek Hong Nio-cu atau Puteri Moguhai menarik perhatian semua keluarga istana yang hadir di situ. Mereka merasa kagum sekali. Setelah mendengar betapa Souw Thian Liong, seorang pemuda pribumi Han menolong kerajaan Kin dan berjasa besar, Kaisar segera berkata sambil memandang kepada Thian Liong dengan senyum ramah.

"Souw-sicu, jasamu besar sekali dan kami mengucapkan banyak terima kasih kepadamu. Katakan, apa yang kau inginkan dari kami? Permintaanmu pasti akan kami penuhi demi membalas budi dan jasamu."

Thian Liong cepat memberi hormat.

"Maafkan hamba, Sri Baginda. Harap Paduka tidak salah paham. Hamba sama sekali tidak menginginkan sesuatu. Apa yang hamba lakukan itu sama sekali bukan perbuatan jasa atau pelepasan budi, apalagi berpamrih mendapatkan imbalan, melainkan sudah menjadi kewajiban hamba untuk melakukannya. Bukan sekali-kali hamba menolak anugerah dari Paduka, hanya hamba tidak mengharapkan imbalan apa pun."

"Sri Baginda harap jangan menghadiahkan apa-apa kepada Souw Thian Liong. Dia seorang pendekar sejati, dan memberi hadiah kepadanya sama saja dengan merendahkan, bahkan menghinanya. Hamba mempunyai cara yang terbaik untuk membalas budinya. Dia sedang mencari seorang gadis berpakaian merah yang telah mencuri sebuah kitab darinya, dan dia juga bertugas untuk menentang Perdana Menteri Chin Kui di kerajaan Sung. Untuk kedua hal itu, hamba akan membantunya, dengan demikian hamba dapat membalas budi kebaikannya," kata Puteri Moguhai kepada kaisar.

Kaisar mengerutkan alisnya mendengar nama Perdana Menteri Chin Kui dlisebut. Bagaimanapun juga, Chin Kui dahulu merupakan orang yang berjasa bagi kerajaan Kin. Chin Kui yang mencegah balatentara Sung yang dipimpin Jenderal Gak Hui, jenderal yang amat pandai dan ditakuti kerajaan Kin, melanjutkan gerakannya menyerang ke utara untuk menghalau kerajaan Kin yang menguasai setengah dari daratan Cina bagian utara. Chin Kui yang berhasil membujuk Kaisar Sung untuk berdamai dengan kerajaan Kin, bahkan kerajaan Sung mengirim upeti tahunan kepada kerajaan Kin. Akan tetapi akhir-akhir ini dia melihat kecurangan Perdana Menteri Chin Kui yang mengurangi sebagian dari upeti kerajaan Sung itu untuk dirinya sendiri. Hal ini membuat hubungan mereka merenggang.

"Kenapa Perdana Menteri Chin Kui dari kerajaan Sung hendak ditentang?" tanyanya sambil memandang kepada puterinya.

Puteri Moguhai mengerti jalan pikiran ayahnya.

"Sri Baginda, Souw Thian Liong hendak menentangnya karena Chin Kui terkenal sebagai seorang pembesar yang korup dan khianat terhadap kerajaan Sung. Selain itu, ternyata dia juga menjadi sekutu Paman Pangeran Hiu Kit Bong yang memberontak kepada paduka."

Kaisar mengerutkan alisnya.

"Bersekutu dengan pemberontak?" Dia memandang puterinya dengan sinar mata penuh keheranan.

"Apa buktinya kalau dia bersekutu dengan pemberontak?"

"Buktinya sudah jelas, Sri Baginda," kata Puteri Moguhai.

"Cin Kui memang diam-diam menjalin persekutuan dengan Pangeran Hiu Kit Bong dan yang paling jelas buktinya, dia mengirim seorang utusan yang bernama Cia Song untuk menangkap hamba. Hamba hendak ditangkap dan dijadikan sandera untuk memaksa paduka menyerahkan kekuasaan kepada Pangeran Hiu Kit Bong."

Kaisar mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya.

"Hemm, aku memang sudah tahu bahwa Chin Kui adalah seorang yang licik dan curang, sama sekali tidak boleh dipercaya. Pernah dia minta kepada kami agar kami mengirim pasukan untuk membantu dan merebut tahta kerajaan Sung dari tangan Kaisar Kao Tsu, akan tetapi aku tidak mau mengkhianati perdamaian yang sudah diadakan antara kerajaan Kin dan kerajaan Sung."

"Kakanda Kaisar, bagaimana kalau hamba membawa pasukan untuk menghukum Chin Kui yang bersekongkol dengan pemberontak itu?" tiba-tiba Pangeran Kuang mengusulkan.

Kaisar menggeleng kepala.

"Tidak boleh, adinda pangeran. Kalau engkau membawa pasukan ke selatan, hal itu akan dapat menimbulkan salah paham dengan kerajaan Sung. Kalau di sana Chin Kui hendak mengadakan pemberontakan, biarlah Kaisar Sung Kao Tsu sendiri menghadapinya. Itu adalah urusan dalam negeri kerajaan Sung dan kita tidak berhak mencampurinya."

"Benar sekali, Sri Baginda. Akan tetapi kalau hamba seorang diri yang pergi membantu Souw Thian Liong, hamba tidak mewakili kerajaan kita, melainkan sebagai tindakan pribadi hamba. Hamba ingin membalas budi kebaikan Souw Thian Liong dan harap paduka tidak melarang hamba."

"Ha-ha-ha, siapakah yang dapat melarangmu, Moguhai? Apakah ayahmu ini pernah melarangmu selama ini? Engkau merantau ke sana sini sehingga mendapat julukan Pek Hong Nio-cu, dan aku tidak pernah melarangnya. Baiklah, engkau pergilah membantu Souw-sicu, akan tetapi jangan lupa untuk segera pulang. Engkau harus ingat bahwa engkau kini sudah dewasa, usiamu sudah hampir duapuluh tahun dan sudah tiba masanya bagimu untuk menikah!"

"Aihh"" paduka"..! Hamba".. belum ingin menikah," kata Pek Hong Nio-cu tersipu dan tergagap sehingga ditertawakan semua anggauta keluarga istana.

Atas permintaan Pek Hong Nio-cu, Souw Thian Liong terpaksa tinggal di istana selama beberapa hari karena gadis itu ingin melepaskan kerinduannya kepada keluarganya lebih dulu sebelum meninggalkan mereka untuk melakukan perjalanan dengan Souw Thian Liong menuju ke selatan.

Pada malam hari itu, Puteri Moguhai bercakap-cakap dengan ibunya di dalam kamarnya. Ibunya, Tan Siang Lin, merasa berat dan khawatir mendengar puterinya akan pergi ke selatan membantu Thian Liong menentang Perdana Menteri Chin Kui.

"Moguhai, anakku, aku benar-benar merasa gelisah sekali mendengar engkau akan pergi ke selatan. Kalau orang-orang kerajaan Sung mendengar bahwa engkau adalah puteri Kaisar Kin, tentu engkau akan dimusuhi dan amatlah berbahaya bagimu."

Moguhai merangkul ibunya.

"Jangan khawatir, ibu. Di dalam istana ini, aku adalah Puteri Moguhai. Akan tetapi di luar sana, aku dikenal sebagai Pek Hong Nio-cu. Di selatan nanti orang-orang akan mengenal aku sebagai Pek Hong Nio-cu dan tak seorangpun akan mengetahui bahwa aku adalah Puteri Moguhai."

"Akan tetapi pemuda she Souw itu mengetahuinya. Bagaimana kalau dia memberitahukan kepada orang-orang lain?"

"Tidak mungkin, ibu. Dia seorang sahabat yang baik dan setia. Kalau tidak ada dia, mungkin aku sudah tertimpa malapetaka. Dia boleh dipercaya, ibu."

Tan Siang Lin menghela napas panjang.

"Bagaimana pun juga, aku tetap merasa khawatir. Biarpun engkau telah memiliki ilmu silat yang tinggi dan tangguh, namun di selatan sana banyak terdapat penjahat yang sakti."

Moguhai tersenyum.

"Ibu tidak perlu khawatir. Selain aku sendiri mampu membela dan menjaga diri, juga ada Souw Thian Liong yang memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dariku. Dia lihai sekali, ibu. Lihai dan bijaksana. Dan tahukah ibu siapa gurunya? Gurunya adalah seorang sakti yang amat terkenal, yaitu bukan lain adalah Tiong Lee Cin-jin!"

Wajah Tan Siang Lin berubah. Matanya terbelalak dan mulutnya mengeluarkan seruan,

"Ahh......!" ketika ia mendengar disebutnya nama itu. Akan tetapi ia lalu menundukkan mukanya dan diam saja.

Moguhai memperhatikan sikap ibunya.

"Ibu, ada satu hal yang merupakan kejutan besar."

"Hemm, apakah itu, anakku?"

"Aku telah bertemu dengan paman Sie!"

"Eh? Benarkah? Bagaimana engkau mengetahui bahwa yang kautemukan itu Paman Sie?"

"Aku tidak lupa akan wajahnya, ibu. Aku pernah melihat dia ketika dia datang menemui ibu di taman beberapa tahun yang lalu itu. Dia benar-benar paman Sie yang telah memberi kitab-kitab dan perhiasan rambut ini kepadaku melalui ibu. Dan dialah yang menyelamatkan kami ketika aku dan Thian Liong tertawan kaki tangan pemberontak."

"Ah......!" Selir kaisar itu memandang wajah puterinya.

"Dan dia menemuimu, bicara denganmu?"

"Sayang sekali tidak, ibu. Aku hanya melihat dia di kejahuan, lalu dia menghilang setelah menolong aku dan Thian Liong." Kini gadis itu memandang wajah ibunya dengan tajam.

"Dan ada satu lagi kejutan besar, ibu."

Tan Siang Lin agaknya telah dapat menguasai perasaannya. Ia memandang puterinya sambil tersenyum dan berkata,

"Ah, engkau ini penuh dengan kejutan. Apa lagi yang hendak kauceritakan, Moguhai?"

"Paman Sie itu ternyata adalah Tiong Lee Cin-jin, guru Souw Thian Liong!"

Moguhai melihat betapa kini tidak ada perubahan pada wajah ibunya. Ia tahu bahwa hal ini jelas menunjukkan bahwa ibunya pasti telah tahu bahwa paman Sie adalah Tiong Lee Cin-jin. Dan Tan Siang Lin masih tersenyum ketika bertanya kepada puterinya.

"Bagaimana engkau dapat memastikan bahwa paman Sie itu Tiong Lee Cin-jin?"

"Ketika dia muncul setelah menyelamatkan Thian Liong dan aku, Thian Liong berseru memanggilnya dengan sebutan suhu. Suhunya adalah Tiong Lee Cin-jin, maka jelaslah bahwa paman Sie adalah Tiong Lee Cin-jin. Benarkah itu, ibu? Ibu tentu lebih mengenal dan mengetahui, bukan?"

Tan Siang Lin menghela napas dan diam saja tidak menjawab dan hanya menundukkan mukanya, kemudian malah melamun dan kedua matanya menjadi basah! Puteri Moguhai merangkul ibunya. Ia biasanya manja kepada ibunya, akan tetapi melihat ibunya seperti orang yang berduka, ia merasa gelisah dan ingin sekali menghiburnya. Ia amat menyayang ibunya.

"Ibu, ada apakah, ibu? Ibu agaknya menyimpan rahasia! Ceritakanlah kepadaku, ibu."

Tan Siang Lin menggeleng kepalanya.

"Tidak, tidak ada apa-apa, anakku. Hanya aku merasa terharu mendengar sahabat baikku itu, Paman Sie itu, telah menyelamatkan engkau. Diapun sudah menyelamatkan ayahmu ketika ayahmu terancam oleh dua orang pengawal yang agaknya menjadi kaki tangan Pangeran Hiu Kit Bong."

"Ah, benarkah ibu? Kenapa Sri Baginda tidak bercerita tentang hal itu!" kata Moguhai, ikut gembira karena bagaimanapun juga, ia merasa dekat dengan "Paman Sie" yang telah memberi tiga kitab pelajaran ilmu silat tinggi dan perhiasan rambut, dan menganggap dia sebagai gurunya walaupun ia belum pernah bertemu dan bercakap-cakap.

"Mungkin ayahmu belum sempat bercerita karena masih banyak persoalan yang harus diurus ayahmu berhubung dengan pemberontakan itu."

"Ibu saja yang bercerita! Bagaimana terjadinya peristiwa itu, Ibu?"

"Malam kemarin, ketika kami berkumpul di ruangan dalam, dalam keadaan tegang karena pada siang harinya terjadi pertempuran dan pasukan kita terdesak mundur sehingga hanya menjaga di dalam benteng istana dan pintu gerbang ditutup rapat. Malam itu tidak terjadi pertempuran akan tetapi kami semua dapat menduga bahwa besok paginya para pemberontak tentu akan menyerang lagi.

Tiba-tiba dua orang pengawal pribadi ayahmu, dengan golok di tangan, menyerang ayahmu. Mereka telah menjadi antek Pangeran Hiu Kit Bong. Karena serangan itu dilakukan tiba-tiba maka agaknya tidak ada yang akan dapat menyelamatkan ayahmu, akan tetapi tiba tiba dari luar jendela ada dua sinar hijau meluncur masuk dan mengenai dua orang penyerang itu yang senjata mereka terlepas dan mereka sendiri lalu terpelanting. Mereka ditangkap para pengawal lainnya dan ternyata yang menancap di tangan mereka hanyalah dua helai daun hijau!"

Moguhai memandang ibunya dengan sinar mata kagum.

"Hebat! Bukan main! Daun basah dapat dipergunakan sebagai senjata rahasia! Alangkah saktinya!"

"Aku tahu bahwa hanya paman Sie saja yang mampu melakukan hal itu. Aku memandang keluar jendela dan aku yakin melihat bayangannya berkelebat di luar jendela. Kemudian, selagi ayahmu bertanya-tanya di mana adanya engkau, tiba-tiba dari luar jendela melayang sehelai kertas bersurat." Tan Siang Lin lalu mengambil sebuah lipatan kertas dari ikat pinggangnya dan menyerahkannya kepada Moguhai.

"Inilah suratnya, masih kusimpan."

Moguhai yang sudah merasa kagum sekali cepat menerima surat itu dan membuka lipatan lalu membacanya.

"Moguhai dan Pangeran Kuang sedang menuju ke kota raja dengan pasukannya. Pertahankan istana sampai mereka datang."

"Ibu yakin bahwa surat inipun dilayangkan oleh Paman Sie?" tanya puteri itu.

Ibunya mengangguk.

"Aku yakin sekaIi. Aku mengenal tulisannya yang indah itu."

Diam-diam Moguhai menduga bahwa tentu hubungan antara ibunya dan Paman Sie amat akrab, kalau tidak begitu tentu ibunya tidak akan dapat mengenal tulisan Paman Sie! Apakah mereka itu pernah saling bersurat-suratan? Moguhai tidak berani menanyakan ini karena takut menyinggung perasaan ibunya dengan dugaan yang terlalu jauh itu.

"Ibu menurut cerita Thian Liong, Tiong Lee Cin-jin itu melakukan perantauan jauh ke barat sampai belasan tahun dan ketika dia kembali, dia membawa banyak kitab milik aliran-aliran persilatan yang dulunya hilang. Dia mengembaIikan kitab-kitab itu kepada pemilik aselinya. Paman Sie juga telah memberi tiga jilid kitab pelajaran ilmu silat yang tinggi kepadaku. Juga ilmu kepandaian mereka berdua itu amat tinggi. Aku kira mereka berdua itu hanya satu orang saja. Benarkah bahwa paman Sie itu adalah Tiong Lee Cin-jin?"

Tan Siang Lin menghela napas.

"Mungkin sekali demikian, Moguhai. Dia tidak pernah mengatakan kepadaku bahwa dia juga disebut Tiong Lee Cin-jin walaupun"" eh, dia juga telah pergi selama belasan tahun lamanya dan kami tidak pernah saling berjumpa."

"Hemm, dan ibu baru berjumpa padanya di taman itu setelah belasan tahun saling berpisah?"

Tan Siang Lin mengangguk dan kembali menghela napas.

"Sudahlah, Moguhai. Jangan banyak membicarakan dia, tidak enak kalau didengar orang lain, disangkanya nanti ada apa-apa"..."

"Jangan khawatir, ibu. Aku selalu merahasiakan Paman Sie seperti yang ibu pesan dulu."

"Baik sekali kalau begitu, anakku. Ingat saja bahwa Paman Sie itu adalah gurumu dan dulu, dulu sekali dia adalah sahabat baik ibumu."

Moguhai amat menyayang ibunya. Setelah ibunya berkata demikian iapun membelokkan percakapan tentang hal lain dan tidak menyinggung nama Paman Sie lagi. Setelah melepaskan kerinduannya kepada keluarga istana selama tiga hari, Moguhai lalu ikut Thian Liong melakukan perjalanan ke Selatan.

Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu, lebih tepat kita sebut Pek Hong Nio-cu karena selama melakukan perjalanan bersama Thian Liong ia tidak pernah mengaku sebagai Puteri Moguhai, menunggang kuda di sebelah Thian Liong. Mereka telah melakukan perjalanan jauh dan kini sudah mulai memasuki wilayah kerajaan Sung setelah kemarin mereka menyeberangi Sungat Yang-ce.

Selama perjalanan mereka di wilayah kerajaan Kin, yaitu di seberang utara Sungai Yang-ce, mereka tidak menemui banyak kesulitan. Pek Hong Nio-cu selalu disambut dengan penuh kehormatan setelah para pembesar setempat mengetahui, dari pedang kekuasaannya, bahwa ia adalah puteri kaisar. Dan perjalanan itu dipergunakan pula oleh Pek Hong Nio-cu menyelidiki para pembesar. Kalau menemukan pembesar yang sewenang-wenang terhadap rakyat, jahat dan korup, seperti raja kecil yang lalim, ia segera turun tangan memberi hajaran dan memperingatkan mereka dengan keras.

Pada suatu pagi mereka memasuki Kota Ciu-siang, kota pertama wilayah kerajaan Sung yang berada di daerah barat. Mereka tidak langsung memasuki wilayah Kerajaan Sung dari timur yang sebetulnya lebih dekat dan mereka dapat langsung tiba di Lin-an (Hang-chouw) yaitu kota raja Sung karena daerah timur itu merupakan tempat yang gawat, perbatasan dijaga kedua pihak sehingga melakukan perjalanan lewat daerah itu akan mengalami banyak gangguan dan bahaya.

Karena malam tadi mereka berdua melakukan perjalanan setengah malam di bawah sinar bulan purnama, mereka dan juga kuda mereka telah lelah. Pek Hong Nio-cu mengajak Thian Liong yang kini menjadi penunjuk jalan di daerah Sung yang lebih dikenalnya, untuk mencari rumah penginapan agar mereka dapat beristirahat. Sebelum memasuki daerah kerajaan Sung, atas nasihat Thian Liong, Pek Hong Nio-cu mengganti pakaiannya dengan pakaian yang biasa dipakai para gadis pribumi Han. Hal ini amat penting karena kalau ia mengenakan pakaian gadis bangsawan bangsa Nu chen (Yuchen), hal itu akan menimbulkan banyak masalah dan mungkin saja ia akan dimusuhi oleh rakyat pribumi.

Pek Hong Nio-cu yang memang sudah mempersiapkan pakaian pengganti, memakai pakaian gadis Han, akan tetapi tetap saja pakaian itu dari sutera putih dan perhiasan burung Hong di kepalanya masih dipakainya, hanya gelung rambutnya disesuaikan dengan bentuk gelung rambut gadis pribumi Han. Penampilannya tidak menimbulkan kecurigaan sama sekali karena wajah puteri itu memang lebih mirip gadis pribumi Han daripada bangsa Nuchen. Hanya saja, karena ia memang amat cantik jelita, maka di mana saja, orang-orang, terutama para pria, yang melihatnya akan memandang dengan kagum.

Mereka berdua turun dari atas punggung kuda mereka di pelataran sebuah rumah penginapan. Seorang pelayan segera menyambut dan mengurus kuda mereka. Mereka lalu berjalan memasuki ruangan depan rumah penginapan itu dan minta kamar kepada pengurus penginapan yang duduk di belakang meja penerima tamu.

Agaknya memang menjadi peraturan di kota dekat perbatasan itu bahwa para tamu harus memperkenalkan namanya. Ketika ditanya, Thian Liong menjawab tenang.

"Namaku Souw Thian Liong dan nona ini adalah adikku, Souw-siocia (Nona Souw). Kami hendak pergi ke kota raja.

Mereka menyewa dua buah kamar yang berdampingan. Mereka lalu memasuki kamar masing-masing untuk tidur karena merasa lelah dan mengantuk. Setelah matahari naik tinggi, keduanya terbangun dengan tubuh terasa segar kembali. Setelah mandi dan menukar pakaian, mereka berdua pergi ke rumah makan yang berada di samping rumah penginapan dan memesan makanan.

Se!agi mereka minum air teh sehabis makan, tiba-tiba mereka dan semua orang yang sedang makan dalam rumah makan itu dikejutkan oleh masuknya serombongan orang yang ternyata adalah perajurit-perajurit berpakaian seragam dan jumlah mereka ada belasan orang, dipimpin oleh seorang perwira yang bertubuh tinggi besar.

Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu bersikap tenang dan memandang kepada perwira yang memimpin pasukan kecil itu. Mereka melihat pula pengurus rumah penginapan yang juga tampak memasuki rumah makan dan orang ini mendekati sang perwira dan menudingkan telunjuknya ke arah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu. Mengikuti petunjuk pengurus rumah penginapan, perwira itu segera melangkah lebar menghampiri Thian Liong, diikuti belasan orang anak buahnya.

Para tamu rumah makan menjadi ketakutan dan mereka bergegas meninggalkan rumah makan itu setelah cepat-oepat menghentikan makan mereka dan membayar harga makanan di meja pengurus rumah makan. Berdasarkan pengalaman, kalau pasukan datang, tentu terjadi keributan dan mereka tidak ingin tersangkut.

Tak lama kemudian, hanya tinggal Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu yang masih tinggal di rumah makan itu. Para pelayan rumah makan juga sudah keluar dan berkumpul di pelataran, menonton dari kejauhan.

Biarpun maklum bahwa perwira yang diikuti serombongan perajurit itu menghampiri meja mereka, Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu masih tenang saja. Bahkan Pek Hong Nio-cu dengan sikap acuh mengangkat cangkir air tehnya dan minum.

Setelah tiba dekat meja, Thian Liong, perwira yang berusia kurang lebih empatpuluh tahun, tinggi besar dan mukanya brewok, matanya lebar itu memandang kepada Thian Liong lalu bertanya dengan suara parau dan sikapnya kasar.

"Hei, apakah kamu yang bernama Souw Thian Liong?"

Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnys dan merasa tak senang, akan tetapi Thian Liong memberi isyarat kepadanya agar diam, lalu dia sendiri dengan sikap tenang menjawab.

"Benar, aku bernama Souw Thian Liong. Ada apakah, ciang-kun (perwira)?"

"Bagus!" Perwira itu mencabut pedangnya, diikuti belasan orang anak buahnya yang juga mencabut golok mereka.

"Souw Thian Liong, menyerahlah, kami harus menangkapmu. Jangan melawan agar kami tidak perlu menggunakan kekerasan!"

Thian Liong masih tetap duduk tenang. Pek Hong Nio-cu bahkan lebih tenang lagi. Tanpa memperdulikan pasukan kecil itu yang mengepung dan semua mata ditujukan kepadanya dengan mata penuh marah dan mulut menyeringai kurang ajar, ia menuangkan air teh dari poci memenuhi cangkirnya.

"Aku tidak mempunyai kesalahan apapun, ciangkun. Kenapa engkau hendak menangkap aku? Katakan dulu apa kesalahanku, kalau aku memang bersalah, tentu aku menyerah dengan senang hati untuk kautangkap," kata Thian Liong, tidak menunjukkan rasa penasaran di hatinya dalam ucapan atau sikapnya.

Perwira tinggi besar itu tertawa.

"Ha-ha-ha, engkau masih pura-pura bertanya? Engkau adalah seorang buruan pemerintah. Engkau seorang pengkhianat yang menjadi antek kerajaan Kin, tentu engkau hendak memata-matai daerah ini, bukan? Nah, menyerahlah kutangkap dan kuhadapkan kepada jaksa! Dan Nona inipun akan kami tangkap karena ia berada bersamamu, apalagi engkau mengaku bahwa ia adikmu, tentu tersangkut dengan pengkhianatan dan kejahatanmu!" Perwira itu lalu menoleh kepada anak buahnya.

"Belenggu kedua tangan pengkhianat ini!"

Akan tetapi pada saat itu, Pek Hong Nio-cu sudah menggerakkan cangkir tehnya dan air . teh dari cangkir itu menyiram muka si perwira dengan cepat sekali.

"Ah...... aduh......!" Perwira itu meraba mukanya yang terasa perih seperti ditusuki jarum dan matanya pedas tersiram air teh yang masih panas! "Serang mereka!" bentaknya sambil menggosok-gosok matanya yang belum dapat dibuka.

Belasan orang perajurit itu lalu menerjang maju dan menggerakkan golok mereka menyerang Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu!

"Nio-cu, jangan bunuh orang!" Thian Liong berseru kepada gadis itu.

Pek Hong Nio-cu menendang meja di depannya. Meja melayang dan menimpa para perajurit sehingga empat orang kena hantam meja dan roboh. Dua orang muda itu lalu melompat dan kaki tangan mereka bergerak cepat. Terdengar teriakan teriakan mengaduh disusul golok beterbangan lepas dari tangan para perajurit dan tubuh mereka berpelantingan menabrak meja kursi dalam ruangan rumah makan itu!

Si perwira yang belum sempat dapat membuka matanya, disambar sebuah kaki mungil Pek Hong Nio-cu.

Tendangan itu mengenai perutnya, terdengar suara berdebuk dan tubuh perwira itu terjengkang dan terbanting ke atas lantai. Dia mengaduh dan memegangi perutnya yang tiba-tiba terasa mulas melilit-lilit. Mungkin usus buntunya kena tendang Pek Hong Nio-cu. Dua orang muda itu mengamuk dan dengan tamparan dan tendangan, dalam waktu pendek saja belasan orang perajurit itupun sudah dapat mereka robohkan.

"Kita pergi!" kata Thian Liong dan mereka berdua cepat meninggalkan rumah makan, kembali ke rumah penginapan, bermaksud mengambil buntalan pakaian mereka. Akan tetapi ternyata buntalan pakaian itu sudah tidak ada lagi!

Mereka cepat keluar dan Thian Liong sudah menangkap leher baju pengurus rumah penginapan dan membentak,

"Katakan di mana buntalan pakaian kami!" Dia mengguncang orang itu yang menjadi ketakutan.

"Maaf...... kami...... kami tidak berdaya...... buntalan-buntalan itu telah disita perajurit......!"

"Keparat!" Pek Hong Nio-cu berseru marah.

"Sudahlah, kita pergi, ambil kuda!"

Mereka berlari ke kandang kuda. Untung bahwa pedang dan bekal perhiasan Pek Hong Nio-cu tadi dibawa ketika makan sehingga yang tersita hanya pakaian saja. Setelah tiba di kandang kuda, mereka melihat empat orang perajurit seclang menuntun kuda mereka. Mereka menjadi marah dan melompat ke depan, merobohkan empat orang perajurit itu dengan mudah lalu keduanya melompat ke atas punggung kuda dan membalapkan kuda mereka keluar dari kota Ciu-siang.

Setelah jauh meninggalkan kota Ciu-siang ke arah timur, menyusuri sungai Yang-ce tiba di kota Ki-bun. Mereka berhenti di tempat yang sepi di luar kota yang sudah tampak tak jauh di depan, lalu melompat turun dari kuda dan duduk di atas batu di tepi jalan. Mereka tadi telah membalapkan kuda selama beberapa jam. Matahari mulai condong ke barat.

Pek Hong Nio-cu menghapus keringat dari dahi dan lehernya, menggunakan sehelai saputangan.

"Ah, aku merasa tidak enak kepadamu, Thian Liong. Agaknya pemerintah Kerajaan Sung telah menganggap engkau menjadi pengkhianat dan menjadi mata mata Kerajaan Kin. Ini tentu akibat engkau membantu kami di sana."

"Tidak perlu merasa begitu, Nio-cu. Aku membantu kerajaan ayahmu untuk menentang pemberontakan di sana, bukan untuk memusuhi kerajaan Sung. Ini tentu fitnah belaka. Akan tetapi sungguh heran, bagaimana mereka bisa tahu?"

Pek Hong Nio-cu tersenyum.

"Aku tahu, Thian Liong. Pasti suhengmu yang jahat itu yang menyebarkan fitnah ini sehingga engkau dicap sebagai buronan pemerintah kerajaan Sung."

"Hemm, kalau benar-benar demikian, sungguh jahat sekali Cia Song. Dia memutar-balikkan kenyataan. Dialah sesungguhnya pengkhianat yang sangat jahat, antek Perdana Menteri Chin Kui. Akan tetapi, aku masih sangsi. Jangan-jangan hanya pembesar di kota Ciu-siang saja yang entah bagaimana memang membenciku."

"Mari kita mencoba lagi. Kita memasuki kota di depan itu, sekalian kita membeli pakaian pengganti karena pakaian kita telah habis disita di kota Ciu-siang."

"Baik, mari kita memasuki kota di depan itu. Kalau tidak salah, itu adalah kota Ki-bun."

"Akan tetapi sebaiknya kalau kuda kita ditinggal di luar kota, Thian Liong. Kalau benar dugaanku bahwa namamu sudah dicap sebagai buronan pemerintah sehingga di kota Ki-bun engkau juga akan dikejar-kejar, kita lebih mudah untuk melarikan diri," kata Pek Hong Nio-cu.

Thian Liong menyetujui usul ini dan mereka menemukan sebuah rumah petani di luar kota. Mereka lalu menitipkan kuda dan pedang mereka kepada nenek petani pemilik rumah itu, kemudian mereka berdua berjalan memasuki kota Ki bun. Mereka meninggalkan pedang agar tidak menarik perhatian orang.

Benar saja, mereka memasuki kota Ki-bun dengan aman dan Pek Hong Nio cu mengajak Thian Liong berbelanja pakaian di toko. Setelah membungkus pakaian mereka dalam buntalan dan mereka gendong di punggung, Thian Liong mengajak Pek Hong Nio-cu pergi ke sebuah rumah penginapan dan dengan sengaja Thian Liong memperkenalkan nama lengkapnya kepada pengurus rumah penginapan. Mereka lalu makan di rumah makan dan kembali ke rumah penginapan untuk melewatkan malam dalam dua buah kamar yang mereka sewa.

Malam itu, mereka tidur dalam keadaan siap siaga. Buntalan pakaian sudah dipersiapkan di atas meja dan mereka merebahkan diri dengan pakaian lengkap berikut sepatu agar kalau ada apa-apa mereka dapat cepat melarikan diri membawa buntalan pakaian yang baru mereka beli sore itu. Mereka menunggu dengan tenang-tenang saja dan dapat tidur pulas walaupun mereka tetap waspada sehingga biarpun tertidur, mereka peka sekali.

Ternyata mereka tidak perlu menunggu terlalu lama. Seperti yang mereka duga, umpan pancingan Thian Liong berhasil. Pengurus rumah penginapan itu memang sudah mencatat nama Souw Thian Liong sebagai buronan pemerintah, seperti juga para pengurus semua penginapan. Begitu mengetahui bahwa tamunya bernama Souw Thian Liong, pengurus penginapan segera melaporkan kepada komandan pasukan keamanan setempat. Komandan itu segera membawa tigapuluh orang anak buahnya dan pasukan ini mengepung dua kamar di mana Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu berada.

Komandan pasukan lalu menggedor daun pintu kamar Thian Liong.

"Tok-tok-tok! Souw Thian Liong, keluar dan menyerahlah!"

Mendengar gedoran pintu dan teriakan ini, Thian Liong segera menyambar buntalan pakaian dan digendongnya. Demikian pula yang dilakukan Pek Hong Nio-cu. Mereka berdua, hampir bersamaan membuka daun pintu dan menerjang keluar.

"Tangkap! Serang mereka!" Komandan pasukan itu memberi aba-aba.

Tigapuluh orang anak buahnya bergerak dengan golok di tangan. Akan tetapi, seperti sudah mereka sepakati, Pek Hong Nio-cu dan Thian Liong tidak melayani mereka berkelahi. Dua orang itu menerjang keluar, merobohkan siapa saja yang menghadang dengan tamparan atau tendangan. Mereka yang berani menghadang roboh terpelanting dan dua orang muda itu bagaikan dua ekor burung saja lalu melompat jauh ke depan, keluar dari rumah penginapan itu. Komandan pasukan berteriak-teriak, memberi aba-aba pengejaran dan mereka semua mengejar keluar. Akan tetapi Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu mempergunakan ilmu berlari cepat dan sebentar saja mereka sudah menghilang dalam kegelapan malam karena bulan belum muncul. Para pengejar kehilangan jejak dan arah. Dengan ngawur mereka menggeledahi rumah-rumah sehingga penduduk kota Ki-bun menjadi geger.

Yang dikejar dan dicari sudah berada di luar kota. Pek Hong Nio-cu memberi hadiah dua potong perak kepada nenek petani itu yang menerimanya dengan gembira sekali. Dua potong itu baginya merupakan jumlah yang amat banyak.

Nenek janda ini berulang-ulang mengucapkan terima kasih dan merasa heran akan tetapi tidak berani bertanya ketika dua orang tamunya itu malam-malam begitu melanjutkan perjalanan mereka.

Sekarang yakinlah mereka berdua bahwa nama Souw Thian Liong memang sudah disiarkan di semua kota sebagai buruan pemerintah, sebagai pengkhianat yang jahat dan berbahaya!

"Heran sekali! Kalau benar Cia Song yang melakukan fitnah ini, bagaimana dia dapat menyiarkan fitnah itu ke semua kota, dan bagaimana pula para pembesar setempat percaya akan keterangan palsunya itu?" kata Thian Liong ketika mereka berdua melanjutkan perjalanan setelah meninggalkan kota Ki-bun.

"Kenapa heran, Thian Liong? Tentu saja Cia Song tidak menyiarkan fitnah itu oleh dia sendiri. Lupakah bahwa dia adalah antek dari Perdana Menteri Chin Kui yang berkuasa? Tentu dia melaporkan segala hal yang terjadi di kerajaan kami itu kepada Chin Kui dan Chin Kui yang menyebarluaskan fitnah itu melalui para pembesar. Dengan kekuasaan dan pengaruhnya yang besar, tentu saja dia dapat memerintahkan para pembesar untuk menangkapmu. Mungkin juga dia sudah membujuk Kaisar Sung Kao Tsu dengan meyakinkan hati kaisar itu bahwa engkau benar-benar seorang pengkhianat sehingga kaisar sendiri yang mengeluarkan perintah penangkapan atas dirimu."

Thian Liong mengerutkan alisnya dan mengepal tinjunya.

"Ah, alangkah jahatnya Cia Song dan Perdana Menteri Chin Kui!"

"Karena itu, kita harus berhati-hati, Thian Liong. Menurut pendapatku, sebaiknya engkau jangan ke kota raja lebih dulu karena kalau sampai engkau ketahuan memasuki kota raja dan pasukan bergerak untuk menangkapmu, tentu akan berbahaya sekali bagimu. Bagaimana engkau, dibantu olehku sekalipun, akan dapat melawan pasukan besar kota raja, apalagi di sana terdapat banyak jagoan jagoan yang tinggi ilmunya?"

"Hemm, agaknya pendapatmu itu ada benarnya, Nio-cu. Akan tetapi kalau aku tidak pergi ke kota raja, lalu bagaimana aku dapat melakukan tugasku menentang Perdana Menteri Chin Kui? Dan akupun harus mencari Cia Song. Orang itu ternyata jahat dan palsu. Dia adalah seorang pengkhianat Siauw-lim-pai dengan menjadi murid Ali Ahmed datuk sesat itu dan juga telah mengkhianati kerajaan Sung. Malah dia juga membantu pemberontakan di kerajaan Kin. Aku harus menangkapnya dan membawanya ke Siauw-lim-pai agar dia mendapatkan keputusan peradilan di Siauw-lim-pai."

"Akan tetapi, ketika dahulu kita akan ditangkap itu, Cia Song mengatakan bahwa engkau akan ditawan dan dibawa ke Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai untuk menerima hukuman. Apa artinya kata-kata itu?"

"Hemm, aku sendiri juga tidak tahu apa yang dia maksudkan. Aku tidak merasa melakukan kesalahan apapun terhadap Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai. Akan tetapi aku masih bingung, karena sekarang aku dinyatakan buronan oleh pembesar Kerajaan Sung, lalu bagaimana aku dapat pergi ke kota raja?"

"Kita mencari jalan nanti, Thian Liong. Yang penting, sekarang kita harus menghindari kota-kota besar. Tidak mungkin pejabat kecil di desa sudah mendengar bahwa engkau dinyatakan buron oleh pemerintah. Kita melewati desa-desa saja, dan kita mencoba untuk mencari gadis baju merah yang telah mencuri kitabmu. Nanti kita mencari jalan untuk melakukan penyelidikan di kota raja tentang Chin Kui dan Cia Song. Kurasa untuk menentang Perdana Menteri itu tidak mungkin kaulakukan seorang diri saja. Dia tentu mempunyai banyak pendukung dan pasukan."

Thian Liong mengangguk-angguk. Diam-diam dia kagum kepada puteri ini. Ternyata selain lihai ilmu silatnya dan baik budinya, Pek Hong Nio-cu juga berpandangan luas dan agaknya dapat membuat perhitungan dengan teliti. Masih begitu muda namun agaknya pengertiannya tentang seluk beluk pemerintahan dan lawan-lawannya cukup luas.

"Ah, Nio-cu. Kalau tidak ada engkau yang membantuku, entah apa yang akan kulakukan. Aku sendiri menjadi bingung melihat pemerintah menganggap aku seorang pengkhianat yang harus ditangkap."

"Tenanglah, Thian Liong. Bukankah engkau sendiri yang pernah menasihatiku bahwa orang yang benar dilindungi Tuhan? Setidaknya kita berdua tahu benar bahwa engkau bukan pengkhianat, bukan mata-mata kerajaan Kin, engkau tidak bersalah. Ini semua hanya fitnah yang dilakukan seorang yang jahat, yaitu Cia Song yang dibantu oleh seorang pembesar lalim seperti Chin Kui. Kita akan lawan mereka dan kita harus yakin bahwa akhirnya kita akan dapat mengalahkan mereka."

Bagaimanapun juga keadaan dirinya yang menjadi orang buruan pemerintah tanpa melakukan kesalahan apapun itu membuat Thian Liong menjadi murung. Dia berhutang budi kepada gurunya dan dia selalu menaati perintah gurunya. Tiong Lee Cin-jin menyuruh dia menyerahkan kitab-kitab kepada mereka yang berhak. Perintah pertama ini belum dilaksanakan semua, bahkan mengalami kegagalan karena sebuah kitab milik Kun lun-pai dicuri gadis baju merah dan sampai sekarang dia belum dapat menemukannya kembali untuk diserahkan kepada Kun-lun-pai. Kemudian, perintah kedua agar dia membela kerajaan dan menentang Perdana Menteri Chin Kui, belum dia laksanakan malah sekarang dia dianggap pengkhianat oleh kerajaan Sung dan menjadi orang buruan yang dikejar-kejar dan hendak ditangkap pemerintah.

Hal ini membuat dia murung dan kecewa kepada diri sendiri. Dia merasa malu kepada gurunya yang demikian baiknya. Bahkan ketika dia dan Pek Hong Nio-cu terancam bahaya dan tertawan oleh pemberontak kerajaan Kin, gurunya itu muncul dan menyelamatkannya! Dia yakin bahwa gurunya yang berilmu tinggi itu pasti sudah tahu akan semua kegagalannya dan hal ini membuat dia merasa malu sekali.

Melihat wajah Thian Liong yang muram dan tidak bahagia, Pek Hong Nio-cu merasa iba.

"Thian Liong, sudah lama sekali, ketika masih kanak-kanak, ibuku bercerita kepadaku tentang keindahan sebuah telaga yang disebutnya See-ouw (Telaga Barat). Aku ingin sekali melihat keindahan telaga itu. Maukah engkau mengajak aku ke sana?"

Ucapan itu dikeluarkan dengan nada suara yang manis dan membujuk sehingga Thian Liong merasa tidak tega untuk menolak. Maka, mereka mengurungkan perjalanan mereka menuju Lin-an, kota raja Kerajaan Sung Selatan, melainkan membalik, menuju ke arah Telaga Barat.

Sepasang suami isteri yang menunggang kuda, menjalankan kudanya perlahan-lahan menyusuri sepanjang tepi See ouw (Telaga Barat) yang cukup luas itu.

Pagi itu matahari yang baru muncul dari balik bukit, tampak berseri dan cahaya yang masih lembut itu menghangatkan tubuh dan hati kedua orang suami isteri yang menunggang kuda dengan santai itu. Mereka menikmati keindahan alam pagi hari itu, tidak pernah merasa bosan walaupun sudah bertahun-tahun mereka seringkali melakukan perjalanan seperti itu.

Yang pria berusia sekitar empatpuluh lima tahun, akan tetapi dia tampak lebih tua daripada umurnya. Rambut di atas kedua telinganya sudah memutih dan ada garis-garis duka pada wajahnya. Wajahnya biasa saja, tidak terlalu tampan namun tidak pula jelek, akan tetapi pada mata dan mulut itu, juga pada sikap tubuh dan penampilannya, membayangkan kejantanan dan kegagahan. Sebatang pedang yang berada di pungungnya menambah kegagahannya. Dia memang seorang yang gagah perkasa, bahkan pernah menjadi komandan Pasukan Halilintar, sebuah pasukan dalam barisan yang dipimpin mendiang Jenderal Gak Hui yang amat terkenal itu. Pria ini bukan lain adalah Han Si Tiong yang sudah kita kenal dalam bagian awal kisah ini.

Adapun isterinya, yang menunggang kuda di sampingnya, adalah Liang Hong Yi, berusia sekitar tigapuluh delapan tahun. Wajahnya cantik manis, berbentuk bulat telur, terutama sekali bibirnya yang membuat ia tampak menarik sekali, apa lagi ada tahi lalat di dagu yang menambah kemanisannya. Juga wanita ini membawa pedang di punggungnya.

Pada awal kisah ini diceritakan betapa Han Si Tiong dan Liang Hong Yi, duabelas tahun yang lalu, ikut berjuang sebagai bawahan mendiang Jenderal Gak Hui, melawan pasukan-pasukan Kin di perbatasan. Suami isteri ini dengan Pasukan Halilintarnya membuat kemenangan dan jasa, akan tetapi tiba-tiba saja mendiang Jenderal Gak Hui menerima perintah dari kaisar untuk menarik mundur pasukannya. Ini adalah akibat dari bujukan Perdana Menteri Chin Kui kepada Kaisar yang menghentikan perang terhadap kerajaan penjajah Kin. Bahkan kemudian Perdana Menteri Chin Kui berhasil membujuk Kaisar dan menjatuhkan fitnah kepada Jenderal Gak Hui sehingga panglima yang gagah perkasa dan setia ini dihukum mati.

Han Si Tiong dan Liang Hong Yi dalam sebuah pertempuran berhasil menewaskan Pangeran Cu Si, pangeran Kerajaan Kin. Mereka mengambil pedang bengkok pangeran Kin ini untuk oleh-oleh puterinya, Han Bi Lan, yang ketika itu berusia kurang lebih tujuh tahun dan yang memang memesan kepada ayahnya agar dioleh-olehi pedang bengkok itu. Akan tetapi ketika mereka berdua pulang ke Lin-an, mereka mendapatkan bahwa Lu-ma, pengasuh Bi Lan, tewas terbunuh orang dan puteri mereka itu lenyap diculik pembunuh itu!

Han Si Tiong dan Liang Hong Yi merantau untuk mencari puteri mereka yang hilang. Namun semua usaha bertahun-tahun mereka sia-sia. Dan mereka mendengar betapa Jenderal Gak Hui telah dijatuhi hukuman mati. Hal ini membuat mereka berduka sekali dan mereka tidak mau kembali ke kota raja, tidak mau mengabdi kepada Kaisar. Setelah bertahun-tahun mencari puterinya dengan sia-sia, akhirnya mereka tinggal di sebuah dusun Kian-cung dekat Telaga Barat. Mereka membeli tanah, mendirikan rumah sederhana dan menjadi petani.

Seringkali suami isteri ini menunggang kuda berjalan-jalan di waktu pagi menyusuri tepi telaga. Tidak ada seorangpun penduduk daerah telaga itu yang mengetahui bahwa Han Si Tiong, yang mereka sebut Han-sicu dan Liang Hong Yi yang mereka sebut Han-toanio adalah suami isteri yang dulu pernah memimpm Pasukan Halilintar yang terkenal. Para penduduk hanya mengenal mereka sebagai seorang gagah yang memberantas kejahatan di telaga sehingga daerah itu menjadi aman dan tidak ada lagi perampok yang suka mengganggu penduduk pedusunan. Mereka dihormati semua orang yang tinggal sekitar Telaga Barat.

Pagi itu, seperti biasa, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi berjalan-jalan menunggang kuda di tepi telaga. Ketika mereka tiba di bagian yang sepi karena daerah itu berhutan yang panjangnya sekitar dua lie (mil) di tepi telaga dan melewati sebuah pohon besar, tiba-tiba kedua ekor kuda tunggangan mereka meringkik dan mengangkat kedua kaki depan ke atas dengan ketakutan.

Han Si Tiong dan Liang Hong Yi cepat melompat turun agar tidak sampai terjatuh dan mereka memegang kendali kuda, berusaha menenangkan kuda mereka. Akan tetapi pada saat itu, seekor ular kobra melompat dari depan dan dengan cepat sekali, seperti anak panah menyambar, ular itu menggigit kaki kedua ekor kuda itu. Kuda-kuda itu meringkik keras, meronta sehingga kendali yang dipegang Han Si Tiong dan Liang Hong Yi putus. Dua ekor kuda itu melompat, akan tetapi baru beberapa tombak jauhnya mereka Iari, mereka lalu roboh terguling dan tewas seketika!

Han Si Tiong dan Liang Hong Yi marah sekali melihat kuda mereka tewas digigit ular kobra. Mereka mencabut pedang dan bermaksud membunuh ular kobra itu. Akan tetapi tiba-tiba ular kobra itu melayang ke bawah pohon besar.

Suami isteri itu memandang dan mereka terbelalak kaget dan heran melihat betapa ular kobra itu ditangkap seorang kakek dan setelah berada di tangan kakek itu ular kobra yang tadi menggigit mati dua ekor kuda mereka, kini berubah menjadi sebatang tongkat ular kobra kering! Suami isteri itu, dengan pedang masih di tangan, memandang kepada kakek itu dengan penuh perhatian.

Kakek itu sudah tua, tentu sudah lebih dari tujuhpuluh tahun usianya. Rambut, kumis dan jenggotnya yang lebat sudah putih semua. Kepalanya yang berambut putih itu ditutupi sebuah topi yang biasa dipakai oleh suku bangsa Uigur. Tubuhnya sedang, agak kurus namun masih membayangkan ketegapan dan kekuatan. Wajah yang berkumis dan berjenggot lebat itu tampak menyeramkan, terutama karena sepasang matanya liar, bergerak gerak ke kanan kiri dan bersinar tajam dan mengandung kekuatan dan wibawa.

Kakek yang tadinya duduk bersandar batang pohon besar itu kini terkekeh aneh dan bangkit berdiri, bertopang pada tongkatnya yang ternyata merupakan seekor ular kobra kering yang tentu saja sudah mati dan kaku keras. Sepasang suami isteri itu menatap ke arah tongkat itu dan hati mereka merasa ngeri.

Bagaimana mungkin seekor ular kobra yang sudah mati, kaku dan kering, tiba tiba dapat hidup kembali dan menggigit dua ekor kuda mereka sampai mati keracunan? Mereka berdua adalah ahli-ahli silat yang pandai, akan tetapi menghadapi peristiwa tadi, mereka maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang ahli sihir yang berbahaya. Hanya dengan kekuatan sihir saja ular yang mati dapat menyerang seperti ular hidup! Han Si Tiong maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, maka diapun mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan, diturut oleh isterinya.



KISAH SI NAGA LANGIT JILID 20

"Lo-cianpwe, kami suami isteri merasa heran dan tidak mengerti mengapa lo-cianpwe membunuh dua ekor kuda kami? Apakah kesalahan kami?" tanya Han Si Tiong, menahan kemarahannya.

Kakek itu terkekeh dan menudingkan tongkatnya ke arah Han Si Tiong lalu memukul-mukulkan tongkat itu ke atas tanah.

"He-he-he! Dia bertanya apa kesalahannya? Kalian adalah Han Si Tiong dan Liang Hong Yi yang duabelas tahun lalu memimpin Pasukan Halilintar di bawah mendiang Jenderal Gak Hui, bukan?"

Karena kakek itu sudah mengetahui hal itu, Han Si Tiong tidak menyangkal lagi.

"Benar, kalau begitu, kenapa?"

Wajah yang tadinya tertawa itu tiba tiba berubah cemberut dan tambah menyeramkan. Sepasang mata itu semakin lebar melotot dan sinarnya berapi-api.

"Han Si Tiong! Engkau dan isterimu membuat hidupku merana selama belasan tahun ini. Engkau mempermalukan aku, membuat aku tampak rendah di mata dunia kang-ouw dan terutama di dalam pandangan Kaisar Kerajaan Kin sehingga aku tidak berani menemuinya. Selama belasan tahun ini kerjaku hanya merantau untuk mencari kalian berdua dan membalas dendam! Hari ini aku dapat bertemu kalian dan memang aku sengaja menghadangmu di tempat sepi ini. Sekarang tiba saatnya bagiku untuk membalas dendam. Kalian harus mati di tanganku!"

Han Si Tiong dan Liang Hong Yi adalah suami isteri gagah perkasa yang pernah maju perang, bahkan menjadi pemimpin dari Pasukan Halilintar, pasukan yang terkenal gagah berani sebagai bagian dari bala tentara yang dulu dipimpin Jenderal Gak Hui. Mereka berdua sering terancam maut dalam perang melawan pasukan Kin. Tentu saja mendengar ancaman itu mereka sama sekali tidak merasa gentar. Bagi bekas pejuang seperti mereka, mati dalam pertempuran bukan hal aneh yang perlu ditakuti. Akan tetapi mereka merasa penasaran sekali karena mereka sama sekali tidak tahu mengapa kakek ini mendendam kepada mereka, dan mengancam akan membunuh mereka. Padahal, mereka sama sekali tidak pernah mengenalnya!

"Nanti dulu, lo-cianpwe. Sebetulnya siapakah lo-cianpwe ini dan apa sebabnya maka lo-cianpwe mendendam kepada kami suami isteri, padahal kami sama sekali tidak kenal dengan lo-cianpwe? Apa artinya ketika lo-cianpwe mengatakan bahwa kami membuat hidup lo-cianpwe merana selama belasan tahun? Kami sungguh tidak mengerti dan tidak pernah merasa bermusuhan dengan lo-cianpwe," kata Han Si Tiong dengan suara dan sikap masih menghormat.

"Ha-ha-ha, baik! Kalian memang berhak mengetahui agar jangan mati menjadi setan-setan penasaran. Aku adalah Ouw Kan datuk dari Uigur yang lebih dikenal dengan julukan Toat-beng Coa ong (Raja Ular Pencabut Nyawa)! Aku adalah orang yang dekat dengan Kaisar Kerajaan Kin dan dihormati olehnya. Belasan tahun yang lalu, ketika kalian memimpin Pasukan Halilintar dalam perang di perbatasan, dalam sebuah pertempuran kalian telah membunuh Pangeran Cu Si, putera Kaisar Kerajaan Kin. Nah, Kaisar Kin minta kepadaku untuk mencari kalian yang sudah kembali ke selatan dan membunuh kalian untuk membalas dendam atas kematian Pangeran Cu Si yang kalian bunuh dalam pertempuran."

"Akan tetapi peristiwa itu terjadi dalam perang. Kami tidak membunuh orang karena urusan pribadi. Dalam perang, semua orang hanya melaksanakan tugasnya sebagai perajurit dan pertempuran dalam perang berarti membunuh atau dibunuh. Bagaimana kematian dalam perang bisa mendatangkan dendam pribadi?" bantah Han Si Tiong.

"Hemm, yang kalian bunuh itu bukan perajurit biasa, melainkan pangeran, putera Kaisar Kin! Kaisar Kin lalu memanggil aku dan minta kepadaku agar aku membunuh kalian. Akan tetapi ketika aku tiba di rumah kalian, di Lin-an (Hang chouw) kota raja Kerajaan Sung, kalian tidak berada di rumah dan belum kembali dari perbatasan. Yang ada hanyalah puteri kalian, maka aku lalu menculik puteri kalian itu."

"Kakek jahat! Kiranya engkau yang menculik anak kami dan membunuh Lu-ma! Hayo katakan, di mana sekarang Bi Lan anakku!" Liang Hong Yi berseru marah sekali.

"Aku menculiknya untuk menyerahkan anak itu kepada Kaisar Kin agar dia puas dan boleh melakukan apa saja terhadap anak dari suami isteri yang telah membunuh puteranya. Akan tetapi di tengah perjalanan, anak itu lolos dari tanganku. Hal ini membuat aku merasa malu sekali kepada Kaisar Kin. Aku cepat kembali ke Lin-an, akan tetapi kalian sudah pergi. Peristiwa itu membuat aku merasa malu untuk bertemu Kaisar Kin. Aku selama bertahun-tahun ini merantau ke mana-mana, hanya untuk dapat menemukan kalian dan membunuh kalian agar aku ada muka untuk bertemu dengan Kaisar Kin yang sudah mempercayaiku dan baru hari ini dapat menemukan kalian. Karena itu, bersiaplah kalian umtuk mampus di tanganku!"

"Nanti dulu, Toat-beng Coa-ong!" kata Han Si Tiong.

"Sebelum engkau menyerang kami, katakan dulu di mana adanya anak kami itu sekarang!"

Tentu saja datuk itu merasa malu untuk menceritakan bahwa Jit Kong Lhama telah merampas anak itu dari tangannya setelah dia kalah melawan pendeta Lhama dari Tibet yang lihai itu.

"Sudah kukatakan bahwa ia lolos dari tanganku dan aku tidak tahu di mana ia berada. Sambutlah ini! Hyaaaattt......!!"

Toat-beng Coa-ong sudah menyerang dengan tongkat ular kobra kering. Gerakannya cepat dan kuat bukan main sehingga tongkat itu mengeluarkan suara bersuitan ketika menyambar ke arah Han Si Tiong. Pendekar ini melompat ke belakang dan mencabut pedangnya. Liang Hong Yi juga sudah mencabut pedangnya. Melihat suaminya diserang, ia lalu menggerakkan pedangnya dan menyerang datuk Uigur itu dari samping. Pedangnya berkelebat membacok ke arah kepala Ouw Kan. Datuk ini menggerakkan tongkat ularnya dari bawah untuk menangkis sambil mengerahkan senjatanya.

"Singg...... tranggg......!!" Pedang itu terpental dan Liang Hong Yi melompat ke belakang dengan kaget sekali. Hampir saja pedangnya terlepas dari pegangan karena ketika pedangnya tertangkis tongkat ular, telapak tangannya terasa panas dan pedih sekali. Tahulah ia bahwa kakek itu merupakan lawan yang amat lihai.

Melihat isterinya melompat ke belakang dengan wajah menunjukkan kekagetan, Han Si Tiong cepat melompat ke depan dan menusukkan pedangnya ke arah lambung Ouw Kan. Namun, datuk itu memutar tubuh ke kanan menghadapi Han Si Tiong. Tongkat ular kobra itu diputar cepat membentuk gulungan sinar hitam yang menangkis pedang Han Si Tiong yang menyerangnya.

"Cringgg......!" Kembali terdengar dentingan nyaring ketika dua senjata bertemu dan Han Si Tiong juga merasa betapa tangan kanannya tergetar hebat. Diapun maklum bahwa kakek itu sungguh lihai dan dalam adu senjata tadi dia mendapat kenyataan bahwa dia kalah kuat dalam hal tenaga sakti.

Maklum bahwa kepandaiannya kalah jauh dibandingkan Ouw Kan, Liang Hong Yi terpaksa tidak berani mendekat, hanya membantu saja suaminya dengan sekali-kali menyerang lawan dari belakang atau samping. Yang menghadapi Ouw Kan dari depan adalah Han Si Tiong. Suami isteri itu maklum bahwa mereka berdua tidak akan mampu mengalahkan lawan, akan tetapi mereka tidak mempunyai pilihan lain kecuali melawan dan membela diri mati-matian. Tidak mungkin melarikan diri dari lawan yang amat tangguh itu.

Han Si Tiong mengeluarkan segala kemampuannya, dibantu oleh Liang Hong Yi, namun setelah lewat limapuluh jurus, perlahan-lahan suami isteri itu terdesak hebat dan agaknya kematian mereka hanya menunggu beberapa saat lagi saja. Mereka sudah kewalahan dan hanya dapat melindungi diri dengan memutar pedang, sama sekali tidak mampu menyerang lagi. Keadaan mereka gawat sekali.

Melihat suaminya terdesak hebat, Liang Hong Yi menjadi nekat dan ia menyerang dengan pedangnya, menusuk ke arah lambung Ouw Kan sambil membentak nyaring.

"Haiiiittt......!" Pedangnya meluncur seperti anak panah terlepas dari busurnya. Ouw Kan miringkan tubuhnya, tongkatnya menangkis dengan gerakan memutar sehingga pedang itu terpental dan terlepas dari tangan Liang Hong Yi. Tiba-tiba kaki kiri Ouw Kan mencuat dan menendang ke arah perut wanita itu. Liang Hong Yi miringkan tubuh mengelak, akan tetapi ujung tongkat Toat-beng Coa-ong Ouw Kan menyerempet pahanya dan wanita itu terpelanting jatuh.

Ouw Kan maju menghantamkan tongkat ularnya.

"Trang......!!" Pedang di tangan Han Si Tiong menangkis untuk menyelamatkan nyawa isterinya. Akan tetapi pertemuan dua senjata itu membuat Han Si Tiong terpaksa melepaskan pula pedangnya karena tangannya terasa panas sekali.

Kembali tongkat itu berkelebat untuk membunuh Liang Hong Yi yang masih duduk di atas tanah karena pahanya yang terkena tongkat ular itu terasa panas dan nyeri bukan main. Melihat berkelebatnya sinar hitam ke arah dadanya, wanita itu tak dapat mengelak lagi dan sudah siap menerima datangnya maut.

"Singgg...... tranggg......!" Toat-beng Coa ong Ouw Kan terkejut bukan main.

Tangkisan pada tongkatnya itu membuat tongkatnya terpental dan dia melompat jauh ke belakang. Ketika dia memandang, di sana telah berdiri seorang pemuda yang memegang sebatang pedang dan agaknya pemuda itu yang tadi menangkis tongkatnya dengan pedang yang dipegangnya. Di samping pemuda itu berdiri seorang gadis yang cantik jelita, yang memandang kepadanya dengan penuh perhatian. Juga gadis itu membawa sebatang pedang di punggungnya.

Puteri Moguhai memang sengaja menyamar sebagai seorang gadis Han dan karena pedang bengkok sebagai tanda kekuasaan pemberian kaisar itu tidak akan ada gunanya bagi orang-orang di Negeri Sung, maka ia tidak membawanya dan sebagai gantinya ia membawa sebatang pedang biasa untuk melengkapi penyamarannya.

Melihat kakek itu, Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu segera mengenalnya. Walaupun sudah sepuluh tahun lebih tidak pernah berjumpa, akan tetapi ia masih ingat. Ketika itu ia baru berusia kurang lebih delapan tahun dan ia sering melihat kakek itu datang berkunjung menghadap ayahnya. Iapun masih ingat bahwa kakek bangsa Hui itu adalah seorang datuk persilatan yang lihai dan bernama Ouw Kan. Akan tetapi tentu saja ia tidak mau memperkenalkan diri karena ia sedang menyamar sebagai seorang gadis Han dan pula urusan datuk itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan dirinya. Ketika tadi ia dan Thian Liong datang ke tempat itu dan melihat seorang wanita terancam bahaya maut, Thian Liong segera melompat dan menyelamatkannya dengan menangkis tongkat ular maut itu.

Toat Beng Coa-ong Ouw Kan marah bukan main. Dengan tongkat ular kobranya, dia menuding ke arah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu lalu membentak marah.

"Hemm, bocah-bocah lancang! Berani betul kalian hendak menentang aku, Toat-beng Coa-ong?" Kakek itu hendak menggertak dengan nama julukannya yang terdengar menyeramkan dan sudah amat terkenal di dunia kang-ouw itu.

Thian Liong menjawab dengan sikap tenang.

"Lo-cianpwe, kami sama sehali tidak menentangmu."

"Tidak menentang? Engkau sudah mencampuri urusanku dan berani menangkis tongkatku dan kaubilang tidak menentang?"

"Maaf, lo-cianpwe. Maksudku bukan menentang, hanya karena melihat ada seorang wanita hendak dibunuh dengan kejam, maka kami tidak mungkin membiarkan saja hal itu terjadi tanpa turun tangan mencegahnya."

"Heh! Berarti kalian berani mencampuri urusanku, menghalangi tindakanku dan itu sama saja dengan menentangku. Karena itu, kalian juga akan mampus bersama mereka berdua, akan tetapi sebelum mati, beritahukan dulu nama kalian agar jangan mati tanpa meninggalkan nama!" Ouw Kan membentak dengan sikap galak!
Pek Hong Nio-cu tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Ia hanya tahu bahwa Ouw Kan suka menjadi tamu ayahnya dan hubungan mereka tampak akrab, akan tetapi ketika itu ia masih kecil dan tidak tahu orang macam apa adanya Ouw Kan. Akan tetapi melihat sikapnya sekarang, ia dapat menduga bahwa Ouw Kan seorang yang berwatak kejam dan sombong. Maka ia lalu maju dan berkata dengan nyaring.

"Hei, tua bangka sombong! Kamu sudah tua hampir mati tidak mencari jalan yang terang, malah kejam dan sombongnya setengah mati. Apa kaukira nama Raja Ular Pencabut Nyawa itu membikin kami merasa takut ? Bukalah mata dan telingamu lebar-lebar dan dengarkan. Aku bernama Sie Pek Hong dan dia ini bernama Souw Thian Liong. Lebih baik kamu cepat pergi dari sini dan jangan ganggu paman dan bibi ini kalau kamu tidak ingin lebih cepat mampus!"

Thian l.iong sendiri terkejut mendengar kata-kata Pek Hong Nio-cu yang demikian pedas dan menusuk perasaan. Dia mengenal gadis itu sebagai seorang yang keras hati dan tak mengenal takut, akan tetapi sekali ini, ucapannya sungguh membuat orang menjadi marah sekali dan dia tahu bahwa kakek ini bukan lawan sembarangan melainkan seorang yang sakti. Akan tetapi karena ucapan itu sudah dikeluarkan, dia diam saja dan hanya dapat menunggu dan melihat reaksi kakek itu. Juga dia merasa heran mengapa tiba-tiba Pek Hong Nio-cu atau Puteri Moguhai itu menggunakan nama Sie Pek Hong.

Ouw Kan kini memandang kepada Pek Hong Nio-cu dan bertanya dengan pandang mata penuh selidik.

"Kamu bukan orang selatan. Kamu tentu dari kerajaan Kin di utara! Siapa kamu sebenarnya?"

Pek Hong Nio-cu tersenyum mengejek.

"Tidak perduli aku datang dari mana, dari utara, selatan, barat maupun timur, yang jelas aku benci kepada orang kejam dan sombong macam kamu!"

Ouw Kan yang sudah marah itu kini menjadi semakin geram. Kemarahannya memuncak karena dia dihina oleh gadis muda itu. Maka dia cepat mengerahkan kekuatan sihirnya, menudingkan tongkat ular itu ke arah Pek Hong Nio-cu dan terdengar suaranya membentak nyaring penuh wibawa.

"Pek Hong! Aku adalah Toat-beng Coa-ong Ouw Kan, junjunganmu! Hayo cepat berlutut dan menyembah kepadaku!"

Dalam suara itu terkandung kekuatan sihir yang amat kuat dan Pek Hong Nio-cu tidak mampu bertahan lagi. Semua perlawanan dalam batinnya seperti lumpuh dan kedua kakinya seperti dipaksa untuk berlutut. Akan tetapi sebelum ia berlutut di atas tanah, baru bergetar dan bergoyang tubuhnya, terdengar suara Thian Liong memasuki telinganya dan menembus ke dalam batinnya bagaikan secercah sinar memasuki ruangan batinnya yang mendadak gelap tadi.

"Nio-cu, bangkit dan mundurlah!"

Pek Hong Nio-cu sadar kembali dan ia cepat melangkah mundur karena menyadari betapa berbahayanya lawan yang selain tinggi ilmu silatnya, juga memiliki ilmu sihir yang amat kuat itu. Thian Liong melangkah maju menghadapi Ouw Kan dan mereka berdua saling pandang. Biarpun mereka berdua hanya berdiri saling berhadapan dan saling berpandangan, namun sesungguhnya terjadi adu kekuatan batin antara kedua orang ini. Ouw Kan mencoba untuk mempengaruhi pemuda itu melalui pandang matanya, dan Thian Liong melawannya dengar kekuatan batinnya.

Akhirnya Ouw Kan merasa pemuda itu tidak dapat dikuasainya dengan ilmu sihirnya, bahkan tadi pemuda itu telah berhasil melumpuhkan serangan sihirnya yang ditujukan kepada gadis itu. Karena itu, dia lalu mengerahkan lagi kekuatan batinnya, lalu melemparkan tongkatnya ke atas dan dia berseru kepada Thian Liong.
"Sambut seranganku!" Tongkat itu melayang ke atas, lalu menukik dan seolah ular kobra itu hidup kembali, meluncur ke arah Thian Liong. Tadi, dengan ilmu ini tongkat itu telah membunuh dua ekor kuda sebelum "terbang" kembali ke tangan Ouw Kan. Serangannya yang masih menggunakan ilmu sihir ini memang berbahaya sekali. Tadi Ouw Kan tidak mempergunakan ilmu ini menghadapi Han Si Tiong dan Liang Hong Yi karena dia merasa yakin bahwa dua orang itu bukan lawannya dan lebih memuaskan baginya kalau dia membunuh mereka dengan tangannya sendiri, tidak melalui sihir. Akan tetapi lawannya sekarang, pemuda itu adalah lawan yang tangguh sekali, maka dia hendak mencoba menyerangnya dengan keampuhan tongkat ularnya didorong kekuatan sihirnya.

Thian Liong maklum bahwa serangan tongkat ular itu bukan serangan yang wajar, melainkan mengandung kekuatan sihir. Oleh karena itu dia maklum bahwa kalau mempergunakan kekerasan dia akan terancam bahaya. Maka dia lalu mengerahkan tenaga saktinya, dikumpulkan di kedua tangannya lalu dia mendorong ke depan, menyambut luncuran tongkat ular itu sambil berseru nyaring.

"Hyaaaatt...... blarrr......!!" Tongkat yang berubah menjadi ular hidup itu diterjang gelombang hawa pukulan dahsyat dan terpental ke atas, lalu terjatuh kembali ke tangan Ouw Kan dalam bentuk semula, yaitu seekor ular kobra kering yang menjadi tongkat!

"Keparat busuk, mampuslah!" Ouw Kan kini yang sudah marah sekali melompat dan menerjang ke arah Thian Liong dengan serangan tongkatnya.

"Tranggg......!" Kini pedang Pek Hong Nio-cu yang menangkis tongkat itu dan Ouw Kan juga mendapat kenyataan bahwa gadis muda itupun memiliki tenaga yang amat kuat, bahkan dapat mengimbangi tenaganya sendiri! Begitu menangkis tongkat, pedang di tangan Pek Hong Nio-cu sudah membalik ke bawah menusuk ke arah perut lawan. Ouw Kan terkejut dan cepat memutar tongkat ularnya ke bawah sehingga kembali pedang dan tongkat beradu sehingga mengeluarkan suara berdencing nyaring.

Ouw Kan kini menyerang dengan tongkatnya, menyambar ke arah kepala gadis itu, dan tangan kirinya juga memukul dengan dorongan ke arah Thian Liong.

Thian Liong menyambut pukulan jarak jauh itu dengan dorongan tangannya sendiri, sedangkan Pek Hong Nio-cu kembali menangkis dengan pedangnya.

"Tranggg......!" Tubuh Ouw Kan terhuyung oleh dorongan tangan Thian Liong yang menyambut serangannya tadi. Tentu saja dia kalah kuat, apalagi karena pada saat itu, dia membagi tenaganya, yang kanan memegang tongkat menyerang Pek Hong Nio-cu sedangkan yang kiri menyerang Thian Liong dengan pukulan jarak jauh.

Toat-beng Coa-ong Ouw Kan kini maklum benar bahwa kalau dia nekat melawan dua orang muda remaja ini, dia akan kalah, belum lagi diperhitungkan kalau Han Si T'iong dan Liang Hong Yi membantu dan mengeroyoknya. Maka, begitu terhuyung, dia sengaja menjatuhkan diri dan bergulingan. Tangan kirinya mencengkeram tanah dan pasir lalu dia menyambitkan pasir itu ke arah dua orang lawannya. Thian Liong berseru kepada Pek Hong Nio-cu.

"Nio-cu, awas......!" Gadis itupun cepat mengelak ketika ada sinar lembut hitam menyambar. Thian Liong menduga bahwa kakek yang julukannya Raja Ular itu tentu ahli racun dan bukan mustahil kalau pasir yang disambitkannya itu mengandung racun pula.

Ketika dua orang muda yang lihai itu mengelak dengan meloncat ke samping, Ouw Kan lalu meloncat berdiri dan lari secepatya meninggalkan tempat itu.

Pek Hong Nio-cu yang marah kepada kakek itu hendak mengejar, akan tetapi pada saat itu terdengar suara wanita mengaduh dan Thian Liong tidak jadi mengejar.

"Nio-cu, tidak perlu dikejar, orang itu curang dan licik sekali, berbahaya kalau engkau mengejar seorang diri."

Pek Hong Nio-cu tidak jadi mengejar dan ketika dara ini menengok ia melihat Thian Liong sudah berjongkok di dekat laki laki setengah tua yang merangkul wanita yang mengaduh-aduh itu. Ternyata sedikit luka di paha Liang Hong Yi itu kini membuat pahanya menghitam dan membengkak dan terasa nyeri dan panas bukan main.

Melihat ini, Thian Liong segera berkata kepada laki-laki itu.

"Paman, biarkan aku mencoba untuk mengobatinya. Luka ini mengandung racun ular yang berbahaya!"

Han Si Tiong mengangguk dan Thian Liong sudah mencabut lagi Thian-liong-kiam lalu berkata kepada Han Si Tiong.

"Harap paman robek saja celana itu di bagian yang terluka."

Dalam keadaan seperti itu, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi tidak memperdulikan tentang kesopanan lagi. Keadaan yang membahayakan nyawa Liang Hong Yi itu merupakan keadaan darurat, maka Han Si Tiong lalu merobek celana di bagian paha yang terluka. Lukanya sebetulnya tidak besar, bahkan hanya tergores dan pecah kulitnya sehingga berdarah. Akan tetapi racun pada tongkat ular kobra itu membuat kulit pahanya berubah menghitam dan membengkak.

Souw Thian Liong lalu mempergunakan pedang Thian-liong-kiam seperti yang diajarkan gurunya. Dia menggores luka kecil itu sehingga melebar dan mengeluarkan darah menghitam. Lalu pedang itu ditempelkan pada luka yang berdarah.

Pedang itu memang merupakan benda pusaka yang mengandung daya sedot terhadap racun. Perlahan-lahan, pedang yang putih bersih itu mulai berubah hitam dan paha itupun perlahan-lahan berubah putih mulus seperti semula. Ini berarti bahwa hawa beracun itu telah dihisap oleh Thian-liong-kiam (Pedang Naga Langit) yang kini berubah hitam. Setelah paha yang terluka itu tidak ada tanda hitam lagi, Thian Liong menghentikan pengobatannya. Han Si Tiong dan Liang Hong Yi merasa girang sekali.

"Ini aku mempunyai obat luka yang manjur sekali. Pakailah ini, bibi," kata Pek Hong Nio-cu sambil membuka sebuah bungkusan obat bubuk putih. Ketika bubuk putih itu ditaburkan di atas kulit paha yang robek oleh ujung Thian-liong-kiam tadi, Liang Hong Yi merasa betapa luka itu kini sejuk dan rasa nyerinya lenyap sama sekali. Setelah pengobatan selesai, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi mengucapkan terima kasih kepada Souw Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu.

"Kalau kalian berdua orang-orang muda yang berkepandaian tinggi tidak muncul, tentu sekarang kami berdua sudah menjadi mayat, terbunuh oleh Toat-beng Coa-ong Ouw Kan itu. Kami berterima kasih sekali kepada kalian yang sudah menyelamatkan nyawa kami." kata Han Si Tiong.

"Perkenalkan, Souw-sicu dan Pek-siocia, aku bernama Han Si Tiong dan ini adalah isteriku bernama Liang Hong Yi. Kami tinggal di dusun Kian cung, tak jauh dari telaga ini. Mari, kami mengundang kalian berdua untuk singgah di rumah kami. Di sana kita dapat bicara dengan leluasa."

Thian Liong saling pandang dengan Pek Hong Nio-cu dan pemuda itu melihat kawannya mengangguk.

"Baiklah, paman Han. Kamipun ingin sekali mengetahui akan peristiwa tadi," kata Thian Liong dan dia bersama Pek Hong Nio-cu lalu mengikuti kedua orang suami isteri itu.

Pondok tempat tinggal suami isteri itu berada di tengah dusun Kian-cung dan merupakan pondok yang cukup mungil, dengan taman bunga di sebelah kiri rumah yang terpelihara baik. Han Si Tiong memberi tahu seorang pembantunya, laki-laki berusia sekitar limapuluh tahun, agar mengajak beberapa orang tetangga untuk mengubur dua ekor kuda mereka yang mati di dekat telaga. Kemudian dia dan isterinya mempersilakan dua orang tamu muda itu memasuki ruangan dalam dan mereka duduk mengelilingi meja bundar dari marmer. Liang Hong Yi lalu menghidangkan arak, akan tetapi karena Thian Liong tidak biasa minum arak, nyonya rumah itu atas permintaan Thian Liong lalu menghidangkan air teh.

"Nah, paman dan bibi, sekarang ceritakanlah tentang penyerangan yang dilakukan Toat-beng Coa-ong Ouw Kan tadi. Mengapa dia hendak membunuh paman dan bibi? Kami ingin sekali mengetahui sebabnya," kata Pek Hong Nio-cu setelah minum secawan arak.

Han Si Tiong menghela napas panjang sebelum menjawab.

"Kami sendiri tadinya juga merasa heran. Ketika kami berdua menunggang kuda, berjalan-jalan di sekeliling telaga, tiba-tiba dua ekor kuda kami diserang ular dan roboh mati.

Ular itu kembali ke tangan kakek itu dan berubah menjadi tongkat. Kami baru tahu setelah dia memperkenalkan dirinya dan menceritakan mengapa dia hendak membunuh kami. Sebelumnya kami sama sekali tidak pernah mengenalnya dan belum pernah berjumpa dengannya."

"Toat-beng Coa-ong itu adalah seorang datuk suku bangsa Hui yang tinggal jauh di utara, bagaimana dia dapat mendendam kepada paman dan bibi?" tanya Pek Hong Nio-cu.

"Peristiwa itu sebenarnya terjadi kurang lebih sebelas tahun lebih yang lalu, Ketika itu kami berdua ikut berjuang memimpin Pasukan Halilintar di bawah mendiang Jenderal Gak Hui. Pasukan kami bertempur melawan pasukan Kin di perbatasan dan dalam sebuah pertempuran, kami berhasil menewaskan seorang pangeran Kin yang bernama Pangeran Cu Si."

"Hemm, begitukah?" kata Pek Hong Nio-cu. Ia masih ingat. Ketika itu ia berusia kurang lebih delapan tahun. Pada suatu hari, pasukan membawa pulang jenazah Pangeran Cu Si, kakak tirinya yang tewas dalam perang melawan pasukan Sung. Seluruh keluarga istana berkabung.

Thian Liong merasa tidak enak mendengar cerita itu karena dia dapat menduga bahwa Pangeran Cu Si itu pasti masih ada hubungan keluarga dengan Pek Hong Nio-cu!

Akan tetapi karena perasaan kedua orang muda itu tidak mengubah sikap dan air muka mereka, Han Si Tiong melanjutkan ceritanya.

"Kami sama sekati tidak mengira bahwa kematian pangeran itu dalam perang telah membuat Raja Kin mendendam kepada kami. Dia menyuruh Ouw Kan tadi untuk mencari kami di Lin-an dan membunuh kami. Akan tetapi ketika dia mendatangi rumah kami, kami masih belum kembali dari perbatasan. Dia lalu menculik anak tunggal kami yang bernama Han Bi Lan, ketika itu ia berusia tujuh tahun, dan membunuh pengasuhnya. Ketika kami pulang, kami terkejut dan sejak itu kami lalu meninggalkan Lin-an, meninggalkan pekerjaan kami sebagai perwira dan kami pergi merantau untuk mencari anak kami yang diculik. Akan tetapi semua usaha kami sia-sia dan akhirnya kami menetap di sini untuk hidup dengan tenang di tempat sunyi ini."

Kembali Han Si Tiong menghentikan ceritanya, karena terkenang kepada puterinya, dia merasa berduka. Melihat suaminya menundukkan muka dengan sedih, Liang Hong Yi lalu melanjutkan cerita suaminya itu.

"Tadi ketika kami berjalan-jalan, kuda kami dibunuh Ouw Kan dan dia memperkenalkan dirinya. Dia bercerita bahwa setelah menculik anak kami itu, di dalam perjalanan anak kami itu lolos dari tangannya. Dia tidak mau menceritakan bagaimana lolosnya dan di mana anak kami sekarang. Dia hanya bilang bahwa karena gagal membunuh kami dan gagal pula membawa anak kami, dia merasa malu kepada Raja Kin dan selama sebelas tahun ini dia mencari-cari kami tanpa hasil. Akhirnya dia menemukan juga tempat ini dan sengaja datang untuk membunuh kami. Begitulah ceritanya."

Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu mendengarkan penuh perhatian. Setelah suami isteri itu selesai bercerita, Thian Liong diam saja karena dia masih merasa tidak enak terhadap Pek Hong Nio cu. Gadis itupun sejenak diam saja, lalu berkata, suaranya wajar dan lantang.

"Gugurnya seseorang dalam perang tidak semestinya mendatangkan dendam pribadi! Paman dan bibi hanya menjalankan tugas sebagai perwira dalam perang dan kematian Pangeran Cu Si itu adalah hal yang wajar dan dapat terjadi kepada siapa saja yang maju perang. Tidak perlu disesalkan, apalagi dijadikan dendam pribadi. Dalam hal ini, Raja Kin tidak benar kalau merasa sakit hati dan hendak membalas dendam. Apalagi Ouw Kan itu, dia yang telah menculik puteri paman dan bibi malah kini hendak membunuh, sungguh jahat dan kejam dia!"

Thian Liong merasa lega dan senang sekali hatinya mendengar ucapan Pek Hong Nio-cu. Sungguh seorang gadis yang berwatak adil dan membela kebenaran dan keadilan! Setelah mendengar pendapat gadis itu, baru dia berani bicara.

"Paman Han Si Tiong berdua, karena sekarang Toat-beng Coa-ong Ouw Kan sudah mengetahui bahwa paman tinggal di sini, maka keselamatan paman berdua tentu terancam. Bagaimana kalau dia sewaktu-waktu datang lagi dan menyerang paman berdua? Lebih baik paman berdua meninggalkan tempat ini dan pindah ke tempat lain."

Han Si Tiong menghela napas panjang.

"Berpindah-pindah dan selalu bersembunyi ketakutan? Tidak, Souw-sicu. Kami bukan pengecut yang melarikan diri ketakutan dikejar-kejar orang jahat. Kalau dia datang lagi dan menyerang, akan kami hadapi dan lawan mati-matian! Kami sudah menderita sebelas tahun lebih karena kehilangan anak tunggal kami. Kami tidak takut mati!"

"Benar sekali ucapan suamiku. Bi Lan anak kami sudah hilang belasan tahun lamanya, entah masih hidup ataukah sudah mati. Kematian bukan hal menakutkan bagi kami. Akupun tidak mau menjadi pelarian, bersembunyi ketakutan dikejar-kejar iblis itu," kata Liang Hong Yi dengan sikap gagah.

Pek Hong Nio-cu merasa kagum bukan main. Jelaslah bahwa suami isteri ini benar-benar orang gagah perkasa, pendekar sejati. Ia lalu pinjam alat tulis dan kain putih kepada Liang Hong Yi, kemudian ia membuat tulisan corat-coret di atas kain putih dan melipat kain itu, menyerahkannya kepada Liang Hong Yi.

"Bibi dan paman memang orang-orang gagah perkasa, membuat aku merasa kagum sekali. Kain bertulis ini harap diperlihatkan kepada Toat-beng Coa-ong kalau dia berani mengganggu lagi. Mudah mudahan melihat kain putih ini, dia takkan berani mengganggu lagi kepada paman berdua."

Suami isteri itu tentu saja merasa heran dan tidak mengerti, akan tetapi mereka merasa tidak enak kalau menolak pemberian penolong mereka. Mereka berdua hanya memandang saja kepada Pek Hong Nio-cu dengan sinar mata penuh pertanyaan yang tidak berani mereka keluarkan dengan ucapan. Melihat ini, Thian Liong berkata kepada mereka.

"Paman Han Si Tiong berdua, harap paman terima saja dan simpan pemberian Pek Hong itu. Percayalah kain putih bersurat itu kelak akan berguna sekali dan besar kemungkinannya akan menyelamatkan paman berdua dari ancaman Toat-beng Coa-ong."

Mendengar ucapan pemuda yang amat lihai itu, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi tidak ragu lagi.

"Nona Pek Hong, banyak terima kasih atas segala kebaikanmu."

Pek Hong Nio-cu tersenyum manis.

"Tidak perlu berterima kasih, bibi. Sudah sewajarnya, bukan, kalau kita saling tolong menolong?"

Liang Hong Yi mengamati wajah gadis itu dan menghela napas panjang lalu berkata,

"Aahhh...... kalau saja kami dapat menemukan Bi Lan anak kami, tentu sudah sebesar engkau inilah"""

"Bibi, kami akan membantu mendengar-dengar dalam perjalanan kami, siapa tahu kami akan bertemu dengan puteri bibi dan akan kami beritahukan kepadanya bahwa bibi dan paman tinggal di dusun Kian-cung ini," kata Thian Liong yang merasa iba kepada wanita itu.

Han Si Tiong adalah seorang yang berwatak jujur dan kejujurannya ini menyebabkan dia terkadang bersikap begitu terbuka sehingga dapat mendatangkan kesan kasar. Sejak kemunculan dua orang muda penolongnya itu, dia merasa heran sekali terhadap gadis itu. Biarpun wajahnya memang wajah gadis Han yang amat cantik, akan tetapi nada bicaranya asing, jelas menunjukkan bahwa gadis itu datang dari utara. Selain sikapnya juga begitu pemberani dan berwibawa, juga apa yang diberikannya tadi, sehelai kain bersurat yang katanya dapat mencegah Ouw Kan mengganggu mereka, benar-benar mendatangkan kecurigaan kepadanya. Bukan merupakan prasangka buruk karena sudah jelas gadis itu menolongnya, akan tetapi kejanggalan itulah yang membuat dia penasaran.

"Terima kasih atas kebaikan sicu (tuan muda gagah) Souw Thian Liong dan siocia (nona) Sie Pek Hong. Setelah kami menceritakan semua riwayat kami, maka kami harap kalian, terutama Nona Sie Pek Hong, suka menceritakan siapa sebetulnya nona ini. Nona Sie, siapakah sebenarnya nona?"

Pek Hong Nio-cu tersenyum.

"Aku adalah Sie Pek Hong, lalu engkau kira aku ini siapa, Paman Han Si Tiong?" Gadis ini memang suka bergurau dan menggoda orang.

"Han-koko, kenapa engkau mendesak Nona Sie? Apakah engkau mencurigainya? Itu tidak pantas sekali!" Liang Hong Yi mencela suaminya.

"Aku tidak berprasangka buruk," bantah Han Si Tiong, lalu dia memandang wajah Pek Hong Nio-cu.

"Aku curiga melihat penampilanmu, bicaramu, dan lebih-lebih setelah engkau memberi kain bersurat itu kepada kami untuk diperlihatkan kepada Toat-beng Coa-ong."

"Hemm, lalu menurut paman, siapakah aku ini? Katakan saja, paman, aku juga suka kejujuran dan keterbukaan dan aku tidak akan marah."

"Logat bicaramu jelas menunjukkan bahwa engkau datang dari utara, nona. Penampilanmu, gerak gerik dan cara bicaramu menunjukkan bahwa nona adalah seorang bangsawan. Dan Ouw Kan menurut pengakuannya adalah seorang kepercayaan Kaisar Kin yang tentu saja memiliki kekuasaan besar di kerajaan Kin. Kini, nona meninggalkan tulisan yang akan dapat mencegah Ouw Kan mengganggu kami. Itu berarti bahwa dari tulisan itu Ouw Kan akan mengenal nona dan kalau dia menaati surat nona, berarti nona memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada dia. Semua kenyataan ini membuat aku mengambil kesimpulan bahwa nona tentu seorang puteri bangsawan tinggi sekali, bahkan aku tidak akan heran kalau nona ini seorang puteri kaisar......"

Liang Hong Yi terkejut dan berseru,

"Ia puteri Kaisar Kin? Kalau begitu...... ia...... ia saudara dari Pangeran Cu Si? Kalau begitu celaka......"

Pek Hong Nio-cu tertawa.

"Hi-hik, jangan khawatir, bibi. Aku tahu siapa yang bersalah dan siapa yang benar. Thian Liong, Paman Han Si Tiong ini hebat sekali. Kupikir tidak perlu merahasiakan diriku di depan mereka. Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi, biarlah aku mengaku terus terang sebagai pernyataan kagumku terhadap kecerdikan Paman Han Si Tiong. Semua dugaan paman tadi memang benar. Aku adalah Puteri Moguhai, puteri Kaisar Kerajaan Kin di utara, akan tetapi di luar istana aku terkenal dengan sebutan Pek Hong Nio-cu."

"Ah, kalau begitu maafkan kami. Kami bersikap kurang hormat terhadap Tuan Puteri......" Liang Hong Yi berseru sambil memberi hormat dengan membungkuk dalam sekali. Han Si Tiong juga memberi hormat, lalu berkata ragu.

"Kalau begitu, paduka adalah saudara dari mendiang Pangeran Cu Si!"

"Akan tetapi aku tidak berpikir sepicik orang lain. Biar ayahku sendiri, aku menganggap beliau itu keliru. Pangeran Cu Si memang kakakku, berlainan ibu. Aku menganggap dia gugur dalam perang membela negara. Dia tewas sebagai seorang patriot. Aku tidak perduli siapa yang membuatnya tewas dalam perang. Tidak ada alasan untuk mempunyai dendam pribadi. Adapun tentang Ouw Kan, aku memang sudah tahu bahwa dia orang yang licik dan kejam. Karena itu, dalam urusannya dengan paman dan bibi, tentu saja aku berpihak kepada paman berdua. Nah, aku sudah bicara secara jujur. Harap paman dan bibi sekarang menganggap aku sebagai Sie Pek Hong sahabat Souw Thian Liong dan tidak menyebut nyebut lagi tentang Puteri Kerajaan Kin."

Han Si Tiong mengangguk-angguk.



"Baiklah, nona Sie, kami akan memenuhi permintaanmu." Dia lalu menoleh kepada Thian Liong.

"Akan tetapi, Souw-sicu, bagaimana engkau mengajak...... nona Sie ini ke daerah ini? Hal itu tentu saja berbahaya sekali baginya."

"Hemm, bahaya tidak mengancamnya, paman. Bahkan sebaliknya, aku yang terancam bahaya di mana-mana. Aku sekarang menjadi orang buruan pemerintah kita."

"Eh, kenapa begitu sicu?" tanya Liang Hong Yi heran.

"Semua ini tentu akal muslihat si jahanam Chin Kui, perdana menteri busuk itu!" kata Pek Hong Nio-cu gemas.

"Wah, agaknya kalian dimusuhi oleh Chin Kui? Kalau begitu kita berada di pihak yang sama. Kami juga tidak suka kepada perdana menteri jahat yang telah menyebabkan kematian Jenderal Gak Hui. Kami juga menentang Chin Kui. Akan tetapi bagaimana engkau juga bermusuhan dengan dia, nona?"

"Panjang ceritanya, paman," kata Thian Liong.

Kemudian dia menceritakan tentang pemberontakan Pangeran Hiu Kit Bong di Kerajaan Kin. Dia sedang berada di sana dan terlibat dalam pembelaan Kerajaan Kin dari usaha pemberontakan Pangeran Hiu Kit Bong. Pangeran pemberontak itu bersekutu dengan Perdana Menteri Chin Kui yang diwakili oleh Cia Song. Akhirnya pemberontakan itu dapat dihancurkan.

"Akan tetapi Cia Song dapat melarikan diri dan dia tentu melaporkan kepada Perdana Menteri Chin Kui bahwa saya telah berkhianat kepada Kerajaan Sung dan menjadi kaki tangan Kerajaan Kin. Melihat betapa para pejabat dan perajurit berusaha menangkap saya, maka mudah diduga bahwa Perdana Menteri Chin Kui tentu berhasil membujuk Kaisar untuk mengeluarkan perintah agar saya dijadikan orang buruan dan ditangkap, mati atau hidup. Padahal, saya membantu Kerajaan Kin hanya dalam menghadapi pemberontak yang bersekutu dengan Chin Kui. Demikianlah ceritanya. Kaisar Kerajaan Kin menganggap saya berjasa, maka ketika saya meninggalkan utara untuk menentang Chin Kui, dan Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu menyatakan hendak membantu saya, Raja Kin menyetujui. Nah, itulah sebabnya puteri...... eh, Pek Hong Nio-cu ini sekarang berada di sini. Kami tidak jadi memasuki kota raja setelah beberapa kali kami diserang pasukan kerajaan yang hendak menangkap kami."

"Aih"..! Penasaran sekali! Ini semua tentu gara-gara fitnah yang disebarkan si jahanam Chin Kui, pengkhianat itu! Jangan khawatir, Souw-sicu. Aku akan membantumu. Aku mempunyai banyak kawan seperjuangan di kota raja dan kami semua menentang Chin Kui. Akan kami beberkan semua rahasia jahatnya, bersekongkol dengan pemberontak di Kerajaan Kin dan sekiranya pemberontakan itu berhasil, tentu dia akan mempunyai rencana jahat lainnya.

"Terima kasih, paman. Akan tetapi kami harap paman tidak merepotkan diri karena berarti paman juga terjun ke dalam bahaya," kata Thian Liong.

"Kita sama lihat saja nanti. Yang jelas, kita bersatu hati menyelamatkan Kerajaan Sung dari pengaruh Chin Kui yang amat jahat!" kata pula Han Si Tiong.

Setelah menginap satu malam di rumah bekas pemimpin pasukan Halilintar itu, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu meninggalkan dusun Kian-cung. Setelah matahari naik tinggi, mereka sudah jauh meninggalkan Telaga Barat dan mereka berhenti di bawah pohon tepi jalan yang sepi itu. Mereka melepaskan lelah, juga memberi kesempatan kepada dua ekor kuda mereka untuk mengaso dan makan rumput. Ketika berada di rumah Han Si Tiong, pendekar yang memelihara belasan ekor kuda itu memberi mereka dua ekor kuda yang baik sekali sebagai pengganti dua ekor kuda mereka yang sudah kelelahan karena melakukan perjalanan jauh.

"Thian Liong, sekarang kita akan ke mana?" tanya Pek Hong Nio-cu sambil menatap wajah Thian Liong yang agak suram.

"Aku sedang memikirkan hal itu baik-baik, Nio-cu. Tugasku sekarang adalah mencari gadis pencuri kitab milik Kun-lun-pai dan membantu Kerajaan Sung agar terlepas dari cengkeraman si jahat Chin Kui. Kiranya akan sukar sekali mencari gadis pakaian merah itu karena kita tidak tahu di mana tempat tinggalnya dan ke mana ia pergi. Maka, tinggal tugas kedua yang paling penting itu, ialah menentang Chin Kui. Untuk itu, aku harus pergi ke kota raja!"

"Akan tetapi engkau menjadi buruan pemerintah, Thian Liong dan kalau engkau ke kota raja, bukankah hal itu sama saja dengan mencari penyakit?"

"Ucapanmu itu memang benar, Nio-cu......"

"Thian Liong, jangan sebut aku Nio-cu di sini. Orang akan menjadi curiga. Sebut saja Pek Hong. Namaku Sie Pek Hong, kau ingat?"

Thian Liong tersenyum.

"Hemm, aku heran bagaimana engkau tiba-tiba memakai she Sie!"

"Ketika memperkenalkan diri kepada Paman Han, aku teringat bahwa aku harus mempunyai she (marga), aku lalu ingat Paman Sie yang amat baik dan yang kuanggap sebagai guruku, maka aku lalu menggunakan nama marganya. Dan aku menggunakan nama julukanku sebagai nama, menjadi Sie Pek Hong. Bagus, bukan?"

"Hemm, bagus sekali nama itu, Nio-cu......"

"Heitt! Lupa, lagi!"

"O ya, biar kusebut kau Hong-moi (adik Hong) saja, bagaimana?"

"Ah, aku senang sekali. Dan aku menyebut engkau Liong-ko, bukankah kita menjadi seperti kakak dan adik?"

"Kakak dan adik seperguruan? Ah, aku masih heran dan bingung memikirkan, Nio...... eh, Hong-moi. Ketika suhu muncul menolong kita, engkau menyebutnya Paman Sie. Siapakah yang salah lihat? Engkau atau aku? Menurut penglihatanku, itu suhu. Jelas sekali. Aku tidak mungkin salah lihat!"

"Dan akupun tidak mungkin salah lihat, Liong-ko. Dia itu jelas Paman Sie yang pernah kulihat di taman istana ketika bertemu dengan ibuku. Dia jelas Paman Sie yang memberi tiga buah kitab dan hiasan rambut ini kepadaku!" gadis itu berkata kukuh.

"Hemm, apakah mungkin Paman Sie itu adalah guruku, Tiong Lee Cin-jin yang dijuluki Yok-sian (Tabib Dewa)? Akan tetapi kalau memang keduanya itu satu orang, kenapa ilmu silatmu berbeda dengan ilmu silatku?"

"Liong-ko, engkau sendiri bercerita padaku bahwa gurumu itu menyuruh engkau membagi-bagikan kitab pelajaran ilmu silat kepada partai-partai persilatan......"

"Bukan membagi-bagi, Hong-moi, melainkan kitab-kitab itu yang memang menjadi hak milik partai-partai itu yang kehilangan kitab mereka puluhan tahun yang lalu."

"Itu berarti bahwa gurumu memiliki banyak kitab pelajaran ilmu silat, maka apa anehnya kalau dia juga memberi aku tiga kitab pelajaran ilmu silat yang lain daripada yang diajarkan padamu? Aku hampir yakin bahwa Paman Sie itu juga Tiong Lee Cin-jin gurumu itu!"

"Kemungkinan itu ada saja, Hong-moi, atau ada dua orang yang mirip satu sama lain. Sekarang kita bicara tentang perjalanan kita, Hong-moi. Seperti kukatakan tadi, aku harus pergi ke kota raja. Kalau tidak, bagaimana aku dapat membantu kerajaan agar terbebas dari pengaruh kekuasaan Chin Kui?"

"Akan tetapi engkau sedang dikejar-kejar, Liong-ko! Tentu sebelum engkau dapat memasuki kota raja, engkau sudah dikepung dan ditangkap pasukan pemerintah!"

"Aku dapat menyamar, Hong-moi. Dengan memasang jenggot dan kumis palsu, aku dapat memasuki kota raja. Bagaimanapun juga, hanya namaku yang menjadi buruan pemerintah. Wajahku tidak ada yang mengenal, kecuali tentu saja Cia Song. Mungkin para perwira pasukan hanya mendengar gambaran tentang diriku, maka kalau aku mengubah sedikit wajahku, tentu tidak ada yang mengenalku."

"Hei, kebetulan sekali, Liong-ko. Aku dulu pernah mempelajari merias wajah para pemain panggung. Aku dapat memasang jenggot dan kumis palsu pada wajahmu dan ditanggung tidak dapat dilepas kecuali memakai obatku karena rambut-rambut itu menempel kuat di wajahmu! Akan tetapi kalau kita sudah dapat memasuki kota raja, lalu apa yang akan kaulakukan?"

"Hal itu bagaimana nanti saja kalau kita sudah berhasil memasuki kota raja, Hong-moi."

Mereka lalu memasuki hutan di depan dan di tempat tersembunyi itu Pek Hong merias wajah Thian Liong dengan kumis dan jenggot palsu yang diambil dari ram-but pemuda itu sendiri.

Tak lama kemudian mereka melanjutkan perjalanan dan kini Thian Liong telah berubah menjadi seorang yang berkumis dan berjenggot, membuat dia tampak lebih tua daripada biasanya. Mereka menunggang kuda menuju ke arah kota raja Lin-an.

"Engkau harus mengganti namamu, Liong-ko."

"Benar sekali, Hong-moi. Mulai sekarang aku bernama San Lam dengan nama marga Mou."

Pek Hong tersenyum.

"Mou San Lam berarti Putera Gunung Mou? Kenapa memakai nama begitu, Liong-ko?"

"Eh, jangan sebut Liong-ko lagi. Sebut Lam-ko agar tidak terbuka rahasiaku. Ketahuilah, di waktu kecil aku tinggal di lereng Mao-mao-san (Gunung Mao-mao), jadi tepat kalau aku memakai nama Putera Gunung Mou, bukan?"

Pek- Hong tertawa.

"Heh-heh, engkau pandai mencari nama yang tepat, Liong"" eh, Lam-ko. Mari kita cepat melanjutkan perjalanan."

Mereka lalu membalapkan kuda mereka dan benar saja, setelah Thian Liong mengubah mukanya dan menggunakan nama Mou San Lam, tidak ada yang men-curigainya sampai akhirnya mereka tiba juga di Lin-an, kota raja Kerajaan Sung.

Dua hari setelah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu pergi meninggalkan rumah mereka, Han Si Tiong dan isterinya, Liang Hong Yi, segera berkemas, membawa bekal pakaian dan uang, lalu keduanya menunggang kuda berangkat menuju ke Lin-an. Telah hampir duabelas tahun mereka meninggalkan kota raja, maka perjalanan menuju ke Lin-an merupakan perjalanan yang membangkitkan kenangan masa lalu. Mereka masih, mengenal jalan raya menuju kota raja dengan baik dan diam-diam merasa sedih melihat betapa dusun-dusun bukan saja tidak ada kemajuan.

Rumah-rumah rakyat sama sekali tidak tampak mendapat perbaikan, bahkan di mana-mana mereka mendengar rakyat berkeluh kesah, wajah-wajah para petani yang muram dan hampir setiap orang yang mereka tanyai mengeluh tentang beratnya pajak yang harus mereka bayar. Hampir setiap kepala dusun menekan dan memeras penduduknya dan kalau Han Si Tiong dan isterinya menyelidiki kepala dusun itu, mereka mendapat kenyataan bahwa kepala dusun itupun ditekan dan diperas oleh atasannya dengan ancaman dicopot kedudukannya kalau mereka itu tidak dapat menyetorkan hasil yang sudah ditentukan banyaknya.

Han Si Tiong maklum bahwa semua ini akibat pemerasan yang dilakukan Perdana Menteri Chin Kui dan para pembesar yang menjadi kaki tangannya. Dia merasa sedih sekali karena agaknya Kaisar sudah tidak mempunyai wibawa lagi, sehingga semua rakyat membenci Kaisar yang dianggap menindas rakyat dengan peraturan-peraturan yang menekan itu. Padahal, Han Si Tiong dan isterinya tahu betul bahwa semua peraturan yang menindas rakyat ini adalah buatan Perdana Menteri Chin Kui dan kaki tangannya. Pajak yang ditentukan oleh Kaisar, yang cukup adil bagi rakyat yang berpenghasilan besar, ditambah sedemiklan rupa oleh Chin Kui, bahkan mereka yang berpenghasilan kurang sekalipun tetap saja dikenakan pajak, dan semua kelebihan yang ditambahkan itu tentu saja masuk kantong Chin Kui dan para pembesar yang menjadi kaki tangannya.

Setelah memasuki kota raja, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi bermalam di sebuah rumah penginapan. Mereka tidak mencari bekas rumah mereka karena mereka tahu bahwa bekas rumah pemberian pemerintah itu kini tentu ditinggali perwira lain. Juga mereka belum berkunjung kepada sahabat baik mereka, Kwee-ciangkun (Panglima Kwee) yang menjadi komandan penjaga keamanan kota raja. Mereka hendak melihat keadaan dulu, baru akan berkunjung ke rumah sahabat baik mereka itu.

Han Si Tiong dan Liang Hong Yi merasa aman. Sebetulnya mereka berdua sama sekali tidak mempunyai musuh, kecuali tentu saja Chin Kui. Mereka mendengar bahwa perdana menteri itu amat membenci mendiang Jenderal Gak Hui dan kabarnya malah selalu berusaha untuk membasmi semua pengikut setia jenderal besar itu. Han Si Tiong merasa sudah berjasa terhadap Kerajaan Sung, maka tidak semestinya kalau dia dan isterinya takut berada di kota raja. Apa lagi mereka sudah hampir duabelas tahun meninggalkan kota raja.

Dahulu ketika mereka masih memimpin Pasukan Halilintar, maka mereka terkenal dan hampir semua perajurit kerajaan mengenal mereka. Akan tetapi sekarang siapa yang mengenal mereka? Wajah mereka telah menjadi lebih tua. Kalau dulu, duabelas tahun yang lalu wajah Han Si Tiong bersih tanpa kumis atau jenggot, sekarang dia berkumis dan berjenggot. Juga Liang Hong Yi lebih tua dan sekarang wanita itu agak kurus karena selama bertahun-tahun prihatin memikirkan puterinya yang hilang.

Selama dua hari Han Si Tiong dan Liang Hong Yi mencari keterangan dan mereka mendengar bahwa sahabat baik mereka, Panglima Kwee Gi masih menduduki jabatannya yang lama, yaitu komandan pasukan penjaga keamanan kota raja. Biarpun di dalam hatinya Kwee-ciangkun ini tidak suka, bahkan membenci Chin Kui seperti banyak pejabat tinggi yang setia kepada Kaisar lainnya, namun dia tidak memperlihatkan sikap tidak suka ini secara berterang sehingga Chin Kui tidak menyangka bahwa Kwee-ciangkun membencinya. Chin Kui tidak mengganggunya, apa lagi Kwee-ciangkun merupakan panglima yang dipercaya Kaisar karena jasanya sudah banyak sekali.

Setelah mendengar keterangan tentang sahabatnya itu, Han Si Tiong lalu mengajak isterinya untuk pergi mengunjungi sahabatnya itu. Pada hari ketiga, pagi-pagi mereka keluar dari rumah penginapan dengan jalan kaki, hendak mengunjungi Kwee-ciangkun.

Han Si Tiong dan isterinya sama sekali tidak menyangka bahwa semenjak mereka memasuki kota raja, beberapa pasang mata telah memperhatikan mereka dan beberapa orang telah membayangi dan mengawasi setiap gerak-gerik mereka. Empat orang ini adalah kaki tangan Perdana Menteri Chin Kui yang memang disebar di seluruh kota raja untuk menyelidiki setiap orang yang memasuki kota raja! Maka, tidak mengherankan apa bila dalam waktu satu hari saja, Chin Kui sudah mengetahui Han Si Tiong dan Liang Hong Yi, bekas pimpinan Pasukan Halilintar yang terkenal setia kepada mendiang Jenderal Gak Hui itu kini telah kembali ke kota raja. Tentu saja dia tidak tinggal diam dan cepat memerintahkan tiga orang jagoannya yang dapat diandalkan, yaitu Hwa Hwa Cin-jin, bekas jagoan guru mendiang Ciang Bun putera mendiang Ciang Sun Bo atau Jenderal Ciang.

Seperti kita ketahui, Jenderal Ciang dan puteranya itu tewas di tangan Han Bi Lan dan Hwa Hwa Cin-jin berhasil lolos. Lalu tosu sesat ini ditampung oleh Chin Kui. Selain Hwa Hwa Cin-jin, ada lagi orang kakak adik seperguruan yang menjadi jagoan andalan Perdana Menteri Chin Kui. Mereka adalah Bu-tek Mo-ko (Iblis Jantan Tanpa Tanding) Teng Sui yang bertubuh tinggi kurus berusia sekitar limapuluh tahun, dan Bu-eng Mo-ko (Iblis jantan Tanpa Bayangan) Gui Kong yang bertubuh pendek gendut.

Mereka bertiga itu mendapat tugas untuk membunuh Han Si Tiong dan Liang Hong Yi. Karena Chin Kui juga sudah tahu akan kemampuan ilmu silat suami isteri itu, maka dia merasa yakin bahwa tiga orang jagoannya itu pasti akan dapat membina-sakan mereka. Dia tidak mau mengirim banyak pasukan, karena hal itu akan me-nimbulkan kegemparan. Suami isteri itu telah dikenal rakyat dan dahulu nama mereka banyak dipuji-puji, bahkan Kaisar sendiri pernah menyatakan kekaguman-nya kepada suami isteri pimpinan Pasukan Halilintar itu. Kalau mereka berdua itu dikeroyok pasukan, tentu akan menimbulkan kegemparan.

Suami isteri itu berjalan santai menuju ke rumah gedung tempat tinggal Panglima Kwee Gi. Ketika mereka tiba di bagian jalan yang sunyi, tiba-tiba mereka melihat tiga orang berdiri menghadang di tengah jalan. Suami isteri itu memperhatikan dan merasa belum pernah mengenal mereka. Yang seorang berpakaian seperti seorang tosu. Jenggotnya panjang dan tubuhnya agak pendek dengan perut gendut. Mukanya berwarna kekuningan dan mulutnya tersenyum mengejek. Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Orang kedua bertubuh jangkung kurus, mukanya seperti tengkorak dan diapun mempunyai sebatang pedang yang digantung di pinggang. Orang ketiga bertubuh pendek gendut dan membawa golok yang digantung di punggung. Kakek pertama itu berusia sekitar enampuluh lima tahun sedangkan orang terakhir berusia antara limapuluh dan empatpuluh delapan tahun.

Mereka itu adalah Hwa Hwa Cin-jin, Bu-tek Mo-ko, dan Bu-eng Mo-ko yang sengaja menghadang di jalan sepi itu.

Setelah suami isteri itu melangkah dan tiba di depan mereka, Hwa Hwa Cin-jin menegur sambil tersenyum mengejek dan memandang rendah.

"Bukankah kalian berdua ini suami isteri Han Si Tiong dan Liang Hong Yi?"

Karena tidak menduga buruk, dan memang dia seorang yang jujur, Han Si Tiong menjawab.

"Benar sekali. Totiang (bapak pendeta) siapakah dan ada keperluan apakah sam-wi (anda bertiga) menghadang perjalanan kami?"

Begitu mendengar jawaban itu, tiga orang yang ditugaskan membunuh suami isteri itu segera mencabut senjata mereka dan Hwa Hwa Cin-jin berseru,

"Kalian harus mati di tangan kami!" Tiga orang itu sudah menyerang dengan cepat dan ganas sekali. Suami isteri itupun cepat mencabut pedang mereka dan sambil melompat ke belakang mereka menangkis serangan itu.

Liang Hong Yi menangkis pedang Hwa Hwa Cin-jin yang menyambar ke arah lehernya sedangkan Han Si Tiong memutar pedangnya untuk menangkis sambaran pedang dan golok dua orang jagoan yang di dunia kang-ouw dikenal sebagai Siang Mo-ko (Sepasang lblis Jantan).

"Tranggg......! Trangggg!!" Bunga api berpijar dan suami isteri itu terhuyung ke belakang. Terutama sekali Liang Hong Yi. Pertemuan pedang itu hampir saja membuat pedangnya terlepas dan ia merasa betapa telapak tangannya menjadi panas dan pedih sekali. Hampir saja wanita itu terjengkang, akan tetapi Han Si Tiong yang juga kalah kuat dan terhuyung dan menyambar tangannya dan mencegah isterinya terjatuh.

Tiga orang jagoan itu tertawa senang. Tadinya mereka khawatir kalau-kalau suami isteri itu memiliki kepandaian yang terlalu kuat bagi mereka sehingga sukar dibunuh. Akan tetapi ternyata dalam segebrakan saja, suami isteri itu telah terhuyung dan hampir roboh! Mereka bertiga tertawa dan mendesak lagi. Suami isteri itu repot sekali berloncatan ke sana-sini menghindarkan diri dan terkadang mereka terpaksa menggunakan pedang menangkis.

Liang Hong Yi jelas bukan lawan Hwa Hwa Cin-jin. Tingkatnya kalah jauh sehingga ia repot sekali harus menghindarkan diri dari desakan pedang Hwa Hwa Cin-jin yang seolah hendak mempermainkan calon korbannya. Sementara itu, kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian Han Si Tiong seimbang dengan Bu-tek Mo-ko atau Bu-eng Mo-ko.

Kalau bertanding melawan seorang dari mereka tentu akan ramai sekali dan belum tentu dia kalah. Akan tetapi dikeroyok dua, dia menjadi kerepotan dan seperti isterinya, diapun hanya mampu mengelak dan menangkis.

"Cringgg...... trak......! Trakk......!"

Suami isteri itu melompat ke belakang dengan wajah berubah pucat. Tiga orang itu tertawa-tawa melihat betapa pedang suami isteri itu telah patah. Mereka siap untuk mengirim serangan maut.

"Tahan!" bentak Han Si Tiong.

"Kami bukan orang-orang yang takut mati. Akan tetapi katakan dulu, siapa kalian dan mengapa kalian hendak membunuh kami?"

Tiga orang pembunuh itu saling pandang lalu tertawa bergelak. Mereka memang dipesan agar jangan memberitahukan hal itu, khawatir kalau didengar orang lain dan mereka yang kagum terhadap suami isteri itu tentu akan merasa tidak senang kalau mendengar bahwa suami isteri itu dibunuh atas perintah Perdana Menteri Chin Kui. Maka, tiga orang itu hanya tertawa lalu mereka menerjang ke depan untuk mengirim serangan maut dengan senjata mereka kepada suami isteri yang sudah tidak berdaya itu.

Pada saat yang amat gawat bagi keselamatan nyawa suami isteri itu, tiba tiba tampak dua sosok bayangan berkelebat bagaikan dua ekor burung garuda menyambar.

"Tranggg......! Cringgg"" !!"

Hwa Hwa Cin-jin terkejut bukan main ketika pedangnya terpental karena ditangkis sebatang pedang lain yang gerakannya amat cepat dan kuat sekali. Dia cepat memandang dan ternyata yang menangkisnya adalah seorang gadis yang cantik jelita dan kini gadis itu berdiri di depannya dengan pedang di tangan kanan. Sementara itu, Siang Mo-ko juga terkejut bukan main karena senjata mereka bertemu dengan pedang yang demikian kuat dan tajam sehingga ketika mereka melihat, ujung pedang Bu-tek Mo ko dan ujung golok Bu-eng Mo-ko telah rompal!

KISAH SI NAGA LANGIT JILID 21

"Lo-cianpwe, kami suami isteri merasa heran dan tidak mengerti mengapa lo-cianpwe membunuh dua ekor kuda kami? Apakah kesalahan kami?" tanya Han Si Tiong, menahan kemarahannya.

Kakek itu terkekeh dan menudingkan tongkatnya ke arah Han Si Tiong lalu memukul-mukulkan tongkat itu ke atas tanah.

"He-he-he! Dia bertanya apa kesalahannya? Kalian adalah Han Si Tiong dan Liang Hong Yi yang duabelas tahun lalu memimpin Pasukan Halilintar di bawah mendiang Jenderal Gak Hui, bukan?"

Karena kakek itu sudah mengetahui hal itu, Han Si Tiong tidak menyangkal lagi.

"Benar, kalau begitu, kenapa?"

Wajah yang tadinya tertawa itu tiba tiba berubah cemberut dan tambah menyeramkan. Sepasang mata itu semakin lebar melotot dan sinarnya berapi-api.

"Han Si Tiong! Engkau dan isterimu membuat hidupku merana selama belasan tahun ini. Engkau mempermalukan aku, membuat aku tampak rendah di mata dunia kang-ouw dan terutama di dalam pandangan Kaisar Kerajaan Kin sehingga aku tidak berani menemuinya. Selama belasan tahun ini kerjaku hanya merantau untuk mencari kalian berdua dan membalas dendam! Hari ini aku dapat bertemu kalian dan memang aku sengaja menghadangmu di tempat sepi ini. Sekarang tiba saatnya bagiku untuk membalas dendam. Kalian harus mati di tanganku!"

Han Si Tiong dan Liang Hong Yi adalah suami isteri gagah perkasa yang pernah maju perang, bahkan menjadi pemimpin dari Pasukan Halilintar, pasukan yang terkenal gagah berani sebagai bagian dari bala tentara yang dulu dipimpin Jenderal Gak Hui. Mereka berdua sering terancam maut dalam perang melawan pasukan Kin. Tentu saja mendengar ancaman itu mereka sama sekali tidak merasa gentar. Bagi bekas pejuang seperti mereka, mati dalam pertempuran bukan hal aneh yang perlu ditakuti. Akan tetapi mereka merasa penasaran sekali karena mereka sama sekali tidak tahu mengapa kakek ini mendendam kepada mereka, dan mengancam akan membunuh mereka. Padahal, mereka sama sekali tidak pernah mengenalnya!

"Nanti dulu, lo-cianpwe. Sebetulnya siapakah lo-cianpwe ini dan apa sebabnya maka lo-cianpwe mendendam kepada kami suami isteri, padahal kami sama sekali tidak kenal dengan lo-cianpwe? Apa artinya ketika lo-cianpwe mengatakan bahwa kami membuat hidup lo-cianpwe merana selama belasan tahun? Kami sungguh tidak mengerti dan tidak pernah merasa bermusuhan dengan lo-cianpwe," kata Han Si Tiong dengan suara dan sikap masih menghormat.

"Ha-ha-ha, baik! Kalian memang berhak mengetahui agar jangan mati menjadi setan-setan penasaran. Aku adalah Ouw Kan datuk dari Uigur yang lebih dikenal dengan julukan Toat-beng Coa ong (Raja Ular Pencabut Nyawa)! Aku adalah orang yang dekat dengan Kaisar Kerajaan Kin dan dihormati olehnya. Belasan tahun yang lalu, ketika kalian memimpin Pasukan Halilintar dalam perang di perbatasan, dalam sebuah pertempuran kalian telah membunuh Pangeran Cu Si, putera Kaisar Kerajaan Kin. Nah, Kaisar Kin minta kepadaku untuk mencari kalian yang sudah kembali ke selatan dan membunuh kalian untuk membalas dendam atas kematian Pangeran Cu Si yang kalian bunuh dalam pertempuran."

"Akan tetapi peristiwa itu terjadi dalam perang. Kami tidak membunuh orang karena urusan pribadi. Dalam perang, semua orang hanya melaksanakan tugasnya sebagai perajurit dan pertempuran dalam perang berarti membunuh atau dibunuh. Bagaimana kematian dalam perang bisa mendatangkan dendam pribadi?" bantah Han Si Tiong.

"Hemm, yang kalian bunuh itu bukan perajurit biasa, melainkan pangeran, putera Kaisar Kin! Kaisar Kin lalu memanggil aku dan minta kepadaku agar aku membunuh kalian. Akan tetapi ketika aku tiba di rumah kalian, di Lin-an (Hang chouw) kota raja Kerajaan Sung, kalian tidak berada di rumah dan belum kembali dari perbatasan. Yang ada hanyalah puteri kalian, maka aku lalu menculik puteri kalian itu."

"Kakek jahat! Kiranya engkau yang menculik anak kami dan membunuh Lu-ma! Hayo katakan, di mana sekarang Bi Lan anakku!" Liang Hong Yi berseru marah sekali.

"Aku menculiknya untuk menyerahkan anak itu kepada Kaisar Kin agar dia puas dan boleh melakukan apa saja terhadap anak dari suami isteri yang telah membunuh puteranya. Akan tetapi di tengah perjalanan, anak itu lolos dari tanganku. Hal ini membuat aku merasa malu sekali kepada Kaisar Kin. Aku cepat kembali ke Lin-an, akan tetapi kalian sudah pergi. Peristiwa itu membuat aku merasa malu untuk bertemu Kaisar Kin. Aku selama bertahun-tahun ini merantau ke mana-mana, hanya untuk dapat menemukan kalian dan membunuh kalian agar aku ada muka untuk bertemu dengan Kaisar Kin yang sudah mempercayaiku dan baru hari ini dapat menemukan kalian. Karena itu, bersiaplah kalian umtuk mampus di tanganku!"

"Nanti dulu, Toat-beng Coa-ong!" kata Han Si Tiong.

"Sebelum engkau menyerang kami, katakan dulu di mana adanya anak kami itu sekarang!"

Tentu saja datuk itu merasa malu untuk menceritakan bahwa Jit Kong Lhama telah merampas anak itu dari tangannya setelah dia kalah melawan pendeta Lhama dari Tibet yang lihai itu.

"Sudah kukatakan bahwa ia lolos dari tanganku dan aku tidak tahu di mana ia berada. Sambutlah ini! Hyaaaattt......!!"

Toat-beng Coa-ong sudah menyerang dengan tongkat ular kobra kering. Gerakannya cepat dan kuat bukan main sehingga tongkat itu mengeluarkan suara bersuitan ketika menyambar ke arah Han Si Tiong. Pendekar ini melompat ke belakang dan mencabut pedangnya. Liang Hong Yi juga sudah mencabut pedangnya. Melihat suaminya diserang, ia lalu menggerakkan pedangnya dan menyerang datuk Uigur itu dari samping. Pedangnya berkelebat membacok ke arah kepala Ouw Kan. Datuk ini menggerakkan tongkat ularnya dari bawah untuk menangkis sambil mengerahkan senjatanya.

"Singg...... tranggg......!!" Pedang itu terpental dan Liang Hong Yi melompat ke belakang dengan kaget sekali. Hampir saja pedangnya terlepas dari pegangan karena ketika pedangnya tertangkis tongkat ular, telapak tangannya terasa panas dan pedih sekali. Tahulah ia bahwa kakek itu merupakan lawan yang amat lihai.

Melihat isterinya melompat ke belakang dengan wajah menunjukkan kekagetan, Han Si Tiong cepat melompat ke depan dan menusukkan pedangnya ke arah lambung Ouw Kan. Namun, datuk itu memutar tubuh ke kanan menghadapi Han Si Tiong. Tongkat ular kobra itu diputar cepat membentuk gulungan sinar hitam yang menangkis pedang Han Si Tiong yang menyerangnya.

"Cringgg......!" Kembali terdengar dentingan nyaring ketika dua senjata bertemu dan Han Si Tiong juga merasa betapa tangan kanannya tergetar hebat. Diapun maklum bahwa kakek itu sungguh lihai dan dalam adu senjata tadi dia mendapat kenyataan bahwa dia kalah kuat dalam hal tenaga sakti.

Maklum bahwa kepandaiannya kalah jauh dibandingkan Ouw Kan, Liang Hong Yi terpaksa tidak berani mendekat, hanya membantu saja suaminya dengan sekali-kali menyerang lawan dari belakang atau samping. Yang menghadapi Ouw Kan dari depan adalah Han Si Tiong. Suami isteri itu maklum bahwa mereka berdua tidak akan mampu mengalahkan lawan, akan tetapi mereka tidak mempunyai pilihan lain kecuali melawan dan membela diri mati-matian. Tidak mungkin melarikan diri dari lawan yang amat tangguh itu.

Han Si Tiong mengeluarkan segala kemampuannya, dibantu oleh Liang Hong Yi, namun setelah lewat limapuluh jurus, perlahan-lahan suami isteri itu terdesak hebat dan agaknya kematian mereka hanya menunggu beberapa saat lagi saja. Mereka sudah kewalahan dan hanya dapat melindungi diri dengan memutar pedang, sama sekali tidak mampu menyerang lagi. Keadaan mereka gawat sekali.

Melihat suaminya terdesak hebat, Liang Hong Yi menjadi nekat dan ia menyerang dengan pedangnya, menusuk ke arah lambung Ouw Kan sambil membentak nyaring.

"Haiiiittt......!" Pedangnya meluncur seperti anak panah terlepas dari busurnya. Ouw Kan miringkan tubuhnya, tongkatnya menangkis dengan gerakan memutar sehingga pedang itu terpental dan terlepas dari tangan Liang Hong Yi. Tiba-tiba kaki kiri Ouw Kan mencuat dan menendang ke arah perut wanita itu. Liang Hong Yi miringkan tubuh mengelak, akan tetapi ujung tongkat Toat-beng Coa-ong Ouw Kan menyerempet pahanya dan wanita itu terpelanting jatuh.

Ouw Kan maju menghantamkan tongkat ularnya.

"Trang......!!" Pedang di tangan Han Si Tiong menangkis untuk menyelamatkan nyawa isterinya. Akan tetapi pertemuan dua senjata itu membuat Han Si Tiong terpaksa melepaskan pula pedangnya karena tangannya terasa panas sekali.

Kembali tongkat itu berkelebat untuk membunuh Liang Hong Yi yang masih duduk di atas tanah karena pahanya yang terkena tongkat ular itu terasa panas dan nyeri bukan main. Melihat berkelebatnya sinar hitam ke arah dadanya, wanita itu tak dapat mengelak lagi dan sudah siap menerima datangnya maut.

"Singgg...... tranggg......!" Toat-beng Coa ong Ouw Kan terkejut bukan main.

Tangkisan pada tongkatnya itu membuat tongkatnya terpental dan dia melompat jauh ke belakang. Ketika dia memandang, di sana telah berdiri seorang pemuda yang memegang sebatang pedang dan agaknya pemuda itu yang tadi menangkis tongkatnya dengan pedang yang dipegangnya. Di samping pemuda itu berdiri seorang gadis yang cantik jelita, yang memandang kepadanya dengan penuh perhatian. Juga gadis itu membawa sebatang pedang di punggungnya.

Puteri Moguhai memang sengaja menyamar sebagai seorang gadis Han dan karena pedang bengkok sebagai tanda kekuasaan pemberian kaisar itu tidak akan ada gunanya bagi orang-orang di Negeri Sung, maka ia tidak membawanya dan sebagai gantinya ia membawa sebatang pedang biasa untuk melengkapi penyamarannya.

Melihat kakek itu, Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu segera mengenalnya. Walaupun sudah sepuluh tahun lebih tidak pernah berjumpa, akan tetapi ia masih ingat. Ketika itu ia baru berusia kurang lebih delapan tahun dan ia sering melihat kakek itu datang berkunjung menghadap ayahnya. Iapun masih ingat bahwa kakek bangsa Hui itu adalah seorang datuk persilatan yang lihai dan bernama Ouw Kan. Akan tetapi tentu saja ia tidak mau memperkenalkan diri karena ia sedang menyamar sebagai seorang gadis Han dan pula urusan datuk itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan dirinya. Ketika tadi ia dan Thian Liong datang ke tempat itu dan melihat seorang wanita terancam bahaya maut, Thian Liong segera melompat dan menyelamatkannya dengan menangkis tongkat ular maut itu.

Toat Beng Coa-ong Ouw Kan marah bukan main. Dengan tongkat ular kobranya, dia menuding ke arah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu lalu membentak marah.

"Hemm, bocah-bocah lancang! Berani betul kalian hendak menentang aku, Toat-beng Coa-ong?" Kakek itu hendak menggertak dengan nama julukannya yang terdengar menyeramkan dan sudah amat terkenal di dunia kang-ouw itu.

Thian Liong menjawab dengan sikap tenang.

"Lo-cianpwe, kami sama sehali tidak menentangmu."

"Tidak menentang? Engkau sudah mencampuri urusanku dan berani menangkis tongkatku dan kaubilang tidak menentang?"

"Maaf, lo-cianpwe. Maksudku bukan menentang, hanya karena melihat ada seorang wanita hendak dibunuh dengan kejam, maka kami tidak mungkin membiarkan saja hal itu terjadi tanpa turun tangan mencegahnya."

"Heh! Berarti kalian berani mencampuri urusanku, menghalangi tindakanku dan itu sama saja dengan menentangku. Karena itu, kalian juga akan mampus bersama mereka berdua, akan tetapi sebelum mati, beritahukan dulu nama kalian agar jangan mati tanpa meninggalkan nama!" Ouw Kan membentak dengan sikap galak!
Pek Hong Nio-cu tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Ia hanya tahu bahwa Ouw Kan suka menjadi tamu ayahnya dan hubungan mereka tampak akrab, akan tetapi ketika itu ia masih kecil dan tidak tahu orang macam apa adanya Ouw Kan. Akan tetapi melihat sikapnya sekarang, ia dapat menduga bahwa Ouw Kan seorang yang berwatak kejam dan sombong. Maka ia lalu maju dan berkata dengan nyaring.

"Hei, tua bangka sombong! Kamu sudah tua hampir mati tidak mencari jalan yang terang, malah kejam dan sombongnya setengah mati. Apa kaukira nama Raja Ular Pencabut Nyawa itu membikin kami merasa takut ? Bukalah mata dan telingamu lebar-lebar dan dengarkan. Aku bernama Sie Pek Hong dan dia ini bernama Souw Thian Liong. Lebih baik kamu cepat pergi dari sini dan jangan ganggu paman dan bibi ini kalau kamu tidak ingin lebih cepat mampus!"

Thian l.iong sendiri terkejut mendengar kata-kata Pek Hong Nio-cu yang demikian pedas dan menusuk perasaan. Dia mengenal gadis itu sebagai seorang yang keras hati dan tak mengenal takut, akan tetapi sekali ini, ucapannya sungguh membuat orang menjadi marah sekali dan dia tahu bahwa kakek ini bukan lawan sembarangan melainkan seorang yang sakti. Akan tetapi karena ucapan itu sudah dikeluarkan, dia diam saja dan hanya dapat menunggu dan melihat reaksi kakek itu. Juga dia merasa heran mengapa tiba-tiba Pek Hong Nio-cu atau Puteri Moguhai itu menggunakan nama Sie Pek Hong.

Ouw Kan kini memandang kepada Pek Hong Nio-cu dan bertanya dengan pandang mata penuh selidik.

"Kamu bukan orang selatan. Kamu tentu dari kerajaan Kin di utara! Siapa kamu sebenarnya?"

Pek Hong Nio-cu tersenyum mengejek.

"Tidak perduli aku datang dari mana, dari utara, selatan, barat maupun timur, yang jelas aku benci kepada orang kejam dan sombong macam kamu!"

Ouw Kan yang sudah marah itu kini menjadi semakin geram. Kemarahannya memuncak karena dia dihina oleh gadis muda itu. Maka dia cepat mengerahkan kekuatan sihirnya, menudingkan tongkat ular itu ke arah Pek Hong Nio-cu dan terdengar suaranya membentak nyaring penuh wibawa.

"Pek Hong! Aku adalah Toat-beng Coa-ong Ouw Kan, junjunganmu! Hayo cepat berlutut dan menyembah kepadaku!"

Dalam suara itu terkandung kekuatan sihir yang amat kuat dan Pek Hong Nio-cu tidak mampu bertahan lagi. Semua perlawanan dalam batinnya seperti lumpuh dan kedua kakinya seperti dipaksa untuk berlutut. Akan tetapi sebelum ia berlutut di atas tanah, baru bergetar dan bergoyang tubuhnya, terdengar suara Thian Liong memasuki telinganya dan menembus ke dalam batinnya bagaikan secercah sinar memasuki ruangan batinnya yang mendadak gelap tadi.

"Nio-cu, bangkit dan mundurlah!"

Pek Hong Nio-cu sadar kembali dan ia cepat melangkah mundur karena menyadari betapa berbahayanya lawan yang selain tinggi ilmu silatnya, juga memiliki ilmu sihir yang amat kuat itu. Thian Liong melangkah maju menghadapi Ouw Kan dan mereka berdua saling pandang. Biarpun mereka berdua hanya berdiri saling berhadapan dan saling berpandangan, namun sesungguhnya terjadi adu kekuatan batin antara kedua orang ini. Ouw Kan mencoba untuk mempengaruhi pemuda itu melalui pandang matanya, dan Thian Liong melawannya dengar kekuatan batinnya.

Akhirnya Ouw Kan merasa pemuda itu tidak dapat dikuasainya dengan ilmu sihirnya, bahkan tadi pemuda itu telah berhasil melumpuhkan serangan sihirnya yang ditujukan kepada gadis itu. Karena itu, dia lalu mengerahkan lagi kekuatan batinnya, lalu melemparkan tongkatnya ke atas dan dia berseru kepada Thian Liong.
"Sambut seranganku!" Tongkat itu melayang ke atas, lalu menukik dan seolah ular kobra itu hidup kembali, meluncur ke arah Thian Liong. Tadi, dengan ilmu ini tongkat itu telah membunuh dua ekor kuda sebelum "terbang" kembali ke tangan Ouw Kan. Serangannya yang masih menggunakan ilmu sihir ini memang berbahaya sekali. Tadi Ouw Kan tidak mempergunakan ilmu ini menghadapi Han Si Tiong dan Liang Hong Yi karena dia merasa yakin bahwa dua orang itu bukan lawannya dan lebih memuaskan baginya kalau dia membunuh mereka dengan tangannya sendiri, tidak melalui sihir. Akan tetapi lawannya sekarang, pemuda itu adalah lawan yang tangguh sekali, maka dia hendak mencoba menyerangnya dengan keampuhan tongkat ularnya didorong kekuatan sihirnya.

Thian Liong maklum bahwa serangan tongkat ular itu bukan serangan yang wajar, melainkan mengandung kekuatan sihir. Oleh karena itu dia maklum bahwa kalau mempergunakan kekerasan dia akan terancam bahaya. Maka dia lalu mengerahkan tenaga saktinya, dikumpulkan di kedua tangannya lalu dia mendorong ke depan, menyambut luncuran tongkat ular itu sambil berseru nyaring.

"Hyaaaatt...... blarrr......!!" Tongkat yang berubah menjadi ular hidup itu diterjang gelombang hawa pukulan dahsyat dan terpental ke atas, lalu terjatuh kembali ke tangan Ouw Kan dalam bentuk semula, yaitu seekor ular kobra kering yang menjadi tongkat!

"Keparat busuk, mampuslah!" Ouw Kan kini yang sudah marah sekali melompat dan menerjang ke arah Thian Liong dengan serangan tongkatnya.

"Tranggg......!" Kini pedang Pek Hong Nio-cu yang menangkis tongkat itu dan Ouw Kan juga mendapat kenyataan bahwa gadis muda itupun memiliki tenaga yang amat kuat, bahkan dapat mengimbangi tenaganya sendiri! Begitu menangkis tongkat, pedang di tangan Pek Hong Nio-cu sudah membalik ke bawah menusuk ke arah perut lawan. Ouw Kan terkejut dan cepat memutar tongkat ularnya ke bawah sehingga kembali pedang dan tongkat beradu sehingga mengeluarkan suara berdencing nyaring.

Ouw Kan kini menyerang dengan tongkatnya, menyambar ke arah kepala gadis itu, dan tangan kirinya juga memukul dengan dorongan ke arah Thian Liong.

Thian Liong menyambut pukulan jarak jauh itu dengan dorongan tangannya sendiri, sedangkan Pek Hong Nio-cu kembali menangkis dengan pedangnya.

"Tranggg......!" Tubuh Ouw Kan terhuyung oleh dorongan tangan Thian Liong yang menyambut serangannya tadi. Tentu saja dia kalah kuat, apalagi karena pada saat itu, dia membagi tenaganya, yang kanan memegang tongkat menyerang Pek Hong Nio-cu sedangkan yang kiri menyerang Thian Liong dengan pukulan jarak jauh.

Toat-beng Coa-ong Ouw Kan kini maklum benar bahwa kalau dia nekat melawan dua orang muda remaja ini, dia akan kalah, belum lagi diperhitungkan kalau Han Si T'iong dan Liang Hong Yi membantu dan mengeroyoknya. Maka, begitu terhuyung, dia sengaja menjatuhkan diri dan bergulingan. Tangan kirinya mencengkeram tanah dan pasir lalu dia menyambitkan pasir itu ke arah dua orang lawannya. Thian Liong berseru kepada Pek Hong Nio-cu.

"Nio-cu, awas......!" Gadis itupun cepat mengelak ketika ada sinar lembut hitam menyambar. Thian Liong menduga bahwa kakek yang julukannya Raja Ular itu tentu ahli racun dan bukan mustahil kalau pasir yang disambitkannya itu mengandung racun pula.

Ketika dua orang muda yang lihai itu mengelak dengan meloncat ke samping, Ouw Kan lalu meloncat berdiri dan lari secepatya meninggalkan tempat itu.

Pek Hong Nio-cu yang marah kepada kakek itu hendak mengejar, akan tetapi pada saat itu terdengar suara wanita mengaduh dan Thian Liong tidak jadi mengejar.

"Nio-cu, tidak perlu dikejar, orang itu curang dan licik sekali, berbahaya kalau engkau mengejar seorang diri."

Pek Hong Nio-cu tidak jadi mengejar dan ketika dara ini menengok ia melihat Thian Liong sudah berjongkok di dekat laki laki setengah tua yang merangkul wanita yang mengaduh-aduh itu. Ternyata sedikit luka di paha Liang Hong Yi itu kini membuat pahanya menghitam dan membengkak dan terasa nyeri dan panas bukan main.

Melihat ini, Thian Liong segera berkata kepada laki-laki itu.

"Paman, biarkan aku mencoba untuk mengobatinya. Luka ini mengandung racun ular yang berbahaya!"

Han Si Tiong mengangguk dan Thian Liong sudah mencabut lagi Thian-liong-kiam lalu berkata kepada Han Si Tiong.

"Harap paman robek saja celana itu di bagian yang terluka."

Dalam keadaan seperti itu, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi tidak memperdulikan tentang kesopanan lagi. Keadaan yang membahayakan nyawa Liang Hong Yi itu merupakan keadaan darurat, maka Han Si Tiong lalu merobek celana di bagian paha yang terluka. Lukanya sebetulnya tidak besar, bahkan hanya tergores dan pecah kulitnya sehingga berdarah. Akan tetapi racun pada tongkat ular kobra itu membuat kulit pahanya berubah menghitam dan membengkak.

Souw Thian Liong lalu mempergunakan pedang Thian-liong-kiam seperti yang diajarkan gurunya. Dia menggores luka kecil itu sehingga melebar dan mengeluarkan darah menghitam. Lalu pedang itu ditempelkan pada luka yang berdarah.

Pedang itu memang merupakan benda pusaka yang mengandung daya sedot terhadap racun. Perlahan-lahan, pedang yang putih bersih itu mulai berubah hitam dan paha itupun perlahan-lahan berubah putih mulus seperti semula. Ini berarti bahwa hawa beracun itu telah dihisap oleh Thian-liong-kiam (Pedang Naga Langit) yang kini berubah hitam. Setelah paha yang terluka itu tidak ada tanda hitam lagi, Thian Liong menghentikan pengobatannya. Han Si Tiong dan Liang Hong Yi merasa girang sekali.

"Ini aku mempunyai obat luka yang manjur sekali. Pakailah ini, bibi," kata Pek Hong Nio-cu sambil membuka sebuah bungkusan obat bubuk putih. Ketika bubuk putih itu ditaburkan di atas kulit paha yang robek oleh ujung Thian-liong-kiam tadi, Liang Hong Yi merasa betapa luka itu kini sejuk dan rasa nyerinya lenyap sama sekali. Setelah pengobatan selesai, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi mengucapkan terima kasih kepada Souw Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu.

"Kalau kalian berdua orang-orang muda yang berkepandaian tinggi tidak muncul, tentu sekarang kami berdua sudah menjadi mayat, terbunuh oleh Toat-beng Coa-ong Ouw Kan itu. Kami berterima kasih sekali kepada kalian yang sudah menyelamatkan nyawa kami." kata Han Si Tiong.

"Perkenalkan, Souw-sicu dan Pek-siocia, aku bernama Han Si Tiong dan ini adalah isteriku bernama Liang Hong Yi. Kami tinggal di dusun Kian cung, tak jauh dari telaga ini. Mari, kami mengundang kalian berdua untuk singgah di rumah kami. Di sana kita dapat bicara dengan leluasa."

Thian Liong saling pandang dengan Pek Hong Nio-cu dan pemuda itu melihat kawannya mengangguk.

"Baiklah, paman Han. Kamipun ingin sekali mengetahui akan peristiwa tadi," kata Thian Liong dan dia bersama Pek Hong Nio-cu lalu mengikuti kedua orang suami isteri itu.

Pondok tempat tinggal suami isteri itu berada di tengah dusun Kian-cung dan merupakan pondok yang cukup mungil, dengan taman bunga di sebelah kiri rumah yang terpelihara baik. Han Si Tiong memberi tahu seorang pembantunya, laki-laki berusia sekitar limapuluh tahun, agar mengajak beberapa orang tetangga untuk mengubur dua ekor kuda mereka yang mati di dekat telaga. Kemudian dia dan isterinya mempersilakan dua orang tamu muda itu memasuki ruangan dalam dan mereka duduk mengelilingi meja bundar dari marmer. Liang Hong Yi lalu menghidangkan arak, akan tetapi karena Thian Liong tidak biasa minum arak, nyonya rumah itu atas permintaan Thian Liong lalu menghidangkan air teh.

"Nah, paman dan bibi, sekarang ceritakanlah tentang penyerangan yang dilakukan Toat-beng Coa-ong Ouw Kan tadi. Mengapa dia hendak membunuh paman dan bibi? Kami ingin sekali mengetahui sebabnya," kata Pek Hong Nio-cu setelah minum secawan arak.

Han Si Tiong menghela napas panjang sebelum menjawab.

"Kami sendiri tadinya juga merasa heran. Ketika kami berdua menunggang kuda, berjalan-jalan di sekeliling telaga, tiba-tiba dua ekor kuda kami diserang ular dan roboh mati.

Ular itu kembali ke tangan kakek itu dan berubah menjadi tongkat. Kami baru tahu setelah dia memperkenalkan dirinya dan menceritakan mengapa dia hendak membunuh kami. Sebelumnya kami sama sekali tidak pernah mengenalnya dan belum pernah berjumpa dengannya."

"Toat-beng Coa-ong itu adalah seorang datuk suku bangsa Hui yang tinggal jauh di utara, bagaimana dia dapat mendendam kepada paman dan bibi?" tanya Pek Hong Nio-cu.

"Peristiwa itu sebenarnya terjadi kurang lebih sebelas tahun lebih yang lalu, Ketika itu kami berdua ikut berjuang memimpin Pasukan Halilintar di bawah mendiang Jenderal Gak Hui. Pasukan kami bertempur melawan pasukan Kin di perbatasan dan dalam sebuah pertempuran, kami berhasil menewaskan seorang pangeran Kin yang bernama Pangeran Cu Si."

"Hemm, begitukah?" kata Pek Hong Nio-cu. Ia masih ingat. Ketika itu ia berusia kurang lebih delapan tahun. Pada suatu hari, pasukan membawa pulang jenazah Pangeran Cu Si, kakak tirinya yang tewas dalam perang melawan pasukan Sung. Seluruh keluarga istana berkabung.

Thian Liong merasa tidak enak mendengar cerita itu karena dia dapat menduga bahwa Pangeran Cu Si itu pasti masih ada hubungan keluarga dengan Pek Hong Nio-cu!

Akan tetapi karena perasaan kedua orang muda itu tidak mengubah sikap dan air muka mereka, Han Si Tiong melanjutkan ceritanya.

"Kami sama sekati tidak mengira bahwa kematian pangeran itu dalam perang telah membuat Raja Kin mendendam kepada kami. Dia menyuruh Ouw Kan tadi untuk mencari kami di Lin-an dan membunuh kami. Akan tetapi ketika dia mendatangi rumah kami, kami masih belum kembali dari perbatasan. Dia lalu menculik anak tunggal kami yang bernama Han Bi Lan, ketika itu ia berusia tujuh tahun, dan membunuh pengasuhnya. Ketika kami pulang, kami terkejut dan sejak itu kami lalu meninggalkan Lin-an, meninggalkan pekerjaan kami sebagai perwira dan kami pergi merantau untuk mencari anak kami yang diculik. Akan tetapi semua usaha kami sia-sia dan akhirnya kami menetap di sini untuk hidup dengan tenang di tempat sunyi ini."

Kembali Han Si Tiong menghentikan ceritanya, karena terkenang kepada puterinya, dia merasa berduka. Melihat suaminya menundukkan muka dengan sedih, Liang Hong Yi lalu melanjutkan cerita suaminya itu.

"Tadi ketika kami berjalan-jalan, kuda kami dibunuh Ouw Kan dan dia memperkenalkan dirinya. Dia bercerita bahwa setelah menculik anak kami itu, di dalam perjalanan anak kami itu lolos dari tangannya. Dia tidak mau menceritakan bagaimana lolosnya dan di mana anak kami sekarang. Dia hanya bilang bahwa karena gagal membunuh kami dan gagal pula membawa anak kami, dia merasa malu kepada Raja Kin dan selama sebelas tahun ini dia mencari-cari kami tanpa hasil. Akhirnya dia menemukan juga tempat ini dan sengaja datang untuk membunuh kami. Begitulah ceritanya."

Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu mendengarkan penuh perhatian. Setelah suami isteri itu selesai bercerita, Thian Liong diam saja karena dia masih merasa tidak enak terhadap Pek Hong Nio cu. Gadis itupun sejenak diam saja, lalu berkata, suaranya wajar dan lantang.

"Gugurnya seseorang dalam perang tidak semestinya mendatangkan dendam pribadi! Paman dan bibi hanya menjalankan tugas sebagai perwira dalam perang dan kematian Pangeran Cu Si itu adalah hal yang wajar dan dapat terjadi kepada siapa saja yang maju perang. Tidak perlu disesalkan, apalagi dijadikan dendam pribadi. Dalam hal ini, Raja Kin tidak benar kalau merasa sakit hati dan hendak membalas dendam. Apalagi Ouw Kan itu, dia yang telah menculik puteri paman dan bibi malah kini hendak membunuh, sungguh jahat dan kejam dia!"

Thian Liong merasa lega dan senang sekali hatinya mendengar ucapan Pek Hong Nio-cu. Sungguh seorang gadis yang berwatak adil dan membela kebenaran dan keadilan! Setelah mendengar pendapat gadis itu, baru dia berani bicara.

"Paman Han Si Tiong berdua, karena sekarang Toat-beng Coa-ong Ouw Kan sudah mengetahui bahwa paman tinggal di sini, maka keselamatan paman berdua tentu terancam. Bagaimana kalau dia sewaktu-waktu datang lagi dan menyerang paman berdua? Lebih baik paman berdua meninggalkan tempat ini dan pindah ke tempat lain."

Han Si Tiong menghela napas panjang.

"Berpindah-pindah dan selalu bersembunyi ketakutan? Tidak, Souw-sicu. Kami bukan pengecut yang melarikan diri ketakutan dikejar-kejar orang jahat. Kalau dia datang lagi dan menyerang, akan kami hadapi dan lawan mati-matian! Kami sudah menderita sebelas tahun lebih karena kehilangan anak tunggal kami. Kami tidak takut mati!"

"Benar sekali ucapan suamiku. Bi Lan anak kami sudah hilang belasan tahun lamanya, entah masih hidup ataukah sudah mati. Kematian bukan hal menakutkan bagi kami. Akupun tidak mau menjadi pelarian, bersembunyi ketakutan dikejar-kejar iblis itu," kata Liang Hong Yi dengan sikap gagah.

Pek Hong Nio-cu merasa kagum bukan main. Jelaslah bahwa suami isteri ini benar-benar orang gagah perkasa, pendekar sejati. Ia lalu pinjam alat tulis dan kain putih kepada Liang Hong Yi, kemudian ia membuat tulisan corat-coret di atas kain putih dan melipat kain itu, menyerahkannya kepada Liang Hong Yi.

"Bibi dan paman memang orang-orang gagah perkasa, membuat aku merasa kagum sekali. Kain bertulis ini harap diperlihatkan kepada Toat-beng Coa-ong kalau dia berani mengganggu lagi. Mudah mudahan melihat kain putih ini, dia takkan berani mengganggu lagi kepada paman berdua."

Suami isteri itu tentu saja merasa heran dan tidak mengerti, akan tetapi mereka merasa tidak enak kalau menolak pemberian penolong mereka. Mereka berdua hanya memandang saja kepada Pek Hong Nio-cu dengan sinar mata penuh pertanyaan yang tidak berani mereka keluarkan dengan ucapan. Melihat ini, Thian Liong berkata kepada mereka.

"Paman Han Si Tiong berdua, harap paman terima saja dan simpan pemberian Pek Hong itu. Percayalah kain putih bersurat itu kelak akan berguna sekali dan besar kemungkinannya akan menyelamatkan paman berdua dari ancaman Toat-beng Coa-ong."

Mendengar ucapan pemuda yang amat lihai itu, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi tidak ragu lagi.

"Nona Pek Hong, banyak terima kasih atas segala kebaikanmu."

Pek Hong Nio-cu tersenyum manis.

"Tidak perlu berterima kasih, bibi. Sudah sewajarnya, bukan, kalau kita saling tolong menolong?"

Liang Hong Yi mengamati wajah gadis itu dan menghela napas panjang lalu berkata,

"Aahhh...... kalau saja kami dapat menemukan Bi Lan anak kami, tentu sudah sebesar engkau inilah"""

"Bibi, kami akan membantu mendengar-dengar dalam perjalanan kami, siapa tahu kami akan bertemu dengan puteri bibi dan akan kami beritahukan kepadanya bahwa bibi dan paman tinggal di dusun Kian-cung ini," kata Thian Liong yang merasa iba kepada wanita itu.

Han Si Tiong adalah seorang yang berwatak jujur dan kejujurannya ini menyebabkan dia terkadang bersikap begitu terbuka sehingga dapat mendatangkan kesan kasar. Sejak kemunculan dua orang muda penolongnya itu, dia merasa heran sekali terhadap gadis itu. Biarpun wajahnya memang wajah gadis Han yang amat cantik, akan tetapi nada bicaranya asing, jelas menunjukkan bahwa gadis itu datang dari utara. Selain sikapnya juga begitu pemberani dan berwibawa, juga apa yang diberikannya tadi, sehelai kain bersurat yang katanya dapat mencegah Ouw Kan mengganggu mereka, benar-benar mendatangkan kecurigaan kepadanya. Bukan merupakan prasangka buruk karena sudah jelas gadis itu menolongnya, akan tetapi kejanggalan itulah yang membuat dia penasaran.

"Terima kasih atas kebaikan sicu (tuan muda gagah) Souw Thian Liong dan siocia (nona) Sie Pek Hong. Setelah kami menceritakan semua riwayat kami, maka kami harap kalian, terutama Nona Sie Pek Hong, suka menceritakan siapa sebetulnya nona ini. Nona Sie, siapakah sebenarnya nona?"

Pek Hong Nio-cu tersenyum.

"Aku adalah Sie Pek Hong, lalu engkau kira aku ini siapa, Paman Han Si Tiong?" Gadis ini memang suka bergurau dan menggoda orang.

"Han-koko, kenapa engkau mendesak Nona Sie? Apakah engkau mencurigainya? Itu tidak pantas sekali!" Liang Hong Yi mencela suaminya.

"Aku tidak berprasangka buruk," bantah Han Si Tiong, lalu dia memandang wajah Pek Hong Nio-cu.

"Aku curiga melihat penampilanmu, bicaramu, dan lebih-lebih setelah engkau memberi kain bersurat itu kepada kami untuk diperlihatkan kepada Toat-beng Coa-ong."

"Hemm, lalu menurut paman, siapakah aku ini? Katakan saja, paman, aku juga suka kejujuran dan keterbukaan dan aku tidak akan marah."

"Logat bicaramu jelas menunjukkan bahwa engkau datang dari utara, nona. Penampilanmu, gerak gerik dan cara bicaramu menunjukkan bahwa nona adalah seorang bangsawan. Dan Ouw Kan menurut pengakuannya adalah seorang kepercayaan Kaisar Kin yang tentu saja memiliki kekuasaan besar di kerajaan Kin. Kini, nona meninggalkan tulisan yang akan dapat mencegah Ouw Kan mengganggu kami. Itu berarti bahwa dari tulisan itu Ouw Kan akan mengenal nona dan kalau dia menaati surat nona, berarti nona memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada dia. Semua kenyataan ini membuat aku mengambil kesimpulan bahwa nona tentu seorang puteri bangsawan tinggi sekali, bahkan aku tidak akan heran kalau nona ini seorang puteri kaisar......"

Liang Hong Yi terkejut dan berseru,

"Ia puteri Kaisar Kin? Kalau begitu...... ia...... ia saudara dari Pangeran Cu Si? Kalau begitu celaka......"

Pek Hong Nio-cu tertawa.

"Hi-hik, jangan khawatir, bibi. Aku tahu siapa yang bersalah dan siapa yang benar. Thian Liong, Paman Han Si Tiong ini hebat sekali. Kupikir tidak perlu merahasiakan diriku di depan mereka. Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi, biarlah aku mengaku terus terang sebagai pernyataan kagumku terhadap kecerdikan Paman Han Si Tiong. Semua dugaan paman tadi memang benar. Aku adalah Puteri Moguhai, puteri Kaisar Kerajaan Kin di utara, akan tetapi di luar istana aku terkenal dengan sebutan Pek Hong Nio-cu."

"Ah, kalau begitu maafkan kami. Kami bersikap kurang hormat terhadap Tuan Puteri......" Liang Hong Yi berseru sambil memberi hormat dengan membungkuk dalam sekali. Han Si Tiong juga memberi hormat, lalu berkata ragu.

"Kalau begitu, paduka adalah saudara dari mendiang Pangeran Cu Si!"

"Akan tetapi aku tidak berpikir sepicik orang lain. Biar ayahku sendiri, aku menganggap beliau itu keliru. Pangeran Cu Si memang kakakku, berlainan ibu. Aku menganggap dia gugur dalam perang membela negara. Dia tewas sebagai seorang patriot. Aku tidak perduli siapa yang membuatnya tewas dalam perang. Tidak ada alasan untuk mempunyai dendam pribadi. Adapun tentang Ouw Kan, aku memang sudah tahu bahwa dia orang yang licik dan kejam. Karena itu, dalam urusannya dengan paman dan bibi, tentu saja aku berpihak kepada paman berdua. Nah, aku sudah bicara secara jujur. Harap paman dan bibi sekarang menganggap aku sebagai Sie Pek Hong sahabat Souw Thian Liong dan tidak menyebut nyebut lagi tentang Puteri Kerajaan Kin."

Han Si Tiong mengangguk-angguk.



"Baiklah, nona Sie, kami akan memenuhi permintaanmu." Dia lalu menoleh kepada Thian Liong.

"Akan tetapi, Souw-sicu, bagaimana engkau mengajak...... nona Sie ini ke daerah ini? Hal itu tentu saja berbahaya sekali baginya."

"Hemm, bahaya tidak mengancamnya, paman. Bahkan sebaliknya, aku yang terancam bahaya di mana-mana. Aku sekarang menjadi orang buruan pemerintah kita."

"Eh, kenapa begitu sicu?" tanya Liang Hong Yi heran.

"Semua ini tentu akal muslihat si jahanam Chin Kui, perdana menteri busuk itu!" kata Pek Hong Nio-cu gemas.

"Wah, agaknya kalian dimusuhi oleh Chin Kui? Kalau begitu kita berada di pihak yang sama. Kami juga tidak suka kepada perdana menteri jahat yang telah menyebabkan kematian Jenderal Gak Hui. Kami juga menentang Chin Kui. Akan tetapi bagaimana engkau juga bermusuhan dengan dia, nona?"

"Panjang ceritanya, paman," kata Thian Liong.

Kemudian dia menceritakan tentang pemberontakan Pangeran Hiu Kit Bong di Kerajaan Kin. Dia sedang berada di sana dan terlibat dalam pembelaan Kerajaan Kin dari usaha pemberontakan Pangeran Hiu Kit Bong. Pangeran pemberontak itu bersekutu dengan Perdana Menteri Chin Kui yang diwakili oleh Cia Song. Akhirnya pemberontakan itu dapat dihancurkan.

"Akan tetapi Cia Song dapat melarikan diri dan dia tentu melaporkan kepada Perdana Menteri Chin Kui bahwa saya telah berkhianat kepada Kerajaan Sung dan menjadi kaki tangan Kerajaan Kin. Melihat betapa para pejabat dan perajurit berusaha menangkap saya, maka mudah diduga bahwa Perdana Menteri Chin Kui tentu berhasil membujuk Kaisar untuk mengeluarkan perintah agar saya dijadikan orang buruan dan ditangkap, mati atau hidup. Padahal, saya membantu Kerajaan Kin hanya dalam menghadapi pemberontak yang bersekutu dengan Chin Kui. Demikianlah ceritanya. Kaisar Kerajaan Kin menganggap saya berjasa, maka ketika saya meninggalkan utara untuk menentang Chin Kui, dan Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu menyatakan hendak membantu saya, Raja Kin menyetujui. Nah, itulah sebabnya puteri...... eh, Pek Hong Nio-cu ini sekarang berada di sini. Kami tidak jadi memasuki kota raja setelah beberapa kali kami diserang pasukan kerajaan yang hendak menangkap kami."

"Aih"..! Penasaran sekali! Ini semua tentu gara-gara fitnah yang disebarkan si jahanam Chin Kui, pengkhianat itu! Jangan khawatir, Souw-sicu. Aku akan membantumu. Aku mempunyai banyak kawan seperjuangan di kota raja dan kami semua menentang Chin Kui. Akan kami beberkan semua rahasia jahatnya, bersekongkol dengan pemberontak di Kerajaan Kin dan sekiranya pemberontakan itu berhasil, tentu dia akan mempunyai rencana jahat lainnya.

"Terima kasih, paman. Akan tetapi kami harap paman tidak merepotkan diri karena berarti paman juga terjun ke dalam bahaya," kata Thian Liong.

"Kita sama lihat saja nanti. Yang jelas, kita bersatu hati menyelamatkan Kerajaan Sung dari pengaruh Chin Kui yang amat jahat!" kata pula Han Si Tiong.

Setelah menginap satu malam di rumah bekas pemimpin pasukan Halilintar itu, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu meninggalkan dusun Kian-cung. Setelah matahari naik tinggi, mereka sudah jauh meninggalkan Telaga Barat dan mereka berhenti di bawah pohon tepi jalan yang sepi itu. Mereka melepaskan lelah, juga memberi kesempatan kepada dua ekor kuda mereka untuk mengaso dan makan rumput. Ketika berada di rumah Han Si Tiong, pendekar yang memelihara belasan ekor kuda itu memberi mereka dua ekor kuda yang baik sekali sebagai pengganti dua ekor kuda mereka yang sudah kelelahan karena melakukan perjalanan jauh.

"Thian Liong, sekarang kita akan ke mana?" tanya Pek Hong Nio-cu sambil menatap wajah Thian Liong yang agak suram.

"Aku sedang memikirkan hal itu baik-baik, Nio-cu. Tugasku sekarang adalah mencari gadis pencuri kitab milik Kun-lun-pai dan membantu Kerajaan Sung agar terlepas dari cengkeraman si jahat Chin Kui. Kiranya akan sukar sekali mencari gadis pakaian merah itu karena kita tidak tahu di mana tempat tinggalnya dan ke mana ia pergi. Maka, tinggal tugas kedua yang paling penting itu, ialah menentang Chin Kui. Untuk itu, aku harus pergi ke kota raja!"

"Akan tetapi engkau menjadi buruan pemerintah, Thian Liong dan kalau engkau ke kota raja, bukankah hal itu sama saja dengan mencari penyakit?"

"Ucapanmu itu memang benar, Nio-cu......"

"Thian Liong, jangan sebut aku Nio-cu di sini. Orang akan menjadi curiga. Sebut saja Pek Hong. Namaku Sie Pek Hong, kau ingat?"

Thian Liong tersenyum.

"Hemm, aku heran bagaimana engkau tiba-tiba memakai she Sie!"

"Ketika memperkenalkan diri kepada Paman Han, aku teringat bahwa aku harus mempunyai she (marga), aku lalu ingat Paman Sie yang amat baik dan yang kuanggap sebagai guruku, maka aku lalu menggunakan nama marganya. Dan aku menggunakan nama julukanku sebagai nama, menjadi Sie Pek Hong. Bagus, bukan?"

"Hemm, bagus sekali nama itu, Nio-cu......"

"Heitt! Lupa, lagi!"

"O ya, biar kusebut kau Hong-moi (adik Hong) saja, bagaimana?"

"Ah, aku senang sekali. Dan aku menyebut engkau Liong-ko, bukankah kita menjadi seperti kakak dan adik?"

"Kakak dan adik seperguruan? Ah, aku masih heran dan bingung memikirkan, Nio...... eh, Hong-moi. Ketika suhu muncul menolong kita, engkau menyebutnya Paman Sie. Siapakah yang salah lihat? Engkau atau aku? Menurut penglihatanku, itu suhu. Jelas sekali. Aku tidak mungkin salah lihat!"

"Dan akupun tidak mungkin salah lihat, Liong-ko. Dia itu jelas Paman Sie yang pernah kulihat di taman istana ketika bertemu dengan ibuku. Dia jelas Paman Sie yang memberi tiga buah kitab dan hiasan rambut ini kepadaku!" gadis itu berkata kukuh.

"Hemm, apakah mungkin Paman Sie itu adalah guruku, Tiong Lee Cin-jin yang dijuluki Yok-sian (Tabib Dewa)? Akan tetapi kalau memang keduanya itu satu orang, kenapa ilmu silatmu berbeda dengan ilmu silatku?"

"Liong-ko, engkau sendiri bercerita padaku bahwa gurumu itu menyuruh engkau membagi-bagikan kitab pelajaran ilmu silat kepada partai-partai persilatan......"

"Bukan membagi-bagi, Hong-moi, melainkan kitab-kitab itu yang memang menjadi hak milik partai-partai itu yang kehilangan kitab mereka puluhan tahun yang lalu."

"Itu berarti bahwa gurumu memiliki banyak kitab pelajaran ilmu silat, maka apa anehnya kalau dia juga memberi aku tiga kitab pelajaran ilmu silat yang lain daripada yang diajarkan padamu? Aku hampir yakin bahwa Paman Sie itu juga Tiong Lee Cin-jin gurumu itu!"

"Kemungkinan itu ada saja, Hong-moi, atau ada dua orang yang mirip satu sama lain. Sekarang kita bicara tentang perjalanan kita, Hong-moi. Seperti kukatakan tadi, aku harus pergi ke kota raja. Kalau tidak, bagaimana aku dapat membantu kerajaan agar terbebas dari pengaruh kekuasaan Chin Kui?"

"Akan tetapi engkau sedang dikejar-kejar, Liong-ko! Tentu sebelum engkau dapat memasuki kota raja, engkau sudah dikepung dan ditangkap pasukan pemerintah!"

"Aku dapat menyamar, Hong-moi. Dengan memasang jenggot dan kumis palsu, aku dapat memasuki kota raja. Bagaimanapun juga, hanya namaku yang menjadi buruan pemerintah. Wajahku tidak ada yang mengenal, kecuali tentu saja Cia Song. Mungkin para perwira pasukan hanya mendengar gambaran tentang diriku, maka kalau aku mengubah sedikit wajahku, tentu tidak ada yang mengenalku."

"Hei, kebetulan sekali, Liong-ko. Aku dulu pernah mempelajari merias wajah para pemain panggung. Aku dapat memasang jenggot dan kumis palsu pada wajahmu dan ditanggung tidak dapat dilepas kecuali memakai obatku karena rambut-rambut itu menempel kuat di wajahmu! Akan tetapi kalau kita sudah dapat memasuki kota raja, lalu apa yang akan kaulakukan?"

"Hal itu bagaimana nanti saja kalau kita sudah berhasil memasuki kota raja, Hong-moi."

Mereka lalu memasuki hutan di depan dan di tempat tersembunyi itu Pek Hong merias wajah Thian Liong dengan kumis dan jenggot palsu yang diambil dari ram-but pemuda itu sendiri.

Tak lama kemudian mereka melanjutkan perjalanan dan kini Thian Liong telah berubah menjadi seorang yang berkumis dan berjenggot, membuat dia tampak lebih tua daripada biasanya. Mereka menunggang kuda menuju ke arah kota raja Lin-an.

"Engkau harus mengganti namamu, Liong-ko."

"Benar sekali, Hong-moi. Mulai sekarang aku bernama San Lam dengan nama marga Mou."

Pek Hong tersenyum.

"Mou San Lam berarti Putera Gunung Mou? Kenapa memakai nama begitu, Liong-ko?"

"Eh, jangan sebut Liong-ko lagi. Sebut Lam-ko agar tidak terbuka rahasiaku. Ketahuilah, di waktu kecil aku tinggal di lereng Mao-mao-san (Gunung Mao-mao), jadi tepat kalau aku memakai nama Putera Gunung Mou, bukan?"

Pek- Hong tertawa.

"Heh-heh, engkau pandai mencari nama yang tepat, Liong"" eh, Lam-ko. Mari kita cepat melanjutkan perjalanan."

Mereka lalu membalapkan kuda mereka dan benar saja, setelah Thian Liong mengubah mukanya dan menggunakan nama Mou San Lam, tidak ada yang men-curigainya sampai akhirnya mereka tiba juga di Lin-an, kota raja Kerajaan Sung.

Dua hari setelah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu pergi meninggalkan rumah mereka, Han Si Tiong dan isterinya, Liang Hong Yi, segera berkemas, membawa bekal pakaian dan uang, lalu keduanya menunggang kuda berangkat menuju ke Lin-an. Telah hampir duabelas tahun mereka meninggalkan kota raja, maka perjalanan menuju ke Lin-an merupakan perjalanan yang membangkitkan kenangan masa lalu. Mereka masih, mengenal jalan raya menuju kota raja dengan baik dan diam-diam merasa sedih melihat betapa dusun-dusun bukan saja tidak ada kemajuan.

Rumah-rumah rakyat sama sekali tidak tampak mendapat perbaikan, bahkan di mana-mana mereka mendengar rakyat berkeluh kesah, wajah-wajah para petani yang muram dan hampir setiap orang yang mereka tanyai mengeluh tentang beratnya pajak yang harus mereka bayar. Hampir setiap kepala dusun menekan dan memeras penduduknya dan kalau Han Si Tiong dan isterinya menyelidiki kepala dusun itu, mereka mendapat kenyataan bahwa kepala dusun itupun ditekan dan diperas oleh atasannya dengan ancaman dicopot kedudukannya kalau mereka itu tidak dapat menyetorkan hasil yang sudah ditentukan banyaknya.

Han Si Tiong maklum bahwa semua ini akibat pemerasan yang dilakukan Perdana Menteri Chin Kui dan para pembesar yang menjadi kaki tangannya. Dia merasa sedih sekali karena agaknya Kaisar sudah tidak mempunyai wibawa lagi, sehingga semua rakyat membenci Kaisar yang dianggap menindas rakyat dengan peraturan-peraturan yang menekan itu. Padahal, Han Si Tiong dan isterinya tahu betul bahwa semua peraturan yang menindas rakyat ini adalah buatan Perdana Menteri Chin Kui dan kaki tangannya. Pajak yang ditentukan oleh Kaisar, yang cukup adil bagi rakyat yang berpenghasilan besar, ditambah sedemiklan rupa oleh Chin Kui, bahkan mereka yang berpenghasilan kurang sekalipun tetap saja dikenakan pajak, dan semua kelebihan yang ditambahkan itu tentu saja masuk kantong Chin Kui dan para pembesar yang menjadi kaki tangannya.

Setelah memasuki kota raja, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi bermalam di sebuah rumah penginapan. Mereka tidak mencari bekas rumah mereka karena mereka tahu bahwa bekas rumah pemberian pemerintah itu kini tentu ditinggali perwira lain. Juga mereka belum berkunjung kepada sahabat baik mereka, Kwee-ciangkun (Panglima Kwee) yang menjadi komandan penjaga keamanan kota raja. Mereka hendak melihat keadaan dulu, baru akan berkunjung ke rumah sahabat baik mereka itu.

Han Si Tiong dan Liang Hong Yi merasa aman. Sebetulnya mereka berdua sama sekali tidak mempunyai musuh, kecuali tentu saja Chin Kui. Mereka mendengar bahwa perdana menteri itu amat membenci mendiang Jenderal Gak Hui dan kabarnya malah selalu berusaha untuk membasmi semua pengikut setia jenderal besar itu. Han Si Tiong merasa sudah berjasa terhadap Kerajaan Sung, maka tidak semestinya kalau dia dan isterinya takut berada di kota raja. Apa lagi mereka sudah hampir duabelas tahun meninggalkan kota raja.

Dahulu ketika mereka masih memimpin Pasukan Halilintar, maka mereka terkenal dan hampir semua perajurit kerajaan mengenal mereka. Akan tetapi sekarang siapa yang mengenal mereka? Wajah mereka telah menjadi lebih tua. Kalau dulu, duabelas tahun yang lalu wajah Han Si Tiong bersih tanpa kumis atau jenggot, sekarang dia berkumis dan berjenggot. Juga Liang Hong Yi lebih tua dan sekarang wanita itu agak kurus karena selama bertahun-tahun prihatin memikirkan puterinya yang hilang.

Selama dua hari Han Si Tiong dan Liang Hong Yi mencari keterangan dan mereka mendengar bahwa sahabat baik mereka, Panglima Kwee Gi masih menduduki jabatannya yang lama, yaitu komandan pasukan penjaga keamanan kota raja. Biarpun di dalam hatinya Kwee-ciangkun ini tidak suka, bahkan membenci Chin Kui seperti banyak pejabat tinggi yang setia kepada Kaisar lainnya, namun dia tidak memperlihatkan sikap tidak suka ini secara berterang sehingga Chin Kui tidak menyangka bahwa Kwee-ciangkun membencinya. Chin Kui tidak mengganggunya, apa lagi Kwee-ciangkun merupakan panglima yang dipercaya Kaisar karena jasanya sudah banyak sekali.

Setelah mendengar keterangan tentang sahabatnya itu, Han Si Tiong lalu mengajak isterinya untuk pergi mengunjungi sahabatnya itu. Pada hari ketiga, pagi-pagi mereka keluar dari rumah penginapan dengan jalan kaki, hendak mengunjungi Kwee-ciangkun.

Han Si Tiong dan isterinya sama sekali tidak menyangka bahwa semenjak mereka memasuki kota raja, beberapa pasang mata telah memperhatikan mereka dan beberapa orang telah membayangi dan mengawasi setiap gerak-gerik mereka. Empat orang ini adalah kaki tangan Perdana Menteri Chin Kui yang memang disebar di seluruh kota raja untuk menyelidiki setiap orang yang memasuki kota raja! Maka, tidak mengherankan apa bila dalam waktu satu hari saja, Chin Kui sudah mengetahui Han Si Tiong dan Liang Hong Yi, bekas pimpinan Pasukan Halilintar yang terkenal setia kepada mendiang Jenderal Gak Hui itu kini telah kembali ke kota raja. Tentu saja dia tidak tinggal diam dan cepat memerintahkan tiga orang jagoannya yang dapat diandalkan, yaitu Hwa Hwa Cin-jin, bekas jagoan guru mendiang Ciang Bun putera mendiang Ciang Sun Bo atau Jenderal Ciang.

Seperti kita ketahui, Jenderal Ciang dan puteranya itu tewas di tangan Han Bi Lan dan Hwa Hwa Cin-jin berhasil lolos. Lalu tosu sesat ini ditampung oleh Chin Kui. Selain Hwa Hwa Cin-jin, ada lagi orang kakak adik seperguruan yang menjadi jagoan andalan Perdana Menteri Chin Kui. Mereka adalah Bu-tek Mo-ko (Iblis Jantan Tanpa Tanding) Teng Sui yang bertubuh tinggi kurus berusia sekitar limapuluh tahun, dan Bu-eng Mo-ko (Iblis jantan Tanpa Bayangan) Gui Kong yang bertubuh pendek gendut.

Mereka bertiga itu mendapat tugas untuk membunuh Han Si Tiong dan Liang Hong Yi. Karena Chin Kui juga sudah tahu akan kemampuan ilmu silat suami isteri itu, maka dia merasa yakin bahwa tiga orang jagoannya itu pasti akan dapat membina-sakan mereka. Dia tidak mau mengirim banyak pasukan, karena hal itu akan me-nimbulkan kegemparan. Suami isteri itu telah dikenal rakyat dan dahulu nama mereka banyak dipuji-puji, bahkan Kaisar sendiri pernah menyatakan kekaguman-nya kepada suami isteri pimpinan Pasukan Halilintar itu. Kalau mereka berdua itu dikeroyok pasukan, tentu akan menimbulkan kegemparan.

Suami isteri itu berjalan santai menuju ke rumah gedung tempat tinggal Panglima Kwee Gi. Ketika mereka tiba di bagian jalan yang sunyi, tiba-tiba mereka melihat tiga orang berdiri menghadang di tengah jalan. Suami isteri itu memperhatikan dan merasa belum pernah mengenal mereka. Yang seorang berpakaian seperti seorang tosu. Jenggotnya panjang dan tubuhnya agak pendek dengan perut gendut. Mukanya berwarna kekuningan dan mulutnya tersenyum mengejek. Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Orang kedua bertubuh jangkung kurus, mukanya seperti tengkorak dan diapun mempunyai sebatang pedang yang digantung di pinggang. Orang ketiga bertubuh pendek gendut dan membawa golok yang digantung di punggung. Kakek pertama itu berusia sekitar enampuluh lima tahun sedangkan orang terakhir berusia antara limapuluh dan empatpuluh delapan tahun.

Mereka itu adalah Hwa Hwa Cin-jin, Bu-tek Mo-ko, dan Bu-eng Mo-ko yang sengaja menghadang di jalan sepi itu.

Setelah suami isteri itu melangkah dan tiba di depan mereka, Hwa Hwa Cin-jin menegur sambil tersenyum mengejek dan memandang rendah.

"Bukankah kalian berdua ini suami isteri Han Si Tiong dan Liang Hong Yi?"

Karena tidak menduga buruk, dan memang dia seorang yang jujur, Han Si Tiong menjawab.

"Benar sekali. Totiang (bapak pendeta) siapakah dan ada keperluan apakah sam-wi (anda bertiga) menghadang perjalanan kami?"

Begitu mendengar jawaban itu, tiga orang yang ditugaskan membunuh suami isteri itu segera mencabut senjata mereka dan Hwa Hwa Cin-jin berseru,

"Kalian harus mati di tangan kami!" Tiga orang itu sudah menyerang dengan cepat dan ganas sekali. Suami isteri itupun cepat mencabut pedang mereka dan sambil melompat ke belakang mereka menangkis serangan itu.

Liang Hong Yi menangkis pedang Hwa Hwa Cin-jin yang menyambar ke arah lehernya sedangkan Han Si Tiong memutar pedangnya untuk menangkis sambaran pedang dan golok dua orang jagoan yang di dunia kang-ouw dikenal sebagai Siang Mo-ko (Sepasang lblis Jantan).

"Tranggg......! Trangggg!!" Bunga api berpijar dan suami isteri itu terhuyung ke belakang. Terutama sekali Liang Hong Yi. Pertemuan pedang itu hampir saja membuat pedangnya terlepas dan ia merasa betapa telapak tangannya menjadi panas dan pedih sekali. Hampir saja wanita itu terjengkang, akan tetapi Han Si Tiong yang juga kalah kuat dan terhuyung dan menyambar tangannya dan mencegah isterinya terjatuh.

Tiga orang jagoan itu tertawa senang. Tadinya mereka khawatir kalau-kalau suami isteri itu memiliki kepandaian yang terlalu kuat bagi mereka sehingga sukar dibunuh. Akan tetapi ternyata dalam segebrakan saja, suami isteri itu telah terhuyung dan hampir roboh! Mereka bertiga tertawa dan mendesak lagi. Suami isteri itu repot sekali berloncatan ke sana-sini menghindarkan diri dan terkadang mereka terpaksa menggunakan pedang menangkis.

Liang Hong Yi jelas bukan lawan Hwa Hwa Cin-jin. Tingkatnya kalah jauh sehingga ia repot sekali harus menghindarkan diri dari desakan pedang Hwa Hwa Cin-jin yang seolah hendak mempermainkan calon korbannya. Sementara itu, kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian Han Si Tiong seimbang dengan Bu-tek Mo-ko atau Bu-eng Mo-ko.

Kalau bertanding melawan seorang dari mereka tentu akan ramai sekali dan belum tentu dia kalah. Akan tetapi dikeroyok dua, dia menjadi kerepotan dan seperti isterinya, diapun hanya mampu mengelak dan menangkis.

"Cringgg...... trak......! Trakk......!"

Suami isteri itu melompat ke belakang dengan wajah berubah pucat. Tiga orang itu tertawa-tawa melihat betapa pedang suami isteri itu telah patah. Mereka siap untuk mengirim serangan maut.

"Tahan!" bentak Han Si Tiong.

"Kami bukan orang-orang yang takut mati. Akan tetapi katakan dulu, siapa kalian dan mengapa kalian hendak membunuh kami?"

Tiga orang pembunuh itu saling pandang lalu tertawa bergelak. Mereka memang dipesan agar jangan memberitahukan hal itu, khawatir kalau didengar orang lain dan mereka yang kagum terhadap suami isteri itu tentu akan merasa tidak senang kalau mendengar bahwa suami isteri itu dibunuh atas perintah Perdana Menteri Chin Kui. Maka, tiga orang itu hanya tertawa lalu mereka menerjang ke depan untuk mengirim serangan maut dengan senjata mereka kepada suami isteri yang sudah tidak berdaya itu.

Pada saat yang amat gawat bagi keselamatan nyawa suami isteri itu, tiba tiba tampak dua sosok bayangan berkelebat bagaikan dua ekor burung garuda menyambar.

"Tranggg......! Cringgg"" !!"

Hwa Hwa Cin-jin terkejut bukan main ketika pedangnya terpental karena ditangkis sebatang pedang lain yang gerakannya amat cepat dan kuat sekali. Dia cepat memandang dan ternyata yang menangkisnya adalah seorang gadis yang cantik jelita dan kini gadis itu berdiri di depannya dengan pedang di tangan kanan. Sementara itu, Siang Mo-ko juga terkejut bukan main karena senjata mereka bertemu dengan pedang yang demikian kuat dan tajam sehingga ketika mereka melihat, ujung pedang Bu-tek Mo ko dan ujung golok Bu-eng Mo-ko telah rompal!


KISAH SI NAGA LANGIT JILID 22

Cia Song yang memang telah merasa betapa dia yang menyebabkan perdana menteri itu diketahui mengadakan persekutuan dengan Pangeran Hiu Kit Bong yang mengadakan pemberontakan di Kerajaan Kin, hanya dapat mengangguk menyanggupi.

"Akan tetapi apa artinya kalau hanya membunuh empat orang itu saja? Tentu Kaisar sudah kehilangan kepercayaan kepada anda, Chin-taijin (pembesar Chin)!" kata seorang panglima yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam.

"Anda benar, Lo-ciangkun. Sebagaimana diusulkan oleh beberapa orang saudara tadi, sekali ini kita tidak boleh bekerja kepalang tanggung. Selain menugaskan Cia Song untuk membunuh empat orang tahanan yang berbahaya bagiku itu, kita juga harus pada malam itu juga membunuh kaisar. Kalau usaha itu berhasil baik, kita harus menggunakan pasukan yang telah dipersiapkan untuk menyerbu dan menduduki istana. Kalau kaisar sudah tewas, tentu mereka itu tidak dapat berbuat apa-apa. Akan tetapi kalau usaha membunuh kaisar gagal kita harus bersabar, tidak boleh menyerbu istana dan mencari jalan dan kesempatan lain yang lebih menguntungkan. Bagaimanapun juga, kurasa kaisar masih menaruh kepercayaan kepadaku karena semua yang dituduhkan gerombolan pengacau itu belum dapat dibuktikan."

Setelah berunding dengan matang, para pemberontak ini bubaran untuk mempersiapkan diri dengan tugas masing masing. Cia Song juga membuat persiapan. Karena dia ketahuan sebagai penghubung Chin Kui dengan pemberontak di Kerajaan Kin dan perdana menteri itu menyangkal, maka dia tidak boleh memperlihatkan diri kepada umum dan diharuskan bersembunyi di dalam ruangan rahasia dalam istana Perdana Menteri Chin Kui.

Cia Song mengajak empat orang kaki tangan Chin Kui yang telah diselundupkan dan menjadi perajurit dalam pasukan pengawal istana untuk menemaninya melaksanakan tugas pembunuhan terhadap empat orang tahanan itu. Dia tidak mau mengajak jagoan-jagoan yang berada di rumah Chin Kui karena kemungkinan ketahuan lebih besar. Kalau mengajak empat orang itu, tentu akan mudah menyusup ke dalam penjara istana dan dia dapat menyamar sebagai seorang dari mereka.

Sementara itu, Hwa Hwa Cin-jin dan Siang Mo-ko yang ditugaskan untuk melakukan pembunuhan terhadap kaisar! Tiga orang ini memang merupakan jagoan jagoan kepercayaan Chin Kui dan ilmu kepandaian mereka cukup tinggi sehingga perdana menteri itu menganggap bahwa mereka cukup kuat untuk melakukan tugas itu dengan berhasil baik.

Perdana Menteri Chin Kui adalah seorang yang licik dan cerdik sekali. Dia selalu mendahulukan kepentingan dan keselamatan dirinya sendiri. Oleh karena itu, dalam setiap tugas yang diberikan kepada kaki tangannya, dia selalu menjaga agar kalau tugas itu gagal, jangan sampai namanya tersangkut. Oleh karena itu, ketika memberi tugas kepada Cia Song untuk membunuh empat orang tawanan di dalam penjara istana, juga memberi tugas kepada Hwa Hwa Cin-jin dan kedua Siang Mo-ko untuk membunuh kaisar dalam istana, diam-diam dia menugaskan orang-orangnya yang telah ditanam di istana sebagai pengawal-pengawal, untuk membayangi mereka yang bertugas itu.

Dua orang diharuskan membayangi Cia Song dan dua orang pula membayangi Hwa Hwa Cin-jin dan Siang Mo-ko dengan pesan bahwa kalau sampai para petugas itu gagal dan tidak mampu lolos dari dalam istana, maka para petugas itu harus dibunuhnya. Tidak boleh sekali-sekali ada yang tertangkap sehingga akan mengaku bahwa mereka disuruh oleh Chin Kui!

Malam kedua setelah persidangan dalam istana yang kacau dan penuh perdebatan dan percekcokan sehingga membuat kaisar menjadi pusing dan marah itu adalah malam yang sepi, gelap dan dingin. Hujan baru saja berhenti setelah turun lebat sejak sore. Di luar rumah basah semua dan udara menjadi bersih namun dingin bukan main sehingga orang orang segan keluar rumah dan membuat malam itu terasa sepi. Dalam cuaca seperti itu, yang paling nyaman adalah tidur.

Di kompleks bangunan istana juga tampak sepi. Para penjaga yang merupakan pengawal istana bagian luar berjaga di gardu masing-masing dan agak malas melakukan perondaan di malam yang dingin itu. Pula, selama ini tidak pernah terjadi sesuatu di istana. Tidak mungkin ada pencuri berani memasuki kompleks istana yang terjaga oleh tiga lapis pasukan. Pertama, pasukan pengawal luar istana, lalu ada pasukan pengawal dalam istana dan pasukan pengawal keluarga kaisar. Masih ada lagi pasukan pengawal bagian keluarga wanita istana dan para perajurit di sini adalah para thai-kam (sida-sida, kebiri).

Cia Song yang menyamar, berpakaian sebagai perajurit pengawal bagian dalam, bersama empat orang perajurit pengawal yang menjadi kaki tangan Chin Kui, berhasil masuk dengan mudah. Dia lalu bersama empat perajurit itu melakukan perondaan.

Sementara itu, Hwa Hwa Cin-jin dan Siang Mo-ko, yaitu Bu-tek Mo-ko dan Bu-eng Mo-ko, masuk secara menggelap. Mereka sudah mendapat keterangan lengkap tentang jalan masuk ke taman istana melalui pintu kecil di bagian belakang, setelah mereka dapat melewati pintu gerbang benteng istana yang dijaga oleh para perajurit kaki tangan Chin Kui yang memang dipersiapkan malam itu bertugas jaga di situ.

Malam yang gelap dan sunyi amat membantu calon-calon pembunuh itu. Dengan mudah mereka dapat mendekati sasaran masing-masing. Dengan jalan meronda, Cia Song dan empat orang perajurit pengawal itu akhirnya mengambil jalan menuju ke belakang di mana terdapat sebuah bangunan yang menjadi tempat tahanan istana yang penting.

Tepat seperti yang dikatakan Panglima Kwee, empat orang yang ditahan di penjara istana itu mendapat perlakuan baik sekali dari kepala penjara itu yang mendukung perjuangan Panglima Kwee dan rekan-rekannya dalam menentang Perdana Menteri Chin Kui. Kepada anak buahnya kepala penjara itu memperingatkan.

"Para tahanan ini adalah orang-orang gagah, pendekar-pendekar dan mereka hanya ditahan selama urusan mereka masih dipertimbangkan oleh Sri Baginda Kaisar. Mereka belum dinyatakan bersalah, belum dihukum. Maka kalau kalian memperlakukan mereka berempat secara kasar, aku tidak akan mengampuni kalian karena tentu Sri Baginda akan menyalahkan aku. Aku yang bertanggung jawab di sini. Mengerti?"

Tentu saja para anak buahnya takut untuk membantah. Bagaimanapun juga, ucapan kepala penjara itu benar. Oleh karena itu, Han Si Tiong, Liang Hong Yi, Souw Thian Liong, dan Sie Pek Hong diperlakukan dengan baik. Memang, kamar tahanan mereka itu kokoh sekali, terbuat dari baja tebal dengan jeruji yang kokoh dan tidak mungkin dipatahkan begitu saja. Akan tetapi mereka diperlakukan dengan baik, tidak ada yang berani mengejek atau menghina dan mereka tidak kekurangan makanan dan minuman.

Thian Liong dan Pek Hong berada dalam satu kamar tahanan dan Han Si Tiong berdua dengan isterinya.

Thian Liong merasa rikuh juga berada dalam satu kamar dengan Pek Hong. Akan tetapi gadis itu bersikap biasa. Juga dalam setiap kamar terdapat dua bangku batu sebagai tempat tidur dan setiap kamar dilengkapi dengan kamar mandi dan kakus lengkap. Biarpun para penjaga bersikap baik, namun para tahanan itu tetap waspada dan di waktu malam, tidur merekapun tidak pulas benar. Sedikit suara saja cukup membangunkan mereka.

Pada malam kedua yang sepi dan dingin itu, Thian Liong duduk di atas pembaringan batu, bersila dan menenangkan hati dan pikiran, mengumpulkan hawa murni agar dia dapat selalu siap menghadapi segala kemungkinan, baik ataupun buruk. Tiba-tiba dia mendengar Pek Hong bersenandung. Lirih saja, akan tetapi suaranya merdu dan lagunya terdengar asing, akan tetapi indah. Thian Liong membuka mata dan memandang.

Gadis itu duduk di atas pembaringan batunya yang berada di dekat dinding seberang, kedua kakinya digantung dan wajahnya tampak tenang saja. Diam-diam dia merasa kagum. Gadis ini memang luar biasa. Menjadi tahanan, dikeram dalam kamar penjara, sama sekali tidak tampak sedih atau khawatir, malah bersenandung, seperti orang yang sedang santai dan gembira. Padahal, ia itu seorang puteri yang biasa hidup di dalam istana yang indah dan mewah! Akan tetapi, Thian Liong segera teringat bahwa Puteri Moguhai ini juga Pek Hong Nio-cu, seorang pendekar wanita yang tentu saja biasa merantau dan hidup dalam keadaan seadanya, bahkan tentu pernah kekurangan makan dan tidur di mana saja, mungkin di dalam hutan. Maka hilanglah rasa herannya walaupun dia tetap saja masih merasa kagum.

"Hong-moi kenapa engkau begini gembira?" tanya Thian Liong.

Gadis itu memandang kepadanya dengan senyum manis sekali.

"Habis, apakah engkau lebih suka melihat aku menangis, Liong-ko?"

Mau tak mau Thian Liong tersenyum juga. 'Tentu saja tidak, Hong-moi. Akan tetapi aku merasa kagum akan ketenanganmu, dalam keadaan terancam begini engkau masih dapat bersenandung dan tersenyum!"

"Karena aku yakin bahwa keadaan ini pasti tidak akan selamanya dan hanya sementara saja."

"Engkau yakin bahwa perjuangan Paman Kwee dan rekan-rekannya akan berhasil? Kulihat Chin Kui itu benar-benar telah mempengaruhi Kaisar."

"Aku percaya kepada Paman Kwee, akan tetapi bukan kepadanya dan para rekannya saja. Akupun yakin bahwa ayahku tidak akan diam saja membiarkan aku terancam bahaya, Liong-ko."

"Eh? maksudmu?"

"Ayah percaya akan kemampuanku, akan tetapi dia juga amat sayang kepadaku. Mengingat bahwa aku pergi ke selatan, ke wilayah Kerajaan Sung, aku yakin bahwa ayah tentu tidak akan melepaskan aku begitu saja dan diam-diam tentu mengirim orang-orang untuk mengawasi dan menjagaku sehingga kalau aku mendapatkan kesulitan mereka akan dapat menolongku."

"Hemm, kau pikir begitukah, Hong moi?"

"Bukan itu saja Liong-ko. Kau ingat ketika kita terancam bahaya sewaktu kita tertawan kaki tangan pemberontak di utara itu? Paman Sie menolong kita......"

"Maksudmu, suhu Tiong Lee Cin-jin?"

"Bukan, maksudku Paman Sie, sahabat ibuku dan juga guruku! Aku yakin dia tidak akan membiarkan aku celaka."

Ucapan itu dikeluarkan dengan suara demikian penuh keyakinan sehingga Thian Liong terpengaruh dan percaya juga. Diapun percaya bahwa gurunya adalah seorang sakti yang dapat melakukan hal hal yang luar biasa. Dia tidak mau berdebat dengan Pek Hong tentang siapa penolong mereka dahulu itu, apakah gurunya Tiong Lee Cin-jin ataukah paman gadis itu yang disebut Paman Sie, ataukah keduanya itu memang sama orangnya. Maka, diapun diam saja tidak mau membantah dan keduanya kini duduk diam, seolah tenggelam ke dalam lamunan masing-masing. Karena keduanya diam, maka terasa sunyi sekali.

Hawa dingin menembus dinding tebal dan menyusup ke dalam kamar tahanan itu. Thian Liong memandang gadis itu. Gadis yang begitu cantik jelita, begitu lihai dan juga gagah perkasa dan pemberani, seorang puteri kaisar lagi! Dan sekarang, gadis itu meringkuk dalam kamar tahanan duduk di tempat tidur batu yang dingin! Semua ini karena gadis itu hendak membantunya untuk membela Kerajaan Sung menentang Chin Kui!

"Hong-moi, maafkan aku. Aku menyesal sekali, Hong-moi." Setelah menghela napas berulang-ulang, Thian Liong berkata lirih.

Gadis yang tadinya menundukkan mukanya itu, kini mengangkat muka memandang.

"Apa maksudmu, Liong-ko? Maaf? Menyesal?"

"Ya, aku merasa menyesal sekali dan minta maaf padamu karena sekarang engkau menderita dan terancam bahaya hanya karena aku! Kalau engkau tidak ikut dan membantuku, tentu engkau sekarang berada di kamarmu sendiri, di istana ayahmu yang indah."

Sepasang alis hitam melengkung itu berkerut. Sepasang mata bintang itu bersinar marah.

"Liong-ko, apakah dahulu ketika engkau membantu aku menghadapi pemberontak di utara lalu kita tertawan dan terancam maut, aku juga minta maaf dan menyatakan menyesal karena engkau membantuku? Kalau begitu engkau merasa menyesal bahwa aku membantumu, berarti engkau menyesal pula dahulu pernah membantu aku!"

"Wah, sama sekali tidak, Hong-moi! Bukan begitu maksudku......"

"Kalau tidak begitu, syukurlah dan jangan kita bicarakan lagi hal itu!" Pek Hong lalu memutar duduknya, menghadap ke arah pintu baja di mana terdapat jeruji baja yang kokoh dan mereka dapat memandang keluar pintu melalui celah celah jeruji.
Thian Liong tahu bahwa gadis itu marah. Diapun tidak berani lagi bicara dan merasa bahwa memang dia tadi telah salah omong. Semestinya, penyesalan itu untuk diri sendiri saja, disimpan di hati tidak dikeluarkan melalui omongan. Diapun memandang ke luar pintu.

Malam makin larut. Penjara istana itu dijaga ketat oleh lima orang secara bergiliran. Lima orang penjaga yang baru saja mendapat giliran menggantikan lima orang perajurit yang berjaga sejak sore tadi, masih tampak segar dan belum mengantuk. Melakukan tugas jaga di penjara itu, di waktu penjara ada penghuninya, bukan merupakan pekerjaan berat.

Penjara itu kokoh kuat. Orang yang ditahan dalam ruangan penjara itu tidak mungkin dapat membobol pintu untuk melarikan diri. Juga teramat sukar bagi orang luar untuk dapat memasuki penjara ini guna membebaskan mereka yang ditahan. Penjagaan dari pintu gerbang benteng istana sampai ke penjara itu melalui penjagaan yang berlapis-lapis. Maka, lima orang perajurit pengawal yang melakukan penjagaan inipun santai saja. Selama ini belum pernah terjadi ada tahanan dapat kabur meloloskan diri.

Apalagi sekarang penjara itu hampir kosong, hanya terdapat dua pasang tahanan. Itupun, menurut kepala penjara, bukan merupakan orang tahanan berbahaya dan harus diperlakukan dengan sikap baik. Jadi, lima orang itupun tidak mengkhawatirkan sesuatu. Empat orang dari mereka segera asyik bermain kartu, sedangkan yang seorang duduk melakukan penjagaan kalau-kalau ada atasan mereka melakukan pemeriksaan, agar dia dapat memperingatkan kawan-kawan yang sedang bermain kartu.

Cia Song dan empat orang perajurit pengawal itu berjalan dengan tenang menghampiri tempat penjagaan di depan bangunan penjara. Perajurit yang melakukan penjagaan segera berbisik ke arah teman-teman yang sedang berjudi.

"Ssstt...... ada yang datang!"

Empat orang itu segera menyembunyikan kartu dan mereka duduk seolah sedang melakukan penjagaan ketat. Ketika perajurit yang menjadi kepala regu melihat bahwa yang datang adalah lima orang perajurit pengawal, dia bertanya heran.

"He, kawan-kawan! Kami baru saja datang dan belum waktunya diganti!"

Cia Song yang berpakaian sebagai seorang perajurit pengawal mendekati kepala regu dan berkata dengan ramah,

"Kami hanya ditugaskan untuk melihat apakah keadaan di sini baik-baik dan aman saja."

Empat orang perajurit pengawal yang menemani Cia Song, seperti telah diatur sebelumnya, juga mendekati para penjaga itu dengan ramah bersahabat.

Lima orang penjaga itupun tidak merasa curiga dan mereka menjadi lengah. Tiba-tiba Cia Song menggerakkan kedua tangannya dengan cepat sekali. Berturut turut dia menotok roboh tiga orang penjaga tanpa mereka sempat berteriak karena mereka bertiga telah terkena totokan ampuh sehingga mereka roboh dalam keadaan pingsan. Dua orang penjaga lainnya terkejut bukan main. Saking kagetnya, mereka tidak mampu mengeluarkan suara dan pada saat itu, empat batang golok menyambar dan merekapun roboh mandi darah, tewas tanpa sempat berteriak.

Empat orang perajurit itu lalu mengayun golok mereka, membunuh tiga orang perajurit penjaga yang tadi roboh tertotok oleh Cia Song. Setelah yakin bahwa lima orang penjaga itu tewas, Cia Song lalu memasuki lorong di luar kamar-kamar tahanan, diikuti oleh empat orang perajurit pengawal yang telah mengeluarkan gendewa dan kantung penuh anak panah berukuran kecil.

Semua ini memang telah dipersiapkan dengan baik oleh Cia Song. Dia tahu betapa lihai Souw Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu. Dari keterangan Perdana Menteri Chin Kui bahwa Souw Thian Liong ditemani seorang gadis cantik yang bicaranya seperti orang utara, dia seorang yang dapat menduga bahwa gadis itu tentulah Puteri Kerajaan Kin yang juga mempunyai kepandaian tinggi dalam ilmu silat itu.

Dia sekali ini tidak mau gagal lagi, maka dia telah mempersiapkan diri dengan baik. Dia maklum biarpun dua orang itu telah berada dalam sebuah kamar tahanan yang kokoh dan tidak akan mampu keluar, namun membunuh mereka bukan merupakan hal yang mudah. Karena itu, tahu bahwa empat orang perajurit yang menemaninya itu pandai mempergunakan senjata panah, dia lalu membekali mereka dengan gendewa kecil dan anak panah yang mengandung racun yang amat kuat.

Kalau dua orang yang berada dalam ruangan itu di berondong anak panah oleh empat orang perajurit dan diapun membantu menyerang dari luar, mustahil bagi Souw Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu untuk dapat menyelamatkan diri! Dia sudah memperhitungkannya dengan matang. Dia menduga bahwa dua orang itu pasti tidak membawa senjata untuk melindungi diri mereka dari hujan anak panah dan di dalam kamar penjara itupun tidak terdapat sesuatu yang dapat dijadikan perisai.

Sebagai seorang ahli ilmu silat tinggi dia sudah memperhitungkan bahwa Souw Thian Liong sendiri tidak akan dapat mengelak terus. Tidak mungkin menghindarkan diri dari serbuan anak-anak panah dan sebatang saja mengenai tubuhnya, cukup untuk membunuhnya.

Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong yang kebetulan sedang menghadap dan memandang ke arah pintu yang berjeruji, melihat munculnya lima orang yang berpakaian perajurit itu di depan pintu. Tadinya mereka mengira bahwa mereka adalah para penjaga yang melakukan perondaan, akan tetapi ketika mereka melihat Cia Song, keduanya terkejut bukan main.

"Ha-ha-ha!" Cia Song tertawa.

"Bersiaplah kalian untuk mampus!"

"Jahanam busuk kau!" Pek Hong memaki.

Akan tetapi Cia Song sudah memberi isyarat kepada empat orang yang memang sudah mempersiapkan anak panah mereka. Begitu mereka berempat bergerak, sinar-sinar hitam meluncur masuk ke dalam ruangan tahanan itu dan menyambar ke arah tubuh Thian Liong dan Pek Hong yang masih duduk di atas pembaringan batu masing-masing. Dua orang muda ini cepat melompat dan mengelak. Akan tetapi empat orang perajurit yang memang sudah tahu akan kelebihan dua orang yang harus mereka bunuh, melepas lagi anak panah secara bertubi-tubi. Thian Liong dan Pek Hong tidak dapat berbuat lain untuk menghindarkan diri kecuali dengan mengelak.

Mereka berloncatan ke sana-sini dengan cekatan sekali. Dari bau anak panah hitam itu keduanya maklum bahwa anak panah itu beracun, maka tentu saja mereka tidak ingin terluka oleh senjata kecil beracun itu.

Melihat betapa dua orang itu dapat mengelak, Cia Song berseru.

"Arahkan kepada seorang saja!"

Empat orang perajurit itu mengerti. Kalau mereka berempat hanya menyerang seorang saja, maka akan sukar sekali, bahkan tidak mungkin orang itu akan mampu menghindarkan diri dari hujan anak panah mereka berempat.

Akan tetapi sebelum penyerangan kepada seorang saja ini dilakukan, tiba tiba ada angin menyambar dari kanan. Angin itu demikian dahsyatnya sehingga empat orang perajurit itu tidak dapat bertahan dan mereka roboh bergulingan.

Cia Song sendiri juga terkejut, cepat menengok ke kanan dan melihat betapa ada seorang laki-laki mendorongkan tangan kirinya ke arah para perajurit itu.

Dia cepat mengerahkan tenaga sin-kang dan menggunakan kedua tangan untuk mendorong ke arah orang itu untuk menyambut pukulannya dan membuat orang itu roboh.

"Wuuuttt...... blarrr......!" Dua tenaga sinkang bertemu dan akibatnya, tubuh Cia Song terpental seperti daun kering tertiup angin dan dia harus berjungkir balik sampai lima kali agar tidak sampai terbanting jatuh. Cia Song terkejut bukan main. Celaka, pikirnya, orang ini memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa, jauh lebih kuat daripada tenaganya sendiri.

Dia melihat orang itu berkelebat seperti bayang-bayang saja cepatya, menghampiri empat orang perajurit yang roboh dan yang kini sedang merangkak bangun. Cepat sekali bayangan itu bergerak di antara mereka dan empat orang perajurit itu tertotok dan roboh terkulai, tak mampu bergerak lagi.

"Suhu......!" Thian Liong berseru.

"Paman Sie......!" Pek Hong Nio-cu juga berseru.

Cia Song terkejut setengah mati mendengar Thian Liong menyebut suhu kepada orang itu. Jadi inikah tokoh besar bernama Tiong Lee Cin-jin yang terkenal sebagai seorang manusia setengah dewa yang dijuluki Yok-sian (Dewa Obat) itu? Pantas dia memiliki tenaga sakti sehebat itu. Cia Song menjadi ketakutan dan dia segera melompat dan melarikan diri.

Bayangan yang ternyata seorang laki laki berpakaian kuning berusia sekitar enampuluh dua tahun itu segera membuka pintu tahanan dengan sebuah kunci yang agaknya tadi dia ambil dari gardu penjaga penjara. Daun pintu kamar tahanan itu terbuka dan Pek Hong Nio-cu melompat keluar dan berseru penasaran.

"Mari kita kejar jahanam itu!"

Begitu keluar dari kamar tahanan, Thian Liong segera menjatuhkan diri di depan kaki Tiong Lee Cin-jin.

"Jangan kejar! Yang terpenting sekarang, cepat kalian ikut aku menyelamatkan kaisar!" kata Tiong Lee Cin-jin dan dia sudah berkelebat dan berlari keluar dari rumah penjara, diikuti oleh Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu.

Sebentar saja mereka sudah memasuki istana dan mendengar suara ribut ribut orang-orang berkelahi di ruangan sebelah dalam. Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu cepat berlari masuk dan setelah tiba di ruangan dalam yang menjadi ruangan keluarga kaisar, mereka melihat terjadi perkelahian seru di tempat itu. Tiga orang mengamuk, dilawan oleh belasan orang perajurit pengawal pribadi kaisar.

Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu segera mengenal tiga orang itu yang bukan lain adalah Hwa Hwa Cin-jin, Bu tek Mo-ko Teng Sui dan Bu-eng Mo-ko Gui Kong atau yang dikenal sebagai Siang Mo-ko (Sepasang Iblis). Tiga orang ini mengamuk dan sudah merobohkan beberapa orang perajurit pengawal dan sisanya sudah terdesak hebat. Di sudut ruangan itu tampak kaisar berdiri dengan muka pucat dan agaknya tidak ada jalan keluar lagi bagi kaisar yang hanya mengandalkan para perajurit pengawal untuk melindungi dirinya.

Karena sisa perajurit pengawal sudah terdesak dan semakin mundur ke arah kaisar yang berdiri di sudut, keadaan gawat sekali bagi keselamatan kaisar.

Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu cepat mengambil pedang para perajurit yang tewas, lalu mereka berdua menyerbu ke depan dengan pedang mereka.

Tiga orang yang mengamuk dan yang bertugas membunuh kaisar itu terkejut bukan main ketika melihat Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu menyerang mereka.

Menurut keterangan Perdana Menteri Chin Kui, dua orang itu telah ditahan dalam penjara. Kenapa kini tiba-tiba muncul di situ? Hwa Hwa Cin-jin yang merasa jerih terhadap Thian Liong, segera mendahului dan maju menyerang dengan pedangnya sambil mencari kesempatan untuk dapat melarikan diri. Akan tetapi Thian Liong sudah memutar pedang dan menutup semua jalan keluar. Sinar pedangnya bergulung-gulung menghadang semua jalan keluar dan Hwa Hwa Cin-jin tidak dapat berbuat lain kecuali melawan mati-matian.

Pek Hong Nio-cu yang marah melihat tiga orang itu mengancam keselamatan nyawa kaisar, segera menerjang dan menyerang Bu-tek Mo-ko (lblis Tanpa Tanding) Teng Sui yang tinggi kurus dan yang mengamuk dengan pedangnya. Melihat pedang menyambar cepat dan kuat, Bu-tek Mo-ko terkejut dan menangkis.

"Tranggg......!" Bunga api berpijar dan orang pertama dari Siang Mo-ko itu terhuyung ke belakang. Dia terkejut dan gentar, akan tetapi Pek Hong Nio-cu sudah menerjang dan mendesak dengan pedangnya.

Orang kedua dari Siang Mo-ko, yaitu Bu-eng Mo-ko (Iblis Tanpa Bayangan), tidak dapat membantu kedua orang rekannya karena dia sendiri kini dikeroyok para perajurit pengawal yang masih bersisa sembilan orang itu. Tadi, ketika mereka bertiga menghadapi para perajurit pengawal, mereka bertiga menang di atas angin dan selain merobohkan enam orang perajurit pengawal, mereka juga mendesak sembilan orang perajurit yang lain. Akan tetapi kini Bu-eng Mo-ko harus menghadapi sembilan orang perajurit itu seorang diri saja, maka diapun terdesak hebat.

Pek Hong Nio-cu mengerahkan seluruh kepandaiannya. Gerakannya cepat sekali dan juga tenaga saktinya masih lebih kuat dibandingkan Bu-tek Mo-ko Teng Sui sehingga Iblis Tanpa Tanding ini terus mundur dan hanya mampu menangkis saja. Setiap kali menangkis, dia pasti terdorong dan terhuyung ke belakang. Dia menjadi panik dan setelah mendapat kesempatan, dia melempar diri ke atas lantai dan melompat untuk melarikan diri. Akan tetapi Pek Hong Nio-cu membentak.

"Hendak lari ke mana kamu? Makanlah pedang ini!" Ia melontarkan pedang itu yang meluncur bagaikan sebatang anak panah menuju sasarannya, yaitu punggung lawan.

"Singgg...... cappp!!" Pedang itu tepat mengenai punggung Bu-tek Mo-ko Teng Sui, begitu kuatnya lontaran itu sehingga pedang menancap di punggung dan menembus ke dada! Tubuh Bu-tek Mo ko terjungkal dan dia tewas seketika.

Bu-eng Mo-ko juga mengalami nasib tidak lebih baik daripada rekannya. Dia sudah melawan mati-matian, akan tetapi musuh terlalu banyak dan diapun semakin panik ketika rekannya roboh. Pada saat itu, sebatang pedang membacok betisnya dan diapun mengaduh dan terpelanting roboh. Para perajurit itu menghujaninya dengan pedang sehingga sebentar saja tubuh Bu-eng Mo-ko Gui Kong yang pendek gendut itu tercabik-cabik dan diapun tewas dalam keadaan mengerikan!

Hwa Hwa Cin-jin menjadi semakin panik melihat dua orang rekannya roboh dan tewas. Karena merasa tidak mungkin dapat meloloskan diri lagi, dan tidak ingin tewas di tangan para perajurit yang tentu akan mencabik-cabik tubuhnya, Hwa Hwa Cin-jin menggerakkan pedang di tangannya ke arah lehernya sendiri. Diapun roboh mandi darah dengan leher hampir putus!

Melihat tiga orang pembunuh itu telah tewas, kaisar lalu menghampiri Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu. Dua orang muda ini memberi hormat dengan membungkuk.

"Kalian telah menyelamatkan kami. Kami tidak akan melupakan jasa kalian," kata kaisar yang lalu diungsikan ke ruangan lain oleh perajurit pengawal.

"Mari kita tangkap mereka yang hendak membunuh kita tadi untuk menjadi saksi!" kata Thian Liong kepada Pek Hong Nio-cu, sambil mencari-cari dengan pandang matanya. Akan tetapi yang dicarinya, yaitu Tiong Lee Cin-jin, sudah tidak tampak bayangannya lagi. Mereka berdua segera berlari, kembali ke penjara untuk menangkap empat orang yang tadi membantu Cia Song menghujani mereka dengan anak panah dan mereka dirobohkan oleh Tiong Lee Cin-jin. Akan tetapi ketika mereka tiba di sana, mereka melihat betapa empat orang itu telah tewas terkena senjata rahasia pisau beracun yang menancap di tubuh mereka.

"Hemm, tentu mereka ini dibunuh agar tidak membuka mulut," kata Thian Liong dengan gemas.

Ternyata musuh amat licik. Mengirim empat orang pembunuh ini dan agaknya telah diikuti orang lain yang bertugas membunuh mereka kalau pekerjaan itu gagal. Dengan demikian, tidak ada yang dapat menjadi saksi untuk mengatakan siapa yang menyuruh mereka untuk membunuh tawanan. Juga sayang sekali, tiga orang datuk yang berusaha membunuh kaisar juga sudah tewas sehingga dalang semua ini tetap dalam gelap, tidak ada saksi yang dapat membongkar rahasianya.

"Ah, sayang sekali. Jahanam Cia Song dapat lolos dan tadi aku hendak menangkap Hwa Hwa Cin-jin, maka aku sengaja tidak menurunkan serangan yang mematikan. Sayang sekali diapun membunuh diri, tentu agar tidak dipaksa mengaku siapa dalangnya. Sungguh cerdik dan licik majikan mereka!" kata Thian Liong.

"Kalau tidak licik dan cerdik, tidak mungkin dapat menjadi perdana menteri sampai sekian lamanya dan dapat mempengaruhi kaisar," kata Pek Hong Nio-cu.

"Kaupikir yang menjadi dalang adalah Chin Kui?"

"Siapa lagi kalau bukan tikus busuk itu!" kata Pek Hong Nio-cu, gemas dan benci kepada Perdana Menteri Chin Kui yang telah bersekongkol dengan pemberontakan yang terjadi di kerajaan ayahnya.

Pada saat itu, terdengar suara gedobrakan dan cepat mereka menengok. Ternyata ada tubuh seseorang agaknya dilempar dari luar pintu penjara. Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu cepat melompat dan mendekati orang itu. Ternyata dia seorang laki-laki berusia kurang lebih empatpuluh tahun, berpakaian serba hitam dan dia dalam keadaan tertotok sehingga, tidak mampu bergerak. Di baju bagian dadanya terpasang sehelai kertas yang ada tulisannya.

Thian Liong cepat mengambil surat itu dan membacanya bersama Pek Hong Nio-cu.

"Hui-to-kui (Setan Pisau Terbang) inilah yang membunuh empat orang itu."

"Suhu......!" Thian Liong cepat melompat keluar penjara, akan tetapi tidak melihat bayangan gurunya yang dia tahu pasti yang menangkap penjahat berjuluk Setan Pisau Terbang ini.

Dia kembali ke dalam dan mengambil kunci dari gardu penjaga, lalu menyeret orang berpakaian hitam itu dan bersama Pek Hong Nio-cu mereka menghampiri kamar tahanan di mana Han Si Tiong dan isterinya dikeram. Pek Hong Nio-cu membuka kunci pintu penjara itu dan Thian Liong menyeret tawanannya ke dalam kamar penjara, melemparnya ke sudut kamar.

"Ah, Thian Liong, sejak tadi kami merasa tegang dan khawatir melihat orang-orang menghujankan anak panah ke kamar tahanan kalian. Apakah yang terjadi? Dan siapa orang ini?" tanya Han Si Tiong sambil menunjuk ke arah orang yang berjuluk Hui-to-kui itu.

Dengan singkat Thian Liong menceritakan tentang serangan kepada mereka berdua oleh Cia Song dan empat orang temannya. Lalu betapa mereka ditolong gurunya.

"Suhu merobohkan mereka dan menyelamatkan kami, paman."

"Yang menyelamatkan kami adalah Paman Sie," kata Pek Hong Nio-cu.

"Siapakah Paman Sie itu, tuan puteri...... eh, nona Pek Hong?" tanya Liang Hong Yi yang hampir lupa bahwa Puteri Kaisar Kin itu sedang menyamar sebagai gadis Han bernama Pek Hong.

"Dia adalah suhu Tiong Lee Cin-jin!" kata Thian Liong.

Pek Hong Nio-cu menoleh dan memandang kepada Thian Liong yang juga sedang memandang kepada gadis itu. Dua pasang sinar mata bertemu dan bertaut, akan tetapi keduanya lalu tersenyum dan untuk sementara mereka berdua menerima saja dulu bahwa Paman Sie adalah Tiong Lee Cin-jin, jadi yang berulang menolong mereka itu adalah Paman Sie alias Tiong Lee Cin-jin!

"LaIu bagaimana?" tanya Han Si Tiong dan isterinya.

"Kami diberi tahu bahwa kaisar sedang terancam bahaya. Kami lari ke sana dan melihat kaisar diancam tiga orang tokoh sesat, yaitu Hwa Hwa Cin jin dan Siang Mo-ko yang sedang mengamuk dilawan belasan orang perajurit pengawal pribadi kaisar. Kami segera turun tangan dan berhasil membunuh tiga orang itu."

"Ah, syukurlah, Sri Baginda selamat!" kata Han Si Tiong.

"Akan tetapi siapakah yang mengirim para pembunuh itu, yang hendak membunuh kalian berdua dan juga membunuh Sri Baginda?"

"Kami menduga bahwa dalangnya tentu Chin Kui, akan tetapi tidak ada bukti dan saksinya. Empat orang anak buah Cia Song yang ditotok roboh, tahu-tahu dibunuh orang, demikian pula tiga orang tokoh yang hendak membunuh kaisar telah tewas. Akan tetapi untung sekali, kembali suhu Tiong Lee Cin-jin...... atau Paman Sie telah membantu kami, menangkap orang ini. Dia ini Hui-to-kui dan dialah yang membunuh empat orang itu. Maka kami lalu membawanya ke sini agar paman berdua dapat menjaganya agar dia tidak sampai lolos atau bunuh diri karena dia merupakan saksi yang penting sekali."

Han Si Tiong mengangguk-angguk mengerti.

"Baik, akan kami jaga baik-baik orang ini."

Tiba-tiba seorang thai-kam (sida-sida) yang menjadi orang kepercayaan kaisar, seorang pelayan dalam, datang dan menyampaikan perintah kaisar bahwa Souw Thian Liong dan Pek Hong malam itu juga dipersilakan pindah ke sebuah kamar tamu di istana, dan besok pagi-pagi akan dijemput pelayan untuk menghadap kaisar!

Thian Liong dan Pek Hong menghaturkan terima kasih dan Thian Liong memesan kepada Han Si Tiong dan isterinya agar menjaga baik-baik tawanan itu. Suami isteri itu menerima tugas itu dengan gembira dan mereka lalu mengikat kedua kaki tangan Hui-to-kui erat erat sehingga penjahat itu tidak mungkin dapat meloloskan diri.

This Liong dan Pek Hong lalu mengikuti thai-kam itu. Mereka mendapatkan dua buah kamar yang berdampingan dan tentu saja mereka dapat mengaso dan tidur dengan pulas dalam kamar yang indah bersih itu.




Pada keesokan harinya, setelah mandi dan bertukar pakaian, yaitu pakaian yang oleh utusan kaisar diambil dari rumah Kwee-ciangkun untuk dua orang muda itu, Thian Liong dan Pek Hong lalu mengikuti thai-kam yang menjemput mereka untuk menghadap Sri Baginda.

Mereka memasuki ruangan rahasia yang merupakan kamar duduk pribadi kaisar dan dua orang muda itu merasa heran akan tetapi juga girang bahwa selain kaisar yang duduk di atas kursi kebesarannya, di situ terdapat pula Kwee-ciangkun yang sudah lebih dulu menghadap kaisar. Thian Liong dan Pek Hong lalu memberi hormat dengan berlutut dan duduk di atas kursi yang lebih rendah, sejajar dengan Kwee-ciangkun karena kaisar menghendaki mereka duduk di atas kursi.

"Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong, kami panggil kalian berdua di sini untuk menceritakan dengan sejujurnya apa yang telah terjadi tadi malam. Kwee-ciangkun sengaja kami panggil untuk menjadi saksi mendengar keterangan kalian berdua," kata Kaisar sambil memandang kepada dua orang muda itu dengan wajah cerah karena dia ingat benar bahwa tanpa adanya dua orang itu yang membelanya, mungkin dia sudah tewas di tangan tiga orang pembunuh lihai itu.

"Ijinkan hamba yang menjadi pembicara menceritakan apa yang telah terjadi semalam, Sri Baginda," kata Thian Liong karena dia khawatir kalau Pek Hong membuka suara, akan ketahuan bahwa ia bukan seorang gadis Han.

"Baik, ceritakanlah," kata kaisar.

"Malam tadi, muncul Cia Song, pembantu Perdana Menteri Chin Kui bersama empat orang anak buahnya. Mereka menyerang hamba berdua dengan anak panah dari luar kamar penjara dan ternyata mereka telah membunuh lima orang perajurit yang berjaga di penjara. Hamba berdua tidak dapat melawan dan hanya menghindar dari serangan anak panah beracun yang menghujani hamba. Untung dalam keadaan amat gawat itu, muncul suhu hamba yang merobohkan empat orang pemanah dan Cia Song melarikan diri dan lolos. Suhu lalu membuka pintu penjara dan minta kepada hamba berdua untuk cepat-cepat melindungi paduka yang terancam bahaya. Hamba berdua lalu lari memasuki istana dan melihat betapa tiga orang jahat itu mengamuk. Hamba berdua lalu turun tangan sehingga tiga orang itu dapat dibinasakan."

"Tahukah engkau siapa tiga orang yang menyerang dan hendak membunuh kami itu?"

"Hamba dan Sie Pek Hong pernah bentrok dengan tiga orang itu, Sri Baginda. Mereka itu adalah Hwa Hwa Cin jin, Bu-tek Mo-ko, dan Bu-eng Mo-ko yang ketika itu hendak membunuh Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi."

"Ampunkan hamba kalau hamba mohon diperkenankan menambah sedikit keterangan Souw Thian Liong, yang mulia," kata Kwee-ciangkun.

"Boleh, katakanlah, Kwee-ciangkun," kata kaisar.

"Tiga orang itu memimpin pasukan melakukan pengejaran dan mencari empat orang pelarian, yaitu Han Si Tiong, Liang Hong Yi, Souw Thian Liong, dan Sie Pek Hong yang bersembunyi di rumah hamba. Ketika hamba keluar, tiga orang itu mengatakan bahwa mereka mencari empat orang penjahat atas perintah Perdana Menteri Chin Kui."

Kaisar mengangguk-angguk. Mulai goyah kepercayaannya terhadap perdana menteri yang selalu dipercayanya itu.

"Baiklah, hal itu akan kami urus nanti. Sekarang, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada kalian, Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong. Untuk itu kalian berdua boleh minta, imbalan jasa apa yang ingin kalian dapatkan dari kami."

Sie Pek Hong menggeleng-geleng kepala menandakan bahwa ia tidak minta apa-apa, akan tetapi Thian Liong berkata,

"Sri Baginda yang mulia, sekiranya paduka berkenan, hamba mohon, demi keselamatan paduka dan kerajaan paduka, agar Perdana Menteri Chin Kui diadili dan dijatuhi hukuman."

Kaisar menghela nepas panjang. Dia teringat, betapa beberapa tahun yang lalu, dia menjatuhkan hukuman kepada tiga orang pejabat tinggi karena mereka berani mengajukan permintaan yang sama, yaitu agar Perdana Menteri Chin Kui diadili! Pada waktu itu, kepercayaan terhadap Chin Kui demikian besarnya sehingga dia menganggap mereka itu melempar fitnah keji! Akan tetapi sekarang, yang mohon agar Chin Kui diadili adalah orang-orang muda yang baru saja menyelamatkan nyawanya dari serangan orang orang yang menjadi anak buah Chin Kui sehingga kepercayaannya terhadap perdana menteri itu goyah.

"Kita lihat saja nanti dalam persidangan," katanya.

"Akan tetapi lepas dari persoalan yang menyangkut Perdana Menteri Chin Kui, kami ingin memberi hadiah kepada kalian berdua atas jasa kalian semalam. Nah, apakah yang kalian minta?"

Karena Thian Liong tidak mengharapkan imbalan apapun, dia memberi isyarat dengan gerakan sikunya kepada Pek Hong, barangkali gadis itu yang hendak mohon sesuatu. Pek Hong lalu berkata dengan suara lantang sehingga dialek utara terdengar jelas. Akan tetapi karena ia seorang puteri kaisar, tentu saja kata-katanya teratur baik sekali.

"Hamba berdua menghaturkan terima kasih yang tak terhingga atas kebijaksanaan paduka yang berkenan hendak memberi hadiah kepada hamba berdua. Namun hamba juga mohon ampun beribu ampun bahwa hamba berani menolak segala macam hadiah karena sesungguhnya, apa yang telah kami lakukan itu sudah merupakan kewajiban hamba, yaitu membela yang benar dan menentang yang jahat, Sri Baginda yang mulia."

Kaisar tersenyum dan memandang kagum, akan tetapi lalu bertanya.

"Sie Pek Hong, bicaramu menunjukkan bahwa engkau orang dari daerah utara, benarkah?"

"Yang Mulia, hamba memang dilahirkan dan tumbuh dewasa di daerah Utara.

Kaisar mengangguk-angguk. Hatinya merasa gembira sekali dapat bicara leluasa dan akrab begini dengan dua orang muda itu, suatu hal yang jarang sekali terjadi karena biasanya dia hanya bicara dengan formal dengan orang-orang sehingga suasananya menjadi kaku. Dia memandang kepada dua orang muda itu dan berkata dengan sikap ramah.

"Souw Thian Liong, tadi engkau bercerita bahwa kalian berdua diserang penjahat dan diselamatkan gurumu dan gurumu pula yang membebaskan kalian dari kamar tahanan agar kalian dapat menolong kami yang terancam bahaya. Kalau begitu, jasa gurumu itu bahkan lebih besar. Katakanlah, siapa gurumu itu?"

Guru hamba seorang pertapa kelana yang bernama Tiong Lee Cin-jin yang mulia," jawab Thian Liong.

Kaisar membelalakkan kedua matanya.

"Tiong Lee Cin-jin? Kami pernah mendengar nama besarnya! Bukankah dia yang dijuluki Yok-sian?"

"Benar, yang mulia?"

"Ah, pantas engkau yang masih begini muda berkepandaian tinggi dan berwatak bijaksana, Souw Thian Liong! Kiranya engkau murid Dewa Obat itu! Dan bagaimana dengan engkau, Sie Pek Hong? Apakah engkau juga murid Dewa Obat?"

"Guru hamba adalah Paman Sie, yang mulia."

"Paman Sie? Siapa dia?"

"Paman Sie adalah orang yang telah membebaskan hamba berdua dari kamar tahanan dan menyelamatken hamba dari serangan panah penjahat dan yang menyuruh hamba berdua cepat menyelamatkan paduka dari ancaman bahaya," kata Pek Hong dengan lantang dan dia menengok kepada Thian Liong dengan pandang mata menantang!

"Hei? Bagaimana ini? Bukankah tadi Souw Thian Liong mengatakan bahwa yang menolong kalian adalah gurunya, yaitu Tiong Lee Cin-jin? Sekarang engkau mengatakan bahwa yang menolong kalian adalah Paman Sie, guru Sie Pek Hong!"

"Ampun, yang mulia, hamba berdua tidak berbohong!" kata Thian Liong cepat-cepat.

"Sesungguhnya, ketika suhu Tiong Lee Cin-jin menurunkan ilmu kepada Sie Pek Hong, beliau memakai nama Paman Sie."

"Ampun, Sri Baginda yang mulia. Keterangan Souw Thian Liong itu kurang tepat dan terbalik. Yang benar, ketika Paman Sie mengejarkan ilmu kepada Souw Thian Liong, beliau memakai nama Tiong Lee Cin-jin!" kata Sie Pek Hong dan kembali ia mengerling kepada Thian Liong dengan sinar mata menantang dan tidak mau kalahl
Mendengar ucapan dua orang muda itu dan melihat betapa mereka saling berpandangan dengan sinar mata tidak mau kalah, membuat kaisar tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha-ha, kalian ini dua orang muda yang lucu! Ingin sekali kami melihat bagaimana sikap guru kalian itu kalau mendengar dirinya diperebutkan dengan dua nama, ha-ha-ha!"

Dalam kesempatan itu, kaisar tampak gembira dan dia menyuruh dua orang muda itu tinggal di kamar-kamar tamu dan menjadi tamu istana sambil menanti datangnya saat persidangan dan menanti panggilan. Ketika Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong mohon agar mereka diperkenankan membawa senjata mereka yang kemarin dulu ditinggalkan dan disimpan di rumah Panglima Kwee, kaisar segera mengijinkan. Setelah pertemuan itu selesai, Kwee-ciangkun pulang dan tak lama kemudian dia mengutus pengawalnya menyerahkan pedang Thian-liong-kiam dan pedang bengkok kepada Thian Liong dan Pek Hong.

Panglima Kwee Gi dan para panglima lain yang setia kepada kaisar dan yang menentang Perdana Menteri Chin Kui, diam-diam telah mempersiapkan pasukan yang kuat untuk melindungi istana kalau-kalau Chin Kui dan sekutunya mengadakan pemberontakan dengan menggunaken pasukan dari para panglima yang bersekutu dengannya.

Hari dan saat yang ditunggu-tunggu oleh kedua pihak yang bersengketa itu akhirnya tiba. Kaisar Sung Kao Tsu memerintahkan mereka yang bersengketa menghadap di persidangan. Tidak seperti biasa, sekali ini ketika Perdana Menteri Chin Kui mohon menghadap sebelum persidangan dimulai, kaisar tidak mau menerimanya dan memerintahkan agar Chin Kui langsung menghadap di ruang persidangan seperti para pejabat tinggi lainnya. Hal ini tentu saja membuat Chin Kui curiga dan merupakan tanda bahaya baginya. Maka diapun menghubungi sekutunya untuk bersiap siaga melaksanakan rencana mereka kalau-kalau dia kalah dalam persidangan itu.

Semua pejabat tinggi sudah berkumpul di ruangan persidangan dan ketika kaisar muncul, semua orang memberi hormat seperti biasa. Dengan sendirinya kedua pihak berikut sekutu mereka sudah mengambil tempat yang berpisah, Kwee-ciangkun dan sekutunya berada di bagian kanan sedangkan Chin Kui dan sekutunya berada di bagian kiri ruangan itu.

Kaisar membuka persidangan itu dengan mempersilakan Kwee-ciangkun yang bertindak sebegai penuduh untuk bicara.

Kwee-ciangkun tetap dengan tuduhan semula, yaitu menuduh Perdana Menteri Chin Kui bersekutu dengan para pemberontak di Kerajaan Kin untuk menggulingkan Kaisar Kin dengan pamrih agar kelak kaisar yang baru Kerajaan Kin akan membantunya menggulingkan pemerintah Kerajaan Sung.

"Apa yang hamba laporkan ini bukan merupakan tuduhan kosong, Sri Baginda yang mulia. Jelas bahwa Perdana Menteri Chin Kui mengirim wakilnya yang bernama Cia Song untuk bersekongkol dengen Pangeran Hiu Kit Bong untuk mengadakan pemberontakan di Kerajaan Kin."

Setelah diberi kesempatan, Perdana Menteri Chin Kui kukuh membantah dengan sikap angkuh.

"Semua itu fitnah belaka, Yang Mulia. Hamba selalu setia kepada paduka, siap mengorbankan nyawa demi paduka dan Kerajaan Sung. Bagaimana mungkin hamba berkhianat? Siapa itu Cia Song? Hamba tidak mengenalnya. Kalau memang benar hamba mengirim orang bernama Cia Song ke utara, silakan paduka memanggil orang itu untuk menjadi saksi! Panglima Kwee dan kawan-kawannya ini berani melempar fitnah kepada hamba, hal itu berarti hendak mengadu domba dan jelas mereka hendak memberontak terhadap paduka!"

Pada saat itu, seorang pengawal memasuki ruangan dan setelah memberi hormat kepada kaisar, dia melaporkan bahwa telah datang seorang utusan dari Kaisar Kin yang mohon untuk menghadap kaisar. Sebetulnya utusan ini adalah Pangeran Kuang, adik tiri Kaisar Kin dan kedatangannya sudah kemarin. Akan tetapi telah diatur oleh kaisar sendiri agar utusan itu menghadap pada saat persidangan itu.

"Bawa dia masuk!" perintah kaisar kepada pengawal.

Tak lama kemudian, Pangeran Kuang sudah memberi hormat di depan kaisar, memperkenalkan diri sebagai utusan Kaisar Kin dan menyerahkan segulung surat.
Surat diterima dan dibaca sendiri oleh kaisar. Kemudian kaisar menyerahkan gulungan surat itu kepada seorang thai kam yang melayaninya dalam urusan surat menyurat dan memerintahkan thai kam itu untuk membacanya kuat-kuat agar semua orang mendengarnya.

Dengan suara lantang thai-kam itu membacakan surat dari Kaisar Kin. Surat itu jelas menyatakan bahwa Perdana Menteri Chin Kui telah bersekongkol dengan pemberontak di Kerajaan Kin dengan mengirim seorang utusan bernama Cia Song. Dikatakan bahwa menurut pengakuan para pemberontak, Perdana Menteri Chin Kui bersekongkol dangan para pemberontak dengan pamrih kalau pemberontakan itu berhasil, kelak para pemberontak akan membantu Perdana Menteri Chin Kui merampas tahta Kerajaan Sung!

Suasana menjadi sunyi sekali ketika thai-kam yang bersuara lantang itu membacakan surat itu sampai habis. Kaisar Sung Kao Tsu lalu memandang kepada Chin Kui.

"Perdana Menteri Chin Kui, bagaimana tanggapanmu dengan surat dari Kaisar Kin ini?"

"Sri Baginda yang mulia! Semua ini adalah fitnah yang sudah direncanakan lebih dulu oleh Panglima Kwee dan sekutunya. Jelaslah bahwa justeru Panglima Kwee yang bersekongkol dengan Kerajaan Kin untuk menjatuhkan hamba sehingga Panglima Kwee dan Kaisar Kin kini mengeroyok hamba dengan fitnah keji. Hamba dituduh bersekutu dengan pemberontak di Kerajaan Kin. Tidak masuk akal dan fitnah belaka. Mengapa hamba harus membantu pemberontakan di sana? Apa untungnya bagi hamba? Mereka melempar fitnah keji bahwa hamba mengutus wakil yang bernama Cia Song ke utara. Apa buktinya? Kenapa tidak ditangkap saja itu Cia Song dan diseret ke sini agar dia dapat menceritakan hal yang sebenarnya? Hamba tidak mengenalnya! Selama ini hamba selalu setia dan tidak pernah berbohong kepada paduka, Sri Baginda. Hamba berani bersumpah bahwa hamba tetap setia dan jujur. Mereka sengaja menjatuhkan fitnah!" Setelah Chin Kui selesai bicara, kaisar menoleh kepada Panglima Kwee.

"Kwee-ciangkun, sekarang giliranmu untuk memberi tanggapan."

"Sri Baginda yang mulia, pembelaan diri Perdana Menteri Chin Kui itu hanya dibuat-buat. Telah terbukti nyata bahwa dia adalah seorang pengkhianat yang berhati palsu, pada lahirnya bersikap baik dan setia kepada paduka, akan tetapi dalam batinnya dia seorang pengkhianat besar. Hal ini telah dibuktikan dengan peristiwa yang terjadi beberapa hari yang lalu, terjadi di dalam istana. Perdana menteri yang khianat ini telah mengirim orang-orang untuk membunuh Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong, juga mengirim pembunuh yang nyaris dapat membunuh Sri Baginda Kaisar!"

Semua orang yang mendengar tuduhan ini menjadi terkejut dan terbelalak. Tentu saja Kaisar tidak terkejut karena sudah mengetahui akan peristiwa yang memang dirahasiakan itu.

"Penasaran!" Chin Kui berteriak.

"Sri Baginda yang mulia, apakah paduka dapat menerima dan mendiamkan saja fitnah-fitnah keji dan jahat yang mereka lontarkan kepada hamba? Hamba menolak semua tuduhan itu karena hamba tidak merasa melakukannya! Apa buktinya, siapa saksinya untuk membenarkan semua fitnah keji itu? Orang she Kwee, berani benar engkau menyebar kebohongan keji di depan Sri Baginda yang mulia!"

Chin Kui tidak merasa kalah karena dia merasa yakin bahwa orang-orang yang bertugas membunuh akan tetapi telah gagal itu telah mati semua, kecuali Cia Song yang dapat meloloskan diri dan sekarang telah pergi entah ke mana. Karena yakin bahwa tidak mungkin ada bukti dan saksinya, maka Chin Kui merasa tenang dan menantang para penuduhnya.

Kwee-ciangkun berkata kepada kaisar,

"Ampun, Sri Baginda yang mulia. Mohon perkenan paduka agar hamba dapat mendatangkan Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong sebagai saksi."

Kaisar mengangguk dan Panglima Kwee lalu memberi isyarat kepada pengawal. Pengawal mengiringkan Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong memasuki ruangan dan kedua orang muda itu segera menghadap kaisar dan memberi hormat.

Pangeran Kuang memandang dengan mata terbelalak kepada Sie Pek Hong dan tanpa disadari dia berseru dengan girang.

"Puteri Moguhai"""

Pek Hong Nio-cu yang memakai nama Sie Pek Hong dan nama aselinya adalah Puteri Moguhai itu tersenyum.

"Paman Pangeran Kuang!" katanya.

Kaisar Sung Kao Tsu memandang heran.

"Apa artinya ini?" tanyanya kepada Pangeran Kuang.

"Maafkan hamba, Sri Baginda. Gadis ini adalah keponakan hamba. Ia adalah Puteri Moguhai, puteri Sri Baginda Kaisar Kerajaan Kin."

"Ahh......! Puteri Moguhai, kenapa engkau menggunakan nama Sie Pek Hong dan tidak berterus terang kepada kami bahwa engkau puteri Kaisar Kin?"

"Ampun, Sri Baginda, ceritanya agak panjang......" kata Pek Hong Nio-cu sambil tersenyum manis kepada kaisar.

"Sri Baginda, sekarang jelas sudah! Souw Thian Liong ini datang bersama puteri Kaisar Kin, apa lagi maksudnya kalau bukan hendak bersekongkol dengan Kerajaan Kin untuk menjatuhkan paduka? Mereka sudah mengatur semuanya. Mula-mula menyerang hamba, untuk kemudian menjatuhkan paduka dan merampas tahta!" teriak Chin Kui yang merasa mendapat kemenangan.

Kaisar mengangkat kedua tangan, memberi isyarat agar mereka semua diam dan tidak ribut. Setelah suasana menjadi tenang, Kaisar menoleh kepada Panglima Kwee.

"Kwee-ciangkun, coba jelaskan dan ceritakan tentang laporanmu mengenai usaha pembunuhan di istana tadi!"

Panglima Kwee dengan suara lantang,

"Sri Baginda, yang lebih mengetahui dan mengalami sendiri peristiwa itu adalah Souw Thian Liong dan...... eh, Puteri Moguhai ini, maka hamba rasa seyogianya mereka yang menceritakan terjadinya peristiwa itu sebenarnya."

Pek Hong Nio-cu tersenyum mendengar ini. Kaisar mengangguk-angguk dan berkata kepada puteri itu.

"Puteri Moguhai, sekarang ceritakanlah semuanya. Mengapa engkau terlibat dalam urusan ini dan apa yang telah terjadi beberapa malam yang lalu di dalam istana."

Pek Hong Nio-cu memberi hormat kepada Kaisar.

"Hamba siap, Sri Baginda dan biarlah semua orang, terutama Chin Kui si pengkhianat itu, mendengarkan baik-baik!" Suaranya lantang dan jelas biarpun kata-katanya berdialek utara.

"Seperti telah dilaporkan dalam persidangan yang lalu, di Kerajaan Kin kami terjadi pemberontakan dan di sana muncul orang yang bernama Cia Song yang menjadi utusan Chin Kui untuk berhubungan dengan pemberontak dan membantu usaha pemberontakan itu. Saya, dibantu Souw Thian Liong berhasil menghubungi Paman Pangeran Kuang yang mengerahkan pasukan dan menghancurkan pemberontak. Sayang Cia Song dapat meloloskan diri. Mengingat akan bantuan Souw Thian Liong kepada kerajaan kami, juga karena ingin menentang Chin Kui yang telah membantu pemberontakan di utara, saya mengambil keputusan untuk membantu Souw Thian Liong. Karena itulah maka saya ikut dengan dia datang ke Lin-an ini."

"Bohong! Kami tidak mencampuri urusan pemberontakan di Kerajaan Kin!" teriak Chin Kui.

"Diam!" bentak kaisar yang marah melihat Chin Kui yang berulang kali bersikap lancang.

"Lanjutkan, Puteri Moguhai."

"Sampai di sini kami dikejar-kejar anak buah Chin Kui dan kami bertemu Paman Han Si Tiong dan isterinya, lalu kami berempat bersembunyi di rumah Paman Panglima Kwee. Setelah berunding, kami memutuskan untuk menghadap Sri Baginda yang mulia untuk membongkar pengkhianatan, kecurangan dan kejahatan Chin Kui. Beberapa malam yang lalu, Cia Song dan empat orang anak buahnya memasuki penjara dan membunuh lima orang penjaga lalu menyerang kami berdua dengan anak panah beracun yang dihujankan ke arah kami dari luar pintu kamar tahanan. Untung muncul Paman Sie......" sampai di sini Pek Hong Nio-cu mengerling ke arah Thian Liong yang mengerutkan alisnya akan tetapi pemuda itu diam saja.

"Untung muncul Paman Sie yang merobohkan dan menotok empat pemanah itu. Sayang kembali Cia Song dapat meloloskan diri. Manusia iblis yang licik itu memang lihai. Kami mendapat petunjuk dari Paman Sie, guruku, untuk menyelamatkan Sri Baginda yang terancam bahaya. Setelah kami berdua tiba di ruangan dalam, kami melihat tiga orang datuk sesat, yaitu Hwa Hwa Cin-jin dan kedua orang Siang Mo-ko, mengamuk dan hendak membunuh Sri Baginda. Para perajurit pengawal sudah banyak yang tewas dan mereka terdesak, Sri Baginda terancam. Kami berdua lalu melawan tiga orang itu dan berhasil merobohkan mereka. Ketika kami hendak menawan Hwa Hwa Cin-jin, dia membunuh diri. Tiga orang itu adalah orang-orangnya Chin Kui yang tadinya mengejar-ngejar kami berempat sebelum kami bersembunyi di rumah Panglima Kwee. Kami lalu kembali ke penjara untuk menangkap empat orang pemanah yang tadinya ditotok oleh guruku. Akan tetapi ternyata mereka telah tewas, tentu terbunuh oleh orangnya Chin Kui agar mereka tidak dapat mengaku dan membocorkan rahasia bahwa Chin Kui yang mendalangi semua usaha pembunuhan itu! Hemm, Chin Kui iblis tua yang khianat, hayo sangkal kalau kamu bisa!" kata Puteri Moguhai kepada Perdana Menteri Chin Kui.

"Sri Baginda, semua yang diceritakan itu isapan jempol belaka. Andaikata benar ada pembunuh di istana, jelas itu bukan hamba yang mendalanginya. Mungkin buatan mereka saja untuk menjatuhkan hamba. Mana bukti dan saksinya? Hamba menyangkal semua itu. Hamba tidak tahu menahu dengan usaha pembunuhan itu!"

Kini Kaisar Sung Kao Tsu sudah tidak sabar lagi mendengar bantahan dan penyangkalan Chin Kui yang sudah jelas bersalah itu. Dia lalu bertepuk tangan tiga kali dan berseru kepada pengawal.

"Bawa masuk saksi terakhir itu!"

Semua orang menengok ke arah pintu memandang dua orang perajurit pengawal yang membawa masuk seorang laki-laki berusia sekitar empatpuluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan kedua lengan orang itu dibelenggu ke belakang tubuhnya. Orang itu didorong dan jatuh berlutut di depan Sri Baginda Kaisar. Melihat masuknya orang ini sebagai saksi, Perdana Menteri Chin Kui terbelalak dan mukanya seketika berubah pucat. Sama sekali dia tidak menyangka bahwa jagoan yang diutus membunuh para petugas pembunuhan itu kalau mereka gagal, ternyata tertawan! Dia mengira bahwa orang ini juga sudah tewas ketika tidak datang melapor karena tidak ada berita dari para mata-matanya di istana bahwa orang itu tertawan.


KISAH SI NAGA LANGIT JILID 23


"Siapa namamu?" bentak kaisar.

"Nama hamba Lui Ki, Sri Baginda yang mulia," kata orang tinggi kurus itu.

"Nah, ceritakan semua yang kau alami di istana, ceritakan sejujurnya dan jangan takut kepada ancaman siapapun juga. Pengakuanmu yang sejujurnya akan meringankan hukumanmu, sebaliknya kalau engkau berbohong, hukumanmu akan semakin berat!"

"Ampunkan hamba, Sri Baginda yang mulia. Pada malam hari itu, hamba mendapat tugas untuk mengawasi mereka yang melakukan tugas pembunuhan atas diri dua orang tawanan, yaitu Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong. Tugas hamba adalah membunuh mereka kalau usaha pembunuhan itu gagal. Hamba diselundupkan sebagai pengawal istana dan hamba dapat mengawasi lima orang pembunuh itu dengan mudah. Ternyata mereka gagal membunuh dua orang tawanan yang ditotok roboh oleh seorang kakek yang sakti. Ketika ditinggalkan, hamba melaksanakan tugas hamba membunuh empat orang pemanah akan tetapi petugas utama yang bernama Cia Song telah lolos. Hamba tidak mungkin membunuhnya karena ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi dari kemampuan hamba. Setelah melakukan pembunuhan terhadap empat orang itu, sebelum hamba dapat melarikan diri, hamba roboh oleh kakek sakti itu sehingga hamba tertawan. Demikianlah, Sri Baginda, keterangan hamba yang sejujurnya dan hamba berani bersumpah bahwa semua keterangan hamba itu benar dan tidak bohong."

"Hemm, engkau melupakan satu hal yang terpenting, Lui Ki. Engkau lupa menyebutkan, siapa yang mengutus engkau, siapa yang menjadi dalang semua rencana pembunuhan itu? Siapa yang menyuruh tiga orang datuk itu mencoba untuk membunuh kami?"

Lui Ki menjadi pucat wajahnya, lalu dia memandang ke arah Chin Kui dan berkata, suaranya gemetar namun cukup lantang dan jelas terdengar oleh semua yang hadir dalam ruangan persidangan itu.

"Yang menjadi dalang dan mengutus hamba semua adalah Perdana Menteri Chin Kui!"

Kini semua orang menoleh dan memandang kepada Perdana Menteri Chin Kui. Wajah Chin Kui berubah pucat dan dia maklum bahwa kini tidak ada gunanya lagi menyangkal. Akan tetapi tiba tiba dia tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha-ha!" Dia bangkit berdiri dan memandang ke sekeliling dengan gaya seorang kaisar yang berkuasa.

"Pasukan-pasukan pendukungku saat ini telah mengepung istana ini! Saya anjurkan Sri Baginda dan semua pamong praja untuk menakluk dan menyerah agar kami tidak perlu menggunakan kekerasan dan membantai kalian semua. Ha-ha-ha!"

Semua orang terkejut karena pada saat itu mereka mendengar suara hiruk pikuk dan gaduh di luar istana, suara tambur dan genderang dipukul gencar menandakan bahwa di luar istana terdapat banyak pasukan! Akan tetapi Panglima Kwee lalu memberi isyarat ke arah pintu dan tak lama kemudian para perajurit menggiring masuk belasan orang panglima pendukung Chin Kui yang sudah tertawan dengan kedua tangan terbelenggu! Kiranya Panglima Kwee dan rekan rekannya sudah lebih dulu mengadakan pembersihan dan menangkapi panglima sekutu Chin Kui sebelum mereka sempat bergerak dengan pemberontakan mereka!

Chin Kui terbelalak ketika melihat belasan orang panglima pendukungnya menjatuhkan diri berlutut di depan kaisar. Peristiwa ini terlalu hebat baginya, mengguncang hatinya dengan hebat, memporak-porandakan semua harapan dan cita-citanya dan dia merasa seolah-olah ada sesuatu yang pecah dalam kepalanya. Perasaan kaget, kecewa, marah, dan takut bercampur menjadi satu teraduk dalam otaknya dan mengacaukan hatinya.

"Ha-ha-ha-ha......!" Tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak sehingga mengejutkan semua orang yang memandang kepadanya dengan mata terbelalak.

"Hu-hu-hu-huuhh......!" Tiba-tiba tawanya yang bergelak itu berubah menjadi tangis tersedu-sedu. Semua orang menarik napas panjang. Perdana menteri Chin Kui yang berambisi dan berkhianat itu telah menjadi gila!

Kaisar memerintahkan pengawal untuk menangkap Chin Kui. Bersama para panglima yang telah menjadi tawanan, dia lalu dibawa ke penjara. Pada hari itu juga, kaisar memerintahkan kepada Panglima Kwee untuk melakukan pembersihan, menangkapi mereka yang tadinya menjadi sekutu Chin Kui.

Souw Thian Liong dan Puteri Moguhai kembali mendapat tawaran dari kaisar untuk minta hadiah apa yang mereka sukai, akan tetapi kedua orang muda itu menolak dengan hormat. Setelah semua selesai, mereka berdua meninggalkan istana. Juga Han Si Tiong dan Liang Hong Yi meninggalkan istana. Suami isteri ini berterima kasih sekali kepada Souw Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu, dan mereka mengulang permintaan mereka kepada dua orang muda itu agar memberitahu kepada Han Bi Lan di mana mereka tinggal kalau kebetulan dapat berjumpa clengan gadis itu.

Setelah itu, Souw Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu berpisah dari suami isteri yang akan kembali ke dusun Kian cung di dekat Telaga Barat.

Mereka berdua keluar dari kota raja setelah berpamit dari Panglima Kwee. Begitu tiba di luar pintu gerbang kota raja Lin-an, Thian Liong bertanya kepada Pek Hong Nio-cu,

"Nio-cu, sekarang engkau hendak pergi ke mana?"

Pek Hong Nio-cu menatap wajah pemuda itu dan ia menghela napas panjang. Berat rasa hatinya untuk berpisah dari pemuda ini. Akan tetapi ia seorang puteri kaisar. Tidak mungkin kalau ia harus terus mengikuti Thian Liong yang tidak mempunyai tempat tinggal tertentu. Bahkan kemarin ketika Pangeran Kuang, pamannya, mengajak ia pulang ke utara, ia menolak dan mengatakan bahwa ia akan pulang sendiri. Penolakan itu ia lakukan karena ia merasa berat untuk berpisah dari Thian Liong yang dianggapnya sebagai seorang sahabat yang baik sekali.

"Aku hendak pulang ke utara," katanya dengan nada suara datar.

"Dan engkau sendiri, hendak ke manakah, Thian Liong?"

Thian Liong termenung. Dia sendiri tidak tahu akan pergi ke mana. Tugas tugas yang diberikan gurunya kepadanya masih belum dapat dia selesaikan dengan sempurna. Memang, dia sudah berhasil membantu dan membela Kerajaan Sung sehingga terbebas dari pengaruh Chin Kui yang berkhianat. Akan tetapi kitab kitab yang harus dia kembalikan kepada para pemiliknya, masih ada satu yang belum dapat dia kembalikan, yaitu kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat milik Kun lun-pai yang dicuri gadis baju merah itu. Tugas utama sekarang adalah mencari gadis pencuri itu dan merampas kembali kitab untuk dikembalikan kepada yang berhak, yaitu Kun-lun-pai.

"Hei, kenapa engkau tidak menjawab pertanyaanku?" Pek Hong Nio-cu berkata dengan suara keras.

Thian Liong terkejut dan baru ingat bahwa gadis itu tadi mengajukan pertanyaan kepadanya.

"Apa? O ya, aku hendak melanjutkan perantauanku, Nio-cu. Engkau tahu bahwa aku masih mempunyai sebuah tugas penting, yaitu mencari gadis pakaian merah yang telah mencuri kitab kuno yang harus kuserahkan kembali kepada Kun-lun-pai. Kalau aku belum dapat merampas kembali kitab itu dan mengembalikannya kepada Kun-lun-pai yang berhak, berarti tugas yang diberikan suhu kepadaku belum kulaksanakan dengan baik."

"Hemm, gurumu itu agaknya tukang bagi-bagi kitab, ya? Engkau harus menyerahkan kitab ke Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, dan Kun-lun-pai!" kata Pek Hong Nio-cu berkelakar.

"Hemm, dan juga membagikan sebagian kitabnya kepadamu, bukan?"

Pek Hong Nio-cu tersenyum akan tetapi matanya memandang wajah pemuda itu penuh selidik lalu bertanya dengan nada serius.

"Thian Liong, katakan sebenarnya, apakah betul bahwa Paman Sie yang menjadi sahabat ibuku dan juga yang memberi kitab-kitab dan hiasan rambut padaku ini adalah gurumu juga, Tiong Lee Cin-jin?"

"Betul tidaknya tentu saja aku tidak bisa memastikan karena aku belum pernah melihat pamanmu itu. Akan tetapi, kita berdua sudah berhadapan dengan dia ketika dia membebaskan kita dari kamar tahanan. Dia itu benar-benar suhuku Tiong Lee Cin-jin. Masa aku lupa kepada guruku sendiri yang telah mendidik aku selama sepuluh tahun? Dia itu benar-benar guruku, dan buktinya dia menolongku dan menyuruh aku menolong Kaisar."

"Hemm, sama saja denganku kalau begitu. Walaupun baru satu kali aku melihat Paman Sie di taman itu ketika dia bercakap-cakap dengan ibuku, aku tidak pernah dapat melupakan wajahnya. Yang menolong kita di utara dulu dan di kamar tahanan istana itu jelas Paman Sie!"

"Wah, kalau begitu tidak salah lagi. Aku tidak berbohong dan aku yakin engkau juga tidak berbohong. Kesimpulannya adalah bahwa Paman Sie itu adalah juga guruku, dan suhu Tiong Lee Cin-jin itu juga pamanmu."

"Nah, itu baru adil namanya. Jadi kalau begitu, engkau pasti adalah suhengku (kakak seperguruanku)."

"Dan engkau su-moiku (adik seperguruanku)!"

"Mulai sekarang aku akan menyebutmu suheng!"

"Dan aku akan menyebutmu sumoi!"

"Suheng, engkau hendak mencari pencuri kitab itu? Ke mana engkau hendak mencarinya?"

"Itulah yang menjengkelkan, su-moi. Aku tidak mengetahui siapa nama pencuri itu, hanya mengenal mukanya dan aku tidak tahu sama sekali di mana ia berada."

"Hemm, kalau begitu, ke mana engkau hendak mencarinya? Ah, aku ingat sekarang. Engkau pernah bercerita kepadaku bahwa ilmu silat gadis pencuri itu mempunyai dasar ilmu silat para pendeta Lhama di Tibet. Dan ia mencuri kitab itu ketika engkau berada di pegunungan Kun-lun-san. Maka, menurut pendapatku, ia pasti tinggal di daerah barat, sekitar pegunungan Kun-lun-pai dan daerah Tibet. Kukira engkau harus mencarinya ke sana, suheng!"

Thian Liong mengangguk-angguk.

"Kurasa pendapatmu itu benar sekali. Baik, aku akan mencarinya di daerah barat itu, su-moi."

"Bagus, kalau begitu, aku akan pergi bersamamu!" kata Pek Hong Nio-cu dengan suara pasti dan wajah berseri.

"Ahh?" Thian Liong memandang gadis itu dengan heran.

"Akan tetapi, bukankah engkau harus pulang ke utara, su-moi? Orang tuamu tentu akan menanti nantimu. Pula, perjalananku mencari maling itu belum pasti berapa lamanya!"

Pek Hong Nio-cu menatap wajah pemuda itu dengan pandang mata tajam penuh selidik.

"Suheng, engkau merasa keberatan kalau aku ikut denganmu? Kalau keberatan katakan saja!"

Ditanya demikian itu, tentu saja Thian Liong menjadi tersudut dan serba salah. Tentu saja hatinya tidak pernah merasa keberatan karena melakukan perjalanan dengan gadis yang baik budi, gagah perkasa dan menyenangkan ini membuat perjalanannya tidak membosankan, bahkan menggembirakan. Akan tetapi bagaimanapun juga, Pek Hong Nio-cu adalah seorang gadis, puteri Kerajaan Kin pula. Tentu saja hal ini akan dipandang orang-orang sebagai hal yang tidak pantas!

"Hei, kenapa diam saja, suheng? Kalau engkau merasa keberatan katakan saja sejujurnya!" Pek Hong Nio-cu membentak sehingga Thian Liong terkejut dan sadar dari lamunannya.

"Eh...... ohh...... tidak sama sekali, su-moi. Aku senang melakukan perjalanan bersamamu. Akan tetapi engkau harus pulang dan......"

"Inipun merupakan perjalananku untuk pulang, hanya melalui daerah barat. Aku ingin membantumu menemukan maling itu, suheng. Dari daerah itu kita dapat menemui Paman Kuang yang bentengnya berada di sana dan kita minta bantuannya agar dia mengerahkan para penyelidik untuk disebar dan mencari gadis pakaian serba merah yang telah mencuri kitabmu itu. Persoalannya sekarang hanya, engkau memutuskan boleh atau tidak aku melakukan perjalanan bersamamu. Kalau tidak boleh, sekarang juga kita berpisah dan aku kembali ke utara dan agaknya tidak mungkin kita akan saling bertemu lagi......"

"Ah, tentu saja boleh sekali, su-moi!" potong Thian Liong.

"Kalau boleh, mari kita melanjutkan perjalanan kita. Menuju ke Kun-lun-san dan Tibet!" Suara Pek Hong Nio-cu seperti bersorak dan wajahnya berseri, matanya bersinar-sinar, mulutnya tersenyum sehingga Thian Liong terpesona karena gadis itu tampak cantik jelita sekali.

Setelah berkata demikian, Pek Hong Nio-cu melarikan kudanya dengan cepat. Thian Liong juga cepat mengejar dan dua ekor kuda pemberian Kwee-ciangkun itu, kuda-kuda yang tinggi besar dan kuat, kini seperti berlumba berlari cepat menuju ke barat laut.

Setelah melakukan perjalanan berkuda selama beberapa pekan, pada suatu pagi yang cerah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu tiba di kaki pegunungan di Propinsi Shansi. Di bawah sinar matahari pagi yang cerah mereka menjalankan kuda mereka perlahan-lahan sambil menikmati pemandangan alam yang indah di daerah pegunungan itu.

Ketika mereka tiba di lereng bukit di pegunungan Cin-ling-san itu, Pek Hong Nio-cu menahan kudanya dan memandang ke bawah di mana terbentang pemandangan alam yang amat indahnya. Sinar matahari yang putih kekuningan itu memandikan permukaan bumi di bawah sana. Thian Liong juga menghentikan kudanya berdampingan dengan Pek Hong Nio cu dan melihat wajah gadis itu berseri, matanya berbinar dan mulutnya tersenyum, tampak terpesona dan berbahagia, dia juga memandang ke arah yang dipandang Pek Hong Nio-cu.

"Aahhh"....." gadis itu menarik napas panjang setelah tadi seolah ia menahan napasnya saking kagum menyaksikan pemandangan indah itu.

"Alangkah indahnya......, bukan main...... sungguh luar biasa, suheng, lihat itu air danau kecil berkilauan, puncak pepohonan seperti berhiaskan emas, gundukan bukit-bukit itu...... ah, semuanya seolah tersenyum, begitu hidup......"

Thian Liong tersenyum.

"Su-moi, tahukah engkau di mana sesungguhnya keindahan itu terdapat?"

"Eh? Di bawah sana itu, pemandangan alam ini, sinar matahari, lihat burung-burung kecil beterbangan...... ah, semua inilah tempat keindahan!"

"Bukan, su-moi. Keindahan itu terdapat di dalam hatimu!"

"Hemm, bagaimana maksudmu, suheng?"

"Begini, su-moi. Kalau hati sedang tenteram bahagia, tidak terganggu perasaan nafsu apapun, maka segala sesuatu tampak indah bukan main. Bahkan di waktu hujan atau dalam keadaan apa dan bagaimanapun, akan tampak indah karena segala sesuatu memiliki sifat dan ciri yang khas. Keindahan itu pencerminan kebahagiaan. Kalau hatimu berbahagia, maka apapun akan tampak indah. Sebaliknya, kalau hati tidak tenteram bahagia, terganggu ulah nafsu yang menimbulkan kecewa, marah, benci, dengki, iri, khawatir, takut, bingung, sedih dan sebagainya, apapun yang kita hadapi akan tampak jelek dan sama sekali tidak menyenangkan!"

Pek Hong Nio-cu tertegun, berpikir, merenungkan ucapan Thian Liong, kemudian berkata,

"Hemm, aku mulai dapat mengerti apa yang kaumaksudkan, suheng. Akan tetapi berilah contoh agar jelas!"

"Kalau hati kita tenteram bahagia, segala tampak indah, hujan atau panas, siang atau malam, apa saja, tampak indah karena keadaan tenteram bahagia itu mendatangkan kasih. Kalau hati kita sedang tenteram bahagia, semua orang, siapa saja, akan tampak seperti sahabat yang menyenangkan. Sebaliknya kalau hati diusik nafsu menimbulkan segala macam perasaan tadi, hujan maupun panas tampak mengganggu, siang maupun malam menjengkelkan dan kalau bertemu orang, siapa saja, tampak menjengkelkan seperti musuh. Kalau hati kita tenteram bahagia, ada seekor kucing mendekat, kita ingin membelainya dengan hati sayang, sebaliknya kalau kita kehilangan tenteram bahagia, ada kucing mendekat, kita ingin menendangnya dengan benci."

Pek Hong Nio-cu tersenyum.

"Wah, sekarang aku dapat merasakan kebenaran kata-katamu itu, suheng! Akan tetapi, bagaimana caranya agar hati kita selalu tenteram bahagia agar segala sesuatu tampak indah menyenangkan?"

"Tidak ada caranya, su-moi. Kita hanya membuka hati sanubari dan mohon kepada Thian (Tuhan) untuk bersemayam dalam hati kita. Kalau sudah begitu, dalam keadaan apapun juga, sehat atau sakit, untung atau rugi, hati kita akan selalu tenteram bahagia."

"Wah, mungkinkah itu, suheng? Dalam keadaan sakit dan tertimpa malapetaka, bagaimana kita dapat merasa tenteram bahagia?" gadis itu membantah.

"Kenapa tidak dapat, su-moi? Kebahagiaan bukanlah kesenangan badan dan pikiran. Dalam keadaan apapun juga, kita akan merasa tenteram bahagia karena kita yakin bahwa Thian beserta kita, kesengsaraan badan tidak akan mempengaruhi batin yang sudah menyerah sebulatnya berdasarkan iman kepadaNya."

"Hebat......! Dari mana engkau mendapatkan pengertian seperti itu, suheng?"

"Suhu Tiong Lee Cin-jin banyak memberi petunjuk, akan tetapi hanya Kekuasaan Thian yang membimbing sehingga kita dapat mengerti. Tidak ada yang aneh, tidak ada yang mustahil, tidak ada yang sukar bagi Thian. Di dalam tanganNya, kita akan selalu merasa tenteram bahagia, dalam keadaan apa dan bagaimanapun juga."

"Wah, sungguh engkau beruntung dapat menjadi murid Paman Sie dan langsung mendapatkan petunjuk darinya! Kalau begitu, sekarang engkau adalah seorang yang selalu merasa tenteram bahagia, suheng?"

Thian Liong tersenyum dan menghela napas panjang.

"Su-moi, kita adalah manusia, mahluk yang bergelimang dosa. Thian selamanya tak pernah meninggalkan kita sedetikpun. KekuasaanNya bekerja juga dalam diri kita. Sebentar saja kekuasaanNya meninggalkan kita dan tidak bekerja, kita akan mati. Kita manusia lemah dan aku juga seorang manusia, su-moi dengan segala kelemahanku pula. Bukan Thian yang menjauhkan diri dari kita, melainkan kita yang menjauhkan diri dari Thian kalau kita terseret oleh nafsu nafsu yang menguasai diri kita lahir batin. Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini, sumoi. Yang Maha Sempurna hanya Thian. Segala ciptaanNya pada semula adalah sempurna, namun kesempurnaan itu dicemari oleh dosa kita manusia sendiri. Kita harus belajar, su-moi, belajar dan mengajar diri sendiri agar selalu mendekatkan diri dengan penyerahan yang tulus ikhlas kepada Tuhan Yang Maha Kasih dan Maha Kuasa."

Mereka turun dari atas punggung kuda dan membiarkan kuda mereka makan rumput yang hijau segar. Tempat mereka berhenti itu merupakan padang rumput yang cukup luas dan landai. Mereka ingin menikmati keindahan itu lebih lama lagi dan mereka duduk di atas batu gunung.

Tiba-tiba Pek Hong Nio-cu berseru,

"Hei, itu ada banyak orang mendaki ke sini, suheng!"

Thian Liong memandang ke arah itu dan benar saja, dia melihat belasan orang mendaki lereng bukit itu ke arah mereka. Dan melihat betapa mereka itu berlari cepat mendaki bukit, dapat diketahui bahwa mereka bukan orang-orang biasa, melainkan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Setelah rombongan itu tiba cukup dekat sehingga wajah mereka tampak jelas, Thian Liong bangkit berdiri dan berseru,

"Hei, mereka adalah orang-orang Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai!"

Pek Hong Nio-cu juga bangkit dan berseru,

"Dan itu adalah si jahanam Cia Song dan dua orang gadis Kun-lun-pai tak tahu malu itu!"

Thian Liong mengerutkan alisnya. Dia mengenal Hui In Sian-kouw dan Biauw In Su-thai, juga Kim Lan dan Ai Yin di antara para tokoh Kun-lun-pai dan dengan kaget dia mengenal Hui Sian Hwesio, Cu Sian Hwesio, dan juga Cia Song di antara para tokoh Siauw-lim-pai. Jumlah para tokoh Kun-lun-pai ada sembilan orang dan para tokoh Siauw-lim-pai ada enam orang! Hemm, ada apa lagi ini, pikirnya.

Melihat sikap orang-orang itu, Pek Hong Nio-cu berbisik kepada Thian Liong.

"Hati-hati, suheng, agaknya si jahanam Cia Song membuat ulah lagi!"

Setelah tiba di depan Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu, Ketua Siauw-lim-pai Hui Sian Hwesio, wakil ketua Siauw-lim pai Cu Sian Hwesio berdiri dengan alis berkerut di depan kedua orang muda itu sedangkan di samping pimpinan Siauw lim-pai ini berdiri pula Hui In Sian-kouw dan Biauw In Su-thai yang dari wajahnya dapat diketahui bahwa mereka marah sekali. Cia Song berdiri di belakang pimpinan Siauw-lim-pai sedangkan Kim Lan dan Ai Yin berdiri di belakang guru mereka. Delapan orang tokoh lain sudah mengambil posisi mengepung Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu.

Karena dia sudah diaku sebagai murid Siauw-lim-pai oleh Hui Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai, maka Thian I.iong mengangkat kedua tangan di depan dada sambil membungkuk kepada kakek itu.

"Suhu......," katanya dengan hormat.

"Tidak perlu engkau menyebut suhu kepada suheng!" bentak Cu Sian Hwesio.

"Engkau tidak pantas menjadi murid Siauw-lim-pai dan mulai saat ini engkau bukan murid, melainkan musuh Siauw lim-pai."

"Ji-suhu (Guru kedua), harap jelaskan, apa kesalahan teecu (murid) maka pimpinan Siauw-lim-pai begini marah kepada teecu?" tanya Thian Liong, sikapnya masih tenang karena dia tidak merasa melakukan kesalahan apapun terhadap Siauw-lim-pai.

"Engkau masih ada muka untuk bertanya apa kesalahanmu? Jangan pura pura tidak tahu, Souw Thian Liong! Engkau telah menjadi seorang pengkhianat! Engkau telah begitu rendah menjadi kaki tangan Kaisar Kin, kemudian engkau memberontak terhadap Kerajaan Sung! Itu semua masih ditambah lagi dengan perbuatanmu yang keji terhadap Kun-lun pai! Sebagai bekas murid Siauw-lim-pai, dosamu tidak dapat diampuni. Engkau mencemarkan nama besar Siauw-lim-pai, maka, kami datang sendiri untuk menghukummu!" kata Cu Sian Hwesio.

"Hemm, teecu siap menerima hukuman kalau memang teecu melakukan kesalahan. Akan tetapi semua kabar yang suhu terima itu hanyalah fitnah belaka, dan apa pula yang teecu lakukan terhadap Kun-lun-pai yang suhu anggap perbuatan keji itu?" Thian Liong masih bersikap tenang dan ia menggeleng kepala terhadap Pek Hong Nio-cu yang sudah mengerutkan alis dan mukanya merah, sinar matanya berapi-api karena marah.

"Keparat busuk kau!" tiba-tiba Biauw In Su-thai yang terkenal galak itu memaki sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Thian Liong.

"Engkau telah melakukan perbuatan keji terhadap dua orang muridku ini dan kau masih bertanya-tanya lagi seolah tidak berdosa sama sekali? Perbuatan yang terkutuk itu harus dihukum dan pin-ni (aku) sendiri yang akan menghukummu!"

Pek Hong Nio-cu tidak mampu menahan kobaran api kemarahan dalam hatinya. Ia maju selangkah, memandang kepada para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, lalu membentak lantang dengan kata-kata tajam.

"Heh, kalian ini kakek-kakek Siauw lim-pai dan nenek-nenek Kun-lun-pai! Hanya sebeginikah kesusilaan kalian sebagai para pimpinan dua perkumpulan yang terkenal besar itu? Kalian ini kakek-kakek dan nenek-nenek ceroboh dan bodoh seperti anak-anak yang mudah dihasut begitu saja, juga sama sekali tidak mempunyai keadilan sehingga menuduh berdasarkan fitnah tanpa menyelidiki terlebih dulu. Kalian tidak pantas menjadi pimpinan partai-partai persilatan besar!"

Tentu saja para pimpinan Siauw-lim pai dan Kun-lun-pai terkejut dan marah sekali mendengar kata-kata yang keras dan tajam menusuk perasaan itu.

"Suhu, perempuan itu adalah puteri Kaisar Kin," bisik Cia Song kepada dua orang gurunya.

"Oo, jadi engkau ini puteri Kaisar Kin, nona?" tanya Cu Sian Hwesio.

"Pantas saja Souw Thian Liong mau menjadi pengkhianat bangsa. Kiranya tergila-gila oleh kecantikanmu."

"Tutup mulutmu kakek jahat! Aku Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu tidak sudi menerima penghinaan dari seorang hwesio tua yang berpura-pura alim seperti kamu!"

"Su-moi......!" Thian Liong mencegah dan menyentuh lengan kiri gadis itu, akan tetapi Pek Hong Nio-cu mengibaskan lengannya dan tetap menghadapi Cu Sian Hwesio dengan marah. Cu Sian Hwesio berdiri dalam jarak dua meter dari Pek Hong Nio-cu. Tentu saja dia juga marah mendengar omongan gadis itu.

"Kau anak perempuan jahat!" katanya dan tangan kirinya dijulurkan ke depan.

Lengan itu mulur seperti karet dan tahu tahu sudah dekat sekali, hendak menotok leher Pek Hong Nio-cu. Gadis ini terkejut melihat lengan yang bisa mulur itu. Akan tetapi ia tidak gentar dan menangkis tangan itu sambil mengerahkan tenaga sakti pada tangannya yang menangkis.

"Wuuuuttt...... plakkk!" Dua tangan bertemu dan dengan kaget Cu Sian Hwesio menarik kembali tangannya yang mulur. Dia terkejut bukan main karena tangkisan gadis itu kuat sekali dan dapat mengimbangi tenaganya. Sebelum dia bergerak lagi, Hui Sian Hwesio menegurnya.

"Sute, hentikan itu!"

Cu Sian Hwesio menahan serangannya dan berdiri dengan alis berkerut.

"Omitohud, nona Puteri Moguhai, bagaimana kami dapat yakin bahwa engkau adalah puteri Kaisar Kin?" tanya Hui Sian Hwesio, suaranya lembut.

Watak Puteri Moguhai adalah keras. Kalau ia dikasari, ia akan menjadi marah sekali, akan tetapi kalau orang bersikap Iembut kepadanya, ia menjadi lemas.

Mendengar pertanyaan itu, ia mencabut pedang bengkoknya dari emas lalu berkata, suaranya juga lembut.

"Ini adalah pedang tanda kekuasaan yang diberikan Ayahanda Kaisar kepadaku." Setelah berkata demikian, ia menyimpan kembali pedang bengkoknya.

"Apakah losuhu ini Hui Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai?" Ia pernah mendengar cerita Thian Liong tentang ketua ini.

"Benar, nona puteri. Engkau keliru kalau menganggap kami tidak adil. Kami tidak akan menghukum seorang murid kami kalau tidak ada bukti dan saksi akan kesalahannya. Omitohud, kami akan menjadi orang-orang berdosa kalau kami menjatuhkan hukuman kepada orang yang tidak bersalah."

"Hemm, jadi losuhu sekalian ini hendak menghukum Souw Thian Liong karena sudah mempunyai bukti dan saksi bahwa dia benar bersalah?"

"Su-moi, jangan menentang suhu Hui Sian Hwesio!" Thian Liong mencegah Puteri Moguhai.

"Puteri Moguhai, ada hak apakah engkau ikut mencampuri urusan kami dengan seorang murid kami?" bentak Cu Sian Hwesio penasaran.

Moguhai atau Pek Hong Niocu menegakkan kepalanya dan membusungkan dadanya.

"Tentu saja aku mempunyai hak untuk membela dia, karena dia adalah suhengku. Suheng Souw Thian Liong murid Tiong Lee Cin-jin, akupun murid Sang Dewa Obat!"

Semua orang terkejut dan Cu Sian Hwesio sekarang tidak merasa heran bahwa tadi puteri Kaisar Kin itu kuat menolak serangannya.

"Omitohud, kiranya nona puteri adalah murid Tiong Lee Cin-jin. Nah, coba sekarang apa pembelaanmu terhadap Souw Thian Liong mengenai tuduhan-tuduhan tadi," kata Hui Sian Hwesio dengan sikap dan suaranya yang lembut.

"Nah, dengarlah kalian semua! Aku, Puteri Moguhai adalah saksi hidup karena aku mengalami semua peristiwa yang dituduhkan itu bersama suheng Souw Thian Liong. Suheng sama sekali bukan pengkhianat seperti yang dituduhkan. Ketika berada di utara, dia membantu aku untuk menentang dan menghancurkan persekutuan pemberontak yang hendak menggulingkan pemerintahan ayahanda kaisar. Kami berhasil menghancurkan pemberontak. Jadi, suheng Souw Thian l.iong hanya membantu Kerajaan Kin untuk menghancurkan pemberontak di sana. Apakah itu dapat diartikan bahwa dia mengkhianati Kerajaan Sung? Selain itu, ada pula kenyataan yang tentu saja kalian belum mengetahui! Sekarang dengarkan baik-baik. Para pemberontak di Kerajaan Kin itu bersekutu dengan Perdana Menteri Chin Kui. Kami berdua melihat dan bertemu sendiri dengan utusan Chin Kui yang dikirim ke utara untuk mendukung pemberontakan itu. Dan kalian mau tahu siapa utusan Perdana Menteri Chin Kui itu?" Puteri Moguhai berhenti sebentar lalu telunjuk kirinya menuding ke arah muka Cia Song yang berdiri di belakang Hui Sian Hwesio.
"Dialah orangnya, Cia Song yang jahat itu!"



Tentu saja semua orang terkejut, terutama sekali para pimpinan Siauw-lim pai. Hui Sian Hwesio sampai menoleh ke belakang, memandang Cia Song.

Cia Song sudah memperhitungkan bahwa tentu Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu ingin membela diri dengan membongkar rahasia dirinya. Dia sudah siap siaga untuk itu, maka kini dia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Hui Sian Hwesio.

"Suhu, ternyata puteri Kaisar Kin ini keji, licik dan jahat sekali. Ia memutar balikkan fakta, bahkan berbalik melempar fitnah kepada teecu. Tentu saja ia membela Thian Liong yang menjadi kekasihnya. Teecu menyerahkan kepada kebijaksanaan suhu. Kalau suhu lebih percaya omongan puteri Kaisar Kin dan hendak menghukum teecu, teecu pasrah dan menyerahkan nyawa teecu. Sejak kecil teecu menjadi murid Siauw-lim-pai, telah berhutang budi dan akan setia kepada Siauw-lim-pai sampai mati."

Hui Sian Hwesio menyentuh pundak Cia Song.

"Bangunlah! Pinceng percaya kepadamu, Cia Song, dan tidak akan ceroboh menjatuhkan hukuman begitu saja. Tentu pinceng (aku) lebih percaya kepadantu yang sudah belasan tahun menjadi murid kami, sedangkan Thian Liong menjadi murid hanya dalam beberapa bulan saja. Apalagi keterangan nona puteri dari utara ini, tentu membutuhkan penyelidikan lebih lanjut."

"Hemm"...!" Pek Hong Nio-cu mendengus dengan nada mengejek.

"Aku sering mendengar bahwa orang kalau sudah tua menjadi pikun, lemah dan bodoh. Agaknya para pimpinan Siauw-lim-pai juga menjadi pikun sehingga mudah saja dipermainkan dan dibohongi iblis cilik seperti Cia Song itu!"

"Bocah kurang ajar! Berani menghina pimpinan Siauw-lim-pai?" Cu Sian Hwesio membentak dan ia sudah menyerang lagi kepada Pek Hong Nio-cu.

"Perempuan jahat dari Kin dan pengkhianat harus mampus!" Cia Song juga sudah menerjang maju.

Pek Hong Nio-cu tidak gentar. Ketika Cu Sian Hwesio menyerangnya, ia cepat mengelak dan membalas dengan tendangan kaki kiri yang juga dapat ditangkis Cu Sian Hwesio.

Serangan Cia Song kepada Pek Hong Nio-cu ditangkis Thian Liong dan kedua orang muda ini sudah saling serang.

"Tahan"...!" Hui In Sian-kouw berseru dan suara wanita yang menjadi ketua Kun-lun-pai bagian murid wanita ini demikian menggetarkan dan amat berwibawa.

"Kami yang berhak menghukum Souw Thian Liong!"

"Sute dan Cia Song, mundurlah!" Hui Sian Hwesio juga berseru. Dua orang penyerang itu terpaksa mundur dan perkelahian berhenti.

Kini Biauw In Su-thai yang maju. Tokoh Kun-lun-pai yang berusia limapuluh tahun ini terkenal galak.

Seperti kita ketahui, Kui Beng Thaisu, ketua Kun-lun pai telah mengharuskan Biauw In Su-thai menyepi di pondok pengasingan selama tiga tahun. Akan tetapi setelah Kim Lan dan Ai Yin pulang dan sambil menangis melaporkan kepada para pimpinan Kun lun-pai bahwa mereka berdua telah diperkosa Souw Thian Liong, Kui Beng Thaisu memberi ijin kepada Biauw In Su-thai untuk menemani Hui In Sian-kouw turun gunung mencari pemuda itu dan menghukumnya.

Dalam perjalanan, rombongan Kun-lun-pai ini bertemu dengan rombongan Siauw-lim-pai yang bahkan dipimpin sendiri oleh ketuanya, yaitu Hui Sian Hwesio yang juga mencari Souw Thian Liong untuk menghukumnya karena pemuda yang sudah dianggap murid Siauw-lim-pai ini menjadi pengkhianat yang berarti mencemarkan nama besar Siauw-lim-pai seperti yang dilaporkan Cia Song kepada para pimpinan Siauw-lim pai. Dua rombongan itu lalu bergabung dan akhirnya dapat berhadapan dengan Souw Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu.

"Souw Thian Liong! Engkau harus berani mempertanggung jawabkan perbuatanmu yang terkutuk terhadap dua orang murid kami!" Biauw In Su-thai berseru dan wanita galak ini sudah mencabut pedangnya.

"Perbuatanmu yang terkutuk itu harus ditebus dengan nyawamu!"

"Su-thai, apakah kesalahan saya terhadap dua orang murid Su-thai itu?" tanya Souw Thian Liong tenang sambil memandang ke arah Kim Lan dan Ai Yin yang memandang kepadanya dengan alis berkerut dan mata berapi-api karena marah.

Kim Lan yang sejak tadi marah sekali, kemarahan yang bukan saja mengingat bahwa ia telah diperkosa Souw Thian Liong, akan tetapi dikipasi oleh, anehnya, perasaan cemburu melihat betapa pemuda itu demikian akrab dan dibela puteri cantik Kaisar Kin, melangkah maju dan mencabut pedangnya pula, diikuti oleh Ai Yin.

"Keparat keji!" Kim Lan menudingkan pedangnya dengan sikap galak.

"Engkau masih pura-pura bertanya? Seolah lupa akan perbuatanmu yang terkutuk terhadap kami berdua!"

Thian Liong memandang heran.

"Perbuatan terkutuk? Biadab? Apa yang kaumaksudkan, nona?"

"Engkau masih berpura-pura? Baiklah, kami berdua memang sudah tercemar aib. Biarlah semua orang mengetahui betapa biadab dan terkutuk engkau, Souw Thian Liong! Di dalam penginapan di kota Kiang-cu itu, engkau menotok kami berdua lalu...... lalu...... dengan biadab engkau memperkosa kami!" Setelah berkata demikian, air mata mengalir dari mata Kim Lan, juga Ai Yin.

"Penasaran! Aku tidak melakukan perbuatan keji itu! Apa buktinya? Siapa saksinya?" kata Thian Liong penasaran.

"Buktinya?" kata Kim Lan dengan suara parau karena bercampur tangis dan ia mengeluarkan sehelai surat dari saku bajunya, melambaikan surat itu ke atas.

"Ini buktinya, suratmu yang kau tinggalkan di meja kamar penginapan. Engkau bukan saja telah memperkosa, bahkan engkau juga meninggalkan surat menghina Kun-lun-pai!"

"Saksinya adalah aku!" Tiba-tiba Cia Song berkata lantang.

"Aku yang menyaksikan bahwa pada waktu dua orang nona murid Kun-lun-pai itu berada di Kota Kiang-cu, aku melihat Souw Thian Liong dan puteri Kin itu juga berada di sana!"

Biauw In Su-thai berteriak,

"Kim Lan! Ai Yin! Tak perlu banyak bicara lagi, kita bunuh jahanam ini!" Tokoh Kun-lun pai ini menerjang, diikuti oleh Kim Lan dan Ai Yin sehingga Thian Liong diancam pengeroyokan tiga orang wanita yang pandai mainkan Thian-lui-kiam-sut (llmu Pedang Kilat Guntur) itu.

Pek Hong Nio-cu juga mencabut pedang bengkoknya dan melompat ke depan Thian Liong untuk melindungl pemuda yang masih berdiam tenang dan tidak mencabut pedangnya itu. Pek Hong Nio cu bersiap melawan tiga orang wanita Kun-lun-pai itu. Melihat ini, tiga orang wanita itu menjadi semakin marah.

"Bentuk Thian-lui-kiam-tin (Pasukan Pedang Kilat Guntur)!" kata Biauw In Su-thai. Mereka sudah bergerak dan siap menyerang. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan tampak sesosok bayangan merah berkelebat.

"Tahan senjata!" Dan di dekat Pek Hong Nio-cu, berhadapan dengan tiga orang wanita Kun-lun-pai, sudah berdiri seorang gadis berpakaian serba merah muda. Melihat gadis cantik jelita dengan sepasang mata indah yang mencorong dan bentuk mulut yang menggairahkan, Thian Liong terkejut.

"Engkau......?" dia membentak karena segera dia mengenal gadis yang dulu mencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun hoat dari tangannya!

Han Bi Lan, gadis itu, menoleh dan tersenyum kepada Thian Liong berkata,

"Ya, aku! Aku pernah bersalah kepudamu dan sekarang aku hendak menebus kesalahan itu dengan membelamu!"

Biauw In Su-thai membentak.

"Apa yang kaulakukan ini? Souw Thian Liong itu musuh kita! Dia telah menodai dua orang kakak seperguruanmu. Mari bantu kami bunuh dia!"

Mendengar ini Thian Liong menjadi terheran-heran. Jadi, gadis yang mencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat itu adalah murid Kun-lun-pai? Kenapa mencuri sendiri kitab milik Kun-lun-pai dan kini berbalik membelanya?

"Tidak, bibi guru. Saya tadi sudah mendengar semua dan saya yakin bahwa Souw Thian Liong bukanlah seorang jahat. Tuduhan ini harus diselidiki lebih dulu kebenarannya!" Gadis baju merah itu membantah.

Hui In Sian-kouw berkata, suaranya lembut namun mengandung teguran.

"Tuduhan itu sudah ada bukti dan saksinya, bukan hanya fitnah belaka. Harap engkau tidak mengkhianati Kun-lun-pai dan menjadi murid yang ikut mempertahankan dan menjaga kehormatan Kun-lun-pai."

"Maaf, subo (ibu guru), teecu bukan hendak berkhianat. Malah teecu ingin menjaga agar pimpinan Kun-lun-pai tidak bertindak salah menghukum orang yang tidak berdosa. Harap subo ingat bahwa Souw Thian Liong adalah murid! Tiong Lee Cin-jin yang sudah berjasa mengembalikan kitab pusaka milik Kun-lun-pai yang hilang, dan tidak sembarangan menjatuhkan hukuman kepadanya sebelum jelas bukti-buktinya," gadis itu membantah.

"Bagus!" Pek Hong Nio-cu bertepuk tangan memuji.

"Suheng, sobat muda ini ternyata lebih u-ceng-li (punya aturan) daripada para nenek Kun-lun-pai!" Lalu Pek Hong Nio-cu menghadapi Hui In Sian kauw.

"Apakah engkau pimpinan Kun-lun pai yang bertanggung jawab?"

"Benar, pin-ni (aku) adalah Hui In Sian-kouw, ketua bagian murid wanita Kun-lun-pai," jawab pendeta wanita itu.

"Bagus, kalau begitu aku mau bicara denganmu. Dengarlah, kalian semua, seperti juga tuduhan pihak Siauw-lim-pai, tuduhan pihak Kun-lun-pai terhadap Souw Thian Liong juga palsu dan tidak benar sama sekali. Bukti itu menunjukkan kebersihan suheng Souw Thian Liong karena surat itu adalah tulisanku yang sengaja kulempar ke atas meja dalam kamar dua orang murid Kun-lun-pai itu. Sama sekali bukan tulisan suheng Souw Thian Liong! Mau tahu bahwa aku tidak berbohong? Baik, akan kubacakan apa yang kutulis itu karena aku masih ingat. Bunyinya tentu begini :

"Murid-murid perempuan Kun-lun-pai tak tahu malu. Memaksa seorang la laki-laki menjadi suaminya. Begitukah pelajaran yang kalian dapatkan dari Kun-lun-pai?"

Nah, coba baca surat itu, persis tidak dengan kata-kataku tadi? Kalau perlu aku akan menulis agar diketahui bahwa surat itu aku yang menulis!"

"Perempuan keparat! Berani engkau menghina Kun-lun-pai!" bentak Biauw In Su-thai sambil mengelebatkan pedangnya.

"Heh-heh, engkau yang bernama Biauw In Su-thai, bukan?" Pek Hong Nio-cu mendengar nama ini dari cerita Thian Liong.

"Jadi engkau ini guru dua orang murid perempuan itu, engkau yang memaksa mereka untuk memaksa suheng Souw Thian Liong menjadi suami muridmu dan kalau suheng menolak harus dibunuh? Oh, aturan mana itu?"

"Jahanam......!" Biauw In Su-thai hendak menyerang akan tetapi Hui In Sian-kauw mencegahnya.

"Tahan, su-moi. Puteri Moguhai, andaikata benar kesaksianmu tentang bukti itu, masih ada lagi kesaksian murid Siauw-lim-pai Cia Song bahwa dia melihat engkau dan Souw Thian Liong berada di kota Kiang-cu ketika peristiwa yang menimpa dua orang murid kami itu terjadi," kata Hui In Sian-kauw.

"Memang benar bahwa kami berada di kota itu. Akan tetapi aku yang mendatangi kamar penginapan mereka itu, dan aku menjadi saksi bahwa suheng Souw Thian Liong malam itu sama sekali tidak keluar dari kamarnya, sesuai dengan anjuran si Cia Song itu agar suheng malam itu tidak keluar dari kamarnya."

"Bohong, puteri Kaisar Kin itu bohong, sengaja memutarbalikkan kenyataan. Ia berbahaya sekali! Tidak mungkin suhu dan para susiok lebih percaya ia dan Souw Thian Liong daripada teecu! Kita bunuh mereka!" teriak Cia Song.

"Subo, teecu yakin Souw Thian Liong itu yang menodai teecu berdua. Teecu mendengar suaranya ketika dia mengejek dengan kata-kata: "Kalian ingin mengenal Souw Thian Liong", lalu dia tertawa lirih," kata Kim Lan.

"Teecu juga mendengar suaranya itu!" kata pula Ai Yin.

Cia Song, Kim Lan, dan Ai Yin sudah menerjang Thian Liong dengan pedang mereka. Akan tetapi Pek Hong Nio-cu menangkis serangan dua orang gadis murid Kun-lun-pai itu dan Thian Liong mengelak dari serangan Cia Song yang dahsyat. Thian Liong masih merasa ragu untuk menggunakan pedangnya karena dia berhadapan dengan para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai yang dia hormati dan dia tahu bahwa mereka itu hanya terkena hasutan Cia Song saja.

"Omitohud, menyerahlah Thian Liong. Kami hendak menangkapmu dan akan mengadili setelah meneliti perkara ini! Tangkap saja dia, jangan bunuh!" kata Hui Sian Hwesio.

Akan tetapi hanya Hui Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai dan Hui In Sian-kouw ketua Kun-lun-pai saja yang tidak tergesa mengambil keputusan untuk membunuh Souw Thian Liong. Mereka yang lain sudah terpengaruh kesaksian Cia Song dan pengakuan Kim Lan dan Ai Yin maka mereka menyerang dengan dahsyat untuk membunuh Souw Thian Liong.

Dengan marah Pek Hong Nio-cu menggerakkan pedangnya untuk membela Thian Liong dari pengeroyokan belasan orang yang semua memiliki tingkat kepandaian silat yang sudah tinggi itu. Melihat betapa Thian Liong dikeroyok belasan orang dan dibantu oleh Pek Hong Nio-cu yang ia tadi dengar adalah Puteri Moguhai dari Kerajaan Kin, Han Bi Lan tidak tinggal diam dan iapun cepat mencabut pedangnya dan membela Thian Liong. Gerakan Han Bi Lan ini dahsyat bukan main dan ia sengaja menerjang ke arah para pengeroyok dari Siauw-lim-pai karena untuk melawan orang-orang Kun-lun-pai ia masih merasa sungkan.

Biarpun tingkat kepandaian tiga orang muda ini, terutama sekali tingkat kepan-daian Souw Thian Liong dan Han Bi Lan, sudah tinggi dan tangguh sekali, namun mereka menghadapi pengeroyokan tigabelas orang yang rata-rata juga menguasai ilmu silat tingkat tinggi. Apalagi karena Thian Liong sendiri hanya bertahan, tidak membalas kepada para pengeroyok lain kecuali kepada Cia Song, maka tentu saja tiga orang muda ini terdesak hebat.

Tiba-tiba terdengar lengkingan nyaring dan tampak bayangan hijau berkelebat memasuki perkelahian dan terdengar suara seorang wanita.

"Liong-ko (kakak Liong), jangan khawatir. Aku datang membantumu!" teriak seorang gadis berpakaian serba hijau, dan ia sudah memegang Siang-kiam (sepasang pedang) dan mengamuk, membantu Thian Liong menghadapi para pengeroyok!

"In-moi (adik In)!" Thian Liong berseru dan hatinya diliputi kebingungan karena dia telah membuat tiga orang gadis, yaitu Pek Hong Nio-cu, Si baju merah, dan Thio Siang In, terlibat dalam urusannya dengan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, juga aneh sekali, pada saat terdesak dan terancam seperti itu, Thian Liong teringat akan persamaan wajah antara, Pek Hong Nio-cu dan Ang Hwa Sian-li Thio Siang In. Dan sekarang dia teringat bahwa wajah mereka berdua itu persis sama. Bedanya hanya warna pakaian.

Kalau Pek Hong Nio-cu berpakaian serba putih, Ang Hwa Sian-li berpakaian serba hijau. Selain pakaian, juga cara menyanggul rambut mereka berbeda. Kalau rambut Pek Hong Nio-cu digelung model Puteri Kin, rambut Ang Hwa Sian-li model gadis Han. Masih ada lagi perbedaan pada wajah yang dapat membuat dia bisa mengenal mana yang satu dan mana yang yaitu pada letak tahi lalat kecil hitam. Tahi lalat Pek Hong Nio-cu berada di pipi kanan, sedangkan tahi lalat Ang Hwa Sian-li berada di pipi kiri!

"Singgg...... tranggg! Brettt!" Thian Liong terkejut juga. Dia menangkis dua pedang akan tetapi sebatang pedang lain hampir saja mengenai dadanya. Dia masih dapat mengelak dan bajunya yang terobek. Ini akibat dia melamun dan membayangkan dua orang gadis yang berwajah mirip satu sama lain itu!

Biarpun kini dibantu lagi oleh Ang Hwa Sian-li dan tiga orang gadis jelita itu bersungguh-sungguh melakukan pertawanan untuk membela Thian Liong, tetap saja mereka berempat terdesak hebat. Apalagi setelah Hui Sian Hwesio maju pula menyerang Thian Liong. Pemuda itu tentu saja merasa sungkan untuk melawan Hui Sian Hwesio dan hanya menghindarkan diri dengan tangkisan dan elakan. Serangan para pengeroyok lain dengan senjata dia hadapi dengan tangkisan Thian-liong-kiam. Maka dia terdesak hebat.

Han Bi Lan yang paling tangguh di antara tiga orang gadis yang membela Thian Liong, tiba-tiba harus berhadapan dengan Hui In Sian-kouw yang menyerangnya dengan pedang. Sesungguhnya, tingkat kepandaian Han Bi Lan pada saat itu masih tidak tertandingi oleh Hui In Sian-kouw, akan tetapi menghadapi serangan ketua Kun-lun-pai bagian wanita ini, Han Bi Lan menjadi rikuh bukan main. Di antara para pimpinan Kun-lun-pai, hanya dua orang yang dia hormati, yaitu Kui Beng Thaisu dan Hui In Sian-kouw. Kini Hui In Sian-kouw menyerangnya, maka iapun hanya berani menangkis dan mengelak. Padahal ia dikeroyok banyak orang. Maka seperti Thian Liong, Bi Lan juga hanya mampu bertahan dan terdesak hebat.

Secara tidak disengaja, Pek Hong Nio-cu dan Ang Hwa Sian-li bersatu, saling membelakangi menghadapi pengeroyokan sepuluh orang sehingga mereka terlindung di bagian belakang atau saling melindungi. Akan tetapi mereka berdua juga hanya mampu menangkis dan tidak dapat membalas.

Dalam keadaan terancam bahaya, empat orang itu menjadi nekat. Pada saat itu, terdengar seruan lembut, namun suara itu menggetar udara dan mengguncang jantung semua orang.

"Sian-cai (damai)......! Kekerasan sama sekali bukan cara terbaik untuk menye-lesaikan persoalan!"

Hui Sian Hwesio sendiri, seorang yang paling tinggi kedudukan dan tingkat ilmu kepandaiannya, melompat ke belakang karena merasakan getaran yang amat kuat terkandung dalam suara itu. Juga yang merasakan guncangan jantung dan mereka juga melompat ke belakang sambil menoleh dan memandang kepada orang yang mengeluarkan kata-kata itu.

Orang itu berada dalam jarak belasan meter dari situ dan kini dia melangkah dan menghampiri mereka dengan tenang dan bibirnya tersenyum penuh kesabaran dan pengertian. Pakaiannya hanya kain berwarna kuning dilibat-libatkan ke tubuhnya. Rambut yang sudah berwarna dua diikat dengan pita kuning pula. Walaupun pakaiannya amat sederhana, namun tampak bersih. Mukanya bulat dengan dagu meruncing, matanya tajam mencorong namun lembut dan hidungnya mancung. Laki-laki berusia enampuluh tahun lebih ini menunjukkan bekas ketampanan. Tubuhnya sedang namun masih tampak kuat. Dengan senyum yang khas dia menghampiri mereka dan kata-katanya tenang lembut namun terdengar jelas se-kali seolah dia bicara di dekat telinga semua orang.

"Betapa menyedihkan. Kejahatan dan ketidakadilan hampir selalu berada di atas angin tanpa disadari oleh manusia yang bersangkutan!"

"Suhu......!" Thian Liong segera menjatuhkan diri berlutut menghadap laki-laki yang bukan Iain adalah Tiong Lee Cin-jin itu.

"Paman Sie......!" Pek Hong Nio-cu juga berseru dan menghampiri orang itu, wa-jahnya berseri gembira.

"Bangunlah, Thian Liong. Dan engkau, Moguhai, mundurlah dulu, anak yang baik, biarkan aku menghadapi mereka dan menyelesaikan persoalan ini," kata Tiong Lee Cin-jin.

Pek Hong Nio-cu gembira sekali disebut anak yang baik! Ia dan Thian Liong berdiri di dekat Han Bi Lan dan Ang Hwa Sian-li, dua orang gadis yang tadi membantu mereka.

"Terima kasih atas bantuan kalian berdua," kata Pek Hong Nio-cu dengan ramah. Akan tetapi ketika ia beradu pandang dengan Ang Hwa Sian-li, mereka berdua terkejut dan terbelalak karena mereka merasa seolah-olah memandang dirinya sendiri dalam cermin. Keduanya menjadi salah tingkah, bingung dan juga tegang, lalu mengalihkan perhatiannya memandang ke arah Tiong Lee Cin-jin. Sementara itu, Thian Liong memandang kepada Bi Lan dengan alis berkerut dan sinar mata menegur, akan tetapi Bi Lan menyambutnya dengan senyum mengejek!

"Omitohud!" kata Hui Sian Hwesio yang menghampiri dan berhadapan dengan Tiong Lee Cin-jin,

"Kelirukah pinceng kalau menduga bahwa yang datang ini adalah Tiong Lee Cin-jin?" Ketua Siauw-lim-pai ini mengangkat kedua tangan depan dada dan memberi salam dengan sembah.

"Tidak keliru, memang saya yang disebut orang Tiong Lee Cin-jin, Hui Sian Hwesio."

"Omitohud! Pinceng mendapat kesempatan bertemu muka untuk mengucapkan terima kasih atas pengembalian kitab Sam-jong-cin-keng!" kata ketua Siauw-lim-pai itu.

"Kami juga mengucapkan terima kasih atas pengembalian kitab kami Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, Cin-jin," kata Hui In Sian-kouw.

Tiong Lee Cin-jin menggoyang tangannya.

"Tidak perlu berterima kasih kepada saya, karena sudah sewajarnya dan seharusnya kalau kitab-kitab itu kembali kepada pemiliknya yang sah. Kita bicarakan saja soal lain. Saya melihat tadi betapa para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai mengeroyok Souw Thian Liong yang dibantu tiga orang gadis ini. Saya melihat betapa hal itu memalukan, dan tidak pantas. Para pimpinan dua perkumpulan besar mengeroyok empat orang muda!"

Dengan wajah berubah kemerahan karena merasa malu, Hui Sian Hwesio berkata,

"Omitohud! Urusan kami dengan Souw Thian Liong merupakan urusan seorang murid dengan perguruannya, Cin-jin."

Tiong Lee Cin-jin tersenyum,

"Begitukah, Hui Sian Hwesio? Berapa lama Thian Liong diangkat menjadi murid Siauw-lim-pai? Berapa bulan? Harap diingat bahwa Thian Liong menjadi murid saya selama sepuluh tahun! Apakah kenyataan itu tidak membuat saya lebih berhak mengurus persoalan murid saya ini dibandingkan Siauw-lim-pai?"

"Omitohud, ucapan Cin-jin memang tak dapat dibantah kebenarannya. Akan tetapi, Cin-jin, urusan ini adalah urusan Thian Liong dengan Siauw-lim-pai. Dia telah mencemarkan nama Siauw-lim-pai karena dia telah diaku sebagai murid dan untuk itu tidak mungkin kami mendiamkannya saja. Ada aturan dalam perkumpulan kami bahwa murid yang melakukan perbuatan sesat sehingga mencemarkan nama Siauw-lim-pai harus dihukum."

"Saya tidak ingin menentang peraturan Siauw-lim-pai, akan tetapi ada peraturan yang menjadi hukum alam semesta, bahwa hanya yang bersalah saja yang harus dihukum. Apakah Siauw-lim-pai hendak melanggar hukum itu dan hendak menghukum orang yang tidak bersalah? Di mana letak keadilan yang katanya se-lalu dijunjung tinggi oleh para pendekar Siauw-lim-pai?"

"Omitohud, Tiong Lee Cin-jin, selamanya Siauw-lim-pai tidak akan menyalahi hukum itu. Yang dihukum hanya yang bersalah dan Souw Thian Liong jelas bersalah!"

Tiong Lee Cin-jin tersenyum lebar dan menudingkan telunjuknya kepada Cia Song yang bersembunyi di balik punggung Hui Sian Hwesio.

"Yang melaporkan tentang semua kesalahan Thian Liong itu tentu muridmu yang kini bersembunyi di belakang punggungmu itu, bukan? Hui Sian Hwesio dan semua yang hadir, dengarlah. Saya sendiri yang menjadi saksi ketika Cia Song ini mewakili Perdana Menteri Chin Kui membantu para pemberontak di utara, sedangkan Thian Liong hanya membantu Puteri Moguhai untuk menghancurkan pemberontakan! Apakah perbuatan itu kalian anggap suatu pengkhianatan terhn-dap Kerajaan Sung dan mencemarkan nama Siauw-lim-pai Bahkan Kaisar Sung Kao Tsu sendiri tidak menganggap Thian Liong sebagai pengkhianat, bahkan telah menerima Thian Liong dan Puteri Moguhai sebagai tamu kehormatan yang sudah berjasa!"

Mendengar ucapan ini, Hui Sian Hwesio, Cu Sian Hwesio dan para tokoh Siauw-lim-pai lainnya kini memandang kepada Cia Song yang bersembunyi di belakang Hui Sian Hwesio.

"Cia Song!" Hui Sian Hwesio berseru, suaranya masih lembut namun nadanya menegur.

"Benarkah semua yang pinceng dengar itu?"

Cia Song hanya menunduk dengan wajah merah. Pada saat itu Puteri Moguhai tertawa, suara tawanya nyaring dan bebas.

"Heh-heh-heh, kalian para pimpinan Siauw-lim-pai memang seperti kanak-kanak yang mudah dibohongi, seperti kataku tadi. Kalian hendak medengar cerita yang bagus tentang muridmu yang bernama Cia Song itu lebih lanjut? Dengar baik-baik. Si jahanam itu telah menjadi kaki tangan Perdana Menteri Chin Kui dan ikut pula merencanakan pemberontakan! Dan siapa yang menghalangi niat busuknya itu sehingga akhirnya Chin Kui dan antek-anteknya tertangkap dan dijatuhi hukuman? Yang membantu adalah suheng Souw Thian Liong dan akulah yang membantunya. Bahkan semua usaha pembelaan kami terhadap Kaisar itu tentu mengalami kegagalan dan mungkin Kaisar sudah terbunuh kalau saja Paman Sie atau Tiong Lee Cin-jin, guru kami ini tidak menolong kami! Cia Song menjadi antek Chin Kui, membantu pemberontakan di Kerajaan Kin, kemudian setelah gagal, dia membantu Chin Kui yang mengadakan pemberontakan di Kerajaan Sung! Nah, sekarang si-apakah yang menjadi pengkhianat dan pantas dihukum? Suheng Souw Thian Liong ataukah Cia Song?"

Hui Sian Hwesio sendiri sampai membelalakkan mata dan mukanya berubah pucat mendengar ucapan Puteri Moguhai itu. Dia memutar tubuh menghadapi Cia Song yang kini menjadi pucat wajahnya.

"Cia Song, katakan, benarkah semua itu?" Hui Sian Hwesio membentak.

Pada saat itu Biauw In Su-thai berkata dengan suara nyaring dan galak.

"Souw Thian Liong! Biarpun mungkin engkau tidak bersalah terhadap Siauw-lim-pai, akan tetapi engkau harus mempertanggung-jawabkan perbuatanmu yang terkutuk terhadap dua orang murid kami!"

"Su-moi, mari kita membalas dendam!" kata Kim Lan kepada Ai Yin.

"Mari, suci!" kata Ai Yin.

Dua orang gadis itu dengan penuh kebencian karena dendam sakit hati mereka, sudah menyerang ke arah Thian Liong dengan pedang di tangan. Akan tetapi berkelebat bayangan hijau dan bayangan putih. Ang Hwa Sian-li dan Pek Hong Nio-cu seperti telah bersepakat saja tahu-tahu telah menyambut serangan dua orang gadis Kun-lun-pai itu dengan pedang mereka. Terdengar suara gemerincing ketika pedang-pedang mereka menangkis pedang dua orang murid Kun-lun-pai yang merasa tangan mereka tergetar oleh tangkisan itu.

Thian Liong melompat ke depan.

"Su-moi dan In-moi, tahan dan jangan berkelahi!" Mendengar suara pemuda itu, Ang Hwa Sian-li dan Pek Hong Nio-cu melangkah mundur.

Pada saat itu, Cia Song yang sudah tidak mendapatkan jalan untuk menghindarkan diri dari ancaman karena rahasianya telah terbongkar itu, mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri. Melihat Hui Sian Hwesio berdiri di depannya dia lalu mendorong dengan pukulan jarak jauh ke arah dada hwesio tua itu. Dari kedua telapak tangannya menyambar asap hitam karena dia telah mempergunakan ilmu Hek-in Hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Hitam) yang dipelajarinya dari Ali Ahmed, bangsa Hui yang sakti itu.

Hui Sian Hwesio terkejut bukan main melihat serangan itu.

"Omitohud......!" Dia cepat menggerakkan tangan untuk menangkis. Akan tetapi karena tidak menyangka akan diserang muridnya dari jarak dekat dan meng-gunakan ilmu pukulan asing pula, maka tangkisannya kurang cepat dan asap hitam itu hanya sebagian saja tertangkis, sebagian masih menyambar ke arah dadanya.

"Omitohud......!" Tubuh ketua Siauw-lim-pai yang gemuk tinggi besar itu terhuyung dan dia lalu duduk bersila dan mengerahkan tenaga sakti untuk menahan gempuran hawa beracun yang memasuki dadanya!

Setelah memukul Hui Sian Hwesio, Cia Song melompat hendak melarikan diri. Akan tetapi tubuh Thian Liong juga meluncur cepat dan dia sudah menghadang Cia Song.

"Manusia jahat hendak lari ke mana engkau!" kata Thian Liong.

Kedua orang muda ini saling berhadapan dengan mata mencorong. Muka Cia Song menjadi merah sekali karena dia merasa benci sekali kepada Thian Liong. Orang inilah yang mencelakakan aku, pikirnya.

Cu Sian Hwesio, Ki Sian Hwesio dan para tokoh Siauw-lim-pai marah bukan main melihat Cia Song tadi menyerang Hui Sian Hwesio dan mereka kini menyadari betul bahwa ternyata Cia Song yang menjadi pengkhianat dan melemparkan fitnah kepada Souw Thian Liong, lalu bergerak hendak maju mengeroyok Cia Song. Akan tetapi Tiong Lee Cin-jin mengembangkan kedua lengannya dan berkata.

"Biarkan mereka berdua menyelesaikan sendiri masalah mereka. Tidak baik kalau kita orang-orang tua mengeroyok orang muda."

KISAH SI NAGA LANGIT JILID 24

Ucapan ini membuat para pimpinan Siauw-lim-pai terpaksa menahan amarah mereka terhadap Cia Song. Mereka hanya menonton perkelahian yang akan terjadi antara Cia Song dan Souw Thian Liong.

Sementara itu, melihat betapa Kim Lan, Ai Yin, Biauw In Su-thai merasa penasaran dan tampak sekali mereka itu siap mengeroyok Thian Liong, Han Bi Lan lalu berkata dengan suara membujuk kepada mereka.

"Saya kira sebaiknya Kun-lun-pai membiarkan saja Souw Thian Liong me-nyelesaikan urusannya dengan Siauw-lim-pai. Nanti masih ada waktu bagi kita un-tuk menuntutnya, apabila benar-benar ternyata dia bersalah."

Para pimpinan Kun-lun-pai dapat menerima usul ini karena bagaimanapun juga, mereka merasa lebih kuat kalau Han Bi Lan berdiri di pihak mereka, kalau-kalau terjadi pertentangan dan perkelahian.

Kini semua orang menujukan pandangan mata mereka kepada dua orang muda yang saling berhadapan. Mereka menonton dengan hati tegang, terutama mereka yang sudah mengetahui bahwa Cia Song adalah murid terpandai dari Siauw-lim-pai dan agaknya dia memiliki ilmu lain yang bukan dari Siauw-lim-pai sebagai-mana terbukti ketika dia menyerang Hui Sian Hwesio tadi, pukulan jarak jauh dengan kedua telapak tangan mengeluarkan asap hitam! Yang tampak tenang-tenang saja hanyalah Tiong Lee Cin-jin, Pek Hong Nio-cu, Han Bi Lan, dan Hui Sian Hwesio karena mereka tahu akan kemampuan Thian Liong yang mereka yakin pasti akan mampu mengalahkan Cia Song.

Cia Song sendiri sudah putus harapan untuk dapat meloloskan diri dari situ. Semua tokoh Siauw-lim-pai kini memusuhinya, dan di situ masih ada tiga orang gadis lihai yang membela Thian Liong, juga ada Tiong Lee Cin-jin yang sakti sekali. Keputus-asaan ini membuat dia menjadi nekat dan ingin mengadu nyawa dengan Souw Thian Liong yang dibencinya.

"Sratt!" Tampak sinar berkilauan ketika Cia Song mencabut pedangnya yang beronce merah.

"Mampuslah engkau, keparat!" Cia Song tidak memberi kesempatan kepada Thian Liong dan sudah menerjang maju dengan gerakan cepat dan dahsyat. Thian Liong mengelak ke kiri dengan gerakan ringan dan tidak kalah cepatnya. Namun Cia Song membalik ke kanan dan kembali pedangnya menyambar ke arah leher Thian Liong.

"Tranggg......!!" Bunga api berpijar ketika Thian-liong-kiam yang dia cabut ketika mengelak dari serangan pertama tadi. Setelah menangkis, Thian Liong membalas dengan serangan yang tidak kalah dahsyatnya. Kembali terdengar bunyi berdentang nyaring dan bunga api berpijar ketika Cia Song menangkis serangan itu.

Bertandinglah dua orang muda yang sama tangkas dan sama lihainya itu. Mereka saling serang dengan dahsyat sehingga hawa serangan mereka menyambar-nyambar sampai terasa oleh mereka yang menonton, padahal jarak antara kedua pemuda yang bertanding ini dan para penonton ada belasan meter jauhnya.

Cia Song yang sudah nekat seperti harimau tersudut itu mengamuk, mengeluarkan jurus-jurus paling ampuh dari ilmu pedang Siauw-lim-pai yang sudah dia gabungkan dengan ilmu pedang yang dia pelajari dari Ali Ahmed sehingga gerakan pedangnya penuh jurus aneh yang mengandung tipu muslihat berbahaya. Namun Thian Liong menghadapi serangan itu dengan tenang dan membalas dengan ilmu pedang Thian-liong-kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Langit).

Saking cepatnya mereka bergerak, tubuh mereka seolah berubah menjadi dua bayangan yang berkelebatan, diselimuti gulungan sinar pedang. Hanya suara berdentang dan muncratnya bunga api itu saja yang menunjukkan bahwa ada dua orang sedang bertanding hebat sekali. Para penonton menahan napas dan Tiong Lee Cin-jin mengangguk puas melihat kemajuan muridnya yang telah mematangkan semua ilmu itu dengan pengalaman bertanding melawan orang-orang yang tinggi ilmunya.

Dua orang muda yang bertanding mati-matian itu sama gagahnya, sama muda dan kuatnya dan sama-sama telah menguasai banyak ilmu yang tinggi. Kalau dibuat perbandingan, Thian Liong yang sudah menerima ilmu-ilmu dari Tiong Lee Cin-jin ditambah lagi mempelajari ilmu dari kitab Sam-jong-cin-keng di bawah bimbingan Hui Sian Hwesio, memiliki tingkat yang lebih tinggi daripada tingkat yang dimiliki Cia Song. Akan tetapi dalam keadaan nekat seperti itu, Cia Song dapat mengimbangi lawannya, maka pertandingan itu menjadi seru dan mati-matian.

Setelah mereka bertanding hampir seratus jurus dalam keadaan yang seru dan seolah berimbang, Thian Liong tetap saja menjaga agar dia jangan sampai membunuh Cia Song, dapat melihat kelemahan lawan. Maka, ketika dia melihat kesempatan baik, ketika pedang Cia Song menyambar dengan tusukan ke arah lehernya, dia mengelak ke kanan, kemudian. secepat kilat tangan kirinya menyambar, menotok siku kanan lawan.

"Tukk! Aughh......!!" Tangan kanan Cia Song terus lumpuh sehingga pedangnya terlepas dari pegangan. Dia terkejut sekali dan melompat ke belakang. Akan tetapi, Thian Liong tidak mengejar lawan yang bertangan kosong itu dengan serangan pedangnya. Dia malah menyarungkan kembali Thian-liong-kiam!

"Ihh! Apa-apaan itu, suheng? Tusuk saja jantung pengkhianat itu dengan pedangmu!" seru Pek Hong Nio-cu atau Puteri Moguhai penasaran melihat Thian Liong menyarungkan pedangnya.

"Hemm, kalau terlalu baik dan lemah, hal itu bisa mencelakakan dirinya sendiri!" kata pula Ang Hwa Sian-li.

"Hi-hik, kalian tidak tahu, dengan tangan kosong Souw Thian Liong jauh lebih unggul!" kata Han Bi Lan tertawa.

Sementara itu, semua tokoh dari Siauw-lim-pai maupun Kun-lun-pai diam diam kagum akan sikap Thian Liong yang tidak mau menghadapi lawan yang bertangan kosong dengan pedangnya! Benar benar sikap gagah seorang pendekar sejati yang tidak mau mempergunakan kesempatan untuk menang.

Melihat Thian Liong menyimpan pedangnya, Cia Song timbul lagi harapannya dan bagaikan seekor singa kelaparan menubruk calon mangsanya, dia melompat dan menerjang ke arah Thian Liong dengan ganas. Thian Liong mengelak dan membalas. Dua orang muda itu kembali bertanding, kini dengan tangan kosong.

Saling tinju, saling tampar, dan saling tendang dengan gerakan cepat dan kuat sehingga kembali angin pukulan menyambar-nyambar dan terasa oleh para penonton yang menonton dengan jantung berdebar tegang saking hebatnya perkelahian itu.

Akan tetapi baru belasan jurus segera ternyata bahwa tingkat ilmu silat tangan kosong Thian Liong lebih tinggi. Cia Song mulai terdesak terus dan akhirnya dia hanya mampu mengelak dan menangkis, jarang mendapat kesempatan untuk membalas. Dia tahu benar bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya dia pasti akan roboh dan kalah. Maka, dia lalu mengambil keputusan nekat, yaitu mengadu nyawa dengan orang yang dibencinya ini. Tiba-tiba dia mengeluarkan gerengan kuat sambil melompat ke belakang, lalu kedua lengannya bergerak dan dia sudah mendorong ke arah Thian Liong dari jarak dekat dengan ilmu Hek-in Hoat-sut. Asap hitam menyambar dari kedua telapak tangannya.

Karena jaraknya dekat dan dia tidak dapat mengelak tanpa membahayakan dirinya sendiri, maka Thian Liong lalu menyambut dorongan kedua telapak tangan berasap hitam itu dengan kedua telapak tangannya sendiri.

"Plakk......!!" Dua pasang telapak tangan itu saling bertemu dan keduanya mengerahkan tenaga sakti untuk saling dorong dan saling mengalahkan!

Ketegangan memuncak di antara penonton menyaksikan adu tenaga sakti itu. Mereka semua maklum bahwa biarpun tampaknya kedua orang itu diam saja, tubuh tidak bergerak dan kedua telapak tangan saling menempel, mengeluarkan asap hitam, namun sebenarnya mereka itu sedang bertanding mati-matian dan adu tenaga itu dapat mengakibatkan kematian kepada yang kalah kuat!

Melihat betapa kedua telapak tangan Cia Song mengeluarkan asap hitam dan khawatir kalau-kalau Thian Liong tidak mampu menahan panas yang membakar kedua telapak tangannya, Pek Hong Nio-cu bergerak hendak mendekat dan membantu. Akan tetapi Tiong Lee Cin-Jin mencegah dan menghadangnya sambil berkata lembut namun berwibawa.

"Moguhai, kita tidak boleh membantu, tidak boleh curang!"

"Paman Sie...... suheng...... dia......"

"Jangan khawatir, dia mampu mengatasinya," kata Tiong Lee Cin-jin sambil tersenyum.

Pek Hong Nio-cu tidak berani membantah dan ia mundur lagi dan Ang Hwa Sian-li menarik tangannya sehingga kembali dua orang gadis itu berdiri berdekatan. Entah mengapa, seolah ada daya yang saling menarik antara dua orang gadis itu untuk berdekatan! Mereka berdua sama-sama merasa cemas menyaksikan Thian Liong mati-matian mengadu tenaga sakti melawan Cia Song.

Pertandingan adu tenaga sakti itu semakin hebat. Sebetulnya, Cia Song masih kalah setingkat dalam hal kekuatan tenaga sakti melawan Thian Liong. Akan tetapi karena dia tahu benar bahwa inilah saat mati hidupnya setelah semua rahasia busuknya terbongkar, maka Cia Song mengerahkan seluruh tenaga sakti dan tiba-tiba terdengar bunyi kain robek. Saking hebatnya tenaga yang dikerahkan Cia Song, bajunya terobek, koyak-koyak dan dadanya tampak karena bajunya terbuka.

Tiba-tiba terdengar Ai Yin menjerit, lalu menutupi mulutnya dengan tangan dan matanya terbelalak memandang ke arah dada Cia Song yang telanjang. Jelas tampak ada daging tumbuh sebesar telur ayam menonjol di tengah-tengah dada yang lebar itu.

Jerit Ai Yin itu seolah-olah menambah daya dorong kedua tangan Thian Liong karena tiba-tiba tubuh Cia Song terlempar ke belakang dan roboh terbanting. Dia rebah dengan telentang, lemas dan dari ujung mulutnya keluar darah, tanda bahwa dia terluka dalam tubuhnya.

"Suci Kim Lan, dialah orangnya! Lihat benjolan di dadanya seperti kuceritakan kepadamu. Jahanam kaparat ini yang telah memperkosa kita!" teriak Ai Yin dan bersama Kim Lan ia lari menghampiri Cia Song yang masih rebah tak berdaya.

Pada saat itu, tampak Kwee Bi Hwa berlari menghampiri dan dara ini berteriak,

"Keparat Cia Song! Engkau yang telah berbuat keji kepadaku!"

Tiga orang gadis itu, Ai Yin, Kim Lan, dan Kwee Bi Hwa bagaikan kesetanan lalu membacoki tubuh Cia Song yang sudah tidak berdaya itu dengan pedang mereka! Tidak ada orang yang sempat mencegah hal ini terjadi. Darah muncrat dan sebentar saja tubuh Cia Song sudah tercacah-cacah menjadi onggokan daging berdarah-darah! Tiga orang gadis itu membacoki sambil menangis dan air mata mereka bercucuran, darah korban memercik ke pakaian mereka.

Kemudian bagaikan di bawah satu komando, tiga orang dara cantik itu menggerakkan pedang untuk menggorok leher sendiri, berusaha membunuh diri!

Biauw In Su-thai dan Hui In Sian-kouw yang sejak tadi sudah waspada, cepat berkelebat dan merampas pedang dari tangan Ai Yin dan Kim Lan. Pada saat itu, berkelebat sesosok bayangan yang merampas pedang dari tangan Kwee Bi Hwa, pada saat yang amat tepat. Orang itu ternyata adalah Kwee Bun To, ayah Bi Hwa.

Tiga orang gadis yang gagal membunuh diri itu kini menangis dalam rangkulan tiga orang yang mencegah mereka membunuh diri. Biauw In Su-thai, Hui In Sian-kouw dan Kwee Bun To menghibur dan menasihati tiga orang gadis itu sehingga mereka menyadari bahwa membunuh diri bukan perbuatan yang patut dilakukan orang-orang gagah. Seorang pendekar bukan saja harus menentang kejahatan, akan tetapi juga harus berani menghadapi segala penderitaan hidupnya. Membunuh diri hanya dilakukan para pengecut yang tidak berani menghadapi kenyataan hidup sehingga ingin mengakhiri hidupnya.

Setelah ketegangan itu mereda, Hui Sian Hwesio menghadapi Thian Liong dan Tiong Lee Cin-jin dan merangkap kedua tangan di depan dada, wajahnya agak kemerahan karena malu dan pandang matanya sayu karena penyesalan.

"Omitohud......! Pinceng telah bertindak picik dan bodoh sehingga secara tidak adil telah mempercayai fitnah yang dijatuhkan atas diri Souw Thian Liong. Tian Liong dan Cin-jin yang mulia, harap maafkan pinceng sekalian."

'Siancai (damai)......! Manusia berbuat kesalahan, itu biasa, akan tetapi manusia menyesali kesalahannya dan berhasil menemukan hikmat dari kesalahan itu dan bertaubat, itu adalah bijaksana!" kata Tiong Lee Cin-jin lirih seperti orang membaca sajak.

"Teeeu (murid) tidak menyalahkan suhu karena suhu sekalian hanya tertipu," kata Thian Liong sederhana.

Hui In Sian-kouw dan Biauw In Su-thai juga maju menghampiri Tiong Lee Cin-jin dan Thian Liong.

"Souw Thian Liong, maafkan kami, maafkan kedua orang muridku!" kata Biauw In Su-thai. Kim Lan dan Ai Yin juga mendekat dan sambil menangis mereka juga minta maaf.

"Souw-taihiap...... maafkan kami......" isak mereka.

"Sudahlah, Su-thai dan nona berdua, tidak ada yang perlu dimaafkan karena kalian tidak bersalah."

"Tidak bersalah apa?" tiba-tiba Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu berteriak.

"Mereka mengadakan aturan gila memaksa orang menjadi suami, apakah itu tidak bersalah?"

Wajah Biauw In Su-thai menjadi pucat lalu berubah merah sekali.

"Untuk itu akulah yang bersalah dan aku telah dihukum oleh ketua kami. Kim Lan dan Ai Yin tidak bersalah karena mereka hanya menaati perintahku. Akulah yang bersalah......"

Tiong Lee mengerutkan alisnya kepada Puteri Moguhai sambil menggeleng kepalanya. Melihat ini, Pek Hong Nio-cu menundukkan muka sambil cemberut, tidak berani membantah akan tetapi juga merasa penasaran.

Hui In Sian-kouw memberi hormat kepada Tong Lee Cin-jin.

"Tiong Lee Cin-jin engkau telah berbuat baik sekali kepada kami dengan mengembalikan kitab Kun-lun-pai, akan tetapi kami membalasnya dengan fitnah kepada muridmu. Sungguh kami merasa malu dan menyesal sekali, dan mengharap maaf sebesarnya darimu."

Tiong Lee Cin-jin tersenyum lebar.

"Aku tidak merasa berbuat baik, hanya melakukan kewajibanku. Kita semua, juga pihak Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai, adalah korban-korban kelicikan manusia yang dikuasai setan, tidak ada yang patut disalahkan, tidak ada yang perlu dimaafkan."

Karena merasa tidak enak hati mereka diliputi rasa sesal dan malu, Hui In Sian-kouw dan Biauw In Su-thai segera mengajak Kim Lan, Ai Yin dan lima tokoh lain pergi dari situ, kembali ke Kun-lun-pai. Kwee Bun To juga mengajak puterinya, Kwee Bi Hwa yang masih menangis pergi dari situ. Demikian pula Hui Sian Hwesio dan Cu Sian Hwesio mengajak tiga orang tokoh Siauw-lim-pai yang lain pergi setelah mereka membawa jenazah Cia Song yang sudah hancur itu dalam sebuah kain lebar untuk diperabukan di tempat yang layak.

Sementara itu sejak tadi Ang Hwa Sian-li Thio Siang In berhadapan dengan Pek Hong Nio-cu atau Puteri Moguhai, saling pandang dengan penuh perhatian dan keheranan. Setelah urusan di situ, selesai dan rombongan Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai pergi, baru mereka mendapat kesempatan untuk saling pandang dengan penuh selidik. Mereka saling pandang dengan hati tertarik dan semakin menyadari betapa mereka itu mirip sekali satu sama lain. Mereka merasa seolah memandang bayangan sendiri dalam cermin, hanya bayangan itu mengenakan pakaian yang berbeda!

"Hei, engkau ini siapakah?" Ang Hwa Sian-li akhirnya bertanya lebih dulu.

Pek Hong Nio-cu, yang sebagai seorang puteri raja tentu saja memiliki derajat yang terkadang membuat ia bersikap agak angkuh, menjawab.

"Kenapa tidak kauperkenalkan lebih dulu dirimu kepadaku?"

Ang Hwa Sian-li juga memiliki keangkuhan, maka dua orang gadis itu kini berdiri berhadapan dan saling pandang dengan sinar mata tidak mau mengalah.

Pada saat itu Tiong Lee Cin-jin menghampiri mereka berdua dan melihat dia mendekat, Pek Hong Nio-cu segera menyambutnya dengan wajah berseri,

"Paman Sie! Engkau benar Paman Sie yang pernah kulihat bicara dengan ibuku di taman itu, bukan?"

Tiong Lee Cin-jin tersenyum memandang kepada mereka berdua. Senyum dan pandang matanya mengandung kasih sayang yang terasa benar oleh dua orang gadis itu.

"Kalian berdua agaknya merasa heran setelah saling bertemu. Marilah ikut denganku ke hutan itu dan aku akan menceritakan keadaan sebenarnya agar kalian berdua tidak akan merasa bingung dan heran lagi. Adalah merupakan kewajibanku untuk menceritakan semua hal kepada kalian berdua."

Setelah berkata demikian, Tiong Lee Cin-jin berjalan meninggalkan mereka ke arah sebuah gerombolan hutan yang tidak jauh dari situ.

Dua orang gadis itu saling pandang lalu tanpa berkata apa-apa mereka segera mengikuti Tiong Lee Cin-jin. Pek Hong Nio-cu menaati karena ia merasa bahwa orang itu adalah Paman Sie seperti yang diceritakan ibunya, sedangkan Ang Hwa Sian-li yang sudah lama mendengar akan nama besar Tiong Lee Cin-jin, juga ingin sekali mendengar apa yang akan diceritakan orang sakti itu.

Thian Liong kini tinggal bersama Han Bi Lan. Dia berhadapan dalam jarak sekitar tiga meter dengan gadis itu dan mereka saling pandang. Bi Lan tersenyum, hatinya girang bahwa ia tadi membantu pemuda itu dan pertempuran itu berakhir dengan kemenangan pemuda itu, karena dengan bantuan itu berarti ia telah "membayar" kesalahannya mencuri kitab itu dahulu!

"Hei, kita berjumpa lagi!" katanya sambil tersenyum manis. Akan tetapi ia merasa heran melihat pemuda itu memandangnya dengan alis berkerut dan mulut cemberut. Dan tidak menjawab ucapan yang gembira tadi.

"Eh, engkau ini kenapa sih? Diajak bicara dengan gembira malah mukamu cemberut seperti itu! Jelek ah mukamu kalau bersungut-sungut seperti monyet kehilangan ekornya itu!"

Thian Liong semakin panas hatinya. Gadis inilah yang dulu mencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, membuat dia setengah mati mencarinya ke mana-mana. Teringat dia akan janjinya dalam hati bahwa kalau dia bertemu dengan gadis ini, selain akan dimintanya kitab yang dicurinya itu, juga gadis itu akan dia pukul pantatnya sepuluh kali seperti kalau orang tua menghajar anaknya yang bengal!

"Gadis jahat!" dia menegur.

"Engkau telah mencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang harus kuserahkan kepada Kun-lun-pai! KembaIikan kitab itu kepadaku!"

Melihat Thian Liong membentak-bentak, Bi Lan tersenyum dan mengerling manja.

"Aih, masih marahkah engkau kepadaku? Apakah engkau tidak dapat memaafkan aku? Kitab itu sudah kukembalikan kepada para pimpinan Kun-lun pai......"

"Engkau bohong! Engkau maling, penipu, pembohong pula!" bentak Thian Liong.

Bi Lan mengerutkan alisnya, matanya bersinar-sinar dan ia membanting banting kaki kirinya. Ini merupakan peluapan perasaannya kalau ia marah.

"Hemm, kaukira hanya engkau seorang saja yang baik dan jujur di dunia ini? Apakah orang seperti aku tidak bisa jujur? Kitab itu sudah kukembalikan kepada ketua Kun-lun-pai, bahkan aku diakui sebagai murid! Kau masih tidak percaya? Dan lagi, bukankah aku tadi bersusah payah membela dan membantumu menghadapi mereka? Berarti aku sudah menebus kesalahanku kepadamu!"

Thian Liong teringat akan ucapan Hui In Sian-kouw kepada gurunya tadi. Ketua Kun-lun-pai itu mengucapkan terima kasih kepada Tiong Lee Cin-jin. Ini berarti bahwa ketua Kun-lun-pai memang sudah menerima kitab itu. Gadis ini mungkin sekali tidak berbohong dan sudah mengembalikan kitab itu, akan tetapi biarpun demikian, kedongkolan hatinya masih belum hilang.

"Enak saja kau bicara! Hanya membantu begitu saja sudah menebus kesalahanmu? Tahukah engkau kesengsaraan yang harus kualami karena engkau mencuri kitab itu dariku? Aku malu kepada para pimpinan Kun-lun-pai, aku takut kepada guruku! Dan aku telah merantau sampai ribuan lie ke utara dan barat untuk mencari maling kitab itu, yaitu engkau! Enak saja dosamu dianggap sudah hilang hanya karena engkau membantuku tadi!"

Melihat pemuda itu membentak-bentak dan marah, Bi Lan juga menjadi tidak kalah marahnya! Sambil membanting-banting kaki kiri, ia menudingkan telunjuknya ke arah muka Thian Liong den berseru lantang.

"Habis, kau mau apa? Hayo katakan, aku tidak takut padamu! Mau bunuh? Silakan!"

"Aku sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa kalau aku dapat bertemu denganmu, engkau akan kutelungkupkan di atas kedua pahaku lalu kupukul pantatmu sepuluh kali biar engkau tahu rasa!"

"Engkau berani?" Bi Lan menantang.

"Coba, kalau engkau berani!!" Setelah berkata demikian, Bi Lan sudah memasang kuda-kuda dengan sikap menantang sekali, kedua lengan menyilang di depan dada dan jari tangannya memberi isyarat tantangan agar Thian Liong maju menyerangnya kalau berani!

Thian Liong menjadi semakin gemas. Bocah ini sungguh kurang ajar dan tidak tahu diri, pikirnya.

"Hemm, kaukira aku hanya menggertak sambal saja? Tentu saja aku berani, mengapa tidak? Heiiittt......!" Thian Liong sudah menerjang untuk menangkap gadis itu.

"Heeeeiiitt!" Bi Lan mengelak dan kakinya mencuat, menyambar dengan tendangan ke arah perut Thian Liong!

Thian Liong terkejut karena dari sambaran tendangan itu, dia tahu bahwa serangan gadis itu sungguh-sungguh dan amat berbahaya. Dia semakin marah. Bocah ini malah menyerangnya dengan serangan maut!

"Kurang ajar!" katanya dan dia mengelak sambil berusaha menangkap kaki yang menendang itu.

"Engkau yang kurang ajar!" bentak Bi Lan yang cepat menarik kembali sehingga tidak dapat ditangkap dan ia lalu menyerang dengan cepat dan kuat sekali. Gadis ini sudah tahu bahwa lawannya adalah seorang pemuda yang tinggi sekali ilmu kepandaiannya, maka begitu menyerang ia langsung saja memainkan ilmu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang menjadi ilmu rahasia dan simpanan para pimpinan Kun-lun-pai.

Thian Liong terkejut sekali. Ini bukan serangan main-mainan dan ilmu silat yang dimainkan gadis ini juga bukan ilmu sembarangan! Cepat seperti kilat menyambar dan membawa tenaga sakti yang amat kuat! Diapun cepat memainkan ilmu silat Sam-jong Cin-keng yang diajarkan Hui Sian Hwesio kepadanya.

Kalau dia menggunakan ilmu yang dipelajarinya dari gurunya, yaitu Tiong Lee Cin-jin, dia akan pasrah sedemikian rupa sehingga tidak ada serangan lawan yang akan mampu mencelakai dirinya. Aan tetapi bagaimanapun juga, dia tidak mau melakukan ini dan hendak melawan ilmu silat gadis itu dengan ilmu silat lain yang tidak kalah ampuhnya. Diam diam dia merasa kagum sekali kepada gadis ini. Tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat kepandaian Pek Hong Nio-cu atau Ang Hwa Sian li!

"Duk-duk-dukkkk!!" tiga kali lengan mereka bertemu dan tubuh Bi Lan terhuyung ke belakang. Ia semakin marah dan tiba-tiba ia mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah Thian Liong.

"Wuuuusshhhh!" Angin yang amat dahsyat dan mengandung hawa panas menyambar.

Thian Liong cepat menyambut dengan dorongan kedua tangannya. Terjadi adu tenaga sakti. Akan tetapi Thian Liong tidak mau mencelakai gadis itu, maka dia menyambut dengan tenaga lunak sehingga akibatnya, tenaga sakti Bi Lan seolah amblas ke dalam air dan hilang tanpa bekas dan tidak menimbulkan kerusakan apapun!

Kembali Bi Lan terhuyung karena tenaganya yang bertemu kekosongan itu membuat ia terdorong. Ia semakin marah dan begitu ia berkemak-kemik, keluarlah asap hitam menyerang Thian Liong. Pemuda itu mengibaskan lengan kirinya dan asap hitam itupun membuyar. Bi Lan lalu mengeluarkan pekik melengking dan Thian Liong merasa betapa pekik itu mengandung getaran amat kuat yang membuat jantungnya terguncang. Dia terkejut mendapat kenyataan bahwa Bi Lan bukan saja memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi juga menguasai ilmu sihir. Akan tetapi dengan kekuatan batinnya, dia dapat menenteramkan jantungnya, bahkan dia mendapat kesempatan untuk bergerak mendekat dan secepat kilat tangannya berhasil nenotok jalan darah di pundak Bi Lan.

"Tukkk......!!" Tubuh Bi Lan terkulai dan tentu ia sudah roboh terguling kalau saja Thian Liong tidak cepat menangkap lengannya. Pemuda itu lalu duduk dengan kedua kaki di julurkan dan melintangkan tubuh Bi Lan menelungkup di atas kedua pahanya.

"Nah, bocah nakal, sekarang rasakan hukuman yang sudah kujanjikan!" kata Thian Liong, kemudian dia menggunakan tangan kanannya untuk menampar sepasang bukit pinggul yang menonjol itu sebanyak sepuluh kali, lima di kiri dan lima di kanan.

"Plak-plak-plak......"

"Setan kau! Monyet, anjing, babi, kuda, kucing, tikus busuk kau.:".!!" Bi Lan yang lemas tak mampu meronta itu memaki-maki. Mungkin kedua bukit pinggulnya menjadi merah sekali seperti kedua pipinya saat itu saking marahnya.

Setelah menampar sepuluh kali, Thian Liong melepaskan Bi Lan, bangkit berdiri dan menepuk pundak gadis itu untuk membebaskannya dari totokan. Gadis itu bangkit berdiri dan memandang Thian Liong dengan mata bersinar. Dari pelupuk mata itu turun dua tetes air mata.

"Souw Thian Liong"...!" katanya dengan suara mengandung dendam kemarahan.

"Awas kau......! Aku akan memperdalam ilmuku dan kautunggu saja pembalasan Han Bi Lan!" Setelah berkata demikian, ia memutar tubuh dan melarikan diri.

Akan tetapi mendengar disebutnya nama ini, Thian Liong terkejut dan sekali tubuhnya berkelebat, dia telah melewati Bi Lan dan berdiri menghadang di depan gadis itu. Melihat ini, Bi Lan semakin marah dan berdiri dengan mata mencorong.

"Kau...... namamu...... Han Bi Lan??"

"Kalau benar kau mau apa?"

"Han Bi Lan, ayah ibumu, Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi mencari-carimu. Mereka tinggal di dusun Kian-cung dekat See-ouw (Telaga Barat)......"

Belum habis Thian Liong bicara, Bi Lan sudah melompat dan berlari cepat meninggalkannya.

Sejenak Thian Liong hanya bengong memandang ke arah larinya gadis itu. Hatinya mulai merasa menyesal. Dia memang mendongkol dan gemas kepada gadis itu, akan tetapi andaikata dia tadi tahu bahwa gadis itulah puteri Han Si Tiong, tentu dia tidak akan melaksanakan keinginannya menghajar gadis itu dengan menampari pinggulnya sebanyak sepuluh kali! Akan tetapi semua itu telah terlanjur dan dia merasa tidak enak sekali kepada Han Si Tiong dan Liang Hong Yi. Dia menghela napas panjang lalu duduk di atas batu, menanti munculnya gurunya yang tadi mengajak Pek Hong Nio-cu dan Ang Hwa Sian-li memasuki hutan di depan itu.

Kalau Pek Hong Nio-cu atau puteri Moguhai tidak merasa heran mendengar ajakan Tiong Lee Cin-jin untuk mengikutinya masuk ke dalam hutan, Ang Hwa Sian-li merasa heran dan bingung. Akan tetapi karena ia sudah mendengar akan kesaktian tokoh yang dijuluki orang Yok-sian (Tabib Dewa) itu, iapun mengikutinya tanpa membantah.

Setelah menemukan tempat yang nyaman dalam hutan itu, atas ajakan Tiong Lee Cin-jin, mereka bertiga duduk saling berhadapan di atas batu. Sejenak Tiong Lee Cin-jin memandang wajah kedua orang gadis itu dan kedua matanya tampak basah. Dia menarik napas panjang beberapa kali seolah hendak menenangkan guncangan hatinya.

Kemudian dia mulai berkata,

"Aku mengajak kalian berdua untuk bicara di tempat ini agar jangan sampai terdengar orang lain. Tadinya aku ingin menyimpan rahasia ini dari kalian, akan tetapi mengingat bahwa kalian telah menjadi gadis-gadis dewasa yang telah memiliki ilmu kepandaian yang dapat kalian andalkan, dan melihat kalian berdua tadi saling berpandangan dengan keheranan terbayang di wajah kalian, aku tidak mungkin dapat menyimpan rahasia ini. Kalian berhak untuk mengetahuinya. Sebelum aku melanjutkan, hendaknya kalian lebih dulu menceritakan siapa nama kalian yang sesungguhnya dan sedikit tentang orang tua kalian. Pek Hong Nio-cu, engkau mulailah lebih dulu."

Pek Hong Nio-cu yang menganggap Tiong Lee Cin-jin sebagai paman dan juga gurunya, segera menjawab.

"Paman, nama saya yang aseli adalah Moguhai. Ayah saya adalah Raja Kerajaan Kin dan ibu saya seorang wanita Han bernama Tan Siang Lin."

"Dan engkau?" tanya Tiong Lee Cin jin kepada Ang Hwa Sian-li.

"Nama saya adalah Thio Siang In. Ayah saya seorang pemburu bernama Thio Ki dan ibu says seorang wanita Ui gur bernama Miyana. Menurut cerita ibu, ibu saya adalah seorang puteri kepala suku Uigur."

Tiong Lee Cin-jin mengangguk-angguk.

"Mungkin kalian akan lebih berbahagia kalau kalian tinggal sebagai apa yang kalian ketahui sekarang, akan tetapi aku akan merasa bersalah kalau tidak menceritakan kepada kalian. Kalian berhak mengetahui dan semoga Tuhan mengampuni aku dan memberkati kalian. Dengarlah ceritaku ini, Siang In dan Moguhai!"

Dua orang gadis itu saling pandang, lalu mendengarkan dengan penuh perhatian dan keinginan tahu.

Dengan suara tenang dan lembut, Tiong Lee Cin-jin bercerita.

"Kurang lebih duapuluh tahun yang lalu ada sepasang orang muda yang saling jatuh cinta. Akan tetapi karena pemuda itu miskin sekali, kedua orang tua gadis itu tidak menyetujui perjodohan mereka. Bahkan akhirnya gadis itu diminta oleh Raja untuk menjadi selirnya." Dia berhenti sebentar dan kembali menghela napas. Agaknya berat sekali rasa hatinya untuk menceritakan apa yang dikatakan rahasia itu.

"Akan tetapi, karena gadis itu amat mencinta si pemuda, maka sebelum ia dibawa ke istana raja, ia menyerahkan diri kepada kekasihnya sehingga ketika akhirnya ia dibawa pergi ke istana untuk menjadi selir raja, ia sudah mengandung."


Dua orang gadis itu merasa terharu, akan tetapi kalau Moguhai merasa jantungnya berdebar tegang, adalah Ang Hwa Sian-li yang merasa tidak mengerti, apa hubungannya cerita itu dengan dirinya.

"Nah, gadis itu menjadi selir terkasih dari raja. Ketika ia melahirkan, sang raja menganggap anak yang dilahirkan itu anaknya sendiri. Akan tetapi dia tidak tahu akan sebuah rahasia lain lagi. Ketika gadis itu melahirkan, ia melahirkn sepasang anak kembar."

Kini Ang Hwa Sian-li baru terkejut dan tegang, lalu kedua orang gadis itu saling pandang dengan seribu pertanyaan dalam pandang mata mereka.

"Karena tahu bahwa Raja akan menganggap kelahiran kembar itu suatu malepetaka dan mungkin kedua anak akan dibunuh, maka ibu muda itu lalu cepat menghubungi seorang sahabatnya terdekat, yaitu seorang janda muda dan mereka berdua lalu membuat persekutuan. Seorang dari anak kembar itu diserahkan kepada si sahabat yang membawanya lari keluar dari kota raja dan dilaporkan kepada Raja bahwa selirnya hanya melahirkan seorang anak perempuan. Bidan yang membantu kelahiran ternyata mati beberapa hari kemudian tanpa ada yang mengetahui apa sebabnya. Nah, Raja menganggap bahwa selirnya melahirkan seorang anak perempuan. Dan janda muda yang melarikan anak kembar yang kedua itu akhirnya menikah dengan seorang laki-laki yang nenganggap anak bayi bawaan isterinya itu sebagai anaknya sendiri. Diapun tidak tahu akan rahasia anak kembar, hanya menganggap bahwa bayi perempuan itu adalah bawaan janda yang kini menjadi isterinya."

Tiong Lee Cin-jin memandang wajah kedua orang gadis itu yang kini tampak pucat.

"Kalian berdua dapat mengerti dan menebak siapa sesungguhnya mereka semua itu?"

Dengan wajah pucat dan suara gemetar Puteri Moguhai berkata.

"...... gadis itu adalah ibu kandungku dan raja itu adalah ayahku, Raja Kin! Akan tetapi dia ternyata hanya ayah tiriku, ayah kandungku adalah kekasih ibuku itu"" dia"" dia adalah...... engkau!"

"Dan gadis kembar yang dibawa janda itu adalah aku, janda itu adalah ibuku yang kawin dengan ayahku. Ternyata ibu dan ayahku bukan orang tuaku. Orang tuaku adalah selir raja itu dan...... engkau......!"

Dua orang gadis itu memandang kepada Tiong Lee Cin-jin dengan sinar mata mencorong penuh selidik lalu keduanya bertanya dengan suara hampir berbareng.
"Benarkah itu??"

Kini dua tetes air mata jatuh ke pipi Tiong Lee Cin-jin, dan dia mengangguk angguk.

"Benar, kalian adalah anak-anakku."

"Ayah......!" Pek Hong Nio-cu dan Ang Hwa Sian-li, dua orang gadis gagah perkasa dan berilmu tinggi itu mendadak kehilangan kegagahan mereka. Mereka menubruk dan merangkul Tiong Lee Cin jin dari kanan dan kiri sambil menangis seperti dua orang gadis cengeng dan manja!

Dengan mata basah Tiong Lee Cin-jin merangkul dua orang gadis itu dan sejenak mereka bertiga tenggelam ke dalam keharuan den kesedihan mengingat akan keadaan mereka yang terpisah-pisah.

"Engkau...... adik atau kakakku......?" Ang Hwa Sian-li kini saling berpelukan dan berciuman dengan Pek Hong Nio-cu.

"Siang In, engkau yang muda karena Moguhai lahir lebih dulu," kata Tiong Lee Cin-jin. Mereka tenggelam ke dalam keharuan dan kesedihan, akan tetapi juga pada dasarnya merasa bahagia.

"Sekarang bagaimana setelah kami mengetahui rahasia ini, ayah?" tanya Pek Hong Nio-cu sambil memegangi tangan kanan Tiong Lee Cin-jin.

"Apakah kami harus membuka rahasia ini kepada ayah tiri kami?" sambung Ang Hwa Sian-li, memegangi tangan kiri ayahnya.

"Untuk menjawab itu, aku ingin bertanya dulu kepada kalian yang harus dijawab sejujurnya. Moguhai, apakah Raja Kin dan keluarga di istana menyayangmu?"

Pek Hong Nio-cu mengangguk.

"Mereke semua menyayang saya, ayah. Bahkan Raja amat menyayang saya."

"Bagus! Dan bagaimana dengan engkau, Siang In. Apakah Thio Ki dan Miyana menyayangmu?"

"Mereka amat sayang kepadaku, ayah."

"Nah, kalau begitu, biarkanlah keadaan seperti itu. Kalau kalian membuka rahasia ini, mungkin akan timbul akibat-akibat yang tidak enak dan tidak baik. Kalian dapat berhubungan seperti sahabat, dapat saling mengunjungi dan tentu saja kalau kalian saling mengunjungi, ibu kalian akan mengenal kalian sebagai saudara kembar. Agar kesamaan kalian tidak terlalu menyolok, tetaplah kalian berpakaian seperti ciri khas kalian sekarang. Rahasia ini hanya diketahui oleh ibu kalian masing-masing, dan oleh kita bertiga. Jangan ada orang lain yang mengetahuinya."

"Baik, ayah," kata mereka berbareng.

"Dan jangan panggil ayah kepadaku. Panggil saja Paman Sie, karena namaku memang dahulu Sie Tiong Lee. Akan tetapi dalam hati aku tetap ayah kalian dan kelak aku ingin menurunkan beberapa ilmu lagi kepada kalian secara bergiliran. Sekarang, mari kita keluar dari hutan menemui Thian Liong. Dia tentu sudah menunggu kita."

Mereka semua bangkit berdiri.

"Eh, nanti dulu!" kata Ang Hwa Sian-li sambil tertawa cekikikan dan membuka buntalan pakaiannya mengeluarkan sepasang pakaian serba hijau persis seperti yang dipakainya karena memang yang diambilnya itu pakaian penggantinya.

"Nah, kau pakai ini, Pek Hong," kata Ang Hwa Sian-li.

"Untuk apa, Ang Hwa?" tanya Pek Hong Nio-cu.

"Ha-ha, bagus sekali itu!" tiba-tiba Tiong Lee Cin-jin tertawa.

"Bagus sekali kalau aku memberimu nama baru, menggunakan nama julukan kalian. Moguhai kuberi nama Sie Pek Hong dan Thio Siang In kuberi nama Sie Ang Hwa!"

Ketiganya tertawa senang.

"Ang Hwa, untuk apa aku harus memakai pakaian yang sama denganmu? Bukankah ayah...... eh, Paman Sie tadi mengatakan agar kita memakai pakaian kita sendiri agar persamaan antara kita tidak sangat menyolok?"

"Aku ingin menggoda Thian Liong dan melihat apakah dia dapat mengenal kita," kata Ang Hwa.

Pek Hong tertawa cekikikan dan iapun setuju, lalu dipakainya pakaian itu. Gelung rambutnyapun diubah dan dengan bantuan Ang Hwa, sebentar saja di situ ada dua Ang Hwa Sian-li!

Tiong Lee Cin-jin hanya menggeleng geleng kepala sambil tersenyum. Anak anaknya ini menjadi dua orang gadis yang cantik jelita, gagah perkasa, juga lincah jenaka.

Souw Thian Liong masih duduk melamun ketika mereka bertiga menghampiri dari belakang. Mendengar langkah mereka, dia bangkit berdiri, memutar tubuh dan...... menjadi bengong karena di depannya berdiri dua orang Ang Hwa Sian-li. Wajahnya persis, pakaiannya sama, bentuk rambutpun serupa, masing-masing memakai bunga mawar merah di rambutnya dan keduanya tersenyum manis kepadanya! Dia menjadi bengong dan heran.

Tiong Lee Cin-jin tersenyum.

"Thian Liong, kami hanya ingin mengujimu, apakah engkau dapat mengenal yang mana Ang Hwa Sian-li yang aseli dan yang mana Pek Hong Nio-cu?"

Thian Liong tersenyum dan mnghampiri. Tentu saja dia tahu karena dia masih ingat. Yang mempunyai tahi lalat di pipi kiri adalah Ang Hwa Sian-li dan Pek Hong Nio-cu mempunyai tahi lalat di pipi kanan! Akan tetapi dia tidak mau membuang kesukacitaan dalam hatinya karena dia mengenal rahasia perbedaan mereka, yaitu pada tahi lalat mereka. Biarlah dia disangka tidak tahu. Dia lalu menunjuk kepada Pek Hong Nio-cu dan berkata lantang.

"Engkaulah Ang Hwa Sian-li yang aseli! Benar, kan?"

Dua orang gadis itu tertawa girang akan tetapi tidak menjawab. Merekapun merasa senang karena tidak dapat menebak dan ingin menyimpan rahasia mereka.

"Thian Liong, sekarang saatnya kita berpisah. Aku harap engkau memperoleh banyak pelajaran tentang semua pengalamanmu yang lalu dan di masa mendatang akan berlaku hati-hati sekali karena di dunia ini lebih banyak terdapat orang sesat daripada yang benar. Mereka berdua ini akan pergi bersamaku, kembali ke utara. Selamat berpisah, Thian Liong."

Thian Liong memberi hormat kepada gurunya.

"Selamat jalan, suhu. Ang Hwa Sian-li dan Pek Hong Nio-cu, selamat jalan dan terima kasih atas bantuan dan semua kebaikan kalian selama ini kepadaku."

Dua orang gadis itu tersenyum manis.

"Selamat tinggal, Souw Thian Liong!" kata mereka, lalu mereka mengikuti Tiong Lee Cin-jin menuju ke utara.

Thian Liong memandang ke arah mereka pergi, sampai bayangan mereka menghilang di balik pohon-pohon. Tiba tiba dia merasa kehilangan, merasa kesepian dan sedih! Bayangan tiga raut wajah yang cantik jelita dan memiliki daya tarik khas masing-masing silih berganti muncul dalam ingatannya. Han Bi Lan, Ang Hwa Sian-Ii, dan Pek Hong Nio-cu. Dan kini mereka semua telah pergi meninggalkannya. Betapa dia sayang kepada mereka. Sekarang dia seorang diri, sebatang kara, kesepian.

"Huh! Cengeng!" Dia menepuk dahi sendiri lalu melangkah pergi, senyumnya muncul kembali dan langkahnya tetap.

TAMAT