Senin, 17 April 2023

JODOH SI NAGA LANGIT



• Jodoh Si Naga Langit - Kho Ping Hoo JILID 1 


• Jodoh Si Naga Langit - Kho Ping Hoo JILID 2 


• Jodoh Si Naga Langit - Kho Ping Hoo JILID 3 


• Jodoh Si Naga Langit - Kho Ping Hoo JILID 4 


• Jodoh Si Naga Langit - Kho Ping Hoo JILID 5 


• Jodoh Si Naga Langit - Kho Ping Hoo JILID 6 


• Jodoh Si Naga Langit - Kho Ping Hoo JILID 7 


• Jodoh Si Naga Langit - Kho Ping Hoo JILID 8 


• Jodoh Si Naga Langit - Kho Ping Hoo JILID 9 


• Jodoh Si Naga Langit - Kho Ping Hoo JILID 10 


• Jodoh Si Naga Langit - Kho Ping Hoo JILID 11 


• Jodoh Si Naga Langit - Kho Ping Hoo JILID 12 


• Jodoh Si Naga Langit - Kho Ping Hoo JILID 13 


Jodoh Si Naga Langit - Kho Ping Hoo JILID 14 


Jodoh Si Naga Langit - Kho Ping Hoo JILID 15 


 Jodoh Si Naga Langit - Kho Ping Hoo JILID 16 




JODOH SI NAGA LANGIT JILID 01


Pemuda itu menuruni puncak bukit di mana dia semalam tinggal melewatkan malam yang dingin. Akan tetapi pagi ini udara cerah dan hangat. Dia melangkah perlahan dari puncak, lenggangnya kokoh dan mantap seperti langkah seekor harimau, dada dan perutnya menggembung dan mengempis karena tarikan napas yang dalam dan panjang. Hawa udara demikian bersihnya, segar memasuki rongga dada dan perut mendatangkan rasa nikmat dan nyaman.

Usianya sekitar duapuluh dua tahun. Tubuhnya sedang, kulitnya putih dan wajahnya tidak terlalu tampan namun juga tidak buruk. Wajah yang lebih tepat disebut ganteng dan gagah, dengan rambut hitam, alisnya berbentuk golok seolah melindungi sepasang mata yang mencorong namun lembut. Hidungnya mancung dan mulutnya selalu menyungging senyum sehingga wajah yang agak bulat dengan dagu runcing itu tampak penuh pengertian dan ramah. Pakaiannya sederhana saja seperti seorang pemuda dusun atau juga seorang pemuda kota yang miskin. Dia menggendong sebuah bungkusan kain kuning yang terisi beberapa potong pakaian.

Dilihat keadaannya yang sederhana, sikapnya yang lembut, dan tanpa adanya sepotong pun senjata pada dirinya, tidak akan ada orang yang menyangka bahwa dia seorang ahli silat. Padahal sesungguhnya pemuda itu adalah Souw Thian Liong, seorang pendekar yang pernah menggegerkan kedua kerajaan. Di Kerajaan Kin di utara, dia membantu kerajaan itu membasmi pemberontakan yang dipimpin Pangeran Hiu Kit Bong. Kemudian, di Kerajaan Sung Selatan dia memegang peranan penting dalam menghancurkan kekuasaan Perdana Menteri Chin Kui yang terkenal dalam sejarah sebagai seorang pembesar yang korup, lalim dan jahat, yang sudah menguasai kaisar.

Souw Thian Liong memiliki ilmu silat yang tinggi berkat bimbingan gurunya, yaitu Tiong Lee Cin-jin yang berjuluk Yok-sian (Tabib Dewa) dan yang terkenal di seluruh negara, baik di Kerajaan Kin di utara maupun di Kerajaan Sung di selatan.

Selama beberapa bulan ini, Souw Thian Liong melakukan perantauan tanpa tujuan tertentu, menurut saja ke mana kedua kaki dan perasaan hatinya membawanya. Dia tertarik oleh keindahan alam di bukit itu, maka kemarin dia mendaki bukit, melewatkan malam di puncak dan pagi hari ini dia menuruni puncak bukit dengan santai.

Ketika dia tiba di lereng pertama dekat puncak dan melihat tempat itu terbuka, tidak terhalang apa pun sehingga dia dapat menyaksikan tamasya alam yang berada di bawahnya, dia berhenti, terpesona akan keindahan alam di bawah sana. Hamparan yang amat luas, dengan warna-warni bagaikan sebuah lukisan yang amat indahnya. Sawah ladang dengan warna hijau dan kuning, bukit-bukit di belakang sana yang tampak kebiruan, sungai yang tampak bagaikan naga yang meliuk-liuk, rumah-rumah di sana-sini dengan gentengnya yang kemerahan. Dan di sebelah kiri terdapat sekelompok ternak kerbau yang digembala seorang anak remaja. Para petani yang berangkat ke sawah memanggul cangkul.

Bukan hanya penglihatannya yang berpesta menikmati semua pemandangan indah itu. Juga sepasang telinganya menikmati bunyi-bunyian yang membuat pagi hari itu semakin cerah dan riang. Kicau burung di pohon-pohon, kokok ayam jantan di kejauhan, diseling suara kerbau menguak dan kambing mengembik, salak anjing dan teriakan penggembala yang menghalau ternak kerbau agar jangan makan padi-padian yang tumbuh di sawah ladang.

Penciumannya juga menikmati keharuman rumput, daun dan bunga yang tumbuh di sekitar lereng itu, dan bau tanah dibasahi embun menghangatkan perasaannya. Sinar matahari pagi seolah menggugah segala yang berada di permukaan bumi, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, dan mencuci semuanya itu dengan sinarnya yang keemasan dan hangat.

Thian Liong duduk di atas batu besar, seolah menelan semua keindahan itu, dan dalam keadaan seperti, di mana hati akal pikiran tidak disibukkan oleh urusan tentang diri pribadinya, sesungguhnya dia sedang berada dalam keadaan yang disebut bahagia tanpa disadarinya. Dalam keadaan seperti itu dia bersatu dengan alam, terangkum dalam kekuasaan Tuhan, sumber segala keindahan, pusat segala kebahagiaan. Tidak ada "si-aku" yang susah atau senang, kecewa atau puas, si-aku yang bukan lain hanyalah ciptaan hati akal pikiran, yang amat lemah terhadap godaan iblis yang menunggangi nafsu sehingga manusia semakin menjauhi Tuhan dan mulailah dia menjadi permainan suka duka buatan nafsu yang diperalat iblis.

Keadaan penuh kebahagiaan yang menyelimuti diri Thian Liong itupun tidak lama berlalu, lewat bagaikan hembusan angin pagi itu. Begitu pikirannya disibukkan oleh kenangan masa lalu, dia pun mulai menghela napas panjang, bukan lagi helaan napas kebahagiaan, melainkan helaan napas sedih dan haru, mengingat betapa hidupnya kesepian.

Keheningan lahir batin yang mendatangkan kebahagiaan tadi kini mulai terganggu kesibukan pikiran Thian Liong yang mengenang masa lalunya. Kesunyian di sekelilingnya membuat lamunannya berlarut-larut.

Terbayang dalam ingatannya ketika ayah dan ibunya meninggal dunia terserang penyakit perut yang melanda dusunnya ketika dia berusia lima tahun. Kini sukar baginya untuk mengingat bagaimana wajah ayah dan ibunya. Yang teringat olehnya hanyalah adegan ketika dia menangis di depan peti kedua orang tuanya, dipangku dan dihibur neneknya, Nenek Souw, ibu dari ayahnya. Kemudian Neneknya yang sudah tua itu bekerja sebagai pelayan di rumah keluarga Lurah Coa Lun, dan dia juga bekerja sebagai penggembala kerbau.

Ketika tadi dia melihat penggembala kerbau di bawah itu, maka mulailah tergugah kenangannya yang membuat kini pikirannya sibuk mengenang masa lalunya. Dia bekerja pada Lurah Coa selama lima tahun. Dalam usia sepuluh tahun itu, dia bertemu dengan Tiong Lee Cin-jin atau Yok-sian yang kemudian menjadi gurunya. Dia meninggalkan dusun di lereng Mou-mou-san setelah neneknya meninggal dunia, menjadi murid Tiong Lee Cin-jin. Ketika itu dia berusia sepuluh tahun dan diajak oleh gurunya itu ke Puncak Pelangi di Pegunungan Go-bi.

Thian Liong memandang ke atas. Langit cerah, matahari pagi mulai meninggi dan sinarnya yang tadi lembut mulai mengeras, panas menyengat kulit. Dia melihat segumpal awan memanjang dan jantungnya berdebar. Awan itu, dalam pandangannya, membentuk seekor naga. Thian Liong (Naga Langit), itulah namanya. Awan putih berbentuk naga itu bergerak terbawa angin, maju perlahan, seorang diri saja karena tidak tampak awan lain di langit yang biru. Persis seperti dirinya, seorang diri, sebatang kara mengembara di dunia ini tanpa tujuan tertentu!

Thian Liong menghela napas panjang, teringat dia akan semua pengalaman dalam perantauannya selama dua tahun ini. Banyak sudah dia terlibat dalam urusan dunia, urusan dua kerajaan. Urusan yang membuat dia bertemu dengan beberapa orang gadis yang sampai kini tidak mudah dia lupakan, bahkan wajah-wajah mereka kini terbayang dan tersenyum manis kepadanya.

Mula-mula yang tampak adalah wajah Han Bi Lan, gadis berusia sekitar sembilanbelas yang selalu berpakaian merah muda itu, seorang dara cantik manis yang lincah, galak dan nakal. Namun cerdiknya bukan main. Wajahnya yang bulat telur, rambutnya hitam panjang dengan sinom (anak rambut) menghias dahi dan pelipis, dahinya berkulit halus, alisnya hitam kecil, matanya seperti bintang sinarnya tajam dan penuh gairah hidup, penuh semangat, hidungnya mancung, bibirnya menggairahkan dan lesung pipit di kanan kiri mulutnya, dagunya yang meruncing, membuat wajah itu tampak manis bukan main. Kulitnya putih kemerahan, tubuhnya padat ramping penuh daya pikat.

Bagaimana dia dapat melupakan gadis yang satu ini? Gadis yang pernah mencuri kitab yang harus dia serahkan kepada perguruan Kun-lun-pai, gadis yang kemudian membantu dia ketika dia difitnah, dan gadis itu pula yang dia tangkap, dia telungkupkan di atas kedua pahanya dan dia hukum dengan tamparan pada pinggulnya sebanyak sepuluh kali untuk menghukum perbuatannya mencuri kitab!

Peristiwa ini akhirnya membuat dia menyesal karena kemudian baru dia tahu bahwa gadis ini adalah puteri Han Si Tiong dan Liang Hong Yi, suami isteri di dusun Kian-cung dekat Telaga Barat yang dia hormati itu! Dia merasa menyesal karena Han Bi Lan juga mengancam akan membalas dendam karena perbuatannya itu, dan gadis itu meninggalkannya dengan pandang mata penuh kebencian dan dendam.

Thian Liong menghela napas panjang dan berusaha menghilangkan kenangan akan Han Bi Lan itu dengan membayangkan wajah gadis lain. Yang pertama tampak menggantikan bayangan Bi Lan adalah bayangan Ang Hwa Sian-li Thio Siang In. Gadis lihai yang berpakaian serba hijau dan memakai bunga mawar merah di rambutnya ini juga cantik jelita dan cerdik sekali, cerdik dan jenaka. Wajahnya bulat dan dia memiliki kerling mata dan senyum bibir yang menggairahkan. Tahi lalat kecil di pipi kiri dekat ujung bibir, menambah manisnya. Tubuhnya ramping dan gadis berusia sekitar duapuluh tahun ini bagaikan setangkai bunga sedang mekar indah.

Siang In bukan hanya lihai ilmu silatnya, akan tetapi ia juga seorang ahli racun dan senjata rahasianya Ban-tok-ciam (Jarum Selaksa Racun) amat berbahaya bagi lawannya. Pergaulannya dengan gadis ini, walaupun tidak lama, cukup erat dan gadis ini pun telah membantu dia ketika dia difitnah dan dimusuhi oleh para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai.

Setelah bayangan Ang Hwa Sian-li Thio Siang In menghilang, muncul bayangan seorang gadis lain, yaitu Pek Hong Niocu yang nama aselinya adalah Moguhai. Ia puteri Kaisar Kerajaan Kin di utara, akan tetapi sesungguhnya ia lebih pantas disebut gadis kang-ouw dari pada seorang puteri istana yang biasanya hanya dipingit (tak boleh keluar) di istana.

Puteri Moguhai ini biasanya mengenakan pakaian sutera putih, rambut yang hitam panjang digelung rapi itu dihias dengan burung Hong dari perak atau terkadang dikuncir tebal dengan pita merah. Pakaiannya yang serba putih itu berpotongan pakaian puteri Kin, dengan leher baju dari bulu indah. Senjatanya sebatang pedang bengkok dengan ukiran naga emas, menjadi tanda bahwa puteri ini memiliki kekuasaan karena pedang itu pemberian Kaisar Kin.

Gadis puteri kaisar Kin ini memiliki wajah yang sama benar dengan wajah Ang Hwa Sian-li Thio Siang In, hanya pakaian dan sanggul rambutnya saja yang berbeda. Memang luar biasa sekali, dan hal ini masih membuat dia heran dan bingung bagaimana ada dua orang gadis yang demikian persis sama. Akan tetapi dia tahu perbedaan antara mereka.

Kalau Puteri Moguhai yang usianya juga sama dengan Thio Siang In itu mempunyai tahi lalat kecil di sebelah kanan mulutnya, sebaliknya Thio Siang In mempunyai tahi lalat di sebelah kiri mulutnya. Dia tersenyum mengingat betapa dua orang gadis itu pernah menggoda dan mengujinya dengan berpakaian dan bersanggul persis sama. Tentu saja dia dapat membedakan mereka dari tahi lalat mereka, akan tetapi dia sengaja menebak salah untuk menyenangkan hati mereka dan untuk menyimpan dalam hati bahwa sesungguhnya dia tahu akan "rahasia" perbedaan antara mereka itu, yaitu pada letak tahi lalat kecil itu.

Thian Liong menghela napas panjang. Pengalamannya dengan Puteri Moguhai dalam suka duka membasmi pemberontakan di Kerajaan Kin, maupun dalam membasmi pemberontakan di Kerajaan Sung yang dipimpin Menteri Chin Kui, membuat mereka bergaul dengan akrab sekali. Dia amat kagum kepada Puteri Moguhai atau Pek Hong Niocu. Akan tetapi dia tahu diri. Pek Hong Niocu adalah seorang puteri kaisar, bangsawan tinggi dan dimuliakan orang. Sedangkan dia, seorang pemuda yatim piatu yang sebatangkara dan tidak mempunyai apa-apa. Bahkan rumah tempat tinggal pun dia tidak punya!

Dalam lamunannya, bermunculan wajah gadis murid Kun-lun-pai yang bernama Kim Lan itu, gadis yang karena peraturan gurunya hendak memaksa dia menjadi suaminya! Gadis yang galak, cantik dan angkuh. Bukan hanya ingin memaksa dia menjadi suaminya karena dia sudah mengalahkannya, bahkan kemudian menuduh dia memperkosa Kim Lan dan sumoinya, Ai Yin! Sehingga akibat dari tuduhan itu, dia dimusuhi para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai!

Untung ada gurunya, Tiong Lee Cin-jin membelanya sehingga terbongkar rahasia Cia Song yang melakukan perkosaan dan membantu semua pemberontakan itu, menjadi kaki tangan Perdana Menteri Chin Kui. Cia Song yang tersesat itu akhirnya tewas setelah roboh tak berdaya akibat mengadu tenaga sakti dengannya, dihujani bacokan pedang oleh tiga orang gadis yang pernah diperkosanya, yaitu Kim Lan, Ai Yin, dua orang murid Kun-lun-pai itu, dan Kwee Bi Hwa, puteri guru silat Kwee Bun To yang lihai.

Kembali Thian Liong menghela napas panjang, menghentikan lamunannya yang berakhir dengan munculnya bayangan Han Bi Lan lagi. Entah mengapa, bayangan Han Bi Lan selalu mengikutinya dan teringat akan gadis yang menangis ketika dia tampari pinggulnya dan mengancam akan, membalas dendam itu, dia merasa menyesal bukan main.

Setelah menghentikan lamunannya, dia menepuk dahi sendiri sambil berkata, "Hemm, cengeng!" Dia mencela diri sendiri lalu bangkit dari batu yang didudukinya, menerawang jauh ke bawah, sampai ke kaki langit yang samar-samar dilatar belakangi bukit-bukit.

"Benar, aku harus menghadap Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi. Aku harus jelaskan duduk perkaranya sampai aku menampari pinggul Bi Lan seperti menghukum anak kecil sehingga mereka tidak akan salah paham, menganggap aku tidak sopan dan kurang ajar terhadap puteri mereka."

Setelah hatinya mengambil keputusan ini, wajahnya yang tadi agak suram tenggelam ke dalam lamunan tentang masa lalu, menjadi cerah kembali. Pemandangan indah di bawah kakinya yang tadi lenyap, sama sekali tidak tampak olehnya ketika dia melamun, kini tampak lagi dengan indahnya.

Dengan hati terasa ringan dan nyaman, dan pikiran terasa jernih, Thian Liong menghirup udara pegunungan yang sejuk nyaman itu, disiram sinar matahari yang sudah mulai menyengat kulit, Thian Liong menuruni bukit itu dengan langkah ringan dan mantap. Kini perjalanannya mempunyai tujuan tertentu, yaitu menuju Telaga Barat untuk mengunjungi kediaman Han Si Tiong dan Liang Hong Yi.

Kita mendahului perjalanan Thian Liong dan menjenguk keadaan Han Si Tiong dan Lian Hong Yi. Semenjak suami isteri pendekar ini bersama Souw Thian Liong dan Pek Hong Niocu membantu para pejabat menggulingkan kekuasaan Perdana Menteri Chin Kui di depan Kaisar Kao Tsung dari Kerajaan Sung Selatan, suami isteri ini kembali ke rumah mereka di dusun Kian-cung dekat See-ouw (Telaga Barat) yang luas dan indah pemandangannya. Hati mereka kini gembira kembali dan penuh harapan karena mereka mendengar dari Panglima Kwee Gi di kota raja bahwa anak mereka, Han Bi Lan, yang hilang diculik orang ketika berusia tujuh tahun, kini ternyata masih hidup bahkan pernah mengunjungi Kwee-ciangkun. Dari Kwee-ciangkun (Panglima Kwee) mereka mendengar bahwa puteri mereka kini telah menjadi seorang gadis yang berkepandaian tinggi.

Memang ada suatu hal yang membuat mereka kecewa dan khawatir, yaitu bahwa Bi Lan belum mengetahui di mana mereka berada. Mereka tidak pernah memberi kabar kepada siapapun juga bahwa mereka mengasingkan diri di dekat telaga itu. Karena itu, Panglima Kwee Gi juga tidak dapat memberi tahu Bi Lan di mana mereka berada. Akan tetapi mereka yakin bahwa Bi Lan yang kini menjadi gadis yang lihai itu tentu akhirnya akan dapat menemukan mereka.

Namun, lebih dari setahun mereka menanti-nanti dengan sia-sia. Biarpun mereka merasa yakin bahwa puteri mereka masih hidup, namun kesedihan meliputi hati mereka karena sampai setahun lebih belum juga mereka dapat melihat anak mereka. Pada suatu sore, mereka duduk di serambi depan rumah mereka setelah pulang dari ladang, mandi dan makan. Seperti biasa setiap sore mereka duduk di serambi itu menghadapi minuman air teh dan makanan kecil yang dihidangkan oleh seorang wanita setengah tua yang menjadi pelayan mereka.

Han Si Tiong kini telah menjadi laki-laki berusia sekitar empatpuluh empat tahun. Wajahnya tetap gagah dan jantan, dengan kumis dan jenggot pendek. Pakaiannya sederhana saja, seperti seorang petani biasa namun sikapnya yang tegap dan tegak membayangkan bahwa dia bukan seorang petani biasa yang lemah dan rendah diri.

Isterinya Liang Hong Yi, kini sudah berusia sekitar tigapuluh tujuh tahun. Masih tampak cantik manis dan tubuhnya juga masih padat langsing walaupun pandang matanya sayu dan wajahnya diliputi mendung sehingga tampak muram. Ia pun berpakaian sederhana. Suami isteri ini kehilangan kegembiraan mereka lagi setelah dari setahun menanti belum juga anak tunggal mereka muncul. Akan tetapi yang amat menderita adalah Liang Hong Yi yang merasa amat rindu kepada puterinya.

Melihat kehidupan suami isteri yang seperti petani sederhana itu, takkan ada orang mengira bahwa suami isteri ini pernah menjadi perwira-perwira andalan mendiang Jenderal Gak Hui, memimpin pasukan berani mati yang terkenal dengan sebutan Pasukan Halilintar!

Suami isteri ini memang bukan orang-orang lemah. Han Si Tiong adalah seorang pendekar yang waktu mudanya mempelajari berbagai ilmu silat dari beberapa aliran. Akan tetapi yang paling menonjol adalah ilmu silat aliran Siauw-lim-pai utara yang sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar. Ada pun Liang Hong Yi juga bukan wanita lemah. Ia pernah menjadi murid Bian Hui Nikouw dan yang paling hebat adalah ilmu gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang membuat ia dapat bergerak amat cepat dan lincah.

"Tiong-ko, kita sudah menanti setahun lebih sejak kita mendengar dari Kwee-ciangkun bahwa anak kita masih hidup. Akan tetapi sampai sekarang mengapa ia belum muncul juga? Jangan jangan ia tidak bisa mencari tempat tinggal kita. Apakah sebaiknya kita pergi ke kota raja saja? Siapa tahu ia akan mendatangi rumah Kwee-ciangkun lagi," kata Liang Hong Yi dengan suara sedih.

Han Si Tiong menggeleng kepalanya.

"Kurasa kurang tepat kalau kita pergi ke kota raja, Yi-moi. Bagaimana kalau kita pergi lalu Bi Lan datang dan melihat kita tidak berada di rumah? Hal itu akan membuat ia kecewa dan bingung. Kalau ia tidak kita temukan di kota raja, lalu kita harus mencari ke mana? Kita tidak tahu ia berada di mana, Yi-moi. Andaikata ia datang kepada Kwee-ciangkun, tentu Kwee-ciangkun akan memberi tahu kepadanya di mana tempat tinggal kita karena kita sudah memberi tahu Kwee-ciangkun bahwa kita tinggal di dusun ini."

Liang Hong Yi menghela napas lalu mengangguk.

"Engkau benar, Tiong-ko. Baiklah, aku akan menunggu di sini dengan sabar, akan tetapi sampai kapan? Sudah duabelas tahun aku menunggu dan mengharapkan bertemu kembali dengan anakku." Suara wanita itu gemetar dan ia menggigit bibirnya menahan tangis.

"Sudahlah, Yi-moi, kita tidak boleh terlalu bersedih, tidak boleh putus asa. Kita harus rajin berdoa semoga Thian (Tuhan) melindungi anak kita dan menuntunnya agar dapat datang bertemu dengan kita di sini."

Liang Hong Yi mengangguk-angguk membenarkan pendapat suaminya walaupun ia tidak dapat bicara lagi karena hatinya merasa terharu.

Tiba-tiba, ketika memandang keluar serambi, Liang Hong Yi terbelalak dan ia memegang tangan suaminya sambil bangkit berdiri.

"Tiong-ko, anak kita......?"

Han Si Tiong memandang keluar dan ia melihat seorang gadis dan seorang pemuda berjalan perlahan memasuki pekarangan rumah mereka! Gadis itu cantik dan pemuda itu tampan. Memang gadis itu sebaya dengan puteri mereka yang kini berusia kurang lebih sembilanbelas tahun. Akan tetapi tentu saja Han Si Tiong dan Liang Hong Yi tidak dapat memastikan apakah gadis itu anak mereka atau bukan.

Han Si Tiong dan Liang Hong Yi sudah bangkit dan cepat menuruni serambi, menjemput gadis dan pemuda itu di pekarangan. Jatung mereka berdebar penuh ketegangan dan harapan. Liang Hong Yi menahan diri untuk tidak berseru memanggil nama anaknya karena ia masih ragu apakah benar gadis ini Han Bi Lan, anaknya yang ia nanti-nantikan kedatangannya.

Pemuda dan gadis itu kini berhenti melangkah. Mereka saling berhadapan dengan suami isteri itu. Suami isteri itu semakin bimbang ragu karena melihat betapa gadis itu tidak segera lari menghampiri mereka. Kalau gadis itu Han Bi Lan, tentu akan segera berlari dan merangkul ibunya! Tidak mungkin anak mereka lupa kepada mereka. Akan tetapi gadis ini hanya berdiri memandang dengan mulut tersenyum seperti orang mengejek! Han Si Tiong dan Liang Hong Yi memandang penuh perhatian.

Gadis itu memang cantik, wajahnya bulat telur dan kulitnya putih mulus. Sepasang matanya lebar dan kerlingnya tajam, hidung mancung dan mulutnya agak lebar namun menggairahkan dengan bibir yang merah. Rambutnya digelung seperti sanggul wanita bangsawan dan dihias dengan perhiasan emas permata, tubuhnya yang padat langsing itupun mengenakan pakaian yang mewah. Di punggungnya tergantung sepasang pedang beronce merah.

Pemuda itu berusia sekitar duapuluh lima tahun. Tubuhnya tinggi besar dan tampak kokoh kuat. Wajahnya dapat dibilang tampan, namun mukanya hitam, demikian pula kulit pada leher dan kedua tangannya. Sepasang matanya mencorong dan tampaknya pemuda ini cerdik. Di pinggangnya tergantung sebatang tongkat hitam yang panjangnya hanya selengan. Juga pemuda ini mengenakan pakaian indah dan mewah.

"Anda berdua siapakah dan ada keperluan apa datang berkunjung ke rumah kami?" tanya Han Si Tiong sambil menahan perasaannya yang terguncang agar suaranya tidak gemetar. Pandang matanya tidak pernah lepas dari wajah gadis itu. Demikian pula dengan isterinya, memandang gadis itu dengan penuh perhatian dan penuh harapan yang mulai meragu.

Gadis itu hanya tersenyum manis akan tetapi senyumnya mengandung ejekan. Pemuda tinggi besar muka hitam itulah yang menjawab dengan sikap angkuh, tidak memberi hormat kepada suami isteri itu sebagai layaknya sikap tamu terhadap tuan rumah.

"Aku bernama Bouw Kiang dan sumoiku ini bernama Bong Siu Lan. Apakah kami berhadapan dengan Han Si Tiong dan isterinya, bekas perwira yang memimpin Pasukan Halilintar dan yang dulu dalam pertempuran telah membunuh Pangeran Cu Si dari Kerajaan Kin?" Pertanyaan yang langsung ini diajukan dengan suara yang membayangkan kesombongan.

Dari pertanyaan itu saja, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi dapat menduga bahwa kedatangan pemuda dan gadis ini pasti tidak mempunyai niat baik. Akan tetapi suami isteri ini adalah orang-orang gagah yang berwatak pendekar. Maka dengan tegas Han Si Tiong menjawab.

"Benar, aku adalah Han Si Tiong dan ini isteriku Liang Hong Yi. Ada keperluan apakah kalian mengunjungi kami?" tanya Han Si Tiong.

"Kami berdua adalah murid-murid suhu Ouw Kan dan kami mendapat tugas untuk membunuh kalian sebagai pembalasan atas kematian Pangeran Cu Si. Nah, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi, bersiaplah kalian untuk mati di tangan kami!" Setelah berkata demikian, Bouw Kiang mengambil tongkat hitam dari gantungan pada pinggangnya dan Bong Siu Lan menghunus sepasang pedangnya.

Melihat ini, dengan tenang Han Si Tiong berkata.

"Apakah kalian akan menyerang kami yang bertangan kosong?"

Bong Siu Lan tertawa mengejek.

"Hemm, kami bukan pengecut. Ambil dan keluarkan semua senjata kalian. Kami tidak tergesa-gesa karena kalian tidak akan dapat lolos dari kematian!"

"Biar aku mengambil senjata-senjata kami!" kata Liang Hong Yi. Wanita ini berlari cepat memasuki rumah, langsung ke dalam kamar dan mengambil pedangnya dan pedang suaminya. Akan tetapi selain mengambil dua batang pedang itu, ia pun tidak lupa mengambil sehelai kain putih yang ada tulisannya, menyelipkan kain putih itu di ikat pinggangnya dan cepat berlari keluar. Ia menyerahkan pedang suaminya itu kepada Han Si Tiong dan keduanya sudah siap menghadapi lawan.

Liang Hong Yi mengambil kain putih bertulis itu dan berkata kepada suaminya.

"Kita perlihatkan ini kepada mereka?"

Han Si Tiong mengambil kain putih itu dan menyelipkan ke ikat pinggangnya.

"Tidak perlu. Kita berani mempertanggung-jawabkan perbuatan kita dan tidak takut mati!"

Pendekar ini memang gagah dan jantan, jujur namun keras dan kasar. Malu baginya untuk berlindung di belakang surat di atas kertas putih pemberian Puteri Moguhai dari Kerajaan Kin itu.

Dahulu, ketika Ouw Kan sendiri datang dan hendak membunuh mereka, datang Puteri Moguhai bersama Souw Thian Liong menolong mereka dan mengusir Ouw Kan yang tidak kuat menandingi mereka dan melarikan diri. Kemudian, setelah berkenalan, Puteri Moguhai menulis di atas kain putih itu dan mengatakan bahwa kalau Ouw Kan berani datang mengganggu, agar surat di atas kain putih itu diperlihatkan kepada Ouw Kan. Akan tetapi melihat bahwa yang mengancam mereka hanya dua orang muda yang mengaku murid-murid Ouw Kan, Han Si Tiong tidak mau memperlihatkan surat Puteri Moguhai yang ditujukan kepada Ouw Kan itu. Kalau dua orang muda itu menolak dan tidak menaati surat itu, dia akan merasa malu sekali, disangka bersembunyi di balik surat karena takut!

"Kami sudah siap!" kata Han Si Tiong sambil melintangkan pedangnya depan dada. Liang Hong Yi terpaksa memasang kuda-kuda karena suaminya tidak mau memperlihatkan surat itu kepada dua orang muda yang mengancam mereka.

"Lihat serangan!" pemuda bernama Bouw Kiang itu menerjang dengan pedangnya. Seperti kilat menyambar pedang itu menusuk ke arah leher Han Si Tiong. Pendekar ini menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

"Tranggg......!" Bunga api berpijar dan Han Si Tiong terpental mundur tiga langkah. Dia terkejut sekali dan maklum bahwa pemuda itu memiliki tenaga sakti yang kuat sekali, Namun dia tidak gentar dan cepat mengirim serangan balasan. Mereka segera saling menyerang dengan serunya.

Sementara itu, melihat suaminya sudah diserang, Liang Hong Yi tidak tinggal diam dan ialah yang mendahului menyerang gadis bernama Bong Siu Lan itu.

"Sing...... trang......!" Juga Liang Hong Yi terhuyung ke belakang ketika pedangnya ditangkis gadis itu. ia pun tahu bahwa lawannya ini tangguh bukan main. Akan tetapi semenjak membantu suaminya memimpin Pasukan Halilintar berperang dan setiap saat terancam maut, kini Liang Hong Yi telah menjadi seorang wanita yang amat berani. Biarpun maklum bahwa ia kalah kuat, ia melawan mati-matian sehingga dua orang wanita ini pun saling serang dengan seru.

Akan tetapi, biarpun suami isteri itu mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaga mereka, segera ternyata bahwa mereka berdua sama sekali bukan lawan seimbang bagi dua orang muda murid Ouw Kan itu. Baru lewat tigapuluh jurus saja, di mana suami isteri itu kebanyakan hanya mampu menangkis dan mengelak, Liang Hong Yi roboh dengan pundak terluka pedang Bong Siu Lan!

Melihat ini, Han Si Tiong cepat melompat untuk melindungi isterinya, akan tetapi dia sendiri menerima tusukan pedang Bouw Kiang yang menembus dadanya sehingga dia tergulling roboh dan di atas tubuh isterinya. Darah bercucuran dari dadanya membasahi pakaian Liang Hong Yi yang sudah berlepotan darahnya sendiri yang keluar dari luka di pundaknya!

Bong Siu Lan hendak mengirim tusukan maut kepada Liang Hong Yi yang sudah terluka pundaknya, akan tetapi Bouw Kiang memegang lengannya.

"Tahan dulu, sumoi (adik seperguruan)!"

Bong Siu Lan memandang heran dan Bouw Kiang membungkuk dan mencabut sehelai kain putih yang terselip di ikat pinggang Han Si Tiong. Dia tertarik karena tadi Liang Hong Yi hendak memperlihatkan surat itu kepada mereka akan tetapi Han Si Tiong mencegahnya. Bong Siu Lan ikut membaca tulisan kain putih yang dipegang suheng (kakak seperguruan) itu.

Setelah membaca sedikit tulisan di atas kain putih itu, wajah kedua orang itu berubah pucat. Kedua orang itu saling pandang dan mata mereka terbelalak, jelas bahwa mereka tampak ketakutan.

"Celaka......!!" kata ini hampir berbareng keluar dari mulut mereka dan keduanya lalu melompat pergi meninggalkan tempat itu dengan cepat sambil membawa kain putih tulisan Puteri Moguhai itu.

Setelah mereka pergi, Liang Hong Yi keluar dari tindihan tubuh suaminya dan melihat suaminya terluka dengan napas terengah itu, ia menjerit dan menangis, lalu dengan susah payah ia hendak mengangkat tubuh suaminya yang mandi darah untuk dibawa ke dalam. Ia sendiri terluka cukup berat di pundak kirinya, maka sukarlah ia dapat mengangkat tubuh suaminya. Ia lalu berseru memanggil pelayannya. Wanita yang usianya sudah limapuluh tahun itu, yang tadi bersembunyi dalam rumah ketakutan, tergopoh keluar mendengar panggilan majikan wanitanya. Melihat suami isteri itu mandi darah, ia pun menangis.

"Bantu aku mengangkat ke dalam......" kata Liang Hong Yi.

Pelayan itu membantunya, akan tetapi tetap saja mereka sukar dapat mengangkat tubuh Han Si Tiong yang berat. Pada saat itu tampak bayangan merah muda berkelebat dan seorang gadis berpakaian serba merah muda sudah memasuki pekarangan. Ia memandang dengan mata terbelalak kepada dua orang wanita yang sedang mencoba mengangkat tubuh Han Si Tiong yang berlumuran darah.

"Ibuuuu...... Ayah......! gadis itu menjerit sambil lari menghampiri.

Liang Hong Yi menengok, matanya terbelalak. Biarpun anaknya kini sudah menjadi gadis dewasa, namun ia tidak ragu lagi bahwa gadis itu adalah puterinya. Pandang matanya saja sudah membuat ia yakin.

"Bi Lan...... anakku......!" Setelah berkata demikian, ia pun lemas terkulai dan tentu akan roboh kalau Bi Lan tidak segera menangkap tubuhnya.

"Ayah......, kalian kenapa......?" katanya, akan tetapi ia tidak mau tenggelam ke dalam kekagetan dan keharuannya, melainkan dengan sigap ia memondong tubuh ayah ibunya itu dengan kedua tangan, disampirkan ke kedua pundaknya dan ia membawa keduanya melangkah masuk rumah, diikuti pelayan itu yang merasa lega bahwa ada orang yang menolongnya. Pelayan itu sudah lima tahun menjadi pembantu rumah tangga suami isteri itu dan ia sudah mendengar dari kedua majikannya bahwa puteri mereka hilang ketika berusia tujuh tahun.

Dengan cekatan Han Bi Lan merebahkan tubuh ayah dan ibunya di atas pembaringan, lalu ia menotok jalan darah di tubuh ayahnya untuk menghentikan keluarnya darah, juga pada tubuh ibunya sehingga darah berhenti mengalir keluar.

Liang Hong Yi siuman lebih dulu. Begitu bangkit ia memandang puterinya, lalu memandang suaminya yang masih belum sadar dan Bi Lan sedang duduk mencoba untuk memperkuat keadaan tubuh ayahnya yang terluka parah sekali itu.

"Tiong-ko......! Tiang-ko......, suamiku...... sadarlah, Tiong-ko. Ini anak kita, Han Bi Lan, sudah pulang......!" Ia mengguncang tubuh suaminya dan pendekar itu mengeluh lirih, dan membuka kedua matanya.

"Ayah...... ini aku, Bi Lan. Ayah......!" Bi Lan tak dapat menahan runtuhnya air mata karena ia tahu benar bahwa ayahnya terluka amat parah dan agaknya tidak mungkin dapat diobati lagi.

Han Si Tiong membuka kedua matanya lalu pertama-tama memandang isterinya, lalu memandang wajah Bi Lan dan dia tersenyum! Pendekar yang telah berada di ambang kematian itu tersenyum dan senyumnya jelas membayangkan kegirangan hatinya.

"Terima kasih kepada Thian! Engkau selamat Yi-moi, dan...... engkau sudah pulang, Bi Lan. Jaga ibumu baik-baik, anakku...... Yi-moi...... aku tidak kuat lagi...... selamat tinggal......" Kepala itu terkulai dan Han Si Tiong menghembuskan napas terakhir. Pedang tadi telah menusuk dan mengenai jantungnya. Sudah luar biasa sekali kalau dia mampu bertahan sampai dapat siuman dan bicara kepada isteri dan puterinya.

"Tiong-ko......!" Liang Hong Yi kembali jatuh pingsan, tubuh atasnya menindih tubuh suaminya.

"Ayah......!" Bi Lan juga menangis, akan tetapi ia lalu sibuk mengangkat tubuh ibunya dan merebahkan di pembaringan lain.

Pelayan wanita itu sambil menangis lalu memberi tahu para tetangga dan sebentar saja para tetangga berdatangan melayat karena suami isteri itu dihormati para tetangga yang banyak menerima bantuan mereka.

Masih baik bahwa Bi Lan sudah kembali kepada ibunya. Kalau tidak, belum tentu Liang Hong Yi akan kuat menahan kedukaannya. Ia amat mencinta suaminya. Suaminya itulah yang mengangkatnya dari kehidupan yang gelap dan hitam. Suaminya yang membuat ia dapat melepaskan diri dari dunia sesat di mana ia terpaksa menjadi wanita panggilan bagi para bangsawan dan hartawan. Biarpun ketika itu derajatnya tidak serendah para pelacur biasa karena ia hanya melayani orang-orang bangsawan, tetap saja ia adalah seorang pelacur.

Pertemuannya dengan Han Si Tiong membebaskannya dari kehidupan itu dengan suaminya itu ia mengalami suka dukanya. Ia amat mencinta dan dicinta suaminya dan kini suaminya telah pergi meninggalkannya. Karena itu, kehadiran Bi Lan merupakan hiburan besar dan mengembalikan gairahnya untuk melanjutkan kehidupan yang lebih banyak dukanya daripada sukanya itu.

Han Bi Lan menahan diri untuk tidak banyak bertanya selama perkabungan. Setelah jenazah ayahnya diurus pemakamannya dengan baik, barulah ia mengajak ibunya bercakap-cakap di malam hari setelah pemakaman itu.

Mula-mula ia mengobati luka di pundak ibunya. Setelah luka itu dibalut, mereka duduk di tepi pembaringan, saling pandang dan tiba-tiba Liang Hong Yi merangkul puterinya dan menangis tersedu-sedu. Bi Lan tak dapat menahan keharuannya. Ia merasa iba sekali kepada ibunya dan balas merangkul. Mereka bertangisan sampai beberapa lamanya. Bi Lan lalu melepaskan rangkulannya dan sambil memegangi kedua lengan ibunya ia berkata dengan suara lembut.

"Sudah, Ibu. Tidak baik kalau kita membenamkan diri terus ke dalam kedukaan. Ayah tentu tidak akan senang melihat kita berduka terus. Jangan sampai kedukaan itu menggerogoti hati Ibu dan bisa mendatangkan penyakit. Marilah kita bicara, Ibu. Sejak aku pulang, kita baru sekarang sempat bicara."

Ibunya mengangguk-angguk, lalu menyusut air matanya, menghentikan tangisnya. Lalu ia memandang puterinya sampai lama, seolah sedang menilai sebuah batu permata, lalu dirangkulnya puterinya itu dan diciumnya kedua pipi Bi Lan.

"Aih, Bi Lan, betapa selama belasan tahun ini aku dan Ayahmu setiap hari mengharapkan pertemuan ini. Setahun yang lalu kami mendengar dari Panglima Kwee Gi di kota raja bahwa engkau masih hidup dan telah berkunjung ke sana, engkau membunuh Jenderal Ciang Sun Bo dan puteranya sehingga menggegerkan kota raja. Kami bangga dan gembira sekali mendengar keterangan Panglima Kwee Gi itu, anakku. Akan tetapi selama setahun lebih kami setiap hari menunggu-nunggu, belum juga engkau datang. Dan begitu engkau datang terlambat, anakku, Ayahmu terluka parah......"

"Itulah yang sejak aku datang mengganggu hatiku. Aku menunda pertanyaan ini sampai pemakaman selesai. Ibu, sebetulnya, apakah yang telah terjadi sehingga Ibu dan Ayah sampai terluka? Siapakah yang melakukan itu, Ibu?" Gadis itu bertanya dengan suara lembut, akan tetapi suara itu mengandung ancaman terhadap orang-orang yang telah melukai ibunya dan membunuh ayahnya.

"Bi Lan anakku, pengalaman Ayah dan Ibumu hanya akan mendatangkan kenangan sedih bagiku, maka sebaiknya engkaulah yang lebih dulu menceritakan tentang dirimu. Apa saja yang kau alami selama engkau diculik orang dan Lu-ma dibunuh. Aku dan Ayahmu sudah mendengar sedikit tentang dirimu, yaitu bahwa engkau diculik oleh datuk Bangsa Uigur bernama Ouw Kan, kemudian engkau dirampas oleh pendeta Tibet yang bernama Jit Kong Lhama dan menjadi muridnya dan yang terakhir engkau menjadi murid Kun-lun-pai. Nah, yang kudengar hanya sampai kunjunganmu di kota raja, membunuh Jenderal Ciang dan puteranya sehingga menggegerkan kota raja, kemudian engkau diselundupkan oleh Panglima Kwee keluar kota raja dengan selamat. Lalu selanjutnya bagaimana, anakku? Bagaimana pula engkau dapat mengetahui bahwa kami tinggal di sini?"

"Benar seperti yang telah Ibu dengar dari Panglima Kwee itu. Setelah tamat belajar ilmu silat dari Suhu Jit Kong Lhama, aku lalu pergi ke kota raja untuk pulang ke rumah. Akan tetapi rumah kita telah ditempati Jenderal Ciang Sun Bo dan anaknya, Ciang Ban. Mereka pura-pura menyambut aku dengan baik dan mengaku sebagai sahabat baik ayah, akan tetapi dia hendak mencelakai aku. Maka aku membunuh mereka dan untung dapat ditolong Panglima Kwee dan diselundupkan keluar kota raja. Aku lalu merantau untuk mencari Ayah dan Ibu karena Panglima Kwee sendiri tidak tahu di mana Ibu dan Ayah tinggal. Akan tetapi usahaku tidak berhasil."

"Dan engkau menjadi murid Kun-lun-pai ?"

"Benar, Ibu. Ketika itu aku belum meninggalkan Suhu Jit Kong Lhama. Aku meminjam kitab Kun-lun-pai, mempelajarinya di bawah bimbingan Suhu, kemudian kitab kukembalikan dan aku diakui sebagai murid Kun-lun-pai oleh para ketua Kun-lun-pai."

"Setelah itu, lalu bagaimana? Bagaimana engkau dapat mengetahui bahwa kami tinggal di sini?" tanya Liang Hong Yi.

Bi Lan tidak ingin menceritakan pengalamannya dengan Thian Liong, apalagi ia tidak mau menceritakan bahwa ia telah ditampari oleh pemuda itu, ditampari pinggulnya!

"Aku bertemu dengan seorang pemuda yang bernama Souw Thian Liong, dialah yang memberitahu kepadaku di mana Ibu dan Ayah tinggal dan aku segera langsung saja pergi mencari ke sini."

"Souw Thian Liong? Ah, pemuda yang amat lihai dan baik budi itu! Dia adalah seorang pendekar sejati, dan dialah yang berjasa besar menyelamatkan Sri Baginda Kaisar dan membongkar rahasia kejahatan Perdana Menteri Chin Kui! Pemuda yang gagah perkasa dan pantas sekali dia mendapatkan jodoh seperti Puteri Moguhai itu! Mereka sungguh merupakan pasangan yang amat tepat, prianya tampan dan lihai, wanitanya amat cantik dan juga tidak kalah lihainya!"

"Puteri Moguhai, ibu? Siapa ia?"

"Engkau sudah mengenal Souw Thian Liong dan tidak mengenal Puteri Moguhai? Ah, namanya di dunia kang-ouw adalah Pek Hong Niocu, ia adalah sahabat baik Souw Thian Liong!"

"Oh, gadis cantik yang memakai perhiasan rambut Burung Hong perak itu? Hemm, ia itu seorang puteri? Aku pernah melihatnya, akan tetapi aku tidak tahu bahwa ia seorang puteri."

"Ia puteri Raja Kin, anakku. Akan tetapi hatinya baik, bahkan ia membantu Sri Baginda Kaisar Kerajaan Sung ketika Perdana Menteri Chin Kui memberontak. Ia akrab sekali dengan Souw Thian Liong itu."

Ada sesuatu tidak enak terasa dalam hati Bi Lan dan entah mengapa, mendengar Thian Liong akrab dengan puteri Kerajaan Kin, hatinya menjadi semakin marah dan benci kepada pemuda itu!

"Sekarang ceritakanlah Ibu, apa yang telah terjadi dan siapa yang melukai Ayah dan Ibu sampai Ayah tewas karena lukanya?"

Liang Hong Yi menghela napas panjang, teringat lagi akan kematian suaminya. Namun kehadiran Bi Lan menguatkan hatinya dan ia mulai bercerita.

"Mungkin engkau sudah ingat waktu itu engkau berusia tujuh tahun ketika Ayahmu dan aku pergi memenuhi tugas memimpin pasukan berperang membantu barisan Jenderal Gak Hui melawan pasukan Kerajaan Kin di utara."

"Aku masih ingat, Ibu. Bahkan kalau tidak salah aku memesan kepada Ayah agar aku dibawakan sebuah pedang bengkok seperti yang biasa dipergunakan orang-orang utara."

"Benar, Bi 'Lan. Tunggu sebentar!" Liang Hong Yi meninggalkan anaknya, memasuki kamarnya dan ia kembali sambil membawa sebatang pedang bengkok yang indah sekali, terbalut emas dan terukir indah.



"Nah, inilah pedang yang kaupesan itu. Ayahmu sengaja membawa ini untukmu. Diambilnya pedang ini dari Pangeran Cu Si, seorang pangeran dari Kerajaan Kin yang tewas di tangan Ayahmu dalam perang itu. Akan tetapi ketika kami kembali ke rumah kita di kota raja, engkau telah hilang diculik orang dan Lu-ma telah terbunuh!"

"Hemm, yang melakukan ini adalah Ouw Kan. Dia membunuh Lu-ma, dan untuk itu aku akan mencarinya dan membalas kematian Lu-ma!" kata Bi Lan.

"Ya, kami segera mendapat keterangan dari Perwira Kwee dan kami sudah menduga bahwa yang membunuh Lu-ma, melukai tukang kebun dan menculikmu adalah Toat-beng Coa-ong Ouw Kan. Kami mengembalikan kedudukan kami kepada Kaisar, lalu pergi merantau ke utara untuk mencari Ouw Kan, akan tetapi setelah dua tahun merantau kami tidak berhasil menemukan Ouw Kan atau menemukan engkau. Kami menjadi putus asa dan akhirnya kami tinggal di sini, tidak ingin kembali ke kota raja. Kami hidup tenteram di tempat ini walaupun siang malam kami mengharapkan kedatanganmu. Kemudian, kurang lebih dua tahun yang lalu, pada suatu hari muncul Ouw Kan di sini dan dia menyerang kami, katanya untuk membalaskan kematian Pangeran Cu Si di tangan kami ketika terjadi perang. Kami berdua tidak dapat menandinginya, bahkan aku telah terluka pada pahaku. Kami berdua nyaris tewas di tangan Ouw Kan. Untung ketika itu tiba-tiba muncul Souw Thian Liong dan Pek Hong Niocu atau Puteri Moguhai itu yang menolong kami dan Ouw Kan melarikan diri karena tidak kuat menandingi mereka berdua. Kalau Souw Thian Liong dan Pek Hong Niocu tidak datang menolong, tentu sekarang Ayah dan Ibumu sudah tewas pada waktu itu."

Bi Lan termenung. Jadi, orang tuanya berhutang budi, bahkan nyawa kepada Thian Liong! Hal ini membuat hatinya penuh kebimbangan. Kalau ia ingat akan perbuatan Thian Liong, menghajarnya seperti anak kecil, menelungkupkan tubuhnya di atas kedua pahanya dan menampari pinggulnya sampai sepuluh kali, timbul amarah dan bencinya kepada pemuda itu! Ia akan memperdalam ilmunya, kemudian membalas dendam itu.

Akan tetapi Thian Liong yang telah memberitahu kepadanya akan tempat tinggal orang tuanya dan Thian Liong bahkan telah menyelamatkan nyawa kedua orang tuanya! Pembalasan apa yang pantas ia lakukan terhadap pemuda itu? Tidak mungkin ia membunuh atau melukai berat, mengingat akan budi pemuda itu! Ah, ia akan membalas tamparan itu. Bukan pada pinggulnya, akan keenakan dia kalau ditampari pinggulnya. Ia akan menampari kedua pipi pemuda itu sebagai pembalasan!

"Bi Lan, mengapa engkau termenung?"

Bi Lan terkejut.

"Ah, aku hanya merasa penasaran kepada Ouw Kan itu dan pasti aku akan membalas dendam ini."

"Bukan itu saja yang dia lakukan, Bi Lan. Baik kulanjutkan ceritaku agar engkau menjadi jelas. Thian Liong bercerita kepada kami bahwa karena dia telah membantu Kaisar Kin membasmi pemberontakan di Kerajaan Kin, maka hal itu dijadikan alasan oleh Perdana Menteri Chin Kui untuk menjatuhkan fitnah kepadanya. Chin Kui melapor kepada Kaisar bahwa Thian Liong menjadi pengkhianat dan menjadi antek Kerajaan Kin. Karena itu, Thian Liong menjadi orang buruan pemerintah. Mendengar itu, Ayahmu dan aku lalu pergi ke kota raja hendak membela Thian Liong, kalau perlu kami mau menjadi saksi kepada pengadilan atau Sri Baginda Kaisar bahwa fitnah itu tidak benar. Ketika tiba di kota raja, kami berdua diserang orang-orangnya Chin Kui, dan kembali muncul Thian Liong dan Pek Hong Niocu menolong kami. Kami berempat lalu bersembunyi di rumah Panglima Kwee Gi. Nah, pada saat itulah aku mendengar dari Kwee-ciangkun bahwa engkau telah datang ke kota raja sehingga harapan kami yang sudah hampir padam itu bernyala kembali."

"Paman Kwee Gi memang seorang yang baik hati, Ibu. Kalau tidak dia yang menolong menyelundupkan aku keluar kota raja, akupun tidak tahu bagaimana aku dapat meloloskan diri dari pencarian para perajurit karena aku membunuh Jenderal Ciang dan puteranya."

"Ya, dia memang baik hati," kata Liang Hong Yi yang teringat akan niat Panglima Kwee Gi untuk menjodohkan puteranya, Kwee Cun Ki, dengan Bi Lan dan ia bersama suaminya telah menyetujui niat itu. Akan tetapi sekarang belum waktunya memberitahu puterinya.

"Kemudian dengan bantuan Panglima Kwee, Ayah dan Ibumu, bersama Pek Hong Niocu dan Souw Thian Liong, dihadapkan Kaisar dan kami berbantahan dengan Perdana Menteri Chin Kui. Kami sempat ditahan, akan tetapi kemudian rencana pemberontakan Chin Kui terbongkar dan dia dapat dijatuhkan, ditangkap dan dihukum. Souw Thian Liong dan Puteri Moguhai mendapat pujian dari Sri Baginda Kaisar. Kami berdua segera pulang ke sini karena kami harapkan engkau sewaktu-waktu akan dapat mencari kami."

"Hemm, akupun mencari-cari sampai lama tanpa hasil, Ibu. Baru setelah mendengar dari Thian Liong, aku segera datang ke sini. Akan tetapi ternyata terlambat, engkau dan Ayah juga terluka parah. Siapa pelakunya, Ibu?"

"Siapa lagi kalau bukan orang yang memusuhi orang tuamu karena telah membunuh Pangeran Kin itu!"

"Si jahanam Ouw Kan?"

"Sekali ini bukan dia sendiri, melainkan dua orang muridnya, seorang pemuda bernama Bouw Kiang yang melukai Ayahmu dan seorang gadis bernama Bong Siu Lan yang melukai aku. Mereka terlalu lihai bagi kami, Bi Lan."

"Akan tetapi mereka membunuh Ayah, mengapa Ibu dapat lolos?"

"Begini, ketika dahulu Souw Thian Liong dan Pek Hong Niocu menolong kami dari serangan Ouw Kan, setelah Ouw Kan melarikan diri, Pek Hong Niocu memberi sepotong kain putih yang ditulisi dan ia berpesan bahwa apabila Ouw Kan berani mengganggu lagi, agar tulisan itu diperlihatkan. Nah, ketika dua orang murid Ouw Kan itu datang mengatakan bahwa mereka hendak membunuh kami, aku hendak memperlihatkan surat Puteri Moguhai itu. Akan tetapi Ayahmu yang keras hati melarang. Aku tahu bahwa Ayahmu adalah seorang yang menjunjung tinggi kehormatannya. Dia malu kalau memperlihatkan surat Puteri Moguhai itu, malu kalau disangka takut dan berlindung di balik surat itu. Nah, setelah Ayahmu tertusuk dadanya dan aku terluka di pundak, pemuda itu mengambil kain putih bersurat itu dari ikat pinggang Ayahmu. Mereka membaca tulisan Puteri Moguhai dan mereka menjadi pucat, lalu mereka melarikan diri tanpa mengganggu aku lagi. Aku berteriak memanggil pelayan untuk mengangkat Ayahmu, dan engkau muncul."

Bi Lan mengepal tinju dan dengan muka berubah merah karena marah ia berkata, "Si keparat Ouw Kan dan dua orang muridnya! Juga keparat Raja Kin, karena tentu dia yang menyuruh Ouw Kan untuk membalas kematian Pangeran Cu Si kepada Ayah dan Ibu. Jangan khawatir, Ibu. Aku pasti akan membalaskan kematian Ayah. Akan kucari mereka itu dan akan kubunuh mereka satu demi sa-tu!"

Liang Hong Yi merangkul puterinya.

"Tenanglah, anakku. Apakah engkau hendak pergi lagi mencari mereka? Bi Lan, aku tidak mau berpisah lagi darimu, aku tidak mau kautinggalkan seorang diri di sini!"

Bi Lan mencium ibunya.

"Tidak sekarang, Ibu. Aku pun harus memperdalam ilmu-ilmuku karena banyak, orang yang harus kulawan dan kukalahkan, selain orang-orang dari Kerajaan Kin itu!" Bi Lan membayangkan wajah Thian Liong karena ketika ia mengucapkan kata-kata terakhir tadi, wajah pemuda itu yang diingatnya!

Akan tetapi Liang Hong Yi pada saat itu berpikir dan membayangkan hal lain lagi. Kini ia hanya hidup berdua dengan puterinya dan melihat betapa puterinya kini telah menjadi seorang gadis berusia sembilanbelas tahun, sudah lebih dari dewasa pada jaman itu, maka tentu saja timbul pikiran tentang perjodohan puterinya. Ia teringat akan niat Panglima Kwee untuk menjodohkan puteranya, Kwee Cun Ki, dengan Bi Lan. Kwee Cun Ki seorang pemuda yang tampan dan gagah. Orang tuanya juga seorang panglima yang bijaksana dan baik hati, bahkan sahabat yang setia dan baik dari mendiang suaminya. Bi Lan akan bahagia menjadi isteri Kwee Cun Ki dan ia sendiri akan merasa terhormat dan menjadi besan Panglima Kwee dan isterinya yang manis budi dan lemah lembut.

Sebaiknya kalau perjodohan itu dipercepat, pikirnya. Akan tetapi, biarpun baru berkumpul selama beberapa hari dengan Bi Lan, ia tahu bahwa puterinya itu memiliki watak yang keras hati seperti mendiang suaminya. Tidak baik kalau ia menceritakan tentang rencana perjodohan itu kepada Bi Lan sekarang.

"Bi Lan, andaikata engkau hendak memperdalam ilmu silatmu pun jangan berpisah dariku. Aku tidak mau kautinggalkan, anakku. Aku tidak tahan hidup seorang diri. Bahkan aku mempunyai keinginan untuk mengajakmu pergi ke kota raja."

"Ke kota raja, Ibu? Mau apa kita ke kota raja?"

"Sekarang tidak perlu khawatir lagi akan pembunuhan yang kaulakukan terhadap Jenderal Ciang dan puteranya. Mereka itu pun merupakan antek Chin Kui dan Sri Baginda Kaisar tidak akan menganggapmu sebagai pembunuh yang harus ditangkap."

"Aku tidak khawatir, Ibu. Akan tetapi mengapa kita harus pergi ke kota raja?

"Bi Lan, Ibumu rasanya tidak betah berada di sini. Aku akan selalu teringat kepada Ayahmu dan akan tenggelam terus ke dalam kesedihan. Karena itu, ajaklah aku ke kota raja. Kita kunjungi keluarga Panglima Kwee dan kita lihat-lihat pemandangan di kota raja. Aku sudah rindu kepada kota raja di mana aku tinggal bersama Ayahmu sampai engkau lahir dan berusia tujuh tahun. Bi Lan, aku membutuhkan hiburan dan kurasa di sanalah aku akan mendapatkan hiburan, mengunjungi bekas sahabat-sahabat Ayahmu."

Dalam suara itu Bi Lan dapat mendengar permohonan ibunya maka tentu saja ia merasa tidak enak dan tidak tega untuk menolaknya.

"Baiklah, Ibu, kalau Ibu menghendaki ke kota raja, mari kita ke sana. Kapan kita berangkat, Ibu?"

Liang Hong Yi tersenyum. Puterinya ini mirip benar dengan ayahnya, begitu mengambil keputusan langsung saja hendak dilaksanakan.

"Nanti dulu, Bi Lan. Sebaiknya kita tunggu sampai perkabungan sedikitnya satu bulan, lalu kita harus menyerahkan rumah kita agar ada yang menjaganya. Kita siapkan segalanya, baru kita berangkat."

"Terserah kepada Ibu. Aku setuju dan hanya menurut saja."

"Engkau anak yang baik!" Liang Hong Yi merangkul anaknya dengan penuh kasih sayang sehingga gadis itu merasa terharu sekali. Baru sekarang ia merasakan cinta kasih yang begitu besar, yang menggetarkan hatinya.

Kwee-ciangkun (Panglima Kwee) duduk di ruangan dalam bersama isteri dan puteranya. Mereka membicarakan Han Bi Lan, karena sudah hampir dua tahun sejak gadis itu berada di rumah mereka, tak pernah ada kabar berita tentang gadis itu.

Semula Nyonya Kwee yang menegur puteranya.

"Cun Ki, tahun ini umurmu sudah duapuluh empat tahun. Orang lain seusiamu ini tentu sudah mempunyai sedikitnya dua orang anak. Akan tetapi engkau masih belum menikah. Mau tunggu sampai kapan, Cun Ki? Ayah Ibumu sudah semakin tua dan kami amat mengharapkan seorang cucu. Pilihlah gadis mana yang kau inginkan dan kami akan mengajukan pinangan!"

Cun Ki memandang kepada ayah dan ibunya.

"Ibu, apakah Ibu dan Ayah sudah lupa akan pembicaraan Ayah kepada Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi itu?"

"Pembicaraan tentang apa?" tanya Panglima Kwee Gi.

"Ah, benarkah Ayah telah lupa? Bukankah ketika itu Ayah mengajukan usul kepada mereka untuk menjodohkan aku dengan Han Bi Lan, puteri mereka? Dan mereka menyetujuinya!"

"O, itu? Kwee-ciangkun menghela napas panjang dan memandang isterinya, lalu berkata kepada puteranya dengan suara tegas.

"Dengar, Cun Ki. Setelah Han Si Tiong dan isterinya meninggalkan kota raja, Ibumu dan aku membicarakan tentang usulku yang kulakukan dengan tergesa-gesa itu. Ibumu menyatakan ketidaksetujuannya dengan rencana perjodohan itu dan aku menganggap alasan Ibumu memang tepat sekali."

Cun Ki mengerutkan alisnya yang tebal dan memandang kepada ibunya.

"Ibu, mengapa Ibu tidak setuju? Apa alasannya?" Suaranya mengandung rasa penasaran.

"Begini, anakku. Ayahmu dan aku tidak menyangkal bahwa Han Bi Lan adalah seorang gadis yang baik dan gagah perkasa. Akan tetapi Ibu membayangkan betapa akan sukarnya bagiku untuk menyesuaikan diri dengan seorang mantu yang terbiasa bersikap kasar, bahkan yang tidak segan membunuh orang. Ibu tahu, yang dibunuhnya adalah orang-orang jahat, namun tetap saja ia seorang pembunuh. Dan Ibu harus mempunyai mantu seperti itu? Sejak dulu Ibu membayangkan seorang mantu yang lemah lembut, pandai dengan semua pekerjaan wanita, pandai melayani aku sebagai ibu mertuanya, terampil dalam pekerjaan mengatur rumah, menjahit, memasak, dan sebagainya. Kita tidak mungkin mengharapkan Bi Lan akan dapat melakukan segala pekerjaan yang membutuhkan kelembutan itu. Anakku hanya engkau seorang, dan mantuku hanya seorang. Kalau yang seorang itu kelak hanya akan membuat Ibumu merasa kecewa dan menyesal, bukankah hal itu akan membikin Ibumu hidup sengsara? Kalau Bi Lan menjadi mantuku dan tinggal serumah, aku tentu harus menurut semua katanya, tidak berani membantah takut kalau......" Nyonya Kwee tidak melanjutkan kata-katanya dan tampak bingung karena ia merasa telah kelepasan bicara.

"Takut apa, Ibu?"

Tentu saja Nyonya Kwee tidak mengatakan bahwa ia takut dibunuh dan menjawab sekenanya.

"Takut...... ya takut padanya."

"Akan tetapi alasan itu tidak masuk akal, Ibu! Aku, yakin bahwa Bi Lan bukan seorang gadis yang kasar dan kejam. Pembunuhan seperti itu dilakukan siapa saja yang merasa dirinya menjadi pendekar, membela kebenaran dan keadilan dan menentang kelaliman! Aku yakin bahwa Bi Lan dapat belajar menjadi seorang mantu perempuan yang baik dan tahu kewajiban!"

"Cun Ki!" Suara Panglima Kwee tegas.

"Engkau adalah anak kami satu-satunya, apakah engkau tidak ingin membalas lbumu dengan menyenangkan hatinya? Ibumu menginginkan seorang mantu perempuan yang Iemah lembut, bukan seorang pendekar yang pandai bermain pedang namun tidak pandai memegang pisau dapur. Menuruti keinginan Ibumu dan menyenangkan hatinya merupakan balas jasa seorang anak yang u-hou (berbakti). Apakah engkau ingin menjadi seorang anak yang put-hou (tidak berbakti)?"

Cun Ki menundukkan kepalanya. Dia tahu bahwa dalam setiap perbedaan pendapat antara seorang anak dengan orang tuanya, orang tua selalu menggunakan senjata ampuh itu, yaitu mengatakan bahwa kalau si anak tidak menurut dia itu tidak berbakti alias murtad! Dia tidak berani membantah lagi. Akan tetapi dia sudah terlanjur jatuh cinta kepada Han Bi Lan, dan ia menggunakan senjata terakhir.

"Baiklah, Ayah dan Ibu. Aku menerima saja keputusan Ayah dan Ibu untuk tidak berjodoh dengan Han Bi Lan, akan tetapi......"




JODOH SI NAGA LANGIT JILID 02
"Nah, engkau anak Ibu yang u-hou dan baik sekali, Cun Ki!" ibunya berseru girang.

"Akan tetapi apa, Cun Ki?" tanya Sang Ayah sambil memandang dengan alis berkerut dan sinar mata penuh selidik.

Sambil menundukkan muka Cun Ki berkata, suaranya berat.

"Kalau aku tidak boleh berjodoh dengan Han Bi Lan, selama hidup aku tidak ingin menikah!" Setelah berkata demikian, dia bangkit dan berkata, "Maaf, Ayah dan Ibu, aku ingin beristirahat dalam kamarku." Pemuda itu lalu melangkah pergi memasuki kamarnya dan menutup pintu kamar.

Panglima Kwee dan isterinya saling pandang. Sejenak mereka tertegun mendengar ucapan Cun Ki, anak tunggal mereka tadi. Kwee-ciangkun menghela napas panjang.

"Tidak kusangka anak itu agaknya sudah jatuh cinta betul kepada Han Bi Lan."

Sementara itu, Nyonya Kwee yang amat menyayang puteranya, menjadi pucat wajahnya.

"Ah, kalau dipikir, betul juga omongan Cun Ki. Bi Lan anak orang baik-baik, tentu ia bisa dididik agar menjadi mantu yang baik. Kalau dia kukuh tidak mau menikah, celakalah kita. Siapa yang akan menyambung keturunan kita? Dia anak kita satu-satunya. Biar kubujuk dia dan aku setuju dia berjodoh dengan Han Bi Lan!" Setelah berkata demikian, Nyonya Kwee bangkit dan bergegas menuju ke kamar puteranya.

Panglima Kwee hanya menggeleng-geleng kepala dan tersenyum kecil. Dia sendiri memang tidak keberatan mempunyai mantu Bi Lan. Yang tidak setuju adalah isterinya. Dan sekarang setelah Cun Ki ngambek dan mengancam tidak akan menikah, ibunya itu menjadi khawatir sendiri dan tentu sekarang sedang membujuk-bujuk anaknya yang ngambek itu!

Nyonya Kwee memasuki kamar Cun Ki yang tidak terkunci. Ia melihat puteranya rebah telentang dengan muka merah dan dia tidak perduli mendengar ibunya masuk, seolah tidak melihatnya. Nyonya Kwee lalu duduk di tepi pembaringan.

"Cun Ki anakku, jangan engkau lalu marah begini. Tegakah engkau menyakiti hati Ibumu dengan marah-marah?"

"Ibu sendiri tega menolak permintaanku, padahal aku sudah jatuh cinta kepada Han Bi Lan!"

"Kalau ada persoalan, dapat kita rundingkan dulu, anakku. Kalau memang sudah tidak dapat diubah lagi pilihanmu, baiklah, Ibumu mau mengalah, demi kebahagiaanmu, akan tetapi dengan syarat bahwa kelak engkau harus mampu mendidik Bi Lan agar menjadi mantu yang dapat menyenangkan hatiku dengan pelayanan yang lembut sebagaimana lajimnya seorang mantu perempuan terhadap mertua perempuannya."

Bagaikan mendapat semangat baru, Cun Ki serentak bangkit duduk dan merangkul ibunya.

"Terima kasih, Ibu. Tentu saja, aku akan membimbing Bi Lan agar dapat menjadi mantu yang menyenangkan hati Ibu!"

Panglima Kwee dan isterinya lalu merencanakan mengirim seorang comblang (perantara pernikahan) ke dusun Kian-cung dekat Telaga Barat. Mereka memilih-milih comblang mana yang pantas mewakili mereka dan yang pandai bicara. Mereka tidak mau mengirim seorang comblang biasa saja karena mereka ingin membuat Han Si Tiong merasa terhormat menerima comblang yang pandai bicara dan tentu saja yang akan membawa berbagai hadiah.

Pada suatu pagi, seorang wanita yang berpakaian bangsawan berkunjung ke rumah Panglima Kwee dengan naik sebuah kereta yang indah. Ketika pengawal memberi tahu ke dalam bahwa Nyonya Ciang Kui datang berkunjung, Nyonya Kwee bergegas keluar menyambut tamunya.

Tamu itu seorang wanita yang usianya sebaya dengan nyonya Kwee, sekitar empatpuluh lima tahun, berpakaian bangsawan indah, dan wajahnya juga cantik. Ia adalah isteri dari Ciang-taijin (Pembesar Ciang) yang menjabat pegawai tinggi bagian perpajakan dan sudah lama menjadi kenalan baik Nyonya Kwee. Antara suami mereka juga ada hubungan antara pejabat tinggi walaupun Panglima Kwee adalah seorang tentara dan Pembesar Ciang seorang pegawai sipil.

"Aih, Nyonya Ciang! Selamat datang, angin apa yang meniup Anda ke sini?" sambut Nyonya Kwee dan segera mempersilakan tamunya duduk di ruangan tamu yang luas dan indah.

"Baik, Nyonya Kwee, keadaan kami baik semua. Suamiku sehat dan pekerjaannya pun lancar, anak tunggalku Bi Hiang juga baik-baik saja, setiap hari rajin menyulam dan mengatur para pelayan menyelesaikan semua pekerjaan rumah. Eh, bagaimana kabarnya dengan puteramu, Kwee-kongcu?"

"Kami semua juga baik-baik saja. Juga Cun Ki dalam keadaan sehat dan baik, Nyonya Ciang. Apakah ada keperluan khusus yang membawamu datang berkunjung?"

"Ah, aku datang hanya untuk melepas rindu. Sudah lama kita tidak saling berjumpa. Padahal, sudah lama kita bersahabat, juga suamiku adalah sahabat baik suamimu. Apakah kedatanganku ini mengganggu kesibukanmu?"

"Sama sekali tidak! Aku malah senang sekali menerima kedatanganmu, Nyonya Ciang! Memang sudah lama kita tidak bercakap-cakap."

Pelayan datang menghidangkan minuman dan makanan kecil. Kedua orang nyonya bangsawan itu mengobrol, dengan asyiknya karena Nyonya Ciang adalah seorang wanita yang pandai dan banyak bicara, dapat menceritakan semua kabar tentang apa saja yang terjadi di antara para bangsawan, terutama isteri-isteri mereka. Ia suka sekali menceritakan kabar burung tentang hal-hal rahasia yang terjadi dalam rumah tangga para bangsawan, tentang percekcokan antara suami isteri bangsawan anu, tentang bangsawan ini mengambil selir baru, tentang isteri bangsawan itu yang dicurigai ada main dengan seorang pemuda pegawai suaminya, dan lain-lain. Nyonya Kwee hanya mendengarkan saja dan seperti lajimnya para wanita, biarpun ia tidak menanggapi, namun berita-berita macam itu amat menarik hatinya, seolah mendengarkan bunyi nyanyian merdu!

Sebetulnya kunjungan Nyonya Ciang ini mempunyai maksud tertentu. Sudah lama ia mencari-cari seorang pemuda yang kiranya pantas untuk menjadi jodoh puterinya, yaitu Ciang Bi Hiang yang sudah berusia sembilanbelas tahun, dan pilihannya jatuh kepada Kwee Cun Ki. Ia sudah merundingkan niatnya itu dengan suaminya, Pembesar Ciang Kui yang juga menyetujui, karena Panglima Kwee terkenal sebagai pembesar militer yang terhormat, setia kepada Kaisar, dan disuka para pembesar lainnya. Akan tetapi, sebelum Nyonya Ciang sempat membicarakan hal ini kepada nyonya Kwee yang telah lama dikenalnya dengan baik, pada suatu hari ia mendengar berita yang mengejutkan.

Nyonya Ciang mempunyai banyak kaki tangan yang suka mencari berita yang aneh-aneh untuk menjadi bahan percakapan dan pergunjingan. Ia mendengar dari seorang pembantunya bahwa keluarga Kwee sedang mencari-cari seorang comblang yang baik untuk mengajukan pinangan kepada Han Bi Lan, puteri Han Si Tiong dan Liang Hong Yi yang tinggal di Telaga Barat, untuk dijodohkan dengan Kwee Cun Ki! Tentu saja ia terkejut dan khawatir, lalu cepat ia merundingkan hal ini dengan suaminya.

Pembesar Ciang Kui juga terkejut dan heran mendengar bahwa Kwee-ciangkun hendak melamar Han Bi Lan puteri Han Si Tiong dan Liang Hong Yi untuk puteranya. Dia lalu bercerita kepada isterinya bahwa Han Bi Lan itulah yang telah membunuh saudara sepupunya, yaitu Ciang-goanswe (Jenderal Ciang) dan puteranya, Ciang Ban. Juga dia menceritakan bahwa Liang Hong Yi dahulu adalah seorang pelacur kelas tinggi di kota Cin-koan, bahkan dialah yang ketika itu masih tinggal di Cin-koan dan belum menjadi pimpinan yang kini tinggal di kota raja, pernah memberi surat kepada Liang Hong Yi untuk diserahkan kepada Jenderal Ciang Sun Bo agar Liang Hong Yi yang baru menikah dengan Han Si Tiong diberi pekerjaan.

Demikianlah dengan bekal keterangan ini, Nyonya Ciang bergegas naik kereta mengunjungi Nyonya Kwee.

"Nyonya Kwee, kalau aku boleh bertanya, berapa sih usia puteramu sekarang?"

"Ah, kau maksudkan Cun Ki? Tahun ini dia berusia duapuluh empat tahun."

"Puteriku Bi Hiang sudah berusia sembilanbelas tahun. Ah, Nyonya Kwee, apakah kaupikir usia sebegitu belum cukup untuk menikah? Kalau saja puteramu dapat dijodohkan dengan puteriku, alangkah baiknya. Hubungan kita yang tadinya sahabat dapat dipererat menjadi keluarga! Bukankah hal itu baik sekali?"

Wajah Nyonya Kwee yang tadinya cerah karena gembira bercakap-cakap dengan Nyonya Ciang yang pandai mengobrol itu, tiba-tiba berubah keruh mendengar usul ini. Tentu saja ia akan menyambut baik uluran tangan ini, kalau saja Cun Ki tidak rewel dan berkeras ingin menikah dengan Han Bi Lan! Tentu seratus kali ia akan memilih Ciang Bi Hiang, seorang gadis bangsawan aseli, pandai dan halus budi, seorang mantu yang pasti akan memuaskan hatinya dibandingkan dengan Han Bi Lan yang pandai bermain pedang dan suka membunuh orang! Akan tetapi ia tidak dapat mengubah keinginan puteranya itu.

"Ah, sayang sekali, Nyonya Ciang. Walaupun aku setuju sekali dengan usulmu itu, namun keinginan kita tidak mungkin terlaksana karena kami telah mendapatkan seorang jodoh untuk Cun Ki, bahkan kini kami sedang mencari seorang comblang yang baik untuk mengajukan pinangan kepada orang tua gadis itu."

"Aduh-aduh......, sungguh kami tidak beruntung karena terlambat. Akan tetapi tidak mengapalah, Nyonya Kwee, kalau memang keluargamu sudah menentukan pilihan. Barangkali memang puteramu bukan jodoh puteriku. Bolehkah aku mengetanui, siapakah gadis yang beruntung akan menjadi mantu perempuanmu itu? Ia puteri bangsawan manakah? Tentu ia cantik sekali. Siapa namanya?"

Wajah Nyonya Kwee berubah agak kemerahan.

"Ayahnya dahulu bekas seorang perwira kerajaan, akan tetapi sekarang telah mengundurkan diri dan tinggal di dekat Telaga Barat. Gadis pilihan puteraku itu bernama Han Bi Lan."

"Gadis she (bermarga) Han......? Han Bi Lan...... rasanya aku sudah mendengar nama itu! Oh, ya...... ya......, bukankah Han Bi Lan itu yang dulu menjadi buruan pemerintah karena ia dengan kejam telah membunuh Jenderal Ciang Sun Bo yang masih kakak sepupu suamiku? Juga puteranya, Ciang Ban, telah dibunuhnya! Gadis itukah yang kaumaksudkan, Nyonya Kwee?"

Nyonya Kwee tersipu, akan tetapi demi puteranya, ia harus membela apa yang telah diperbuat Han Bi Lan itu.

"Memang ialah gadis itu, Nyonya Ciang. Akan tetapi kini ia bukan lagi seorang buruan pemerintah dan perbuatannya itu tidak disalahkan karena selain Jenderal Ciang dan puteranya itu berniat mencelakakannya, juga akhirnya diketahui bahwa Jenderal Ciang itu adalah seorang di antara sekutu pemberontak Chin Kui."

Nyonya Ciang mengangguk-angguk.

"Aku juga mengerti akan hal itu, Nyonya Kwee, akan tetapi kiranya engkau tidak dapat menyangkal bahwa gadis itu adalah seorang pembunuh berdarah dingin! Hih, ngeri aku membayangkan hidup dekat seorang gadis liar seperti itu!"

"Nyonya Ciang, engkau tidak boleh menghina gadis yang akan menjadi mantuku. Bagaimanapun juga, gadis itu adalah pilihan puteraku!" kata Nyonya Kwee agak tersinggung.

"Baiklah, baiklah, harap engkau bersabar! Akan tetapi, apakah engkau sudah mengenal orang tuanya?"

"Tentu saja! Ayahnya adalah Han Si Tiong dan siapa tidak mengenal namanya? Dia pernah menjadi pemimpin Pasukan Halilintar yang tersohor itu!"

"Maksudku, ibunya, Nyonya Kwee."

"Ibunya juga seorang wanita gagah yang membantu suaminya dalam perang. Ia adalah Liang Hong Yi."

"Apakah engkau mengenal baik siapakah Liang Hong Yi itu, Nyonya Kwee?"

"Tentu saja! Ia seorang wanita yang gagah perkasa, baik budi dan terhormat!"

"Terhormat? Aku sangsikan hal itu, Nyonya Kwee!"

"Apa maksudmu?"

"Aku mendengar dari suamiku bahwa Liang Hong Yi itu sebelum menjadi isteri Han Si Tiong adalah seorang gadis yang tinggal di kota Cin-koan, ikut bibinya, yaitu Lu-ma yang menjadi mucikari, mendirikan rumah pelesir Bunga Seruni dan Liang Hong Yi merupakan seorang kembangnya yang paling terkenal di antara para pelacur itu......"

"Nyonya Ciang!" Nyonya Kwee berseru memotong ucapan tamunya dan bangkit berdiri dengan marah, mukanya berubah merah.

"Aku tidak berbohong, Nyonya Kwee. Suamiku dulu adalah seorang di antara para langganan Liang Hong Yi."

"Fitnah yang keji! Pergilah dari sini, Nyonya Ciang, sebelum kuusir seperti anjing!"

Nyonya Ciang bangkit berdiri dan tersenyum mengejek.

"Kawinkan saja puteramu dengan puteri pelacur itu dan seluruh kota raja akan membicarakannya sambil tertawa geli!" Setelah berkata demikian, Nyonya Ciang cepat keluar dari ruangan tamu itu, terus keluar dan cepat memasuki kereta yang dijalankan pulang oleh kusirnya.

Nyonya Kwee terkulai lemas di atas kursinya, wajahnya sebentar merah sebentar pucat. ia marah sekali, akan tetapi juga gelisah bukan main. Bagaimana kalau cerita nyonya bawel tadi ternyata benar? Puteranya, anak satu-satunya, akan menjadi mantu seorang pelacur? Ya ampun......, Nyonya Kwee tidak dapat menahan air matanya dan sambil menangis ia memasuki ruangan di mana suaminya sedang duduk melaksanakan pekerjaannya mencatat dalam bukunya.

Nyonya Kwee memasuki kamar kerja suaminya sambil menangis tersedu-sedu. Tentu saja Panglima Kwee terkejut bukan main. Dia bangkit dan menyambut isterinya, merangkulnya karena tubuh isterinya terhuyung seperti akan roboh, dan membawanya duduk di atas kursi.

"Tenanglah, isteriku. Mengapa engkau menangis seperti ini? Bukankah tadi engkau menerima tamu, kalau tidak salah Nyonya Ciang? Di mana ia sekarang?"

Sampai lama Nyonya Kwee tidak mampu bicara, hanya menangis. Setelah tangisnya reda, ia bicara dengan suara gemetar.

"Ia sudah pergi...... ah, ia menceritakan hal yang amat mengejutkan, yang membuat hatiku hancur......" Ia sesenggukan lagi.

"Ada apakah? Apa yang ia ceritakan?"

"Kalau ia mengatakan bahwa Han Bi Lan adalah seorang yang telah membunuh Jenderal Ciang Sun Bo dan puteranya, hal itu masih dapat kuterima karena memang kenyataannya demikian, akan tetapi ia bilang...... ia bilang......"

"Ia bilang apa?"

"Ia mengatakan bahwa dahulu di kota Cin-koan, di rumah pelesir Bunga Seruni yang dikelola oleh Lu-ma, Liang Hong Yi sebagai keponakan Lu-ma adalah seorang pelacur!"

"Fitnah keji!!" Panglima Kwee berseru marah.

"Katanya, suaminya dulu adalah langganan Liang Hong Yi."

"Jahanam, aku tidak bisa menerima begitu saja penghinaan ini. Ini fitnah keji! Kalau Ciang Kui dan isterinya tidak dapat membuktikan fitnah itu, mereka akan kutuntut di depan pengadilan!"

"Nanti dulu, suamiku. Engkau sebagai seorang laki-laki, tentu tahu apakah benar di Cin-koan ada rumah pelesir itu dan apakah benar Liang Hong Yi......"

"Kau tahu bahwa aku seorang pria yang tidak suka keluyuran ke rumah pelacuran seperti Ciang Kui! Akan kucari dia!"

"Jangan keburu nafsu dulu, suamiku. Carilah dulu keterangan apakah kata-katanya itu benar, baru bertindak kalau itu hanya fitnah kosong."

"Baik, akan kuurus sekarang juga. Aku tidak terima! Selain kita berniat mengambil Han Bi Lan sebagai mantu, juga Han Si Tiong dan Liang Hong Yi adalah sahabat baikku. Aku pergi dulu!"

Panglima Kwee Gi keluar dari rumahnya dengan muka merah. Belum lama dia keluar, Kwee Cun Ki memasuki kamar kerja ayahnya itu dan mendapatkan ibunya menangis di situ.

"Ibu, apakah yang telah terjadi? Aku melihat Ayah keluar dan tampaknya marah sekali."

Nyonya Kwee merangkul puteranya.

"Aduh, Cun Ki, sekali ini celaka kita. Nama keluarga kita akan hancur!"

"Eh? Ada apakah, Ibu?"

"Tadi Nyonya Ciang Kui datang bertamu dan ia menceritakan hal yang memalukan sekali, yang kalau terdengar orang akan mencemarkan nama baik dan kehormatan kita!"

"Hal apa yang ia ceritakan, Ibu?"

"Bahwa ibu Han Bi Lan, calon ibu mertuamu Liang Hong Yi itu, dahulu di waktu gadisnya adalah seorang...... pelacur terkenal di kota Cin-koan."

"Itu fitnah keji sekali, Ibu! Nyonya Ciang yang mengatakan begitu?"

"Ia mendengar dari suaminya, Pembesar Ciang Kui yang katanya dulu adalah seorang di antara langganan Liang Hong Yi."

"Keparat busuk! Dan tadi Ibu mengatakannya kepada Ayah?"

"Ya, ayahmu sekarang hendak mencari Pembesar Ciang untuk minta penjelasan."

"Baik, aku akan menyusul ke sana. Ciang Kui itu harus mempertanggung-jawabkan fitnah keji itu!" Setelah berkata demikian, Cun Ki berlari keluar.

Dengan langkah lebar Panglima Kwee memasuki pekarangan gedung pembesar Ciang Kui. Para pengawal sudah mengenalnya dan memberi hormat kepada panglima ini.

"Katakan kepada Pembesar Ciang bahwa aku, Panglima Kwee, minta bertemu sekarang juga. Cepat laksanakan!" Perintahnya kepada kepala regu penjaga.

Pengawal itu masuk ke dalam dan tak lama kemudian dia keluar lagi menemui Panglima Kwee.

"Ciang-taijin mempersilakan Ciang-kun masuk, ditunggu di kamar tamu."

Tiba-tiba terdengar seruan dari luar.

"Ayah, tunggu!" Panglima Kwee menoleh dan melihat Cun Ki datang berlari-lari.

"Mau apa kau ke sini?" tanya Panglima Kwee ketus karena kalau saja puteranya itu tidak rewel minta dijodohkan dengan Bi Lan, berita tentang Liang Hong Yi tentu tidak menimbulkan geger dalam keluarganya seperti ini.

"Ayah, aku sudah mendengar dari ibu. Ciang-taijin harus mempertanggung-jawabkan fitnahnya itu! Aku ikut menemuinya, Ayah!"

Panglima Kwee dapat memaklumi betapa remuk hati puteranya mendengar berita itu, maka dia mengangguk dan mengajak puteranya masuk.

"Di depan Ciang-taijin nanti jangan bicara apa-apa. Biar aku saja yang bicara dengannya."

Cun Ki mengangguk.

Pembesar Ciang sudah mendengar dari isterinya bahwa isterinya telah membongkar rahasia Liang Hong Yi itu kepada Nyonya Kwee, maka kedatangan Panglima Kwee dan puteranya itu tidak mengejutkan hatinya. Dia bangkit dan tersenyum ramah ketika Panglima Kwee dan Cun Ki memasuki ruangan tamu.
"Ah, Kwee-ciangkun dan Kwee-kongcu (Tuan Muda Kwee)! Silakan duduk." Dia mempersilakan.

Dua orang tamu itu sambil menahan kesabaran mereka duduk berhadapan dengan tuan rumah.

"Ciang-taijin, kami tidak berpanjang kata. Kedatangan kami ini ingin minta pertanggungan-jawabmu atas apa yang diceritakan isteri Anda kepada isteriku!"

Ciang Kui tersenyum dan meraba kumisnya yang tipis. Dia adalah seorang pria yang dalam usianya yang sudah limapuluh tahun itu masih tampak tampan.

"Tenanglah, Kwee-ciangkun. Cerita isteriku yang manakah yang kauminta pertanggungan-jawabku?"

"Cerita tentang Liang Hong Yi, bahwa ia dahulu adalah seorang pelacur di Cin-koan dan Anda adalah seorang di antara para langganannya!" kata Kwee-ciangkun dengan muka merah dan nada suaranya marah.

"Oh, itu? Aih, mulut wanita memang jauh jangkauannya. Berita itu hanya membuat aku malu saja, Kwee-ciangkun. Akan tetapi mengapa engkau tanyakan hal itu kepadaku? Kalau aku yang mengatakan, mungkin engkau tidak akan percaya dan menuduh aku menyebar fitnah. Mengapa engkau dan puteramu tidak langsung saja pergi ke Cin-koan dan mencari keterangan di sana betul tidak dahulu ada Rumah Pelesir Bunga Seruni yang diasuh oleh Lu-ma dan bahwa Liang Hong Yi adalah kembangnya rumah pelesir itu? Kalau engkau sudah menyelidiki di sana dan ternyata bahwa omonganku bohong, barulah engkau ke sini minta pertanggungan-jawabku. Bukankah itu adil, daripada belum apa-apa engkau sudah marah-marah?"

Kwee-ciangkun bangkit berdiri, diikuti oleh Cun Ki. Dia mengangguk dan menjawab.

"Baik, dan kalau ternyata Anda bohong, aku pasti akan menuntutmu, Ciang-taijin!"

"Aku siap dituntut kalau omonganku, tidak benar, Kwee-ciangkun."

Panglima Kwee dan Cun Ki segera pulang. Nyonya Kwee menyambut mereka dengan wajah masih gelisah dan kedua pipi masih basah air mata.

"Bagaimana""?" tanyanya.

"Kami pulang untuk mengambil kuda, Ibu. Ayah dan aku akan menyelidiki apakah itu fitnah ataukah benar di kota Cin-koan!" kata Cun Ki kepada ibunya.

"Yang celaka sekali kalau berita itu benar adalah""" kata Kwee-ciangkun.

"Ada apa, suamiku?"

"Aku sudah mendapatkan seorang comblang dan kemarin dia sudah kusuruh berangkat ke dusun Kian-cung di dekat Telaga Barat mengajukan pinangan itu!"

"Wah, celaka""!" kata Nyonya Kwee.

"Jangan khawatir. Andaikata mereka menerima, masih belum terlambat untuk membatalkan ikatan perjodohan yang belum resmi itu!" kata Kwee-ciangkun sambil menoleh kepada puteranya.

"Tentu engkau setuju, bukan?"

Cun Ki menunduk.

"Aku menurut bagaimana keputusan Ayah saja."

Pikirannya sendiri sedang kalut. Kalau benar Ibu Bi Lan dahulunya seorang pelacur, ke mana dia harus menyembunyikan mukanya kalau semua orang mencemoohkannya bahwa ibu mertuanya seorang bekas pelacur? Maka dia tidak dapat mengambil keputusan dan menyerahkan saja kepada orang tuanya.

Panglima Kwee dan puteranya segera membalapkan kuda menuju ke kota Cin-koan.

Nyonya Kwee menanti dengan hati berdebar-debar. Berbagai perasaan mengaduk hatinya. Ada rasa marah, malu, gelisah, akan tetapi di balik semua perasaan tidak enak ini, sembunyi rasa senang yang penuh harapan.

Memang pada dasarnya ia tidak senang mempunyai menantu seorang gadis liar pendekar pedang seperti Bi Lan, dan ia hanya mengalah karena tidak ingin melihat puteranya mogok tidak mau menikah. Kini timbul harapan baru di hatinya. Kalau berita itu benar, sudah pasti Cun Ki tidak akan sudi memperisteri anak seorang bekas pelacur! Akan tetapi diam-diam ia pun merasa kasihan juga kepada Han Si Tiong dan Liang Hong Yi yang telah dikenalnya. dengan baik sejak mereka berdua masih tinggal di kota raja. Ia merasa sulit membayangkan apakah ia dan suaminya dapat menjadi sahabat baik suami isteri itu kalau mendengar akan masa lalu Liang Hong Yi.

Maka, terjadi kebimbangan dalam hati Nyonya Kwee. Kalau berita itu tidak benar, maka tentu suaminya akan menuntut Pembesar Ciang dan terjadi permusuhan atau setidaknya perasaan tidak enak di antara kedua keluarga itu. Padahal, ia akan merasa senang sekali kalau Cun Ki dapat menjadi suami Ciang Bi Hiang yang sudah dikenalnya sebagai seorang gadis yang cantik dan lemah lembut.

Baru menjelang sore Panglima Kwee dan Cun Ki pulang. Pelayan menyambut dan mengurus kuda mereka dan keduanya lalu memasuki gedung, disambut oleh Nyonya Kwee di pendapa karena sejak tadi nyonya ini sudah menanti dengan tidak sabar. Ia melihat suami dan puteranya tampak lesu.

"Bagaimana""?" tanya Nyonya Kwee kepada suami dan puteranya.

"Kita bicara di dalam!" kata Panglima Kwee dengan ketus, tanda bahwa dia dalam keadaan marah.





Mereka bertiga masuk ke dalam ruangan keluarga di mana para pelayan tidak ada yang berani masuk kalau tidak dipanggil. Mereka duduk mengelilingi meja setelah Cun Ki menutup daun pintu dan jendela.

"Nah, ceritakan, bagaimana hasilnya?" tanya Nyonya Kwee.

Panglima Kwee menghela napas panjang.

"Sungguh tidak pernah kusangka""! Siapa yang mengira, siapa yang dapat percaya bahwa seorang wanita yang begitu gagah perkasa, setia kepada suami dan kepada negara, yang begitu pandai membawa diri""?"

"Jadi benarkah apa yang dikatakan Nyonya Ciang itu?" tanya isterinya.

Panglima Kwee mengangguk.

"Sudah kami selidiki di kota Cin-koan dan hampir semua penduduk kota itu yang usianya sudah empatpuluh tahun ke atas, tahu belaka akan kenyataan itu. Memang benar Lu-ma mempunyai sebuah rumah pelesir yang disebut Bunga Seruni dan Liang Hong Yi adalah keponakannya dan dan biarpun ia hanya mau menerima langganan para bangsawan dari Cin-koan atau kota raja, namun jelas bahwa ia di waktu gadis menjadi seorang....... pelacur. Setelah ia menikah dengan Han Si Tiong, mereka berdua lalu meninggalkan Cin-koan"""

"Ahhh! Kalau begitu, tidak mungkin Cun Ki menjadi calon Han Bi Lan! Mana mungkin kita berbesan dengan seorang bekas pelacur? Dan alangkah rendah dan hinanya dalam pandangan semua orang kalau Cun Ki menjadi mantu pelacur. Bukankah begitu, Cun Ki?" kata Nyonya Kwee sambil menatap wajah puteranya.

Cun Ki menundukkan mukanya dan menghela napas berulang kali.

"Ibu, pikiranku kalut dan bingung, hatiku tertekan dan terpukul hebat oleh kenyataan pahit ini, maka tentang perjodohan terserah saja kepada Ayah dan Ibu. Aku menurut saja"", aku bingung, aku ingin tidur""!" Cun Ki lalu meninggalkan orang tuanya dan memasuki kamar, terus merebahkan diri tidur!

Suami isteri itu masih duduk berhadapan dan saling pandang dengan alis berkerut.

"Hemm, bagaimana sekarang? Mungkin comblang yang kusuruh itu sudah tiba di sana sekarang, mengajukan pinangannya."

Isterinya mengerutkan alis.

"Mengapa engkau begitu tergesa-gesa dan tidak membicarakannya dulu dengan aku dan langsung mengirim comblang ke sana?" Suara Nyonya Kwee mengandung teguran.

"Sudahlah, hal itu sudah terlanjur, tidak perlu dibicarakan lagi. Yang penting sekarang membicarakan hal yang akan datang. Aku sudah mengirim comblang untuk menyampaikan pinangan secara resmi. Masih baik kalau pinangan itu ditolak"""

"Huh, pinangan kita ditolak? Tidak mungkin sama sekali! Dulu pun ketika mereka berdua berada di sini, mereka menyatakan setuju kalau puteri mereka menjadi mantu kita. Aku yakin mereka berdua pasti menerima pinangan kita itu dengan hati senang dan bangga, merasa terangkat derajatnya. Huh!"

"Mungkin Han Si Tiong dan isterinya menerima dan menyetujui, akan tetapi bisa juga Han Bi Lan yang menolak lamaran itu."

"Gadis itu berani menolak pinangan kita untuk dijodohkan dengan anak kita? Hemm, memangnya siapa ia? Anak siapa? Mana mungkin menolak untuk menjadi isteri putera kita!" kata Nyonya Kwee, gemas.

"Jangan begitu. Bagaimanapun juga, yang pernah melakukan kesalahan adalah ibunya. Gadis itu sama sekali tidak berdosa."

"Tidak berdosa? Ia anak pelacur, dan ia seorang pembunuh kejam!"

"Sudahlah, tak baik membiarkan kebencian seperti itu. Mereka kan tidak pernah mengganggu atau merugikan kita, kenapa engkau menjadi begitu benci?"

"Mereka merupakan ancaman untuk nama baik dan kehormatan keluarga kita," Nyonya Kwee berseru marah.

"Sekarang kita bicarakan hal yang lebih penting. Tadi kukatakan andaikata pinangan itu ditolak, maka tidak ada masalah lagi. Yang kupikirkan, bagaimana kalau mereka menerima pinangan kita itu? Apa yang harus kukatakan kepada Han Si Tiong untuk membatalkannya? Kita baru saja meminang, masa dibatalkan begitu saja?"

"Katakan saja terus terang bahwa kita tidak sudi berbesan dengan seorang bekas pelacur, habis perkara! Mereka harus tahu diri, dong! Masa bekas pelacur mau berbesan dengan keluarga Panglima?"

"Hushh, jangan begitu. Rendam saja kemarahanmu dan mari kita bicara dengan kepala dingin. Biarpun bagaimana juga, kita sudah terlanjur meminang! Dan ini harus kita pertanggung-jawabkan. Bagaimana mungkin kita lalu tidak mengacuhkan mereka?"

"Kenapa pusing-pusing? Batalkan saja!"

"Kalau Han Si Tiong dan isterinya bertanya mengapa kita yang meminang lalu kita pula yang membatalkan? Apa alasan kita?"

"Bilang saja terus terang bahwa kita telah mendengar akan masa lalunya Liang Hong Yi dan kita tidak mau berbesan dengan seorang bekas pelacur!"

"Itu bukan pemecahan yang baik! Alasan seperti itu hanya memancing permusuhan. Ingat, Han Si Tiong adalah orang yang sudah berjasa terhadap kerajaan. Biarpun dia tidak mau memangku jabatan, namun Sribaginda sendiri tentu akan marah kalau mendengar dia diperlakukan sewenang-wenang. Dan kalau suami isteri itu marah, apalagi dibantu anak mereka yang amat lihai, sungguh keselamatan kita akan terancam. Kita harus mencari jalan yang baik agar urusan ini dapat diselesaikan dengan damai dan baik."

Suami isteri itu lalu berdiam diri, agaknya memutar otak mencari jalan keluar terbaik menghadapi persoalan itu. Nyonya Kwee mencari jalan terbaik, bukan saja yang terbaik bagi ia dan suaminya, akan tetapi terutama sekali untuk puteranya karena tadi ia melihat bahwa biarpun puteranya menyerahkan keputusannya kepada mereka berdua, tetap saja ia mengetahui bahwa puteranya itu mengalami patah hati dan menjadi sedih sekali.

Tiba-tiba wajahnya yang tadinya muram dan alisnya berkerut karena merasa bingung dan khawatir menghadapi urusan itu, kini menjadi cerah. Bibirnya tersenyum merekah dan sepasang matanya berbinar-binar.

"Hai, aku sudah mendapat akal! Akal yang baik sekali, suamiku!" serunya gembira.

Kwee-ciangkun memandang isterinya, alisnya masih berkerut karena dia tidak mengerti apa yang membuat isterinya bergembira menghadapi keadaan yang serba sulit itu.

"Hemm, akal bagaimanakah yang kau dapatkan?"

"Kita bukan saja harus mengatasi semua persoalan ini tanpa mendatangkan akibat buruk kepada kita, akan tetapi juga menjaga agar anak kita tidak mengalami patah hati dan bersedih karena tampaknya dia sudah benar-benar jatuh cinta kepada Han Bi Lan."

"Engkau benar, akan tetapi apa yang dapat kita lakukan selain menjodohkannya dengan gadis itu?"

"Ingat, suamiku yang baik. Sudah menjadi pendapat umum bahwa seorang laki-laki bangsawan dapat mengambil selir dari golongan apa pun juga. Lihat para pangeran itu. Ada di antara mereka yang mempunyai selir bekas pelacur! Nah, masih baik dan terhormat bagi Cun Ki kalau mengambil Han Bi Lan sebagai selirnya! Tidak akan ada orang mencela dan meremehkan nama dan kehormatan kita. Han Si Tiong dan isterinya juga tidak merasa ditolak atau dibatalkan ikatan perjodohan antara puterinya dan anak kita. Dan, yang penting sekali, anak kita tidak akan putus cinta, tidak akan patah hati karena dia bisa mendapatkan Han Bi Lan, biarpun hanya sebagai selirnya. Bagaimana pendapatmu?"

Wajah Kwee-ciangkun kini juga berseri dan dia memandang isterinya dengan kagum. Timbul kembali harapannya.

"Wah, engkau hebat, isteriku! Akalmu itu benar-benar cerdik dan sekaligus dapat membereskan semua persoalan! Benar sekali itu! Mari kita beritahu anak kita. Panggil dia ke sini!"

Nyionya Kwee segera pergi ke kamar puteranya. Ia mendapatkan pemuda itu tidur pulas.

"Ih, anak ini! Orang tuanya pusing mencari jalan keluar yang baik, dia malah ngorok! Hei, Cun Ki, bangun, Ayahmu ingin bicara denganmu!" Nyonya Kwee mengguncang pundak Cun Ki dan pemuda itu terbangun.

"Ada apakah, Ibu?"

"Mari ikut, Ayahmu menantimu, ingin bicara soal penting padamu."

Cun Ki mengikuti ibunya ke ruangan di mana ayahnya menunggu. Setelah puteranya duduki Panglima Kwee lalu berkata, "Cun Ki, Ayah dan Ibu telah menemukan cara yang tepat dan terbaik untuk mengatasi urusan perjodohanmu dengan Han Bi Lan."

Pemuda itu memandang wajah ayahnya dengan sinar mata penuh selidik.

"Dengan Han Bi Lan, Ayah? Apa yang Ayah maksudkan?"

"Begini, Cun Ki. Engkau tentu mengerti dengan jelas bahwa tidak mungkin engkau melanjutkan perjodohanmu dengan Bi Lan setelah engkau mendengar sendiri kenyataan tentang riwayat Ibunya."

Cun Ki mengerutkan alisnya: "Aku mengerti, Ayah dan kiranya tidak ada gunanya lagi membicarakan itu lebih lanjut, hanya akan mendatangkan kekecewaan saja."

"Akan tetapi kami telah menemukan jalan terbaik, Cun Ki. Engkau masih dapat menikah dengan Bi Lan, maksudku bukan menikah secara resmi, akan tetapi engkau dapat hidup bersama Bi Lan sebagai suami isteri."

"Maksud Ayah?"

"Begini, Cun Ki. Pinangan terhadap Bi Lan telah kita lakukan, dan kita tidak akan mencabut kembali pinangan itu, hanya saja pelaksanaannya yang diubah."

"Diubah bagaimana, Ayah?"

"Diubah agar Bi Lan tetap menjadi isterimu akan tetapi nama dan kehormatan keluarga kami tidak sampai tercemar karenanya. Yaitu, Bi Lan akan menjadi selirmu. Jadi tetap ia menjadi isterimu, akan tetapi bukan isteri yang sah atau isteri pertama. Karena itu, tidak perlu dirayakan dengan pernikahan. Kelak engkau akan kami pilihkan seorang gadis dari keluarga terhormat untuk menjadi isterimu, dan Bi Lan tetap menjadi selirmu. Nah, bukankah itu bagus sekali? Pertama, kita tidak perlu membatalkan pinangan kita sehingga tidak akan menyinggung perasaan Han Si Tiong, kedua, engkau akan tetap memiliki Bi Lan yang kaucinta, dan ketiga, perjodohanmu itu tidak akan mencemarkan nama dan kehormatan keluarga kita. Banyak pangeran dan bangsawan tinggi yang mengambil selir dari wanita golongan apapun juga, bahkan ada yang menjadikan seorang pelacur sebagai selirnya. Dan Bi Lan hanya anak bekas pelacur. Jadi segalanya dapat diatasi tanpa ada kekecewaan, kemarahan, permusuhan atau kedukaan. Bagaimana pendapatmu?"

Wajah pemuda itu juga berseri mendengar ucapan ayahnya.

"Wah, itu baik sekali, Ayah! Akan tetapi, bagaimana kalau Bi Lan tidak mau dijadikan selir?"

"Kalau ia menolak, berarti bahwa penolakan datang dari pihak mereka sehingga mereka tidak akan merasa ditolak dan tidak tersinggung. Siasat ini memang baik sekali, hasil pemikiran Ibumu. Jadi atau tidaknya engkau berjodoh dengan Han Bi Lan, tidak akan ada yang tersinggung. Mengertikah engkau maksud kami, Cun Ki?"

Pemuda itu mengangguk-angguk.

"Akan tetapi, untuk menyampaikan kepada mereka bahwa perjodohan ini berarti bahwa Bi Lan akan menjadi selirku, walaupun pertama kali aku kawin, kuserahkan kepada Ayah dan Ibu. Aku sendiri tidak berani menyampaikan."

"Serahkan saja kepadaku, Cun Ki! Aku yang akan bicara baik-baik kepada mereka, dan kalau mereka itu bijaksana, tentu mereka akan dapat menerima dengan senang hati," kata Nyonya Kwee.

Demikianlah, keputusan itu membuat keluarga Kwee menjadi tenang kembali dan mereka kini hanya menanti kembalinya comblang yang diutus Kwee-ciangkun melamar Han Bi Lan ke dusun Kian-cung di Telaga Barat.

Akan tetapi pada keesokan harinya, Keluarga Kwee mendapat kejutan besar. Mereka menanti-nanti kembalinya comblang yang diutus meminang Han Bi Lan akan tetapi pada siang hari keesokan harinya itu yang muncul bukan si comblang, melainkan Liang Hong Yi dan Han Bi Lan!

Tergopoh-gopoh Panglima Kwee, Nyonya Kwee, dan Kwee Cun Ki keluar menyambut dua orang tamu itu.

"Eh, kalian datang?" seru Nyonya Kwee dengan heran karena tidak menyangka sama sekali ibu dan anak itu datang, padahal si comblang belum kembali.

"Mana Adik Han Si Tiong? Mengapa tidak ikut datang?" tanya Panglima Kwee. Sedangkan Cun Ki hanya memandang saja kepada Bi Lan dan menurut penglihatannya, gadis itu semakin cantik menarik saja! Akan tetapi Bi Lan tidak memperhatikan pemuda itu karena ia sibuk merangkul ibunya yang sudah langsung menangis tersedu-sedu ketika Panglima Kwee menanyakan suaminya.

"Aih, mengapa engkau menangis? Apakah yang telah terjadi, Adik Liang Hong Yi?" tanya Nyonya Kwee.

Akan tetapi tangis Liang Hong Yi semakin mengguguk sehingga Panglima Kwee dan isterinya saling pandang dengan heran.

Cun Ki segera bertanya kepada Bi Lan.

"Lan-moi, ceritakanlah kepada kami, apa yang terjadi sehingga Ibumu menangis seperti ini?"

Bi Lan masih merangkul ibunya yang duduk di atas kursi dan mendengar itu, ia menjawab.

"Ayah telah tewas dibunuh orang."

Tentu saja keluarga Kwee terkejut sekali mendengar berita ini. Akan tetapi di balik kekagetan dan rasa iba ini terselip sedikit kelegaan hati Kwee-ciangkun, isteri dan puteranya karena dengan matinya Han Si Tiong, maka urusan yang mereka hadapi akan lebih ringan dan tidak lagi menyinggung perasaan Han Si Tiong yang menjadi sahabat baik Kwee-ciangkun.

"Ah, bagaimana hal itu dapat terjadi? Apakah pembunuhnya demikian saktinya sehingga engkau tidak mampu mencegahnya, Lan-moi?" tanya Cun Ki.

Setelah ibunya berhenti menangis, Bi Lan bercerita dengan singkat.

"Ketika aku datang, pembunuh-pembunuh itu telah pergi. Aku datang terlambat."

Kini Liang Hong Yi yang menjawab.

"Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis bernama Bouw Kiang dan Bong Siu Lan yang diutus oleh guru mereka Ouw Kan untuk membunuh kami. Suamiku tewas dan aku terluka di pundak."

"Jahanam Ouw Kan!" Panglima Kwee Gi mengumpat karena dia mengetahui bahwa yang dulu menculik Bi Lan adalah Ouw Kan juga.

"Paman Kwee berdua dan Kakak Cun Ki, aku harus mencari para pembunuh ayahku dan jahanam Ouw Kan itu, akan kubasmi mereka untuk membalas kematian ayah. Karena itu, aku mohon kepada Kalian agar Ibu untuk sementara tinggal di sini agar ia tidak sendirian," kata Bi Lan.

"Akan tetapi...... hal itu......"

"Ah, boleh saja ibumu untuk sementara tinggal di sini, Bi Lan!" Panglima Kwee memotong kata-kata isterinya tadi.

"Kwee-ciangkun dan Kwee-hujin (Nyonya Kwee), perkara itu dapat dibicarakan nanti. Sekarang yang terpenting, yang mendorong aku pergi ke kota raja ini, selain untuk menghibur diri, juga sengaja kami berkunjung ke sini untuk menentukan ikatan perjodohan anak-anak kita seperti yang ciang-kun berdua usulkan dahulu ketika aku dan suamiku berada di sini."

Kwee-ciangkun dan isterinya saling pandang. Ah, tentu pinangan itu sudah mereka terima, pikir mereka. Seperti sudah dijanjikan, yang hendak menyampaikan usul baru itu Nyonya Kwee, maka Kwee-ciangkun memberi isyarat kepada isterinya. Nyonya Kwee yang biasanya bersikap lembut, kini demi menjaga nama dan kehormatan keluarganya, memberanikan diri berkata dengan suara tegas.

"Adik Liang Hong Yi, kita sudah menyetujui akan perjodohan itu, akan tetapi terpaksa kami harus berterus terang bahwa kita tidak dapat merayakan pernikahan secara sah karena anakmu itu kami terima bukan sebagai isteri yang sah dari anak kami, melainkan sebagai seorang selir......"

"Ohhh""!" Liang Hong Yi terkejut sekali mendengar ini.

Sementara itu, Bi Lan yang sejak tadi mendengarkan dengan heran dan bingung, kini tidak dapat menahan lagi gejolak hatinya.

"Ibu, apa artinya semua ini? Siapa yang akan dijodohkan?!"

"Kwee-hujin mengapa begini?" teriak Liang Hong Yi tanpa menjawab pertanyaan anaknya karena hatinya sudah panas oleh ucapan Nyonya Kwee bahwa puterinya hanya akan dijadikan selir!

"Dengarlah dulu dengan hati tenang, Adik Liang Hong Yi," kata Nyonya Kwee dan Bi Lan terpaksa menahan gejolak hatinya dan ikut mendengarkan dengan hati penasaran.

"Memang ada sedikit kesalahan ketika kami mengirim comblang, yaitu kami tidak menjelaskam sifat perjodohan itu. Yang kami kehendaki adalah melamar Bi Lan untuk menjadi selir anak kami, bukan sebagai isteri yang sah."

"Gila! Ibu, apa-apaan ini?" Kembali Bi Lan berseru. Akan tetapi ibunya memandang kepadanya dengan muka merah karena Liang Hong Yi juga sudah menjadi marah dan penasaran.

"Tunggu dulu, Bi Lan!" katanya kepada puterinya, lalu ia menghadap Panglima Kwee dan isterinya dan suaranya terdengar lantang dan ketus.

"Kwee-ciangkun, dan Hujin, apa artinya penghinaan ini? Jelaskan mengapa memandang kami serendah itu!"

"Adik, Liang Hong Yi, tenanglah. Kami sama sekali tidak memandang rendah, akan tetapi ketentuan ini adalah demi kebaikan kita bersama. Terus terang saja, kami sudah mendengar tentang riwayat masa lalumu di Cin-koan, di rumah pelesir Bunga Seruni......"

"Ahhh......!" Wajah Liang Hong Yi menjadi pucat sekali dan ia terkulai, agaknya akan terjatuh dari kursinya kalau saja Bi Lan tidak segera merangkulnya.

"Maafkan kami, Adik Liang Hong Yi. Dengan adanya kenyataan itu, tentu engkau maklum bahwa tidak mungkin putera kami menjadi mantu yang sah darimu. Kita tidak mungkin berbesan. Akan tetapi kalau puterimu menjadi selir anak kami, hal itu lain lagi, tidak akan mencemarkan nama dan kehormatan keluarga kami dan anak kita tetap dapat hidup bersama......"

Tiba-tiba Liang Hong Yi menangis tersedu-sedu.

Bi Lan tak dapat menahan kemarahannya.

"Aku baru tahu sekarang! Paman Kwee dan Bibi maksudkan bahwa kalian melamar aku untuk dijadikan selir Kakak Kwee Cun Ki? Dan kalian berani menghina ibu seperti itu? Keparat! Apa dikira aku sudi menjadi selirnya? Menjadi isterinya pun aku tidak sudi! Dan belum apa-apa kalian telah menghina ibuku. Kalian sekeluarga tidak pantas menjadi sahabat baik, patutnya menjadi musuh-musuh kami! Hayo kalian cepat minta maaf kepada ibuku atau aku harus menggunakan kekerasan?"

Bi Lan menjulurkan tangannya dan sekali tangannya memegang kursi dan meremasnya, terdengar suara berdetakan dan kursi itu patah-patah, kini ia memegang sebatang kaki kursi untuk dijadikan senjata, matanya berapi-api penuh ancaman!

Kwee-ciangkun dan Kwee Cun Ki sudah bangkit dan mereka mencabut pedang untuk membela diri kalau Bi Lan menyerang.

"Bi Lan, jangan......!" Tiba-tiba Liang Hong Yi menjerit dan menubruk puterinya.

"Akan tetapi, Ibu! Mereka ini keterlaluan sekali menghina Ibu! Merendahkan kita seperti itu. Mereka harus minta maaf kepada Ibu, atau kalau tidak aku akan mengamuk!"

"Jangan......! Jangan, anakku...... mereka ...... mereka itu benar, aku...... aku...... memang tidak pantas berbesan dengan mereka. Bi Lan anakku, mari kita pergi, marilah, anakku......!" Liang Hong Yi menarik-narik tangan puterinya.

Dengan hati penuh kemarahan dan penasaran, Bi Lan terpaksa menaati ibunya. Ia melontarkan kaki kursi itu ke arah dinding dan dengan suara nyaring kaki kursi dari kayu itu menancap pada dinding seperti sebatang anak panah! Lalu ia membiarkan dirinya digandeng dan ditarik ibunya keluar dari gedung itu.

Setelah ibu dan anak itu pergi, Panglima Kwee, isteri dan puteranya duduk tertegun. Wajah mereka agak pucat karena tadi mereka merasa khawatir sekali. Tidak mereka sangka akan begini akibatnya.

Panglima Kwee menghela napas panjang.

"Aduh, aku merasa menyesal sekali bahwa persahabatanku, dengan Han Si Tiong akan menjadi putus seperti ini. Aku merasa menyesal sekali mendengar berita tentang masa lalunya Liang Hong Yi yang memaksa kita mengambil keputusan seperti ini......"

"Aku pun menyesal, suamiku. Akan tetapi bukan berita itu yang patut kita sesalkan, melainkan masa lalu Liang Hong Yi itu sendiri. Bagaimanapun juga sakit dan tidak enaknya, sekarang kita telah bebas dari ikatan perjodohan yang tidak kita sukai itu."

"Cun Ki, kami harap engkau tidak akan menjadi kecewa dan bersedih dengan terputusnya ikatan perjodohan ini," kata Panglima Kwee sambil menatap wajah puteranya yang masih agak pucat.

Kwee Cun Ki menghela napas panjang.

"Ayah dan Ibu, tidak dapat kusangkal bahwa aku tadinya amat kagum dan mencinta Han Bi Lan. Akan tetapi melihat sikapnya tadi, baru aku melihat betapa betul kata-kata Ibu bahwa ia tidak pantas menjadi mantu Ibu karena ia begitu kasar dan liar. Selain itu, aku sudah mendengar sendiri bahwa ia tidak sudi menikah denganku, maka aku tidak kecewa dan tidak bersedih. Di dunia ini bukan ia satu-satunya wanita."

Dalam hatinya, pemuda ini merasa mendongkol dan sakit juga mendengar betapa tadi Bi Lan menyatakan bahwa ia tidak sudi menjadi isterinya, apalagi selirnya.

Nyonya Kwee kini dapat tersenyum.

"Jangan khawatir, anakku. Aku akan mencarikan gadis yang lebih cantik, lebih terpelajar dan lebih lembut, lebih menghormat orang tua dan lebih dapat mencintamu, daripada gadis-gadis binal itu." Dalam benak Nyonya Kwee terbayang wajah Ciang Bi Hiang, puteri Pembesar Ciang Kui!

Demikianlah, biarpun Panglima Kwee merasa menyesal sekali karena terpaksa dia harus memutuskan hubungan yang tadinya erat sekali dengan keluarga mendiang Han Si Tiong, namun bagaimana juga dia merasa lega bahwa urusan perjodohan yang ruwet itu kini sudah lewat.

Liang Hong Yi menangis terisak-isak di dalam kamar losmen itu, duduk di tepi pembaringan, dirangkul oleh Bi Lan yang mencoba untuk menghiburnya. Nyonya itu merasa hancur hatinya dan kedukaan hatinya karena kehilangan suaminya masih belum reda, kini ia ditimpa lagi kedukaan yang lebih menghancurkan hatinya karena ia melihat betapa kebahagiaan puterinya hilang terkena kecemaran namanya. Baru sekarang ia merasa menyesal setengah mati bahwa dulu, ketika masih gadis, ia telah begitu rendah untuk mau menjual tubuhnya kepada para pemuda bangsawan demi membalas budi Lu-ma! Ah, ia menyesal sekali!

Di dunia ini, hanya Han Si Tiong seorang yang tidak memandang rendah dirinya yang pernah menjadi pelacur! Dan satu-satunya orang itu kini telah tiada! Semua orang tentu tidak akan jauh bedanya dari sikap keluarga Kwee memandang dirinya. Seorang bekas pelacur! Seorang sampah masyarakat, wanita yang sehina-hinanya! Dan bukan ia seorang yang harus memetik buah pahit sebagai akibatnya, melainkan kini puterinya, anak satu-satunya yang tersayang, harus pula merasakan buah akibat yang amat pahit itu!

"Aduh...... Thian...... sudikah Engkau mengampuni hambamu yang hina ini......?" Ia merintih dalam tangisnya.

"Ibu......, Ibu......! Mengapa Ibu menangis seperti ini? Ibu, apakah artinya semua ini? Tuduhan Nyonya Kwee tadi, masa lalu Ibu di kota Cin-koan, apa artinya itu? Bagaimana sih masa lalu Ibu ketika tinggal di Cin-koan sehingga mereka berani menghina Ibu seperti itu? Semestinya Ibu tidak mencegah aku membasmi orang-orang yang berani menghina lbu seperti itu!"

"Aih, jangan...... anakku. Mereka tidak bersalah...... mereka adalah orang-orang terhormat, orang-orang baik, sedangkan aku...... Ibumu ini...... ah, seorang wanita hina yang sudah cemar namanya......"

"Ibu, ceritakanlah semua ini! Ibu membuat aku menjadi penasaran!"

Liang Hong Yi menyusut air matanya. Dengan sepasang mata merah dan wajah agak pucat, jantungnya berdebar tegang membayangkan bagaimana nanti sikap anak tunggalnya kalau mendengar riwayatnya yang hitam, lalu berkata lirih, lambat-lambat, sambil memegangi kedua tangan anaknya, takut kalau ditinggal.

"Baiklah anakku. Dengarlah baik-baik, Ibumu akan menceritakan. Dahulu kurang lebih duapuluh tahun yang lalu, ada seorang gadis berusia delapan belas tahun yang tinggal bersama bibinya. Gadis itu adalah seorang anak yatim-piatu sejak kecil sekali. Ia tentu sudah terlantar dan mungkin mati kelaparan kalau saja ketika baru berusia tiga tahun itu ia tidak diambil dan dirawat bibinya sehingga menjadi dewasa. Bibinya amat sayang kepadanya, ia diajar segala macam kepandaian yang patut dipelajari seorang anak perempuan. Gadis itu berhutang budi besar sekali kepada bibinya. Akan tetapi bibinya itu seorang janda dan untuk membiayai hidupnya dan keponakannya, ia mempunyai pekerjaan yang tidak terhormat, yaitu membuka sebuah rumah pelesir yang menampung beberapa orang pelacur. Gadis itu sejak anak-anak sudah hidup di lingkungan para pelacur. Setelah ia berusia tujuhbelas tahun, para tamu banyak yang menginginkan dirinya. Akan tetapi bibinya mempertahankan. Setelah para pemuda bangsawan tinggi yang menginginkannya, bibinya itu membujuknya agar mau melayani pemuda bangsawan karena bibinya mulai diperas pembesar pemungut pajak sehingga kekurangan uang. Gadis itu merasa berhutang budi kepada bibinya dan tidak tahu cara lain untuk dapat membalas budinya. Maka ia lalu menyerah, menuruti keinginan bibinya, mulailah melayani para tamu bangsawan yang menginginkannya dengan harga tinggi. Ia menjadi pelacur tingkat tinggi dan para langganannya hanya pemuda-pemuda bangsawan pilihan bibinya yang sebetulnya amat sayang kepada keponakannya itu. Setelah setahun lamanya, menjadi pelacur, gadis itu bertemu dengan seorang pemuda dan saling jatuh cinta. Pemuda itu walaupun mengetahui bahwa gadis itu menjadi pelacur, tetap mau mengawininya. Mereka menikah dan pindah ke kota raja di mana mereka mendapatkan pekerjaan yang cukup terhormat. Kemudian, gadis yang menjadi isteri pemuda itu, melahirkan seorang anak. Engkaulah anak itu, Bi Lan. Gadis yang pernah menjadi pelacur di Cin-koan itu adalah...... aku, Ibumu ini......" Liang Hong Yi menundukkan mukanya, tidak berani memandang wajah anaknya.

Bi Lan merasa seolah disambar petir dan tubuhnya seperti kemasukan hawa panas dan dingin silih berganti, membuat wajahnya sebentar merah sebentar pucat. Kemudian meledaklah perasaan hatinya yang ditahan-tahan.

"Keparat! Jahanam Bibi yang menjerumuskan Ibu itu! Akan kubunuh ia!" Suaranya gemetar saking marahnya.

"Bibiku itu telah tewas terbunuh, Bi Lan. Ia adalah Lu-ma yang mengasuhmu sejak engkau lahir"""



Seketika lemas tubuh Bi Lan dan air matanya jatuh berderai, mulutnya merintih, "Ayah......!"

"Ayahmu seorang budiman. Dialah satu-satunya manusia yang tidak memandang hina padaku...... dan kuharap, kumohon...... engkau menjadi orang kedua yang tidak memandang hina......"

Akan tetapi Bi Lan sudah melompat dari tempat tidur, cepat ia membongkar buntalan pakaian, memisahkan dari pakaian ibunya, lalu mengambil pula sekantung uang bekal perjalanan mereka, meninggalkan pakaian ibunya dan bekal uang itu di atas meja, lalu membungkus pakaiannya sendiri. Wajahnya pucat sekali dan alisnya berkerut-kerut, kedua matanya basah, bibir bawahnya digigitnya sendiri.

Liang Hong Yi memandang dengan mata terbelalak, tubuhnya terasa lemah lunglai dan suaranya lirih gemetar, "Apa...... apa...... yang hendak...... kaulakukan,...... anakku......?"

"Aku tidak memandang hina kepada Ibu, akan tetapi aku tidak dapat tinggal bersama Ibu, aku harus pergi membalas kematian Ayah. Ibu, aku pergi!" Setelah berkata demikian, tubuh Han Bi Lan berkelebat keluar dari kamar losmen itu.

"Bi Lan...... anakku...... Bi Lan...... oohhhh......!" Liang Hong Yi berdiri, hendak mengejar, akan tetapi tubuhnya terkulai lemas dan ia roboh pingsan di atas lantai!

Akan tetapi Bi Lan tidak tahu apa yang terjadi dengan ibunya. Ia berlari cepat meninggalkan losmen itu dengan air mata bercucuran. Telinganya seolah mendengar ejekan dan cemooh dengan suara menertawakan.

"Engkau anak pelacur...... anak pelacur...... anak pelacur......!" Bi Lan mencoba menutupi kedua telinganya, namun suara itu masih terdengar terus, mengejar ke mana pun ia pergi. Ia menujukan langkahnya ke arah kota Cin-koan!

Sampai cukup lama Liang Hong Yi rebah telentang di atas lantai kamar losmen itu. Seorang pelayan wanita setengah tua membawa poci air teh dan cangkirnya memasuki kamar itu tanpa mengetuk karena ia mendapatkan daun pintu kamar itu sudah terbuka. Ketika ia melihat tubuh wanita yang menggeletak di atas lantai, ia terkejut sekali. Cepat ia menaruh poci dan cangkir ke atas meja lalu membungkuk dan mengguncang pundak Liang Hong Yi yang seperti tertidur itu.

"Toanio (Nyonya)......, Toanio......, bangunlah......! Aih, mengapa engkau tidur di bawah?"

Pelayan itu terus mengguncang pundak Liang Hong Yi, mengira bahwa tamu itu ketiduran di bawah! Ia memang belum pernah melihat orang pingsan sehingga tidak dapat membedakan antara orang pingsan dan orang tidur! Akan tetapi karena Liang Hong Yi memang sudah cukup lama jatuh pingsan dan memang sudah waktunya siuman, maka ketika pundaknya diguncang-guncang, ia membuka matanya. Ia segera teringat kepada puterinya, akan tetapi ketika membuka mata melihat wanita setengah tua, pelayan losmen itu, ia mengeluh lalu bangkit duduk. Baru ia menyadari bahwa tadi ia rebah di atas lantai.

"Aih, Toanio, mengapa Toanio tertidur di atas lantai?" pelayan itu bertanya sambil menyeringai, merasa lucu dan terheran.

Liang Hong Yi mencari-cari dengan pandang matanya, akan tetapi tidak melihat Bi Lan dan teringatlah ia betapa puterinya itu telah melarikan diri, meninggalkannya. Ia memandang ke arah meja dan di situ terdapat tumpukan pakaiannya dan kantung uang.

"Enci pelayan, apakah engkau tadi melihat puteriku pergi dari sini?" tanyanya kepada pelayan itu walaupun ia sudah tahu bahwa anaknya pergi meninggalkannya.

"Ya, saya melihatnya, Toanio. Bukankah puteri Toanio gadis cantik berpakaian serba merah muda? Tadi saya melihat ia pergi dengan tergesa-gesa meninggalkan losmen."

"Enci, saya juga mau pergi. Berapa saya harus membayar sewa kamarnya?"

Pelayan itu memandangnya dengan bengong.

"Toanio tidak jadi menginap di sini?"

"Tidak, aku ada urusan penting dan harus pergi sekarang juga," kata Liang Hong Yi sambil membungkus pakaian dan kantung uang itu.

"Karena Toanio belum bermalam dan hendak pergi sekarang, maka tidak usah Toanio membayar sewanya. Nanti akan saya laporkan kepada pengurus losmen."

Liang Hong Yi mengambil beberapa potong uang dan memberikannya kepada pelayan itu.

"Ambillah uang ini untuk membayar kerugian losmen dan selebihnya untukmu."

"Terima kasih, Toanio, terima kasih," pelayan wanita itu membungkuk-bungkuk senang karena uang itu lebih dari cukup untuk membayar sewa kamar satu malam dan kalau pengurus membolehkan tamu ini tidak membayar apa-apa karena belum menginap, berarti semua uang itu untuknya!

Liang Hong Yi membawa buntalan pakaiannya dan keluar dari losmen itu. Setelah keluar dari losmen, barulah ka membiarkan air matanya turun berderai membasahi pipinya. Ia tidak perduli kepada orang-orang yang berpapasan dengannya di jalan raya memandangnya dengan heran. Ia juga tidak tahu ke mana ia akan pergi. Ia tidak mampu memikirkan apa-apa lagi. Puterinya telah pergi meninggalkannya! Suaminya sudah lebih dulu meninggalkannya. Tiba-tiba terasa betapa amat sangat ia merindukan suaaminya. Ia seperti orang meraba-raba dalam kegelapan, ditinggalkan, kesepian, sendirian, hampa dan perasaan hatinya terasa pedih dan hancur.

"Kanda Han Si Tiong"", Tiong-ko suamiku"" kenapa engkau meninggalkan aku.......? Bawalah aku serta, suamiku......!" Ia tersedu dan melangkah tersaruk-saruk keluar dari kota raja. Para perajurit penjaga pintu gerbang kota raja juga merasa heran melihat ia menangis sambil melangkah terhuyung-huyung, akan tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa.

Hatinya perih, tubuhnya lunglai dan pikirannya kosong. Liang Hong Yi berjalan terus di bawah sinar matahari sampai menjelang senja. Kedua kakinya sudah lemas. Air matanya sudah kering. Mata yang membengkak dan merah karena tangis itu memandang ke depan dengan kosong, seperti mayat hidup karena mukanya pucat. Ia tidak memperdulikan lagi perutnya yang perih dan lapar, kerongkongannya yang haus dan kering. Ia hanya tahu bahwa ia harus berjalan, entah ke mana. Ia seperti sudah mati walaupun anggauta tubuhnya masih bergerak. Bibirnya yang kering itu tiada hentinya menyebut nama suaminya.

"Tiong-ko"" Tiong-ko"" Tiong-ko......!"

Tanpa ia sadari, ketika senja tiba, ia telah mendaki sebuah bukit dan tertatih-tatih melangkah sampai ke depan sebuah kuil. Pandang matanya kabur dan ia hanya samar-samar melihat kuil itu, lalu tubuhnya terguling roboh di atas tanah depan kuil. Pingsan!

Ketika Liang Hong Yi siuman dari pingsannya, pertama-tama hidungnya mencium bau sedap. Biasanya obat-obatan yang terdiri dari akar-akar, daun-daunan, dan rempa-rempa yang mengeluarkan bau sedap yang khas ini. Lalu ia membuka matanya. Segera ia bangkit duduk ketika melihat bahwa ia tadi rebah di atas sebuah dipan sederhana, dalam sebuah kamar yang kecil dan sederhana pula. Ia melihat buntalan pakaiannya di sudut kamar itu. Kamar itu gundul tanpa hiasan apa pun. Tubuhnya terasa ringan dan hangat, juga perutnya terasa hangat. Mulutnya juga merasakan kepahitan jamu yang mungkin telah diminumkan orang selagi ia pingsan.



JODOH SI NAGA LANGIT JILID 03

Ia teringat bahwa tadi ia berada di depan sebuah kuil ketika tiba-tiba segalanya menjadi gelap. Ia dapat menduga bahwa ia tadi tentu jatuh pingsan dan entah siapa yang telah menolongnya. Lalu teringatlah ia akan keadaan dirinya. Suami mati dan anak, meninggalkannya! Datang lagi kesedihan menyelimuti hatinya. Ah, mengapa ia ditolong orang? Mengapa tidak dibiarkannya saja ia mati menyusul suaminya? Betapa akan berbahagianya mati bertemu dan bersatu kembali dengan suaminya tercinta!

Langkah kaki lembut membuat ia menengok ke arah pintu. Seorang nikouw (Pendeta wanita Buddhis) memasuki kamar. Usianya sekitar enampuluh tahun, namun wajahnya masih tampak belum ada keriput dan sinar matanya lembut, mulutnya tersenyum penuh kesabaran. Sepotong wajah yang cerah, sabar dan penuh pengertian. Jubahnya kuning dan sederhana sekali. Kepalanya yang gundul ditutupi sebuah topi kain berwarna kuning pula.

Melihat nikouw itu, Liang Hong Yi lalu turun dari pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut di depannya, lalu meratap.

"Mengapa saya ditolong? Mengapa saya tidak dibiarkan mati saja? Saya ingin mati, saya ingin berkumpul kembali dengan suami saya yang tercinta""!"

"Omitohud! Anak yang baik, lahir dan mati tidak dapat ditentukan oleh keinginan kita! Kalau engkau dalam kehidupan ini merasa sengsara, apakah kaukira setelah mati akan terlepas daripada sengsara? Kalau suamimu sudah meninggal dunia lalu engkau menyusul mati, apakah kaukira kalian akan dapat berkumpul seperti ketika di dunia? Anak yang baik, mengapa engkau menjadi putus asa seperti ini? Tidak ada di dalam kehidupan ini kesusahan yang tidak dapat diatasi. Kesusahan dan kesenangan hanya permainan sementara saja dalam kehidupan manusia."

"Akan tetapi tidak ada gunanya lagi saya hidup! Suami dibunuh orang, anak satu-satunya meninggalkan saya karena marah mendengar bahwa ibunya, saya ini, adalah seorang bekas pelacur. Hidup saya hanya akan mencemarkan nama baik anak saya dan tidak ada orang yang sudi mengambil anak pelacur menjadi mantunya. Ah, dosa saya yang saya lakukan di waktu muda dulu kini akibatnya ditanggung oleh anak saya! Hanya suami saya seorang yang menghargai saya, tidak memandang rendah saya yang bekas pelacur. Maka saya ingin ikut dia, saya......"

"Omitohud! Tidak ada manusia sempurna tanpa dosa di dunia ini. Berbahagialah manusia yang menyadari akan dosa-dosanya, bertaubat lahir batin tidak akan mengulang kesalahannya. Akan tetapi sebaliknya celakalah orang yang merasa dirinya suci sendiri, angkuh dan pongah, karena sewaktu-waktu dia dapat terjeblos ke dalam jurang dosa yang lebih parah lagi." Kemudian nikouw itu berkata dengan suara penuh wibawa.

"Liang Hong Yi, angkat mukamu dan lihat, siapa pin-ni (aku)?"

Liang Hong Yi terkejut dari heran mendengar nikouw itu menyebut namanya. Ia mengangkat muka mengamati wajah wanita itu dan matanya terbelalak melihat wajah yang tersenyum itu, ingatannya melayang kembali keduapuluh lima tahun yang lalu ketika ia bertemu dengan seorang nikouw yang kemudian mengajar ilmu silat kepadanya.

"Subo (Ibu Guru)!" ia lalu merangkul kedua kaki nikouw itu dan menangis.

"Subo, ""teecu (murid) mohon ampun, Subo""!"

"Omitohud! Hong Yi, orang yang mengakui dosanya dan mau bertaubat, sudah pasti diberi ampun oleh Yang Maha Pengampun. Semua yang terjadi menimpa dirimu bersumber kepada dirimu sendiri, muridku. Karena itu, kalau benar engkau mengakui dosa dan mohon ampun dari Yang Maha Kuasa, terimalah segala yang terjadi padamu dengan hati ikhlas. Anggaplah sebagai penebus dosamu yang dijatuhkan Yang Maha Adil kepadamu. Tahukah engkau, bahwa keinginanmu untuk mati itu pun merupakan sebuah dosa baru yang tidak kalah buruknya?"

"Aduh, Subo....... teecu tidak berani lagi, teecu mohon agar Subo memenuhi sebuah permohonan terakhir dari teecu"..."

"Ahh, seorang guru sama dengan ayah ibu sendiri. Permohonan murid pasti akan dipenuhi asalkan permohonan itu masuk akal, pantas dan tidak melanggar kebenaran."

"Subo, teecu ingin menjadi biarawati. Biarlah teecu menebus dosa dan mendekatkan hati kepada Yang Maha Suci agar kelak teecu dapat membantu memberi petunjuk dan penerangan kepada orang-orang yang berada dalam kegelapan seperti yang teecu alami sekarang ini."

"Bangkit dan duduklah. Untuk menerimamu menjadi nikouw, pinni harus mengetahui dulu keadaanmu, keluargamu dan apa yang mendorongmu ingin menjadi nikouw. Duduklah dan ceritakan keadaanmu."

Liang Hong Yi bangkit dan duduk di atas sebuah bangku menghadapi Bian Hui Nikouw yang sudah duduk bersila di atas pembaringan. Dulu, ketika ia dilatih ilmu silat oleh Bian Hui Nikouw, pendeta wanita itu baru berusia hampir empatpuluh tahun. Kini sudah berusia enampuluh tahun, akan tetapi wajahnya masih segar seperti dulu, hanya ada garis-garis ketuaannya.

Setelah hatinya tenang terpengaruh oleh sikap gurunya yang tenang penuh damai itu, Liang Hong Yi lalu menceritakan semua pengalamannya, mulai dari ketika ia terpaksa menjadi pelacur untuk membalas budi kepada bibinya sampai akhirnya ia menikah dan mempunyai seorang anak perempuan yang kini sudah dewasa. Ia menceritakan tentang perjuangannya ikut suaminya membantu mendiang Jenderal Gak Hui, tentang kehidupannya sebagai suami isteri terhormat. Lalu ia menceritakan tentang Bi Lan yang diculik orang, sampai akhirnya anak yang hilang dalam usia tujuh tahun itu kembali setelah berusia sembilanbelas tahun. Akan tetapi kembalinya terlambat karena suaminya dan ia terluka oleh dua orang murid Ouw Kan yang membalas dendam atas kematian Pangeran Cu Si dari Kerajaan Kin dalam perang.

"Demikianlah, Subo. Karena teecu amat berduka kematian suami, maka teecu mengajak Bi Lan pergi ke kota raja untuk menemui keluarga Panglima Kwee Gi yang dulu menjanjikan akan menjodohkan putera mereka dengan Bi Lan. Akan tetapi setibanya di rumah mereka"" keluarga Kwee telah mengetahui akan masa lalu teecu sebagai seorang pelacur di kota Cin-koan dan mereka tidak mau mengambil Bi Lan sebagai mantu yang sah, hanya mau menerima Bi Lan untuk menjadi selir putera mereka. Teecu merasa malu sekali, Subo dan terpaksa teecu mengaku kepada Bi Lan, menceritakan semua itu kepada Bi Lan. Anak teecu itu menjadi marah sekali dan tadinya hendak mengamuk kepada keluarga Kwee akan tetapi teecu melarangnya. Ia lalu pergi meninggalkan teecu, katanya hendak membalas dendam kematian ayahnya. Teecu ditinggal seorang diri, suami dan anak telah pergi, teecu merasa kehilangan, kesepian dan putus asa. Teecu berjalan terus tanpa tujuan dan akhirnya, tidak kuat lagi dan roboh di depan kuil. Begitulah riwayat teecu, Subo."

"Omitohud! Semoga saja penderitaanmu sebagai hukuman ketika masih hidup ini akan meringankan perjalananmu, pulang kelak, Hong Yi. Ternyata sampai sekarang, Toat-beng Coa-ong Ouw Kan datuk utara itu masih belum sadar dari jalan sesat yang ditempuhnya. Karena engkau kini hidup sebatang kara, dan niatmu menjadi nikouw didasari keinginan untuk menebus dosa, baiklah pinni menerima permintaanmu."

Liang Hong Yi menjatuhkan diri berlutut.

"Terima kasih, Subo. Subo telah membuka jalan ke arah kehidupan baru bagi teecu."

"Duduklah, Hong Yi dan sekarang ketahuilah bahwa pinni secara kebetulan memang memimpin para nikouw yang berada di biara (kuil) Kwan-im-bio (Kuil Dewi Kwan Im) ini. Sudah lima tahun pinni tinggal di kuil ini dan menghentikan perantauan pinni. Agaknya memang kita sudah berjodoh, Hong Yi sehingga kebetulan pula engkau jatuh pingsan di luar kuil dan dibawa masuk oleh para nikouw."

Demikianlah, mulai hari itu, Liang Hong Yi diberi pelajaran tentang keagamaan, mempelajari kitab suci dan setelah pengetahuannya tentang agama dirasa cukup, iapun menjalani upacara cukur rambut sampai menjadi gundul dan menjadi nikouw dan diberi nama biarawati Tiong Ceng Nikouw (Biarawati Lurus Bersih), tinggal bersama limabelas orang nikouw yang berusia dari tujuhbelas sampai limapuluh tahun, dipimpin Bian Hui Nikouw. Karena Bian Hui Nikouw melihat bahwa Liang Hong Yi atau yang sekarang bernama Tiong Ceng Nikouw memiliki bakat besar dalam ilmu silat, maka ia menambahkan pelajaran ilmu silat yang lebih tinggi sehingga murid itu dapat memperdalam ilmu silatnya. Liang Hong Yi seolah sebuah perahu yang tadinya diombang-ambingkan badai lautan dan hampir tenggelam, kini telah menemukan pelabuhan yang aman dan tenteram. Kwan-im-bio itu berdiri di lereng Bukit Awan, tak jauh dari kota raja.

Han Bi Lan melakukan perjalanan cepat sekali menuju kota Cin-koan. Selama dalam perjalanan itu, wajahnya sebentar pucat sebentar merah, tanda bahwa hatinya dihimpit berbagai perasaan yang mendatangkan perasaan marah besar, malu dan juga kecewa. Seperti terngiang di kedua telinganya suara orang-orang di sepanjang perjalanan itu meneriakinya.

"Anak pelacur! Anak pelacur! Anak pelacur hina!"

"Keparat! Jahanam! Setan busuk!" Ia memaki lalu berlari kencang sekali bagaikan seekor kijang muda, melompat-lompat sehingga mereka yang kebetulan lewat itu terbelalak keheranan bercampur takjub melihat seorang gadis cantik berpakaian merah lari seperti angin cepatnya!

Begitu memasuki kota Cin-koan yang cukup ramai, di mana terdapat banyak toko penuh barang kebutuhan sehari-hari, toko pakaian dan sebagainya. Juga terdapat rumah makan dan losmen-losmen, gedung-gedung besar milik para hartawan dan bangsawan. Ketika Bi Lan berjalan-jalan sepanjang jalan raya yang ramai, dalam hatinya diam-diam merasa terharu karena kota inilah tempat tinggal ibunya di waktu kecil sampai dewasa, ia memperhatikan kanan kiri dan akhirnya ia menemukan apa yang dicarinya. Sebuah rumah yang cukup besar, dicat merah dan tampaknya terpelihara, bahkan pekarangannya bersih dan rapi, terdapat pot-pot tanaman bunga. Di depan rumah itu ada tulisan yang membuat ia berhenti melangkah dan memperhatikan.

"Rumah Hiburan Bunga Merah" demikian bunyi tulisan itu. Inilah yang dicarinya, pikir Bi Lan. Sebuah rumah hiburan, tentu rumah seperti ini yang dimaksudkan sebagai rumah pelesir di mana para pelacur menjajakan tubuhnya. Ia melihat banyak kuda yang bagus ditambatkan di kebun samping rumah. Tentu itu kuda tunggangan para tamu. Melihat kuda-kuda yang besar dan bagus itu, Bi Lan dapat menduga bahwa pemiliknya tentu golongan hartawan atau bangsawan. Tanpa ragu-ragu ia memasuki pekarangan yang cukup luas itu.

Tiga orang tukang pukul penjaga rumah hiburan itu, tiga orang laki-laki berusia kurang lebih tigapuluh tahun, segera menyambut kedatangan Bi Lan. Melihat yang datang seorang gadis yang cantik jelita, tiga orang jagoan itu menjadi heran. Apakah ini seorang "bunga" baru? Belum pernah mereka melihatnya dan sebagai jagoan penjaga rumah hiburan di mana terdapat banyak wanita cantik, mereka tidak biasa menggoda wanita karena hal itu dilarang oleh pemilik rumah hiburan. Akan tetapi mereka curiga kalau-kalau yang datang ini isteri seorang "tamu" yang berada di rumah hiburan. Kalau benar demikian, maka wanita ini dapat menimbulkan keributan di dalam.

"Tunggu dulu, Nona," kata seorang di antara mereka.

"Siapakah engkau dan ada keperluan apakah Nona masuk ke tempat ini? Kami tidak biasa menerima tamu wanita, hanya menerima tamu pria."

Biarpun hatinya sedang gundah, namun karena ia datang untuk mencari keterangan tentang ibunya, Han Bi Lan menahan kesabaran dan menjawab singkat.

"Aku datang untuk bertemu dengan pemilik rumah hiburan ini. Harap antarkan aku kepadanya atau laporkan kepadanya aku ingin bertemu dengannya."

Tiga orang jagoan itu tersenyum. Hemm, agaknya seorang calon "bunga" baru, pikir mereka. Hebat juga gadis ini. Kalau menjadi bunga di situ, pasti dapat mengalahkan semua bunga yang berada di situ!

"Baik, tunggu sebentar, akan kulaporkan kepada Ciu-ma," kata jagoan yang hidungnya pesek itu dan dia bergegas masuk ke dalam.

Dua jagoan yang menanti di luar bersama Bi Lan, memandang gadis itu penuh perhatian. Seorang di antara mereka yang matanya agak juling bertanya, "Nona, siapakah namamu?"

"Aku hanya akan memperkenalkan namaku kepada pemilik rumah ini," jawab Bi Lan dengan suara datar dan sambil lalu, sama sekali tidak memandang orang itu.

"Hei, Nona engkau cantik sekali. Kalau engkau menjadi bunga di sini, aku akan mencarikan seorang kongcu (tuan muda) yang kaya raya. Akan tetapi jangan lupa memberi uang jasa kepadaku."

Bi Lan tidak mengerti jelas maksud kata-kata itu, akan tetapi ia dapat mengira-ngira dan wajahnya sudah berubah merah. Baiknya sebelum ia naik darah, penjaga pertama tadi muncul dengan wajah menyeringai lebar.

"Nona dipanggil ke dalam. Ciu-ma menanti di serambi sebelah kiri sana." Dia menuding ke samping bangunan di mana terdapat serambi kecil. Ia mengangguk lalu berjalan menuju ke tempat itu.

Begitu ia memasuki serambi, seorang wanita berusia sekitar limapuluh tahun, berpakaian mewah, berhiaskan emas permata dan wajahnya berbedak dan bergincu tebal, keluar dari dalam. Begitu melihat Bi Lan, matanya terbelalak, wajahnya berseri dan senyumnya melebar dan ia tidak menyembunyikan kekagumannya. Pandang matanya yang berpengalaman itu mengamati wajah dan bentuk tubuh Bi Lan seperti seorang saudagar kuda meneliti seekor kuda yang akan dipilihnya. Dalam hati ia mencatat bahwa dalam diri gadis yang kini berdiri di depannya itu terdapat sumber uang yang deras mengalirkan uang memasuki koceknya! Maka, dengan ramah ia lalu menyambut gadis itu.

"Ah, selamat datang, Nona. Silakan duduk, mari-mari......!"

Bi Lan duduk berhadapan dengan wanita yang tubuhnya gembrot dan sikapnya genit itu, yang kalau bicara mengangkat-angkat sepasang alisnya yang dicukur kelimis lalu digambari garis hitam kecil melengkung.

"Nona, siapakah engkau dan bantuan apakah yang dapat kuberikan kepadamu?" Manis sekali ucapan itu, belum apa-apa sudah menawarkan bantuan!

"Namaku Han Bi Lan. Apakah Bibi ini yang dipanggil Ciu-ma dan pemilik rumah hiburan ini?"

"Betul, Nona. Akulah yang. dipanggil Ciu-ma, dan engkau pun mulai sekarang boleh menyebut aku Ciu-ma. Nah, katakan, apa yang engkau inginkan?"

"Sudah lamakah engkau mengusahakan rumah hiburan ini, Ciu-ma?"

"Eh? Mengapa engkau bertanya begitu, Nona jelita?"

"Aku hanya ingin tahu saja."

"Tentu saja sudah lama. Semenjak aku tidak menjadi gadis penghibur lagi, aku lalu menjadi penguasa rumah hiburan, sudah lebih dari duapuluh tahun."

Girang rasa hati Bi Lan. Tentu orang ini akan mengetahui dengan jelas keadaan dunia pelacuran pada duapuluh tahun yang lalu.

"Ciu-ma, aku ingin bertanya kepadamu. Apakah kurang Iebih duapuluh tahun yang lalu di kota ini terdapat seorang...... pelacur yang bernama Liang Hong Yi?"

"Duapuluh tahun yang lalu? Liang Hong Yi......, Hemm, kaumaksudkan Liang Hong Yi yang kabarnya kini menjadi isteri panglima perang di kota raja itu? Tentu saja aku tahu! Siapa yang tidak mengenal Liang Hong Yi pada waktu itu? Ia adalah ratunya bunga hiburan di kota Cin-koan ini! Langganannya hanya terdiri dari para bangsawan dan hartawan! Ia yang menjadi bintang di rumah hiburan Bunga Seruni yang dipimpin Lu-ma, yang kabarnya sekarang ikut keponakannya, Liang Hong Yi itu, tinggal di kota raja. Kenapa engkau menanyakan ia, Nona manis? Ia memang pelacur pilihan, cantik jelita dan jikalau seorang gadis seperti Nona ini suka, aku akan dapat membuatmu menjadi bintang seperti Liang Hong Yi itu!"

Hati Bi Lan mulai panas, akan tetapi ia tahu bahwa wanita ini tidak mempunyai kesalahan apapun, juga tidak ada sangkut pautnya dengan ibunya. Hatinya panas karena kini ia yakin bahwa ibunya benar-benar dahulu seorang pelacur tersohor di kota ini! Melihat Bi Lan terdiam dan hanya menundukkan mukanya, Ciu-ma mengira bahwa gadis itu mulai tertarik dengan tawarannya.

"Nona Han Bi Lan, engkau ingin melihat-lihat keadaan di dalam, silakan. Kehidupan di rumah ini penuh dengan kegembiraan, bergelimang kemewahan dan seorang gadis penghibur yang cantik dapat berenang di lautan uang. Mari ikut aku!"

Dalam keadaan hati tertekan oleh kenyataan pahit itu, Bi Lan menurut saja diajak masuk ke dalam oleh Ciu-ma. Ketika mereka memasuki sebuah ruangan yang luas sekali di mana terdapat banyak meja seperti di restoran besar, dan ada bangku-bangku panjang terhias kain beraneka warna, lantainya juga ditutupi permadani, perabot-perabotnya serba indah, terdapat banyak orang. Bi Lan menyapu ruangan itu dengan pandang matanya dan ia bergidik.

Ada belasan orang gadis di situ, rata-rata cantik dan pesolek, sikap mereka genit, dan mereka melayani belasan orang laki-laki yang kesemuanya berpakaian indah. Ada yang masih muda, ada pula yang setengah tua, akan tetapi kesemuanya jelas menunjukkan bahwa mereka itu orang kaya atau bangsawan.

Suasana di dalam ruangan itu ramai dan meriah. Setiap orang memiliki pasangan. Ada dua pasang sedang makan minum di sebuah meja, tampaknya dua orang laki-laki muda itu sudah mulai mabok dan tertawa-tawa, sedangkan dua orang pasangannya dengan genit merayu mereka. Ada pula yang duduk berpasang di atas bangku panjang sambil berpelukan dan saling berbisik mesra. Ada pula empat pasangan yang sedang bermain kartu di sebuah meja lain. Malah ada yang bercumbu di bangku yang terletak di sudut. Ada beberapa yang memasuki kamar yang banyak berderet di bagian belakang sambil berangkulan dan tertawa-tawa. Melihat semua ini, Bi Lan menjadi muak.

"Hei, Ciu-ma! Barang barukah itu? Cantik nian!" Seru seorang pria sambil menyeringai memandang Bi Lan. Semua orang menoleh dan memandang Bi Lan yang melangkah masuk dituntun Ciu-ma yang menyeringai lebar.

"Eh, Ciu-ma! Be!um pernah tersentuhkah ia? Kalau belum pernah, berikan kepadaku. Aku mau membayar berapa saja yang kauminta!"' seru seorang laki-laki berusia limapuluh tahun yang bertubuh gendut sekali sehingga kelihatan pendek. Tentu dia itu seorang yang kaya raya, melihat jari tangannya penuh cincin emas dengan batu-batu permata indah dan mahal. Dia sedang duduk dan memangku seorang gadis yang usianya belum ada duapuluh tahun.

Tiba-tiba Bi Lan merasa kepalanya pening. Ia memandang kepada gadis yang dipangku laki-laki gendut itu. Ia menggosok-gosok kedua matanya dengan tangan akan tetapi tetap saja yang dilihat dipangku dan dicumbu laki-laki gen-dut itu adalah ibunya, Liang Hong Yi!

Tiba-tiba ia tidak dapat menahan gejolak hatinya. Ibunya dipangku dan dicumbu laki-laki gendut itu! Bi Lan mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya sudah berkelebat, tahu-tahu sudah berada di depan Si Gendut itu.

"Jahanam! Kamu sampah masyarakat!" Tangannya menampar.

"Prokkk......!" Tubuh laki-laki gendut itu terpelanting dan gadis yang dipangkunya juga terpental. Laki-laki itu mengaduh-aduh sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan dan darah berlepotan di kedua tangannya karena bukit hidungnya telah remuk kena ditampar Bi Lan sehingga darahnya bercucuran. Bi Lan mendengar suara para gadis menjerit dan ketika ia memutar tubuh memandang ke sekeliling, ia semakin marah karena wajah para gadis itu berubah menjadi wajah ibunya. Ibunya dipeluk, dicumbu, dipangku dan diajak bersenang-senang oleh para pria di ruangan itu. Bi Lan mengeluarkan pekik melengking berulang-ulang.

"Jahanam semua! Kalian ini laki-laki yang mengotori dunia! Sudah sepatutnya laki-laki macam kalian ini dihajar!" Dan gadis itu bergerak cepat sekali, tubuhnya berkelebatan dan berturut-turut terdengar suara laki-laki mengaduh dan darah pun muncrat.

Ada yang bukit hidungnya hancur, ada yang daun telinganya tercabut putus ada yang sebelah matanya buta karena biji matanya tercokel keluar oleh jari tangan Bi Lan. Dalam waktu beberapa detik saja, tigabelas orang laki-laki yang kesemuanya adalah para bangsawan dan hartawan hidung belang yang menjadi langganan rumah pelesir itu, tidak seorang pun terluput dari hajaran Bi Lan. Muka mereka dibikin cacad dan dibiarkan tidak ada yang dibunuh, namun mereka menjadi orang-orang yang cacad mukanya untuk selama hidup. Para gadis pelacur itu tidak diganggu oleh Bi Lan. Mereka menjerit-jerit ngeri, bahkan Ciu-ma roboh pingsan.

Setelah pria terakhir dihajarnya dan Bi Lan yang kedua tangannya ternoda darah hendak melompat keluar, tiga orang jagoan yang berada di pekarangan tadi, tergopoh-gopoh memasuki ruangan itu karena mendengar jerit ketakutan para gadis pelacur.

Begitu memasuki ruangan dan melihat para tamu sudah roboh malang-melintang sambil merintih-rintih dan muka mereka berdarah, para jagoan itu terkejut bukan main. Melihat Bi Lan di situ dan kedua tangan gadis itu berlepotan darah, tiga orang jagoan ini segera dapat menduga apa yang terjadi. Gadis itu telah membuat kekacauan dan menyerang para tamu pria! Tiga orang jagoan cepat mencabut golok mereka dan tanpa banyak cakap lagi mereka bertiga lalu maju menerjang Bi Lan dengan bacokan golok mereka. Akan tetapi dengan sigap Bi Lan berkelebat lenyap. Selagi tiga orang itu kebingungan, tahu-tahu seorang dari mereka berteriak karena tiba-tiba tangan kanannya lumpuh dan goloknya telah dirampas Bi Lan. Dua orang yang lain cepat membalik dan menyerang.

"Trang-trang......!" Golok dua orang jagoan itu terpental dan terlepas dari pegangan mereka saking kuatnya Bi Lan menangkis dengan golok rampasannya.

"Hemm, kalian suka bertindak sewenang-wenang dengan tangan kanan kalian, maka tidak patut kalian mempunyai tangan kanan lagi!" Tiga kali sinar golok berkelebat disusul teriakan tiga orang itu dan ternyata lengan kanan mereka telah buntung sebatas siku! Bi Lan membuang golok ke atas lantai lalu sekali berkelebat tubuhnya sudah lenyap dari rumah itu.

Tentu saja rumah hiburan Bunga Merah itu menjadi gempar. Ketika berita tentang peristiwa mengerikan yang terjadi di rumah hiburan Bunga Merah itu tersiar keluar, pada saat itu terdengar pula berita bahwa di Rumah Hiburan Bunga Mawar dan Rumah Hiburan Teratai juga terjadi keributan dan peristiwa yang sama. Semua tamu pria dari kedua rumah hiburan itu, yang masing-masing jumlahnya belasan orang, terdiri dari laki-laki bangsawan dan hartawan, telah dirusak mukanya sehingga cacad oleh seorang gadis cantik jelita yang mengamuk seperti orang gila tanpa alasan apapun!

Tentu saja seluruh kota Cin-koan menjadi gempar. Para perwira keamanan juga geger dan mereka cepat mengerahkan pasukan keamanan untuk melakukan pengejaran hendak menangkap gadis pengacau itu. Akan tetapi Bi Lan sudah jauh meninggalkan kota Cin-koan. Berita ini mengejutkan sampai terdengar di kota raja karena banyak laki-laki bangsawan yang menjadi korban.

Ketika berita itu sampai ke rumah keluarga Panglima Kwee Gi, mereka menjadi terkejut sekali. Panglima Kwee Gi duduk terhenyak di atas kursi, berhadapan dengan isteri dan puteranya. Kwee-ciangkun menghela napas berulang-ulang, lalu berkata, "Ah, tidak salah lagi. Berita itu menyebutkan bahwa gadis cantik yang mengamuk itu berpakaian serba merah muda. Siapa lagi kalau bukan Han Bi Lan? Agaknya ia pergi ke Cin-koan dan setelah mendapat berita tentang ibunya, ia marah kepada semua laki-laki yang berkunjung ke rumah pelacuran dan menghajar mereka dengan membikin cacad wajah mereka! Tigapuluh orang lebih, hampir empatpuluh orang bangsawan dan hartawan ia hajar. Betapa mengerikan!"

"Aih jangan-jangan ia akan mengamuk di sini!" kata Nyonya Kwee dengan suara gemetar.

"Tidak mungkin ia mau melakukan itu karena ia tahu bahwa kita tidak menuduh palsu, tahu bahwa kita tidak bersalah. Kasihan gadis itu. Aku dapat merasakan betapa hancur hatinya, mengetahui bahwa ia anak bekas pelacur. Maka ia mendendam kepada semua pria yang berkunjung ke rumah pelacuran. Aih, kalau tahu akan begini jadinya, pasti kularang engkau membuka rahasia tentang Liang Hong Yi sehingga rahasia itu akan tetap tertutup dan tidak diketahui Bi Lan."

Kwee Cun Ki diam saja, hanya menundukkan mukanya. Karena dengan tegas Bi Lan sudah mengatakan bahwa gadis itu tidak sudi menjadi selir atau isterinya yang sah sekalipun, maka dia telah melepaskan perasaan cintanya terhadap gadis itu. Malah diam-diam dia bersyukur bahwa ikatan perjodohan itu tidak jadi karena biarpun dia sendiri seorang yang berjiwa pendekar, mempertahankan keadilan dan kebenaran, namun hatinya merasa ngeri juga mendengar sepak-terjang Bi Lan yang dianggap terlalu sadis!

Sementara itu, Bi Lan melarikan diri dari kota Cin-koan. Ia berhenti di tepi hutan dan mencuci tangan yang ternoda darah dengan air anak sungai. Di dalam hatinya terdapat kepuasan telah menghajar para pria hidung belang itu.

"Akan kuhajar semua laki-laki di dunia yang menyebabkan ibuku menjadi pelacur!" bisiknya kepada diri sendiri.

Kemudian, ia merasa lelah sekali, lelah karena tadi telah mengumbar nafsu amarahnya. Lelah, lapar dan haus. Ia duduk melamun di tepi anak sungai. Ia kini benar-benar sebatang kara, kehilangan ayah dan kehilangan ibu. Ayahnya dibunuh orang dan ibunya...... ah, ia tidak mau kembali kepada ibunya! Ia anggap ibunya sudah mati, bersama ayahnya! Sejak kecil Bi Lan dididik oleh Jit Kong Lhama, seorang pendeta Lhama dari Tibet yang memasuki dunia sesat. Karena itu, Bi Lan tumbuh menjadi dewasa dengan watak yang keras liar dan pemberani. Namun, karena pada dasarnya ia bukan seorang yang berhati jahat, tidak mau menuruti tarikan nafsu, apalagi setelah ia diaku sebagai murid Kun-lun-pai, ia menyesuaikan dirinya dan meniru tindakan para pendekar.

Bi Lan mengepal tinju. Ia akan membalas dendam kematian ayahnya. Akan dicarinya Ouw Kan dan kedua orang muridnya yang bernama Bong Siu Lan dan Bouw Kiang itu dan ia akan membunuh mereka bertiga. Ia akan membalas dendam ibunya yang ia anggap sudah mati. Ibunya dirusak dan "dibunuh" oleh para lelaki hidung belang. Ia akan memberi hajaran kepada semua lelaki hidung belang. Ia anggap bahwa para lelaki hidung belang itulah biang keladi pelacuran, karenanya semua harus dihajar dan dibikin cacad mukanya!

Ia juga masih mempunyai musuh yang harus dihajarnya, yaitu Souw Thian Liong! Kalau teringat betapa pemuda yang semula dikaguminya dan yang menarik hatinya itu telah menghinanya dan memukuli pinggulnya seperti seorang yang menghukum anaknya yang nakal, hatinya menjadi panas sekali. Akan tetapi untuk dapat membalas pemuda itu, ia harus memperdalam ilmu silatnya karena Thian Liong merupakan lawan yang amat tangguh!

Ia hanya mempunyai sebungkus pakaian, tidak mempunyai uang sedikit pun untuk membeli makanan dan minuman. Mudah, pikirnya. Gurunya, Jit Kong Lhama, selalu mengatakan bahwa kalau ia membutuhkan uang, ia boleh mencuri uang para pembesar atau hartawan. Para pembesar itu mengumpulkan uang dengan cara korupsi atau memeras rakyat. Adapun para hartawan itu lupa bahwa di kanan kirinya banyak orang demikian miskinnya sehingga untuk makan setiap hari saja tidak mempunyai cukup uang! Mereka itu kebanyakan pelit, lupa bahwa keuntungan banyak yang diperolehnya itu asalnya juga dari uang rakyat! Apalagi sekarang, para bangsawan dan hartawan itu yang lebih senang menghambur uang di rumah pelacuran daripada menolong rakyat yang kelaparan. Sudah sepatutnya kalau sebagian hartanya dikurangi, diambil untuk keperluan biaya perjalanan hidupnya!

Demikianlah, mulai peristiwa yang terjadi di kota Cin-koan dan yang menggegerkan itu, di dunia kang-ouw muncul seorang tokoh baru dengan sebutan Ang I Mo-li (Iblis Betina Baju Merah). Han Bi Lan disebut demikian karena ia dianggap sadis dan kejam seperti iblis betina yang selalu merusak muka pria yang melacur dan karena ia selalu berpakaian serba merah muda.

Sejak nama ini muncul, rumah-rumah pelacuran di kota-kota besar menjadi sepi. Para kongcu (tuan muda) hidung belang merasa ngeri kalau-kalau Ang I Mo-li muncul sewaktu mereka sedang berpelesir di rumah pelacuran. Adapun para hartawan yang kecurian uangnya, tidak begitu acuh karena yang dicuri hanya tidak seberapa baginya, walaupun bagi Bi Lan uang yang diambilnya dari kamar seorang hartawan cukup untuk biaya hidup selama tiga bulan!

Mereka bertiga duduk di luar pondok yang berdiri di puncak bukit itu. Pondok kayu, yang kokoh dan cukup besar, dengan pekarangan yang cukup luas mengelilingi pondok. Di pekarangan kanan kiri pondok ditanami pohon-pohon buah, dan di pekarangan depan ditanami tumbuh-tumbuhan yang dapat dipakai untuk pengobatan dan ada pula bunga-bunga beraneka warna. Nyaman sekali duduk di depan pondok di waktu pagi itu. Matahari tersenyum cerah, sinarnya menyengat, hanya mendatangkan kehangatan yang membangkitkan semangat. Pemandangan dari puncak Bukit Pelangi itu amat indah. Sebuah di antara ratusan bukit yang terdapat di Pegunungan Gobi. Orang menamakannya Bukit Pelangi karena seringkali tampak pelangi di bukit. itu.

Dia adalah seorang laki-laki berusia sekitar enampuluh dua tahun. Wajahnya masih tampak segar dan jauh lebih muda dari usianya. Rambutnya, sudah dihias uban namun terawat bersih seperti juga tampak pada wajah, kaki tangan, dan pakaiannya yang tampak terawat dan bersih. Sepasang alisnya hitam agak tipis, sepasang matanya tajam berwibawa namun sinarnya lembut. Hidungnya mancung dan mulutnya selalu menyungging senyuman penuh pengertian. Wajah yang agak bulat itu tampak masih tampan. Tubuhnya sedang namun berisi dan tegak sehingga dia tampak gagah.

Wajah itu bersih tanpa kumis dan jenggot. Pakaiannya yang bersih itu sederhana sekali, hanya kain kuning yang melibat-libat tubuhnya seperti yang biasa dipakai para pertapa. Sepatunya dari kain yang bawahnya berlapis besi. Rambutnya yang dihias uban panjang dan diikat ke atas dengan pita kain kuning pula.

Dia amat dikenal oleh penduduk pedusunan di sekitar bukit karena dia selalu mengulurkan tangan memberi pengobatan kepada mereka yang sedang sakit. Obatnya yang dari daun-daun dan rempa-rempa amat manjur sehingga dia dikenal sebagai Yok-sian (Dewa Obat atau Tabib Dewa). Di dunia kang-ouw dia terkenal dengan nama Tiong Lee Cin-jin. Namanya dihormati dan disegani semua tokoh dan aliran silat di dunia kang-ouw karena selain dia ahli pengobatan dan ahli silat yang sakti, juga dia terkenal baik dan bersikap adil dan bersahabat kepada semua golongan.

Bahkan belasan tahun yang lalu dia pernah merantau jauh ke dunia barat, melalui Pegunungan Himalaya, melalui Tibet untuk memperdalam ilmu-ilmunya. Ketika dia merantau itulah dia bisa mendapatkan kembali beberapa buah kitab milik perguruan-perguruan silat terkenal seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, dan Bu-tong-pai yang puluhan tahun lalu dicuri orang, dan dia mengembalikan semua kitab-kitab ilmu silat itu kepada mereka yang berhak.

Dua orang gadis yang duduk berhadapan dengan Tiong Lee Cin-jin itu berusia duapuluh tahun dan orang-orang tentu merasa terpesona karena kagum dan juga heran apabila melihat mereka bersama. Dua orang gadis itu cantik jelita dan mereka itu persis sama, baik wajah maupun bentuk tubuh mereka. Wajah mereka berbentuk bulat dengan dagu meruncing, kulitnya putih mulus dan kulit wajah mereka itu dihias warna merah pada kedua pipi bawah mata. Warna merah alami, bukan dengan alat kecantikan sehingga tampak segar dan manis sekali seperti bunga mawar yang sedang mekar. Mata mereka bersinar seperti bintang, hidung mancung dan bibir mereka merah membasah tanpa gincu. Bibir yang penuh berkulit tipis itu hidup, dapat bergerak-gerak dengan lincah dan manis bukan main. Mata dan mulut mereka itulah mengandung daya tarik yang amat kuat, terutama bagi mata pria yang memandangnya.

Tak mungkin ada orang dapat membedakan di antara mereka kalau saja mereka memakai pakaian dan menyanggul rambut dengan bentuk yang sama. Akan tetapi mereka memang sengaja tidak memakai pakaian yang sama, bahkan tatanan rambut mereka berbeda. Mereka sebetulnya adalah dua orang gadis kembar!

Yang seorang adalah Puteri Moguhai, puteri dari Raja Kin beribu seorang wanita pribumi Han yang bernama Tan Siang Lin dan menjadi selir Raja Kin (bangsa Nuchen). Sejak kecil ia belajar silat dan memiliki kepandaian tinggi sehingga di dunia persilatan ia dikenal sebagai Pek Hong Niocu (Nona Burung Hong Putih). Julukan ini ia dapatkan karena puteri ini selalu mengenakan hiasan rambut seekor burung Hong dari perak di rambutnya. Juga pakaiannya terbuat dari sutera serba putih. Sabuknya dari sutera merah itu juga menjadi senjata yang ampuh. Jubahnya dihias dengan, bulu indah di bagian lehernya. Rambutnya yang hitam panjang itu dikuncir tebal dengan ikatan pita merah sehingga tampak lucu dan di atas kepalanya terhias burung Hong perak itu. Di pinggangnya tampak sebatang pedang bengkok dengan gagang dan sarung pedang terukir indah, ukiran naga emas sebagai tanda Kerajaan Kin.

Adapun gadis yang kedua, yang lahir terakhir, adalah Thio Siang In. Ia pun terkenal sebagai pendekar wanita yang lihai. Ayahnya bernama Thio Ki dan ibunya adalah seorang puteri kepala suku Uigur yang bernama Miyana. Karena sepak-terjangnya gadis ini juga amat gagah perkasa dan ilmu silatnya juga lihai karena sesungguhnya ia adalah murid datuk Suku Uigur yang terkenal, yaitu Ouw Kan, maka namanya dikenal di dunia persilatan sebagai Ang Hwa Sian-li (Dewi Bunga Merah). Nama julukan ini karena selain ia cantik seperti dewi, juga ia selalu memakai setangkai bunga merah di rambutnya.

Kecantikannya sama persis dengan Puteri Moguhai, akan tetapi sanggul rambutnya seperti sanggul wanita Han. Mungkin karena ayahnya seorang pribumi Han, maka gadis ini juga berpakaian seperti seorang gadis Han, hanya pakaiannya serba hijau. Sebagai murid Ouw Kan, selain ilmu silat tinggi, juga Ang Hwa Sian-li Thio Siang In menguasai ilmu tentang racun. Karena gurunya Ouw Kan, tingkat kepandaiannya masih di bawah tingkat Paman Sie guru Puteri Moguhai, maka kepandaian Siang In juga masih sedikit kalah tinggi dibandingkan tingkat kepandaian Puteri Moguhai, yaitu sebelum mereka berdua selama satu tahun digembleng oleh Tiong Lee Cin-jin di Puncak Pelangi itu. Kini, tingkat kepandaian mereka seimbang, hanya kalau Puteri Moguhai memiliki ilmu silat yang bersih, karena sejak dulu ia mempelajari ilmu-ilmu dari kitab pemberian Tiong Lee Cin-jin.

Sebetulnya, dua orang gadis ini adalah saudara kembar dan ayah kandung mereka bukan lain adalah Tiong Lee Cin-jin sendiri. Di waktu mudanya, Tiong Lee Cin-jin yang bernama Sie Tiong Lee saling mencinta dengan Tan Siang Lin. Akan tetapi karena dia seorang pemuda miskin, orang tua Tan Siang Lin tidak mau menerimanya sebagai mantu, bahkan menyerahkan Siang Lin menjadi selir Raja Kin!

Siang Lin tidak berdaya menolak kehendak orang tuanya, akan tetapi karena ia sudah jatuh cinta benar kepada Sie Tiong Lee, maka ia lalu menyerahkan diri kepada pemuda itu. Sie Tiong Lee mula-mula menolak, akan tetapi karena Siang Lin mengancam akan membunuh diri kalau kekasihnya menolak, terpaksa Sie Tiong Lee menanggapi. Dari hubungan inilah, Siang Lin mengandung ketika ia diboyong ke istana Raja Kin. Ketika ia melahirkan, maka yang terlahir adalah sepasang anak perempuan kembar. Itulah Puteri Moguhai dan Thio Siang In.

Tentu saja Tan Siang Lin menjadi panik karena menurut kepercayaan Raja Kin, anak kembar berarti akan mendatangkan malapetaka dan mungkin kedua anak kembar itu akan dibinasakan, maka Tan Siang Lin lalu menyerahkan seorang di antara anak kembar itu kepada sahabat baiknya, yaitu puteri kepala Suku Uigur bernama Miyana yang telah menjadi janda muda tanpa anak. Miyana menerima dengan senang lalu melarikan anak kembar kedua, setelah secara diam-diam ia menyuruh bunuh bidan yang menolong kelahiran itu agar rahasia itu tersimpan rapat. Miyana lalu membawa anak itu pergi dan ia kemudian menikah dengan seorang Han bernama Thio Ki yang dapat menerima anak itu sebagai anak tirinya dan disayang seperti anak kandung. Anak itu lalu diberi nama Thio Siang In, sedangkan anak kembar yang pertama menjadi puteri Raja Kin dan diberi nama Puteri Moguhai!

Rahasia itu baru diketahui sepasang anak kembar itu setelah Tiong Lee Cin-jin menceritakan kepada mereka. Kemudian Tiong Lee Cin-jin membawa mereka berdua, yaitu puteri kembarnya, ke Puncak Pelangi untuk digembleng dengan ilmu-ilmu yang lebih tinggi, setelah dia memberi kabar kepada Raja Kin dan kepada Thio Ki bahwa dia ingin mengajarkan ilmunya kepada dua orang gadis itu. Raja Kin mau pun Thio Ki rela saja mendengar bahwa tokoh besar yang terkenal sakti dan dihormati semua orang itu menjadi guru anak mereka.

Demikianlah, selama setahun Tiong Lee Cin-jin menurunkan ilmu-ilmunya kepada dua orang puterinya. Dia pun memberi nama alias kepada Puteri Moguhai, yaitu Sie Pek Hong, sedangkan Thio Siang In menjadi Sie Siang In. Akan tetapi nama--nama ini hanya menjadi rahasia mereka karena di luar mereka masih bernama Puteri Moguhai dan Thio Siang In, atau lebih terkenal dengan sebutan Pek Hong Niocu dan Ang Hwa Sian-li. Setelah digembleng selama satu tahun, kini kedua orang gadis kembar itu memiliki tingkat kepandaian yang seimbang dan pada pagi hari itu, ayah dan dua orang puterinya itu bercakap-cakap di depan pondok.

"Nah, kuulangi sekali lagi, Pek Hong dan Siang In. Kalian berdua sudah selama satu tahun berada di sini memperdalam ilmu. Sekarang tiba saatnya bagi kalian untuk kembali kepada orang tua kalian masing-masing."

"Akan tetapi, Ayah. Berilah kami waktu untuk melayani Ayah di hari tua Ayah sekarang ini!" kata Pek Hong Niocu.

"Hemm, Pek Hong, kau lihat sendiri, Ayahmu ini masih kuat untuk mengurus diri sendiri, belum jompo, maka tidak perlu engkau mengkhawatirkan diriku."

"Ayah adalah Ayah kandung kami dan budi kebaikan Ayah sudah banyak sekali Ayah berikan kepada kami. Kalau tidak sekarang kami diberi kesempatan untuk sedikit membalas budi kebaikan Ayah dengan pelayanan kami, lalu kapan? Kami tidak ingin menjadi anak-anak yang tidak berbakti, Ayah!" bantah pula Ang Hwa Sian-li.

Mendengar bantahan adik kembarnya ini, Pek Hong Niocu mengangguk-angguk membenarkan.

Tiong Lee Cin-jin tertawa.

"Heh-he-he! Anak-anakku, ketahuilah bahwa berbakti berarti menyenangkan hati orang tua, dan menyenangkan hati orang tua berarti menaati semua perintah dan petunjuknya. Aku menghendaki kalian berdua kembali ke rumah orang tua kalian masing-masing, kalau kalian tidak menaati, berarti tidak membikin senang hatiku. Juga, orang tua kalian masing-masing yang menyayang kalian akan menjadi susah hatinya. Selama setahun di sini kalian sudah memperdalam ilmu silat, juga telah memperluas wawasan dan pandangan kalian tentang kehidupan. Nah, sekarang untuk yang penghabisan kalinya, aku memberi kesempatan kepada kalian untuk bertanya kepadaku apa yang kalian belum mengerti tentang kehidupan ini."

"Ayah, mengapa dalam kehidupan manusia di dunia ini begitu banyak terdapat kejahatan? Kalau Tuhan membenci kejahatan, mengapa Tuhan dengan kekuasaanNya tidak membasmi saja segala bentuk kejahatan itu?" tanya Pek Hong Niocu.

Tiong Lee Cin-jin tersenyum.

"Sian-cai (damai)......! Jangan menggunakan akal pikiran kita yang terbatas dan sempit, Pek Hong. Ketahuilah, segala sesuatu di alam semesta ini adalah ciptaan Tuhan dan memang sudah menjadi kehendaknya bahwa segala sesuatu itu ada dua sifat yang saling bertentangan namun saling menunjang keberadaan masing-masing. Bahkan perkembangan keadaan hasil ciptaan itu diadakan karena kedua sifat itu bertemu dan bersatu. Semua digerakkan oleh kekuasaan Tuhan yang disebut Im dan Yang (Positive dan Negative). Karena itu, terdapatlah kebaikan dan kejahatan, karena tanpa adanya yang satu, tidak akan ada pula yang lain. Keadaan mereka saling menunjang walaupun sifat keduanya saling bertentangan.

"Ada siang ada malam, ada panas ada dingin, ada pria ada wanita, dan selanjutnya. Kepada manusia telah dikaruniai hati akal pikiran dan kebebasan untuk menyesuaikan diri dan memilih, karena itu manusia diberi pengetahuan baik dan buruk untuk dapat menentukan pilihannya ini. Kalau malam gelap, kita mempergunakan akal pikiran untuk mengatasi kegelapan, kalau siang terang dan panas kita pun harus berupaya untuk mengatasinya dengan menjaga agar jangan langsung menatap matahari, kalau kepanasan kita berlindung kalau kehujanan kita berteduh.

"Demikian pula dengan adanya kejahatan. Kejahatan harus ada kalau ada kebaikan, karena kalau tidak ada yang jahat, mana mungkin ada yang baik? Kalau tidak ada perasaan susah, mana bisa merasakan senang? Nah, kita diberi kebebasan untuk memilih. Kalau kita melihat kejahatan dan kebaikan, mana yang kita pilih? Engkau tentu tahu, Pek Hong, bahwa engkau memilih kebaikan karena itu menentang kejahatan. Karena itu, kejahatan itu bagi kita ada manfaatnya juga, yaitu kejahatanlah yang membawa manusia berusaha untuk menjadi baik."

"Lalu bagaimana agar semua orang bersikap baik kepada kita, Ayah?" tanya pula Pek Hong Niocu.

"Sebabnya keluar dari kita dan akibatnya akan kembali kepada kita, Anakku. Menghormati, mengasihi, bersikap baik kepada orang lain berarti menanam sesuatu yang baik dan buahnya pasti baik pula dan menjadi bagian kita, karena orang lain tentu akan menghormati, mengasihi dan bersikap baik juga kepada kita. Kalau kita bersikap buruk kepada orang lain, tentu saja akibatnya orang lain pun akan bersikap buruk kepada kita. Melempar batu ke atas akan jatuh kembali kepada kita juga, menanam pohon kita mendapatkan buahnya sebaliknya menanam semak belukar kita mendapatkan durinya."

"Ayah," kini Ang Hwa Sian-li berkata.

"Saya melihat betapa kehidupan dalam dunia ini amat tidak adil. Ada orang-orang yang kaya raya ada pula yang miskin, ada pula pembesar yang berkuasa, ada pula rakyat kecil yang tak berdaya. Di mana adanya keadilan itu, Ayah?"

'Siang In, justeru keadaan itu menandakan adanya dua sifat Im dan Yang tadi. Justeru adanya perbedaan yang bertentangan itulah segalanya dapat berjalan baik. Coba bayangkan bagaimana kalau semua rakyat ini kaya raya? Kita semua akan kelaparan karena tidak ada yang mau bertani, tidak ada yang mau bekerja, tidak ada yang berjualan bahan makanan. Kalau semua orang kaya raya, maka kalau seseorang ingin makan dia harus menanam padi sendiri, lalu menumbuknya sendiri, memasaknya sendiri dan selanjutnya. Dapatkah kehidupan berlangsung seperti itu? Sebaliknya kalau semua rakyat miskin, kita semua akan menderita kekurangan dan kelaparan, karena tidak ada uang sama sekali untuk membeli dan mendatangkan segala keperluan hidup dari daerah lain.

"Si kaya membutuhkan si miskin dan si miskin membutuhkan si kaya. Si kaya sebagai pemilik modal memberi lapangan kerja bagi mereka yang miskin, sebaliknya si miskin sebagai tenaga kerja untuk melaksanakan terputarnya roda perusahaan si kaya. Mereka saling membutuhkan karena itu harus dapat bekerja sama yang baik karena kedua pihak saling menolong. Siapa yang lebih seyogianya menolong yang kurang, atau tepatnya, yang mendapat berkah yang berlebihan itu memang diadakan untuk menyalurkan berkah dari Tuhan itu kepada mereka yang membutuhkan. Tuhan yang menolong dan memberi kepada mereka yang membutuhkan itu, dan si kaya hanya menjadi perantara atau pembagi rejeki yang kesemuanya datang dari Tuhan.

"Adanya pembesar berkuasa atau kita sebut saja Raja yang berkuasa dan rakyat jelata yang lemah, itu pun sudah semestinya karena keduanya ada bukan untuk bertentangan, melainkan untuk saling menunjang demi kebaikan semuanya. Apa artinya Raja kalau tidak ada rakyatnya? Sebaliknya bagaimana jadinya dengan rakyat kalau tidak ada yang memimpin? Keduanya saling membutuhkan."

"Akan tetapi, Ayah. Saya melihat betapa banyaknya pembesar melakukan kecurangan dan korupsi untuk memperkaya diri sendiri, hampir semua pejabat kerajaan melakukan hal buruk itu, dari yang tinggi kedudukannya sampai yang paling rendah. Bagaimana caranya untuk mengatasi hal ini dan untuk memberantas hal ini agar kerajaan menjadi kuat tidak digerogoti para punggawanya sendiri sehingga kehidupan rakyat menjadi makmur?"

"Siang In, keadaan seperti itu memang selalu menjadi kelemahan kerajaan ini," Tiong Lee Cin-jin menarik napas panjang teringat akan mendiang Perdana Menteri Chin Kui dan seluruh bawahannya yang melakukan korupsi besar-besaran.

"Sebetulnya mudah saja. Pertama sekali, yang berada paling atas, yaitu Kaisar, haruslah membersihkan dirinya. Kalau Kaisar bersih tidak korup, tentu dia berani menegur dan menghukum para menterinya yang bertindak korup. Kemudian, Sang Menteri yang sudah bersih juga menindak bawahannya yang korup. Demikian seterusnya menurun ke bawah. Sang Atasan yang bersih pasti berani menindak bawahan yang kotor sampai kepada pejabat yang paling rendah kedudukannya. Kalau semua pejabat dan pemimpin sudah benar-benar bersih, maka akan mudah mengatur rakyatnya agar tertib dan makmur. Sebaliknya kalau atasan kotor, bagaimana mungkin dapat menindak bawahan yang kotor? Manusia membutuhkan tauladan, dan tauladan harus dimulai dari yang paling atas, terus menurun ke bawah."

"Akan tetapi yang paling atas itu menaulad siapa?" Pek Hong Niocu bertanya.

"Tentu saja menaulad Yang Paling Atas yang telah memberi petunjukNya melalui wahyuNya yang terdapat dalam kitab suci agama-agama di dunia. Setiap orang manusia telah diberi pengertian tentang perbuatan baik dan perbuatan jahat. Perbuatan baik adalah perbuatan yang bermanfaat dan membahagiakan orang-orang lain tanpa pamrih demi keuntungan diri sendiri. Sebaliknya perbuatan jahat bersumber kepada keinginan untuk menyenangkan diri sendiri dengan mencelakakan dan menyusahkan orang-orang lain.

"Sesungguhnya, anak-anakku, perbuatan baik atau jahat itu hanyalah penyaluran dari keadaan dalam hati kita. Kalau kita menyadari bahwa Tuhan menciptakan kita hidup di dunia ini mempunyai kewajiban yang harus kita laksanakan, yaitu berguna bagi manusia dan dunia, maka perbuatan baik itu hanyalah pelaksanaan kewajiban itu, sedangkan perbuatan jahat adalah pengingkaran diri dari kewajiban itu. Melakukan kebaikan kepada orang lain berarti melaksanakan kewajiban manusia hidup sebagaimana yang dikehendaki Tuhan. Pengingkaran terhadap kewajiban manusia hidup timbul dari kelemahan kita sendiri yang menghambakan diri kepada nafsu-nafsu kita sendiri yang dipergunakan Iblis untuk membujuk dan menjerat kita.

"Terserah kepada kita yang diberi kebebasan oleh Tuhan, hendak menjadi alat Tuhan ataukah menjadi alat iblis! Kalau menjadi alat Tuhan berarti dalam hati ini penuh rasa kasih sayang kepada sesama hidup dan buah daripada kasih sayang itu pasti perbuatan-perbuatan yang baik dan berguna bagi sesama kita. Sebaliknya, menjadi alat Iblis berarti dalam hati ini penuh dengan rasa cinta kepada diri sendiri, keinginan untuk menyenangkan diri sendiri terlalu besar sehingga terkadang tega mengorbankan dan mencelakai orang lain demi tercapainya kesenangan yang diinginkannya."




"Ayah, ada satu hal lagi yang ingin saya ketahui. Sering sekali saya mendengar orang berkata bahwa Thian (Tuhan) itu Maha Adil. Akan tetapi kenapa saya melihat banyak orang yang jahat keadaan hidupnya penuh kebahagiaan, kaya raya, terhormat dan tidak pernah kekurangan sesuatu, sebaliknya lebih banyak lagi orang yang dalam hidupnya menjadi orang baik-baik, tidak pernah melakukan kejahatan, akan tetapi hidupnya selalu sengsara, miskin dan serba kekurangan, banyak menderita kesusahan? Bukankah keadaan ini amat tidak adil, Ayah?"

Tiong Lee Cin-jin tersenyum.

"Pek Hong, mungkin pertanyaanmu ini menjadi pertanyaan jutaan orang manusia yang hidup di dunia ini dan yang merasa hidupnya serba kekurangan. Camkan baik-baik, Pek Hong, dan engkau juga, Siang In. Sudah menjadi anggapan umum yang salah bahwa kebahagiaan dan kesengsaraan hidup manusia ini dinilai dari kekayaan dan kemiskinan. Kita menganggap bahwa orang yang kaya itulah yang di berkahi Tuhan, sedangkan orang miskin tidak! Benarkah bahwa berkah dari Tuhan itu yang terpenting adalah harta kekayaan? Sehingga manusia mengukur berkah Tuhan itu dari kaya dan miskinnya seseorang?

"Anggapan itu sungguh picik dan bodoh sekali, anak-anakku. Berkah Tuhan itu berlimpahan kepada semua orang, bahkan semua mahluk yang hidup, bergerak maupun tak bergerak, semua itu sudah, sedang dan akan menerima berkah Tuhan, Sumber Abadi segala berkah! Berlimpah dan bermacam-macam, tak terhitung banyaknya! Dan ketahuilah, sadarlah bahwa harta kekayaan itu hanya menjadi sebagian saja dari berkah yang tak terhitung banyaknya.

"Kita menganggap hanya orang kaya saja yang mendapat berkah dan hidup senang karena hati kita sudah dibuat buta oleh kemilaunya harta benda! Bagaimana kalau orang kaya itu pendek umur? Tentu dia tidak mau karena di samping harta dia membutuhkan umur panjang. Bagaimana kalau si kaya menderita sakit berat? Hartanya tidak dapat menolong, berarti di samping harta benda dia membutuhkan pula kesehatan! Bukan hanya kesehatan dirinya, melainkan kesehatan seluruh keluarganya karena seorang saja di antara mereka sakit atau mati, kesenangannya karena memiliki harta benda takkan terasa lagi. Apakah hanya harta benda, sehat walafiat dan panjang umur saja yang bisa dianggap berkah. Apakah kalau orang sudah memiliki ketiganya itu dapat hidup bahagia? Juga tidak!

"Di samping kaya, sehat dan panjang umur, masih ada kebutuhan lain. Misalnya kerukunan rumah tangga, kerukunan antar manusia. Apa artinya kaya raya dan sehat kalau setiap hari suami cekcok dengan isterinya? Rumah gedung akan terasa seperti neraka! Harta banyak hanya akan memusingkan saja! Orang kaya raya akan rela mengorbankan seluruh kekayaannya asalkan dia sembuh dari penyakit yang berat dan mengancam nyawanya. Orang sehat berani mengorbankan kesehatannya untuk mengejar sesuatu yang dikehendakinya. Karena itu, keliru kalau dianggap bahwa kaya raya berarti berkah istimewa dari Tuhan sehingga kalau ada orang jahat kaya dan orang baik-baik miskin lalu dianggap bahwa Tuhan tidak adil! Keliru sama sekali. Tuhan Maha Adil, akan tetapi keadilanNya tidak dapat diukur, apalagi diukur dengan keadilan bagi manusia karena setiap orang manusia mengukur keadilan dari kepentingan diri sendiri. Kalau menguntungkan aku, namanya adil dan baik, kalau merugikan aku, adalah tidak adil dan buruk!"

"Wah, kalau direnungkan, kebenaran yang Ayah ungkapkan itu tidak dapat dibantah lagi!" kata Siang In.

"Kalau begitu, kekayaan itu berkah, akan tetapi kesehatan juga berkah yang tidak kalah nilainya! Akan tetapi, Ayah, mengapa pada umumnya orang kaya menganggap orang miskin sengsara, sebaliknya orang miskin menganggap orang kaya bahagia? Siapa yang benar dalam anggapan ini?"

"Anggapan itu sama salahnya. Anggapan itu muncul karena hati mereka telah dikuasai nafsu kebendaan sehingga kedua-duanya mengagung-agungkan harta benda saja, atau kesehatan saja, atau kerukunan saja. Ada yang mengagungkan kepandaian saja, atau kedudukan saja, dan sebagainya. Padahal kesemuanya itu hanya merupakan sebagian saja dari berkah Tuhan, hanya manusia yang menerima segala macam keadaan sebagai berkahNya dan bersyukur kepadaNya lalu menyalurkan segala berkah itu kepada sesamanya, dialah yang berhak merasakan apa sesungguhnya hidup tenteram, damai dan berbahagia itu."

"Menyalurkan segala berkah kepada sesama? Bagaimana maksud Ayah?"

"Segala berkah itu datang dari Thian, berarti segala sesuatu itu milik Thian. Kita hidup sebagai manusia mempunyai kewajiban, yaitu membawa kesejahteraan dalam dunia, khususnya terhadap sesama manusia dan umumnya kepada segala mahluk dan lingkungan. Kalau berkah harta yang dilimpahkan kepada kita, kita sepatutnya bersyukur dengan cara menyalurkan berkah itu kepada mereka yang benar-benar amat membutuhkan sehingga yang kaya menolong yang miskin. Kalau berkah itu berupa kepandaian yang berlebihan, sudah sepatutnya kita bersyukur dengan cara menyalurkan berkah itu kepada mereka yang memerlukannya sehingga yang pintar menolong yang bodoh. Kalau berkah itu berupa kekuatan, sudah sepatutnya kita menolong yang lemah. Yang kaya menolong yang miskin, yang pintar menolong yang bodoh, yang kuat menolong yang lemah. Demikianlah keadilan yang kiranya sesuai dengan kehendak Thian.

"Kami mengerti, Ayah," kata Sie Pek Hong atau Puteri Moguhai atau Pek Hong Niocu sambil memegang tangan kiri ayahnya dengan sikap manja dan tatapan mata penuh hormat dan kasih sayang.

"Akan tetapi, Ayah pernah mengatakan bahwa manusia hidup harus saling tolong, saling memberi. Lalu bagaimana dengan dia yang miskin, bodoh dan lemah. Apakah dia itu hanya tahunya minta saja tanpa mampu memberi apa pun? Apa yang dapat dia berikan kepada sesama manusia kalau dia miskin, bodoh dan lemah?"

"Pertanyaan yang bagus! Dan jawabnya semoga dapat menghilangkan rasa rendah diri dan rasa tiada guna bagi mereka yang merasa miskin, bodoh dan lemah. Mereka ini pun dapat memberi, bahkan memberi yang tidak kalah besar nilainya dibandingkan pemberian yang lain tadi. Yaitu, mereka dapat memberi kejujuran, kesetiaan, dan terutama sekali memberi sikap ramah, manis budi bahasa, senyum yang tulus, yang keluar dari hati penuh kasih kepada sesama manusia.

"Justeru pemberian ini merupakan kewajiban yang harus dilakukan semua orang, kaya miskin, pintar bodoh, kuat lemah tanpa kecuali. Andaikata engkau diberi harta kepandaian dan tenaga akan tetapi semua itu diberikan oleh orang dengan muka cemberut, dengan sikap menghina dan membenci, apakah engkau dapat menerimanya dengan senang? Bukankah lebih senang menerima tegur sapa yang ramah dan hormat, disertai senyum yang tulus dari seorang yang tidak mampu memberi harta dan sebagainya itu? Jadi, hati yang penuh kasih yang membuahkan ketulusan, kejujuran, kesetiaan dan keramahan itu bahkan jauh lebih tinggi nilainya daripada harta benda dan lain-lain yang hanya menyenangkan badan namun tidak mendatangkan kenyamanan di hati."



JODOH SI NAGA LANGIT JILID 04

Dua orang gadis itu mendengarkan penuh perhatian sambil memegang tangan ayah mereka. Pek Hong Niocu memegang tangan kiri dan Ang Hwa Sian-li memegang tangan kanan.

"Ayah, saya ingin tinggal di sini, bersama Ayah saja!" kata Ang Hwa Sian-li Thio Siang In atau sesungguhnya Sie Siang In dengan suara gemetar karena ia terharu.

"Saya juga, Ayah! Rasanya hanya dekat Ayah saya dapat merasa tenteram, penuh damai dan kehidupan terasa nyaman, nikmat dan penuh kebahagiaan," kata pula Pek Hong Niocu Sie Pek Hong atau Puteri Moguhai, juga ia merasa terharu dan rasanya ingin menangis karena harus berpisah dari ayah kandung yang mendatangkan kasih sayang amat mendalam di hatinya, setelah selama setahun tinggal bersama ayahnya di tempat sunyi itu.

"Aih, marilah kita belajar jangan terlalu menurutkan keinginan hati, akan tetapi harus menggunakan pertimbangan demi kebaikan semua pihak. Kalian merasa senang di sini, juga aku akan merasa senang kalau berdekatan dengan kalian kedua anak-anakku. Akan tetapi kesenangan kita itu menyusahkan hati kedua orang tua kalian! Aku sudah terbiasa merantau seorang diri, maka jangan mengkhawatirkan tentang diriku. Juga jangan lupa kalian sejak kecil telah bersusah payah mempelajari ilmu silat. Apa artinya menguasai ilmu kalau tidak dipergunakan dalam kehidupan? Maka, kalian harus kembali ke dunia ramai dan mengamalkan kepandaian kalian, tentu saja jangan lupa, mengamalkan demi kebaikan, membebaskan orang dari penindasan, membela kebenaran dan keadilan, menentang yang jahat. Nah, sekarang kalian pergilah, aku sendiri pun sudah terlalu lama di sini dan ingin merantau lagi."

Akan tetapi dua orang gadis itu masih memegangi kedua tangan ayah mereka, enggan melepaskannya.

"Ayah, saya belum ingin berpisah darimu!" kata Pek Hong Niocu.

"Kalau kita berpisah, kapan kita dapat saling bertemu kembali, Ayah?" kata Ang Hwa Sian-li.

Tiong Lee Cin-jin tertawa. Hati ayah mana yang tidak merasa senang melihat anak-anaknya demikian sayang kepadanya? "Ha-ha-ha, kalian tidak boleh cengeng begini! Ada waktu bertemu, ada waktu berkumpul, tentu akan diakhiri dengan waktu berpisah! Akan tetapi, setelah berpisah, bukan hal yang mustahil untuk bertemu kembali. Kita harus percaya bahwa ada saatnya kita akan dapat saling bertemu kembali, anak-anakku. Nah, sekarang berkemaslah. Kumpulkan pakaian kalian dan bersiaplah untuk berangkat!"

Kini dua orang gadis itu menyadari betul bahwa mereka berdua harus pergi meninggalkan ayah atau guru mereka, maka dengan patuh mereka lalu memasuki pondok dan berkemas dalam kamar mereka. Mereka membungkus pakaian mereka dengan kain lalu menggendong bungkusan masing-masing dan keluar dari pondok.

Setibanya di beranda, mereka melihat ayah mereka sedang duduk bersamadhi dan mereka berdua tahu bahwa dalam keadaan seperti itu ayah mereka tidak bisa diganggu karena apa pun yang mereka lakukan tidak akan mampu mem-buat ayah mereka terbangun! Mereka tahu bahwa ayah mereka tidak ingin terpengaruh oleh perasaan sendiri karena perpisahan dengan dua orang anaknya yang terkasih, maka sebelum mereka berangkat dia sudah tenggelam ke dalam samadhi. Pek Hong Niocu menahan isak, lalu merangkul leher ayahnya dan mencium kedua pipi ayahnya, baru melepaskannya. Perbuatan ini ditiru oleh Ang Hwa Sian-li.

"Selamat tinggal, Ayah." Mereka berkata hampir berbareng, lalu mereka melompat dari atas lantai beranda dan keluar. Demikian cepat gerakan mereka sehingga mereka seolah pandai menghilang! Kedua orang gadis ini ingin cepat meninggalkan ayah mereka karena kalau berlama-lama, mereka tentu tidak akan tega meninggalkan orang tua yang mereka kasihi itu.

Setelah tiba di kaki bukit, keduanya berhenti berlari dan memutar tubuh, memandang ke arah Puncak Pelangi dan keduanya menghela napas panjang.

"Kasihan Ayah, di sana seorang diri, kesepian," Ang Hwa Sian-li mengeluh.

"Ya, akan tetapi sudahlah. Kita tahu betapa bijaksana Ayah. Dia benar, kita tidak mungkin tinggal di sana terus. Orang tua kita pasti sudah amat menanti-nanti kita. Siang In, sekarang engkau hendak ke mana?"

"Tentu saja pulang, Pek Hong. Orang tuaku tinggal di kota Kang-cun, di lembah Sungai Kuning. Dan engkau?"

"Aku juga akan pulang ke kota raja. Kalau begitu, kita sama-sama menuju ke timur. Kita dapat melakukan perjalanan bersama sampai ke kota Kang-cun, di mana engkau akan berhenti dan aku melanjutkan perjalanan ke kota raja."

"Wah, bagus sekali. Kalau begitu, engkau harus singgah dulu di rumah kami dan engkau akan kuperkenalkan kepada ayah ibuku."

"Ah, senang sekali!" kata Pek Hong Niocu.

"Aku pun ingin sekali bertemu dengan Ibumu. Bibi Miyana itu adalah sahabat baik Ibuku, dan ialah yang menolong Ibu, bahkan menolong kita karena kalau tidak ada ia yang memisahkan kita, mungkin kita berdua sudah dibunuh oleh Kaisar Kin yang mempunyai kepercayaan aneh tentang orang kembar!"

"Aku pun kelak akan mengunjungimu, Pek Hong. Aku juga ingin dan rindu sekali untuk bertemu dengan ibumu...... eh, ibu kandungku juga!"

"Ya, datanglah, Siang In! Pertemuan itu pasti akan membahagiakan kita semua!"

Dua orang gadis itu sebentar saja sudah pulih lagi dalam sifat mereka yang memang biasanya selalu cerah ceria, cerdik dan lincah. Keharuan yang agak menyedihkan hati mereka karena harus berpisah dari ayah mereka, hanya sebentar saja menjadi mendung. Akan tetapi hanya mendung tipis yang mudah ditiup pergi angin lalu.

Souw Thian Liong tiba di sebuah dusun di kaki bukit. Akan tetapi sebelum ia memasuki dusun itu, dia melihat puluhan penduduk dusun, laki-laki dan perempuan, berbondong keluar dari dusun menuju ke bukit yang berada tidak jauh dari dusun itu, hanya sekitar dua lie (mil) jaraknya. Yang amat menarik hati Thian Liong adalah ketika dia melihat dua orang gadis muda, berusia sekitar enambelas tahun, berjalan di depan rombongan itu sambil menangis.

Dua orang gadis remaja itu mengenakan pakaian dari sutera merah dan wajah mereka cukup cantik. Rambut mereka diberi hiasan yang indah, mengingatkan Thian Liong akan pakaian pengantin wanita. Apakah dua orang gadis itu pengantin-pengantin yang sedang diantar rombongan itu menuju ke rumah calon suami mereka di dusun lain? Akan tetapi tidak mungkin kalau mereka itu hendak menikah karena selain dua orang gadis itu di sepanjang perjalanan menangis sedih, juga wajah rombongan yang terdiri dari sekitar empatpuluh orang itu semua tampak muram dan murung. Bahkan ada beberapa orang wanita dalam rombongan itu juga menangis! Rombongan itu lebih pantas sedang mengiringkan jenazah yang akan dimakamkan daripada mengiringkan pengantin wanita!

Tentu saja Thian Liong merasa tertarik sekali. Agaknya bukan rombongan pengiring pengantin, pikirnya. Atau, kalau benar mengiringkan pengantin, agaknya dua orang pengantin wanita itu dipaksa menjadi pengantin dan para penduduk itu tidak berani membantah. Apakah ada hartawan atau orang berpangkat yang memaksa gadis-gadis itu agar diantarkan ke rumahnya, mungkin di dusun atau kota lain, untuk dijadikan selir-selirnya? Dan para penduduk dusun ini tidak berani menolak paksaannya? Diam-diam Thian Liong membayangi, siap menolong kalau dua orang gadis itu benar-benar dipaksa orang untuk menikah di luar kehendak mereka. Siap pula untuk menentang orang yang menggunakan kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya kepada para penduduk dusun!

Rombongan itu ternyata menuju ke bukit, lalu mendaki bukit itu perlahan-lahan seolah merasa ragu atau takut. Dua orang gadis remaja tetap menangis sambil melangkah perlahan-lahan.

Ketika rombongan itu tiba di lereng bukit, mereka berhenti di depan sebuah kuil tua. Kuil itu agaknya kuil kuno yang tidak terpelihara. Temboknya ditumbuhi lumut dan sebagian ada yang retak, dan gentingnya juga banyak yang pecah. Thian Liong yang membayangi dari belakang mengintai dari balik sebatang pohon besar. Dia merasa semakin heran melihat betapa rombongan itu semua berhenti di depan kuil, di pekarangan kuil yang luas dan penuh daun kering. Dua orang gadis berpakaian merah itu tidak menangis lagi, akan tetapi dengan muka pucat dan mata terbelalak seperti dua ekor domba yang dibawa ke depan tempat penjagalan mereka memandang ke arah pintu kuil yang besar. Daun pintu kuil itu, dari kayu tebal yang pinggirnya sudah lapuk, tertutup.

Thian Liong juga memandang ke arah daun pintu yang tertutup itu dengan hati tegang. Dia belum dapat menduga apa yang akan dilakukan rombongan orang dusun itu dan mereka semua tampak begitu ketakutan. Apa yang sudah, sedang dan akan terjadi? Dengan menggunakan ilmunya meringankan tubuh, Thian Liong menyelinap dari pohon ke pohon dan mendekati mereka sehingga dia tidak hanya dapat melihat mereka, akan tetapi juga akan dapat mendengarkan percakapan mereka. Akan tetapi semua orang itu berdiam diri, tidak ada yang mengeluarkan suara sedikit pun, bahkan agaknya kebanyakan dari mereka menahan napas!

Bunyi berderit pada daun pintu mengejutkan semua orang yang segera memandang ke arah pintu. Daun pintu dibuka dari dalam dan kini pintunya ternganga lebar. Thian Liong juga memandang ke arah pintu dengan penuh perhatian. Tampak remang-remang sebuah meja sembahyang besar dengan hidangan sembahyang sebagai korban terdiri dari buah-buahan. Di belakang meja itu terdapat sehelai kain putih yang digambari seekor ular hitam besar dengan mata seolah bernyala mencorong dan moncongnya terbuka mengeluarkan api! Akan tetapi semua itu hanya tampak remang-remang karena ruangan itu dipenuhi asap yang mengepul keluar dari banyak hio (dupa) yang dibakar. Baunya harum-harum memusingkan, tercium sampai di tempat di mana Thian Liong mengintai.

Kemudian muncullah tiga orang dari dalam kuil dan mereka berdiri di depan pintu. Mereka adalah tiga orang laki-laki berusia sekitar tigapuluh tahun. Rambut mereka semua diikat ke atas dengan pita putih, akan tetapi pakaian mereka serba hitam. Di bagian dada terdapat lingkaran besar dengan dasar putih dan di tengah lingkaran terdapat gambar ular seperti yang dipasang di belakang meja sembahyang. Sepatu mereka juga hitam dan di punggung tiga orang itu tergantung sebatang pedang. Tubuh mereka tinggi besar dan kokoh. Wajah mereka tampak kaku menyeramkan, akan tetapi tampak serius seperti seorang yang agaknya tidak acuh lagi terhadap urusan dunia!

Seorang laki-laki berusia enampuluh tahun yang menjadi wakil penduduk karena dia adalah kepala dusun, melangkah maju dan segera memberi hormat kepada tiga orang berpakaian, hitam itu sambil membungkuk dalam.

"Sam-wi To-tiang (Bapak Pendeta Bertiga), kami datang untuk memenuhi perintah yang mulia Hek-coa-sian (Dewa Ular Hitam), menyerahkan dua orang gadis kami untuk menjadi pengantin Dewa Penjaga Bukit," kata kepala dusun dengan suara gemetar.

Seorang di antara tiga orang berpakaian hitam-hitam yang disebut bapak pendeta itu berkata, suaranya tegas dan lantang.

"Pimpin dua calon pengantin untuk sembahyang, baru kita akan mendengar sendiri dari Kauw-cu (ketua agama) Hek-coa-kauw (Perkumpulan Agama Ular Hitam) apakah persembahan ini dapat diterima oleh Hek-coa-sian ataukah tidak!"

"Baik, To-tiang. Mari, anak-anak, kita bersembahyang."

Kepala dusun itu lalu menggandeng tangan kedua orang gadis remaja yang wajahnya menjadi pucat sekali, dituntunnya memasuki pintu lebar setelah tiga orang pendeta perkumpulan Ular Hitam itu mundur memasuki ruangan sembahyang kuil itu. Para penduduk hanya melihat dari luar. Karena pintu itu memang lebar sekali, maka mereka dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi di ruangan sembahyang. Bahkan Thian Liong yang bersembunyi dan mengintai, juga dapat melihat ke dalam ruangan asap itu.

Dua orang gadis itu lalu disuruh bersembahyang, mengacungkan hio-swa (dupa biting) yang ujungnya membara, kemudian setelah dupa biting itu ditancapkan di hio-lou (tempat abu dupa), mereka berdua disuruh berlutut dan pai-kwi (menyembah dengan dahi menyentuh lantai) sampai delapan kali.

Setelah upacara sembahyang selesai, dua orang gadis itu dan si kepala dusun diminta agar keluar kembali dan berdiri di depan pintu seperti tadi.

"Kalian tunggu di sini. Kami akan mengundang Ketua kami yang akan memutuskan apakah Hek-coa-sian berkenan menerima dua orang gadis korban ini atau tidak." Setelah berkata demikian, tiga orang pendeta itu bersembahyang di depan meja sembahyang dan membakar banyak dupa sehingga di ruangan itu kini tertutup asap yang mengepul tebal. Terdengar seruan mereka.

"Kami mengundang, yang mulia Kauw-cu (Kepala Agama) untuk datang dan memberi penjelasan dan perintah!"

Tiba-tiba terdengar bunyi ledakan dan tampak asap hitam mengepul di tengah asap putih. Lalu dari asap hitam itu muncul seorang laki-laki yang tubuhnya seperti raksasa, matanya lebar mencorong. Tiga orang pendeta itu tampak kecil dibandingkan raksasa ini. Mukanya hitam menakutkan dan dia pun mengenakan pakaian hitam dengan tanda gambar ular hitam seperti tiga orang anak buahnya. Akan tetapi ada seekor ular hitam sebesar lengannya mengalungi leher dan tangan kirinya memegang leher ular itu dan kepala ular itu menjulur ke depan, moncongnya dan matanya kemerahan, lidahnya yang bercabang itu keluar masuk moncong. Semua orang merasa ngeri dan hampir tidak berani memandang raksasa hitam yang disebut sebagai kauw-cu (kepala agama) dari Hek-coa-kauw (Agama Ular Hitam) itu.

Kemudian terdengar raksasa hitam itu bicara. Suaranya parau dan besar, dengan logat asing.

"Hek-coa-sian dapat menerima korban dua orang gadis ini dan mau mengampuni semua penduduk. Akan tetapi Hek-coa-sian minta agar mereka menjalani dulu pembersihan diri dan berganti pakaian yang sudah disediakan, baru kita semua akan mengantar mereka ke puncak bukit. Kami minta dua orang wanita untuk memandikan mereka. Air kembang sudah tersedia di dalam, dan setelah dimandikan bersih, mereka harus diasapi dupa harum agar layak berdekatan dengan Dewa Ular Hitam!"

Seorang wanita setengah tua disuruh maju oleh kepala dusun. Dengan gemetar wanita itu menghampiri dua orang gadis. Akan tetapi dua orang gadis itu tiba-tiba menjerit dan menangis sehingga para penduduk menjadi terkejut dan ketakutan. Mereka takut kalau-kalau kerewelan dua orang gadis yang hendak dikorbankan itu akan membuat sang dewa marah dan mereka semua akan ditumpas binasa seperti yang telah diancamkan kepada mereka.

"Ah, diamlah kalian!" bentak kepala dusun, lalu dia memberi hormat kepada Hek-coa-kauwcu.

"Kauwcu, maafkan kami......"

Laki-laki bertubuh raksasa dengan muka hitam itu tertawa dan menghampiri dua orang gadis yang menangis tersedu-sedu. Kepala ular itu terjulur mendekati dua orang gadis, moncongnya agak terbuka dan lidahnya menjilat-jilat. Dua orang gadis ketakutan. Kepala ular mulai bergerak terayun ke kanan kiri. Dua orang gadis itu memandang dengan mata terbelalak dan mereka berhenti menangis. Hanya air mata mereka saja yang masih berlinang.

"Heh, dua orang Nona pengantin! Kalian taat dan akan melakukan segala perintah kami dengan senang hati. Mengerti?"

Aneh! Dua orang gadis itu mengangguk dan mereka tampak begitu penurut ketika wanita setengah tua itu, atas petunjuk seorang di antara tiga orang pendeta tadi menuntun mereka masuk. Mereka berdua dimandikan dengan air kembang kemudian diasapi dupa harum dan mereka taat dan sama sekali tidak membantah, juga tidak menangis lagi! Setelah mandi dan diasapi sehingga seluruh tubuh mereka selain bersih juga berbau harum bunga dan dupa, mereka lalu disuruh mengenakan pakaian dari sutera putih yang halus dan tembus pandang. Ketika mereka dituntun keluar, semua orang memandang dengan heran dan kagum. Dua orang gadis remaja itu tampak seolah dewi dari kahyangan, dengan pakaian sutera putih tipis itu.

Ketua agama Hek-coa-kauw itu lalu menggandeng tangan kedua orang gadis, di kanan kirinya, lalu mengajak mereka berdua berjalan keluar dari kuil dan mendaki ke puncak bukit. Para penduduk dusun diperbolehkan ikut untuk menyaksikan bahwa benar-benar dua orang gadis itu dikorbankan kepada Dewa Ular Hitam penjaga bukit. Berbondong-bondong semua orang mengikuti Hek-coa-kauwcu yang menggandeng dua orang gadis "pengantin" itu dengan kagum dan heran karena kini dua orang gadis itu sama sekali tidak sedih dan takut, tidak menangis lagi bahkan ada senyum berkembang di bibir mereka! Tiga orang pendeta atau anggauta Hek-coa-kauwcu tadi tidak ikut mendaki bukit. Semua orang mengira bahwa mereka bertiga bertugas di kuil dan tidak ikut naik ke puncak.

Karena letak kuil itu memang sudah dekat puncak, maka sebentar saja mereka sudah tiba di puncak. Semua orang memandang ngeri ke sebuah lubang besar seperti sumur yang dikelilingi batu-batu hitam. Itulah lubang yang oleh Hek-coa-kauwcu dinamakan pintu istana Dewa Ular Hitam! Sudah beberapa kali selama tiga bulan ini mereka menyaksikan korban dijatuhkan ke dalam lubang yang lebar itu. Bahkan kerbau pun dapat dimasukkan lubang itu!

Setelah Hek-coa-kauwcu dan dua orang gadis berdiri di tepi lubang dan dua orang gadis itu sama sekali tidak tampak takut, Hek-coa-kauwcu lalu mengadakan upacara sembahyang singkat. Dia membakar dupa sembahyang memberi hormat ke arah lubang dan berseru lantang sekali.

"Oh, Dewa Ular Hitam yang mulia! Terimalah korban persembahan penduduk dusun ini dan berkahi mereka semua!"

Setelah bersembahyang, raksasa muka hitam itu lalu menggunakan kedua tangannya yang besar, menangkap dua orang gadis itu dan...... melempar kedua orang gadis itu dalam lubang! Terdengar suara menggelegar dari bawah, suara yang bergema seperti guntur.

"Kami terima persembahan!"

Semua orang menundukkan muka. Ada yang berkemak-kemik sembahyang.

Hek-coa-kauwcu lalu melangkah menuruni puncak, diikuti oleh semua penduduk yang merasa ngeri dan tidak berani berlama-lama berada di puncak itu yang menjadi "istana" Dewa Ular hitam!

Akan tetapi kalau semua orang terburu-buru mengikuti Hek-coa-kauwcu menuruni puncak, ada dua orang wanita setengah tua turun tertatih-tatih lemas sambil menangis mereka tertinggal jauh sekali oleh orang-orang lain.

Tiba-tiba mereka berhenti melangkah dan terbelalak memandang seorang pemuda yang tiba-tiba muncul di depan mereka. Pemuda ini adalah Thian Liong. Dia menyaksikan semua yang terjadi. Sejak munculnya tiga orang pendeta tadi, dia sudah merasa curiga sekali. Apalagi setelah muncul Hek-coa-kauwcu yang menggunakan asap hitam tebal untuk muncul secara ajaib, lalu melihat betapa Hek-coa-kauwcu menggunakan sihir untuk membuat dua orang gadis itu menjadi penurut, hatinya sudah menduga bahwa dia berhadapan dengan orang-orang jahat yang berkedok agama sesat. Akan tetapi dia tidak segera turun tangan karena ingin melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.

Ketika dia melihat dua orang gadis itu benar-benar dilempar ke dalam sumur, dia terkejut. Tadinya dia mengira bahwa penjahat-penjahat itu akan mengambil dua orang gadis itu untuk mereka sendiri. Tidak tahunya mereka dilempar ke dalam sumur yang dinamakan "Pintu Istana Dewa Ular Hitam"! Dia menjadi ragu-ragu dan melihat dua orang wanita setengah tua itu pergi dengan lemas sambil menangis, dia cepat menghadang mereka.

"Jangan takut, Bibi!" katanya lembut melihat dua orang wanita itu memandang kepadanya dengan wajah ketakutan.

"Aku bukan penduduk sini, akan tetapi aku berniat menolong. Ceritakanlah mengapa kalian menangis?"

Melihat penampilan dan mendengar suara lembut Thian Liong, dua orang wanita itu tidak takut dan ragu-ragu lagi.

"Kami sedih karena dua orang gadis yang dikorbankan itu adalah puteri kami."

"Hemm, mengapa puteri kalian yang dikorbankan?"

"Karena anak-anak kami berdua itu termasuk cantik, dan juga karena kami sudah janda, maka kepala dusun dapat memaksa kami dua orang janda yang tidak berdaya untuk merelakan anak kami dijadikan korban."

"Akan tetapi apa yang terjadi? Siapakah Hek-coa-kauwcu itu dan mengapa para penduduk dusun menyerahkan anak gadis kalian sebakal korban kepada Dewa Ular Hitam? Siapa pula dewa itu?"

Secara bergantian, saling bantu dan saling melengkapi, dua orang janda itu bercerita. Dimulainya pada tiga bulan yang lalu. Tiga orang pendeta berpakaian hitam dengan gambar ular hitam di dada itu memasuki dusun dan memperkenalkan agama baru yang mereka namakan Hek-coa-kauw (Agama Ular Hitam) kepada mereka. Para pendeta itu mengatakan bahwa mereka menggunakan kuil tua di lereng bukit sebagai kuil mereka dan mereka mengundang para penduduk untuk bersembahyang ke kuil untuk mendapatkan bantuan berupa apa saja! Penyembuhan orang sakit, memperbanyak rejeki, mempermudah datangnya jodoh, meramal nasib dan sebagainya.

Para penduduk percaya, apa lagi setelah kabarnya banyak penduduk terkabul keinginan mereka. Dan yang lebih mengesankan, mereka melihat kemunculan ketua agama, yaitu Hek-coa-kauwcu secara gaib, melihat pula betapa ketua itu sakti dan pandai, semua orang semakin percaya dan tunduk. Kemudian mulailah Hek-coa-kauwcu, melalui tiga orang anak buahnya, mengajukan permintaan yang bukan-bukan.

"Mula-mula mereka minta agar korban berupa emas dan perak dihaturkan kepada Dewa Ular yang berdiam di puncak sebagai penjaga bukit. Kemudian mereka minta korban berupa ternak kerbau, kambing atau ayam, yang katanya perintah itu datangnya dari Dewa Ular Hitam.

"Kami percaya karena semua korban itu dilempar ke dalam sumur mengerikan itu!"

"Mengapa penduduk dusun menurut saja dan tidak menolak?" tanya Thian Liong heran.

"Mula-mula kami menolak, akan tetapi setiap kali ada satu permintaan tidak dipenuhi, pasti ada seorang penduduk yang tewas secara aneh, tanpa luka sedikit pun dan para pendeta itu mengatakan bahwa itu adalah kutuk dari Dewa Ular Hitam! Setelah ada lima orang yang tewas akibat penolakan kami, semua orang tidak berani lagi menolak. Bahkan ketika ada permintaan agar dikorbankan gadis-gadis cantik, tidak ada yang berani menolak. Sudah empat orang gadis dikorbankan, enam orang termasuk anak kami tadi." Dua orang janda itu menangis 1agi.

Thian Liong menekan hatinya agar jangan meledak kemarahannya. Sungguh jahat para penjahat yang menggunakan kedok agama baru itu! Harta benda dan hewan ternak para penduduk dusun yang hidupnya tak dapat dibilang berlebihan itu mereka minta dengan paksaan, bahkan enam orang gadis para penduduk dusun itu mereka ambil. Juga ada beberapa orang mereka bunuh untuk membuat para penduduk menjadi takut dan mulai menaati segala perintah para penjahat itu, memenuhi segala tuntutannya.

"Pulanglah, Bibi. Aku akan membebaskan anak-anak kalian dan membawa mereka pulang ke dusun kalian."

Setelah berkata demikian, sekali berkelebat tubuh Thian Liong sudah lenyap dari depan dua orang janda itu. Mereka terbelalak, saling pandang, lalu menjatuhkan diri berlutut menghaturkan terima kasih kepada Thian karena mereka merasa yakin bahwa Tuhan yang mengutus seorang dewa penolong untuk menyelamatkan dua orang anak mereka dan seluruh penduduk dusun!

Kemudian, setelah menghaturkan terima kasih, kedua orang janda ini berlari secepatnya pulang ke dusun mereka dan menceritakan kepada semua orang tentang pertemuan mereka dengan seorang dewa yang berjanji akan menolong dan memulangkan dua orang anak gadis mereka. Mendengar cerita ini, kepala dusun, lalu beramai-ramai melakukan sembahyang, menghaturkan terima kasih kepada Thian dan mendoakan semoga "pemuda dewa" yang akan menolong mereka itu akan berhasil membasmi Hek-coa-kauw yang jahat itu sehingga dusun mereka akan terbebas dari ancaman dan pemerasan pendeta itu.

Sementara itu, Thian Liong berlari cepat mendaki puncak itu dan setelah tiba di puncak, dia menghampiri lubang yang disebut sebagai pintu istana Dewa Ular Hitam! Dia melihat ke bawah. Gelap dan tidak tampak sesuatu karena bayangan batu-batu menutupi lubang itu sehingga gelap. Tadi, ketika dua orang gadis itu dilempar ke dalam sumur ini, tidak terdengar bunyi benda jatuh karena saat itu terdengar suara yang menggelegar dari bawah sehingga tentu saja suara itu menutupi semua suara lain yang keluar dari sumur itu.

Thian Liong mengambil sepotong batu dan melempar ke dalam sumur sambil mendengarkan dengan penuh perhatian. Pendengarannya sangat peka dan terlatih. Dalam waktu pendek dia mendengar suara, bukan berdebuknya suara batu jatuh di tanah, akan tetapi suara batu itu jatuh di tempat yang lunak karena yang tertangkap pendengarannya hanya suara "wutt!" yang lemah.

Mengandalkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang sudah tinggi tingkatnya, dia melayang ke dalam sumur sambil mencabut Thian-liong-kiam (Pedang Naga Terbang) untuk menjaga kalau kalau ada serangan menyambutnya. Akan tetapi serangan itu tidak ada, dan kakinya menyentuh tali temali. Cuaca di dasar sumur itu ternyata tidak terlalu gelap dan remang-remang dia dapat melihat bahwa dia hinggap di dalam kantung dari jala atau jaring terbuat dari tali yang kuat! Ah, kedua orang gadis itu tadi tentu tidak terluka dan terjatuh ke dalam jaring ini, pikirnya. Hemm, tidak salah dugaannya. Pelemparan korban ke dalam sumur itu hanya tipuan saja untuk mengelabuhi para penduduk dusun agar mereka percaya bahwa yang minta disediakan korban-korban itu benar-benar Dewa Ular Hitam penunggu bukit!

Akan tetapi Thian Liong mendengar langkah kaki mendatangi tempat itu. Ah, jaring ini pasti dihubungkan dengan suatu alat yang menggerakkan sesuatu yang menimbulkan suara atau tanda bahwa ada yang terjatuh ke dalam jaring. Dia mendengarkan dan tahu bahwa yang datang ada tiga orang. Dari langkah mereka itu dia dapat mengukur ilmu meringankan tubuh mereka. Memang lebih dari orang biasa, namun tidak berapa mengkhawatirkan bagi dia. Cepat dia menyarungkan pedangnya lalu menyembunyikan pedang itu di balik bajunya, diselipkan di balik baju di ikat pinggangnya. Dia ingin melihat apa yang akan dilakukan penjahat-penjahat itu.

Bersama dengan datangnya tiga orang itu, tampak sinar menerangi tempat itu. Ternyata seorang di antara mereka bertiga membawa sebatang obor yang bernyala terang. Thian Liong segera mengenal tiga wajah pendeta-pendeta yang tadi menyambut orang-orang dusun yang mengantar dua orang gadis ke kuil. Tiga orang tinggi besar yang memakai pakaian serba hitam dengan gambar ular hitam pada latar belakang lingkaran putih di dada.

Melihat bahwa yang terjatuh ke dalam jaring adalah seorang pemuda yang tidak mereka kenal, tiga orang itu mengerutkan alis dan dengan wajah beringas mereka mendekati Thian Liong yang seperti seekor ikan besar dalam jaring itu.

"Hei, siapa engkau?" seorang dari mereka membentak.

"Aku......?" Thian Liong bersikap ketakutan.

"Saya...... saya dimasukkan pintu istana Dewa Ular Hitam oleh penduduk dusun, dijadikan korban untuk menyenangkan hati Dewa yang mulia. Barang kali Dewa Ular Hitam membutuhkan seorang laki-laki sebagai pelayan."

"Hemm, boleh juga. Kita memang membutuhkan pelayan untuk disuruh-suruh," kata seorang dari mereka yang hidungnya besar seperti disengat tawon sehingga membengkak, kepada dua orang kawannya.

"Aaahh! Lebih baik kita bunuh saja orang lancang ini! Dia dapat membocorkan rahasia kita!" kata orang kedua yang kepalanya botak sehingga licin mengkilap ketika ditimpa sinar obor.

"Eh, kalian jangan tergesa-gesa mengambil keputusan seenaknya sendiri. Yang berhak mengambil keputusan adalah Gu-twako...... eh, Kauwcu. Mari kita bawa tawanan ini kepada Kauwcu, terserah kepadanya mau diapakan bocah ini. Mau di jadikan pelayan, atau dibunuh, kita tinggal melaksanakan. Kalau kita mendahului mengambil keputusan di luar tahunya, dia akan marah dan celakalah kita."

Dua orang yang lain membenarkan ucapan orang ketiga yang memakai jenggot pendek kaku seperti kawat dan matanya lebar. Mereka lalu melepaskan ikatan jaring sehingga Thian Liong terlepas dari jaring yang tergantung sekitar lima kaki (1,5 meter) dari tanah itu. Thian Liong membiarkan dirinya lemas sehingga dia jatuh berdebuk di atas tanah. Melihat betapa pemuda itu seorang lemah, maka tiga orang pendeta atau anak buah Hek-coa-kauw itu tidak merasa perlu untuk meringkus atau membelenggunya.

"Hayo jalan kau!" bentak Si Hidung Bengkak yang memegang obor sambil mendorong Thian Liong dengan tangan kiri. Tenaga dorongan itu cukup kuat dan tentu saja bagi Thian Liong tidak ada artinya. Akan tetapi dia pura-pura huyung, lalu dia melangkah maju memasuki terowongan yang jalannya menurun.

Diam-diam Thian Liong memperhitungkan. Terowongan itu cukup jauh, merupakan terowongan yang tingginya sekitar dua meter, lebarnya satu setengah meter. Hemm, kalau tidak salah perkiraannya, terowongan itu terus menurun menuju ke arah kuil! Setelah cukup jauh mereka berjalan, mereka tiba di sebuah ruangan yang cukup luas dan Si Hidung Bengkak memadamkan obornya karena ruangan itu terang, selain mendapat cahaya matahari yang datang dari bagian atas yang berlubang-lubang dan berbatu, juga di situ terdapat penerangan lampu-lampu gantung yang cukup banyak.

Memasuki ruangan yang luas itu, segera Thian Liong mendengar isak tertahan dari sebelah kiri. Dia menoleh dan melihat sebuah kamar yang pintunya berterali (memakai kisi-kisi) sehingga dia dapat melihat keadaan dalam kamar itu. Tampak ada empat orang gadis muda duduk di atas sebuah pembaringan dan keempatnya menangis tanpa suara, hanya terisak-isak. Wajah mereka pucat, rambut mereka kusut dan mereka kelihatan ketakutan dan berduka. Thian Liong teringat akan cerita dua orang janda bahwa selain dua orang gadis anak mereka, lebih dulu sudah ada empat orang gadis yang dijadikan korban dilempar ke dalam pintu istana Dewa Ular Hitam itu. Tentu inilah empat orang gadis yang dijadikan korban itu.

"Hayo jalan terus, jangan berhenti dan memandang ke mana-mana!" bentak Pendeta yang kepalanya botak sambil mendorong punggung Thian Liong sehingga pemuda itu terhuyung ke depan.

Setelah melewati ruangan itu, mereka tiba di sebuah ruangan lain dan dalam ruangan itu terdapat sebuah meja besar, empat buah kursi dan sebuah pembaringan besar. Di sudut terdapat dua buah bangku dan panaslah hati Thian Liong melihat betapa di setiap bangku rebah telentang seorang gadis yang kaki dan tangannya terikat pada bangku. Itulah dua orang gadis remaja yang tadi dilempar ke dalam sumur! Dua orang gadis itu juga menangis tanpa suara, tampak ketakutan dan tidak berdaya.

Thian Liong merasa lega karena dia dapat melihat bahwa dua orang gadis remaja yang baru saja ditawan itu belum terganggu. Kedatangannya tidak terlambat! Dia melihat seorang laki-laki raksasa yang tadi mengaku sebagai Hek-coa-kauwcu, duduk menghadapi meja yang besar di mana terhidang beberapa mangkok masakan dan seguci arak dengan cawannya. Dan di sudut ruangan itu Thian Liong melihat sebuah peti besar. Pasti itu tempat penyimpanan harta benda yang mereka dapatkan dari para penduduk, pikir Thian Liong.

"Hemm, bagaimana kalian dapat menangkap anjing ini?" Hek-coa-kauwcu itu bertanya sambil memandang rendah kepada Thian Liong.

"Dia terjatuh ke dalam jaring, Kauw-cu. Katanya dia memang dijadikan korban agar menjadi pelayan di sini," kata Si Kepala Botak.

"Bohong! Tidak mungkin penduduk dusun memberikan sesuatu yang tidak kita minta. Paksa dia untuk mengaku!" kata raksasa bermuka hitam itu.

"Berlutut kau!" bentak Si Hidung Besar sambil mendorong Thian Liong agar berlutut menghadap raksasa muka hitam itu. Akan tetapi sekarang setelah Thian Liong tahu bahwa gerombolan penjahat itu hanya terdiri dari empat orang itu, dia segera bertindak. Ketika Si Hidung Besar mendorongnya, tubuhnya sama sekali tidak terguncang dan dia cepat membalik, menangkap lengan orang yang mendorongnya dan sekali tarik dengan pengerahan tenaga, Si Hidung Besar itu yang roboh berlutut!

Melihat ini, dua orang kawannya, yaitu Si Botak dan Si Mata Lebar berjenggot menjadi marah. Tanpa berkata apa-apa lagi mereka berdua menerjang Thian Liong sambil mencabut pedang yang tergantung di pungung mereka. Thian Liong cepat mengelak. Si Hidung Besar sudah bangkit pula dan dengan pedang di tangan dia pun mengeroyok Thian Liong.

Pemuda ini tidak mau memberi hati lagi. Tubuhnya bergerak cepat sekali sehingga yang tampak hanya bayangannya saja berkelebat, kaki dan tangannya menyambar-nyambar dan terdengar teriakan tiga orang pengeroyok itu dan satu demi satu mereka roboh dengan tubuh terluka berdarah oleh pedang mereka sendiri. Ternyata Thian Liong dapat menangkap pergelangan tangan para pengeroyok yang memegang pedang dan membalikkan tangan itu sehingga pedangnya melukai si pemegang sendiri. Ada yang pundaknya terbacok, ada yang lengan kirinya terbacok, dan ada yang pedangnya meluncur ke bawah melukai paha sendiri. Tiga orang itu terpelanting dan mengaduh-aduh dengan bagian tubuh yang terluka itu bercucuran darah.

Hek-coa-kauwcu menjadi terkejut, akan tetapi juga marah bukan main. Dia bangkit berdiri dan membuka lingkaran ular hitam yang melilit pinggangnya. Entah apa yang dilakukannya terhadap ular hitam itu karena tiba-tiba ular hitam itu mengangkat kepala tinggi-tinggi dan mengeluarkan suara mendesis-desis marah dan dari moncongnya menyambar uap kehitaman yang mengeluarkan bau amis!

Thian Liong maklum bahwa ular itu berbisa dan berbahaya sekali, maka sekaIi kakinya mencuat, meja yang berada di depan raksasa muka hitam itu ditendangnya sehingga meja itu melayang ke arah Hek-coa-kauwcu, didahului oleh mangkok-mangkok sayur, guci dan cawan arak! Akan tetapi ternyata raksasa muka hitam itu, biarpun memiliki tubuh tinggi besar dengan perut gendut, dapat bergerak dengan gesit sekali. Tubuhnya sudah mencelat ke kiri sehingga serangan meja itu tidak mengenai dirinya.

"Anjing kecil, mampus kau!" bentaknya dan sinar hitam menyambar leher Thian Liong. Itu adalah ular yang dipegang ekornya oleh Hek-coa-kauwcu dan diayun menyerang Thian Liong. Moncong ular itu terbuka siap menggigit leher pemuda itu. Akan tetapi dengan mudah saja Thian Liong menghindar dengan langkah kakinya, kemudian dari samping dia membalas dengan serangan kakinya yang mencuat dalam sebuah tendangan kilat yang mendatangkan angin dahsyat ke arah perut gendut lawan. Hek-coa-kauwcu menggerakkan tangan kirinya yang besar dan panjang, mengerahkan tenaga menangkis ke arah kaki yang menyambar dengan maksud untuk memukul patah kaki lawan.

"Syuuuttt...... dukkk!!" Hebat sekali benturan antara kaki dan lengan yang besarnya berimbang dengan kaki Thian Liong. Seluruh ruangan itu seperti tergetar oleh pertemuan dua tenaga dahsyat itu dan akibatnya, tubuh Hek-coa-kauwcu terhuyung ke belakang dan lengannya yang menangkis terasa panas dan nyeri! Hek-coa-kauwcu menjadi semakin marah, juga dia menyadari bahwa pemuda itu bukanlah seorang korban seperti pengakuannya, melainkan seorang pendekar yang jelas hendak menentangnya.

Melihat bahaya mengancam dan tiga orang murid yang membantunya dalam aksi kejahatan yang berkedok agama baru Hek-coa-kauwcu itu kini telah terkapar dan terluka sehingga tidak dapat membantunya lagi, dia menjadi nekat. Akan tetapi, dia pun mencari jalan untuk dapat mempergunakan ilmu sihirnya, maka setelah adu tenaga tadi, dia berseru.

"Tahan dulu! Orang muda, jelas bahwa engkau bukan seorang penduduk dusun dan engkau sengaja datang hendak mengganggu kami! Katakan, siapa engkau?"

"Namaku Souw Thian Liong. Jangan katakan bahwa aku datang hendak mengganggu karena kalau bicara tentang gangguan, engkau dan tiga pembantumulah yang mengganggu penduduk dusun selama tiga bulan ini! Engkau dapat membodohi penduduk dusun tentang Dewa Ular Hitam itu, akan tetapi aku tahu bahwa engkau telah membohongi rakyat. Aku datang untuk menghentikan kejahatanmu yang keji itu! Engkau bukan saja memeras rakyat untuk menyerahkan harta benda dan ternak mereka, akan tetapi juga mengganggu gadis-gadis mereka!"

Diam-diam Hek-coa-kauwcu membaca mantera, mengerahkan kekuatan sihir dalam pandang matanya, lalu membentak.

"Souw Thian Liong! Aku tidak berbohong. Lihat baik-baik, aku adalah penjelmaan Dewa Ular Hitam!"

Raksasa itu membuat gerakan dengan kedua tangannya ke arah Thian Liong, lalu tiba-tiba dia mengeluarkan suara mendesis-desis dan mengalungkan ular hitamnya di leher. Kedua matanya mencorong dan mengandung getaran tenaga sihir yang amat kuat! Thian Liong kagum juga karena getaran tenaga sihir itu sedemikian kuatnya sehingga mendadak dia melihat betapa kepala laki-laki tinggi besar itu berubah menjadi kepala ular raksasa yang amat mengerikan!

Akan tetapi Thian Liong adalah murid Tiong Lee Cin-jin yang sakti dan yang tahu akan segala macam ilmu sihir yang berasal dari negara barat (India) dan tahu pula bagaimana untuk mengatasinya. Maka, melihat perubahan kepala itu, Thian Liong tersenyum tenang dan begitu dia mengerahkan kekuatan batinnya, kepala raksasa itu pulih kembali seperti biasa.

Hek-coa-kauwcu tidak menyadari bahwa Thian Liong tidak terpengaruh oleh sihirnya dan mengira bahwa pemuda itu telah dapat dia pengaruhi, dia lalu berseru nyaring dengan suara memerintah.

"Souw Thian Liong, berlututlah engkau dan beri hormat kepada Hek-coa-sian (Dewa Ular Hitam)!"

Thian Liong dapat merasakan getaran kuat menyerangnya dan hendak memaksanya menjatuhkan dirinya berlutut. Akan tetapi dengan pengerahan tenaga dalamnya dia dapat menangkis serangan ini, bahkan dia tersenyum dan berkata suaranya lembut namun mengandung wibawa yang kuat.

"Hek-coa-kwi (Setan Ular Hitam)! kalau engkau ingin berlutut, berlututlah sendiri, tidak perlu mengajak aku!"

Tiba-tiba kedua kaki raksasa itu bertekuk lutut! Dia menjadi terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa akan begini jadinya! Baru dia menyadari bahwa pemuda itu bukan saja tidak terpengaruh sihirnya, akan tetapi bahkan dapat menyerang balik sehingga dia sendiri yang berlutut. Akan tetapi dia dapat menguasai dirinya dengan cepat dan dia sudah melompat berdiri lalu melepaskan ular hitam itu dari lehernya, kemudian menyerang Thian Liong dengan ularnya yang dia pergunakan sebagai cambuk. Kepala ular itu menyambar dengan moncong terbuka. Akan tetapi dengan mudah Thian Liong dapat menghindarkan diri dengan elakan-elakan. Ular itu menyambar-nyambar, mengeluarkan suara mendesis-desis dan bercuitan saking cepat dan kuatnya ular itu digerakkan tangan raksasa muka hitam itu. Thian Liong bergerak dengan tenang, mengelak ke sana-sini, berloncatan dan ketika dia mendapat kesempatan, kaki kirinya menendang.

"Bukk!" Perut gendut itu terkena tendangan. Raksasa yang nama aselinya Gu Pang itu melindungi perutnya dengan kekebalan sehingga tidak terluka dalam, namun tetap saja tubuh yang tinggi besar dan amat berat itu terlempar oleh tendangan itu sampai menabrak dinding!

Gu Pang mengeluarkan gerengan seperti seekor singa marah. Mukanya yang hitam menjadi semakin hitam karena darah telah naik ke kepalanya. Dia tidak menderita rasa nyeri, hanya kemarahan yang semakin berkobar. Dia bangkit berdiri dan kini dia memutar-mutar ular hitam itu di atas kepalanya. Thian Liong mengira bahwa Iawannya itu akan menyerangnya lagi dengan Ular hitam itu sebagai senjata. Akan tetapi ternyata tidak Gu Pang memutar-mutar ularnya, lalu tiba-tiba dia melepas ekor ular yang dipegangnya sehingga ular itu meluncur seperti sebatang tombak yang dilontarkan ke arah Thian Liong!

"Hemmm......!" Thian Liong dengan tenang menggeser kaki ke kanan, lalu ketika ular itu meluncur lewat, dia menggerakkan tangan kanan yang miring, memukul ke arah kepala ular itu.

"Prakk!" Ular itu terlempar menabrak dinding dan jatuh berkelojotan dengan kepala remuk.

Melihat ini, raksasa itu semakin kaget dan mulai gentar. Akan tetapi karena tidak melihat jalan keluar, dan tiga orang pembantunya masih tidak berdaya, duduk dan merintih, dia menjadi nekat. Dicabutnya pedang dari punggungnya dan dengan lompatan buas dia menerjang ke arah Thian Liong, pedangnya diputar, menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar!

Melihat gerakan pedang orang itu cukup cepat dan kuat sehingga berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan mengeluarkan suara berdesing, Thian Liong juga mengambil pedang Thian-liong-kiam dari balik bajunya.

Terjadilah pertandingan ilmu pedang yang seru. Sebetulnya, bagi Thian Liong, tingkat kepandaian lawannya itu tidaklah berapa kuat dan kalau dia menghendaki, dalam sepuluh jurus saja dia akan mampu merobohkannya. Akan tetapi, Thian Liong tidak ingin membunuh lawan. Gurunya, Tiong Lee Cin-jin, mengajarnya agar dia tidak membunuh lawannya, betapa jahat pun lawan itu. Sedapat mungkin dia harus berusaha untuk menyadarkan orang yang tersesat ke dalam jalan kebenaran. Kalau perlu mengalahkannya dengan kekerasan dan memberi hajaran agar bertaubat, akan tetapi dia dianjurkan oleh gurunya agar tidak membunuh orang. Maka, kini pun Thian Liong tidak mau membunuh Iawannya dan hanya ingin membuatnya tidak berdaya tanpa melukainya dengan parah. Karena laki-laki raksasa ini memang bukan lawan sembarangan, memiliki tenaga yang amat besar, maka tidaklah amat mudah bagi Thian Liong untuk merobohkannya tanpa melukainya dengan berat. Setelah lewat tigapuluh jurus, barulah Thian Liong berhasil mendapat kesempatan.

"Hyaaaatttt""!" Dia berseru dan ketika pedang lawan menyambar, dia menangkis dan dengan penggunaan tenaga sakti, dia membuat pedang lawan menempel pada pedangnya dan pada saat Hek-coa-kauwcu Gu Pang itu bersitegang mencoba untuk menarik lepas pedangnya, Thian Liong sudah memukul dengan tangan kirinya, mengenai pundak lawan.




"Krek!" Tubuh Gu Pang terjengkang. Pedangnya terlepas dari tangan kanan yang menjadi lumpuh dan terasa nyeri bukan main karena tulang pundak kanannya telah patah-patah oleh pukulan tangan kiri Thian Liong! Raksasa itu hanya dapat bangkit duduk sambil meringis dan merintih, memegang pundak kanan dengan tangan kirinya. Rasa nyeri yang menusuk membuat dia tidak mampu berdiri lagi.

Thian Liong tidak memperdulikan empat orang penjahat itu. Dia cepat membebaskan dua orang gadis remaja, juga membobol daun pintu kamar di mana empat orang gadis lain dikurung. Enam orang gadis remaja itu berkumpul dan mereka menjatuhkan diri berlutut kepada Thian Liong, menghaturkan terima kasih dengan suara gemetar dan tubuh menggigil ketakutan.

Tiba-tiba Thian Liong mendengar suara banyak orang di atas ruangan itu. Thian Liong memandang kepada enam orang gadis itu dan bertanya, "Di mana pintu jalan keluar tempat ini?"

Seorang di antara empat gadis yang sudah dua bulan dikurung di situ, menuding ke atas dan berkata, "In-kong (Tuan Penolong), mereka biasanya turun dari atas langit-langit itu dapat dibuka dan ditutup."

Thian Liong melompat ke atas dan menggunakan tangan memukul langit-langit ruangan itu yang tampak jelas terbuat dari papan kayu.

"Braakkkk......!" langit-langit itu jebol dan ternyata bahwa langit-langit itu, menembus sebuah bangunan dapur yang menjadi bagian bangunan sebelah belakang dari kuil tua! Kiranya inilah jalan rahasia para penjahat sehingga mereka dapat keluar masuk ruangan bawah tanah itu melalui lantai dapur yang dapat dibuka dan ditutup dengan menggunakan alat rahasia yang kini menjadi rusak karena langit-langit dari papan tebal itu dijebol dengan paksa oleh pukulan Thian Liong tadi!

Tiba-tiba terdengar suara banyak orang dan tampak banyak kepala menjenguk ke bawah. Itu adalah kepala para penduduk dusun yang ternyata telah berkumpul di kuil itu, seratus orang lebih banyaknya. Tadi mereka, dipimpin oleh kepala dusun yang mendengar laporan dua orang janda ibu dua orang gadis remaja yang dijadikan korban bahwa ada seorang manusia sakti seperti dewa hendak menolong, menjadi berani dan nekat. Berbondong-bondong mereka mendekati kuil itu dan melihat kuil itu kosong, mereka mengobrak-abrik kuil dan mencari-cari. Akan tetapi tiga orang pendeta itu tidak dapat mereka temukan.

Selagi mereka mencari-cari di bagian belakang, mereka mendengar suara pecahnya lantai dapur. Segera mereka menyerbu masuk dan menjenguk ke bawah lantai yang sudah jebol itu. Mereka melihat Thian Liong berdiri di situ bersama enam orang gadis, dan melihat pula tiga orang pendeta dan Hek-coa-kauwcu yang tinggi besar sudah duduk sambil merintih dan terluka. Orang-orang itu bersorak dan berbondong mereka turun menggunakan tali berebutan memasuki ruangan bawah tanah.

Melihat semua orang memasuki ruangan itu dan dengan beringas mereka itu menyerang empat orang penjahat dengan berbagai senjata yang mereka bawa, Thian Liong berusaha mencegah. Namun suaranya hilang ditelan suara begitu banyak orang. Dia melihat betapa empat orang penjahat itu minta-minta ampun, akan tetapi suara mereka segera berubah menjadi teriakan kesakitan yang makin lama semakin melemah. Suara mereka tertutup oleh suara orang-orang yang dengan geram memaki-maki dan senjata mereka berdebukan menghantami tubuh empat orang penjahat yang sudah tidak mampu melawan itu.

Thian Liong menghela napas. Dia tidak berdaya menolong nyawa empat orang itu karena para penduduk dusun memenuhi ruangan itu dan mereka seperti kesetanan menghujani tubuh empat orang penjahat itu dengan hantaman bermacam senjata yang mereka bawa dari rumah tadi. Ada yang menggunakan golok, pisau, linggis, sekop, tongkat, bahkan ada yang menggunakan cangkul untuk menghajar tubuh empat orang penjahat itu.

Karena tidak ada hal yang dapat dia kerjakan lagi dan dia tidak ingin repot karena penduduk dusun itu pasti akan menyanjung dan menghormatinya, Thian Liong menggunakan kesempatan selagi mereka berpesta pora itu, dia melompat naik melalui langit-langit yang sudah jebol lalu meninggalkan bukit itu dengan cepat, melanjutkan perjalanannya.

Ketika dia melewati dusun yang dikacau oleh empat orang penjahat yang menyamar sebagai pendeta Hek-coa-kauwcu itu, dia sedang dalam perjalanan menuju ke dusun Kian-cung di dekat Telaga Barat (See-ouw) karena dia ingin mengunjungi suami isteri Han Si Tiong dan Liang Hong Yi yang sudah dikenalnya dengan baik. Dia harus menemui mereka, orang tua Han Bi Lan itu, untuk menjelaskan mengapa dia sampai menghajar Bi Lan dengan menampar pinggulnya selama sepuluh kali. Dia harus menceritakan hal itu kepada mereka untuk mencegah timbulnya kesalah-pahaman karena kalau Bi Lan lebih dulu bercerita kepada mereka, tentu dia akan dianggap kurang ajar, tidak sopan dan menghina seorang gadis!

Dengan melakukan perjalanan cepat, kurang lebih dua pekan kemudian tibalah dia di See-ouw (Telaga Barat) dan langsung saja dia memasuki dusun Kian-cung dan menuju ke rumah Han Si Tiong yang pernah dia kunjungi bersama Puteri Moguhai. Rumah itu tampak sunyi dan ketika Thian Liong menghampiri pintu depan, dari dalam rumah muncul seorang laki-laki berusia sekitar limapuluh tahun. Dari pakaian dan sikapnya yang membungkuk dengan hormat, Thian Liong dapat menduga bahwa orang itu tentu seorang pelayan keluarga Han itu.

"Paman, saya ingin bertemu dengan Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi. Tolong laporkan bahwa saya, Souw Thian Liong, ingin bertemu."

"Maaf, Kongcu (Tuah Muda), rumah ini kosong, hanya ada saya yang bertugas menjaga rumah ini."

"Bukankah ini rumah keluarga Han?"

"Benar, Kongcu."

"Lalu ke mana perginya Paman Han Si Tiong?"

"Pendekar Han Si Tiong telah...... telah meninggal dunia."

Thian Liong terkejut dan memandang penjaga rumah itu dengan mata terbelalak.

"Meninggal dunia? Apa...... apa maksudmu, Paman?"

Laki-laki itu dengan tajam mengamati wajah Thian Liong, lalu bertanya, "Souw-kongcu (Tuan Muda Souw), apakah engkau masih ada hubungan dengan mendiang Han-enghiong (Pendekar Han)?"

"Saya bukan keluarga, akan tetapi sahabat keluarga Han, Paman, sahabat baik."

"Kalau begitu, masuk dan duduklah, Kongcu. Kita bicara di dalam saja," ajak penjaga rumah itu.

Setelah mereka duduk di ruangan depan, menghadapi sebuah meja kecil, penjaga rumah itu berkata.

"Perkenalkan, Kongcu. Saya biasa disebut A-siong, penduduk dusun ini semua mengenal saya. Ketika Toanio (Nyonya) meninggalkan rumah ini sebulan lebih yang lalu, ia menugaskan saya untuk menjaga rumah ini."

Thian Liong bertanya, tidak sabar lagi.

"Paman A-siong, cepat ceritakan apa yang telah terjadi? Bilakah Paman Han Si Tiong meninggal dan apakah penyakitnya sehingga dia meninggal dunia?"

"Sebulan yang lalu, menurut kabar beberapa orang tetangga dekat yang menyaksikan peristiwa itu sambil bersembunyi dan mengintai dari rumah mereka, Han-enghiong dan Toanio kedatangan dua orang muda, seorang pemuda dan seorang gadis datang berkunjung. Lalu Han-enghiong dan isterinya berkelahi melawan pemuda dan gadis itu. Para tetangga ketakutan dan bersembunyi sambil mengintai."

"Mengapa mereka berkelahi, Paman?"

"Saya tidak tahu, Kongcu. Tidak ada orang yang tahu karena tidak ada yang berani bertanya kepada Toanio. Keluarga Han amat disegani dan dihormati di sini. Dalam perkelahian itu, Han-enghiong roboh terluka parah dan Toanio juga terluka. Setelah Han-enghiong dan Toanio roboh, pemuda dan gadis itu melarikan diri. Toanio yang terluka pundaknya berusaha mengangkat tubuh Han-enghiong yang berlumuran darah, dibantu oleh Bibi Ji, pelayan mereka yang kini sudah pulang ke kampung semenjak Toanio pergi. Pada saat itu, datang seorang gadis yang ternyata adalah puteri Han-enghiong."

"Han Bi Lan?"

"Jadi Kongcu mengenalnya? Benar, Nona itu bernama Han Bi Lan. Kemudian Han-enghiong meninggal dunia karena lukanya yang parah, akan tetapi isterinya selamat. Beberapa hari kemudian, Nona Han Bi Lan dan Ibunya memanggil saya dan memberi tugas kepada saya untuk menjaga rumah mereka ini dan mereka berdua lalu pergi."

"Pergi ke mana, Paman A-siong?"

"Kalau saya tidak salah ingat, Han-toanio (Nyonya Han) berkata bahwa ia hendak pergi ke kota raja."

Thian Liong teringat akan peristiwa ketika dia bersama Puteri Moguhai, Han Si Tiong, dan Liang Hong Yi, berada di rumah Panglima Kwee Gi di kota raja. Ketika itu, Panglima Kwee dan isterinya mengajukan usul kepada Han Si Tiong dan isterinya untuk menjodohkan Han Bi Lan dengan putera mereka, Kwee Cun Ki, dan ayah-bunda Bi Lan setuju. Akan tetapi ketika itu dia sama sekali belum tahu bahwa Han Bi Lan adalah gadis yang telah mencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat milik Kun-lun-pai itu. Kalau dia mengetahui bahwa gadis pencuri kitab itu puteri mereka, pasti dia tidak akan menghukum Bi Lan dengan menampari pinggulnya sampai sepuluh kali.

Dan sekarang setelah Bi Lan kembali kepada orang tuanya, ia mendapatkan ayah ibunya terluka dan ayahnya lalu tewas! Sungguh kasihan gadis itu dan semakin menyesal rasa hatinya bahwa dia telah menampari pinggul gadis itu!

Kini, Bi Lan diajak ibunya pergi ke kota raja. Dia dapat menduga bahwa tentu mereka pergi berkunjung ke rumah Panglima Kwee Gi. Dia sendiri tidak tahu apa sebabnya ketika berpikir sampai di sini, hatinya terasa hampa. Bi Lan hendak dijodohkan dengan Kwee Cun Ki! Hal itu baik sekali karena dia melihat bahwa Kwee Cun Ki adalah seorang pemuda yang gagah dan tampan, putera seorang panglima yang bijaksana, setia kepada Kaisar, dan terhormat pula. Ditambah lagi keadaan keluarga Kwee itu kaya raya. Bi Lan pasti akan hidup bahagia sebagai isteri Kwee Cun Ki, sebagai mantu Panglima Kwee Gi. Mengapa ada perasaan hampa dan perih dalam hatinya?

"Souw-kongcu, engkau tidak apa-apa?" tanya penjaga rumah itu ketika melihat Thian Liong sejak tadi diam saja seperti orang melamun dengan alis berkerut.

Thian Liong sadar dari lamunannya.

"Aku terkejut dan sedih mendengar akan kematian Paman Han Si Tiong karena dia itu sahabatku yang baik sekali. Paman A-siong, di manakah makamnya? Saya ingin mengunjungi makamnya."

"Oh, memang Han-enghiong seorang yang amat baik hati dan sudah sepatutnya kalau dikenang dan dikasihi sahabat-sahabatnya. Sayang ada juga yang memusuhinya sampai membunuhnya. Mari kuantar mengunjungi makamnya, Souw-kongcu."

Mereka keluar dan A-siong mengunci pintu depan, lalu berangkatlah mereka ke tanah kuburan yang tidak jauh letaknya dari dusun Kian Cung. Makam itu masih baru, karena belum ada dua bulan jenazah Han Si Tiong dikubur di situ. Tadi dengan petunjuk A-siong, Thian Liong telah membeli perlengkapan sembahyang dan di depan makam itu dia melakukan sembahyang dengan khidmat.

Sembahyangan itu dia lakukan bukan sekedar untuk memberi hormat kepada almarhum sahabat baiknya yang sudah sama-sama dengan dia menghadapi ancaman maut ketika melawan Perdana Menteri Chin Kui dan mereka ditahan dalam penjara istana. Akan tetapi diam-diam Thian Liong mendoakan untuk arwah Han Si Tiong semoga arwah pendekar itu akan mendapatkan tempat yang baik di alam baka. Selain itu juga diam-diam dia menceritakan tentang perlakuannya terhadap Bi Lan dan menceritakan mengapa dia sampai memukuli pinggul gadis itu! Setelah melakukan sembahyang, baru dia merasa lega dalam hatinya.

Setelah selesai sembahyang dan mengucapkan terima kasih kepada A-siong, Thian Liong lalu meninggalkan dusun Kian-cung.

Ketika tiba di tepi Telaga Barat, pemandangan dari tempat agak tinggi di mana dia berada, Thian Liong melihat pemandangan alam yang amat indah. Matahari amat cerahnya, sinarnya menimpa permukaan telaga sehingga berkilauan. Pohon-pohon besar yang tumbuh di tepi telaga tampak terbalik di permukaan air, namun lebih hidup daripada aselinya karena kalau pohon-pohon di darat itu diam tak bergerak karena tidak ada angin, pohon-pohon terbalik di permukaan air telaga itu bergoyang-goyang seperti menari-nari.

Dari tempat itu Thian Liong melihat betapa di sebelah kiri sana terdapat sebuah dusun di tepi telaga dan di dusun itulah tempat para tamu yang berdatangan dari luar daerah dan dari kota-kota besar berkumpul untuk pesiar di telaga yang terkenal itu. Banyak terdapat perahu-perahu di situ dan para pelancong dapat menyewa perahu. Perahu-perahu besar kecil yang di sewa pelancong berluncuran di atas telaga.



JODOH SI NAGA LANGIT JILID 05

Thian Liong teringat akan perjalanannya dahulu di tempat ini. Dulu pernah dia dan Pek Hong Niocu atau Puteri Moguhai berdiri pula di tempat dia berdiri sekarang dan menikmati keindahan pemandangan di situ. Teringat akan ini membuat dia merasa rindu kepada Puteri Moguhai. Puteri itu merupakan seorang sahabat yang amat baik baginya, seorang sahabat yang akrab dan kelincahan puteri itu membuat perjalanan bersamanya menjadi gembira. Biarpun Puteri Moguhai seorang wanita yang lincah jenaka dan pemberani, gagah perkasa dan cantik jelita, seorang puteri bangsawan agung karena ia Puteri Raja Kin, namun gadis itu memiliki watak yang baik sekali. Ia lebih pantas menyandang gelar Pek Hong Niocu sebagai seorang pendekar perkasa daripada sebagai seorang puteri raja. Terkenang akan Pek Hong Niocu menyentuh perasaannya dan menimbulkan kerinduannya untuk dapat bertemu dan bercakap-cakap lagi dengan gadis itu. Seorang gadis yang cantik jelita, pandai dan bijaksana, dan biarpun wataknya bebas sehingga akan dianggap agak liar oleh wanita pada umumnya, namun sesungguhnya gadis itu menjaga kesusilaan; sopan dan tidak genit.

Kenangan manis dengan puteri Kerajaan Kin itu membuat 'Thian Liong ingin mengulang kembali apa yang pernah dialaminya bersama Pek Hong Niocu di Telaga See-ouw ini. Maka dia pun menuruni tempat tinggi itu menuju ke dusun di tepi telaga yang menjadi pusat perkumpulan para pelancong, di mana dulu dia bersama Pek Hong Niocu juga datang dan berpelesir menyewa perahu. Masih ingat dia dengan kagum betapa Pek Hong Niocu pandai mendayung perahu. Puteri Raja itu agaknya serba bisa. Tidak ada hal yang tidak dapat ia lakukan dengari baik!

"Niocu......," dia mengeluh dan makin merasa betapa dia kesepian dan merasa ditinggalkan. Dia lalu mempercepat langkahnya menuju ke dusun di tepi danau itu.

Dusun Kui-sek itu memanjang di tepi telaga. Biarpun penduduknya hanya sekitar seratus rumah, namun melihat keadaan rumahnya yang lumayan dan pakaiannya yang cukup bersih dan utuh, dapat diduga bahwa kehidupan mereka tidaklah semiskin para penduduk dusun lain. Memang para penduduk dusun yang berada di tepi Telaga Barat memiliki mata pencarian yang cukup. Sawah ladang di telaga itu subur sehingga mereka dapat memperoleh hasil lumayan dari bercocok tariam. Juga telaga itu mengandung banyak ikan dan saking luasnya telaga itu, ikan-ikan agaknya tidak akan pernah habis walaupun setiap hari ditangkapi mereka yang bekerja sebagai nelayan.

Selain itu, ada penghasilan tambahan, yaitu menyambut para pelancong dari daerah lain dengan menjajakan makanan, menyewakan perahu dan terkadang juga menyewakan kamar di rumah mereka apabila ada pelancong hendak menginap. Para pelancong dari kota besar itu bagi para penduduk dusun Kui-sek merupakan orang-orang yang royal dan membuang uang seperti pasir saja. Harga buah atau apa saja yang mereka naikkan dua kali lipat, dibeli orang-orang kota itu, malah dianggap murah! Tentu saja hal ini membuka kesempatan bagi penduduk dusun Kui-sek untuk memperoleh penghasilan yang lumayan sehingga mereka mampu memperbaiki rumah dan membeli perahu baru.

Ketika Thian Liong tiba di tepi danau, dia melihat bahwa di ujung barat dusun Kui-sek terdapat perahu-perahu para nelayan dan di sana terdapat kesibukan para nelayan. Ada yang memperbaiki jala, ada yang membetulkan perahu yang bocor, ada pula yang mengangkut ikan-ikan dalam keranjang ke darat. Bau ikan tercium sampai ke bagian lain dusun itu. Di ujung timur merupakan tempat di mana para pelancong berkumpul, menyewa perahu, mandi di telaga, atau makan minum di rumah-rumah makan kecil sehingga lebih pantas disebut warung-warung yang menjajakan makanan kecil sampai nasi, minuman air teh hangat sampai arak.

Bau masakan dan arak yang keluar dari warung-warung itu mendatangkan rasa lapar dalam perut Thian Liong dan dia memasuki sebuah di antara warung-warung itu dan memesan nasi dan sayur. Lezat rasanya makan di warung itu. Padahal yang dimakannya hanyalah hidangan yang bersahaja, nasi yang tidak begitu putih, lauknya juga hanya ikan danau dengan sayur sederhana, minumnya teh pahit. Akan tetapi karena hawa udara di situ sejuk, juga suasananya begitu nyaman dengan adanya air danau dan banyak pohon-pohon, alam di situ masih aseli, ditambah lagi perut lapar maka Thian Liong benar-benar menikmati makanan yang sederhana itu.

Setelah kenyang dan keluar dari warung, empat orang tukang perahu merubungnya dan menawarkan perahu mereka untuk disewa. Melihat bahwa Thian Liong hanya seorang pemuda yang berpakaian sederhana walaupun bersih, sama sekali tidak menggambarkan seorang pelancong kaya, maka para tukang perahu itu menawarkan perahu mereka untuk disewa dengan harga murah. Hari itu memang tidak begitu banyak pelancong sehingga banyak perahu tidak mendapatkan penyewa, maka mereka berebut untuk menawarkan perahunya kepada Thian Liong.

Di antara empat orang tukang perahu itu terdapat seorang laki-laki tua, berusia sekitar enampuluh tahun. Tubuhnya kurus dan wajahnya agak pucat, pakaiannya juga amat bersahaja, bahkan ada dua tambalan di bagian pundak dan paha. Dia tidak terlalu cerewet dalam menawarkan perahunya, tidak seperti tiga orang yang lain dan masih muda. Entah mengapa, mungkin melihat usianya, atau pakaiannya, atau tubuhnya yang kurus, atau mungkin sekali matanya yang mengeluarkan sinar aneh, Thian Liong memilih perahu laki-laki tua itu untuk disewanya.

"Huh, perahu tua Kakek Tolol malah dipilihnya!" seorang di antara mereka berkata sambil melangkah pergi.

"Kalau bocor dan tenggelam di tengah danau, baru tahu rasa!" kata yang lain. Mereka semua pergi meninggalkan Thian Liong sambil mengejek dan mengomel, jelas iri dan kecewa.

Thian Liong diam saja, hanya tersenyum dan memandang Kakek itu penuh perhatian. Usianya sekitar enampuluh tahun lebih. Pakaiannya berpotongan model para nelayan, kepalanya tertutup sebuah caping lebar sehingga mukanya diselimuti bayangan gelap. Namun Thian Liong clapat melihat wajah yang kurus itu, kulit mukanya pucat namun bentuk muka itu masih menunjukkan bekas ketampanan. Terutama sepasang mata kakek itu yang demikian terang mencorong, sama sekali tidak membayangkan bahwa dia seorang yang bodoh, apalagi tolol, seperti tadi dikatakan seorang tukang, perahu yang menyebutnya Kakek Tolol.

"Paman, di mana perahumu itu?"

"Di sana, Sicu," kakek itu menuding ke arah sekumpulan perahu yang berada di tepi danau, lalu dia melangkah menuju ke sana tanpa bicara lagi.

Thian Liong mengikuti dari belakang. Suara kakek itu tidak cocok dengan keadaan jasmaninya yang tampak lemah, kurus dan pucat. Suara itu bening lembut. Juga dia merasa heran mengapa kakek ini menyebutnya sicu, sebutan yang biasa diberikan kepada seorang laki-laki yang gagah.

Padahal dia sama sekali tidak tampak sebagai seorang pendekar. Pakaiannya biasa, juga pedang Thian-liong-kiam tersembunyi dalam bungkusan pakaiannya.

Setelah tiba di situ, kakek itu menarik sebuah perahu keluar dari kumpulan perahu itu, menyeretnya ke air. Melihat kakek itu kelihatan lemah, Thian Liong membantunya dan akhirnya perahu itu dapat ditarik ke air.

"Sicu hendak menyewa perahu saja, mendayung sendiri atau ingin saya yang menemani dan mendayung?" pertanyaan ini biasa diajukan para pemilik perahu karena di antara para pelancong, ada yang minta si pemilik perahu mendayung dan mereka hanya duduk menikmati pemandangan dari dalam perahu.

Thian Liong melihat keadaan perahu itu dengan sapuan pandang matanya. Sebuah perahu yang tidak besar, dengan payon di bagian tengah, keadaannya sudah tua dan sederhana dan di kedua ujung perahu, tampak basah. Agaknya memang ada kebocoran di sana-sini dan biarpun bocoran itu sudah ditambal dengan kayu, tetap saja air masih merembes sehingga dasar perahu menjadi basah. Tentu saja dalam hatinya Thian Liong tidak merasa senang dengan perahu yang benar-benar buruk dan kalau bocoran itu pecah lagi memang dapat membahayakan. Akan tetapi untuk membatalkan, dia merasa tidak tega. Agaknya kakek tukang perahu itu dapat melihat keraguan pada wajah Thian Liong yang mengerutkan alisnya.

"Jangan khawatir, Sicu. Perahu ini sudah menemani saya mengarungi telaga ini selama bertahun-tahun. Biarpun tua dan buruk, perahu ini kokoh kuat dan dapat melaju dengan cepat, mempunyai keseimbangan yang baik sekali sehingga tidak mudah terguling."

Thian Liong melihat betapa kakek itu seperti bicara kepada dirinya sendiri, tanpa menoleh kepadanya. Dia merasa tidak nyaman kalau harus mendayung sendiri. Kakek ini tentu berpengalaman sekali dan akan lebih aman rasanya kalau ikut dalam perahu. Thian Liong merasa khawatir juga kalau sampai terjadi perahu terguling atau tenggelam. Dia boleh jadi dapat membela diri dengan baiknya kalau berada di darat. Akan tetapi di air, kepandaiannya renang hanya biasa saja dan kalau sampai terjadi serangan dalam air, dia akan menjadi orang yang lemah. Bahkan dalam hal menggunakan dayung saja dulu dia harus mengaku kalah terhadap Puteri Moguhai!

"Biar engkau saja yang mendayung, Paman. Saya tidak pandai mendayung perahu," kata Thian Liong.

"Sicu hendak pergi ke manakah?"

"Hanya melihat-lihat saja, Paman. Bawa saja perahu ini ke bagian terindah di telaga ini."

"Baik, naiklah, Sicu."

Mereka berdua naik. Kakek itu mengambil tempat duduk dan memegang dua buah dayung di kanan kiri perahu. Thian Liong duduk di bawah payonan dan mereka duduk berhadapan.

"Sicu, sebaiknya sicu menghadap ke depan agar dapat menikmati pemandangan indah di bagian depan."

"Nanti dulu, Paman. Saya ingin bicara dulu dengan Paman. Saya harap Paman jangan menyebut sicu kepada saya. Saya hanya seorang biasa seperti Paman, seorang perantau yang sederhana dan tidak punya apa-apa. Nama saya Thian Liong, Souw Thian Liong. Panggil saja nama saya, tanpa Sicu."

"Akan tetapi, Souw-kongcu (Tuan Muda Souw)......"

"Wah, apa lagi sebutan kongcu itu sama sekali tidak pantas untuk saya, Paman. Lihat, apakah ada seorang tuan muda berpakaian seperti saya ini? Saya mungkin lebih miskin daripada Paman. Setidaknya Paman tentu mempunyai tempat tinggal, dan punya perahu ini. Sedangkan saya, tempat tinggal pun tidak punya. Sebut saja nama saya, Paman."

Kakek itu mengamati wajah Thian Liong dengan sinar mata penuh selidik, lalu mulutnya mengembangkan senyum.

"Baiklah, Thian Liong. Kalau begitu, engkau datang ke tempat ini hendak mencari apakah?"

"Ah, tidak mencari apa-apa, Paman. Hanya tertarik oleh keindahan telaga ini dan ingin melihat-lihat."

"Kalau begitu berputarlah, Sicu...... eh, Thian Liong dan lihat ke depan. Engkau melihat gerombolam pohon di sana itu? Itu dikenal penduduk sekitar telaga sebagai Hutan Ular. Tidak ada seorang pemburu pun berani memasuki hutan itu karena selain di sana banyak terdapat ular-ular besar yang dapat menelan manusia, juga terdapat banyak ular-ular kecil yang amat berbisa."

Thian Liong memandang dan merasa senang. Kakek ini tidak hanya pandai mendayung perahu karena dia merasa betapa perahu itu meluncur dengan mantap dan tidak bergoyang sama sekali, akan tetapi juga kakek ini dapat menjadi pemandu yang amat baik, dapat menceritakan keadaan di sekitar telaga itu. Dia kini duduk menghadap ke belakang, membelakangi kakek itu.

Ketika Thian Liong menghadap ke depan, dia merasa seolah-olah perahu itu meluncur semakin cepat. Akan tetapi mungkin ini hanya perasaannya saja, pikirnya, karena memang jarang sekali dia duduk di atas perahu yang meluncur di atas air.

"Lihat di depan itu, Thian Liong. Perbukitan di depan itu mempunyai sekumpulan puncak yang memakai nama binatang. Urut-urutannya dari kiri begini. Pertama Puncak Naga, lalu Puncak Burung Hong, Puncak Harimau, Puncak Biruang dan yang paling kecil itu Puncak Srigala."

Thian Liong memandang ke arah puncak-puncak bukit yang berjajar di sebelah kiri telaga.

"Paman, apakah di setiap puncak terdapat binatangnya seperti yang dijadikan nama itu?"

"Ah, saya kira tidak. Mana mungkin di Puncak Naga itu ada naganya atau di Puncak Burung Hong itu terdapat Burung Hongnya? Itu hanya nama pemberian penduduk untuk membedakan puncak yang satu dari yang lain. Mungkin dulu diberi nama aneh demikian untuk menarik para pelancong."

Telaga itu luas sekali. Sudah hampir dua jam perahu itu meluncur, namun belum juga tiba di ujung telaga! Thian Liong melihat sebuah pulau kecil di tengah telaga dan pulau itu penuh dengan pohon-pohon besar sehingga tampak hijau gelap menyeramkan. Tepi pulau itu merupakan tebing yang tinggi sehingga pulau itu seolah berada di atas bukit.

"Eh, Paman. Di sana itu? Bukankah itu sebuah pulau? Apa nama pulau itu, Paman? Apakah juga ada namanya yang aneh?"

"Orang-orang di sini menyebutnya Pulau Iblis."

Thian Liong menoleh dan melihat kakek itu mengerutkan alisnya, matanya menerawang ke arah pulau itu. Thian Liong memandang ke arah pulau.

"Pulau Iblis? Mengapa disebut begitu, Paman? Apakah pulau itu berhantu?"

"Saya sendiri tidak tahu jelas, akan tetapi sejak saya datang dan tinggal di sini tiga tahun yang lalu, penduduk sudah menamakannya begitu. Menurut dongeng mereka, memang pulau itu berhantu."

"Dan engkau percaya itu, Paman?" Kembali Thian Liong menoleh karena dia mendengar bahwa ketika bicara tentang hantu, suara kakek itu meninggi, seolah hendak memberi tekanan agar pemuda itu mempercayainya.

"Entahlah......, akan tetapi lebih baik kita tidak bicara tentang hal itu."

Akan tetapi Thian Liong sudah terlanjur tertarik kepada pulau itu. Kalau diberitakan pulau itu berhantu oleh penduduk, pasti ada hal-hal yang tidak wajar atau aneh di sana. Pulau itu tidak terlalu besar, akan tetapi penuh pohon-pohon yang menjulang tinggi sehingga pantaslah kalau dihuni setan, kalau memang ada apa yang disebut hantu, atau setan karena dia sendiri belum pernah bertemu mahluk yang menurut dongeng menyeramkan dan menakutkan itu. Menurut gurunya, Tiong Lee Cin-jin, yang disebut setan adalah roh jahat yang menggerakkan nafsu-nafsu dalam diri manusia sendiri dan menyeret manusia untuk menuruti nafsunya dan melakukan perbuatan yang jahat, merugikan orang lain dan menguntungkan diri sendiri demi mendapatkan kesenangan.

"Paman, tujukan perahu ini ke pulau itu," katanya mantap.

"Ah, untuk apa, Thian Liong? Matahari telah mulai condong ke barat, sebaiknya kita kembali ke dusun. Kita sudah pergi jauh."

Thian Liong melihat beberapa buah perahu dan memang tidak ada sebuah pun berani mendekati pulau itu, bahkan perahu yang ditumpanginya itu yang paling dekat dengan apa yang dinamakan Pulau Iblis itu! Ketika ada sebuah perahu yang lebih besar lewat, ditumpangi belasan orang pelancong, tukang perahunya berseru kepada kakek yang berada di belakangnya.

"Heei, Kakek Tolol, apakah engkau akan membawa penumpangmu agar dimakan penjaga pulau itu?"

Akan tetapi kakek itu tidak menjawab. Setelah perahu besar itu meluncur lewat dan agaknya sedang menuju kembali ke dusun, kakek itu berkata lagi kepada Thian Liong.

"Thian Liong, mari kita kembali saja. Tidak baik pergi ke sana, selain terlalu jauh juga kalau kita ke sana, mungkin pulangnya akan kemalaman."

"Jangan khawatir, Paman. Saya akan membayar lebih. Mari tujukan perahu ini ke pulau itu. Apakah perlu kubantu mendayung?" Tanpa menanti jawaban, Thian Liong mengambil dayung yang terdapat di dekatnya, kemudian dia menggunakan dua batang dayung itu untuk mendayung di kanan kiri perahu, setelah dua batang dayung itu dipasang pada tempatnya. Perahu meluncur dengan cepat sekali menuju ke pulau itu. Pulau Iblis!

Dia mendengar kakek itu menghela napas panjang, lalu terdengar berkata lirih, "Apa boleh buat, kalau engkau memaksa. Akan tetapi jangan salahkan aku kalau terjadi apa-apa."

Thian Liong tersenyum. Dia sedang kesepian dan dia akan menyambut gembira kalau terjadi apa-apa, terjadi sesuatu yang aneh, apalagi kalau di pulau itu bersembunyi gerombolan penjahat. Dia mendapat kesempatan untuk mengobrak-abrik sarang penjahat itu dan membubarkan mereka agar tidak mengganggu penduduk di sekitar telaga itu.

"Paman, sudah lamakah Paman tinggal di daerah ini?"

"Sudah saya ceritakan tadi, sudah tiga tahun."

"Apakah Paman tahu bahwa tidak jauh dari telaga ini terdapat sebuah dusun yang disebut dusun Kian-cung?"

Agak lama Thian Liong menanti jawaban. Kemudian terdengar kakek itu menjawab.

"Ya, ya, saya pernah mendengar tentang dusun Kian-cung."

"Apakah Paman mengenal keluarga Han?"

"Keluarga Han?"

"Ya, keluarga Han Si Tiong yang tinggal di Kian-cung, seorang pendekar budiman."

Kembali agak lama tidak terdengar jawaban sehingga Thian Liong menengok dan mengulangi pertanyaannya.

"Apakah Paman mengenal keluarga Han itu?"

"Tidak, baru tiga tahun saya berada di sini dan saya tidak pernah pergi ke mana-mana."

Akan tetapi Thian Liong tidak memperhatikan jawaban itu karena tiba-tiba ada hal lain yang menarik perhatiannya. Mereka sudah tiba dekat pulau itu dan tiba-tiba dia melihat sebuah perahu yang agak besar muncul dari balik pulau itu. Perahu ini didayung oleh lima orang dan meluncur cepat, mendekati tebing pulau itu. Di atas perahu itu, di tengah-tengah berdiri seorang laki-laki bertubuh tinggi besar. Karena jarak antara perahu itu dan dia masih cukup jauh, maka Thian Liong tidak melihat jelas wajah orang yang berdiri itu. Jubah orang itu berwarna hitam panjang sampai ke bawah lutut.

Tiba-tiba terdengar suara gerengan seperti auman singa, terdengar dari perahu itu. Suara gerengan itu sedemikian kuatnya sehingga Thian Liong yang duduk di atas perahunya dan jaraknya masih ada satu mil lebih, merasa tergetar dan permukaan danau itu mulai bergelombang! Lalu dari arah pulau, terdengar bunyi melengking yang begitu nyaring, tinggi, dan tajam menusuk telinga. Kembali Thian Liong merasa jantungnya berdebar. Belum lenyap gema lengkingan ini, disusul suara seperti tawa yang menggelegar, tidak kalah kuatnya dibandingkan gerengan pertama dan lengkingan yang menyusul tadi, Thian Liong terkejut. Dia tahu bahwa gerengan, lengkingan dan suara tawa itu dilakukan orang-orang yang memiliki tenaga sin kang (tenaga sakti) amat kuatnya. Dia sendiri dapat menahan getaran suara itu akan tetapi orang biasa yang mendengar suara-suara yang mengandung tenaga sakti amat kuat itu dapat saja terguncang jantungnya dan menderita luka parah! Dia teringat kepada tukang perahu, maka cepat dia menoleh. Dia melihat kakek tukang perahu itu masih duduk mendayung perahu, sama sekali tidak terpengaruh suara-suara yang mengandung daya serang amat kuat tadi! Kakek itu mengerutkan alisnya dan berkata, seperti kepada diri sendiri.

"Hemmm, akhirnya mereka muncul juga. Sudah kuduga......!"

"Paman, apa yang Paman maksudkan?" tanya Thian Liong sambil memandang wajah kakek itu.

Kakek itu tidak menjawab, hanya menuding ke depan. Thian Liong memutar tubuh lagi memandang ke depan. Dia melihat orang tinggi besar berjubah lebar panjang itu melompat dari atas perahunya dan...... berdiri di atas air telaga, lalu angin dari belakangnya yang bertiup cukup keras membuat jubahnya yang lebar itu mengembang. Orang itu membentang kedua lengannya sehingga jubahnya kini berbentuk sayap yang ditiup angin dari belakang dan orang itu pun meluncur maju dengan cepatnya menuju ke tebing pulau! Thian Liong memandang penuh kagum. Lima orang yang mendayung perahu itu kini melanjutkan luncuran perahu mereka ke kiri, agaknya menuju ke tepi pulau yang landai.

"Thian Liong, engkau dayunglah sendiri perahu ini dan kembalilah ke dusun Kui-sek. Jangan mencampuri urusan saya, dapat membahayakan keselamatan nyawamu!" kata kakek tukang perahu dan ketika Thian Liong menengok ke belakang, dia terbelalak. Kakek itu melompat keluar dari perahu dan berdiri di atas air, lalu menggunakan kedua dayungnya untuk mendayung sehingga tubuhnya meluncur ke depan, menuju ke tebing pulau yang tingginya tidak kurang dari seratus tombak itu.

Thian Liong memutar perahunya untuk dapat melihat dan mengikuti kakek tukang perahu itu dengan pandang matanya. Dia melihat orang pertama yang meluncur dengan jubah terkembang seperti sayap itu kini telah mencapai tebing dan seperti seekor kera orang tinggi besar itu memanjat tebing! Adapun kakek tukang perahu itu meluncur dengan cepat dan ia melihat betapa kakek itu menggunakan dua potong papan yang diikatkan kepada dua buah kakinya sehingga dia dapat terapung di atas air dan dengan dorongan dayungnya, tubuhnya meluncur dengan cepat menuju tebing!

Thian Liong merasa kagum bukan main. Kini dia dapat menduga bahwa orang tinggi besar itu pun menggunakan sesuatu yang diinjaknya sehingga tubuhnya terapung dan angin mendorong jubahnya yang mengembang seperti layar itu. Memang hal itu mustahil dapat dilakukan sembarang orang. Akan tetapi dengan memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi dan dengan tenaga sakti dapat mengatur keseimbangan, dia sendiri mungkin dapat melakukan seperti yang dilakukan dua orang itu. Kini tahulah dia bahwa kakek tukang perahu itu ternyata bukan orang sembarangan, melainkan seorang sakti!

Hati Thian Liong tertarik sekali. Pasti ada yang luar biasa terjadi di pulau itu. Maka dia lalu mendayung perahu itu sekuatnya, bukan meninggalkan tempat itu menuju dusun Kui-sek seperti yang dianjurkan kakek tukang perahu, melainkan mendekati Pulau Iblis dengan memutar, mencari bagian tepi yang landai karena dia ingin mendarat dan melihat apa yang terjadi di pulau itu.

Ketika dia melihat bagian pantai pulau itu yang landai, Thian Liong segera mendayung perahunya ke sana. Dilihatnya perahu yang ditumpangi orang tinggi besar tadi sudah berada di pantai. Lima orang pendayungnya juga sudah mendarat dan mereka berdiri di dekat perahu yang sudah ditarik ke darat. Thian Liong segera mendarat dan menarik perahunya ke pantai, tak jauh dari perahu lima orang itu.

Melihat lima orang itu berdiri seperti menunggu sesuatu, Thian Liong memperhatikan. Mereka berusia antara tigapuluh sampai empatpuluh tahun, tubuh mereka tampak kokoh kuat, akan tetapi wajah mereka seperti wajah orang bodoh. Pakaian mereka seragam, berwarna kuning, dan di pinggang mereka tergantung golok. Kepala mereka diikat kain kuning pula.

Mungkin mereka itu tahu apa yang terjadi di pulau ini, pikir Thian Liong dan dia menghampiri mereka sambil tersenyum. Setelah berhadapan dengan lima orang itu, Thian Liong memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada.

"Ngo-wi Toa-ko (Kakak Berlima), bolehkah aku mengetahui, apa yang terjadi di pulau ini?" tanyanya sambil menudingkan telunjuknya ke arah tengah hutan yang dipenuhi pohon-pohon raksasa itu.

Lima orang itu tidak menjawab, hanya saling pandang, lalu tiba-tiba mereka mencabut golok dan mengepung Thian Liong, wajah mereka jelas menunjukkan kemarahan dan permusuhan!

"Hei......! Saya tidak ingin berkelahi, tidak ingin bermusuhan! Saya tidak mempunyai niat buruk......!" Thian Liong berkata sambil mengangkat kedua tangan ke atas.

Akan tetapi, lima orang itu tanpa mengeluarkan sepatah kata pun sudah maju menyerang dengan golok mereka! Gerakan mereka cukup cepat dan kuat! Tentu saja Thian Liong merasa terkejut sekali dan dia cepat berkelebat untuk mengelak. Begitu dia melompat keluar dari kepungan, dia mendapat kenyataan aneh. Lima orang itu tampak bingung mencarinya, menggerakkan kepala dan mata mereka mencari-cari! Bukan begini sikap orang-orang yang pandai ilmu silat. Padahal gerakan mereka tadi cukup tangkas, cepat dan juga sambaran golok mereka mengandung tenaga yang besar. Akan tetapi mengapa sekarang mereka kebingungan mencari di mana dia berada? Bukankah pendengaran orang orang yang ahli silat terlatih dan dapat menangkap beradanya lawan, bahkan lebih tajam daripada penglihatan?

Ketika seorang di antara mereka memutar tubuh dan melihatnya, dia menyentuh lengan teman di dekatnya dan dengan sentuhan tangan mereka seolah memberitahu di mana adanya lawan. Kini mereka serentak menyerang lagi, lebih dahsyat daripada tadi! Ah, agaknya mereka tuli, pikir Thian Liong terheran-heran. Akan tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk berheran-heran lebih lanjut karena serangan mereka itu memang berbahaya sekali. Gerakan mereka itu saling menunjang dan melengkapi sehingga merupakan kesatuan yang amat kuat. Thian Liong kembali mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi itu untuk berkelebat dan di lain saat dia telah melompat ke atas pohon besar yang berada di dekat pantai. Dari atas pohon dia melihat bahwa lima orang itu kembali kebingungan, mencari-cari dengan pandang mata mereka, berputar-putaran.

Untuk meyakinkan hatinya, dia berseru, "Heii, aku berada di sini!" Akan tetapi lima orang itu tetap saja tidak melihat ke atas pohon. Kemudian, dia melihat betapa lima orang itu saling pandang kemudian membuat gerakan-gerakan dengan tangan, seperti yang dilakukan orang gagu kalau hendak menyatakan perasaannya kepada orang lain. Gagu! Tuli dan gagu lima orang ini, pikir Thian Liong dengan semakin heran. Bagaimana ada lima orang kesemuanya gagu dan tuli? Dan mereka berpakaian seragam lagi. Apakah mereka ini para anggauta perkumpulan aneh yang semua anggautanya gagu dan tuli? Dia lalu melompat dari pohon ke pohon lain dan meninggalkan lima orang tadi, menuju ke tengah pulau.

Setelah tiba di tengah pulau yang merupakan bukit kecil yang puncaknya rata, Thian Liong menyelinap di antara pohon-pohon dan melihat bahwa puncak itu tanahnya rata dan terbuka karena agaknya pohon-pohon itu telah ditebangi. Dia melihat sebuah pondok berdiri di tengah lapangan terbuka di puncak itu, pondok kayu yang kokoh dan sederhana.

Di depan pondok terdapat sebuah pekarangan yang luas, dipenuhi rumput tebal dan dia melihat seorang laki-laki berusia sekitar enampuluh tahun, tubuhnya pendek dengan perut gendut sekali dan kepalanya gundul. Pakaiannya yang longgar kedodoran dan mukanya yang bulat selalu tersenyum lebar itu membuat dia tampak seperti arca Ji-lai-hud, dewa bertubuh gendut yang selalu tersenyum lebar itu.

Kakek ini duduk bersila di atas sebuah batu besar, menghadap ke timur. Biarpun tubuhnya diam tak bergerak sedikit pun namun mulutnya lebar dan matanya menatap ke depan. Hanya mulut dan matanya itu yang menunjukkan bahwa dia adalah manusia hidup, bukan arca! Tiba-tiba kakek gundul berjubah lebar seperti yang biasanya menjadi ciri seorang hwesio (pendeta Buddha) membuka mulut lebar-lebar dan terdengarlah suara tawanya yang menggelegar seperti yang tadi didengar Thian Liong dari perahu. Suara itu menggetarkan tanah di mana dia berpijak, bahkan batang pohon di depannya itu seolah tergetar!

"Ha-ha-ha, keluarlah engkau, Pak-sian (Dewa Utara) Liong Su Kian! Sudah datang di sini, mengapa tidak langsung saja menampakkan diri? Ha-ha-ha-ha, apa engkau hendak main kucing-kucingan?" suara tawanya kembali menggelegar.

Karena Si Gendut Gundul itu menoleh ke arah kirinya, yaitu ke arah utara, Thian Liong juga memandang ke arah itu. Tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi seperti bunyi tiupan suling dengan nada tertinggi sehingga mendatangkan rasa nyeri dalam telinga. Thian Liong cepat mengerahkan tenaga sin-kang untuk melindungi dirinya karena suara seperti itu dapat memecahkan telinga dan membuat telinga menjadi tuli! Lalu dari balik semak belukar muncul seorang kakek berusia sekitar enampuluh tahun, rambutnya putih semua dan diikat ke atas dengan pita kuning, jubahnya putih seperti yang biasa dipakai seorang tosu (pendeta To), tubuhnya tinggi kurus dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat berwarna hitam, berujung runcing dan berkepala ular. Setelah suara melengking itu berhenti, tosu itu melangkah memasuki pekarangan dan berkata dengan suara yang tinggi kecil seperti suara wanita.

"Heh, See-ong (Raja Barat) Hui Kong Hosiang, kiranya engkau telah berada di sini! Pin-to (aku) tadi sudah mendengar suara tawamu dan mendengar pula auman Singa Timur. Mana dia?"

Sebagai jawaban kakek tinggi kurus itu, tiba-tiba terdengar gerengan mengeluarkan gema menggetar seperti auman singa yang datangnya dari arah timur dan muncullah kakek berusia sekitar enampuluh tahun juga, bertubuh tinggi besar muka hitam, pakaiannya mewah dengan jubah lebar berwarna hitam. Rambutnya riap-riapan, kumis dan jenggotnya lebat, bercambang bauk sehingga mukanya mirip muka seekor singa, tangan kanannya membawa sebatang tombak. Inilah kakek yang tadi dilihat Thian Liong, yang turun dari perahu dan meluncur di atas air telaga!

"Hemm, kalian pendeta-pendeta palsu sudah tiba di sini lebih dulu!" Si Muka Singa ini mengaum lagi dan pohon-pohon di sekitar tempat itu tergetar! "Mana dia Si Jembel, pengemis kurang makan itu? Tak tahu malu! Menjadi tuan rumah malah belum tampak hidungnya!"

Mereka bertiga sudah saling berhadapan. Pak-sian Liong Su Kian yang seperti tosu itu berdiri di utara, See-ong Hui Kong Hosiang menghadap ke timur, dan Tung-sai Kui Tong menghadap ke barat. Ucapan kakek seperti hartawan muka singa itu segera mendapat jawaban. Dari selatan muncullah kakek tinggi kurus bermuka pucat, pakaiannya lusuh dan ditambal, matanya mencorong. Dia tidak mengeluarkan suara yang dahsyat, melainkan muncul dengan langkah tenang dan kedua batang dayung itu dipegang dengan tangan kanan. Suaranya terdengar lembut ketika dia bicara setelah berdiri berhadapan dengan tiga orang lain. Mereka saling berhadapan dalam jarak sekitar tiga tombak.

"Wah, kalian sudah datang rupanya. Selamat datang, Pak-sian Liong Su Kian, See-ong Hui Kong Hosiang dan Tung-sai (Singa Timur) Kui Tong!"

"Ha-ha-ha!" See-ong Hui Kong Hosiang tertawa, kini tertawa biasa.

"Lam-kai (Pengemis Selatan) Gui Lin, engkau pembimbing terakhir jago kita. Sampai di mana sekarang kemajuannya dan di mana dia?"

"See-ong, bagianku dua tahun ini tidak sia-sia. Murid kita itu kini telah menguasai tahap berakhir. Dia kusuruh bersamadhi selama sepuluh hari dan hari ini adalah hari terakhir. Kukira sebentar lagi dia akan sadar dari samadhinya. Bagaimana, apakah kalian bertiga sudah siap memperoleh kemajuan selama delapan tahun ini? Selama delapan tahun kita berempat telah menggembleng murid kita, sejak dia berusia limabelas tahun dan baru hari ini kita dapat saling berhadapan muka kembali," kata kakek bernama Gui Lin berjuluk Lam-kai yang dikenal oleh Thian Liong sebagai tukang perahu itu.

Thian Liong yang mengintai dari tempat persembunyiannya, diam-diam terkejut sekali. Dia sudah pernah mendengar gurunya, Tiong Lee Cin-jin, memberi keterangan singkat bahwa di dunia persilatan terdapat Empat Datuk Besar yang berjuluk Pak-sian (Dewa Utara), See-ong (Raja Barat), Tung-sai (Singa Timur) dan Lam-kai (Pengemis Selatan). Mereka merupakan empat orang datuk besar empat penjuru dan memiliki ilmu kesaktian tinggi. Akan tetapi gurunya pernah mengatakan bahwa kalau dia bertemu mereka, jangan katakan bahwa dia adalah murid Tiong Lee Cin-jin! Dan kini, dia berhadapan dengan Empat Datuk Besar dari empat penjuru itu. Bahkan Lam-kai Gui Lin menyamar sebagai tukang perahu yang perahunya dia sewa!

"Ha-ha-ha! Omitohud, Lam-kai agaknya telah memperdalam ilmu silatnya maka kini mengejek apakah yang lain memperoleh kemajuan selama delapan tahun ini!" kata See-ong, hwesio pendek gendut itu sambil tertawa.

"Akan tetapi sudah sepatutnya kalau kita semua memperdalam ilmu kita, selain mengajar murid kita itu masing-masing dua tahun, karena tentu saja di antara kita tidak ada yang mau mengulang kekalahan kita dari Yok-sian (Dewa Obat)!" kata Pak-sian dengan suaranya yang seperti suara wanita.

"Hemmm......!" Tung-sai menggereng.

"Aku telah mempersiapkan diri dan akan kubalas kekalahanku kalau aku dapat bertemu dengan Tiong Lee Cin-jin!"

Tentu saja Thian Liong terkejut sekali mendengar percakapan mereka itu. Mereka membicarakan gurunya! Kini dia dapat menduga mengapa gurunya memesan agar dia tidak mengaku sebagai murid Yok-sian Tiong Lee Cin-jin kalau bertemu Empat Datuk Besar ini. Kiranya mereka berempat pernah dikalahkan gurunya dan agaknya mereka merasa penasaran dan selama delapan tahun mereka memperdalam ilmu silat mereka, juga mereka herempat agaknya menurunkan ilmu mereka secara bergantian kepada seorang murid! Murid mereka itu dilatih sejak usia limabelas tahun, berarti sekarang telah berusia duapuluh tiga tahun. Dia memandang dengan penuh perhatian berhati-hati sekali agar jangan sampai ketahuan oleh mereka karena dia maklum bahwa empat orang itu tentu lihai bukan main.

"Lam-kai, apakah engkau selama dua tahun ini menjaga rahasia kita dan tak seorang pun tahu akan murid yang sedang kau gembleng itu seperti yang telah kami lakukan ketika tiba giliran kami?" tanya See-ong.

"Tentu saja! Kalian lihat, aku bahkan tidak memakai pakaian kebesaranku sebagai datuk para pengemis. Aku menyamar sebagai seorang tukang perahu agar tidak ada seorang pun menduga bahwa aku adalah Lam-kai dan tak seorang pun tahu akan murid kita."

Mendengar ini, Thian Liong sekarang tidak merasa heran mengapa Pengemis Selatan yang merupakan datuk semua kai-pang (perkumpulan pengemis) di daerah selatan itu menyamar sebagai tukang perahu.

"Bila dia selesai dengan samadhinya?" tanya Pak-sian tidak sabar.

"Berapa lama aku harus menunggu?"

Lam-kai menoleh dan memandang ke arah pondok.

"Menurut perhitungan, hari ini dia akan selesai melatih pengerahan sin-kang (tenaga sakti). Akan tetapi rupa-rupanya karena dia menerima empat macam aliran sin-kang, terjadi kelainan. Kalau penggabungan empat aliran itu berhasil dengan baik, dia akan memiliki kekuatan dan kemampuan yang tidak kalah oleh kita berempat. Akan tetapi kalau dia gagal, hal itu dapat membuat batinnya menjadi kacau dan sulit diatur."

"Hemm, begitukah? Kenapa kita tidak gugah saja, dia?" Tung-sai Si Muka Singa itu bertanya dan sepasang alisnya yang tebal itu berkerut.

"Jangan!" kata Lam-kai.

"Hal itu akan mengganggu dan mengacau dia dan kemungkinan akibatnya akan buruk. Kita tunggu saja di sini sampai dia selesai dan keluar. Itu See-ong sudah mendapat tempat duduk. Mari kita duduk di sini dan menanti dengan sabar. Kita sudah menanti selama delapan tahun, masa sekarang hanya menunggu beberapa lamanya saja tidak sabar?"

Lam-kai lalu menghampiri sekumpulan batu-batu besar, sebesar perut kerbau dan dengan ringan saja dia mengangkat batu-batu itu satu demi satu dan dilontarkan ke arah Pak-sian dan Tung-sai. Batu itu tentu saja berat sekali dan ditambah dengan tenaga lontaran kakek kurus pucat itu, batu melayang cepat ke arah dua orang itu.

Pak-sian yang tinggi kurus berambut putih itu mengeluarkan suara melengking lalu tubuhnya melompat tinggi ke atas dan tahu-tahu dia sudah hinggap di atas batu yang terbang ke arahnya, lalu batu itu turun di tempat dia berdiri tadi, dengan dia duduk bersila di atasnya! Thian Liong menonton dengan kagum. Pak-sian itu memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat, juga tenaga saktinya amat kuat.

Sementara itu, Tung-sai juga menggereng. Dia tidak melompat menghindar atau menangkis, melainkan menyambut batu besar itu dengan tombaknya. Batu besar itu diterima di ujung tombak dan batu itu berputar di atas ujung tombak. Setelah berpusing beberapa lamanya di ujung tombak, Tung-sai menurunkan tombaknya dan batu itu menempel terus sambil berputar sampai tiba di atas tanah, Tung-sai lalu duduk di atasnya, bersila seperti yang dilakukan See-ong dan Pak-sian. Thian Liong juga kagum terhadap Singa Timur ini karena caranya menyambut lontaran batu tadi menunjukkan bahwa datuk itu memiliki ilmu tombak yang amat dahsyat.

Lam-kai sendiri mengambil sebongkah batu dan kini mereka masing-masing duduk bersila dengan kedudukan seperti tadi, sesuai dengan julukan masing-masing. Si Dewa Utara duduk di sebelah utara, Raja Barat duduk di barat, Singa Timur duduk di timur dan Pengemis Selatan duduk di selatan! Jarak di antara mereka kurang lebih tujuh meter.

Thian Liong melihat semua itu dengan hati tegang. Apakah yang sedang direncanakan Empat Datuk Besar itu? Apa yang hendak mereka lakukan dan siapa pula murid yang menerima gemblengan mereka berempat? Sebetulnya dia hendak pergi saja karena merasa tidak enak mengintai orang-orang yang tidak ada urusan dengan dia. Akan tetapi ingin dia melihat murid mereka itu lebih dulu sebelum pergi meninggalkan Pulau Iblis.

Tidak lama Thian Liong menunggu. Tiba-tiba saja terdengar suara keras dan atap pondok kayu itu jebol, lalu dari dalam meluncur bayangan orang ke atas sampai tinggi, kemudian tubuh orang itu berjungkir balik di udara beberapa kali dan turun di tengah-tengah antara empat orang yang duduk bersila itu. Ketika turun, kedua kakinya hinggap di tanah bagaikan seekor kucing melompat, sama sekali tidak menimbulkan suara sehingga dari ini saja sudah dapat diketahui bahwa orang itu memiliki gin-kang yang sudah tinggi sekali.

Thian Liong memandang penuh perhatian. Orang itu adalah seorang pemuda, pasti, dia yang dimaksudkan Empat Datuk Besar itu karena pemuda itu usianya sekitar duapuluh tiga tahun. Pemuda itu bertubuh sedang namun tegak, dengan dada bidang dan kepala tegak angkuh. Rambutnya hitam dan saat itu rambutnya dikuncir tebal bergantung di belakang. Wajahnya yang berkulit putih itu berbentuk bulat. Dahinya lebar, alisnya hitam tebal, melindungi sepasang mata yang mencorong namun sinarnya liar dengan pandang mata tak acuh, hidungnya mancung dan mulutnya berbentuk bagus dan jantan.

Namun mulut itu mengembangkan senyum sinis dan memandang rendah apa yang berada di depannya. Pakaiannya dari sutera serba putih dengan potongan pakaian pendekar yang ringkas. Seorang pemuda yang gagah dan tampan, namun membayangkan sikap yang angkuh dan memandang rendah orang lain, juga matanya yang liar itu terkadang mengeluarkan sinar kejam!

Empat Datuk Besar juga memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata gembira. Terutama sekali Tung-sai Kui Tong, dia mengeluarkan suara gerengan dahsyat itu yang menggetarkan bumi di sekelilingnya dan berkata-kata dengan suaranya yang parau dan besar.

"Heemmmmm, anakku yang baik, muridku yang pintar. Selama delapan tahun engkau kami gembleng secara bergiliran, sekarang sudah saatnya kami berempat menguji apakah kemampuanmu sudah cukup untuk membalaskan dendam kami, membunuh Si Sombong Yok-sian (Dewa Obat) Tiong Lee Cin-jin. Bersiaplah engkau dan hadapi seranganku. Awas, kami tidak main-main, kalau engkau kurang waspada mungkin saja engkau akan tewas di tangan kami!" Setelah berkata demikian, Tung-sai mengeluarkan suara mengaum dan seperti seekor singa kelaparan, dari atas batu di mana tadinya dia duduk bersila, tubuhnya sudah melayang dan menyerang pemuda itu seperti seekor singa menerkam korbannya!




Namun dengan mudahnya pemuda itu menggeser kaki mengelak ke kiri. Tung-sai dengan gerakan cepat dan kuat memutar tombaknya ke kanan dan tombak itu sudah meluncur ke arah dada pemuda itu. Hebat dan cepat sekali gerakan tombak Tung-sai Kui Tong ini sehingga tidak kosong belaka kalau di dunia kang-ouw dia disebut Si Tombak Maut! Akan tetapi pemuda itu agaknya sudah hafal akan gerakan tombak itu dan kembali dia dapat menghindarkan diri dengan mudah. Setelah membiarkan Tung-sai melakukan serangan sampai lima kali, pada saat tombak menyerang untuk keenam kalinya dengan sabetan kuat ke arah lehernya, pemuda itu membiarkan tombak menyambar dekat dan setelah dekat, tangannya bergerak dari samping bawah dan menangkis.

"Cringgg......!" Tombak dengan gagangnya yang terbuat dari baja pilihan itu terpukul ke samping dan Tung-sai merasa betapa kedua tangannya tergetar hebat!

"Lam-kai, bantulah aku!" Tung-sai berseru.

Lam-kai Gui Lin bergerak dari atas batu yang didudukinya dan tiba-tiba tampak sinar berkilat dan tahu-tahu ketika tubuhnya turun, dia sudah memegang sebatang pedang yang gemerlapan. Thian Liong yang tadi mengamatinya dengan penuh perhatian, baru mengerti bahwa kakek yang menyamar sebagai tukang perahu itu menyembunyikan pedangnya ke dalam sebatang di antara dua dayungnya. Dia mematahkan sebatang dayungnya dan keluarlah sebatang pedang yang mengeluarkan sinar berkilauan!

Begitu menerjang, Lam-kai telah menggerakkan pedangnya menyerang pemuda itu dengan cepat dan kuat sekali. Penyerangannya tidak kalah dahsyat dibandingkan serangan Tung-sai tadi dan kini pemuda itu dikeroyok oleh dua orang yang memiliki kepandaian tinggi. Tombak itu menyambar-nyambar dengan tusukan kilat sedangkan pedang itu berdesingan dan berubah menjadi sinar bergulung-gulung. Dari suara berdesing ini saja sudah dapat dinilai betapa dahsyatnya serangan itu dan juga dari ujung tombak yang kalau luput menusuk tergetar menjadi banyak dapat diketahui betapa hebatnya serangan tombak itu.

Thian Liong memandang kagum. Dia tahu bahwa dua orang datuk itu benar-benar tidak main-main dan serangan mereka merupakan serangan maut. Kalau pemuda itu tidak memiliki gerakan cepat dan terkena bacokan pedang atau tusukan tombak, tentu dia akan terluka parah atau tidak mustahil tewas seketika! Akan tetapi bayangan pemuda itu berkelebatan dan ia mampu menghindarkan pengeroyokan pedang dan tombak itu dengan elakan atau tangkisan. Yang mengagumkan, terkadang pemuda itu berani menangkis mata tombak dan pedang dengan kebutan tangan kosong!

"Suhu Pak-sian dan Suhu See-ong, majulah sekalian agar kalian berempat mengeroyokku! Aku tidak akan menyesal seandainya aku terluka atau tewas!" pemuda itu menantang dan suaranya lembut dan merdu, manis menyenangkan!

Pak-sian Liong Su Kian melengking dan tubuhnya berkelebat seperti kilat dan tongkat hitamnya berkepala ular itu sudah menotok tujuh jalan darah di tubuh pemuda itu. Namun pemuda itu dapat menghindarkan semua totokan karena dia pun sudah hafal akan ilmu tongkat yang dimainkan Pak-sian.

"Omitohud! Engkau membuat hati pinceng (aku) gembira, Can Kok!" kata See-ong Hui Kong Hosiang dan pendeta pendek gendut ini pun sudah mengeroyok. Dia tidak menyerang dengan senjata, namun kedua ujung lengan bajunya yang panjang merupakan sepasang senjata yang tidak kalah ampuhnya dibandingkan senjata tajam dan runcing terbuat dari baja.

Kini Thian Liong benar-benar merasa kagum dan juga heran. Pemuda itu dikeroyok empat orang, padahal mereka itu adalah Empat Datuk Besar yang rata-rata memiliki kesaktian! Dan empat orang itu menyerangnya dengan senjata dan bukan main-main, melainkan menyerang dengan sungguh-sungguh. Senjata-senjata itu berkelebatan bagaikan tangan-tangan maut yang mengancam nyawa pemuda itu!

Pemuda yang tadi disebut Can Kok oleh See-ong itu menyambut pengeroyokan empat orang itu dengan tangan kosong saja! Dia bergerak cepat dan ringan sekali, bagaikan berubah menjadi bayang-bayang dan menyambut semua serangan itu dengan elakan atau tangkisan kedua tangannya yang berani beradu dengan senjata tajam dan runcing!

Bukan main, pikirnya. Pemuda itu benar-benar hebat sekali. Dia sendiri pasti akan kerepotan kalau dikeroyok empat orang datuk itu. Can Kok, dia akan mengingat nama itu. Thian Liong seolah mendapat firasat buruk bahwa Can Kok ini kelak akan menjadi lawannya! Apalagi mengingat bahwa Empat Datuk Besar itu mendendam kepada suhunya dan hendak membalas kekalahan yang pernah diderita mereka dari suhunya!

Maklum bahwa kalau mereka melihatnya maka tentu akan timbul keributan, maka Thian Liong merasa tidak enak kalau mengintai terus. Dia lalu dengan hati-hati meninggalkan tempat itu. Setelah tiba di pantai di mana dia meninggalkan perahunya, dia melihat lima orang tuli gagu tadi masih berada di situ, menunggui perahu mereka.

Thian Liong tidak memperhatikan mereka. Akan tetapi lima orang itu ketika melihat Thian Liong datang, mereka mencabut senjata dan siap hendak menyerang. Thian Liong tidak ingin berkelahi, apalagi dia tidak ingin kehadirannya di pulau itu ketahuan oleh Empat Datuk Besar dan murid mereka yang aneh dan lihai itu. Maka, dia lalu menghampiri sebatang pohon dan mencabut pohon itu yang menjadi jebol berikut akarnya.

Melihat ini, lima orang itu terbelalak dan mereka mundur ketakutan. Kesempatan itu dipergunakan Thian Liong untuk menarik perahu kecilnya ke air dan mendayung perahu itu meninggalkan pulau. Lima orang tadi hanya melihat ke arah perginya Thian Liong. Tangan bergerak-gerak, mewakili kata-kata untuk bicara dengan teman-teman mereka.

Siapakah pemuda lihai yang mampu menandingi pengeroyokan Empat Datuk Besar itu? Delapan tahun yang lalu, pemuda itu adalah murid Tung-sai (Singa Timur) Kui Tong. Datuk Timur ini amat menyayang pemuda yang bernama Can Kok itu karena selain pemuda itu menjadi seorang murid yang pandai, juga dia adalah keponakannya sendiri, putera adik perempuannya yang menikah dengan sutenya (adik seperguruan) yang bernama Can Giam dan berjuluk Huang-sin-eng (Garuda Sakti Kuning).

Tigabelas tahun yang lalu, ketika Can Kok berusia sepuluh tahun, pada suatu hari ayahnya, Huang-sin-eng Can Giam tewas ketika dia hendak merampas kitab-kitab yang dibawa Tiong Lee Cin-jin. Dalam perkelahiannya melawan Si Dewa Obat, Can Giam menderita luka dalam yang parah karena tenaga sin-kangnya membalik dan memukul dirinya sendiri ketika dia menyerang Yok-sian Tiong Lee Cin-jin. Biarpun terluka parah, dia menolak ketika Tiong Lee Cin-jin hendak mengobatinya. Dia memaksa dirinya yang sudah payah itu untuk pulang dan setibanya di rumah, dia tewas karena luka dalam yang parah itu. Isterinya, adik perempuan Tung-sai, menyusul suaminya, meninggal dunia karena sakitnya menjadi semakin berat sepeninggal suaminya.

Demikianlah, Can Kok yang menjadi yatim piatu itu dibawa paman tuanya ke pantai Laut Timur daerah Ce-kiang. Tung-sai Kui Tong tinggal di sebuah pulau kecil dan menjadi to-cu (majikan pulau) dari Pulau Udang, hidup sebagai seorang yang kaya raya dan berkuasa sepenuhnya. Penghuni pulau sejumlah sekitar seratus kepala keluarga itu menjadi anak buahnya.

Tung-sai Kui Tong adalah seorang datuk yang berwatak keras dan aneh. Dia mempunyai duapuluh orang pengawal yang merupakan anak buah yang juga murid-muridnya yang paling dipercaya, merupakan pengawal-pengawal pribadi. Akan tetapi, duapuluh orang ini semua tuli dan gagu! Bukan gagu tuli sejak kecil atau terkena penyakit, melainkan dibikin gagu tuli oleh Tung-sai Kui Tong. Sebagai seorang ahli, dia mampu membuat mereka itu tidak mampu mendengar dan tidak mampu bicara dengan merusak syaraf yang bekerja untuk kedua keperluan itu!

Pulau Udang itu merupakan sebuah kerajaan kecil di mana Tung-sai menjadi rajanya! Penghasilan mereka seluruhnya diambil dari dalam lautan. Menangkap ikan terutama udang-udang yang dapat dijual dengan harga tinggi karena banyak disuka orang kota. Dan yang terutama sekali, hasil penyelaman untuk dapat menemukan mutiara di kerang-kerang besar. Hasil mutiara ini yang membuat Singa Timur menjadi kaya raya.

Tung-sai Kui Tong sendiri tidak mempunyai anak walaupun dia memiliki tiga orang isteri. Karena itu, setelah dia membawa Can Kok ke pulau dan melihat anak itu amat cerdik, berbakat besar dan bertulang kuat, juga melihat Can Kok juga pandai membawa diri, berwajah tampan pula, Singa Timur itu menjadi sayang padanya. Can Kok dianggap puteranya sendiri dan digembleng ilmu silat dan juga ilmu baca tulis sehingga Can Kok menjadi seorang pemuda bun-bu-coan-jai (ahli silat dan sastra).

Kemudian, ketika Can Kok berusia limabelas tahun, Tung-sai Kui Tong yang pergi meninggalkan pulau selama sebulan, pulang ditemani oleh tiga orang laki-laki, yaitu Pak-sian Liong Su Kian, See-ong Hui Kong Hosiang, dan Lam-kai Gui Lin, yaitu datuk utara, datuk barat, dan datuk selatan. Sedangkan Tung-sai sendiri adalah datuk timur. Mereka berempat yang dikenal dengan sebutan Empat Datuk Besar. Akan tetapi yang mengejutkan hati Can Kok adalah bahwa mereka berempat itu menderita luka-luka walaupun tidak parah. Dari gurunya, atau paman tuanya yang sudah dianggap sebagai ayahnya sendiri, dia mendengar bahwa Empat Datuk Besar itu terluka karena kalah bertanding melawan Yok-sian (Dewa Obat) Tiong Lee Cin-jin.

"Keparat jahanam Tiong Lee Cin-jin!" Can Kok pemuda remaja berusia limabelas tahun itu berteriak sambil mengepal kedua tangannya. Matanya mencorong penuh kemarahan dan mukanya yang tampan menjadi merah.

"Aku akan membunuhnya untuk membalas kematian ayah dan membalas kekalahan Pek-hu (Paman Tua)!"

Melihat kemarahan pemuda itu, tiga orang datuk lain memandang Can Kok dengan penuh perhatian dan hati mereka tertarik, mata mereka yang penuh pengalaman itu dapat menilai bahwa pemuda itu memiliki semangat besar dan sinar matanya yang mencorong menunjukkan bahwa ia memiliki batin yang kuat dan penuh keberanian.

"Omitohud, Singa Timur, siapakah pemuda ini?" tanya See-ong dan dua orang datuk yang lain juga mengamati wajah Can Kok penuh perhatian.

"Anak ini bernama Can Kok. Dia adalah keponakanku, anak mendiang adik perempuanku, dan sudah yatim piatu. Dia juga muridku terbaik dan anak angkatku. Kelak dialah yang kuharapkan akan dapat membalaskan kekalahanku sekarang, juga membalaskan dendam ayah kandungnya yang tewas pula karena bertanding melawan Yok-sian Tiong Lee Cin-jin. Ayah kandungnya adalah suteku sendiri."

"Maksudmu mendiang Huang-sin-eng Can Giam?" tanya Pak-sian Liong Su Kian.

"Benar, karena itu aku akan mengajarkan seluruh ilmuku kepadanya agar kelak dia dapat membalaskan dendam ini."

"Aih, Tung-sai, bukan maksudku memandang rendah kepandaianmu. Akan tetapi kalau engkau sendiri, bahkan kita berempat, masih tidak mampu menandingi Yok-sian, bagaimana engkau dapat mengharapkan muridmu dapat mengalahkannya?" kata Lam-kai Gui Lin.

Mendengar ucapan Pengemis Selatan ini, Singa Timur mengerutkan alisnya. Hatinya tidak senang, akan tetapi dia tidak dapat membantah ucapan itu karena memang benar. Dia dengan tiga orang rekannya, Empat Datuk Besar, maju bersama dan masih juga belum mampu mengalahkan Tiong Lee Cin-jin. Biarpun seluruh ilmunya diturunkan kepada Can Kok, tidak mungkin pemuda itu mampu menandingi Tiong Lee Cin-jin yang mereka anggap sebagai musuh besar itu.

"Aku harus mengakui kebenaran ucapanmu, Pengemis Selatan. Akan tetapi apalagi yang dapat kulakukan?" katanya kesal.

"Omitohud! Pinceng mempunyai gagasan yang baik sekali! Kalau kita berempat dapat mengajarkan inti ilmu masing-masing yang paling ampuh kepadanya, maka dengan penggabungan ilmu kita berempat, tentu lebih besar harapan anak ini akan mampu mengalahkan Yok-sian! Akan tetapi kita harus selidiki dulu apa-kah kiranya seseorang mampu menerima penggabungan ilmu-ilmu kita yang paling berat."

Mendengar ucapan See-ong Hui Kong Hosiang itu, semua orang setuju.

"Aku menjamin bahwa dia memiliki tulang bersih dan kuat, juga bakatnya besar dan otaknya cerdik. Kalian boleh memeriksanya sendiri!" kata Tung-sai gembira karena gagasan itu agaknya merupakan satu-satunya jalan untuk dapat membalas dendam dengan berhasil.

Tiga orang datuk itu lalu menghampiri Can Kok dan mulai memeriksa keadaan tubuh pemuda remaja itu. Ada yang meraba-raba kepalanya, ada yang memijat-mijat lengan dan kakinya, ada pula yang mengetuk-ngetuk dadanya dan akhirnya mereka bertiga mengangguk-angguk, bahkan mengeluarkan suara memuji dan kagum.

"Aku setuju dengan gagasan Raja Barat tadi!" kata Dewa Utara.

"Aku pun cocok!" kata Pengemis Selatan.

"Omitohud, kalau semua setuju, mari kita atur bagaimana baiknya. Singa Timur, engkau sebagai Paman tua, guru pertama dan juga orang tua angkat Can Kok, katakan bagaimana pendapat dan rencanamu untuk melaksanakan gagasan kita itu."

Tung-sai Kui Tong mengangguk-angguk, lalu berkata dengan suaranya yang seperti aum singa itu kepada Can Kok.

"Kok-ji (Anak Kok), bagaimana? Mau dan sanggupkah engkau digembleng secara bergantian oleh kami berempat agar engkau dapat menggabungkan inti ilmu aliran kami masing-masing sehingga engkau kelak akan dapat mewakili kami membunuh Yok-sian Tiong Lee Cin-jin?"

"Saya sanggup Pekhu (Paman Tua)!" jawab Can Kok dengan suara mantap dan tegas.

"Bagus! Kalau begitu sebaiknya diatur begini. Aku sendiri yang akan mulai mengajarkan ilmuku yang paling ampuh kepadanya selama dua tahun. Setelah itu kalian boleh bergantian mengajarnya, menurunkan ilmu kalian yang paling ampuh, masing-masing dua tahun. Dia akan berusia duapuluh tiga tahun setelah digembleng selama empat kali dua tahun."

"Setuju!" kata Pak-sian dengan suaranya yang melengking seperti suara wanita.

"Aku akan menjadi orang kedua menurunkan semua ilmu yang paling ampuh kepadanya."

"Omitohud, biar pinceng menjadi guru ketiga selama dua tahun setelah dia selesai belajar pada Dewa Utara!"

"Bagus, kalau begitu rencana kita sudah dipastikan. Dan Pengemis Selatan akan menjadi guru terakhir selama dua tahun," kata Tung-sai.

Lam-kai Gui Lin mengangguk-angguk.

"Baik, setelah Raja Barat mengajar selama dua tahun, aku akan membawanya pergi dan menggemblengnya selama dua tahun."

"Akan tetapi, ke mana engkau akan membawa dia pergi, Lam-kai? Selama ini engkau adalah seorang pengemis yang merantau di daerah selatan, tidak mempunyai tempat tinggal tertentu."

"Jangan khawatir. Setelah dia belajar selama dua tahun, aku akan mengabari kalian semua untuk datang berkunjung ke tempatku dan kita berempat dapat melihat dan menguji bagaimana hasil jerih payah kita masing-masing dua tahun itu."

Demikianlah, mulai hari itu, selama dua tahun Can Kok digembleng secara istimewa oleh Tung-sai Kui Tong yang mengajarkan semua ilmunya yang paling ampuh dan cara menghimpun tenaga sakti menurut ajaran alirannya. Setelah dua tahun terlewat, Pak-sian Liong Su Kian datang dan mengajak Can Kok ke Cin-ling-san, di mana dia menjadi pertapa di sebuah puncak pegunungan itu. Setelah Dewa Utara itu mengajarkan semua ilmu rahasia yang paling ampuh selama dua tahun, See-ong Hui Kong Hosiang datang menjemput Can Kok dan membawanya ke Pegunungan Beng-san di barat di mana dia tinggal seorang diri dalam sebuah kuil tua yang disebut Thian-kok-si. Di tempat sunyi ini kembali Can Kok digembleng secara istimewa oleh hwesio itu selama dua tahun.



JODOH SI NAGA LANGIT JILID 06

Terakhir Can Kok diajak Lam-kai Gui Lin ke selatan. Karena Pengemis Selatan ini tidak mempunyai tempat tinggal tetap dan dia tidak ingin ada orang lain melihat bahwa dia menggembleng Can Kok, maka dia lalu memilih Pulau Iblis di Telaga Barat untuk menjadi tempat tinggalnya. Dia membangun sebuah pondok di pulau yang ditakuti penduduk sekitar telaga dan menggembleng Can Kok di situ. Agar tidak menarik perhatian orang, dia menyamar sebagai tukang perahu dan nelayan.

Setelah masa dua tahun akan habis, Lam-kai Gui Lin mengirim kabar kepada tiga orang datuk yang lain dan pada hari itu, mereka berempat berkumpul di Pulau Iblis dan setelah Can Kok selesai dengan latihan penggabungan tenaga sakti dari empat aliran yang berbeda, pemuda itu melompat keluar secara luar biasa, menjebol atap. Perbuatan ini saja sudah menunjukkan bahwa latihan yang berbeda-beda dari empat orang datuk dan kemudian dia disuruh menggabungkannya, memang dapat ditahan tubuhnya, akan tetapi mengguncang jiwanya dan mendatangkan kelainan pada sikapnya, menjadi aneh.

Seperti kita ketahui, Can Kok sedang diuji oleh Empat Datuk Besar dan dia sudah hafal akan sifat serangan empat orang datuk itu. Bahkan kini dia memiliki tenaga sakti yang diajarkan Empat Datuk Besar itu mendatangkan tenaga sakti yang ajaib namun amat kuat!

Empat Datuk Besar itu mengeroyok sampai seratus jurus, namun mereka tidak mampu mendesak murid bersama mereka itu, bahkan serangan balasan membuat mereka harus melompat mundur untuk menghindarkan diri dari terjangan Can Kok yang amat hebat! Setelah merasa puas menguji ilmu silat, Tung-sai Kui Tong berseru.

"Kita kini uji tenaga sin-kangnya!"

Empat Datuk Besar itu berlompatan ke belakang, lalu mereka menyatukan tenaga sakti mereka dan dengan pengerahan sin-kang (tenaga sakti) sekuatnya, mereka mendorongkan kedua tangan ke arah Can Kok. Angin besar bergemuruh menyambar ke arah pemuda itu. Ini adalah serangan jarak jauh yang teramat berbahaya! Empat orang datuk besar ini, memang merupakan tokoh-tokoh, yang selain sakti juga terkenal berwatak aneh dan sulit dimengerti orang-orang biasa. Mereka menyayang Can Kok sebagai murid mereka dan masing-masing sudah mengorbankan waktu selama dua tahun untuk menggemblengnya. Akan tetapi kini, untuk mengujinya, mereka menyerang dengan pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga sakti sepenuhnya dan bukan mustahil akan dapat menewaskan murid itu!

"Wuuuuttt...... blarrr......!"

Can Kok menyambut serangan itu dengan merendahkan tubuh menekuk lutut sehingga hampir berjongkok dan kedua tangannya didorongkan ke depan. Ketika tenaga sakti yang didorongkan keempat Datuk Besar itu bertemu dengan sambutan tenaga sakti Can Kok tubuh empat orang kakek itu terpental sampai lima meter dan terbanting roboh! Dari mulut mereka keluar darah segar, dan mereka cepat bangkit duduk bersila untuk memulihkan tenaga dan mencegah agar luka dalam yang mereka derita tidak menjadi semakin parah.

Can Kok sendiri masih berdiri setengah berjongkok, tidak tergeser dari tempat dia berdiri, akan tetapi kedua kakinya terperosok masuk ke dalam tanah sampai sebatas lutut! Dari pertemuan tenaga sakti ini saja sudah dapat terbukti bahwa tenaga sakti yang dimiliki Can Kok ini bahkan, lebih kuat daripada tenaga keempat gurunya menjadi satu! Can Kok menarik kedua kakinya dari dalam tanah, berdiri tegak memandang empat orang gurunya yang duduk bersila memejamkan mata itu, dan dia lalu menengadah dan tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha-ha-ha-ha......!" Tubuhnya berkelebat lenyap dari situ, akan tetapi suara tawanya masih terdengar berkepanjangan dan bergema, makin lama semakin perlahan dan akhirnya lenyap terbawa angin.

Empat orang datuk besar itu menghela napas panjang. Diam-diam mereka merasa khawatir karena biarpun murid mereka itu dapat diharapkan akan mampu membalas dendam dan kebencian mereka dengan membunuh Tiong Lee Cin-jin, namun dia pun kini menjadi aneh dan tidak memperdulikan empat orang gurunya lagi dan kalau sampai pemuda itu tidak terkendali, siapa yang akan mampu menundukkannya kalau dia menjadi liar dan merusak?

Can Kok berloncatan ke arah pantai pulau itu dan mulutnya berbisik-bisik, "Tiong Lee Cin-jin, tunggulah saat kematianmu di tanganku. Ha-ha-ha, engkau harus menghadap Ayahku di alam baka. Ha-ha-ha!" Sambil tertawa-tawa, kini tawa tanpa bunyi, hanya menyeringai dan terkekeh, seperti seorang yang miring otaknya!

Setelah tiba di pantai, lima orang gagu-tuli yang menjadi pendayung dan anak buah Tung-sai memandang ke arahnya dengan pandang mata heran.

Seperti diketahui, sejak berusia sepuluh tahun Can Kok dibawa paman-tuanya, yaitu Tung-sai (Singa Timur) Kui Tong ke Pulau Udang di Laut Timur dan selama lima tahun digembleng di sana. Setelah berusia limabelas tahun, barulah dia keluar dari pulau untuk menerima gemblengan empat orang datuk besar itu selama masing-masing dua tahun. Karena itu, lima orang pendayung perahu yang merupakan sebagian dari anak buah Pulau Udang yang menjadi anak buah Tung-sai, mengenal Can Kok. Mereka adalah orang yang sengaja dibikin gagu dan tuli oleh Tung-sai, dan mereka amat setia kepada Tung-sai. Melihat Can Kok mendatangi perahu mereka dan tanpa banyak cakap hendak melepaskan ikatan perahu, lima orang itu segera menghampirinya dan menghalangi dengan gerakan tangan, melarang Can Kok yang hendak menggunakan perahu itu.

Can Kok memandang mereka dengan alis berkerut.

"Pergi kalian!" bentaknya.

Akan tetapi lima orang gagu tuli itu yang merasa berkewajiban menjaga perahu, kukuh hendak melarang dengan memegangi perahu yang hendak ditarik ke air oleh Can Kok. Melihat ini, Can Kok menjadi marah dan dia memperlihatkan kemarahannya itu dengan tertawa. Kalau mengeluarkan tawa terkekeh dengan suara seperti tangis mengguguk seperti itu, merupakan pertanda bahwa pemuda aneh itu sedang marah!

Tiba-tiba tangan kirinya berkelebat ke arah lima orang itu dan mereka berpelantingan roboh dan tewas seketika dengan muka berubah menghitam! Can Kok tertawa bergelak, kini tertawa karena senang hatinya seperti ketika dia merobohkan empat orang datuk besar tadi. Dia mendorong perahu ke air telaga lalu mendayung. Perahu meluncur cepat sekali karena gerakan dayung itu bukan main kuatnya, seolah didayung sepuluh orang, sebentar saja sudah jauh meninggalkan Pulau Iblis.

Ketika empat orang datuk besar tiba di pantai pulau itu, mereka melihat mayat orang gagu tuli yang mukanya kehitaman dan mereka berempat menghela napas panjang.

"Celaka, dia menjadi liar sampai orang-orang sendiri pun dia bunuh!" kata Tung-sai Kui Tong.

"Hemm, bukan mustahil kalau kelak bertemu dengan kita, dia juga akan membunuh kita satu demi satu. Otak anak itu telah rusak oleh sin-kang yang amat kuat namun karena datang dari empat aliran yang dipersatukan, merusak dan mengacau pikirannya," kata Pak-sian Liong Su Kian.

"Bagaimanapun juga, dia sudah menjadi luar biasa lihainya dan aku yakin dia akan mampu membunuh Tiong Lee Cin-jin," kata Lam-kai Gui Lin.

"Omitohud! Biarkan dia membunuh Tiong Lee Cin-jin lebih dulu, baru sesudah itu kita mencari jalan untuk memusnakan dia karena kalau dibiarkan, dia hanya akan membikin kotor nama kita yang menjadi guru-gurunya," kata See-ong Hui Kong Hosiang.

Tung-sai Kui Tong lalu melempar-lemparkan mayat lima orang anak buahnya itu ke tengah telaga dan sebentar saja di telaga itu ikan-ikan berpesta pora. Kekejaman seperti itu bukan merupakan hal aneh bagi empat orang datuk besar yang terkenal akan kesesatannya itu. kemudian mereka berempat mempergunakan dua buah perahu kecil yang tadi dipergunakan Pak-sian Liong Su Kian dan See-ong Hui Kong Hosiang untuk meninggalkan Pulau Iblis di tengah telaga itu.

Setelah tiba di daratan mereka berpisah dan kembali ke tempat tinggal masing-masing, Pak-sian kembali ke Cin-ling-san, See-ong kembali ke Beng-san, Tung-sai kembali ke Pulau Udang di Laut Timur, dan Lam-kai Gui Lin kembali merantau karena dia adalah seorang datuk pengemis yang suka merantau dan tinggal di Pulau Iblis hanya untuk Sementara, selama dua tahun ketika dia melatih Can Kok.

Yang pernah melihat Han Bi Lan tentu tidak akan menduga bahwa gadis yang berjalan perlahan mendaki bukit itu adalah Han Bi Lan. Setelah beberapa bulan meninggalkan ibunya, mengamuk dan menciderai para pria bangsawan dan hartawan yang sedang bersenang-senang di rumah-rumah pelacuran, gadis yang tadinya bertubuh denok padat itu kini tampak kurus. Pakaiannya yang biasanya berwarna merah muda dan rapi bersih, kini lusuh. Rambutnya yang hitam panjang dan biasanya digelung indah, kini dibiarkan terurai lepas sampai ke punggung. Wajahnya memang masih tampak cantik menarik namun kehilangan sinarnya, pandang matanya kosong dan sepasang alisnya yang indah bentuknya itu selalu berkerut.

Berbagai kegetiran mengacaukan ingatannya. Pertama yang mengguncangkan hatinya adalah kenyataan bahwa ibunya adalah seorang bekas pelacur! Kedua adalah kematian ayahnya sehingga ia bersumpah untuk membalas dendam karena kematian ayahnya itu kepada Toat-beng Coa-ong Ouw Kan dan dua muridnya, yaitu pemuda bernama Bouw Kiang dan gadis bernama Bong Siu Lan! Dan ketiga, ia harus membalas penghinaan yang dilakukan Souw Thian Liong kepadanya, yaitu telah menampari pinggulnya sebanyak sepuluh kali.

Masih terasa panas kedua pipinya sampai sekarang setiap kali ia teringat akan peristiwa itu. Pinggulnya yang ditampari, akan tetapi hatinya yang sakit dan kedua pipinya yang panas dan kemerahan. Tunggu saja, aku akan membalas menampari engkau lipat dua kali, bukan sepuluh melainkan duapuluh kali! Tentu saja bukan pada pinggul Thian Liong, melainkan pada kedua belah pipinya, pikirnya dengan hati panas. Akan tetapi untuk dapat melaksanakan semua dendam itu, ia harus memperdalam ilmu silatnya. Ouw Kan dan dua orang muridnya itu merupakan lawan berat. Apalagi Thian Liong. Tidak mudah mengalahkan pemuda itu. Akan tetapi ia akan belajar lagi, Entah dengan cara bagaimana dan kalau sudah merasa kuat ia akan mencari mereka untuk membalas dendamnya.

Ayahnya telah mati dan ia menganggap ibunya telah mati pula! Pikiran ini membuat ia merasa demikian tertekan hatinya, membuat ia seolah kehilangan gairah hidupnya dan kini dara perkasa yang menderita batin itu mendaki bukit bagaikan orang berjalan dalam mimpi tanpa tujuan, seolah tidak sadar dan hanya menurut saja ke mana kedua kakinya melangkah dan membawanya. Ia bahkan seolah tidak melihat keindahan pemandangan alam terbentang di bawah bukit itu. Matanya terbuka namun kosong. Bahkan beberapa kali kakinya tersandung batu menunjukkan bahwa ia pun tidak memperhatikan langkahnya. Padahal, pemandangan di pagi hari yang cerah itu amatlah indahnya.

Setelah tiba di puncak bukit, baru ia berhenti melangkah. Pendakian yang cukup melelahkan itu tidak dirasakannya, hanya muka dan leher yang basah oleh keringat menunjukkan bahwa untuk mendaki bukit itu menguras banyak tenaganya. Seolah baru tersentak bangun dari tidur Bi Lan seperti terseret kembali ke alam kesadaran. Ia berdiri memandang ke sekeliling. Puncak itu penuh dengan batu-batu besar yang aneh-aneh bentuknya, seolah-olah ada barisan hantu raksasa mengepungnya.

"Makin dicari semakin menjauh! Sudah dekat sekali tidak terasa. Alangkah bodohnya!"

Bi Lan terkejut karena suara itu terdengar demikian dekatnya, seolah mulut yang mengeluarkan kata-kata itu ditempelkan di telinganya! Ia mencari-cari dengan pandang matanya. Akan tetapi karena di sekelilingnya berdiri batu-batu besar berderet-deret seperti kepungan raksasa, ia tidak dapat melihat jauh, terhalang batu-batu itu. Tidak tampak seorang pun di situ. Ia lalu berjalan, di antara batu-batu dan memandang ke kanan kiri dan ke atas batu-batu, namun setelah ia berputar-putar di sekitar puncak, tidak menemukan seorang pun!

Bi Lan berhenti melangkah, alisnya berkerut, matanya yang selama ini kosong dan sayu, kini mencorong, pertanda bahwa ia mulai mencurahkan perhatiannya dan merasa penasaran. Bahkan ia mulai waspada. Ia seorang gadis yang sudah biasa bertualang, tidak mengenal takut. Bahkan kalau pada waktu itu orang-orang lajim percaya akan tahyul dan takut terhadap cerita dan bayangan tentang setan, Bi Lan tidak pernah takut. Iblis yang bagaimanapun akan dihadapi dan kalau perlu ditentangnya!

"Keparat! Siapa yang bicara tadi? Hayo cepat keluar!" ia membentak sambil mengerahkan tenaga saktinya sehingga suaranya itu bergema sampai jauh. Akan tetapi tidak ada yang menjawab ucapannya tadi.

Bi Lan mulai marah karena ia merasa dipermainkan. Ia memutar tubuh dan menghantam sebongkah batu sebesar kerbau dangan telapak tangannya.

"Haaiiiittt...... pyarr......!!" Batu itu ambyar (hancur) berkeping-keping!

"Tolol, batu tidak berdosa dipukul hancur. Bocah perempuan gila yang tolol."

Bi Lan cepat sekali memutar tubuhnya dan matanya yang mencorong mencari-cari. Akan tetapi tidak melihat siapa-siapa kecuali batu-batu, padahal, suara itu tadi terdengar dekat sekali dengan telinganya. Dengan penasaran ia mencari-cari lagi akan tetapi kembali ia kecewa karena tidak dapat menemukan apa-apa. Ia menjadi semakin marah. Ia mengepal tinju dan mengamangkan tinjunya ke atas.

"Setan iblis! Keluarlah, dan mari kita bertanding sampai seribu jurus!" teriaknya.

"Ha-ha-heh-heh-heh......!" Suara tawa itu amat menggelitik, jelas mengandung cemooh atau ejekan, seperti orang tua menertawakan kenakalan seorang anak kecil.

Bi Lan cepat melompat ke belakang sambil membalikkan tubuhnya karena suara itu terdengar dari arah belakang. Setelah ia menyelinap di antara dua buah batu besar yang lebih tinggi dari tubuhnya, ia melihat sesosok tubuh duduk bersila di atas sebuah batu besar yang tingginya setinggi dirinya. Ia menjadi marah sekali. Sekarang ia menemukan pengganggunya! Maka dengan ringan ia melompat ke atas batu itu dan kini ia berdiri di depan sosok tubuh manusia itu.

Bi Lan mengerutkan alisnya dan mengamati orang itu dengan sinar mata penuh selidik dan kemarahan, namun ia tetap waspada dan berhati-hati.

Orang itu duduk bersila dengan tegak dan kaku seolah-olah telah berubah menjadi arca batu. Rambutnya putih riap-riapan, sebagian menutupi wajahnya yang kurus pucat. Alis dan kumis jenggotnya juga sudah putih semua. Wajah itu tentu sudah tua renta, mungkin ada seratus tahun usianya. Matanya terpejam, mulut tertutup. Wajah kurus pucat itu tidak ada sinar kehidupan, seperti wajah mayat! Pakaiannya yang membungkus badan kurus itu hanya kain putih yang sudah lusuh. Kepalanya hanya diikat sehelai kain putih pula. Kedua kaki yang itu mengenakan sepatu kain putih yang sudah butut.

'Hei! Kakek tua! engkaukah yang bicara dan mentertawakan aku tadi?" Bi Lan menegur, agak menyabarkan hatinya karena ia berhadapan dengan seorang kakek tua renta yang pantasnya menjadi kakek buyutnya.

Akan tetapi orang itu sama sekali tidak menjawab, bergerak sedikit pun tidak.

"Hei, Kek! Jawab pertanyaanku! Engkaukah yang bicara tadi?"

Kakek itu tetap diam saja.

Bi Lan menjadi jengkel.

"Kakek tua! Tulikah engkau? Gagukah engkau? Hayo jawab, jangan membuat aku marah!!"

Tetap saja kakek itu tidak menjawab.

"Setan, apakah engkau sudah mati?" bentak Bi Lan, lalu matanya terbelalak. Mati? Mungkin kakek ini sudah mati!

Bi Lan menjulurkan tangannya meraba dahi yang berkeriputan itu. Hih, Dingin sekali! Benarkah sudah mati? Akan tetapi walaupun wajah yang pucat itu seperti mayat, tubuhnya masih duduk bersila dengan tegak. Mana mungkin mayat dapat duduk bersila tegak terus menerus? Hanya kalau mayat itu membeku atau sudah menjadi batu! Akan tetapi mayat ini tidak membeku, kulit dahinya yang dirabanya itu masih lunak. Bi Lan kembali menjulurkan tangannya, dibawa ke depan hidung itu. Tidak ada hembusan napas sedikit pun. Kakek itu tidak bernapas! Berarti sudah mati. Juga baju di bagian dadanya tidak bergerak, tanda bahwa dada itu pun tidak mengembang kempis seperti kalau orangnya masih hidup dan bernapas!

Ah, tanda hidup atau mati ada pada detak jantungnya, pikir Bi Lan. Ia akan tahu apakah kakek ini masih hidup atau sudah mati kalau ia memeriksa denyut nadinya. Ia menjulurkan tangan lagi, menyentuh bawah dagu, di leher atas tu-tang pundak, di mana biasanya denyut jantung terasa. Tidak ada denyut! Ia kini meraba pergelangan tangan kakek itu. Kulit pergelangan tangan itu masih lunak, akan tetapi dingin sekali dan denyut nadinya juga tidak ada sama sekali! Ah, dia sudah mati, pikir Bi Lan sambil bangkit berdiri dari jongkoknya. Sialan! Ia bertemu mayat. Akan tetapi...... kenapa mayat dapat bicara? Dan dapat menertawakannya?

Ia memandang lagi, terbelalak dan betapapun tabahnya, kini ia merasa tengkuknya dingin dan bulu kuduknya berdiri. Siapa yang tidak ngeri kalau mendengar mayat bicara dan tertawa? Akan tetapi dasar ia seorang gadis bandel dan keras hati, ia mampu mengusir rasa ngerinya dan membentak sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka mayat itu.

"Siapa kau! Sudah mati masih suka menggoda orang!"

"Daripada masih hidup suka menggoda orang, lebih baik sesudah mati, tidak berbahaya!"

Bi Lan terbelalak dan mulutnya ternganga. Jelas terdengar oleh telinganya bahwa suara itu keluar dari mayat itu, akan tetapi ia tidak melihat mulut mayat itu terbuka! Sama sekali mulut itu tidak bergerak. Bagaimana mungkin bicara tanpa menggerakkan bibir? Bulu kuduknya meremang semakin kuat, rasa dingin di tengkuknya menjalar ke punggung. Akan tetapi Bi Lan mengeraskan hatinya dan menjadi semakin marah sehingga tanpa disadari ia membanting-banting kaki kirinya yang merupakan kebiasaannya sejak kecil kalau ia sedang marah.

"Setan! Engkau setan iblis neraka yang memasuki tubuh mayat ini untuk menggodaku!" Ia memaki dan menudingkan lagi telunjuknya ke arah muka mayat itu.

"Heh-heh, engkaulah setan betina cilik yang tolol!" kembali terdengar suara dari "mayat" itu, suara yang keluar tanpa menggerakkan bibir!

Kemarahan mengusir semua rasa ngeri dan takut.

"Setan busuk, jangan kira aku takut padamu! Mampuslah kamu! Bi Lan menggunakan tangan kirinya untuk menampar pundak mayat itu. Karena ia masih ingat bahwa itu mayat seorang kakek, ia masih merasa sungkan dan yang ditampar hanya pundak, itu pun tanpa mengerahkan tenaga saktinya karena ia tidak ingin merusak "mayat" itu.

"Wuuttt...... plakk!" Tangan Bi Lan terpental dan ia merasa telapak tangannya panas dan pedih, seolah ia tadi menampar papan baja yang membara! Tentu saja ia menjadi semakin marah.

"Ihh, engkau melawan, ya? Ingin memperlihatkan kekuatan setanmu padaku? Akan kuhancurkan kepalamu, setan iblis hantu mayat hidup!" Setelah memaki ia menggerahkan pukulan dengan tenaga sin-kang dari Kwan-im-sin-ciang (Tangan Sakti Kwan Im) ke arah dada "mayat" itu.

"Hyaaaaattt""!" Kini telapak tangannya menghantam dengan didahului angin pukulan yang dahsyat.

"Wuuuuttt...... dessss!" Bukan mayat itu yang terpukul pecah atau roboh, sedikit pun tidak terguncang, sebaliknya tubuh Bi Lan yang terjengkang ke belakang. Untung ia dapat cepat berjungkir balik sehingga tubuh belakangnya tidak terbanting ke atas batu besar yang keras dan lebar itu!

"Heh-heh, sedikit ilmu pukulan lemah dari Tibet hendak dipamerkan? Ha-ha-ha!" mayat itu menertawakan.

Bi Lan terbelalak. Bukan terkejut melihat kelihaian setan yang masuk ke dalam mayat kakek itu, akan tetapi juga kaget mendengar kakek itu mengenal pukulannya yang ia pelajari dari guru pertamanya, Jit Kong Lhama yang memang berasal dari Tibet. Akan tetapi ia juga menjadi semakin marah karena pukulannya tadi bertemu dengan hawa yang amat kuat. Karena tadi ia tidak mengerahkan seluruh tenaganya ketika menggunakan pukulan dari Kwan-im-sin-ciang, kini ia memasang kuda-kuda dan menghantam dengan jurus maut dari ilmu silat Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat. Ilmu silat simpanan dari Kun-lun-pai ini memang hebat sekali dan mengandung hawa pukulan yang amat kuat.

"Terimalah ini, setan! Haiiiiiitt""!!"

Kedua tangan itu menyambar dari kanan kiri, dahsyat bukan main dan pukulan kedua tangan gadis itu akan mampu menghancurkan batu karang.

"Syuuuuuttt...... blaarr......!" Tubuh Bi Lan terlempar jauh sampai keluar dan turun ke bawah batu besar itu! Gadis itu terkejut sekali dan untung ia masih mampu mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga ia dapat turun ke atas tanah dengan kedua kaki lebih dulu dan hanya terhuyung.

Pada saat itu, ada bayangan berkelebat dari atas batu dan tahu-tahu "mayat" tadi kini sudah berdiri di depan Bi Lan, matanya terbuka dan sepasang mata itu mencorong seperti kilat! Bi Lan memandang dan merasa ngeri juga karena jelas bahwa "mayat" itu sakti bukan main. Setelah mahluk itu kini berdiri, makin tampak betapa kurusnya dia.

"Heh, bocah perempuan liar! Bagaimana mungkin engkau menggunakan jurus terakhir dari delapan jurus ilmu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat? Padahal, bahkan Kui Beng Thaisu ketua Kun-lun-pai itu sendiri setahuku hanya mampu menguasai sebanyak enam jurus lebih! Siapakah engkau ini?"

Bi Lan memperhatikan mahluk yang berdiri di depannya. Melihat tubuh itu dapat bergerak-gerak dengan wajar dan bola mata yang mencorong itu pun bergerak biasa, jelas bahwa dia berhadapan dengan mahluk hidup berwujud manusia. Akan tetapi kalau manusia, bagaimana dapat bicara tanpa menggerakkan bibirnya? Ia memandang ke arah kaki yang bersepatu kain itu. Menurut kabar, setan atau iblis hantu tidak menginjak tanah. Akan tetapi mayat hidup di depannya ini menginjak tanah seperti manusia biasa! Baik iblis maupun manusia, mahluk ini jelas memiliki kesaktian yang luar biasa. Ia hendak memperdalam ilmu-ilmunya, alangkah baiknya kalau dapat berguru kepada mahluk ini! Gadis yang cerdik ini segera mengambil keputusan dan dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan mahluk itu.

"Ampunkan teecu kalau tadi teecu bertindak kurang ajar karena teecu tidak mengenal Suhu dan mengira Suhu mempermainkan teecu. Teecu bernama Han Bi Lan dan teecu pernah menjadi murid Suhu Jit Kong Lhama, kemudian teecu menjadi murid Kun-lun-pai dan sudah mempelajari ilmu dari Kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat. Akan tetapi di depan Suhu, kepandaian teecu itu tidak ada artinya sama sekali. Teecu mohon agar Suhu sudi menerima teecu menjadi murid."

"Heh-he-heh, engkau seorang manusia, gadis muda cantik, ingin berguru kepada setan hantu iblis mayat hidup?" Mahluk itu terkekeh tanpa menggerakkan bibirnya.

Wajah Bi Lan menjadi kemerahan karena ia merasa diejek. Ialah yang tadi menyebut mahluk itu setan hantu iblis mayat hidup.

"Ampunkan teecu, Suhu. Apa pun adanya Suhu, malaikat, dewa, manusia, ataupun hantu, teecu tetap ingin menjadi murid Suhu."

"Ha-ha-ha, Han Bi Lan! Apa sebabnya engkau mengira aku ini setan?"

Bi Lan mengangkat mukanya memandang.

"Tadi Suhu duduk bersila tak bergerak sama sekali, tidak ada detak jantung dan ketika teecu meraba, kulit badan Suhu dingin sekali seperti mayat."

"Heh-heh, engkau yang sudah memiliki ilmu yang lumayan, tentu tahu bahwa dalam samadhi kita dapat saja mengatur denyut jantung dan peredaran darah. Apa anehnya?"

"Akan tetapi...... Suhu tadi dan bahkan sekarang pun kalau bicara tidak menggerakkan bibir!"

"Oh, apa sih anehnya itu? Setiap orang dapat mempelajarinya! Jangan gerakkan bibir dan hanya pergunakan lidah dan kerongkongan dibantu gerakan perut, tentu engkau dapat bicara seperti yang kulakukan ini. Dan sekarang engkau yang tadi mengamuk dan menyerangku, kini ingin berguru kepadaku. Mengapa?"

"Suhu memiliki kesaktian luar biasa sehingga pukulan-pukulan teecu sama sekali tidak mampu menyentuh Suhu, maka teecu ingin mendapatkan pelajaran ilmu dari Suhu. Harap Suhu tidak menolak dan sudi menerima teecu menjadi murid."

"Hemm, engkau begini muda sudah memiliki ilmu-ilmu yang tinggi dari Tibet dan Kun-lun-pai, untuk apa ingin mempelajari ilmu yang lebih tinggi lagi?"

"Teecu ingin membalas dendam, Suhu. Teecu ingin membalas kepada orang-orang yang membunuh ayah kandung teecu, juga membalas orang yang pernah menghina teecu. Akan tetapi, para musuh teecu itu lihai sekali dan teecu tidak mampu mengalahkan mereka, oleh karena itu teecu mohon Suhu suka membimbing teecu."

"Heh-heh-heh, Han Bi Lan, tahukah engkau siapa aku?"

"Teecu tidak tahu, akan tetapi teecu yakin bahwa Suhu tentu seorang tokoh dunia persilatan yang terkenal sekali."

"Hemm, dulu aku disebut Heng-si Cauw-jiok dan semua orang takut padaku!"

Bi Lan terkejut bukan main dan juga girang. Gurunya yang pertama, Jit Kong Lhama, pernah bercerita kepadanya tentang seorang datuk persilatan penuh rahasia berjuluk Heng-si Cauw-jiok (Mayat Hidup Berjalan) yang dimusuhi hampir semua datuk di daratan Cina. Tidak kurang dari tujuh orang datuk beramai-ramai mengeroyoknya dan dikabarkan bahwa Heng-si Cauw-jiok tewas ketika dikeroyok itu. Bagaimana mungkin sekarang datuk besar itu masih hidup?

"Teecu pernah mendengar Suhu Jit Kong Lhama bercerita tentang Suhu! Katanya bahwa Suhu dikeroyok tujuh orang datuk besar dan tewas, dan peristiwa itu sudah terjadi puluhan tahun yang lalu. Bagaimana kini Suhu mengaku bahwa Suhu adalah Heng-si Cauw-jiok yang telah tewas puluhan tahun yang lalu?"

"Ha-ha-ha, mereka itu orang-orang bodoh yang menyangka aku mati. Andaikata aku mati sekalipun, aku akan tetap hidup. Bukankah julukanku Si Mayat Berjalan? Ha-ha-ha!"

Diam-diam Bi Lan bergidik. Jangan-jangan Kakek ini benar-benar telah mati dan menjadi mayat hidup alias setan! Akan tetapi ia tidak perduli. Setan atau manusia kalau dapat mengajarkan ilmu kesaktian kepadanya, akan ia angkat menjadi gurunya!

"Suhu, mohon menerima teecu sebagai murid," katanya lagi.

"Hemm, aku sudah bosan hidup. Terlalu lama hidup di dunia yang penuh kepahitan ini. Akan tetapi agaknya kita memang berjodoh. Baiklah, Bi Lan. Engkau akan kugembleng selama satu tahun, akan tetapi engkau harus berjanji dulu bahwa setelah satu tahun, engkau harus mau mengubur aku hidup-hidup!"

Bi Lan terbelalak.

"Mengubur Suhu hidup-hidup? Ah, itu jahat sekali namanya! Teecu akan dikatakan murid durhaka!"

"Pendeknya mau atau tidak? Kalau tidak mau, pergilah sana, aku tidak sudi menjadi gurumu. Baru mulai saja sudah tidak taat, apalagi sesudah setahun!"

Bi Lan menjadi serba salah. Hemm, ia berhadapan dengan seorang kakek yang sudah sinting. Sanggupi saja, soal nanti setahun, bagaimana nanti sajalah!

"Baiklah, Suhu, teecu menurut."

"Kalau begitu, mari ikut aku pulang."

"Pulang?"

"Ya, ke tempat tinggalku di sana."

Bi Lan mengikuti kakek itu dan ternyata tempat tinggal Si Mayat Hidup itu tidak jauh dari situ. Dia tinggal di sebuah guha yang tepat berada di bawah puncak. Mulai saat itu Bi Lan menjadi murid manusia aneh itu dan ia digembleng dengan keras. Selama setahun Bi Lan mendapat pelajaran ilmu silat yang aneh dan dahsyat yang oleh Si Mayat Hidup disebut Sin-ciang Tin-thian (Tangan Sakti Menjagoi Langit) yang terdiri dari tigabelas jurus ampuh.

Thio Ki terkenal sebagai seorang pedagang yang berhasil di kota Kang-cun. Dia sering membawa barang dagangan yang besar jumlahnya ke utara sampai di kota raja Yen-cing (Peking), yaitu kota raja Kerajaan Kin. Terkadang dia pun membawa barang dagangan ke selatan sampai ke kota Hang-couw, yaitu kota raja Kerajaan Sung Selatan.

Dengan perdagangan ke utara dan ke selatan itu, Thio Ki berhasil mendapatkan keuntungan besar sehingga dia terkenal sebagai seorang hartawan di kota Kang-cun yang terletak di lembah Sungai Yang-ce bagian utara. Kota Kang-cun merupakan kota yang berada di tapal batas dua kerajaan itu, namun masih termasuk ke dalam Kerajaan Kin.

Isteri Thio Ki adalah seorang wanita berdarah bangsawan karena sebelum menikah dengan Thio Ki, ia adalah janda pangeran Kerajaan Kin. Sebelumnya ia sendiri adalah puteri seorang kepala suku bangsa Uigur. Namanya Miyana, usianya sekitar empatpuluh tahun masih tampak bekas kecantikannya.

Thio Ki sendiri berusia empatpuluh lima tahun. Biarpun selama menikah dengan Miyana, kurang lebih limabelas tahun, mereka tidak mempunyai keturunan, namun Thio Ki cukup merasa berbahagia dengan anak tirinya, seorang anak perempuan yang ketika dia menikah dengan Miyana, berusia empat tahun. Anak itu bukan lain adalah Thio Siang In yang terkenal dengan julukan Ang Hwa Sian-li!

Thio Ki yang biasa melakukan perjalanan jauh untuk berdagang, selain dikawal beberapa orang piauw-su (pengawal barang dagangan) yang lihai, juga bukan seorang lemah. Dia pernah belajar silat beberapa tahun lamanya. Karena itu, ketika anak perempuan yang memakai nama marganya itu tampak suka akan ilmu silat, dia memberi pelajaran ilmu silat. Ketika isterinya, Miyana memberi tahu bahwa suku bangsanya mempunyai seorang datuk besar yang sakti, yaitu Toat-beng Coa-ong (Raja Ular Pencabut Nyawa) Ouw Kan, Thio Ki lalu menye-rahkan Siang In kepada guru besar itu untuk menjadi muridnya.

Setelah tamat belajar dan Thio Siang In menjadi pendekar wanita yang gagah perkasa, Thio Ki dan Miyana ikut merasa bangga dan berbahagia. Ternyata setelah menjadi seorang gadis yang lihai, Siang In tidak melupakan pendidikan budi pekerti yang diberikan Ayah Ibunya sehingga ia menjadi seorang li-hiap (pendekar wanita) yang dijuluki Ang Hwa Sian-li. Akan tetapi yang terkadang membuat mereka berdua gelisah dan rindu, adalah kesukaan puteri mereka itu meninggalkan rumah, mengembara dan bertualang. Bahkan akhirnya, setahun yang lalu, puteri mereka itu mengikuti seorang guru lain, yaitu Tiong Lee Cin-jin.

Thio Ki sudah mendengar akan nama besar Tiong Lee Cin-jin yang dijuluki Tabib Dewa itu sebagai seorang yang amat sakti dan budiman serta arif bijaksana. Maka dia dan isterinya menyatakan persetujuan mereka puterinya menjadi murid Tabib Dewa itu.

Tentu saja Miyana telah berterus terang kepada suaminya bahwa Siang In bukanlah anak kandungnya. Ia menceritakan sejujurnya kepada suami yang amat mencintanya itu bahwa sesungguhnya anak mereka itu adalah puteri Kaisar Kerajaan Kin! Puteri seorang selir kaisar yang berkebangsaan Han bernama Tan Siang Lin dan menjadi sahabat baiknya ketika ia menjadi selir seorang pangeran dahulu. Selir kaisar itu melahirkan sepasang bayi kembar dan agar kedua orang bayi itu tidak dibunuh seperti yang telah menjadi kepercayaan bangsa Kin (Nuchen) bahwa anak kembar akan mendatangkan malapetaka, maka seorang dari bayi kembar itu diserahkan kepadanya. Thio Ki bahkan semakin sayang kepada Siang In, yang sesungguhnya adalah puteri kaisar itu!

Akan tetapi hari ini rumah besar keluarga itu tampak sepi, padahal biasanya seluruh penghuni rumah itu tampak gembira dengan wajah berseri. Kini para pelayan dan pekerja pembantu tampak muram wajahnya dan kalau bicara pun mereka berbisik-bisik sehingga dapat diduga bahwa tentu ada perkara yang amat menyedihkan terjadi di rumah besar itu.

Di dalam sebuah kamar yang besar dalam rumah itu, kamar induk, Thio Ki rebah telentang di atas pembaringan. Kepala dan lengan kirinya dibalut. Tubuhnya yang tinggi besar itu tampak lemah dan wajahnya yang gagah agak pucat. Miyana, isterinya yang masih cantik, duduk di tepi pembaringan. Wajahnya masih muram dan matanya masih kemerahan dan sembab, tanda bahwa ia banyak menangis. Di atas meja dekat pembaringan tampak mangkuk obat yang sudah kosong.

Thio Ki rebah dengan kedua mata terpejam dan mulutnya agak menyeringai menahan rasa nyeri. Tiba-tiba dia mengeluh dan bergerak hendak bangkit duduk.

Miyana cepat membantunya sambil bertanya lembut, "Mengapa bangkit? Lebih baik rebah dulu. Bukankah tabib tadi mengatakan bahwa engkau kehilangan ba-nyak darah dan sebaiknya rebah mengaso dan banyak tidur?"

Thio Ki sudah duduk dan pundaknya dirangkul isterinya. Dia menghela napas panjang beberapa kali.

"Ahh, rasa sakit di badan ini dapat kutahan. Akan tetapi hatiku sakit sekali kalau ingat akan semua barang yang dirampas dan penghinaan yang kudapat dari jahanam-jahanam itu......"

"Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan soal kehilangan harta benda. Harta bisa dicari lagi, yang penting kesehatanmu cepat pulih kembali," isterinya menghibur.

"Kehilangan harta benda tidak menyusahkan aku," kata Thio Ki, "aku pernah melarat dan aku tidak takut untuk menjadi melarat lagi. Akan tetapi di antara barang-barang itu ada yang milik orang lain dan aku harus mengganti kehilangan itu! Barang-barangku sendiri sudah habis, dari mana aku dapat mengganti kehilangan itu?"

"Pemilik barang itu pasti akan mengerti bahwa barangnya hilang karena engkau dirampok dan dia mau mengerti. Kita bekerja lagi dan perlahan-lahan kita dapat mencicil barangnya yang hilang itu."

"Hemm, mana dia mau? Kau tahu siapa pemilik barang yang dititipkan padaku untuk dikirim dan ikut dibawa perampok itu? Dia adalah Pangeran Cin Boan!"

"Pangeran Cin Boan? Ahh......!" Miyana terkejut mendengar nama ini.

"Ya, Pangeran Cin Boan yang kita tolak lamarannya terhadap Siang In yang ingin dia jodohkan dengan puteranya karena Siang In selalu menolak pinangan siapapun juga. Mana mungkin dia mau memberi kelonggaran kepada kita yang dianggap tentu telah menyakitkan hatinya karena penolakan pinangan itu? Ahhh!" Thio Ki tampak sedih sekali.

"Aihh...... kalau saja dulu Siang In mau menerimanya pinangan itu. Aku pernah melihat Cin-kongcu (Tuan Muda Cin) dan dia adalah seorang pemuda yang tampan dan halus tutur sapanya, sopan santun dan aku mendengar dia telah lulus ujian sebagai seorang sasterawan. Siang In sungguh keras hati. Belum juga melihat Cin-kongcu, ia sudah menolak begitu saja! Sekarang, bagaimana baiknya......?" Miyana yang biasanya tabah kini mulai merasa gelisah juga mendengar keterangan suaminya tadi.

"Hemm, kalau Siang In berada di rumah, pasti ia akan mampu merampas kembali barang-barang itu dari gerombolan perampok. Mengapa ia belum juga pulang? Bukankah dulu Tiong Lee Cin-jin mengirim kabar kepada kita bahwa dia hendak mengajarkan ilmu kepada Siang In selama satu tahun saja? Dan sekarang, kalau tidak salah, sudah setahun lamanya."




"Sudahlah, jangan memikirkan dulu semua urusan itu," Miyana kembali menghibur suaminya.

"Tiduran saja dulu, tenangkan hatimu. Kalau sudah sembuh benar, baru kita memikirkan urusan itu." Ia membantu suaminya rebah kembali, menyelimuti tubuh suaminya dan membantu pelayan mempersiapkan makan obat untuk suaminya.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ada seorang laki-laki datang berkunjung ke rumah Thio Ki. Laki-laki berusia empatpuluh tahun yang bertubuh pendek gendut ini diterima dengan baik oleh Miyana karena ia telah mengenalnya dengan baik. Orang itu adalah Bhe Liang yang berjuluk Twa-to (Golok Besar) karena dia terkenal lihai dengan permainan golok besarnya. Bhe Liang ini merupakan seorang di antara para pimpinan pasukan piauw-su (pengawal kiriman barang) yang telah bekerja kepada Thio Ki selama setahun lebih. Akan tetapi ketika terjadi perampokan barang itu, yang mengawal bukan giliran kelompoknya. Sebelum menjadi piauw-su, dia pernah bekerja sebagai pengawal pada keluarga Pangeran Cin Boan.

Setelah berada dalam kamar Thio Ki yang dijenguknya, Bhe Liang dipersilakan duduk di kursi dekat pembaringan di mana Thio Ki berbaring.

"Bagaimana keadaanmu Thio-twako?" tanya Bhe Liang dengan penuh perhatian.

"Luka-luka di pelipis dan lengan kiri sudah tidak begitu nyeri lagi, Bhe-te (Adik Bhe). Akan tetapi tubuh ini rasanya masih lemas," jawab Thio Ki dengan suara sedih.

"Hemm, kalau saja ketika itu saya yang mengawal, pasti tidak akan terjadi hal ini, Twako. Saya tentu sudah menghajar para perampok keparat itu!" Si Pendek Gendut ini mengepal tinju dengan penasaran.

Thio Ki menghela napas panjang.

"Apa hendak dikata. Semua telah terjadi. Kalau saja puteriku Siang In berada di sini, pasti ia akan mencari dan membasmi gerombolan perampok itu dan merampas kembali semua barangku."

"Thio-twako, kedatangan saya ini selain untuk melihat keadaan, Twako, juga untuk menyampaikan kabar yang penting bagimu. Twako, saya tahu siapa yang menjadi dalang perampokan ini!"

"Eh?" Thio Ki tertarik sekali dan memandang penuh selidik.

"Benarkah itu, Bhe-te? Siapa yang mendalangi?"

Pada saat itu, Miyana memasuki kamar dan ia mendengar ucapan terakhir suaminya itu.

"Eh? Ada yang mendalangi perampokan?" Ia lalu duduk di tepi pembaringan dan ikut memandang Bhe Liang dengan sinar mata menyelidik.

"Benar, Twa-so."

Sudah menjadi kebiasaan umum di Cina, seseorang yang hendak menghormati orang lain menyebutnya Twako (Kakak Tertua) dan isterinya disebut Twa-so (Kakak Ipar Tertua) walaupun laki-laki itu bukan kakaknya sendiri dan isteri temannya itu bukan kakak iparnya.

"Saya tahu betul siapa yang mengatur perampokan ini."

"Siapa dia......?" Suami isteri itu bertanya dengan suara hampir berbareng.

"Siapa lagi kalau bukan Pangeran Cin Boan!"

Suami isteri itu saling pandang dan keduanya mengerutkan alisya, menatap tajam wajah Bhe Liang dengan ragu.

"Bhe-te, jangan main-main kau!" kata Thio Ki.

"Jangan menuduh tanpa bukti, itu fitnah namanya!"

"Aih, Twako. Sudah setahun lebih saya membantu Twako dengan setia, apakah Twako masih meragukan keterangan saya? Saya tidak menuduh sembarangan saja. Twako tentu masih ingat, setahun yang lalu saya masih menjadi pengawal di keluarga Pangeran Cin Boan itu. Nah, ketika pinangan keluarga itu terhadap puteri Twako ditolak, Pangeran Cin Boan marah sekali. Saya mendengar sendiri kata-katanya bahwa sekali waktu dia akan membalas penghinaan itu."

"Penghinaan?" Miyana bertanya heran.

"Benar, Twako. Penolakan pinangan itu dianggap sebagai penghinaan oleh Pangeran Cin Boan. Maka, setelah terjadi perampokan ini, padahal dia juga menitipkan kiriman barang yang besar nilainya, siapa lagi yang mendalanginya kalau bukan dia?"

Setelah Bhe Liang meninggalkan rumah itu, Thio Ki dan Miyana masih duduk termenung, memikirkan keterangan Bhe Liang tadi dengan hati risau.

"Mungkinkah itu? Tidak biasanya dia menitipkan barang demikian banyaknya dalam perjalananku itu...... benarkah dia membalas dendam karena ditolak lamarannya? Semua hartaku dirampas, bahkan diriku dilukai...... alangkah kejamnya......"

"Nanti dulu, kita harus berhati-hati dan jangan dulu memastikan bahwa dugaan Bhe Liang itu benar. Pertama, apa buktinya bahwa perampokan ini didalangi oleh Pangeran Cin Boan yang hendak membalas dendam kepadamu? Kedua, kita sudah mendengar dan mengenal siapa Pangeran Cin Boan. Dia seorang bangsawan kaya raya yang dermawan dan selalu bersikap baik dan ramah terhadap siapapun juga. Jadi, amat meragukan kalau dia dapat melakukan tindakan sejahat itu."

"Akan tetapi dia seorang Pangeran Kin, mungkin saja diam-diam dia membenci aku, seorang pribumi bangsa Han."

"Tidak mungkin! Kalau dia membencimu, mengapa dia melamar anak kita dan hendak menjadikan engkau besannya?"

Mereka diam dan termenung, lalu Thio Ki menghela napas panjang den berkata, "Bagaimanapun juga, dugaan Bhe Liang tidaklah ngawur. Memang besar sekali kemungkinan Pangeran Cin Boan merasa terhina. Bagaimana dia tidak akan merasa terhina oleh penolakan kita? Dia seorang pangeran, berkedudukan tinggi, kaya raya dan kita ini orang-orang biasa saja. Pinangannya kita tolak, tentu hal itu bagi mereka merupakan pukulan dan kalau terdengar orang akan memalukan sekali. Pinangan seorang pangeran kaya raya ditolak seorang rakyat kecil biasa! Biarpun dia baik hati, namun dendam sakit hati dapat saja membuat seorang yang baik hati menjadi kejam karena dendam kemarahannya. Kiranya hanya dia seorang yang paling pantas dicurigai mendalangi perampokan itu."

Miyana termenung, lalu ia pun menghela napas panjang dan berkata.

"Andaikata benar dugaan itu, lalu kita mampu berbuat apa? Pertama, dugaan itu tidak ada buktinya, dan kedua, apa yang dapat kita lakukan terhadap Pangeran Cin Boan? Dia seorang bangsawan tinggi, keluarga kerajaan yang kedudukannya kuat."

"Ah, kalau saja Siang In ada......" Keduanya mengeluh dan merasa tidak berdaya.

Ternyata harapan mereka itu terkabul. Pada keesokan harinya, pagi-pagi muncul Thio Siang In, seperti biasa berpakaian serba hijau dan ada setangkai bunga merah menghias rambutnya. Wajahnya masih cantik jelita dan berseri gembira. Gadis ini muncul bersama Puteri Moguhai yang berpakaian serba putih dengan sabuk panjang berwarna merah, di atas kepalanya terhias burung Hong dari perak yang ukirannya indah.

"Ayah, apa yang terjadi denganmu?" ketika Thio Ki dan Miyana muncul, Siang In berseru kaget melihat lengan kiri dan kepala Thio Ki dibalut kain putih dan wajah Ayahnya itu pucat.

"Siang In......!" Miyana maju merangkul anaknya sambil menangis.

"Aih, Siang In, mengapa engkau baru pulang? Ayahmu mengalami malapetaka, dirampok habis- habisan dan dilukai......"

"Hemm, kapan terjadinya, di mana dan siapa perampoknya?" Siang In bertanya dan wajahnya sudah berubah kemerahan karena marah.

Akan tetapi Thio Ki yang memandang ke arah Puteri Moguhai dan merasa terkejut dan terheran-heran melihat betapa gadis itu serupa benar dengan puterinya dan hanya pakaian mereka saja yang berbeda, cepat berkata.

"Siang In, nanti saja kita bicara di dalam agar lebih leluasa. Sekarang perkenalkan dulu siapa temanmu ini."
Baru sekarang Miyana menyadari bahwa anaknya tidak pulang seorang diri dan ia pun memandang kepada Moguhai. Mata wanita itu terbelalak lebar ketika melihat wajah puteri itu. Lalu ia menoleh dan memandang wajah anaknya, lalu menoleh lagi kepada Moguhai, begitu berulang-ulang, ganti berganti.

"Siang In...... ini...... ini...... siapakah ini......?" Akhirnya ia dapat bertanya dan kembali ia meneliti wajah puterinya karena ia merasa bingung dan ragu apakah yang dirangkulnya itu benar Siang In, ataukah gadis yang lain itu yang sesungguhnya anaknya!

Siang In juga baru ingat akan kehadiran Moguhai karena tadi ia merasa khawatir dan tegang melihat keadaan Ayahnya. Ia lalu menoleh kepada orang tuanya.

"O ya, Ayah dan Ibu, perkenalkan. Ini sahabat baikku yang juga menjadi saudara seperguruanku. Ia terkenal dengan sebutan Pek Hong Niocu, nama aselinya Puteri Moguhai."

"Puteri......?" Miyana makin terkejut.

"Benar, Ibu. Puteri Moguhai ini adalah Puteri Kaisar Kerajaan Kin. Ibunya selir kaisar, seorang wanita Han bernama Tan Siang Lin." Siang In memperkenalkan dengan suara biasa saja.

"Pek Hong, perkenalkan, ini Ayahku Thio Ki dan Ibuku ini bernama Miyana." Siang In memang kini menyebut Moguhai dengan nama pemberian Ayah mereka, yaitu Sie Pek Hong.

Pek Hong memberi hormat dengan mengangkat tangan depan dada dan berkata sambil tersenyum, "Paman dan Bibi, senang sekali dapat berkenalan dengan kalian."

Hampir pingsan rasanya Miyana pada saat iuu. Thio Ki melihat keadaan isterinya dan biarpun dia sendiri terkejut dan tubuhnya masih lemas karena luka-lukanya, dia cepat memegang lengan isterinya yang agaknya menjadi pening dan terhuyung. Miyana tidak ragu lagi bahwa yang datang ini adalah saudara kembar Siang In, dan Thio Ki yang pernah mendengar cerita isterinya juga mengerti. Akan tetapi tentu saja mereka berdua tidak ingin memperlihatkan kepada siapapun juga, terutama kepada anak mereka, bahwa mereka telah mengetahui rahasia dua orang gadis itu.

"Ah, Ibu terkejut melihat persamaan antara aku dan Pek Hong? Memang kami mirip sekali satu sama lain, akan tetapi ia adalah puteri kaisar dan aku hanyalah anak Ayah dan Ibu," kata Siang In.

"Ampun, Tuan Puteri. Hamba tidak mengenal maka bersikap kurang hormat......" kata Miyana sambil memberi hormat dengan sembah dan menekuk kedua lututnya. Akan tetapi Pek Hong segera membungkuk dan memegang lengannya, mencegah ia berlutut.

"Bibi, jangan begitu. Kalau sudah keluar dari istana, aku lebih suka dikenal sebagai Pek Hong Niocu dan Siang In juga menyebut namaku Pek Hong. Kuharap Paman dan Bibi juga menyebutku begitu."

"Mari, marilah kita semua masuk dan bicara di dalam," kata Thio Ki dan mereka berempat memasuki ruangan dalam dan duduk menghadapi sebuah meja besar. Miyana menutup daun pintu dan jendela agar tidak ada pelayan yang berani masuk atau mendengarkan percakapan mereka.

"Nah, Ayah. Sekarang ceritakanlah apa yang terjadi padamu," kata Siang In, sudah dapat menekan kemarahannya.

"Terjadinya lima hari yang lalu. Bersama beberapa orang piauw-su, aku membawa barang-barang daganganku sendiri dan juga titipan barang-barang Pangeran Cin Boan menuju ke kota raja. Ketika rombongan kami tiba di kaki Pegunungan Cin-ling-san sebelah timur, kami dihadang segerombolan perampok. Kami melawan dan karena pihak kami kalah banyak, barang-barang itu semua dirampas dan aku terluka.

"Hemm, di mana terjadinya itu, Ayah?"

"Di kaki Pegunungan Cin-ling-san sebelah timur, dalam hutan yang berada di tepi jalan raya menuju kota Kai-feng."

"Tahukah Ayah siapa pemimpin gerombolan itu?"

"Aku tidak mengenalnya, orangnya tinggi kurus dan permainan siang-to (sepasang golok) amat lihai. Dia tidak menyebutkan namanya dan anak buahnya berjumlah lebih dari tigapuluh orang. Dalam rombongan kami, banyak yang terluka bahkan ada dua orang piauwsu yang tewas."

"Dan harta benda Ayah habis?"

"Hemm, terlukanya badanku dan habisnya hartaku tidak menjadi soal berat bagiku, Siang In. Kita dapat mencari lagi dengan bekerja keras. Akan tetapi yang menyusahkan hatiku adalah barang titipan Pangeran Cin Boan yang ikut hilang dibawa perampok, padahal barang-barang itu amat mahal harganya. Bagaimana aku akan dapat membayarnya?" Kalimat terakhir ini diucapkan Thio Ki dengan keluhan.

"Jangan khawatir, Ayah. Aku akan segera mencari ke tempat Ayah dihadang perampok itu dan aku akan membasmi mereka dan mengambil kembali barang-barang Ayah!" kata Siang In.

"Benar, Paman. Aku akan membantu Siang In dan kami pasti akan dapat merampas kembali barang-barang Paman," kata Pek Hong dengan suara menyakinkan.

Miyana memandang kepada suaminya dan berkata lirih, "Apakah tidak perlu menceritakan kepada Siang In tentang dugaan piauw-su Bhe Liang?"

"Laporan apakah, Ayah? Ceritakan kepadaku!" kata Siang In kepada Ayahnya.

Thio Ki menghela napas panjang.

"Bhe Liang melaporkan kepadaku, mengatakan bahwa yang mendalangi perampokan itu adalah Pangeran Cin Boan."

"Eh, Pangeran Cin Boan? Apa buktinya, Ayah?"

"Itulah, Siang In. Aku juga bilang kepada Ayahmu agar jangan mudah percaya akan dugaan Bhe Liang itu karena tidak ada buktinya," kata Miyana.

"Memang tidak ada buktinya. Menurut laporan Bhe Liang, ketika pinangan keluarga Pangeran Cin Boan itu kita tolak, Bhe Liang yang ketika itu masih menjadi pengawal Pangeran Cin, mendengar betapa Pangeran itu marah kepada kita dan mengeluarkan ancaman akan membalas penghinaan itu. Penolakan kita itu dia anggap sebagai penghinaan. Ketika aku membawa barang ke utara, dia menitipkan barang-barang berharga, lalu terjadi perampokan itu. Karena itulah Bhe Liang menduga bahwa yang mendalangi perampokan adalah Pangeran Cin Boan."

"Hemm, masuk akal juga......" kata Siang In.

"Aku akan menyelidiki dulu keluarga Pangeran Cin Boan sebelum melacak di tempat terjadinya perampokan. Kalau benar Pangeran Cin Boan yang mendalangi perampokan itu, hemm, akan kuhajar dia! Tidak tahu malu kalau pinangan ditolak lalu merasa terhina dan mendendam."

"Nanti dulu, Siang In. Aku mengenal Pangeran Cin Boan. Dia masih merupakan Paman luarku dan selama ini aku mengenal dia sebagai seorang yang berwatak baik. Memang sejak dia pindah ke sini, aku tidak pernah lagi bertemu dengan dia. Sudah kurang lebih enam tahun aku tidak bertemu keluarga Paman Pangeran Cin Boan. Maka, biarlah aku yang pergi berkunjung ke sana. Akan kuselidiki apakah benar dia yang mendalangi perampokan ini. Kalau benar, akulah yang akan menegur, kalau perlu menghukumnya. Kalau engkau yang ke sana, mungkin engkau akan dipengaruhi emosi dan melakukan kesalahan."

Siang In tersenyum.

"Engkau selalu menganggap aku galak, Pek Hong dan engkau khawatir aku membikin keributan? Baiklah, kalau bukan engkau yang mengajukan usul dan menggantikan aku menyelidiki Pangeran itu, pasti kutolak."

"Nah, aku akan pergi sekarang. Paman dan Bibi Thio, permisi dulu, aku akan berkunjung ke rumah Pangeran Cin Boan. Nanti kalau sudah ada hasilnya, aku akan kembali ke sini."

"Baik dan terima kasih, puteri...... eh, Pek Hong!" kata Thio Ki gembira.

Setelah kini puterinya pulang, harapannya muncul kembali dan dia merasa yakin bahwa barang-barangnya pasti akan bisa didapatkan kembali. Dia yakin akan kemampuan puterinya, apalagi setelah kini selama setahun ia digembleng oleh Tiong Lee Cin-jin!

Pek Hong Niocu lalu meninggalkan rumah Thio Ki dan setelah ia pergi, Thio Ki dan isterinya minta kepada Siang In agar menceritakan semua pengalamannya selama ia pergi meninggalkan rumah. Terutama sekali Miyana bertanya kepada puterinya tentang Pek Hong dan menduga-duga apakah puterinya sudah tahu akan rahasia dirinya, bahwa ia adalah Puteri Kaisar Kin dan mereka berdua hanya orang tua angkat.

Siang In menceritakan pengalamannya, akan tetapi ia tidak mau menceritakan bahwa ia sudah tahu akan rahasia dirinya, juga sama sekali tidak menceritakan bahwa Tiong Lee Cin-jin adalah Ayah kandungnya. Ia memenuhi pesan Ayah kandungnya itu untuk tetap merahasiakan tentang hubungan antara Tiong Lee Cin-jin, Tan Siang Lin, Puteri Moguhai dan dirinya sendiri. Biarlah Ayah Ibunya, Thio Ki dan Miyana yang baik hati dan menyayangnya sejak kecil sampai sekarang tidak akan merasa sedih kalau ia mengatakan bahwa ia tahu bahwa mereka bukanlah Ayah dan Ibu kandungnya.

"Siang In, sungguh aneh sekali melihat persamaanmu dengan puteri...... dengan Pek Hong itu. Benar-benar sukar bagiku untuk membedakannya, kecuali pakaian kalian yang jauh berbeda. Kalau kalian berdua pergi bersama, tentu orang-orang akan menyangka bahwa kalian adalah saudara kembar."

Mendengar ucapan itu, Siang In maklum bahwa ibunya ini sengaja hendak memancing untuk mengetahui apakah ia sudah tahu akan rahasia itu ataukah belum! Tentu saja Ibunya ini, Miyana tahu bahwa ia dan Pek Hong adalah saudara kembar karena Miyanalah yang menolong ibu kandungnya, dengan membawa pergi ia, seorang di antara sepasang bayi kembar, untuk menyelamatkan sepasang bayi kembar dari ancaman dibunuh oleh Kaisar. Kalau ia mengaku sudah tahu, pasti hati wanita yang baik hati ini akan menjadi kecewa dan khawatir kalau-kalau rasa sayang Siang In terhadap Ibunya ini akan berkurang.

"Memang wajah kami mirip sekali, Ibu. Akan tetapi jelas kami berbeda jauh. Ia Puteri Kaisar Kin dan aku hanyalah puteri Ayah dan Ibu di sini. Akan tetapi aku sama sekali tidak merasa iri atau rendah. Aku amat berbahagia menjadi anak Ayah dan Ibu, dan Pek Hong itu baik sekali, tidak angkuh dan tidak memandang rendah kepadaku sehingga kami akrab seperti saudara saja. Urusan dengan Pangeran Cin Boan ini pun sudah pasti akan beres kalau Pek Hong yang menanganinya. Ibu tahu, ia amat disayang oleh Kaisar Kin. Ayahnya itu bahkan memberi pedang bengkok berukir naga emas, yaitu pedang yang merupakan tanda kekuasaan sehingga apa yang diperintahkan Pek Hong terhadap semua pejabat pemerintah Kerajaan Kin dianggap seperti perintah Kaisar Kin sendiri sehingga semua pejabat, dari yang rendah sampai yang tinggi, semua tunduk dan taat kepadanya kalau ia memperlihatkan pedangnya itu."

"Hebat......!" kata Thio Ki.

"Pantas saja kalau Kaisar mencintanya, karena ia seorang gadis yang cantik dan gagah perkasa seperti engkau! Siapa yang tidak akan menyayangnya?"

"Aih, Ibu......!" kata Siang In manja sambil merangkul Ibunya.

Seperti tidak akan ada habisnya tiga orang itu bercakap-cakap melepas kerinduan hati masing-masing dan kepulangan Siang In ini benar-benar selain mendatangkan harapan besar, juga mempengaruhi keadaan tubuh Thio Ki sehingga dia segera sehat kembali! Apalagi setelah dengan tenaga saktinya yang kini menjadi amat dahsyat, Siang In menyalurkan ke dalam tubuh Ayahnya melalui telapak tangan yang ditempelkan di punggung. Wajah Thio Ki kini menjadi kemerahan lagi dan dia merasa tubuhnya kuat!

Rumah tinggal Pangeran Cin Boan merupakan sebuah gedung istana yang biarpun tidak sebesar dan semegah gedung-gedung istana para pangeran yang berada di kota raja, namun untuk ukuran rumah-rumah di kota Kang-cun, sudah termasuk megah dan mewah. Hal ini tidaklah mengherankan karena Pangeran Cin Boan merupakan seorang pangeran yang mendapat kepercayaan dan tugas dari Kaisar Kin untuk menjadi pengawas di perbatasan, menerima pelaporan para pejabat di daerah dan mengeluarkan peraturan-peraturan atas nama Kerajaan Kin.

Dia terkenal sebagai seorang pejabat tinggi yang bijaksana, tidak melakukan korupsi dan ketika pindah ke Kang-cun lima atau enam tahun yang lalu memang sudah kaya raya. Dia bersikap jujur dan adil, juga bertindak keras terhadap bawahan yang melakukan penyelewengan uang pemerintah atau penindasan terhadap rakyat jelata. Selain itu, Pangeran Cin Boan terkenal pula sebagai seorang dermawan, suka menolong dusun-dusun di mana rakyatnya hidup serba kekurangan. Memberi banyak pertolongan kepada daerah yang dilanda banjir kalau Sungai Yan-ce meluap. Dia pun tidak sudi disogok dan karena dia sebagai pemimpin para pejabat di daerah perbatasan, maka sikapnya yang adil dan keras itu membuat para pejabat bawahannya merasa gentar untuk melakukan penyelewengan.

Benarlah kalau ada orang bijaksana mengatakan bahwa akar penyelewengan atau korupsi dan sebagainya dalam sebuah pemerintahan bukan berada di bawah seperti akar pohon, melainkan berada di atas! Segala keadaan suatu pemerintahan, menjadi baik ataupun buruk, dimulai dari atas! Kalau atasannya kotor, sudah dapat dipastikan bahwa bawahannya juga semua kotor karena selain atasan menjadi panutan bawahan, juga kalau atasannya kotor tentu saja dia tidak berani menindak bawahan yang kotor. Dalam, keadaan seperti itu semua pejabat akan menjadi kotor dan pemerintah akan menjadi lemah dan miskin karena digerogoti para pembesar. Yang makmur hanyalah para pejabatnya!



JODOH SI NAGA LANGIT JILID 07

Sebaliknya kalau atasannya bersih, bawahannya tidak berani menyeleweng, demikian pula bawahannya lagi dan bawahannya lagi seterusnya, para pembesar itu dari yang besar sampai yang kecil, bekerja dengan setia, jujur dan bersih. Dalam keadaan seperti itu, dapat dipastikan bahwa pemerintahannya menjadi kuat, semua penghasilan dapat masuk dengan sempurna tidak ada yang bocor di jalan sehingga pemerintah menjadi kaya. Kalau pemerintah kaya, sudah pasti ia dapat menyejahterakan rakyat jelata. Keadilan akan terlaksana di mana-mana. Yang jahat akan dihukum berat, yang baik dan berjasa mendapat tempat yang layak. Alangkah akan bahagianya rakyat yang hidup di bawah pemerintahan yang seperti itu! Tidak ada penggerogotan uang pemerintah yang berasal dari rakyat, tidak ada penindasan, tidak ada sogok dan suap yang melahirkan ketidak-adilan. Alangkah indahnya!

Pangeran Cin Boan berusia sekitar limapuluh tahun. Seperti semua bangsawan dan pembesar di jaman itu, Pangeran Cin Boan selain seorang isteri juga mempunyai beberapa orang selir. Akan tetapi dia hanya mempunyai seorang anak laki-laki yang lahir dari isterinya. Pangeran itu bertubuh sedang, wajahnya tampan sikapnya halus dan dia ramah terhadap siapa saja, mulutnya selalu tersenyum namun sikap yang lembut itu mengandung wibawa. Isterinya juga cantik dan lembut, seorang wanita bangsawan Kin yang terpelajar, berusia empatpuluh tahun.

Anak tunggal mereka itu bernama Cin Han. Dari nama ini saja sudah tampak betapa Pangeran Cin Boan menyesuaikan diri dengan pribumi yang dijajah Kerajaan Kin. Nama marganya Cin dan puteranya itu diberi nama Cin Han. Pemuda berusia duapuluh dua tahun ini tampan sekali, seperti ibunya. Seorang pemuda yang telah lulus ujian sastra dan mendapat ijazah siu-cai (Sastrawan). Tampan, terpelajar, lemah lembut dan bijaksana seperti Ayahnya sehingga siapa pun yang mengenalnya tentu merasa kagum dan suka. Akan tetapi sudah sejak dua tahun yang lalu Ayah Ibunya mendesak pemuda itu untuk menikah, dia selalu menolak.

Baru setahun yang lalu Ayahnya hendak menjodohkannya dengan Thio Siang In yang juga terkenal dengan julukan Ang Hwa Sian-li, Cin Han tidak menolak. Dia pernah melihat gadis itu dan diam-diam mengaguminya. Akan tetapi, sekali ini dia yang ditolak! Pinangan itu tidak diterima oleh Thio Ki dengan alasan bahwa puterinya belum mau dijodohkan! Tentu saja Pangeran Cin Boan dan isterinya kecewa sekali. Akan tetapi Cin Han yang bijaksana dapat memaklumi penolakan Siang In.

Gadis itu sama sekali tidak mengenalnya, bahkan melihatnya pun belum pernah. Bagi seorang gadis pendekar seperti itu, tentu saja tidak mau di jodohkan secara "tabrakan" begitu saja. Pemuda ini memaklumi penolakan Thio Siang In. Akan tetapi sejak penolakan itu, sudah setahun lebih, dia selalu menolak kalau orang tuanya hendak menjodohkannya. Bahkan, tidak seperti pemuda bangsawan lainnya, dia pun menolak ketika hendak dicarikan selir.

Pada pagi hari di waktu matahari telah naik semakin tinggi, Pangeran Cin Boan duduk di ruangan dalam bersama isteri dan puteranya.

"Ayah, aku mendengar bahwa Paman Thio Ki beberapa hari yang lalu dirampok penjahat habis-habisan, bahkan dia terluka dan dua orang pengawalnya tewas. Bukankah Ayah ada menitipkan kiriman barang ke kota raja kepada Paman Thio Ki?"

"Benar, Han-ji (Anak Han), aku pun sudah mendapat laporan dari utusan Thio Ki. Barang-barang kita ikut terampas penjahat," jawab Pangeran Cin Boan.

"Hemm, padahal barang-barang itu amat berharga dan penting yang dikirim ke kota raja untuk Nenekmu dan para Pamanmu. Sekarang hilang! Thio Ki itu harus bertanggung jawab!" kata Nyonya Cin sewot (marah-marah).

"Jangan begitu, kejadian itu kan merupakan kecelakaan? Thio Ki sendiri sudah habis-habisan, bahkan terluka. Jangan kita menambahkan penderitaannya dengan tergesa-gesa menuntut barang-barang kita yang hilang agar dipertanggung-jawabkan."

"Salahnya sendiri. Dulu menolak pinangan kita, sekarang barang kita yang berharga mahal dibikin hilang. Enak dia dan rugi kita kalau didiamkan saja!" Agaknya isteri pangeran ini masih merasa kecewa, penasaran dan marah karena pinangannya setahun yang lalu ditolak oleh keluarga Thio Ki.

"Ibu, kiranya tidak perlu lagi membicarakan tentang pinangan itu. Yang penting sekarang, bagaimana caranya untuk membantu Paman Thio mengatasi keadaannya yang terluka dan habis-habisan itu."

"Hemm, mengapa kita jadi ikut repot? Bukankah puteri mereka yang cantik seperti dewi, bahkan julukannya juga Ang Hwa Sian-li (Dewi Bunga Merah), adalah seorang pendekar wanita yang amat lihai? Biarlah gadis itu yang merampas kembali harta yang telah dirampok penjahat!" kata Nyonya Cin yang masih marah.

Sebelum suami dan anaknya menjawab, daun pintu ruangan itu diketuk orang.

"Siapa?" Pangeran Cin bertanya sambil mengerutkan alisnya karena tak senang percakapannya dengan isteri dan puteranya ada yang mengganggu.

"Hamba, yang mulia. Hamba hendak melaporkan bahwa di luar datang seorang gadis yang ingin menghadap paduka," terdengar suara pengawal yang mereka sudah kenal.

"Siapa ia? Siapa namanya?" tanya Pangeran Cin Boan dengan heran. Dia tak pernah ada urusan dengan seorang gadis. Belum pernah ada gadis minta menghadap padanya.

Suara pengawal itu menjawab.

"Ia tidak mau mengatakannya, Yang Mulia. Ia hanya berkata bahwa paduka pasti akan mengenalnya kalau ia sudah menghadap Paduka."

"Ayah, biar aku yang keluar dulu melihat siapa yang hendak menghadap Ayah."

"Baiklah, Cin Han, keluarlah dan lihat siapa gadis itu."

Cin Han keluar dan diantar pengawal itu dia melangkah keluar. Setelah di serambi depan, dia melihat seorang gadis berpakaian serba putih dari sutera halus, kepalanya dihias burung Hong perak, berdiri dan menyongsongnya dengan pandang mata yang mencorong tajam. Gadis yang luar biasa cantiknya. Akan tetapi setelah berhadapan, Cin Han berseru terkejut.

"Eh, engkau...... engkau...... Thio-siocia (Nona Thio)??"

Puteri Moguhai atau Pek Hong Niocu diam-diam kagum sekali kepada pemuda yang tampan sekali dan sikapnya lemah lembut itu. Ia menduga bahwa inilah agaknya putera Pangeran Cin Boan itu. Rasanya dulu ia pernah bertemu dengan pemuda ini, sekitar enam tahun lebih yang lalu. Tentu saja ketika mereka masih remaja dan ia sudah tidak ingat lagi wajah pemuda itu.

"Engkau siapakah, Kongcu?" tanyanya.

"Aku bernama Cin Han, putera Pangeran Cin Boan." Ucapan pemuda itu seolah mengingatkan dan dia menatap tajam wajah yang jelita itu.

"Ah, Cin-kongcu. Apakah Pangeran Cin Boan berada di rumah? Aku ingin bertemu dengannya."

"Mari, silakan, Thio-siocia. Silakan menunggu di ruangan tamu, aku akan memanggil Ayah ke sini."

Mereka memasuki ruangan tamu dan Pek Hong lalu duduk di situ menunggu sedangkan Cin Han masuk ke ruangan dalam menemui Ayah Ibunya.

"Ayah, gadis itu adalah Nona Thio Siang In!" kata pemuda itu yang masih merasa tegang hatinya bertemu dengan gadis yang pernah menundukkan hatinya itu.

Pangeran Cin Boan menaikkan alisnya dengan heran dan isterinya mengerutkan alis dan berkata, "Hemm, mari kita temui!"

Suami isteri dan putera mereka itu lalu keluar dari ruangan dalam, memasuki ruangan tamu. Pek Hong segera bangkit berdiri dan ia berhadapan dengan mereka bertiga.

"Nona Thio......!" kata Pangeran Cin Boan dan memandang penuh selidik. Dia merasa kagum akan kecantikan gadis itu. Pantas puteranya tergila-gila, pikirnya.

"Engkau yang bernama Thio Siang In?" tiba-tiba Nyonya Cin bertanya, nada suaranya ketus.

"Dulu engkau menolak pinangan kami. Sekarang datang berkunjung ada keperluan apakah?"

Pek Hong tersenyum melihat Pangeran Cin Boan dan Cin Han memandang Nyonya Cin dengan alis berkerut tanda tidak senang mendengar ucapan yang ketus itu. Akan tetapi ia pun tidak merasa marah mendengar teguran nyonya itu karena ia maklum betapa kecewanya seorang ibu mendengar pinangan puteranya ditolak.

"Kalian bertiga keliru. Aku bukan Thio Siang In," katanya sambil tersenyum.

Tiga orang itu terbelalak.

"Harap Siocia (Nona) tidak main-main. Aku mengenalmu dengan baik dan jelas bahwa engkau adalah Nona Thio Siang In!" kata Cin Han sambil tersenyum pula, mengira gadis itu main-main.

"Aku tidak main-main. Memang aku mirip Thio Siang In, akan tetapi aku bukan ia. Paman Pangeran, apakah Paman sudah lupa kepadaku?"

Pangeran Cin Boan memandang penuh perhatian.

"Siapakah engkau sesungguhnya, kalau engkau bukan Thio Siang In?"

"Aku sering bertemu Paman di kota raja sekitar enam tahun yang lalu."

"Enam tahun yang lalu di kota raja? Ah, aku tidak ingat......"

Pek Hong Niocu lalu mengeluarkan pedang bengkok berukir naga emas dari pinggangnya dan memperlihatkannya kepada pangeran itu.

"Paman tentu mengenal ini, bukan?"

Melihat pedang bengkok tanda kekuasaan itu, sepasang mata Pangeran itu terbelalak.

"Dan apakah Paman tidak mengenal hiasan rambutku ini?"

"Ahh...... engkau...... Puteri Moguhai yang dikenal sebagai Pek Hong Niocu??"

Pek Hong tersenyum dan menyimpan kembali pedangnya.

"Nah, Paman mengerti sekarang bahwa aku bukan Thio Siang In."

"Ah, maafkan kami...... kiranya keponakanku yang amat terkenal yang datang berkunjung! Selamat datang, Ananda Moguhai. Kami merasa girang sekali mendapat kesempatan menerima kunjungan ini."

Lalu kepada isteri dan puteranya yang masih memandang terheran-heran dia berkata.

"Mengapa kalian bengong saja? Ini adalah keponakanku sendiri, puteri Sri Baginda Kaisar yang bernama Puteri Moguhai yang akhir-akhir ini terkenal sebagai Pek Hong Niocu, pemilik pedang pusaka tanda kekuasaan tertinggi mewakili Sri Baginda?"

Nyonya Cin Boan seketika mengubah sikapnya, ia bersikap hormat dan ramah sekali.

"Aih, harap memaafkan kami yang tidak mengenalmu."

Cin Han masih terpesona. Kiranya gadis yang wajahnya persis Thio Siang In ini adalah puteri kaisar! "Ah, Nona Puteri, harap maafkan aku......" katanya gagap.

Pek Hong tersenyum kepada pemuda itu.

"Kita adalah saudara misan, mengapa masih memakai sebutan sungkan seperti itu? Engkau bernama Cin Han, bukan? Tentu lebih tua daripada aku maka akan kusebut Kanda Cin Han saja."

Wajah pemuda yang tampan dan berkulit putih itu menjadi agak kemerahan.

"Baiklah, Adinda Moguhai, dan terima kasih atas keramahan sikapmu."

"Aku akan menyuruh menyiapkan minuman......"

"Tidak usah, Bibi. Aku datang untuk membicarakan suatu hal penting."

"Ada urusan apakah, Moguhai? Persamaanmu dengan Thio Siang In sungguh membuat kami terkejut dan heran."

"Memang benar, Paman Pangeran. Thio Siang In adalah saudara seperguruanku yang akrab dengan aku. Kedatanganku ini pun atas namanya untuk membicarakan tentang peristiwa perampokan atas diri Paman Thio Ki, Ayah Siang In."

"Ya, kami juga sudah mendengar akan peristiwa yang menyedihkan itu. Kabarnya Thio Ki terluka parah. Benarkah itu?"

"Benar, akan tetapi keadaannya sudah tidak berbahaya lagi, Paman Pangeran. Dua orang piauw-su yang membantunya tewas dan banyak yang terluka. Semua harta benda yang dikawal Paman Thio Ki dirampas perampok."

"Kami sudah mendengar dan mendapat pelaporan karena titipan barang kami juga ikut dilarikan perampok."

"Banyakkah barang yang Paman titipkan itu?"

"Hemm, cukup banyak dan berharga karena kiriman kami itu kami tujukan kepada Ibu kami dan adik-adik kami di kota raja."

"Tentu Paman Pangeran akan menuntut kepada Paman Thio Ki agar mengganti semua kehilangan itu, bukan?"

"Ah, sama sekali tidak, Moguhai. Thio Ki mendapatkan kecelakaan yang membuat harta bendanya habis dan dia sendiri terluka. Kehilangan harta yang kami titipkan itu adalah karena kecelakaan."

"Itu benar, Adinda, Paman Thio Ki sedang menderita, bagaimana kami tega untuk menambahi penderitaannya? Kami malah kasihan sekali mendengar akan peristiwa itu."

Moguhai atau kita sebut saja Pek Hong, memandang tiga orang itu bergantian. Wajah Pangeran Cin Boan dan wajah Cin Han tampak wajar membayangkan bahwa ucapan mereka tadi sejujurnya. Akan tetapi ia melihat betapa wajah Nyonya Cin yang cantik itu agak muram dan sepasang alisnya berkerut.

"Paman Pangeran, aku mendengar bahwa setahun lebih yang lalu, Paman mengajukan pinangan kepada keluarga Paman Thio Ki, untuk menjodohkan Kan-da Cin Han ini dengan Thio Siang In, benarkah itu?"

"Ya, benar."

"Dan pinangan itu ditolak?"

Pangeran Cin Boan menghela napas panjang.

"Ya, ditolak karena Nona Thio Siang In belum mau terikat perjodohan. Kami dapat menerima alasan itu karena kami tahu bahwa gadis itu adalah seorang pendekar wanita yang tinggi ilmunya dan tentu saja soal perjodohan tidak dapat dipaksakan kepadanya."

"Hemm, tentu Paman sekeluarga menjadi kecewa dan penasaran, bukan?"

"Tentu saja kami kecewa, akan tetapi penasaran? Tidak! Mengapa mesti penasaran? Pinangan hanya mempunyai dua keputusan, diterima atau ditolak."

"Apakah keluarga Paman tidak merasa terhina oleh penolakan pinangan itu dan mendendam sakit hati?"

"Puteri Moguhai! Mengapa engkau bertanya seperti itu? Kami bukan orang-orang sepicik itu!" kata Pangeran Cin Boan dengan suara mengandung kemarahan.

"Ayah, Adinda Moguhai mengajukan pertanyaan itu pasti ada sesuatu yang dimaksudkan dan dikehendaki. Dinda Moguhai, harap engkau suka berkata terus terang saja kepada kami. Sebetulnya ada persoalan apakah pada keluarga kami yang sedang kau selidiki?"

Pek Hong memandang kakak misannya yang tampan itu sambil tersenyum. Pemuda ini cerdik juga, pikirnya kagum.

"Begini, Paman, Bibi, dan Kanda. Sesungguhnya, keluarga Paman Thio Ki mendengar berita yang tidak baik, yang membayangkan seolah-olah urusan penolakan pinangan itu ada hubungannya dengan terjadinya perampokan terhadap Paman Thio Ki itu."

"Dinda Moguhai! Apakah engkau hendak mengatakan bahwa engkau menyangka kami yang mendalangi perampokan itu karena kami hendak membalas dendam atas ditolaknya pinangan kami itu?" tanya Cin Han penasaran, walaupun suaranya masih lembut.

Pek Hong tersenyum lebar.

"Tenang, Kanda. Itu bukan persangkaanku. Justeru aku datang ini untuk menyelidiki tentang persangkaan itu. Sekarang, harap Paman Pangeran suka menjawab sejujurnya. Apakah Paman mengenal seorang bernama Bhe Liang yang berjuluk Twa-to (Si Golok Besar)?"

"Bhe Liang?" Sepasang alis pangeran itu berkerut dan sinar matanya membayangkan kemarahan.

"Tentu saja kami mengenalnya. Dahulu, dia menjadi seorang di antara para pengawal kami di sini. Akan tetapi kami telah menghentikan dan mengusirnya!"

"Mengusirnya......? Akan tetapi mengapa, Paman? Mengapa Paman mengusirnya?"

Pangeran itu bertukar pandang dengan isterinya dan dengan alis masih berkerut dia bertanya kepada Pek Hong.

"Hemm, apakah pertanyaan itu perlu dijawab?"

"Perlu sekali, Paman! Untuk melengkapi penyelidikanku, harap Paman suka menjawab pertanyaan itu sejujurnya. Ini demi kebaikan keluarga Paman sendiri."

Pangeran Cin Boan memandang isterinya.

"Bagaimana? Apakah kita akan memberitahu kepada Puteri Moguhai?"

Isterinya termangu sejenak, lalu mengangguk.

"Boleh saja kalau itu demi kebaikan keluarga kita."

"Begini, Moguhai. Sebetulnya penyebabnya hanya urusan kecil saja, namun cukup menjengkelkan kami. Bhe Liang memperlihatkan sikap yang kurang ajar kepada isteriku. Pandang matanya kurang ajar dan dia berani tersenyum-senyum penuh arti......" Pangeran itu memandang kepada isterinya.

"Keparat itu memang kurang ajar sekali. Pandang matanya dan senyumnya itu jelas menjadi tanda bahwa dia mengajak main gila! Dikiranya wanita macam apa aku ini! Maka aku memberitahu suamiku dan dia lalu diusir."

Mendengar keterangan suami isteri itu, Pek Hong mengangguk-angguk lalu ia bangkit berdiri.

"Terima kasih banyak atas semua keterangan Paman, Bibi, dan Kanda Cin Han. Sekarang aku mohon diri, hendak kembali ke rumah Paman Thio Ki."

Pangeran Cin Boan, isterinya dan puteranya mencoba untuk menahannya, akan tetapi Pek Hong mengucapkan terima kasih.

"Biarlah lain kali saja kita berjumpa lagi. Sekarang aku harus kembali ke sana menemui Siang In."

Keluarga pangeran itu mengantar Pek Hong sampai ke pintu depan.

Thio Ki, Miyana dan Siang In menyambut kedatangan Pek Hong dan Siang In segera menggandeng tangan Pek Hong, diajak masuk.

"Pek Hong bagaimana hasilnya? Benarkah mereka yang mendalangi semua itu?" Siang In bertanya ketika mereka berempat sudah berada di ruangan dalam.

Pek Hong tersenyum.

"Sabar dulu, Siang In. Penyelidikanku belum tuntas. Sekarang, aku harap Paman Thio Ki dun Bibi Miyana suka berterus terang kepadaku karena jawaban yang jujur dari Paman berdua mungkin akan dapat membawa kita kepada dalang perampokan ini."

"Aih, Pek Hong. Kenapa malah kami yang harus menjawab dengan jujur?" tanya Miyana heran.

"Ya, Pek Hong. Seolah kami yang akan kau selidiki?" kata pula Thio Ki penasaran.

"Tenanglah, Paman dan Bibi. Percayalah padaku dan harap suka jawab sejujurnya pertanyaanku ini. Paman, pengawalmu yang bernama Bhe Liang itu, apakah pekerjaannya di sini baik-baik saja?"

Thio Ki memandang heran dan mengangguk.

"Ya, pekerjaannya cukup baik. Beberapa kali dia mengawal kiriman barang dan tidak pernah gagal. Juga dia memiliki ilmu silat yang cukup tangguh. Julukannya sebagai Twa-to agaknya cukup dikenal oleh golongan sesat sehingga pengawalannya tidak pernah diganggu.

"Apakah dia tidak pernah melakukan sesuatu yang tercela?"

"Kurasa tidak."

"Dan Paman tidak pernah memarahinya karena suatu tindakan yang tercela?"

Thio Ki menggeleng kepala.

"Seingatku tidak. Akan tetapi apa maksudmu dengan semua pertanyaan itu?"

"Nanti kujelaskan, Paman. Sekarang aku ingin mengajukan pertanyaan kepada Bibi Miyana dan kuharap Bibi akan menjawab sejujurnya dan jangan menyembunyikan sesuatu."

Miyana mengerutkan alisnya dan wajahnya yang masih cantik itu tampak tegang.

"Tanyalah, Pek Hong!"

"Begini, Bibi. Apakah Bhe Liang itu pernah berbuat atau bersikap yang tidak wajar terhadap Bibi?"

Miyana membelalakkan matanya.

"Tidak wajar? Apa...... apa maksudmu?"




"Hemm, misalnya dia melakukan sesuatu atau bersikap yang tidak sopan atau kurang ajar terhadap Bibi."

Miyana menundukkan mukanya yang berubah merah dan sejenak ia diam saja.

"Ibu, jawablah pertanyaan Pek Hong sejujurnya. Percayalah, ia bermaksud baik, Ibu."

Miyana kembali memandang kepada suaminya dan Thio Ki yang kini menduga tentu ada apa-apa yang hendak dikatakan isterinya, ia berkata, "Benar, Miyana. Ceritakan saja apa yang telah terjadi dengan sejujurnya."

Setelah Miyana menghela napas panjang beberapa kali, ia berkata.

"Memang pernah beberapa kali dia bersikap kurang ajar kepadaku, merayuku. Mula-mula aku tidak perduli, akan tetapi ketika dia semakin berani, malah pernah memegang tanganku, aku menjadi marah dan memaki-makinya."

"Keparat!" bentak Siang In.

"Kuhajar jahanam itu!"

"Nanti dulu Siang In. Bersabarlah," kata Pek Hong, lalu ia menoleh kepada Miyana yang kini menundukkan mukanya.

"Bibi, mengapa Bibi tidak melaporkan kekurang-ajaran itu kepada Paman Thio Ki?"

Miyana memandang suaminya yang juga memandang kepadanya dengan alis berkerut.

"Ketika peristiwa itu terjadi, engkau belum pulang Siang In. Kalau ada engkau, pasti langsung kuberitahukan kepadamu. Akan tetapi engkau tidak ada dan aku takut memberitahukan hal itu kepada Ayahmu. Bhe Liang itu orangnya menyeramkan dan kabarnya dia lihai sekali. Aku takut kalau kuberitahukan Ayahmu, mereka berkelahi dan Ayahmu akan celaka di tangannya......"

"Terima kasih, Bibi. Sekarang jelaslah sudah. Paman dan Bibi, dan Siang In, ketahuilah. Aku telah melakukan penyelidikan kepada Paman Pangeran Cin Boan sekeluarga, akan tetapi tidak ada tanda-tandanya mereka mendalangi perampokan itu. Pangeran Cin Boan terlalu baik hati untuk melakukan kekejaman itu. Bahkan dia tidak ingin menuntut Paman Thio untuk membayar barang-barangnya yang dirampok. Akan tetapi aku mendapatkan keterangan penting. Ketika Bhe Liang menjadi pengawal mereka, jahanam itu pun pernah bersikap kurang ajar kepada isteri Paman Pangeran sehingga dia dipecat dan diusir. Dan sekarang dia pula yang memberi kabar yang mendalangi perampokan adalah Pangeran Cin Boan! Jelas bahwa dia hendak membalas dendam kepada Pangeran Cin Boan karena pernah memecat dan mengusirnya, dan juga membalas dendam kepada keluarga ini karena Bibi Miyana pernah memakinya dan menolak rayuannya. Jadi, mudah diduga siapa kira-kira yang mendalangi perampokan ini, bukan?"

Siang In bangkit berdiri.

"Jahanam, kuhajar dia!"

Pek Hong juga bangkit dan memegang lengan Siang In.

"Siang In, tenanglah, jangan menuruti nafsu amarah. Kalau engkau emosi lalu membunuhnya, akan sukarlah bagi kita untuk menemukan kembali barang-barang yang dirampok itu. Mari kita cari dia dan kita paksa dia mengakui perbuatannya dan memberitahu di mana adanya barang-barang rampokan itu. Paman, di manakah kami dapat menemukan jahanam itu?"

"Rumahnya tak jauh dari sini. Dia tidak mau tinggal di sini dan menyewa rumah sendiri, rumah kecil di sebelah kiri dari rumah ini. Biar pelayan mengantar kalian ke sana."

Dua orang gadis itu lalu pergi menuju rumah sewaan Bhe Liang, diantarkan seorang pelayan. Setelah tiba di luar rumah itu, Siang In menyuruh pelayan itu pulang. Lalu mereka berdua menghampiri pintu depan rumah itu dan mengetuknya.

Daun pintu dibuka dari dalam dan Bhe Liang yang tinggi besar dan bermata lebar melotot itu muncul di ambang pintu. Dia membelalakkan kedua matanya yang lebar ketika melihat dua orang gadis cantik jelita berdiri di depannya. Karena pada dasarnya dia seorang mata keranjang dan dia mengandalkan ketangguhannya sehingga membuat dia berani, melihat sepasang gadis cantik jelita itu dia menyeringai lebar sehingga tampak giginya yang besar-besar menguning.

"Heh-heh, nona-nona manis, kalian mencari aku?" tiba-tiba dari dalam muncul pula seorang wanita muda yang wajahnya menor, seperti topeng dibedak dan digincu tebal, dengan lagak genit berkata.

"Orang she Bhe, dengan aku pun engkau belum membayar sekarang sudah mendatangkan dua orang pelacur lain?"

"Plak-plakk!" Bhe Liang terhuyung ke dalam dan wanita itu menjerit dan terpelanting roboh. Ia menangis memegangi pipinya yang bengkak, lalu ia berlari keluar dari pintu sambil menangis. Sementara itu, Bhe Liang marah bukan main, memandang Siang In yang tadi menampar dia dan pelacur langganannya. Darah mengalir dari ujung bibirnya dan sepasang matanya yang lebar itu kini melotot. Hampir dia tidak percaya ada seorang gadis berani menamparnya!

"Keparat! Berani engkau memukul aku?" bentaknya dan sambil mengeluarkan gerengan menyeramkan dia mengembangkan kedua lengannya yang panjang, lalu menerjang Siang In dengan terkaman karena dia hendak mendekap gadis cantik yang berani menamparnya itu.

"Wirrrr...... plakk!" Tangan Siang In sudah menyambar dengan cepat sekali, menampar pundak Bhe Liang. Seperti disambar petir tubuh Bhe Liang terpental dan terputar, lalu dia jatuh terpelanting.

Bhe Liang merangkak bangkit. Hampir dia tidak dapat percaya. Dia tadi menyerang akan tetapi tahu-tahu pundaknya seperti dihantam palu godam yang amat kuat. Rasanya nyeri menyusup tulang! Bagaimana mungkin ini? Dia adalah seorang laki-laki perkasa yang sukar dicari tandingannya di kota Kang-cun. Akan tetapi kini menghadapi seorang gadis muda dia seperti menjadi seorang anak kecil yang tidak berdaya!

Tentu saja dia menjadi penasaran dan menganggap kejadian tadi hanya kebetulan saja. Bagaimanapun juga, dia menyadari bahwa gadis cantik ini bukan seorang yang lemah. Maka setelah dapat bangkit berdiri, Bhe Liang lalu mencabut golok besarnya, senjatanya yang amat diandalkan dan yang selama ini mengangkat namanya sebagai jagoan dengan julukan Si Golok Besar. Begitu dicabut, dia memutar-mutar golok yang besar, berat dan mengkilap tajam itu di depan tubuhnya dengan wajah bengis mengancam.

"Perempuan jahanam, kini mampuslah!" Dia membentak dan tiba-tiba dia menerjang maju, goloknya menyambar ke arah leher Siang In dengan cepat dan kuat.

Akan tetapi bagi Siang In yang kini telah memiliki ilmu kepandaian tinggi setelah selama setahun digembleng ayah kandungnya, gerakan hebat itu tampak lamban dan hanya merupakan serangan ringan saja. Ia miringkan tubuh ke kiri. Ketika golok menyambar lehernya ia merendahkan tubuhnya dan golok itu menyambar lewat atas kepalanya. Pada saat itu kakinya mencuat dan menendang perut Bhe Liang. Tentu saja ia membatasi tenaganya karena ia tidak ingin membunuh orang itu.

"Wuuuttt...... ngekk!!" Tubuh Bhe Liang terjengkang dan sebuah tendangan menyusul, mengenai pergelangan tangan kanan dan goloknya terlepas dan terlempar.

Sekali ini Bhe Liang tidak dapat menahan rasa nyeri dalam perutnya. Agaknya usus buntunya terkena tendangan, rasanya mulas dan nyeri bukan main. Dia pun tidak tahan sehingga mengaduh-aduh sambil memegangi dan menekan-nekan dengan kedua tangan. Dia bangkit berjongkok dan kini dia menjadi ketakutan. Sadar sepenuhnya bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan yang sakti dan amat tangguh!

"Aduh...... aduh...... Nona, mengapa Nona menyerangku? Apa kesalahanku kepadamu?" Dia mengeluh.

"Manusia busuk Bhe Liang! Apa yang kauketahui tentang perampokan terhadap barang-barang Ayahku? Hayo jawab!" Siang In membentak.

Bhe Liang terkejut dan terheran. Ketika dia bekerja pada perusahaan Thio Ki, Siang In tidak berada di rumah. Dia sudah mendengar bahwa Thio Ki mempunyai seorang anak perempuan yang lihai, akan tetapi dia tidak percaya dan menertawakan. Selihai-lihainya, apa sih yang dapat dilakukan seorang gadis? Dan kini gadis yang amat tangguh ini, yang dapat merobohkan dia yang memegang goloknya hanya dalam satu gebrakan, tadi menyebut Thio Ki sebagai Ayah!

"Nona...... Nona...... siapakah?"

Kini Pek Hong Niocu yang menjawab setelah tertawa mengejek.

"He-he-he, cacing lumpur! Buka matamu lebar-lebar, juga telingamu! Gadis ini adalah puteri Paman Thio Ki yang bernama Thio Siang In dan berjuluk Ang Hwa Sian-li. Nah, cepat menjawab pertanyaannya tadi. Apa yang kau ketahui tentang perampokan terhadap barang-barang Paman Thio Ki?"

"Saya...... saya tidak tahu apa-apa......" Bhe Liang yang sekarang mati kutu dan kehilangan kegarangannya itu berkata dengan muka masih menyeringai menahan rasa mulas di perutnya.

"Dengar, Cacing!" bentak Pek Hong Niocu.

"Engkau mendendam kepada Pangeran Cin Boan karena dipecat dan diusir! Kemudian engkau mendendam kepada Paman Thio Ki karena engkau menggoda isterinya akan tetapi engkau ditolak dan dimaki-maki! Maka, lalu mengatur perampokan itu, bukan?"

"Tidak......! Tidak......!" kata, Bhe Liang, akan tetapi mukanya menjadi pucat dan tubuhnya yang tinggi besar itu menggigil.

"Hayo mengaku, di mana barang-barang rampokan itu?" Pek Hong membentak.

Bhe Liang menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Saya...... saya tidak...... tahu...... saya tidak tahu......"

"Pek Hong, bangsat seperti ini sebaiknya dicokel kedua matanya agar jangan berbohong!" Siang In berkata, sengaja untuk mengancam pengawal Ayahnya itu.

Tentu saja Bhe Liang menjadi ketakutan mendengar ancaman ini.

"Ampun, Nona...... ampun, saya tidak bersalah...... saya tidak tahu......!"

Pek Hong Niocu menggerakkan jari tangan kanannya dua kali, cepat sekali.

"Tuk! Tuk!" Jari tangan itu telah menotok kedua pundak Bhe Liang, di kanan kiri leher.

"Aduhh......! Ahhh, ampun...... aduuuhhh""!" Tubuh Bhe Liang bergulingan di atas lantai. Kedua tangannya menekan seluruh tubuhnya yang terasa nyeri semua, seperti ditusuk-tusuk jarum. Kakinya, lengannya, perutnya, dadanya, bahkan kepalanya. Dia mengaduh-aduh, bergulingan, bangkit dan rebah kembali, mulutnya minta-minta ampun, seluruh tubuh menggigil saking nyerinya, kiut-miut rasanya seluruh tubuh, terutama kepalanya yang rasanya hendak pecah. Keringat dingin sebesar kedele memenuhi muka dan lehernya dan wajahnya menjadi pucat sekali. Dia menggigit bibirnya yang sudah berdarah sambil mendengus-dengus dan merintih-rintih, napasnya terengah-engah.

"Kalau engkau tidak mau mengaku, kami akan membiarkan engkau tersiksa begini sampai mampus!"

"Aduh...... ampun, Nona...... ampun, saya tidak berani lagi......!"

Siang In melihat sebuah arca singa di sudut ruangan itu, arca sebesar kepala orang. Diambilnya arca itu dan dibawanya ke depan Bhe Liang.

"Lihat, engkau masih belum mau mengaku?" Gadis itu lalu menampar arca yang berada di atas telapak tangan kirinya.

"Pyarrr......!" Arca itu pecah dan kedua tangannya mengambil beberapa pecahan arca lalu sekali meremas, pecahlah batu itu hancur menjadi tepung! Bhe Liang terbelalak melihat ini. Wajahnya pucat sekali.

"Jawab, mau tidak engkau mengaku!" bentak Siang In.

"Mau...... mau...... ampunkan saya......"

Pek Hong menepuk kedua pundaknya dan rasa nyeri itu pun tak terasa lagi oleh Bhe Liang. Dia jatuh terduduk dan menggunakan kedua tangannya untuk mengelus pundaknya. Kedua matanya masih basah karena tadi tanpa terasa dia menangis saking nyerinya. Dia menghela napas berulang-ulang.

"Duduk dan ceritakan semua!" bentak Siang In.

Bhe Liang benar-benar mati kutu karena kini dia tahu bahwa dua orang gadis yang wajahnya serupa ini keduanya ternyata memiliki kesaktian hebat. Dia bangkit dan duduk di atas sebuah kursi, dihadapi dua orang gadis yang berdiri dengan sinar mata mencorong.

"Saya...... saya memang merasa sakit hati kepada Pangeran Cin Boan karena saya dipecat dan diusir. Juga saya merasa sakit hati kepada Thio-twako karena...... karena......"

"Hayo bicara terus terang!" Siang In membentak lagi.

"Karena...... isterinya menghina dan memaki saya......"

"Engkau berani menggoda Ibuku? Kamu anjing babi, wajahmu buruk seperti monyet hatimu seperti iblis begini berani menggoda Ibuku? Kau layak mampus!" Siang In yang marah sekali mengayun tangan memukul kepala Bhe Liang, akan tetapi Pek Hong cepat menangkap lengannya.

"Siang In, ingat, kita masih membutuhkan monyet ini."

Siang In teringat, lalu membentak Bhe Liang yang sudah begitu ketakutan sehingga tubuhnya menggigil lagi seperti kedinginan.

"Hayo lanjutkan keteranganmu. Awas, kalau berani berbohong, kucokel keluar matamu!"

"Baik, Nona. Ampunkan saya. Ketika Thio-twako sendiri mengawal barang-barang berharga, apalagi di situ terdapat titipan barang Pangeran Cin Boan, saya lalu menghubungi teman-teman saya dan...... dan mereka melakukan penghadangan dan perampokan itu......"

"Hemm, siapa pemimpin perampokan itu?"

"Seorang pemuda yang baru saya kenal melalui teman-teman, namanya Kui Tung."

"Di mana barang-barang itu?" tanya Siang In.

"Sekarang disembunyikan di kuil tua yang kosong, di kaki bukit di luar kota ini. Sengaja dibawa ke dekat kota ini agar jangan ada yang menduga."

"Kuil tua di kaki bukit sebelah utara kota itu?" tanya Siang In.

"Betul, Nona."

"Hayo antar kami ke sana! Sekarang juga!" bentak Pek Hong.

Bhe Liang yang sudah ketakutan itu tidak berani membantah. Dia bangkit berdiri dan diikuti oleh dua orang dara perkasa itu, dia berjalan keluar kota melalui pintu gerbang utara. Mereka bertiga berjalan cepat ke arah bukit kecil yang tak jauh dari situ. Bukit ini sunyi karena tidak berada di tepi jalan raya. Setelah dekat, sudah tampak sebuah bangunan kuil yang sudah tua dan tak terpakai lagi.

Setelah mereka tiba di depan kuil, tiba-tiba, pada saat dua orang tadi mencurahkan perhatian pada kuil tua, Bhe Liang melompat ke depan dan berlari ke arah kuil sambil berteriak, "Kawan-kawan, awas! Musuh datang......!"

"Tikus busuk!" Siang In memaki dan sekali tangan kirinya bergerak mendorong ke arah orang yang melarikan diri itu, tubuh Bhe Liang terguling dan dia tidak mampu bergerak lagi. Tewas! Pukulan jarak jauh Siang In itu memang dahsyat bukan main dan ini membuktikan betapa kini Siang In telah memiliki tenaga sakti yang amat kuat.

Dua orang gadis itu lalu melompat dengan ringan memasuki kuil yang bagian depannya terbuka itu. Kuil itu sudah tua dan dindingnya sudah banyak yang runtuh. Akan tetapi masih bersih dan pintunya yang menuju ke bagian dalam masih berkosen kokoh walaupun tidak berdaun lagi. Dari bagian depan yang dulunya menjadi ruangan sembahyang, tampak bagian dalam melalui lubang pintu menganga itu. Bagian dalam itu pun tampak bersih namun sunyi, tidak tam-pak seorang pun manusia!

"Hemm, tidak ada orangnya. Mungkin tikus itu telah membohongi kita dan barang-barangnya tidak disimpan di sini."

"Hemm, kukira dia tidak akan berani. Pasti di sini bersembunyi teman-temannya maka dia berani membawa kita ke sini dan teriakannya tadi merupakan peringatan bagi teman-temannya agar membantunya dan menyerang kita. Akan tetapi heran, mengapa mereka tidak muncul?"

"Mari kita periksa ke dalam, Pek Hong."

"Mari, akan tetapi kita harus waspada dan hati-hati terhadap serangan gelap. Tempat ini terpencil, memang pantas untuk dijadikan tempat persembunyian para penjahat."

Dengan tenang namun waspada, dua orang gadis itu memasuki ruangan dalam melalui lubang pintu tanpa daun itu. Ruangan sebelah dalam itu luas dan bersih dan di sudut sana barulah tampak tumpukan peti yang cukup banyak.

"Hemm, benar juga. Barang-barang itu disembunyikan di sini!" kata Siang In girang.

Mereka cepat menghampiri tumpukan peti itu dan mulai memeriksa dengan membuka tutup peti. Ketika mereka membuka tutup dua buah peti dan melihat bahwa peti itu memang berisi barang-barang dagangan berupa kain-kain, tiba-tiba terdengar suara hiruk pikuk di belakang mereka. Mereka cepat membalikkan tubuh dan tampak debu mengepul dan suara tadi adalah turunnya sehelai daun pintu baja dari atas, menutup lubang pintu yang menyambung ruangan itu dengan ruangan depan tadi! Mereka terjebak!

Kiranya kuil tua kosong itu kini dijadikan sarang penjahat yang memasang pintu rahasia. Akan tetapi tentu saja dua orang dara perkasa itu tidak merasa gentar dan mereka menutupkan kembali dua peti itu dan bersikap menanti dengan waspada.

Tiba-tiba dua benda melayang masuk ke dalam ruangan itu. Terdengar ledakan dan asap putih tebal mengepul memenuhi ruangan itu! Bau yang keras menyengat memenuhi ruangan yang penuh asap itu. Perlahan-lahan asap membubung dan keluar dari ruangan melalui atap. Saking tebalnya asap, orang tak dapat melihat keadaan ruangan itu dan kalau ada orang di luar kuil melihat asap tebal membubung keluar dari atas kuil, tentu akan mengira bahwa di situ terjadi kebakaran.

Banyak orang berkumpul di ruangan depan dan ruangan belakang, dan mereka itu siap dengan senjata di tangan, menghadang kalau-kalau dua orang gadis itu dapat lolos melalui ruang belakang atau depan. Akan tetapi tidak ada gerakan apa pun di dalam ruangan tengah yang dilempari bahan peledak yang mengandung pembius kuat yang membuat orang pingsan itu. Mereka adalah gerombolan perampok yang diceritakan Bhe Liang sebagai teman-temannya kepada dua orang gadis itu.

Setelah asap meninggalkan ruangan itu melalui atap, mereka mengintai ke dalam dan bersorak melihat betapa dua orang gadis itu telah roboh, menelungkup di atas lantai ruangan itu, pingsan!

"Dua ekor ikan itu sudah terjaring!"

"Mereka sudah roboh pingsan!"

"Aduh, cantik-cantik bukan main!"

Ketika mereka membuka pintu yang menembus ruangan depan dan ruangan belakang lalu memasuki ruangan itu, menghampiri dua orang gadis yang menggeletak pingsan, tiba-tiba terdengar suara nyaring penuh wibawa yang menggetarkan.

"Kalian mundur semua! Siapa berani menyentuh tubuh dua orang gadis itu, akan kusiksa sampai mati. Mereka itu milikku! Hayo kalian keluar semua dan jaga di luar kuil. Jangan ada yang berani masuk kalau tidak kupanggil!"

Suara orang itu sungguh memiliki wibawa yang amat kuat. Gerombolan itu sedikitnya ada tigapuluh orang dan mereka itu rata-rata bertubuh kekar dan berwajah bengis dengan sinar mata kejam. Akan tetapi begitu mendengar suara itu, mereka tiba-tiba berhenti bergerak dan wajah mereka dicekam ketakutan, lalu mereka keluar dari ruangan itu sambil menundukkan muka, seperti gerombolan anak-anak yang takut kepada ayah atau guru yang galak dan yang menegur mereka karena perbuatan mereka yang salah.

Sebentar saja ruangan itu telah ditinggalkan semua anggauta gerombolan yang kini tinggal di luar kuil. Ada yang duduk-duduk di depan kuil, ada pula yang melakukan penjagaan di belakang kuil di mana terdapat sebuah kereta kosong dan beberapa ekor kuda, dan ada pula yang berjaga di kanan kiri kuil. Kuil itu telah dikepung penjagaan mereka. Ruangan di mana dua orang gadis itu rebah menelungkup kini sudah bersih dari asap putih.

Seorang laki-laki memasuki ruangan itu dari pintu yang menembus ruangan belakang. Dia seorang pemuda yang usianya sekitar duapuluh tujuh tahun. Tu-buhnya jangkung kurus, langkahnya dibuat gagah dengan dada dibusungkan. Akan tetapi karena tubuhnya memang kerempeng maka lagak gagah itu malah tampak lucu. Wajahnya sebetulnya tampan juga, akan tetapi karena bentuk mukanya agak panjang ke depan seperti muka seekor kuda, maka ketampanannya juga lucu. Sepasang matanya sipit dengan sinar mata mencorong, bola matanya bergerak liar ke kanan kiri. Hidungnya mancung dihias kumis tipis. Mulutnya cemberut seperti orang marah. Yang aneh adalah pakaiannya.

Pakaian itu ringkas dan bentuknya seperti pakaian yang biasa dipakai pendekar silat, akan tetapi pakaian itu terbuat dari kain yang ditambal-tambal, padahal kainnya bersih dan tampak baru! Jelas bahwa tambal-tambal itu bukan dilakukan karena pakaiannya sudah robek, melainkan pakaian baru yang sengaja, ditambal-tambal dengan kain yang kembang dan warnanya berlainan sehingga tampak ramai dan aneh.

Di punggungnya terselip sebatang tongkat hitam. Biarpun pakaiannya bermodel pakaian pengemis, namun orang ini pesolek sekali. Rambutnya mengkilat karena diminyaki, digelung ke atas dan diikat dengan pita sutera merah. Seuntai kalung emas tergantung di lehernya. Sepatu botnya dari kulit hitam mengkilat dan baru. Pendeknya, dia tampak seperti seorang pengemis aneh yang pesolek dan sama sekali tidak mencerminkan kemiskinan.

Pemuda aneh ini memasuki ruangan lalu berdiri memandang kepada dua orang gadis yang rebah menelungkup. Lalu dia bicara lirih seperti berbisik.

"Bukan main! Tubuh dua orang gadis yang denok, ramping dan padat, seperti dua kuntum bunga yang sedang mekar!" Dia memandang kagum kepada tubuh belakang dua orang gadis itu yang memang denok dan indah. Tubuh dua orang gadis yang sedang dewasa dan karena sejak kecil selalu berlatih olah raga silat, maka tentu saja bentuk tubuh itu indah dan padat.

Akan tetapi agaknya pemuda ini hendak memperlihatkan bahwa dia bukan orang yang mudah terpikat tubuh wanita indah, maka dia menghampiri dan membungkuk lalu mendorong tubuh Pek Hong dan Siang In sehingga kini tubuh mereka telentang dan tampak jelas tubuh bagian depan yang lebih indah lagi, dan wajah mereka yang cantik jelita dan sama. Kini sepasang mata yang sipit itu dibelalakkan, walaupun tetap saja sipit.

"Amboi......! Mimpi apa aku semalam? Belum pernah selama hidupku melihat dua orang gadis yang begini cantik jelita dan sama pula! Kui Tung......, sekali ini engkau memang beruntung bukan main!"

Akan tetapi sebelum dia melakukan sesuatu yang sudah pasti amat keji, tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ sudah berdiri seorang pemuda! Masuknya pemuda ke dalam ruangan itu sungguh mengejutkan hati pe-muda muka kuda bernama Kui Tung itu dan dia cepat melompat ke belakang. Mereka saling berhadapan, saling pandang dengan sinar mata mencorong dan penuh selidik.

Pemuda yang baru muncul ini berusia duapuluh tiga tahun, bertubuh sedang dan tegap. Wajahnya bulat dengan kulit putih. Alis matanya hitam tebal berbentuk golok, hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersenyum sinis. Matanya mencorong aneh. Rambutnya dikucir dan pakaiannya mewah.

Kui Tung merasa heran sekali. Dia tahu bahwa kuil itu sudah dikepung dengan ketat dan dijaga anak buahnya yang jumlahnya lebih dari tigapuluh orang. Akan tetapi bagaimana mungkin orang ini masuk ke ruangan itu tanpa diketahui anak buahnya? Akan tetapi kemarahannya lebih besar dari keheranannya. Dia marah karena merasa terganggu sekali. Maka, menurutkan wataknya yang selalu mengagulkan diri sendiri dan memandang rendah orang lain, tanpa bertanya lagi dia lalu menerjang maju dengan pukulan kuat yang mengandung sin-kang (tenaga sakti) yang dahsyat.

Namun dengan tidak kalah cepatnya pemuda tampan itu bergerak, mengelak dan cepat membalas dengan serangan tamparan ke arah kepala Kui Tung. Si Muka Kuda ini terkejut bukan main karena gerakan lawan sungguh aneh dan hebat. Dia dapat merasakan sambaran angin pukulan dahsyat itu, maka cepat dia melompat ke samping sambil mencabut tongkat hitam yang terselip di pungungnya! Kemudian dia mainkan tongkat itu seperti orang bermain pedang dan tongkat itu sudah berubah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar dahsyat!

Akan tetapi alangkah herannya ketika dia melihat lawan itu dapat menghindarkan diri dari semua serangannya. Tongkatnya itu sebetulnya merupakan pedang yang disembunyikan dalam tongkat bambu agar lebih tepat dibawa seorang berpakaian pengemis. Dia memainkan ilmu pedang simpanannya, namun hebatnya, pemuda itu seolah mengenal baik semua gerakannya sehingga dapat menghindarkan diri dengan amat mudahnya. Kui Tung mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari ilmu silatnya. Ilmu silatnya adalah ciptaan gurunya sendiri, bukan merupakan ilmu dari aliran yang mungkin dipelajari banyak orang. Akan tetapi alangkah herannya ketika lawannya itu mampu menghindarkan diri dan bahkan ketika lawannya itu membalas dengan serangan-serangan yang dahsyat, dia mengenal bahwa lawannya juga menggunakan ilmu yang sama!

"Hei......! Ini...... ini ilmuku......!" Kui Tung berseru. Pada saat itu, sebuah tendangan dari lawannya menyambar. Sebetulnya Kui Tung mengenal jurus tendangan ini karena sama dengan ilmu yang selama puluhan tahun dia pelajari, akan tetapi datangnya tendangan itu demikian cepatnya sehingga perutnya terkena tendangan. Cepat dia melindungi perutnya dengan tenaga saktinya.

"Wuuutt...... bukkk!!" Biarpun perutnya sudah terlindung tenaga sakti dan tidak terluka, namun tenaga tendangan yang kuat itu membuat tubuhnya terlempar menabrak dinding ruangan itu sehingga jebol. Biarpun tidak terluka, namun tetap saja Kui Tung merasa kepalanya agak pening. Cepat dia bangkit dan memandang pemuda tampan itu dengan terheran-heran.

"Siapakah engkau? Mengapa engkau mengenal ilmu silatku?"

Pemuda itu tersenyum lebar dan pandang matanya mengejek.

"Hemm, engkau tentu murid Lam-kai (Pengemis Selatan) Gui Lin, betulkah?"

"Engkau mengenal Suhu? Memang benar, aku murid Suhu Lam-kai Gui Lin, namaku Kui Tung. Engkau siapakah?"

"Namaku Can Kok."

"Ah, aku pernah mendengar tentang dirimu! Bukankah engkau yang menjadi murid Empat Datuk Besar. Lam-kai Gui Lin adalah seorang di antara Empat Datuk Besar. Pantas engkau menguasai ilmu yang kupelajari darinya! Kalau begitu, di antara kita masih ada hubungan seperguruan! Biarpun ilmu kepandaianmu lebih tinggi daripada aku, namun karena aku lebih dulu menjadi murid Lam-kai, dan usiaku juga lebih tua daripada usiamu, maka aku adalah suhengmu dan engkau adalah Suteku."

"Huh, engkau bukan Suhengku (Kakak seperguruanku)! Kalau aku tadi tidak mengenal ilmu silatmu, tentu sekarang engkau telah menjadi mayat! Kui Tung, kalau engkau ingin berteman dengan aku, engkau harus menyebut aku Tai-hiap (Pendekar Besar), karena aku adalah Bu-tek Tai-hiap Can Kok (Pendekar Besar Tanpa Tanding Can Kok)! Kalau engkau tidak mau, pergi dari sini sebelum kubunuh!"

Kui Tung merasa penasaran sekali. Pemuda ini begitu sombongnya! Akan tetapi Kui Tung adalah seorang yang cerdik. Dia tahu betul bahwa Can Kok adalah seorang yang Iihai bukan main, bahkan menurut cerita gurunya yang baru-baru ini dia jumpai, murid Empat Datuk Besar ini tingkat kepandaiannya bahkan lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Empat Datuk Besar! Juga gurunya bercerita bahwa Can Kok kini menjadi orang sakti yang jalan pikirannya aneh karena otaknya guncang akibat penyatuan empat macam aliran tenaga dalam yang digabungkan. Orang begini lihai sebaiknya kalau dijadikan kawan, bukan lawan!

"Ah, baiklah, Can-taihiap (Pendekar Besar Can)! Lihat, aku telah dapat menangkap dua orang bidadari yang cantik molek. Engkau boleh memiliki seorang dari mereka!" Untuk mengambil hati kawan baru ini, Kui Tung menunjuk ke arah tubuh dua orang gadis yang masih menggeletak telentang di atas lantai ruangan itu.

Can Kok menyapu kedua tubuh gadis itu dengan pandang matanya yang aneh.

"Mereka ini mengapa?"

"Mereka adalah dua orang gadis yang lihai sekali dan mereka datang untuk merampas kembali barang-barang yang kami rebut dari tangan Pedagang Thio Ki dari kota Kang-cun, dan sebagian adalah barang-barang berharga milik Pangeran Cin Boan yang menjadi pembesar tinggi di kota itu. Dan selain engkau boleh memilih seorang di antara mereka berdua, engkau juga boleh memilih di antara barang rampasan ini, mana yang kau sukai, ambillah."

Can Kok tersenyum mengejek.

"Kui Tung, engkau memang tolol! Kalau aku menghendaki sesuatu, wanita atau benda apa saja, tidak perlu ditawarkan akan kuambil sendiri. Siapa yang berani melarang aku berbuat sesukaku? Dan ketololanmu yang kedua, Kui Tung, engkau menganggap dua orang gadis ini sudah tidak berdaya. Begitukah? Heh-heh-heh!"




"Apa maksudmu, Can-taihiap? Dua orang gadis ini memang sudah tidak berdaya, sedikitnya selama seperempat hari mereka akan tinggal pingsan karena mereka telah terbius oleh asap pembius kami yang amat manjur," kata Kui Tung.

"Inilah yang membuktikan ketololanmu! Aku sama sekali tidak melihat mereka berdua itu terbius atau pingsan! Sejak tadipun mereka itu tidak apa-apa. Engkau telah terkena tipu mereka, Kui Tung!"

"Ah, benarkah itu, Taihiap?" Kui Tung membelalakkan kedua matanya.

"Tidak percaya, perhatikan ini!" Can Kok menendang sebuah kursi dan benda itu melayang cepat ke arah tubuh dua orang gadis yang rebah telentang itu.

"Wuuttt...... krekkk!" Kursi itu hancur berkeping-keping ketika Siang In, yang rebah terdekat, tiba-tiba melompat bangkit dan sekali tangan kirinya bergerak menghantam, kursi itu pun hancur berantakan! Pek Hong juga sudah melompat bangkit dan berdiri di samping Siang In. Mereka berdua tersenyum mengejek.

Kedua orang dara perkasa ini memang sama sekali tidak pingsan! Ketika terjadi ledakan dan asap putih tebal memenuhi ruangan, mereka berdua cepat bertiarap. Kedua gadis ini adalah gadis-gadis yang sudah banyak pengalaman menghadapi penjahat-penjahat dan mereka berdua tahu akan bahayanya asap beracun itu. Mereka tahu bagaimana cara mengatasinya. Bisa saja mereka menerjang keluar untuk menghindarkan diri dari serangan asap pembius itu. Akan tetapi mereka ingin melihat kemunculan para penjahat yang telah merampok harta benda Thio Ki dan Pangeran Cin Boan, ingin tahu siapa yang menjadi pemimpin.

Kalau menerjang keluar, besar kemungkinan pimpinan gerombolan akan melarikan diri. Maka mereka cepat merebahkan diri menelungkup. Mereka tahu bahwa asap pasti akan membubung ke atas sehingga tidak akan tersedot oleh mereka karena mereka menelungkup dan hidung mereka berada di bawah menempel pada lantai. Biarpun begitu, mereka menahan napas dan meniup dari mulut mereka untuk mengusir kalau-kalau ada asap mendekat. Sebagai seorang yang sudah mahir olah pernapasan, tentu saja dua orarg gadis ini mampu menahan napas jauh lebih lama daripada orang biasa. Setelah asap menghilang dan ketika gerombolan itu menyerbu masuk, mereka sudah hendak bergerak menyambut. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Kui Tung melarang dan para anak buah gerombolan itu keluar dari ruangan. Mereka menanti, hendak melihat siapa pemimpin mereka.

Ketika Kui Tung masuk dan membalikkan tubuh mereka sehingga telentang, mereka masih pura-pura pingsan, walaupun tangan mereka sudah gatal-gatal untuk turun tangan membekuk pimpinan gerombolan itu. Akan tetapi tiba-tiba muncul pemuda tampan bernama Can Kok itu. Mereka berdua menonton perkelahian itu dan diam-diam terkejut. Orang yang bernama Kui Tung dengan tongkatnya itu sudah hebat sekali kepandaiannya, namun yang datang belakangan, yang mengaku bernama Can Kok, ternyata lebih lihai lagi!

Tahulah mereka bahwa mereka menghadapi orang orang yang tangguh. Apalagi ketika mereka melihat kedua orang pemuda itu kini berteman, berarti mereka harus menghadapi dua orang pemuda lihai itu. Mereka juga terkejut ketika mereka menyebut nama Lam-kai dan Empat Datuk Besar. Lebih kaget lagi ketika ternyata Can Kok mengetahui bahwa mereka hanya pura-pura pingsan dan menendang kursi untuk memaksa mereka bangkit!

Kini Pek Hong Niocu dan Ang Hwa Sian-li berdiri tegak berhadapan dengan dua orang pemuda itu. Mereka berempat saling beradu pandang mata, seolah hendak mengukur kekuatan lawan melalui pandang mata mereka. Dua orang dara perkasa itu melihat betapa pandang mata pemuda yang bernama Can Kok itu luar biasa sekali. Mencorong seperti mata kucing dalam kegelapan, namun bergerak-gerak aneh dan menyeramkan, tidak wajar dan seperti mata orang yang miring otaknya.

Sementara itu, Can Kok juga memperhatikan mereka berdua dan dia merasa heran dan kagum.

"Bukan main!" katanya sambil tersenyum sehingga wajah yang tampan itu, kalau saja sinar matanya tidak begitu aneh menyeramkan, tampak menarik.

"Bagaimana mungkin ada dua orang wanita yang begini sama kecuali kalau mereka kembar! Hei, Nona berdua, kalian tadi sudah mendengar nama kami. Kui Tung ini adalah murid Lam-kai Gui Lin, datuk besar selatan. Dan aku Can Kok adalah seorang yang telah menguasai semua ilmu dari Empat Datuk Besar! Nah, sekarang katakan, siapa nama kalian?"

Biarpun wataknya aneh dan dia pun terpesona oleh kecantikan dua orang gadis itu, namun dia tetap bersikap "sopan" dan lembut, tidak memuji kecantikan secara kasar seperti para pria yang ugal-ugalan.

Pek Hong Niocu yang tahu bahwa dua orang calon lawannya ini memang lihai, ingin pula menggertak mereka yang sudah memamerkan nama guru-guru mereka yang terkenal di dunia kang-ouw. Ia tersenyum mengejek dan pandang matanya berkilat.

"Hemm, kalian murid-murid datuk sesat. Pantas kalian sebagai murid mereka juga menjadi penjahat-penjahat busuk! Kalian ingin tahu nama kami? Terlalu bersih nama kami untuk diperkenalkan kepada manusia-manusia busuk macam kalian. Ketahuilah saja bahwa aku dikenal sebagai Pek Hong Niocu dan ini adalah Ang Hwa Sian-li. Kami berdua adalah murid-murid Yok-sian Tiong Lee Cin-jin!"

Kui Tung yang sudah mendengar julukan dua orang gadis itu yang memang amat terkenal, terkejut bukan main. Apalagi mendengar mereka murid Tiong Lee Cin-jin. Mukanya menjadi pucat dan jantungnya berdebar tegang.

"Tai-hiap, Pek Hong Niocu ini adalah puteri Kaisar Kin!" bisiknya gentar kepada Can Kok.

Akan tetapi ketika Can Kok mendengar bahwa yang berdiri di depannya ini adalah dua orang murid Tiong Lee Cin-jin, tiba-tiba dia tertawa bergelak. Dia digembleng oleh Empat Datuk Besar untuk mewakili mereka membunuh Tiong Lee Cin-jin dan kini, dua orang murid musuh besar itu berada di depannya! Dia tertawa, akan tetapi bukan sembarang tawa karena dia mengerahkan sin-kang dalam tawanya itu dan dia menyerang dengan suara seperti yang diajarkan oleh See-ong Hui Kong Hosiang. Dalam suara tawa itu terkandung hawa sakti bercampur kekuatan sihir yang memaksa orang yang mendengarnya tak dapat bertahan untuk tidak ikut terbawa, terseret pula ke dalam tawa. Getaran yang terkandung dalam tawa Can Kok itu datang bergelombang, atau seperti angin topan yang amat kuat!

Yang segera terpengaruh adalah Kui Tung. Walaupun murid Lam-kai ini juga seorang yang lihai dan dia memiliki sin-kang kuat yang sudah cepat dia kerahkan, namun tetap saja dia tidak mampu bertahan. Pertahanannya seolah bobol dan dia pun segera tertawa-tawa, bahkan lebih terbahak-bahak dibandingkan tawa Can Kok. Dia tertawa sampai terbongkok-bongkok menekan perutnya dan air matanya bercucuran!

Pek Hong dan Siang In, sebagai murid Tiong Lee Cin-jin yang dikenal sebagai manusia setengah dewa, tidak menjadi gentar atau gugup menghadapi serangan suara tawa yang dahsyat kekuatannya itu. Mereka berdua segera menggunakan ilmu yang disebut Tho-hun (Sukma Tanah), yang sifatnya membiarkan diri menerima tanpa melawan seperti tanah, namun yang melarutkan segala yang menerjangnya. Mereka berdua menghadapi angin topan seolah bersikap seperti rumput, lentur, lemas dan rendah sehingga biarpun tergoyang namun sama sekali tidak dapat dirusak. Tubuh mereka bergoyang-goyang perlahan seperti menari, mata terpejam dan getaran dahsyat suara tawa itu lewat begitu saja.

Dalam puncak pertahanannya, Pek Hong bahkan dapat berkelakar dengan Siang In dan berkata, "Lihat, dia tertawa-tawa seperti orang gila!"

Siang In menjawab.

"Memang otaknya miring!"

Mendengar ejekan ini, Can Kok menjadi marah sekali. Mukanya berubah merah dan dia menghentikan tawanya. Untung dia menghentikannya karena keadaan Kui Tung sudah payah. Tubuhnya lemas karena tertawa terbahak-bahak tak dapat ditahan, air matanya bercucuran dan napasnya mulai memburu. Kalau dibiarkan terus, tentu dari lubang telinga, hidung, mata dan mulutnya akan keluar darah dan kalau sudah terlalu parah, nyawanya tidak akan tertolong lagi! Dia lalu duduk bersila untuk memulihkan tenaga dalamnya yang tadi dia kerahkan untuk melawan pengaruh suara dahsyat itu.

"Hei, orang she Can yang berotak miring. Engkau dapat tertawa, mengapa engkau sekarang tidak menangis?" Siang In mengejek.

"Hemm, gadis-gadis sombong. Sebelum mati, berdoalah dulu kepada arwah nenek moyangmu karena kalian akan mati di tanganku!"

Mendadak Kui Tung berkata, "Can-taihiap, sayang kalau dibunuh langsung. Bunga-bunga harum seperti ini, sebaiknya dinikmati dulu baru dibunuh!"



JODOH SI NAGA LANGIT JILID 08
"Hemm, otakmu hanya penuh gairah yang membuat engkau lemah, Kui Tung. Akan tetapi akan kupertimbangkan usulmu itu!"

Siang In sudah marah sekali, akan tetapi Pek Hong menahan kesabarannya dan ia ingin sekali mengetahui mengapa murid-murid Lam-kai dan Empat Datuk Besar memusuhi dan bahkan hendak membunuh ia dan Siang In.

"Heh, monyet babi tikus kecoa cacing busuk!" ia memaki untuk memanaskan hati orang agar merasa terhina dan mau mengaku apa yang menyebabkan Can Kok memusuhinya.

"Dalam mimpi pun belum pernah aku dan Saudaraku ini bertemu dengan kamu. Mengapa kamu gila-gilaan ingin membunuh kami?"

Sepasang mata Can Kok seperti memancarkan kilat saking panas hatinya mendengar penghinaan itu.

"Mau tahu mengapa? Baik, akan kuberi tahu agar kalian tidak mati penasaran. Aku mewakili Empat Datuk Besar untuk membunuh Tiong Lee Cin-jin. Dia sudah kuanggap sebagai musuh besarku satu-satunya di dunia dan karena kalian adalah murid-muridnya, maka tentu saja kalian juga hendak kubunuh!"

Siang In tertawa, diikuti Pek Hong. Mereka tertawa bebas seperti kebiasaan para wanita dalam dunia persilatan, bebas dan tidak malu-malu, namun mereka masih mengingat akan kesopanan maka mereka menggunakan tangan untuk menutupi mulut mereka yang tertawa. Mereka merasa geli seolah mendengar lawakan badut.

"Heh-he-he-heh! Kunyuk (monyet) kecil macam kau ini hendak membunuh Yok-sian Tiong Lee Cin-jin? He-he-he! Melawan kami pun kamu tidak akan menang, bahkan kami yang akan membasmi dan mengirim kembali ke neraka jahanam dari mana kamu berasal!"

"Perempuan sombong!" Can Kok berteriak, matanya liar dan menyeramkan, seperti mata singa marah. Dia mengerahkan tenaga gabungan Empat Datuk Besar dan menekuk kedua lutut lalu mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah dua orang gadis itu.

"Mampuslah kalian! Hyaaaaattt......!!!"

Pek Hong dan Siang In maklum akan kedahsyatan tenaga lawan. Mereka sudah saling mengerti, seolah ada suatu hubungan batin yang amat erat sehingga secara otomatis tangan kiri Pek Hong bertemu dengan tangan kanan Siang In, lima buah jari tangan mereka saling cengkeram sehingga dua tenaga sakti mereka bertemu dan bergabung, lalu tangan kanan Pek Hong dan tangan kiri Siang In didorongkan dengan telapak tangan terbuka ke depan, menyambut pukulan jarak jauh yang dilontarkan dengan marah.

"Syuuuuttt...... blaarr ""!" Pek Hong dan Siang In terpaksa mundur tiga langkah saking hebatnya tenaga serangan Can Kok. Akan tetapi Can Kok juga terhuyung ke belakang. Bukan main dahsyatnya tenaga Can Kok sehingga tenaga dua orang gadis gemblengan Tiong Lee Cin-jin yang digabungkan itu hanya lebih kuat sedikit.

Can Kok mengeluarkan suara tawa menyeramkan yang terdengar seperti suara tangis mengguguk. Ini merupakan tanda bahwa Can Kok sedang dilanda kemarahan hebat! Dia meraba punggungnya dan tampak sinar berkelebat menyilaukan mata ketika pedang Giam-ong-kiam (Pedang Raja Maut) yang sinarnya kemerahan telah tercabut.

"Huh, belum lecet kulitnya sudah mengeluarkan senjata!" Pek Hong mengejek dan ketika dua tangannya bergerak, tangan kirinya sudah melolos sabuk sutera merah dan tangan kanannya memegang sebatang pedang bengkok bersinar emas.

"Siapa bilang dia orang gagah dan bukan pengecut?" kata pula Siang In me-ngejek dan ia pun sudah mencabut sepasang pedangnya yang bersinar kehitaman karena siang-kiam (sepasang pedang) ini beracun dan bernama Toat-beng Siang-kiam (Sepasang Pedang Pencabut Nyawa)!

Melihat dua orang gadis itu sudah mencabut senjata mereka, Can Kok lalu mengeluarkan suara mengaum seperti singa. Itulah ilmu Sai-cu Ho-kang (Auman Singa) yang dia pelajari dari Tung-sai (Singa Timur) Kui Tong. Auman atau gerengan yang amat kuat itu dapat menggetarkan jantung lawan sehingga kaki tangan lawan akan terasa lumpuh dan ketakutan. Singa juga mempunyai wibawa seperti itu. Kalau dia hendak menyerang calon korbannya, dengan mengaum seekor kelinci ataupun domba calon mangsanya menjadi lumpuh ketakutan sehingga akan mudah diterkamnya. Auman yang dikeluarkan Can Kok ini pun hebat sekali, akan tetapi sama sekali tidak mampu menggoyahkan ketabahan hati Pek Hong dan Siang In. Getaran auman itu lewat begitu saja tanpa mendatangkan akibat apa pun.

Selagi gema auman itu masih terpantul di empat penjuru dinding ruangan, Can Kok sudah menerjang ke depan dan sinar pedangnya menyambar ke arah dua orang gadis itu.

"Cringg......! Trangg""!!"

Bunga api berpijar terang ketika pedang Giam-ong-kiam di tangan Can Kok itu bertemu dengan pedang bengkok naga emas di tangan Pek Hong dan sepasang Toat-beng Siang-kiam di kedua tangan Siang In. Setelah mereka tidak menggabungkan tenaga sin-kang mereka, dua orang gadis itu baru merasakan betapa kuatnya tenaga pemuda itu. Senjata mereka terpental ketika bertemu pedang Can Kok dan tangan mereka tergetar.

Akan tetapi dua orang puteri Tiong Lee Cin-jin itu mendapat gemblengan ilmu-ilmu yang tinggi selama setahun dari ayah mereka sehingga kini tingkat kepandaian mereka menjadi jauh lebih tinggi daripada sebelumnya. Pek Hong memang masih memainkan Sin-coa Kiamsut (Ilmu Pedang Ular Sakti) dibantu gerakan sabuk merahnya yang melecut-lecut ganas. Juga Siang In masih memainkan ilmu pedang yang dulu, yaitu Toat-beng Siang-kiam-sut (Ilmu Pedang Pasangan Pencabut Nyawa). Namun ilmu-ilmu mereka telah diperdalam dan disempurnakan di bawah bimbingan Tiong Lee Cin-jin sehingga menjadi lihai bukan main.

Kedua gadis ini mengamuk, bagaikan sepasang naga terbang menyambar-nyambar. Senjata mereka berubah menjadi gulungan sinar. Dua gulungan sinar kehitaman dari Toat-beng Sin-kiam berpadu dengan gulungan sinar merah sabuk sutera dan gulungan sinar emas pedang bengkok, mengepung dan menyerang Can Kok dari segala jurusan!

Can Kok yang berwatak tinggi hati dan menganggap diri sendiri sebagai seorang yang tanpa tanding itu, diam-diam menjadi terkejut bukan main. Dia memutar pedangnya dan melakukan perlawanan mati-matian, mengeluarkan seluruh kemampuannya. Namun, sinar pedangnya yang bergulung-gulung dan amat kuat itu menjadi terdesak juga oleh pengeroyokan empat sinar senjata lawan, yaitu sepasang pedang, sabuk dan pedang bengkok. Gerakan dua orang gadis itu cepat bukan main sehingga Can Kok harus menjaga diri dengan sepenuh tenaga.

Setelah bertanding dengan seru selama kurang lebih limapuluh jurus, mulailah dia merasa bahwa kalau dilanjutkan, dia tidak akan dapat mengalahkan pengeroyokan dua orang gadis yang dapat bekerja sama amat baiknya. Senjata mereka itu saling menunjang, saling memperkuat serangan, juga saling membantu meng gagalkan serangannya.

"Kui Tung, engkau masih enak-enak saja? Kawan macam apa engkau ini?" Can Kok berseru marah.

Kui Tung sejak tadi hanya berdiri di sudut dan menjadi penonton. Dia telah menghentikan latihan pernapasan dan tenaganya sudah pulih kembali. Kalau dia hanya menonton, karena dia merasa yakin akan kelihaian Can Kok, dan bagaimanapun juga dia tidak jerih melihat kecepatan gerakan empat senjata dua orang gadis itu menyambar-nyambar. Akan tetapi mendengar ucapan Can Kok, Kui Tung menyadari bahwa kalau dia tidak membantu dan Can Kok roboh oleh dua orang gadis itu, dia sendiri pasti tidak akan mendapat ampun karena dialah yang memimpin perampokan. Maka dia lalu memutar tongkatnya dan terjun ke medan pertempuran sambil mengeluarkan suara bentakan nyaring.

Melihat Kui Tung maju, Siang In segera menyambut dengan sepasang pedangnya. Ia membenci laki-laki ini yang dulu memimpin perampokan dan yang melukai ayahnya. Sepasang pedangnya menyambar-nyambar ganas. Akan tetapi Kui Tung bukan seorang lawan yang lemah. Dia adalah murid Lam-kai, seorang di antara Empat Datuk Besar yang sejak dia kecil menggemblengnya sehingga ilmu kepandaiannya juga sudah mencapai tingkat tinggi. Kui Tung cepat memutar tongkat yang berisi pedang menyambut sambaran sepasang pedang Siang In.

"Trang--tranggg......!" Bunga api berpijar dan Kui Tung terhuyung ke belakang. Ternyata dibandingkan Siang In, tenaga saktinya masih kalah kuat! Akan tetapi cepat dia memutar tongkat pedangnya untuk melindungi tubuhnya dari serangan lawan. Benar saja, Siang In yang melihat lawannya terhuyung, cepat menerjang dengan dahsyatnya. Kembali terdengar suara nyaring dan tampak bunga api berpijar ketika Kui Tung menangkis. Mereka lalu saling serang dengan mati-matian, dan betapapun lihainya Kui Tung, sekali ini dia bertemu lawan yang benar-benar lihai bukan main. Perlahan-lahan dia mulai terdesak dan hanya mampu menangkis dan berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan diri dari sambaran sepasang pedang. Dia terdesak hebat dan berada dalam bahaya.

Akan tetapi setelah ditinggalkan Siang In, Pek Hong yang harus menghadapi Can Kok seorang diri, merasa berat sekali. Pemuda itu benar-benar amat lihai. Kalau tadi berdua dengan Siang In dia mampu mendesak Can Kok, kini setelah Siang In menghadapi Kui Tung, Pek Hong menjadi kewalahan menghadapi desakan lawan.

Siang In yang menghadapi lawan lebih ringan, mendapat kesempatan untuk memperhatikan keadaan Pek Hong dan melihat Pek Hong terkadang terancam pedang Can Kok, ia pun melompat ke samping dan membantu. Kalau dua orang gadis itu mendesak Can Kok, Kui Tung yang cepat membantu Can Kok. Dengan demikian, terjadilah perkelahian empat orang dan ternyata kekuatan mereka seimbang sehingga terjadilah perkelahian yang seru dan mati-matian.

Anak buah gerombolan perampok yang berjumlah tigapuluh orang lebih itu hanya mendengar suara perkelahian dari luar, akan tetapi mereka tidak berani masuk karena mereka amat takut kepada Kui Tung yang galak. Mereka tidak akan masuk tanpa dipanggil.

Selagi mereka bergerombol di sekeliling kuil, tiba-tiba terdengar suara gaduh dan muncullah banyak sekali perajurit yang dipimpin oleh tiga orang perwira dan di antara mereka terdapat Cin Han yang menunggang seekor kuda!

Melihat pasukan ini, yang jumlahnya tidak kurang dari seratus orang, anak buah gerombolan menjadi terkejut dan panik. Tanpa komando, mereka terpaksa mempertahankan diri melawan ketika pasukan itu sambil bersorak menyerbu. Terjadi pertempuran yang berat sebelah di luar kuil.

Mendengar suara pertempuran, teriakan dan sorakan yang hiruk-pikuk itu, empat orang yang sedang berkelahi di ruangan dalam kuil, menjadi terkejut bukan main. Kedua pihak tidak tahu apa yang terjadi, tidak tahu apakah kejadian yang riuh di luar itu menguntungkan atau merugikan mereka.

"Kui Tung, kita keluar!" seru Can Kok.

Kui Tung tak dapat menandingi Can Kok dalam kecepatan sehingga Can Kok sudah melompat lebih dulu keluar ruangan. Can Kok cepat menggerakkan tangan kirinya yang berubah merah. Itulah Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah) yang mengandung hawa pukulan beracun, menyambar ke arah Siang In. Namun Siang In dapat mengelak ke samping dan kesempatan itu dipergunakan Kui Tung untuk melompat keluar dan menyusul temannya.

Pek Hong dan Siang In yang tidak tahu apa yang terjadi di luar, tidak berani mengejar dan mereka pun cepat keluar dari situ untuk melihat apa yang terjadi.

Ketika Can Kok dan Kui Tung tiba di luar, mereka terkejut bukan main melihat betapa anak buah Kui Tung yang berjumlah hanya tigapuluh orang lebih itu, dihimpit pasukan pemerintah yang jumlahnya tidak kurang dari seratus orang! Sudah banyak anak buah yang bergelimpangan dan sisanya hanya mati-matian mempertahankan diri.

Melihat keadaan berbahaya dan tidak menguntungkan ini, tanpa banyak cakap lagi Can Kok dan Kui Tung segera berlompatan melarikan diri dari tempat itu. Ketika ada perajurit yang berani menghalangi, mereka berdua merobohkan para penghalang dan terus melarikan diri secepatnya tanpa memperdulikan nasib para anak buah yang sudah terhimpit dan tidak ada kesempatan untuk melarikan diri.

Pek Hong dan Siang In juga tiba di luar dan mereka berdua girang bukan main melihat pasukan pemerintah yang menghajar anak buah gerombolan. Melihat betapa pasukan jauh lebih banyak jumlahnya dan para anggauta gerombolan banyak yang roboh, mereka pun tidak membantu dan hanya berdiri di ruangan depan kuil.

Tak lama kemudian, sembilan orang anak buah gerombolan yang masih belum roboh membuang senjata mereka dan menjatuhkan diri berlutut, menaluk. Mereka lalu diringkus dan bersama-sama mereka yang terluka, menjadi tawanan.

Cin Han yang tadi hanya ikut menonton karena dia sendiri adalah seorang sasterawan yang tidak pandai dan tidak suka bertempur, kini melangkah dan menghampiri dua orang gadis itu. Setelah berhadapan dia menjadi bingung karena dua orang gadis itu wajahnya serupa. Akan tetapi dia mengenal Pek Hong yang pernah datang ke rumah orang tuanya, mengenalnya dari pakaian puteri itu yang serba putih. Dia lalu memandang kepada Siang In dan hatinya merasa sedih, teringat betapa pinangannya terhadap gadis itu ditolak. Akan tetapi dia tidak memperlihatkan perasaan apa pun dan segera mengangkat, kedua tangan depan dada sebagai penghormatan.

"Dinda Moguhai! Bahagia sekali melihat engkau dalam keadaan selamat!" Dia memandang kepada Siang In dan meragu, tidak tahu apa yang harus dia katakan kepada gadis yang wajahnya serupa dengan wajah Puteri Moguhai itu.

Melihat ini, Pek Hong menoleh kepada Siang In dan melihat betapa Siang In juga memandang kepada Cin Han dengan pandang mata kagum dan bimbang. Pek Hong tersenyum.

"Siang In, perkenalkan. Ini adalah Kakak misanku bernama Cin Han, putera tunggal Paman Pangeran Cin Boan!"

Mendengar ini, wajah Siang In seketika berubah merah. Jantungnya berdebar tegang dan ia merasa serba salah. Jadi inikah orangnya yang dulu pernah meminangnya? Sama sekali tidak pernah ia menduga bahwa putera Pangeran Cin Boan yang melamarnya ini merupakan seorang pemuda yang luar biasa tampan! Ia menjadi gagap gugup.

"Eh...... ohh...... senang sekali dapat berkenalan dengan...... Cin-kongcu (Tuan Muda Cin)......"

Cin Han tersenyum. Wajahnya yang berkulit putih kemerahan itu berseri. Sebagai seorang siu-cai (sastrawan) tentu saja dia pandai membawa diri, sikapnya lembut dan sopan dan kata-katanya juga teratur indah.

"Thio-siocia (Nona Thio), sayalah yang merasa berbahagia sekali. Merupakan kehormatan besar sekali bagi saya dapat berkenalan dengan Nona yang namanya sudah lama saya kenal."

"Eh, Kanda, bagaimana engkau dapat muncul di tempat ini bersama pasukan? Apakah engkau yang mengerahkan pasukan ini?"

"Nanti akan kuceritakan padamu, Dinda. Yang terpenting sekarang, apakah engkau telah dapat menemukan barang-barang Paman Thio yang dirampok itu?"

"Barang-barang itu lengkap berada di ruangan dalam kuil tua ini, Kanda. Juga barang-barang milik Paman Pangeran Cin Boan berada di dalam."

"Syukurlah kalau begitu," kata Cin Han dan dia memandang kepada tiga orang perwira setengah tua yang datang menghampirinya. Seorarig di antara mereka berkata dengan sikap hormat.

"Cin-kongcu, semua anggauta gerombolan telah dilumpuhkan. Sebagian tewas. Kami menangkap yang terluka dan yang menyerah. Kami menanti perintah Kongcu."

"Bagaimana dengan kerugian di pihak kita?"

"Tidak ada yang tewas, Kongcu hanya ada enam orang yang terluka."

"Bagus, Lu-ciangkun (Perwira Lu). Obati perajurit kita yang terluka dan angkutlah semua barang milik Paman Thio Ki dan Ayah yang berada di dalam. Bawa semua barang itu bersama semua tawanan ke kota Kang-cun sekarang juga. Jangan lupa tinggalkan perajurit secukupnya untuk mengubur semua mayat, kemudian suruh bakar kuil tua ini!"

Pek Hong tersenyum kagum melihat betapa kakak misannya yang sasterawan lemah itu dapat memberi perintah sedemikian tegasnya, seperti seorang jenderal saja.

"Siap laksanakan perintah, Kongcu!" kata perwira itu dan mereka bertiga lalu memimpin anak buah untuk mengangkat barang-barang, lalu siap untuk berangkat ke kota Kang-cun. Limapuluh orang perajurit ditinggalkan untuk melaksanakan tugas mengubur semua mayat dan membakar kuil tua yang dijadikan sarang perampok itu.

Cin Han, Pek Hong, dan Siang In menunggang kuda berdampingan. Mereka menjalankan kuda perlahan-lahan dan bercakap-cakap. Siang In masih merasa sungkan dan malu, maka ia lebih banyak mendengarkan saja percakapan mereka.

"Nah, sekarang ceritakanlah, Kanda, bagaimana engkau dapat muncul dengan pasukan untuk membantu kami.

"

"Begini, Dinda Moguhai. Setelah engkau pergi, aku pun mulai curiga terhadap diri Bhe Liang. Siapa tahu dia mempunyai hubungan dengan perampokan itu atau setidaknya dia tahu siapa yang melakukan. Maka setelah berunding dengan Ayah, kami menyuruh Lu-ciangkun untuk mengutus seorang perajurit yang pandai untuk cepat pergi melakukan penyelidikan ke rumah Bhe Liang. Perajurit itu ketika tiba di sana melihat engkau dan Thio-siocia keluar dari rumah bersama Bhe Liang yang agaknya kalian paksa menunjukkan tempat perampok. Perajurit itu diam-diam mengikuti dari kejauhan dan setelah tahu bahwa sarang para perampok berada di kuil tua yang tidak jauh dari kota Kang-cun, dia cepat memberi laporan. Maka aku lalu minta bantuan Lu-ciangkun dan dua orang perwira lain, membawa pasukan dan mengejar ke tempat itu."

"Wah, tidak kusangka engkau ternyata begitu pandai, Kanda!"

"Ah, aku tidak bisa apa-apa. Engkau dan Thio-siocia inilah yang hebat. Bagaimana hasilnya buruanmu? Siapa yang memimpin perampokan itu, Adinda Moguhai?"

"Kanda Cin Han, memang benar dugaanku. Setelah kami melakukan penyelidikan, ternyata memang Bhe Liang itu yang mendalangi perampokan. Kami memaksa dia mengaku dan dialah yang memberitahu kepada segerombolan perampok tentang pengiriman barang-barang berharga itu dipimpin seorang pemuda bernama Kui Tung yang lihai, kemudian muncul temannya seorang pemuda lain bernama Can Kok yang bahkan lebih lihai lagi. Mereka berdua itu pasti bukan orang-orang sembarangan, bukan sebangsa kepala perampok biasa. Kami berdua bertanding melawan mereka. Lalu pasukan datang dan kedua orang muda lihai itu melarikan diri."

Pek Hong Niocu atau Puteri Moguhai sengaja tidak menceritakan secara rinci mengenai pertandingan seru antara mereka itu karena Cin Han yang tidak pernah belajar ilmu silat itu tentu tidak akan mengerti.

"Aih, sayang sekali kedua orang penjahat itu tidak dapat ditangkap," kata Cin Han.

"Mereka itu lihai bukan main, Kanda Cin Han."

"Bagaimana dengan si jahat Bhe Liang?"

"Ah, dia telah tewas di tangan Siang In!"

Cin Han memandang kagum kepada Ang Hwa Sian-li Thio Siang In.

"Bagus, terima kasih, Thio-siocia (Nona Thio), jasamu besar. Orang itu jahat sekali, mengadu domba, melakukan fitnah, bahkan mengundang penjahat-penjahat yang lihai untuk mengacau."

"Ah, Pek Hong inilah yang lebih berjasa, Cin-kongcu (Tuan Muda Cin), bahkan kalau tidak ada ia, mungkin saya sudah celaka di tangan penjahat yang amat lihai itu."

Melihat pandang mata penuh kagum dari pemuda itu kepada Siang In, dan melihat pula betapa sepasang pipi Siang In kemerahan dan matanya hanya mengerling. Tidak berani memandang langsung kepada pemuda itu dengan senyum malu-malu, Puteri Moguhai tertawa senang. Ia akan ikut merasa bahagia kalau saudara kembarnya itu dapat berjodoh dengan Cin Han, pemuda bangsawan yang dia tahu amat bijaksana, ahli sastra, tampan dan berpemandangan luas itu.

Mereka kembali ke kota Kang-cun. Tentu saja kembalinya dua orang gadis bersama Cin Han yang telah berhasil menumpas gerombolan penjahat dan membawa kembali barang-barang yang dirampok, membahagiakan Thio Ki dan Miyana, juga menyenangkan hati Pangeran Cin Boan dan isterinya. Yang lebih membahagiakan hati keluarga pangeran ini adalah bahwa nama baik mereka yang difitnah oleh Bhe Liang telah dapat dibersihkan dan penjahat itu telah terbunuh. Kini tentu keluarga Thio Ki tidak lagi menyangka bahwa dia yang mendalangi perampokan itu.

Setelah tinggal selama tiga hari di rumah keluarga Thio Ki dan melihat Thio Ki sudah sembuh kembali dari lukanya, Puteri Moguhai lalu berpamit meninggalkan kota Kang-cun untuk kembali ke kota raja. Siang In berjanji akan mengunjungi puteri itu dalam waktu dekat. Sebelum meninggalkan Kang-cun, Puteri Moguhai berkunjung ke rumah keluarga Pangeran Cin Boan dan dia disambut dengan gembira oleh Pangeran Cin Boan, isterinya, dan Cin Han.

"Dinda Moguhai, bagaimana kesehatan Paman Thio Ki? Apakah luka-lukanya telah sembuh kembali?" Cin Han menyambut kedatangan puteri itu dengan pertanyaan ini.

Moguhai tersenyum.

"Eh, Kanda Cin Han, yang kautanyakan itu sesungguhnya keadaan Paman Thio ataukah keadaan Siang In?"

Mendengar ini, Cin Han tersipu dan ayah ibunya tertawa.

"Aih, Moguhai, engkau tega sekali menggoda Kakakmu, padahal engkau sudah mengetahui bahwa pinangan kami atas diri Siang In ditolak, Cin Han tidak mempunyai harapan lagi."

"Eh, mengapa Bibi berkata demikian? Dahulu Siang In menolaknya karena ia belum mengenal Kanda Cin Han, bahkan melihat pun belum. Akan tetapi sekarang......"

"Sekarang bagaimana? Wah, Moguhai, jangan bermain teka-teki. Katakan saja, bagaimana sekarang? Apakah ada harapan?"

"Paman Pangeran, saya belum dapat mengatakan apa-apa. Akan tetapi sebaiknya dekati saja keluarga Thio. Ada baiknya kalau Kanda Cin Han datang menengok keadaan"", eh, Paman Thio Ki, menanyakan kesehatannya. Nanti Paman, Bibi, dan Kanda dapat melihat sendiri bagaimana sikap Siang In dan orang tuanya, dan akhirnya terserah Paman dan Bibi apakah ada baiknya kalau pinangan itu diulang."

"Eh, jangan main-main, Adinda! Mana kami berani mengajukan pinangan lagi setelah ditolak satu kali? Kalau untuk kedua kalinya ditolak, akan kutaruh di mana mukaku?"

Puteri Moguhai tertawa, tertawa bebas, tidak seperti para puteri istana yang kalau tertawa diatur agar tampak sopan, tertawa kecil hampir tanpa suara dan menutupi mulut dengan ujung lengan baju dan memiringkan mukanya. Akan tetapi tawa Puteri Moguhai adalah tawa lepas, tanpa ragu membuka mulut memperlihatkan giginya sehingga tampak deretan gigi putih rapi seperti mutiara dan rongga mulut yang merah, ujung lidah yang merah muda.

Sama sekali tidak mendatangkan penglihatan yang tidak sopan atau menjijikan, bahkan sebaliknya, tawa itu membuat wajahnya tampak manis sekali dan tawa itu menyengat dan menular karena orang yang mendengar dan melihatnya, tidak dapat mencegah dorongan dari dalam untuk ikut tertawa! Begitu mendengar mereka tertawa dan melihat isteri Pangeran Cin Boan tertawa sambil menutupi mulut dengan ujung bajunya, Moguhai teringat akan tata susila yang pernah ditanamkan kepadanya ketika kecil dahulu dan cepat ia pun menutupi mulutnya dengan ujung lengan bajunya. Akan tetapi gerakan ini malah tampak lucu dan tiga orang itu tertawa semakin geli.

"Eh, Kanda Cin Han, ke mana lagi engkau akan menaruh mukamu kalau tidak di bagian depan kepalamu? Kalau kau simpan dalam almari, lalu bagaimana kalau engkau hendak mencuci muka?"

Ucapan Moguhai ini membuat mereka semakin geli dan mereka tertawa terpingkal-pingkal. Suasana ini terbawa kegembiraan hati mereka, bukan saja karena barang-barang kembali dan nama mereka tercuci, akan tetapi juga mendengar akan harapan baru bagi keinginan mereka meminang Siang In. Pangeran Cin Boan dan isterinya saling pandang setelah mereka berhenti tertawa dan pangeran itu bertanya dengan suara sungguh-sungguh.

"Moguhai apakah engkau benar-benar dan tidak main-main mengenai kemungkinan perjodohan antara Cin Han dan Thio Siang In?"

"Kami masih ragu dan khawatir kalau kalau pinangan kami ditolak lagi, Moguhai," kata pula isteri pangeran itu.

"Harap Paman dan Bibi tidak khawatir. Saya mengenal benar watak sahabatku Siang In itu. Biarpun ia tidak berkata apa-apa, namun sikapnya terhadap Kakanda Cin Han dapat saya lihat dengan jelas bahwa ia juga tertarik. Akan tetapi Siang In adalah seorang gadis kang-ouw yang gagah perkasa, tentu saja ia tidak mau kalau dalam soal perjodohan ia dipaksa. Karena itu, sebaiknya Paman dan Bibi tidak mengajukan pinangan lebih dulu, akan tetapi memberi kesempatan kepada Kanda Cin Han untuk bergaul dengan Siang In. Dekatilah ia, Kanda, dan kalau nanti sudah ada persetujuan kedua pihak, kalau Siang In sudah dapat menerima perasaan cinta Kakanda, barulah diajukan pinangan sehingga tidak mungkin gagal lagi."

Selagi mereka bercakap-cakap, seorang pengawal memberitahu Pangeran Cin Boan bahwa di luar ada seorang tamu mohon bertemu Pangeran Cin Boan. Ketika mendengar bahwa tamu itu adalah Thio Ki, Pangeran Cin Boan segera menyuruh pengawal untuk membawa tamu itu ke ruangan tamu dan dia mengajak isterinya, Cin Han, dan Moguhai untuk menemaninya menerima kunjungan Thio Ki.

Thio Ki memasuki ruangan tamu dan melihat pangeran menyambut bersama isteri dan puteranya, juga melihat Puteri Moguhai berada di situ, wajah Thio Ki menjadi kemerahan dan dia tampak gugup.

"Ah, maafkan saya, Pangeran. Kalau saya mengganggu Paduka sekeluarga......"

"Tenanglah, Saudara Thio Ki, silakan duduk," kata Pangeran Cin Boan. Setelah semua orang mengambil tempat duduk, dia berkata, "Saudara Thio, engkau sama sekali tidak mengganggu kami, sama sekali tidak. Bahkan kami merasa ikut gembira melihat bahwa engkau sekarang telah sembuh dan sehat kembali. Dalam kesempatan ini kami mengucapkan selamat atas kembalinya semua barang yang dirampok itu."

Melihat sikap dan mendengar ucapan yang ramah dari pangeran itu, Thio Ki merasa semakin terpukul dan dia berkata dengan suara gemetar.

"Pangeran, saya memberanikan diri menghadap Paduka sekeluarga ini, betul-betul untuk mohon maaf, bukan hanya karena mengganggu Paduka dengan kedatangan ini, melainkan untuk hal lain yang membuat saya merasa tidak enak hati dan malu."

Puteri Moguhai berkata, "Karena Paman Thio Ki hendak bicara dengan Paman Pangeran sekeluarga, maka lebih baik aku keluar dari ruangan ini."

"Ah, Moguhai, engkau termasuk keluarga kami, tentu saja engkau boleh ikut mendengarkan. Bukankah begitu, Saudara Thio Ki?"

Thio Ki mengangguk.

"Saya akan merasa senang kalau Puteri Moguhai sudi menjadi saksi dan ikut mendengarkan. Pangeran, sesungguhnya ketika Bhe Liang melaporkan kepada saya sekeluarga bahwa Paduka yang mendalangi perampokan itu, saya pernah bimbang dan percaya akan keterangan itu yang ternyata hanya merupakan fitnah belaka. Karena itu, saya mohon maaf sebesar-besarnya, apalagi setelah mendengar bahwa Cin-kongcu yang membawa pasukan dan menyelamatkan puteri saya dan semua barang dapat direbut kembali. Sungguh kami merasa menyesal sekali pernah meragukan kebijaksanaan dan kebaikan hati Paduka."

Pangeran Cin Boan tersenyum dan dengan ramah berkata, "Saudara Thio engkau sekeluarga tidak perlu merasa bersalah dan minta maaf. Kalian sama sekali tidak bersalah. Puteri Moguhai telah menceritakan semuanya kepada kami dan keluargamu sama sekali tidak mempunyai prasangka buruk terhadap kami. Hanya Si Jahat Bhe Liang yang menjatuhkan fitnah kepada kami. Bagaimana mungkin kami akan meragukan ketulusan hatimu, Saudara Thio Ki? Engkau melindungi barang-barang kami dengan taruhan nyawa, sehingga terluka. Juga, dalam usaha penumpasan gerombolan perampok sehingga menghasilkan direbutnya kembali barang-barang, puterimu juga memegang peran penting. Tidak, engkau sekeluarga tidak mempunyai kesalahan apa pun. Bahkan kami yang membuat engkau mengalami kesusahan dengan penitipan barang-barang kiriman itu sehingga memancing munculnya perampok."

Lega hati Thio Ki mendengar jawaban itu. Keluarga pangeran itu lalu bercakap-cakap dengan Thio Ki dalam suasana yang ramah dan akrab seperti dua orang sahabat lama. Melihat ini Puteri Moguhai menjadi senang sekali. Maka, ketika Thio Ki berpamit hendak pulang, ia berkata kepada Cin Han.

"Kanda Cin Han, sebaiknya Kanda mengantar Paman Thio Ki pulang untuk membuktikan bahwa keluarga Paman Pangeran Cin Boan tidak mempunyai perasaan buruk terhadap keluarga Paman Thio."

Thio Ki terkejut dan cepat berkata, "Ah, mana saya berani menerima kehormatan seperti itu? Saya tidak berani merepotkan Cin-kongcu......!"

Cin Han yang sudah menangkap apa yang tersirat dalam ucapan Puteri Moguhai tadi, sudah bangkit dan berkata, "Paman Thio Ki, sama sekali Paman tidak merepotkan dan ucapan Dinda Moguhai tadi memang sudah tepat sekali. Sewajarnyalah kalau saya mewakili Ayah mengantar Paman pulang sebagai bukti bahwa tidak ada perasaan buruk sedikit pun di antara keluarga kami dan keluarga Paman."

Mendengar ucapan itu, tentu saja Thio Ki tidak berani membantah lagi dan pergilah mereka berdua menuju rumah Thio Ki. Setelah mereka pergi, Puteri Moguhai berkata kepada Pangeran Cin Boan dan isterinya sambil tersenyum senang.

"Nah, dugaanku tadi benar, bukan? Percayalah, Paman dan Bibi, kalau Kanda Cin Han sudah berkenalan langsung dengan Siang In, maka perjodohan antara mereka itu bukan merupakan persoalan yang sulit lagi."

Suami isteri itu tertawa dan isteri Pangeran Cin Boan bertanya.

"Eh, Moguhai engkau tampaknya bersungguh-sungguh ingin melihat Kakakmu berjodoh dengan Siang In!"

"Dan betapa sama benar wajahmu dengan Thio Siang In!" kata pula Pangeran Cin Boan.

Moguhai tertawa.

"Paman dan Bibi, Siang In adalah seorang sahabatku yang paling baik, juga saudara seperguruanku. Selain itu, juga kami berdua amat mirip satu sama lain. Kami saling menyayangi dan saya ingin melihat Siang In hidup, berbahagia. Saya merasa yakin bahwa kalau ia menjadi isteri Kanda Cin Han, ia pasti akan menjadi seorang isteri yang baik dan berbahagia."

Pangeran Cin Boan mendesak.

"Dan engkau sendiri, Moguhai? Engkau pun sudah dewasa, sudah sepantasnya kalau engkau juga menjadi seorang ibu rumah tangga."

Moguhai tertawa.

"Wah, kalau saya...... hemm, saya belum menemukan seorang jodoh yang cocok, Paman." Berkata demikian, wajah Souw Thian Liong terbayang dalam ingatannya.

"Kalau tidak ada yang cocok, saya tidak akan menikah."

Suami isteri itu saling pandang dan isteri pangeran itu berkata, "Hemm, anak sekarang memang aneh-aneh jalan pikirannya. Selain tidak sejalan dengan pikiran orang tua dan suka mencari jalan sendiri, juga terkadang bersikap aneh-aneh."

Moguhai tersenyum.

"Tidak semua, Bibi. Bukankah Kanda Cin Han seorang anak yang penurut, taat, berbakti dan baik?"

"Memang, dia baik sekali," ibu itu mengangguk-angguk.

"Akan tetapi dia juga mempunyai kebiasaan yang aneh. Sering kali dia mengunci diri dalam kamarnya dan tidak mau bertemu dengan siapapun juga. Kalau dia sedang dalam kamarnya, bahkan Ayahnya dan aku pun tidak dapat mengganggunya."

"Itu tidak aneh, Bibi, bukankah Kanda Cin Han seorang pemuda yang amat tekun belajar sastra sehingga dia lulus ujian dan menjadi siu-cai (satrawan)?"

"Memang dia aneh kalau sudah mengeram diri di dalam kamarnya, Moguhai," kata Pangeran Cin Boan.



"Dari luar kamar, kami sering mendengar dia bicara seorang diri."

"Ah, tentu dia sedang membuat dan membaca sajak, Paman!"

"Kami juga berpendapat begitu maka kami tidak mau mengganggunya. Akan tetapi hal itu dia lakukan bertahun-tahun dan tentu saja kami beranggapan bahwa dia pun mempunyai keanehan seperti orang muda lainnya!"

"Jangan khawatir, Paman dan Bibi. Kalau dia sudah menikah, maka dia tidak akan seorang diri lagi kalau mengunci kamarnya!" kata Moguhai sambi1 tertawa.

Suami isteri itu saling pandang, keheranan mendengar kelakar seperti itu keluar dari mulut Sang Puteri. Akan, tetapi Moguhai hanya tertawa dan ia lalu berpamit untuk pergi ke kota raja karena sudah setahun lebih ia meninggalkan istana.

Limabelas orang laki-laki berusia antara tigapuluh sampai empatpuluh tahun itu bergerak menyusup-nyusup di antara semak belukar dan pohon-pohonan dalam hutan di tepi jalan raya itu. Pakaian mereka ringkas dan di punggung mereka tergantung golok telanjang yang mengkilap saking tajamnya. Wajah mereka bengis dan sikap mereka kasar. Mereka adalah segerombolan perampok yang tidak segan melakukan segala macam perbuatan jahat. Mencuri, merampok, menganiaya, membunuh merupakan pekerjaan mereka sehari-hari.

Di antara limabelas orang itu terdapat seorang yang berusia empatpuluh tahun dan mukanya penuh brewok, tubuhnya tinggi besar dan matanya lebar dan liar. Dialah yang menjadi pemimpin gerombolan berjuluk Hek-kwi (Setan Hitam) yang terkenal kejam, ganas, namun juga tangguh sekali karena memiliki ilmu silat tinggi. Hek-kwi ini yang paling buas di antara mereka. Dia suka memperkosa wanita, menganiaya dan membunuh sambil tertawa-tawa karena semua perbuatan kejam dan jahat itu merupakan kesenangan baginya. Entah sudah berapa banyaknya wanita dia permainkan dan orang-orang dia bunuh.

Untuk sekitar daerah Kam-tin, namanya sudah terkenal dan ditakuti. Bahkan pasukan keamanan Kam-tin juga tidak berdaya karena gerombolan ini pandai menyembunyikan diri. Kalau disergap oleh pasukan yang kuat, mereka sudah menghilang dan kalau pihak penyerbu kurang kuat, tentu akan dibasmi habis oleh gerombolan yang ganas ini.

Para saudagar banyak yang mengalihkan daerah perdagangan mereka ke lain tempat sehingga jalan menuju ke Kam-tin menjadi sunyi. Karena tidak banyak yang dapat dirampok di jalan yang melalui hutan itu, Hek-kwi terkadang membawa anak buahnya untuk merampok dusun-dusun di daerah itu. Gerombolan kejam ini tidak segan untuk mengganggu dan merampok penduduk yang sudah melarat hidupnya.

Pada pagi hari itu, limabelas orang ini menyelinap di antara pohon-pohon, mengikuti dan mengintai seorang pejalan kaki yang mereka anggap aneh. Orang itu bertubuh kecil saja, dari belakang tampak seperti seorang pemuda remaja. Kepalanya tertutup sebuah caping lebar sehingga mukanya tidak dapat tampak jelas karena, tertutup bayangan capingnya. Dari belakang orang itu tampak kecil tidak mengesankan, pakaiannya serba merah muda dan dari warna pakaiannya ini saja gerombolan itu dapat menduga bahwa orang itu tentulah seorang wanita! Wanita yang melihat bentuk tubuhnya yang kecil langsing tentu masih seorang gadis muda atau mungkin juga seorang nenek yang sudah tua. Akan tetapi kalau ia nenek, tentu tidak memakai pakaian berwarna merah muda seperti itu.

Hek-kwi memberi isyarat kepada anak buahnya dan limabelas orang itu lalu berloncatan sambil mengeluarkan pekikan seperti segerombolan binatang buas, menghadang pejalan kaki itu. Mereka memandang penuh perhatian kepada orang bercaping itu dan terpesona. Hek-kwi sendiri yang berdiri paling depan, terbelalak dan berdecak kagum, lalu menyeringai gembira.

Orang itu ternyata seorang gadis yang usianya sekitar duapuluh tahun. Kepalanya tertutup caping, namun dapat dilihat bahwa rambutnya hitam dan panjang, digelung ke atas dan ditutupi caping. Pakaiannya dari sutera merah muda, bentuknya sederhana saja namun bersih dan rapi. Wajah gadis itu bulat telur, sinom (anak rambut) di dahi dan pelipisnya membuat wajah itu tampak manis, dahinya halus, alis hitam tebal namun kecil panjang, matanya bersinar-sinar seperti bintang, bersinar tajam namun tampak sayu seperti merenung, hidungnya kecil mancung, mulutnya indah dengan bibir merah basah dan lesung pipit di kanan kiri mulutnya menambah kejelitaannya. Dagunya agak runcing. Kulitnya putih mulus dan tubuhnya ranum, padat dengan pinggang ramping. Tubuhnya bagian atas tertutup sebuah jubah yang lebar berwarna biru. Gadis ini bukan lain adalah Han Bi Lan!

Seperti kita ketahui, Han Bi Lan yang remuk perasaan hatinya mendapat kenyataan bahwa setelah ditinggal mati ayahnya ia mendapat keterangan bahwa ibunya seorang bekas pelacur, menjadi liar karena malu, marah dan sakit hati. Ia mengamuk di rumah-rumah pelacuran, menghajar dan melukai para laki-laki yang mengunjungi rumah pelesir, terutama para bangsawan dan hartawan, mengobrak-abrik rumah-rumah pelesir sehingga namanya terkenal dan ditakuti, bahkan dijuluki Ang I Moli (Iblis Betina Baju Merah)! Namun semua itu belum dapat menenteramkan hatinya. Ia menjadi gelisah oleh rasa malu dan duka sehingga ia tidak mengurus dirinya lagi.

Akhirnya ia bertemu dengan seorang yang aneh luar biasa, yang mengaku berjuluk Heng-si Ciauw-jiok (Mayat Hidup Berjalan) dan akhirnya Bi Lan menjadi murid manusia aneh seperti setan ini selama kurang lebih setahun. Biarpun ia sudah berjanji bahwa setelah ia dianggap selesai belajar, ia harus mengubur gurunya itu hidup-hidup, namun setelah saatnya tiba, diam-diam Bi Lan minggat, meninggalkan gurunya itu karena bagaimanapun juga, tidak mungkin ia tega mengubur gurunya hidup-hidup!

Demikianlah, kini Bi Lan merantau lagi dengan hanya ada dua tujuan dalam hatinya. Pertama, ia akan mencari Ouw Kan dan dua orang murid Ouw Kan yang telah membunuh ayahnya. Kedua, ia akan mencari Souw Thian Liong untuk membalas penghinaan yang dilakukan pemuda itu kepadanya. Pemuda itu telah menampar bukit pinggulnya sebanyak sepuluh kali. Ia akan membalas kekalahannya dan membalas penghinaan itu. Ia harus menampar Thian Liong sebanyak dua kali lipat!

Kini setelah mendapatkan gemblengan selama setahun dari Si Mayat Hidup Berjalan, tingkat kepandaian Bi Lan menjadi berlipat ganda tingginya. Padahal, ia hanya digembleng untuk memperkuat tenaga saktinya dan mempelajari ilmu silat aneh sebanyak tigabelas jurus yang disebut Sin-ciang Tin-thian (Tangan Sakti Menjagoi Kolong Langit).

Pada pagi hari itu, ia berjalan melenggang seenaknya di jalan raya dalam hutan di daerah Kam-tin. Tentu saja pendengarannya yang amat peka itu telah dapat menangkap gerakan limabelas orang yang membayangi dan mengintainya, akan tetapi ia diam saja dan tetap melenggang dengari tenang.

Setelah melihat bahwa orang yang mereka intai itu hanya seorang gadis yang wajahnya tersembunyi di bawah bayangan caping lebar, Hek-kwi lalu memberi isyarat kepada empatbelas orang anak buahnya dan mereka berlompatan keluar dari tempat pengintaian mereka sambil berteriak-teriak dan tertawa-tawa bahkan ada yang menari-nari berjingkrakan di depan Bi Lan karena melihat bahwa yang mereka hadang itu hanya seorang wanita muda!

Bi Lan menahan langkahnya dan mengangkat mukanya menengadah. Gerakan yang disentakan ini membuat capingnya terlepas dari kepalanya dan tergantung di punggungnya dan wajahnya kini tampak seluruhnya.

Mereka yang sedang berteriak-teriak, tertawa dan menari tiba-tiba menghentikan suara dan gerakan mereka. Juga Hek-kwi tertegun dan terpesona memandang gadis yang berada di depannya itu.

"Bidadari......! Dewi dari sorga......!" kata Hek-kwi.

Limabelas orang laki-laki kasar dan buas itu memandang Bi Lan dengan mata yang seolah hendak menelan hidup-hidup gadis yang cantik jelita itu. Pandang mata Hek-kwi seolah menggerayangi dari kepala sampai ke kaki Bi Lan.

Setelah menjadi murid Si Mayat Berjalan selama setahun, watak yang lincah jenaka dari Bi Lan seolah menghilang. Atau lebih tepat lagi, semenjak ia mendapat kenyataan bahwa ibu kandungnya seorang bekas pelacur, gairah dan kegembirahn hidupnya seolah melayang pergi. Kini wajahnya yang cantik itu tampak muram seolah matahari tertutup mendung hitam tebal. Bibir yang bentuknya indah dan merah membasah itu kini terkatup dan tidak pernah tersenyum. Sepasang matanya yang biasanya kocak dan lembut gembira, kini tajam menusuk dan sering kali mencorong menyeramkan.

Akan tetapi sikap keren Bi Lan ini tidak terlihat oleh Hek-kwi dan anak buahnya yang mata keranjang dan selalu memandang rendah orang lain. Hek-kwi tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha-ha! Kawan-kawan, yang ini untuk aku sendiri! Siapa berani mengganggunya akan kuhajar sampai mati!"

Dia memandang ke arah anak buahnya. Semua anak buahnya tertawa dan mengangguk menyetujui. Hek-kwi lalu menghadapi Bi Lan yang masih berdiri tegak dan tenang, lalu bertanya dengan suara nyaring dan sikap dibuat-buat agar tampak gagah menarik.

"Wahai bidadari yang cantik jelita. Siapakah namamu, datang dari mana dan hendak pergi ke mana? Ketahuilah, aku adalah yang terkenal di seluruh dunia dengan julukan Hek-kwi, akan tetapi aku tidak kasar seperti setan, melainkan lembut seperti dewa kalau berhadapan dengan bidadari seperti engkau. Betul tidak, kawan-kawan?"

"Betul""!!" Anak buahnya menjawab sambil tertawa ramai.

Bi Lan diam saja. Tidak bergerak dan tidak menjawab, bahkan pandang matanya tidak acuh seolah-olah belasan orang tidak tampak olehnya.

Melihat gadis itu diam saja, sama sekali tidak memandangnya dan tidak bergerak, apalagi menjawab, Hek-kwi mengerutkan alisnya.

"Hei, Nona manis. Mengapa engkau diam saja? Aih, jangan-jangan engkau tuli dan gagu! Wah, sayang kalau begitu, begini cantik tidak dapat mendengar dan tidak dapat bicara."

"Ha-ha, Twako, (Kakak), kebetulan kalau begitu. Kelak setelah menjadi isterimu tidak banyak rewel dan tidak dapat mengomel!" Anak buah gerombolan itu berkata dan semua kawannya tertawa riuh rendah.

Hek-kwi tersenyum dan mengangguk-angguk.

"Wah, benar juga katamu itu! Kalau sudah menjadi isteriku lalu cerewet dan tukang mengomel, minta ampun! Eh, Nona manis calon biniku, mari ikut bersamaku pulang!" Hek-kwi lalu maju dan hendak merangkul.

Bagaikan baru menyadari bahwa di depannya terdapat banyak orang laki-laki hendak menyentuh dan merangkulnya, Bi Lan menggerakkan tangan kirinya dan mulutnya berkata lantang.

"Mampuslah!"

Hek-kwi adalah seorang yang tangguh, maka melihat berkelebatnya tangan Bi Lan, dia cepat mengangkat lengan kanan ke atas untuk menangkis.

"Krekkk......!" Hek-kwi menjerit dan tubuhnya terpental sampai tiga meter ketika lengannya bertemu dengan tangan kiri Bi Lan! Dia cepat melompat bangun sambil menyeringai kesakitan karena tulang lengan kanannya telah patah! Dia bukan hanya terkejut, akan tetapi marah bukan main.

"Perempuan keparat!" Dia memaki dan tangan kirinya mencabut golok yang tergantung di punggungnya. Hek-kwi terkenal dengan permainan goloknya dan walaupun kini lengan kanannya tak dapat dipergunakan karena tulangnya patah, namun dengan tangan kirinya dia dapat memainkan golok itu sama mahirnya dengan tangan kanan. Setelah mencabut golok besarnya, sambil mengeluarkan suara menggereng seperti seekor harimau terluka, dia lari menerjang ke arah Bi Lan lalu menyerang dan sabetan goloknya ke arah leher gadis itu. Kini semua gairah berahinya lenyap, terganti gairah untuk membalas dendam dan membunuh!

Sepasang mata indah itu mencorong dan seolah Bi Lan tidak tahu akan bahaya maut yang mengancamnya. Golok itu menyambar cepat sekali dan gadis itu masih diam saja. Akan tetapi ketika golok sudah dekat, ia merendahkan kepalanya dan tangan kanannya bergerak dari bawah ke atas. Tahu-tahu golok itu sudah ditangkap jari-jari tangan kanannya dan sekali renggut, golok itu terlepas dari pegangan Hek-kwi. Setelah golok terampas, Bi Lan menggerakkan tangan kanan ke depan.

"Cappp......!" Golok itu menancap di dada Hek-kwi.

Mata Hek-kwi terbelalak memandang ke arah dadanya, seolah tidak percaya akan apa yang terjadi, kemudian tubuhnya terpental ke belakang karena ditendang kaki Bi Lan. Dia terbanting roboh dan tewas seketika karena goloknya sendiri menembus jantungnya!

Empatbelas orang anak buah gerombolan terbelalak kaget, akan tetapi mereka juga marah sekali. Orang-orang kasar ini selalu merasa diri sendiri paling kuat, apalagi mereka berjumlah banyak. Mereka tidak menyadari bahwa dari kenyataan tadi betapa dalam segebrakan saja Hek-kwi tewas telah membuktikan bahwa gadis yang mereka hadapi itu lihai bukan main. Orang-orang bodoh itu lalu mencabut golok mereka dan serentak menyerbu dan mengeroyok Bi Lan!

Orang akan terheran-heran kalau menyaksikan apa yang selanjutnya terjadi di atas jalan dalam hutan itu. Bi Lan sama sekali tidak bergeser dari tempat ia berdiri. Ia menyambut semua serangan yang datang dari depan, belakang, ka-nan, dan kiri itu dengan menggerakkan kaki tangannya dan tubuh-tubuh para pengeroyok berpelantingan, terlempar ke belakang sejauh tiga meter lebih dan begitu jatuh mereka langsung tewas!

Dalam waktu beberapa menit saja, dua belas orang anak buah gerombolan terlempar roboh dan tewas. Dua orang sisanya yang belum sempat menyerang dan belum tewas, menjadi pucat ketakutan dan mereka segera memutar tubuh melarikan diri. Bi Lan menendang dua kali ke arah golok-golok yang berserakan di depan kakinya. Dua batang golok meluncur seperti anak panah dan dua orang yang melarikan diri itu menjerit dan roboh dengan punggung tertembus golok dan tewas seketika. Limabelas orang gerombolan itu dalam waktu singkat tewas semua tanpa Bi Lan bergeser selangkah pun dari tempat ia berdiri!

Bi Lan memandang ke sekelilingnya, ke arah mayat-mayat yang berserakan di sekelilingnya, wajahnya masih muram tanpa membayangkan perasaan apa pun, lalu hidungnya mendengus seperti orang yang mencium bau tidak enak, lalu kakinya melangkah pergi dari tempat itu, melangkahi mayat-mayat sambil meletakkan kembali capingnya di atas kepalanya.

Dalam usahanya mencari Ouw Kan yang ia anggap sebagai musuh besarnya, datuk bangsa Uigur yang dulu pernah menculiknya ketika ia masih kecil, juga datuk yang memusuhi orang tuanya, bahkan dua orang murid datuk itu telah menyebabkan kematian ayahnya, Bi Lan menuju ke kota raja Kin. Gadis yang sakit hati ini juga menganggap bahwa Raja Kin juga bersalah dan harus dibalasnya karena tentu raja itu yang mengutus Ouw Kan untuk membalas dendam atas kematian Pangeran Cu Si yang tewas di tangan ayahnya dalam perang. Apalagi ibunya menceritakan betapa dua orang murid Ouw Kan itu tidak jadi membunuh ibunya, setelah mereka melihat surat yang ditinggalkan Puteri Moguhai kepada orang tuanya. Ini hanya berarti bahwa dua orang murid Ouw Kan itu takut kepada puteri raja dan tentu Raja Kin ada hubungannya dengan pembunuhan terhadap ayahnya. Karena inilah maka Bi Lan menujukan perjalanannya ke kota raja Kin.

Ketika Bi Lan memasuki kota raja Kerajaan Kin di Peking, Bi Lan melihat bahwa biarpun kota raja ini lebih luas daripada Lin-an (Hang-chouw) kota raja Sung di selatan dan memiliki banyak bangunan besar dan kuno, namun kota raja Sung lebih indah. Akan tetapi kehadiran seorang gadis cantik bercaping lebar di kota itu tidak terlalu menarik perhatian orang karena memang banyak macam orang kang-ouw yang berdatangan di Peking. Juga banyak suku-suku bangsa utara dengan beraneka macam pakaian dan model topi atau caping.

Akan tetapi, di luar pengetahuan Bi Lan, semenjak ia memasuki pintu gerbang kota raja bagian selatan, beberapa pasang mata telah membayangi gerak-geriknya. Mereka yang membayanginya itu adalah para penyelidik dari pasukan keamanan kota raja. Mereka itu selalu mencurigai pendatang baru bangsa Han yang pribumi dari selatan karena bagaimanapun juga, masih ada kecurigaan terhadap Kerajaan Sung di selatan dan setiap pendatang baru dari selatan mungkin saja menjadi mata-mata Kerajaan Sung.

Bi Lan memilih sebuah rumah penginapan besar yang merangkap rumah makan di bagian depannya. Rumah makan Lok-koan merupakan sebuah di antara rumah-rumah makan terbesar, dengan banyak kamar penginapan yang bersih, dari kota raja itu. Begitu ia memasuki rumah makan, seorang pelayan tua segera menyambutnya dengan ramah. Pelayan ini tidak merasa heran menyambut seorang gadis cantik jelita berpakaian merah muda yang berwajah dingin. Sudah banyak tokoh aneh dia jumpai dan dia pun dapat menduga bahwa gadis ini tentu seorang gadis kang-ouw (sungai-telaga, persilatan) yang sedang merantau.

"Selamat sore, Nona. Silakan duduk, Nona hendak memesan makanan apakah?"

Bi Lan menjawab dengan suara datar.

"Aku ingin menyewa kamar dulu dan mandi, setelah itu baru makan."

"Ah, baik. Tentu saja, Nona. Mari, silakan bertemu pengurus kami untuk mendapatkan sebuah kamar." Pelayan itu lalu mengajak Bi Lan pergi ke sudut ruangan dalam di mana terdapat meja panjang dan di belakang meja itu duduk dua orang laki-laki.

"Nona ini ingin menyewa sebuah kamar," pegawai itu melaporkan.

"Baik, Nona. Kebetulan masih ada beberapa buah kamar yang belum terisi," kata seorang di antara mereka sambil membuka buku tamu dan siap dengan mouw-pit (pena bulu) untuk mencatat.

"Harap Nona menyebutkan nama dan tempat tinggal untuk kami catat, dan berapa hari Nona akan tinggal di rumah penginapan kami."

Bi Lan adalah seorang gadis yang sudah banyak melakukan perantauan dan ia tahu betul bahwa apabila menyewa kamar di rumah penginapan, tamu harus mencatatkan nama dan alamatnya karena pihak penginapan akan dapat mencari dan menagihnya kalau Si Penyewa pergi diam-diam tanpa membayar sewa kamarnya. Maka ia lalu mengambil kantung uangnya, mengeluarkan dua potong perak dan menaruhnya di atas meja.

"Apakah ini cukup untuk menyewa sebuah kamar selama lima hari?"

Dua orang pengurus itu tersenyum dan penanya tadi cepat berkata.

"Wah, biarpun dengan makan minumnya selama lima hari, uang Nona mungkin masih ada kelebihannya."

"Kalau begitu, terima uang ini untuk membayar lebih dulu sewa kamar dan bayar makanan selama lima hari. Kelebihannya boleh ambil. Tentang namaku, kiranya tidak perlu dicatat lagi karena sewanya sudah kubayar lunas di muka."

Dua orang itu saling pandang lalu mengangguk. Tidak biasa seorang tamu membayar di muka berikut makanannya. Akan tetapi karena gadis itu sudah membayar selama lima hari, mereka pun tidak merasa perlu lagi untuk mencatat nama dan alamat gadis itu walaupun di dalam hati mereka ingin juga mengetahui siapa nama gadis yang cantik jelita namun yang berwajah dan bersinar mata dingin itu.

"Ah, baiklah kalau Nona menghendaki demikian. Ini kunci kamar Nona."

"Aku menghendaki sebuah kamar yang tenang di sudut."

"Baik, Nona. Di sudut bagian belakang ada kamar kosong. Ini kuncinya. A-sam, antarkan Nona ini ke kamarnya," kata pengurus itu kepada seorang pelayan yang bertugas di rumah penginapan. Pelayan itu mengantarkan Bi Lan ke kamarnya.

Bi Lan cukup senang dengan kamar itu karena cukup bersih terawat baik. Kain alas pembaringan dan sarung bantalnya semua bersih dan habis dicuci. Kamar itu mempunyai sebuah jendela yang menghadap ke taman yang sederhana. Karena letaknya di ujung maka lebih sunyi dan tenang dibandingkan dengan kamar-kamar yang berada di depan dan tengah.

Setelah mandi dan bertukar pakaian bersih, Bi Lan menyerahkan semua pakaian kotor kepada pelayan untuk dicuci, kemudian ia meninggalkan buntalan pakaiannya, keluar dari kamar, mengunci pintunya dan pergi ke depan, ke rumah makan. Ia merasa segar sehabis mandi air dingin. Hawa udara pada waktu itu tidak dingin, bahkan agak panas karena musim panas sedang kuat-kuatnya. Ia memakai mantelnya, bukan karena dingin, melainkan untuk menyembunyikan bentuk tubuhnya yang ia tahu hanya akan menarik pandang mata yang kurang ajar dari para pria, hal yang terkadang membuatnya marah sekali.

Semenjak menjadi murid Si Mayat Hidup Berjalan, Bi Lan merasa tidak perlu lagi membawa senjata tajam walaupun ia memiliki keahlian bermain silat pedang. Sekarang, segala macam benda dapat saja ia pergunakan sebagai senjata yang ampuh. Bahkan dua pasang kaki tangannya juga sudah merupakan senjata yang amat ampuh.

Pelayan rumah makan yang setengah tua tadi menyambut Bi Lan yang datang dari rumah penginapan dengan senyum ramah. Kini Bi Lan tidak memakai ca-pingnya dan wajahnya tampak cantik sekali. Pakaiannya berwarna merah muda dan biarpun potongannya sederhana dan ia tidak mengenakan perhiasan apa pun, namun pakaian itu bersih dan ia dalam kepolosannya bahkan tampak lebih segar dan kecantikannya aseli tanpa bedak atau gincu. Sayang bahwa wajah yang cantik itu muram dan mendatangkan kesan dingin karena sinar mata itu layu dan mulut itu pun tidak membayangkan perasaan apa pun.

"Selamat sore, Nona. Sayang tempatnya agak penuh, akan tetapi masih ada meja kosong di sudut sana. Mari, silakan, Nona," kata pelayan itu, sambil mendahului menuju ke sebuah meja kosong di sudut kanan bagian depan. Rumah makan itu kini penuh tamu yang hendak makan malam.

Bi Lan memesan nasi dan tiga macam masakan, juga minuman yang tidak begitu kuat seperti arak. Ada tersedia semacam minuman anggur atau sari apel yang tidak sekuat arak biasa.

Bi Lan menanti datangnya pesanannya sambil duduk diam di atas kursinya, menghadapi meja. Pada saat itu, ruangan penuh tamu yang sebagian besar adalah laki-laki. Lima meja yang berada tidak begitu jauh dari meja Bi Lan diduduki rombongan laki-laki dan mereka semua, tidak kurang dari duapuluh orang banyaknya, mengarahkan pandang mata mereka kepada Bi Lan. Bahkan yang duduk di meja yang berada di belakang gadis, itu, masih juga melayangkan pandang mata mereka ke arah Bi Lan walaupun yang mereka lihat hanya bagian belakang tubuh gadis itu. Di sana-sini terdengar suara tawa dan jelas bahwa mereka itu menujukan kelakar mereka kepada Bi Lan yang membuat mereka semua merasa kagum.

Tiba-tiba banyak tamu bangkit berdiri, mulai dari yang duduk di bagian terdepan. Mereka bangkit berdiri untuk menghormati rombongan yang baru masuk. Karena Bi Lan duduk menghadap ke arah pintu depan, maka tanpa disengaja ia pun melihat rombongan itu. Rombongan terdiri dari empat orang, akan tetapi semua orang itu menghormati orang yang berjalan paling depan. Dia seorang pria berusia sekitar tigapuluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan wajahnya cukup tampan walaupun pandang mata dan senyum mengejek di bibirnya memberi kesan angkuh sekali. Melihat orang-orang memberi hormat kepadanya, dia mengangkat tangan kanan ke atas seperti seorang raja yang menerima penghormatan rakyatnya! Dari pakaian orang ini dapat diduga bahwa dia tentu seorang pemuda bangsawan tinggi yang kaya raya. Pakaian serba mewah gemerlapan, dengan mantel bulu indah dan topinya juga dari bulu biruang berwarna putih.

Tiga orang yang berjalan di belakangnya dapat diduga adalah para pengawalnya. Pakaian mereka juga indah, akan tetapi tidak semewah pakaian pemuda yang mereka kawal. Tiga orang laki-laki ini berusia antara tigapuluh sampai empatpuluh tahun, ketiganya bertubuh tinggi besar dan tampak kokoh kuat. Di punggung masing-masing tergantung sebatang pedang yang besar panjang. Biarpun orang-orang di rumah makan itu menghormati pemuda yang mereka kawal, namun tiga orang ini berjalan dengan dada dibusungkan dan langkah mereka tegap, sambil tersenyum bangga seolah-olah merekalah yang diberi hormat banyak orang itu.



JODOH SI NAGA LANGIT JILID 09

Bi Lan melihat betapa dua orang pengurus rumah makan dan rumah penginapan itu bangkit sendiri untuk menyambut empat orang tamu itu. Sambil membungkuk-bungkuk mereka menyambut dan seorang di antara mereka berkata dengan suara merendah dan ramah.

"Selamat datang, Hiu-kongcu (Tuan Muda Hiu)! Sungguh merupakan kehormatan besar bagi kami untuk menyambut kunjungan Kongcu. Silakan mengambil tempat duduk di sebelah dalam, Kongcu!"

Akan tetapi pemuda yang disebut Hiu-kongcu itu kebetulan memandang kepada Bi Lan. Wajahnya berseri dan senyumnya melebar, pandang matanya seolah melekat pada tubuh Bi Lan yang dijelajahinya dengan penuh perhatian. Dia lalu berkata kepada dua orang pengurus rumah makan itu.

"Aku ingin duduk di meja itu!" Dia menuding ke arah meja tepat di depan Bi Lan yang sudah diduduki empat orang laki-laki.

"Akan tetapi meja itu......"

"Suruh mereka pindah ke meja lain!" bentak seorang di antara tiga pengawal itu, yang berkumis tebal sambil memandang dua orang pengurus itu dengan mata melotot.

Dua orang pengurus itu saling pandang, lalu keduanya bergegas menghampiri meja yang diminta itu dan dengan suara berbisik-bisik mereka berdua membujuk kepada empat orang laki-laki untuk pindah meja. Empat orang laki-laki itu adalah tamu dari luar kota dan mereka tidak mengenal rombongan tamu yang baru masuk, maka mereka tentu saja merasa tidak senang harus pindah meja dan memberikan meja mereka kepada orang lain. Akan tetapi dua orang pengurus itu membujuk akan memberi potongan setengah harga dari harga makanan yang mereka pesan dan ketika mereka memandang ke arah tiga orang tinggi besar yang melotot kepada mereka, akhirnya mereka tidak berani membantah lagi. Mereka terpaksa pindah ke meja lain dan masakan di meja mereka diangkut dan dipindahkan pelayan.

Meja itu lalu dibersihkan dan pemuda bersama tiga orang pengawalnya dipersilakan duduk. Pemuda itu mengambil tempat duduk yang menghadap ke arah Bi Lan sehingga dia dapat saling pandang dengan gadis itu. Dia tersenyum-senyum kepada Bi Lan. Akan tetapi Bi Lan sudah menundukkan pandang matanya dan tidak mengacuhkan mereka lagi. Ia melihat betapa rombongan baru ini dengan semena-mena memaksa tamu untuk pindah, akan tetapi karena hal itu bukan urusannya, maka ia pun tidak perduli sama sekali.

Semenjak pengalaman pahit menimpa dirinya, apalagi setelah mempelajari ilmu dari Si Mayat Berjalan, Bi Lan tidak perduli apapun juga yang tidak menyangkut dirinya. Kalau dulu, melihat kejadian ini ia tentu akan merasa penasaran sekali dan sudah menghajar rombongan yang sewenang-wenang ini! Akan tetapi sekarang ia sama sekali tidak memperdulikannya. Juga pandang mata yang penuh gairah dari pemuda berpakaian mewah itu dianggapnya seperti angin lalu saja, sama sekali tidak ditanggapinya.

Biarpun ia tidak mengacuhkan mereka, namun tetap saja ia merasa dongkol juga ketika beberapa orang pelayan datang menghidangkan belasan macam masakan di meja rombongan itu, padahal ia yang lebih dulu datang dan memesan belum juga dilayani! Mengertilah ia bahwa tentu pemuda. itu merupakan seorang tokoh yang berpengaruh di kota raja sehingga pengurus rumah makan itu menghormatinya secara berlebihan. Bi Lan mulai mengerutkan alisnya, merasa disepelekan. Ketika ia melihat pelayan tua tadi, ia menggapai dan pelayan itu cepat menghampirinya.

"Bagaimana ini? Aku yang memesan sejak tadi belum dilayani, orang lain baru datang sudah didahulukan pelayanannya!"

"Aih, maafkan kami, Nona. Baiklah, akan saya ambilkan pesanan Nona sekarang juga! Pelayan itu bergegas pergi ke dapur.

Hiu-kongcu berbisik kepada seorang di antara tiga orang pengawalnya dan pengawal yang berkumis tebal itu tersenyum mengangguk-angguk lalu menghampiri Bi Lan.

Sambil menyeringai pengawal tinggi besar berkumis tebal ini lalu mengangguk sebagai penghormatan dan berkata, "Nona, Kongcu kami ingin mengetahui siapakah nama Nona dan di mana Nona tinggal?"

Tanpa memandang kepada siapapun juga Bi Lan berkata, suaranya datar dan dingin.

"Tidak ada nama dan rumah. Pergilah!"

Pengawal itu memandang heran, lalu berkata, "Nona, engkau tidak tahu siapa Kongcu kami. Agaknya engkau bukan orang sini. Ketahuilah, Kongcu kami adalah Kongcu Hiu Kan, putera mendiang Pangeran Hiu Kit Bong, keponakan Sri Baginda Kaisar sendiri! Dan kami bertiga adalah Sam-pak-liong (Tiga Naga Utara) yang menjadi pengawal Hiu-kongcu!"

"Aku tidak perduli. Pergilah!"

Jiu To, pengawal pertama berkumis tebal berusia empatpuluh tahun itu, makin terheran akan tetapi juga marah. Hanya dia tidak berani memperlihatkan kemarahannya sebelum mendapat perintah majikannya, maka sambil menggerakkan kedua pundaknya dia terpaksa memutar tubuh kembali ke meja rombongannya. Dia lalu berbisik-bisik dengan Hiu Kan atau Hiu-kongcu dan dua orang rekannya yang bernama Kai Ek dan Lee Song.

Sementara itu, pelayan tua datang menghidangkan makanan yang dipesan Bi Lan. Hidangan itu hanya nasi dan tiga macam sayur sederhana, amat tiada harganya dibandingkan masakan serba daging yang dihidangkan di atas meja putera pangeran itu.

Bi Lan mulai makan hidangannya tanpa mengacuhkan lagi empat orang yang duduk di meja sebelah depannya itu. Akan tetapi baru sedikit ia makan, Si Kumis Tebal itu sudah menghampirinya lagi.

"Nona, Kongcu kami merasa kasihan melihat Nona makan seorang diri dengan sayuran sederhana itu. Maka Hiu-kongcu mengundang Nona dengan hormat untuk makan bersama beliau. Mari, silakan, Nona, harap jangan malu-malu. Jarang Hiu-kongcu memberi penghormatan kepada seorang gadis yang tidak dikenalnya dan mengundangnya makan bersama."

"Jangan ganggu aku lagi. Enyahlah!" Bi Lan menghardik dan suaranya mengandung ancaman.

Jiu To Si Kumis Tebal itu merasa malu karena bentakan Bi Lan itu terdengar oleh para tamu lain, maka dia bergegas menghampiri Hiu-kongcu. Mereka bicara bisik-bisik dan tidak terdengar oleh para tamu lainnya, akan tetapi pendengaran Bi Lan yang terlatih dan amat peka itu, dapat menangkap pembicaraan mereka.

"Kongcu, ia menolak dengan tegas. Agaknya ia bukan gadis sembarangan," kata Jiu To.

"Jiu-ko (Kakak Jiu), kenapa susah-susah amat? Kalau ia membandel, tarik saja ia ke sini, apa sukarnya?" kata Kai Ek, pengawal kedua yang pipinya codet bekas luka bacokan.

"Hushh, jangan bikin ribut di tempat umum begini. Apa engkau mau merusak namaku?" bentak Hiu Kan, putera pangeran itu.

"Barangkali kalau Kongcu sendiri yang mengundang, tentu ia akan menerima dengan senang hati. Gadis mana yang tidak akan suka memenuhi undangan Kongcu? Barangkali sikap Jiu-twako terlalu kasar sehingga ia tersinggung dan menolak."

"Hemm, aku pun tidak mau merendahkan diri mengundang sendiri. Kalau ia tetap menolak, bukankah aku akan menjadi malu sekali? Akan tetapi, aku menginginkannya, aku harus mendapatkan gadis ini. Aku sudah tergila-gila padanya. Kalau aku tidak bisa mendapatkannya secara halus, aku akan menda-patkannya secara kasar!" kata pemuda bangsawan itu.

"Maksud Kongcu, sekarang juga kami harus menangkapnya?" tanya Jiu To.

"Bodoh kau! Aku tidak ingin membuat keributan yang akan mencemarkan namaku. Kalian harus menangkapnya dan membawanya ke kamarku, akan tetapi hal itu harus terjadi tanpa pengetahuan orang lain. Mengerti?"

"Kami mengerti, Kongcu, dan jangan khawatir, malam nanti pasti Kongcu akan dapat bersenang-senang dengannya." Mendengar ucapan Jiu To ini, Hiu-kongcu menjadi girang dan dia tertawa. Tiga orang pengawalnya juga ikut tertawa gembira dan mereka lalu makan minum sepuasnya.

Semua pembicaraan tadi terdengar jelas oleh Bi Lan. Kebencian memenuhi hatinya. Kalau menuruti hatinya, ingin ia membunuh empat orang laki-laki itu di situ pada saat itu juga. Akan tetapi ia cerdik dan tahu betul bahwa kalau ia melakukan hal ini, kota raja tentu geger karena pemuda itu adalah putera seorang pangeran. Dan kalau terjadi keributan sehingga ia diburu pasukan ke-amanan, hal ini akan menghalangi niatnya membalas dendam kepada Ouw Kan dan dua orang muridnya, juga kepada Kaisar Kerajaan Kin! Ia pasti akan membunuh mereka, akan tetapi tidak di sini, di tempat umum begini. Ia akan membunuh mereka tanpa ada orang lain yang mengetahuinya.

Bi Lan sengaja memperlambat makannya sehingga ia mengakhiri makannya setelah melihat empat orang itu selesai makan. Ia lalu bangkit berdiri dan memberi isyarat kepada pelayan tua untuk menyingkirkan perabot makan. Pada saat itu ia mendengar pemuda bangsawan itu berbisik kepada tiga orang pengawalnya.

"Kita bayangi ia, aku ingin tahu di mana ia tinggal."

Mendengar ini, Bi Lan lalu berjalan meninggalkan rumah makan itu, tidak kembali ke kamarnya melainkan pergi ke jalan raya depan rumah makan. Biarpun ia tidak pernah menengok, ia tahu benar bahwa empat orang laki-laki itu mengikutinya. Bi Lan lalu berjalan perlahan menuju ke pintu gerbang sebelah selatan. Ketika ia memasuki kota raja tadi, ia melihat bahwa di luar pintu gerbang sebelah selatan itu, di tepi jalan raya, terdapat sebuah hutan, mungkin hutan buatan di mana kaisar suka pergi berburu. Tempat itu sepi, apalagi di waktu malam. Dan malam ini kebetulan bulan telah muncul sejak lewat senja sehingga cuaca tidak terlampau gelap.

Empat orang itu merasa heran sekali ketika melihat gadis yang mereka bayangi itu keluar dari pintu gerbang selatan! Beberapa orang perajurit yang berjaga di situ segera memberi hormat kepada Hiu-kongcu. Pemuda bangsawan itu menanggapinya dengan acuh tak acuh. Ketika mereka keluar dari pintu gerbang selatan dan melihat gadis itu berjalan terus menuju ke hutan yang berada di tepi jalan, Hiu-kongcu terheran-heran. Kalau saja tidak ada tiga orang pengawalnya yang menemaninya, tentu dia akan kembali ke kota raja, tidak berani melanjutkan.

"Ah, Kongcu sungguh beruntung. Ia menuju ke tempat sunyi sehingga kita dapat menangkapnya tanpa ada orang lain melihatnya," kata Jiu To sambil menyeringai.

Mendengar ini, Hiu Kan tersenyum dan hatinya senang sekali. Dia sudah membayangkan betapa senangnya kalau dia dapat mendekap gadis yang cantik jelita itu.

Setelah tiba di tempat yang dituju, Bi Lan meninggalkan jalan raya dan memasuki hutan! Melihat ini, empat orang itu menjadi semakin heran, akan tetapi mereka terus mengikuti gadis itu.

Sebelum hilang rasa heran mereka, tiba-tiba Bi Lan berhenti melangkah. Tempat itu agak terbuka dan sinar bulan dapat menerangi mereka sehingga mereka dapat saling memandang dengan jelas. Melihat gadis itu berhenti melangkah dan memutar tubuh menghadapi mereka, empat orang itu pun berhenti dan mereka berdiri di depan Bi Lan, dalam jarak hanya tiga meter. Di bawah sinar bulan yang redup dan lembut, gadis itu tampak bagaikan seorang bidadari.

"Mau apa kalian mengikutiku?" tanya Bi Lan dengan suara datar, suara yang tidak memperdengarkan perasaan hatinya, bukan suara marah atau girang atau malu, hanya datar dan dingin saja.

Karena mereka berada di tempat sunyi dan dia sendiri dijaga tiga orang pengawalnya, timbullah keberanian hati Hiu Kan. Dia tersenyum semanis mungkin, lalu melangkah maju mendekati Bi Lan sambil berkata, "Duhai Nona yang cantik jelita seperti bidadari! Aku cinta padamu, Nona. Marilah engkau ikut de-nganku dan hidup berbahagia di istanaku, menjadi selirku yang tercinta. Aku akan memberi pakaian sutera paling halus, perhiasan emas yang lengkap. Manisku, engkau hidup berbahagia. Marilah, manis!"

Dalam pandangan Bi Lan, putera pangeran ini tidak lebih baik daripada para pria bangsawan dan hartawan yang diamuk dan dihajarnya di rumah-rumah pelesir. Apalagi orang ini berani kurang ajar kepadanya.

"Laki-laki jahanam, kotor dan busuk. Engkau tidak layak hidup!" kata Bi Lan dan sekali tangan kirinya bergerak, hawa pukulan yang dahsyat menyambar dari telapak tangannya, menghantam dada Hiu Kan.

"Dess......!" Tubuh Hiu Kan terlempar ke belakang dan dia terjengkang roboh, tidak mampu bangkit atau bergerak lagi karena dia tewas seketika terkena pukulan maut Bi Lan.

Sam-pak-liong, Tiga Naga Utara itu terkejut bukan main. Sama sekali tidak disangkanya gadis itu akan memukul majikan mereka dan cepat Jiu To berjongkok memeriksa keadaan Hiu Kan. Matanya terbelalak dan wajahnya menjadi pucat ketika melihat majikan mudanya itu telah tewas dengan baju dan dadanya menghitam seperti terbakar!

"Keparat! Kongcu telah mati......!" teriaknya.

Kai Ek dan Lee Song terkejut sekali, terkejut dan marah mendengar majikan mereka tewas dipukul gadis itu. Lee Song yang bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh brewok, menerkam gadis itu dengan marah. Kedua tangannya membentuk cakar dan dia hendak menangkap kedua tangan gadis itu. Gadis pembunuh majikannya ini harus ditangkap dan dihadapkan kepada keluarga Hiu Kan lalu diseret ke pengadilan untuk mendapat hukuman berat.

"Plakkk!" Bi Lan menggerakkan kedua tangan menangkis dan ketika kedua tangannya bertemu dengan lengan Lee Song, ia mendapat kenyataan bahwa laki-laki brewok itu memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat. Benturan tenaga itu hanya membuat Lee Song terpental ke belakang akan tetapi tidak merobohkannya. Di lain pihak Lee Song terkejut setengah mati. Dia dan dua orang suhengnya (kakak seperguruannya) adalah murid-murid Pak-sian Liong Su Kian, datuk utara yang terkenal sakti dan mereka bertiga memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia sendiri memiliki tenaga sinkang yang amat kuat dan tadi dia sudah mengerahkan tenaganya dan sudah merasa yakin bahwa dia akan dapat meringkus pembunuh majikannya itu. Akan tetapi siapa sangka, tangkisan gadis itu membuat dia terpental!

Kai Ek dan Jiu To juga terkejut melihat sute (adik seperguruan) mereka terpental ketika beradu tangan dengan gadis itu. Mereka berdua tidak memiliki niat yang sama dengan Lee Song. Kalau orang termuda dari Tiga Naga Utara ini ingin menangkap Bi Lan, dua orang kakak seperguruannya ini ingin langsung membunuh gadis yang telah berani membunuh majikan mereka. Maka tanpa banyak bicara lagi, mereka berdua sudah mencabut pedang mereka. Mereka maklum bahwa gadis yang mampu membuat sute mereka terpental dengan tangkisannya itu tidak boleh dipandang ringan, maka mereka langsung menyerang dengan pedang mereka.

"Singgg...... singgg......!"

"Syuuuttttt......!"

Pedang dua orang ini memang dahsyat sekali. Kedua pedang itu menyambar dengan amat cepat seperti kilat dan mengandung tenaga yang besar.

Diam-diam Bi Lan menjadi waspada. Ia melihat gerakan pedang yang dahsyat dan maklum bahwa ia berhadapan dengan orang-orang yang tangguh. Kalau diingat. menurut pengakuan mereka tadi bahwa mereka adalah murid-murid Pak-sian (Dewa Utara), maka tidak aneh kalau ketiganya memiliki tingkat kepandaian yang tinggi.

Ketika ia baru tamat belajar silat dari guru pertamanya, yaitu Jit Kong Lhama, mungkin tingkat kepandaiannya hanya lebih menang sedikit dibandingkan seorang dari mereka. Akan tetapi semenjak itu, ia telah mendapat tambahan ilmu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat dari kitab milik Kun-lun-pai yang dicurinya dari Souw Thian Liong, kemudian ia malah yang terakhir digembleng Si Mayat Berjalan sehingga tingkat kepandaiannya sudah berlipat ganda.

Kalau Tiga Naga Utara ini maju satu demi satu, dalam beberapa jurus saja ia pasti akan dapat merobohkan mereka. Akan tetapi mereka kini maju bertiga dan semua memegang pedang yang menyambar-nyambar dahsyat dari segala penjuru. Maka, terpaksa Bi Lan harus mengerahkan semua tenaganya dan menggunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) sehingga tubuhnya seolah berubah menjadi bayangan yang berkelebatan di antara gulungan sinar tiga batang pedang itu.

Hebatnya, dengan kedua lengan telanjang gadis itu berani kadang-kadang menangkis pedang lawan! Tentu saja tiga orang jagoan itu menjadi kaget setengah mati. Sama sekali mereka tidak pernah mengira bahwa gadis yang membuat majikan mereka tergila-gila itu adalah seorang wanita yang memiliki kepandaian seperti iblis betina!

Setelah perkelahian itu berlangsung selama limapuluh jurus lebih dan ia belum mampu merobohkan lawan walaupun tiga orang pengeroyoknya juga tidak dapat melukainya, Bi Lan menjadi marah sekali. Tiba-tiba ia berkelebat menjauhi tiga orang lawannya, lalu mulutnya mengeluarkan pekik melengking dan kedua lengannya dikembangkan, lalu perlahan-lahan kedua tangan itu disatukan dan diangkat seolah ia menyembah langit. Itulah pembukaan dari ilmu silat Sin-ciang Tin-thian yang ia pelajari selama satu tahun dari Si Mayat Berjalan!

Suara lengkingan itu meninggi dan dengan kaget tiga orang pengeroyok itu mengerahkan sin-kang mereka sekuatnya menahan serangan suara yang seolah menyerbu telinga mereka dan langsung menyerang jantung.

"Hyaaaaahhh!!" Tubuh Bi Lan berubah menjadi bayangan yang meluncur ke depan.

Tiga orang jagoan itu berusaha untuk menyambut dengan pedang mereka. Akan tetapi jurus pukulan ilmu Sin-ciang Tin-thian itu dahsyat luar biasa dan amat aneh. Dua buah tangan terbuka Bi Lan menyambar dan mengeluarkan suara bercicit seperti suara kelelawar kesakitan. Tiga orang itu mencoba bertahan, namun tetap saja pukulan-pukulan kedua tangan itu mengenai dada mereka.

Kai Ek dan Lee Song terpental dan terjengkang roboh dengan mata mendelik dan tewas seketika. Akan tetapi Jiu To hanya roboh dan mengeluh, duduk di atas tanah sambil menahan napas dan kedua tangan menekan dadanya. Selain Jiu To memiliki tenaga sin-kang yang lebih kuat daripada kedua orang sutenya, juga Bi Lan memang sengaja tidak membunuhnya, maka dia masih terhindar dari maut. Akan tetapi wajahnya pucat ketika dia melihat gadis itu menghampirinya.

Jiu To adalah murid pertama dari Pak-sian dan dia seorang yang biasanya mengandalkan kekuatan dan kelihaiannya untuk menindas orang lain. Dia dapat bertindak kejam dan semenjak menjadi pengawal Hiu-kongcu, dia tidak segan melakukan apa saja untuk mentaati perintah majikannya. Akan tetapi, selama hidupnya baru sekarang dia merasa ketakutan. Melihat Hiu-kongcu tewas, juga kedua orang sutenya tewas secara mengerikan, dan dia terluka dan tidak ber-daya, dia memandang kepada gadis cantik itu seperti melihat setan yang hendak mencabut nyawanya! Matanya terbelalak, mukanya pucat dan kumisnya yang tebal itu tergetar.

"Ampun...... ampunkan saya......" katanya lirih karena biarpun dia ketakutan, akan tetapi juga ada perasaan malu dalam hatinya bahwa sekarang dia harus minta ampun kepada seorang gadis muda!

"Hemm, orang macam engkau ini tidak patut diampuni."

"Ah, ampunkan saya, jangan bunuh saya......" Jiu To meratap dengan lirih seolah jangan sampai terdengar orang lain.

"Aku tidak akan membunuhmu kalau engkau mau memenuhi permintaanku."

"Katakan, Li-hiap (Pendekar Wanita), permintaan apa yang Nona inginkan? Saya pasti akan memenuhi permintaan itu," kata Jiu To penuh harapan. Tadi sedikit sekali harapan bahwa dia akan dapat terbebas dari kematian. Akan tetapi mendengar ucapan gadis aneh ini, muncul harapan baru dalam pikirannya.

"Katakan, di mana aku dapat menemukan Toat-beng Coa-ong Ouw Kan dan dua orang muridnya."

"Li-hiap...... kalau saya memberitahu, maukah engkau mengampuni saya dan tidak membunuh saya?"

"Aku tidak akan membunuhmu kalau engkau memberitahu di mana mereka."

"Tentu, Li-hiap. Tentu saya akan memberi tahu di mana mereka. Toat-beng Coa-ong kini tinggal di kota Ceng-goan, sebelah selatan kota raja. Dua orang muridnya adalah Bouw Kiang dan Bong Siu Lan, akan tetapi saya tidak tahu di mana adanya mereka. Mungkin saja mereka berada di Ceng-goan pula, atau kalau mereka tidak berada di sana, tentu Ouw Kan mengetahui di mana dua orang muridnya itu berada."

"Awas, kalau engkau bohong, aku akan mencarimu dan membunuhmu!"

Tiba-tiba Bi Lan menggerakkan tangannya. Sinar hitam menyambar ketika tangannya meluncur ke arah lengan Jiu To.

"Krekk!" Jiu To terguling dan merintih. Lengan kirinya lumpuh karena tulang lengannya di bawah siku remuk dan terasa amat panas. Ketika dia mengangkat muka, gadis itu telah lenyap dari situ.

Jiu To mencoba untuk menggerakkan lengan kiri dan dia terkejut sekali karena lengan kirinya, dari siku ke bawah, tidak dapat merasakan apa-apa. Rasa nyeri hanya dari siku ke atas, akan tetapi dari siku ke bawah tidak ada perasaan apa-apa seolah setengah lengannya bagian bawah itu telah mati! Dia lalu meninggalkan tempat itu, menuju ke kota raja untuk minta bantuan untuk mengangkat mayat Hiu-kongcu, Kai Ek dan Lee Song.

Gegerlah para bangsawan di kota raja ketika mendengar akan kematian Hiu Kan `dan dua orang pengawalnya yang terkenal lihai. Akan tetapi, kematian Hiu Kan itu tidak mengguncangkan keluarga kaisar karena Hiu Kan memang tidak disuka oleh keluarga kaisar. Hal ini karena pertama, Hiu Kan adalah putera mendiang Pangeran Hiu Kit Bong yang dulu memberontak terhadap kaisar dan kedua karena pemuda itu terkenal sebagai pemuda tidak berguna, hanya berfoya-foya menghabiskan harta peninggalan ayahnya.

Jiu To yang lengan kirinya tidak dapat digerakkan lagi, segera pergi ke Cin-ling-san untuk menghadap gurunya, yaitu Pak-sian Liong Su Kian, dan melaporkan tentang kematian dua orang sutenya.

Kota Ceng-goan adalah sebuah kota yang cukup besar dan ramai. Letak kota ini di sebelah selatan kota raja. Karena kota ini berada di daerah perbukitan yang berhawa sejuk dan berpemandangan indah, maka banyak para bangsawan kota raja mendirikan rumah peristirahatan di situ. Maka, di daerah perbukitan itu ter-dapat banyak rumah-rumah yang mungil dan indah, yang hanya dipergunakan terutama di musim panas ketika hawa udara di kota raja luar biasa panasnya.

Di antara rumah-rumah peristirahatan yang terdapat di dalam dan di luar kota Ceng-goan, terutama di lereng-lereng perbukitan, terdapat sebuah rumah mungil yang berdiri di lereng. Rumah itu agak terpencil, tidak mempunyai tetangga dekat dan letaknya di tepi jurang. Pemandangan alam dari lereng ini memang amat indahnya. Tempatnya sunyi dan tenang, hawanya sejuk. Tempat yang amat baik bagi mereka yang hendak menjauhkan diri dari semua keramaian yang bising, sibuk, dan panas. Tempat yang diidamkan para pertapa yang ingin mengasingkan diri dari keramaian dunia.

Pemilik rumah yang merupakan pondok mungil sederhana ini adalah Ouw Kan. Datuk yang berjuluk Toat-beng Coa-ong (Raja Ular Pencabut Nyawa) ini sudah berusia sekitar tujuhpuluh lima tahun. Dia adalah seorang suku Uigur yang amat terkenal, bukan hanya di kalangan sukunya sendiri, akan tetapi juga di seluruh wilayah Kerajaan Kin, bahkan namanya sebagai Datuk Sesat terkenal pula sampai jauh di selatan, di wilayah Kerajaan Sung. Dia terkenal sebagai seorang datuk yang berilmu tinggi, sakti dan ditakuti banyak tokoh persilatan.

Selama puluhan tahun Ouw Kan bertualang di dunia persilatan dan sebagai seorang Datuk Sesat hampir tidak ada kejahatan yang tidak pernah dia lakukan! Akan tetapi tidak ada kesenangan apapun di dunia ini yang tidak berakhir dengan kebosanan. Dalam usianya yang sudah tua itu, Toat-beng Coa-ong Ouw Kan mulai merasa bosan dengan kegiatan dalam hidupnya. Dia merasa jemu dengan segala perbuatan jahatnya. Bahkan dia mulai menyesali semua perbuatan jahat yang pernah dia lakukan. Dia mulai merasa takut akan masa depannya, takut akan bayangan keadaan dirinya setelah dia mati nanti.

Dia menyadari bahwa usianya yang semakin tua itu makin mendekatkan dirinya dengan akhir kehidupannya. Sesudah itu, bagaimana? Dia mulai merasa takut, apalagi kalau teringat akan cerita bahwa dosa-dosa yang dilakukan manusia sewaktu hidupnya akan diadili dan si pelaku kejahatan akan menerima hukuman atas segala perbuatannya yang jahat. Dia mulai merasa ngeri karena setelah mati dia tidak akan mampu lagi mengandalkan kesaktiannya. Selagi hidup, dia tidak takut menghadapi segala akibat dari perbuatannya. Dia dapat menggunakan segala kemampuannya untuk membela diri. Akan tetapi bagaimana sesudah dia mati dan tidak lagi dapat mempergunakan segala macam ilmu yang pernah dia pelajari? Dalam keadaan tidak berdaya dia akan berhadapan dengan Giam-lo-ong (Raja Akhirat). Ouw Kan mulai merasa ngeri dan mulailah dia mengasingkan diri di tempat sunyi itu, merenungkan segala perbuatannya di masa lalu dan mulai merasa menyesal.

Demikianlah keadaan Toat-beng Coa-ong Ouw Kan yang kini sudah berusia tujuhpuluh lima tahun. Dia kini lebih banyak duduk bersamadhi, dan tidak mencampuri urusan duniawi. Segala keperluannya sehari-hari dilayani oleh seorang pembantu wanita setengah tua, penduduk dusun di bawah lereng, seorang janda dusun sederhana. Kakek ini tidak pernah kekurangan karena semua kebutuhannya dicukupi oleh Kaisar Kerajaan Kin. Bahkan rumah itu pun merupakan pemberian kaisar kepada datuk ini.

Pada pagi hari itu, Ouw Kan duduk bersila di atas bangku yang berada di pekarangan depan rumahnya. Setiap pagi, setelah matahari bersinar, dia selalu duduk bersila di atas bangku depan rumah itu untuk membiarkan dirinya bermandi sinar matahari yang menyehatkan. Kehangatan sinar matahari membuat hawa udara yang dingin menjadi sejuk dan nyaman. Di depannya terdapat sebuah meja kecil dan tadi, pelayannya menghidangkan minuman air teh hangat dengan poci dan cangkirnya yang diletakkannya di atas meja.

Ouw Kan sedang tenggelam dalam Siu-lian (samadhi) sehingga dia tidak melihat dan tidak tahu bahwa ada seorang gadis yang berpakaian serba merah muda dan kepalanya tertutup caping lebar memasuki pekarangan, berhenti dan berdiri memandang kepadanya penuh perhatian. Gadis ini bukan lain adalah Han Bi Lan. Setelah mendapatkan keterangan Jiu To bahwa Ouw Kan tinggal di Ceng-goan, Bi Lan segera langsung saja menuju ke kota itu. Di Ceng-goan ia mencari keterangan tentang Ouw Kan.

Ternyata tidak sukar mencari keterangan ini karena hampir semua penduduk kota Ceng-goan tahu akan nama datuk besar itu dan dengan mudah Bi Lan mendapatkan keterangan bahwa orang yang dicarinya itu tinggal di lereng bukit itu. Setelah tiba di situ, ia langsung memasuki pekarangan dan melihat seorang laki-laki tua duduk bersila di atas bangku bermandi sinar matahari, ia berhenti melangkah dan berdiri memandang penuh perhatian.

Kakek itu tampak tua sekali. Rambut dan jenggotnya yang panjang sudah putih semua. Badannya masih tegak namun kurus. Biarpun kini Ouw Kan sudah jauh lebih tua daripada belasan tahun yang lalu, namun Bi Lan masih dapat mengenalnya. Kakek inilah yang dulu menculik dan melarikannya. Inilah Toat-beng Coa-ong Ouw Kan. Keyakinannya bertambah kuat ketika ia melihat sebatang tongkat dari ular kobra kering berada di atas meja depan kakek itu.

"Ouw Kan......!" Bi Lan berseru memanggil.

Kakek yang duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya itu segera membuka matanya. Setelah sepasang mata itu dibuka, wajah Ouw Kan tampak menyeramkan. Mata itu lebar dan bersinar tajam dan liar, biji matanya bergerak berputar-putar. Dia memandang kepada gadis yang berdiri dalam jarak sepuluh meter di depannya itu dan mengerutkan alisnya, meragu apakah benar pendengarannya tadi menangkap suara gadis itu memanggil namanya. Rasanya tidak mungkin ada seorang gadis berani memanggil namanya begitu saja!

"Hemm, engkaukah yang tadi memanggil namaku?"

"Ouw Kan, aku datang untuk mencabut nyawamu!"

Ouw Kan merasa semakin heran dan dia melihat betapa sinar mata gadis itu luar biasa dinginnya sehingga menyeramkan. Akan tetapi dia merasa geli dan aneh. Dia yang berjuluk Raja Ular Pencabut Nyawa, kini malah akan dicabut nyawanya oleh seorang gadis muda!

"Bocah lancang! Siapakah engkau yang begitu kurang ajar kepada Toat-beng Coa-ong Ouw Kan?"

"Hemm, tua bangka keparat! Lupakah engkau akan anak perempuan yang belasan tahun lalu kau culik dan kau larikan dari Lin-an (kota raja Kerajaan Sung Selatan)?"

Ouw Kan membelalakkan matanya dan memandang penuh perhatian. Tentu saja dia tidak pernah melupakan peristiwa yang memalukan hatinya itu. Dia mendapat tugas dari Kaisar Kin untuk membalaskan kematian Pangeran Cu Si yang tewas dalam perang di tangan suami isteri Han Si Tiong dan Liang Hong Yi. Akan tetapi ketika dia mendatangi rumah Han Si Tiong, suami isteri yang dicarinya itu tidak ada yang ada hanya anak tunggal mereka, seorang anak berusia tujuh tahun. Dia lalu menculik anak itu untuk diserahkan kepada Kaisar Kin, akan tetapi di tengah perjalanan, anak itu dirampas oleh Jit Kong Lhama. Dia terpaksa melarikan diri meninggalkan anak perempuan itu karena dia tidak mampu menandingi kelihaian pendeta Lhama dari Tibet itu.

Dalam penasarannya, dia masih berusaha membunuh suami isteri itu, namun gagal. Akhirnya dia menugaskan dua orang muridnya, Bouw Kiang dan Bong Siu Lan untuk membunuh Han Si Tiong dan Liang Hong Yi. Hatinya puas mendengar keterangan dua orang muridnya bahwa mereka berhasil merobohkan suami isteri itu yang akhirnya membuat Han Si Tiong tewas. Akan tetapi dua orang muridnya tidak berhasil membunuh Liang Hong Yi karena mereka merasa jerih menemukan surat yang terselip di ikat pinggang wanita itu, surat yang ditulis oleh Pek Hong Niocu atau Puteri Moguhai!

Akan tetapi hati Ouw Kan sudah puas karena Han Si Tiong dikabarkan tewas oleh dua orang muridnya itu. Dan Kini, tiba-tiba saja anak perempuan yang dulu diculiknya lalu dirampas oleh Jit Kong Lhama itu muncul di depannya dan mengancam hendak membunuhnya!

Ouw Kan mengangguk-angguk dan tersenyum.

"Ho-ho, aku ingat sekarang! Engkau bocah nakal itu! Hemm, siapa pula namamu? Aku sudah lupa lagi."

"Namaku Han Bi Lan, ingat itu agar engkau tidak menjadi setan penasaran dan tahu siapa yang membunuhmu."

Tiba-tiba Ouw Kan tertawa, suara tawanya bergaung dan mengandung getaran dahsyat yang memiliki wibawa amat kuat.

"Ho-ho-ho-ha-ha! Han Bi Lan bocah nakal, hayo tertawa bersamaku, ha-ha-ha!"

Akan tetapi, suara tawa kakek itu makin melemah dan akhirnya berhenti, matanya terbelalak memandang ke arah gadis itu, terheran-heran melihat gadis muda itu sama sekali tidak terpengaruh oleh kekuatan sihir yang terkandung dalam suara tawanya. Tawanya tadi merupakan serangan pertama yang hebat. Biasanya, lawan yang cukup tangguhpun akan terpengaruh oleh kekuatan sihir dalam tawa itu sehingga ikut tertawa sampai terpingkal-pingkal dan kalau tidak dia hentikan, bukan mustahil lawan yang terpengaruh itu akan tertawa sampai rusak isi perutnya dan mati. Akan tetapi gadis muda itu tetap berdiri tegak dan wajahnya tetap dingin tanpa ada bayangan perasaan apa pun, sinar matanya tetap mencorong namun dingin seperti membeku. Serangan sihirnya itu gagal sama sekali, menerpa gadis itu seperti semilirnya angin lalu.

Tentu saja Ouw Kan sebagai seorang datuk besar merasa penasaran sekali. Dia terkenal sebagai seorang datuk besar yang tidak saja tinggi ilmu silatnya, namun juga terkenal sebagai ahli racun dan ahli sihir. Melihat serangan sama sekali tidak terasa oleh Bi Lan, dia merasa terhina.

"Rasakan gigitan ularku!" Dia membentak sambil mengerahkan seluruh tenaga sihirnya, lalu melemparkan tongkat dari ular kobra kering itu ke atas. Tongkat itu melayang ke atas lalu meluncur ke arah Bi Lan, menjadi seperti seekor ular terbang yang menyerang ke arah leher gadis itu dengan moncong terbuka!

Melihat serangan dahsyat ini, Bi Lan bersikap tenang saja. Tadi ketika diserang gelombang suara tawa, ia hanya mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) yang dilatihnya dari Si Mayat Berjalan dan suara tawa itu lewat begitu saja tanpa dapat menyentuh perasaannya sehingga ia sama sekali tidak terpengaruh.

Kini ia menghadapi serangan tongkat yang menjadi ular terbang yang ia tahu juga merupakan serangan yang didorong kekuatan sihir. Selain tenaga sihir, juga tongkat ular itu mengandung racun sehingga kalau terkena serangan moncong ular itu, dapat mendatangkan maut. Namun Han Bi Lan sama sekali tidak merasa gentar atau gugup. Begitu tongkat itu menyambar bagaikan anak panah ke arah lehernya, ia menggerakkan tangan kiri yang dimiringkan untuk menangkis dan sekaligus menyerang ular jadi-jadian itu dengan sabetan tangannya yang membuat gerakan membacok.

"Wuuttt...... plakk!"

Tongkat yang berubah menjadi ular itu terpukul dan terbanting ke atas tanah, lalu mental dan melayang kembali ke tangan Ouw Kan yang cepat menyambut dan memegangnya. Dia kini marah sekali. Tubuhnya yang sudah tua renta itu dengan cekatan sekali telah melompat ke depan. Gerakannya ringan dan gesit.

Karena kini menyadari bahwa gadis muda itu benar-benar merupakan lawan yang tangguh dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan, maka Ouw Kan ti-dak berani main-main lagi. Dia maklum bahwa ilmu sihir tidak akan dapat mengalahkan gadis ini, maka kini dia mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua jurus simpanannya untuk menyerang dengan tongkatnya. Karena memang datuk ini memiliki ilmu silat tingkat tinggi, maka serangannya juga dahsyat sekali. Tongkatnya berubah menjadi gulungan sinar yang mengeluarkan bunyi berdengung ketika menyambar-nyambar ke arah tubuh Bi Lan dengan serangan beruntun dan bertubi-tubi.

Bi Lan juga mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang istimewa karena gemblengan Si Mayat Berjalan membuat semua ilmunya maju pesat. Tubuhnya seolah menjadi bayangan yang berkelebatan cepat sekali, menyelinap di antara sambaran gulungan sinar tongkat.

Akan tetapi serangan-serangan Ouw Kan memang dahsyat sekali, maka beberapa kali hampir saja tubuhnya menjadi sasaran sambaran tongkat maut itu. Bi Lan maklum bahwa ia tidak akan menang jika hanya mengandalkan kelincahan gerakannya untuk mengelak terus. Untuk menangkis tongkat itu dengan tangan, ia tidak berani melakukannya. Tongkat itu berada di tangan Ouw Kan, maka menjadi berbahaya sekali dan kalau ditangkis, bukan tidak mungkin tangannya akan terluka atau keracunan. Juga kalau hanya mengelak, ia tidak mempunyai kesempatan untuk membalas dan dalam sebuah perkelahian, tidak mungkin mengandalkan pertahanan saja tanpa penyerangan. Karena itu, setelah lewat limapuluh jurus lebih, tiba-tiba Bi Lan menanggalkan mantel dan capingnya dan kini ia melawan Ouw Kan dengan dua macam senjata.

Mantelnya itu berada di tangan kirinya dan caping berada di tangan kanannya. Ketika ia menggerakkan dua buah benda itu, Ouw Kan terkejut bukan main. Mantel itu ketika digerakkan seolah berubah menjadi perisai lebar dan amat kuat, yang mampu menangkis dan membendung hujan serangan tongkatnya. Dan caping itu pun mulai menyambar-nyambar dengan serangan yang dahsyat!

Setelah menjadi murid Si Mayat Berjalan, tingkat kepandaian Bi Lan telah menjadi sedemikian tinggi dan anehnya sehingga ia tidak perlu membawa senjata tajam lagi karena segala benda dapat saja dijadikari senjata yang ampuh!

Kini pertandingan itu menjadi seru bukan main karena Ouw Kan tidak lagi hanya menyerang seperti tadi. Kini mulailah dia harus melindungi dirinya dari caping lebar yang menyambar-nyambar itu. Sebaliknya Bi Lan tidak hanya menghindar terus melainkan kini membalas serangan lawan dengan sama gencarnya. Perkelahian itu menjadi seru dan mati-matian. Setiap serangan kedua pihak merupakan cengkeraman tangan maut.

Bi Lan memang telah mendapatkan ilmu silat yang amat aneh dan hebat. Gurunya yang pertama, Jit Kong Lhama telah mengajarkan ilmu-ilmu silat tinggi, juga mengajarnya tentang racun dan ilmu sihir. Kemudian, ia telah mempelajari sampai sepenuhnya menguasai ilmu silat sakti dari Kun-lun-pai, yaitu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat. Setelah itu, semua ilmunya diperkuat oleh gemblengan Heng-si Ciauw-jiok (Mayat Hidup Berjalan) yang selain memperdalam ilmu-ilmu yang telah ia miliki, ia juga diberi ilmu Sin-ciang Tin-thian (Tangan Sakti Menjagoi Kolong Langit) yang biarpun hanya tigabelas jurus namun merupakan jurus-jurus aneh dan ampuh sekali. Maka dapat dibayangkan betapa lihainya Bi Lan sekarang.

Akan tetapi lawannya juga bukan orang sembarangan. Kakek Ouw Kan adalah seorang datuk besar, terkenal dengan julukan Toat-beng Coa-ong. Selama ini dia tidak pernah berhenti berlatih dan memperdalam ilmu-ilmunya sehingga tentu saja dia merupakan seorang lawan yang amat tangguh dan berbahaya sekali bagi Bi Lan.

Bagaimanapun kuat dan tangguhnya seseorang, dia harus tunduk terhadap kodrat alam yang menguasai pula tubuhnya sendiri, yaitu usia tua. Usia tua menggerogoti kekuatan tubuh dari sebelah dalam dan tidak ada ilmu yang dapat menolak kodrat ini. Kenyataan ini berlaku pula atas diri Ouw Kan. Dia memang seorang yang berilmu tinggi, kuat dan tangguh. Akan tetapi menghadapi usianya sendiri, mau tidak mau dia harus tunduk. Tenaganya makin berkurang dan terutama sekali daya tahannya jauh merosot.

Kalau tadi dia masih dapat melakukan perlawanan gigih, bahkan mendesak Bi Lan, kini setelah perkelahian itu lewat seratus jurus, napasnya mulai terengah, tubuhnya basah keringat dan tenaganya semakin melemah. Sebaliknya, gerakan Bi Lan semakin dahsyat sehingga kini setiap tongkat bertemu gulungan kain jubah, Ouw Kan terdorong mundur dan merasa betapa seluruh lengannya yang memegang tongkat tergetar hebat!

Menyadari bahwa tenaganya semakin lemah dan dia pun tidak mempunyai kesempatan untuk melarikan diri, Ouw Kan menjadi nekat. Dia mengerahkan seluruh sisa tenaganya, menyerang dengan jurusnya yang paling ampuh.

"Hyaaaahhhh!" Dengan memekik nyaring dia menyerang dengan tongkatnya yang menghantam ke arah kepala Bi Lan dengan dahsyat sekali.

Bi Lan menggerakkan kain mantel di tangan kirinya untuk menangkis dan begitu kedua senjata itu bertemu, dengan gerakan pergelangan tangannya Bi Lan dapat membuat ujung gulungan mantelnya itu melibat tongkat di tangan kanan Ouw Kan. Pada saat itu, tangan kanannya yang memegang capingnya menyambar ke arah dada Ouw Kan. Dalam keadaan seperti itu, Ouw Kan tidak dapat menghindarkan diri lagi. Maka dengan nekat dia lalu menggerakkan tangan kirinya menyambut dan menangkap caping yang meluncur ke arah dadanya itu.

"Wuuttt...... plakk......!" Dia berhasil menangkap caping itu dan kini sepasang tangan kedua orang itu tidak bebas lagi! Mereka mengerahkan tenaga untuk saling mendorong melalui kedua tangan yang memegang senjata. Terjadilah adu tenaga sakti dengan saling mendorong!

Tenaga Ouw Kan memang sudah hampir habis, maka adu tenaga sakti ini tentu saja amat menyiksanya. Tubuhnya mulai basah oleh keringat, wajahnya pucat dan uap mengepul dari ubun-ubun kepalanya, menembus topi bulunya. Melihat keadaan lawan sudah payah dan tenaga itu semakin melemah, Bi Lan berkata dengan suara datar dan pandang mata dingin.



"Jahanam Ouw Kan, bersiaplah untuk menghadap arwah Ayahku agar dia dapat menghukummu!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba Bi Lan mengeluarkan suara melengking yang aneh dan menyeramkan. Suara itu terdengar sampai jauh, tiba-tiba kedua tangannya melepaskan caping dan mantel dan secepat kilat kedua tangan itu mendorong ke depan, ke arah dada Ouw Kan.

"Dessss""!!" Tubuh yang kurus itu terlempar ke belakang dan terbanting roboh, tewas seketika dan dari semua lubang di mulut hidung dan telinganya mengalir darah.

Bi Lan berdiri memandang mayat musuh besarnya itu dengan wajah dingin tanpa menunjukkan perasaan apa pun...... Hati gadis yang dahulu gembira, lincah jenaka penuh gairah hidup itu kini seolah membeku dan dingin. Perubahan ini terjadi semenjak ia meninggalkan ibunya. Wajahnya masih cantik jelita, akan tetapi seperti kecantikan sebuah topeng!

Tiba-tiba tubuhnya bergerak dan ia sudah melompat masuk pondok itu dan memegang lengan wanita setengah tua yang menjadi pembantu Ouw Kan. Wanita itu menjadi ketakutan, tubuhnya menggigil dan ia berkata dengan suara gemetar, "Ampun, Nona. Saya...... saya hanya seorang pelayan......"

Ketika merasa betapa lengan yang dipegangnya itu sama sekali tidak mengandung tenaga, Bi Lan melepaskannya dan wanita itu lalu menjatuhkan dirinya berlutut. Tadi ia hanya mengintai dari balik pintu dan tidak berani keluar melihat majikannya berkelahi. Melihat majikannya yang sudah tua itu roboh, ia menjadi semakin ketakutan dan menahan tangisnya. Suaranya itulah, biarpun lirih, yang membuat Bi Lan melompat dan menangkap lengannya.

Ketika mendapat kenyataan bahwa wanita pelayan itu seorang lemah, Bi Lan segera melepaskannya. Biarpun ia menjadi seorang yang berhati kaku keras dan dingin, namun Bi Lan tidak menjadi orang jahat yang suka mengganggu orang. Hanya mereka yang bersikap kurang ajar kepadanya, yang mengganggunya, akan dibunuhnya tanpa mengenal ampun. Akan tetapi ia tidak akan mengganggu sedikit pun orang yang tidak bersalah kepadanya.

"Aku tidak akan menyakitimu, Bibi. Akan tetapi katakan, di mana adanya Bouw Kiang dan Bong Siu Lan?"

"Maafkan saya, Nona. Saya sungguh tidak tahu di mana adanya mereka."

"Kenalkah engkau kepada dua orang murid itu?"

"Saya pernah melihat mereka datang menghadap Guru mereka di sini, Nona."

"Tahukah engkau apa yang mereka bicarakan?"

"Saya tidak tahu dan tidak berani ikut mendengarkan."

"Seperti apa mereka itu? Coba gambarkan."

"Murid laki-laki bernama Bouw Kiang itu bertubuh tinggi besar, mukanya tampan dan kulitnya hitam, usianya sekitar duapuluh enam tahun. Adapun murid perempuan itu berusia sekitar duapuluh tahun, wajahnya cantik kulitnya putih, mata dan mulutnya lebar."

Seperti itu pula penggambaran ibunya tentang dua orang murid Ouw Kan yang menyerang orang tuanya itu.

"Apakah dulu mereka itu tidak tinggal di sini bersama guru mereka?"

"Tidak, Nona. Pernah saya mendengar bahwa mereka tinggal di kota raja, akan tetapi tepatnya entah di mana karena saya sendiri orang dusun, belum pernah pergi ke kota raja."

Bi Lan mengangguk.

"Keteranganmu itu sudah cukup, Bibi. Terima kasih. Sekarang beritahukanlah kepada pendudukdusun terdekat agar mereka membantu penguburan mayat itu. Aku pergi."

"Nona tunggu sebentar."

"Hemm, apa lagi?"

"Nona, kasihanilah saya. Bagaimana kalau orang-orang bertanya kepada saya tentang kematian majikan saya ini? Kalau saya tidak memberi keterangan yang jelas, saya takut kalau malah dicurigai."

"Hemm, beritahu saja seperti apa yang kaulihat. Ouw Kan ini adalah musuh besarku. Katakan bahwa dia dibunuh seorang gadis yang mengaku sebagai musuh besarnya."

"Kalau mereka menanyakan nama Nona?"

"Hemm, katakan saja bahwa aku adalah Ang I Mo-li (Iblis Betina Baju Merah)!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Bi Lan telah lenyap dari depan wanita setengah tua itu. Tentu saja wanita itu terbelalak dan menggigil ketakutan, percaya bahwa gadis cantik pembunuh majikannya itu benar-benar seorang iblis betina!

Beberapa bulan yang lalu Ouw Kan yang sedang berada seorang diri di pon-doknya dan wanita pembantunya sedang pergi berbelanja bumbu dan bahan masakan, Puteri Moguhai muncul di depannya. Ouw Kan terkejut mengenal gadis itu sebagai orang yang pernah bersama seorang pemuda Iihai melawan dan mencegahnya ketika dia hendak membunuh Han Si Tiong dan Liang Hong Yi. Dia sudah bersiap-siap untuk menyerang gadis itu, akan tetapi Puteri Moguhai mencabut pedang bengkok terukir naga emas pemberian kaisar dan berkata.

"Toat-beng Coa-ong Ouw Kan, apakah engkau tidak mengenal ini?"

Ouw Kan terbelalak dan menatap wajah jelita itu penuh perhatian.

"Siapakah engkau?"

"Aku Puteri Moguhai dan di luar aku disebut Pek Hong Niocu!"

Ouw Kan terkejut.

"Aih, kiranya Paduka Tuan Puteri? Maaf, saya tidak mengenal Paduka karena seingat saya, saya dulu melihat Paduka sebagai seorang puteri yang masih kecil, masih remaja. Jadi......, Padukalah yang dulu melindungi Han Si Tiong dan isterinya di tepi Telaga Barat?"

Puteri Moguhai mengangguk.

"Benar, akulah yang ketika itu mencegah engkau membunuhnya!"

"Akan tetapi, Tuan Puteri, mengapa? Sri Baginda Kaisar sendiri yang dulu mengutus saya untuk membunuh suami isteri itu, demi membalas kematian Pangeran Cu Si."

"Perintah itu diberikan Ayahanda Kaisar dahulu, belasan tahun yang lalu. Aku sudah menanyakan kepada Beliau dan sekarang Beliau tidak lagi bermaksud membalas dendam kematian Pangeran Cu Si. Kematian itu terjadi dalam perang, jadi tidak ada dendam pribadi. Akan tetapi mengapa engkau masih bersikeras dalam usahamu membunuh suami isteri itu?"

"Saya...... saya merasa malu kepada Sri Baginda karena kegagalanku dahulu dan ingin menebus kegagalan itu, Tuan Puteri."

"Hemm, mulai sekarang harap engkau hentikan usaha pembunuhan itu, karena akulah yang akan menentangmu! Ketahuilah bahwa suami isteri itu kini merupakan sahabat baikku dan aku akan melindungi mereka!"

"Baik, Tuan Puteri. Saya berjanji bahwa mulai hari ini, saya tidak akan pergi mencari dan memusuhi Han Si Tiong dan Liang Hong Yi."

Demikanlah, Puteri Moguhai meninggalkan Ouw Kan dan kembali ke istana. Ia sama sekali tidak tahu bahwa ketika berjanji, dalam hatinya Ouw Kan menertawakannya karena beberapa bulan yang lalu dia sudah memberi perintah kepada Bouw Kiang dan Bong Siu Lan, dua orang muridnya, untuk mewakili dia pergi mencari suami isteri itu dan membunuh mereka!

Seperti kita ketahui, dua orang murid itu berhasil melukai Han Si Tiong sehingga tewas tak lama kemudian, akan tetapi mereka tidak berani membunuh Liang Hong Yi karena menemukan surat yang ditulis oleh Puteri Moguhai dan terselip di ikat pinggang Liang Hong Yi.

Dua orang murid itu sudah memberi tahu akan hal ini kepada Ouw Kan, maka ketika Moguhai datang kepada Ouw Kan dan melarang Ouw Kan memusuhi suami isteri itu, tanpa ragu-ragu Toat-beng Coa-ong menyanggupi! Dia tahu bahwa Han Si Tiong telah tewas oleh dua orang muridnya itu.

Akan tetapi, sama sekali dia tidak pernah bermimpi bahwa dua bulan setelah Puteri Moguhai memperingatkannya, muncul Han Bi Lan, bocah yang dulu diculiknya dan dia tewas di tangan gadis yang kini menjadi luar biasa lihainya itu!

Ketika Moguhai pulang ke istana, ayah ibunya, yaitu Sri Baginda Kaisar Kerajaan Kin dan Tan Siang Lin yang menjadi selir kaisar, menyambutnya dengan gembira. Mereka merasa rindu sekali kepada puteri mereka yang terkasih ini, yang telah meninggalkan istana selama setahun. Sri Baginda Kaisar dan selirnya itu segera mendesak agar puteri mereka itu menceritakan semua pengalamannya.

Sudah lama Kaisar mendengar akan nama Tiong Lee Cin-jin yang berjuluk Dewa Obat dan dia mengaguminya karena Tiong Lee Cin-jin juga berjasa menyelamatkan kaisar ketika terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh mendiang Pangeran Hiu Kit Bong. Maka, ketika mendengar bahwa puterinya yang dia tahu telah memiliki ilmu silat tinggi itu hendak digembleng oleh Dewa Obat selama setahun, tentu saja dia menyetujuinya. Adapun Tan Siang Lin sendiri, tentu saja merasa girang dan rela membiarkan puterinya meninggalkannya selama setahun untuk berguru kepada Tiong Lee Cin-jin karena itu berarti bahwa Moguhai berguru kepada ayah kandungnya sendiri!

Moguhai bercerita kepada Ayahnya betapa selama setahun ia digembleng ilmu oleh Tiong Lee Cin-jin dan bersama ia ada seorang gadis lain yang menjadi murid Si Dewa Obat.

"Ah, ada murid wanita lain? Apakah ia juga memiliki tingkat kepandaian tinggi? Siapa namanya, Moguhai?" tanya Kaisar Kin.

"Ia juga lihai sekali. Sebelum menjadi murid...... Suhu, ia juga sudah lihai dan di dunia kang-ouw terkenal dengan julukan Ang Hwa Sian-li, namanya Thio Siang In. Usianya sebaya dengan saya dan kata orang-orang, kami berdua mirip satu sama lain. Ia ingin sekali berkunjung ke sini. Bolehkah, Ayah?"

Sejak kecil Moguhai amat manja kepada ayahnya dan terhadap ayahnya itu, ia tidak menggunakan banyak aturan sebagaimana keluarga kaisar yang lain. Kaisar yang amat menyayang puterinya itu pun membiarkannya saja.

"Tentu saja boleh! Kapan saja ia boleh datang berkunjung ke istana," kata Sri Baginda Kaisar.

Puteri Moguhai menceritakan tentang pengalamannya ketika belajar ilmu dari Si Dewa Obat. Tentu saja ia sama sekali tidak menyinggung tentang rahasia yang telah ia ketahui mengenai riwayatnya dan Siang In dan tentang Gurunya yang sesungguhnya adalah Ayahnya sendiri dan dalam kesempatan itu ia bercerita pula akan pengalamannya ketika bertemu dengan Han Si Tiong dan Liang Hong Yi.

"Ayah, mereka adalah suami isteri pendekar yang gagah perkasa dan baik budi. Karena itu, ketika Toat-beng Coa-ong Ouw Kan menyerang dan hendak membunuh mereka, saya melindungi mereka. Saya tahu bahwa Ayah sudah tidak menaruh dendam kepada suami isteri itu dengan tewasnya Pangeran Cu Si dalam perang. Akan tetapi Ouw Kan masih saja memusuhi dan hendak membunuh mereka karena merasa malu atas kegagalannya membunuh mereka belasan tahun yang lalu."

Kaisar itu menghela napas panjang.

"Kami sesungguhnya bukan anak kecil yang tidak tahu bahwa gugur dalam perang bukan merupakan dendam pribadi. Akan tetapi pada waktu itu, mendiang Pangeran Hiu Kit Bong yang memanaskan hatiku sehingga aku utuskan Ouw Kan untuk membalas dendam. Setelah dia gagal, sebetulnya aku sudah menghapus dendam yang sesungguhnya salah itu. Aku tidak lagi mendendam, apalagi hubungan antara kerajaan kita dengan Kerajaan Sung kini sudah menjadi baik. Aku tidak pernah menyuruh Ouw Kan untuk membunuh suami isteri bekas pimpinan Pasukan Halilintar. Kalau dia masih berusaha membunuh mereka, itu adalah urusannya sendiri."

Biarpun di depan Kaisar ia tidak bercerita tentang rahasia ibunya, akan tetapi ketika ia berada berdua dengan ibunya, Puteri Moguhai tidak dapat menahan diri lagi untuk merahasiakan semua itu. Tan Siang Lin, selir kaisar itu, agaknya sudah menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu dengan puterinya yang selama setahun hidup bersama gurunya yang juga merupakan ayah kandungnya itu. Ia dapat merasakan sesuatu telah terjadi melihat sinar mata puterinya ketika memandang kepadanya semenjak anak itu pulang.

Kini, Moguhai agaknya sengaja menemuinya berdua dalam kamar itu. Dengan jantung berdebar tegang ia lalu duduk di atas pembaringan, setengah merebahkan diri dan memandang puterinya yang setelah memasuki kamar lalu menutupkan daun pintu dengan hati-hati.

Setelah menutupkan daun pintu Moguhai menghampiri ibunya dan duduk di atas tepi pembaringan. Dua orang wanita itu saling pandang dan sampai lama keduanya tidak bicara, hanya saling pandang dan keduanya tersenyum dengan sinar mata membayangkan kasih sayang yang besar. Melihat betapa sinar mata Moguhai mengandung keraguan, Tan Siang Lin berkata lirih sambil memegang lengan puterinya.

"Anakku, agaknya engkau akan menceritakan sesuatu kepada Ibumu. Jangan ragu-ragu, anakku, kalau ada sesuatu, ceritakanlah saja."

"Ibu, aku sekarang mempunyai nama baru atau nama alias, pemberian...... Suhu Tiong Lee Cin-jin."

Ibunya memandang tajam dan mulutnya tersenyum.

"Nama baru? Engkau diberi nama apakah, Moguhai?"

"Aku diberi nama Sie Pek Hong, Ibu."

Sepasang mata yang masih indah itu terbelalak.

"...... Sie......?"

"Benar, Ibu. Pakai nama marga Sie dan nama Pek Hong adalah nama julukanku, Pek Hong Niocu."

"Akan tetapi, mengapa marga Sie?"

"Karena Guruku juga bermarga Sie, Sie Tiong Lee, Ibu."

Wajah wanita itu berubah kemerahan.

"Akan tetapi...... mengapa engkau ikut-ikutan bermarga Sie?"

"Ibu, bukankah nama marga seorang anak harus mengikuti marga Ayahnya? Ibu bermarga Tan, tidak mungkin aku memakai marga Tan."

Wajah ita menjadi semakin merah.

"Moguhai......!" Ia memegang lengan pu-terinya dengan kuat.

"Kau...... kau...... tahu......?"

Moguhai tersenyum dan mengangguk.

"Dia...... dia yang bercerita padamu?"

Kembali Moguhai mengangguk.

"Ohhh......!" Tan Siang Lin bangkit duduk dan memegang kedua tangan puterinya. Moguhai merasa betapa jari-jari tangan ibunya menjadi dingin dan gemetar.

"Apa...... apa saja yang dia ceritakan......?"

"Semuanya, Ibu. Tentang Ayah...... eh, Paman Sie...... eh, Suhu dan Ibu. Aku merasa terharu sekali mendengar akan nasib dia dan Ibu."

Moguhai merangkul ibunya karena jelas ibunya menahan tangisnya. Tan Siang Lin merangkul puterinya dan sejenak mereka berangkulan. Wanita itu tidak mengeluarkan suara tangisan, akan tetapi pundaknya bergoyang perlahan. Akhirnya ia dapat menguasai perasaannya. Ia melepaskan rangkulannya, menghapus beberapa tetes air mata yang membasahi pipinya, lalu menghela napas panjang dan berkata lirih.

"Akan tetapi engkau tahu bahwa aku hidup cukup bahagia di istana ini. Sri Baginda amat baik terhadap kita berdua, Moguhai."

"Hal itu tidak kusangkal, Ibu. Dan sudah kuceritakan dengan terus terang kepada Suhu. Karena itu, nama Sie Pek Hong juga hanya untuk aku dan Ibu saja, kepada orang luar aku tetap bernama Puteri Moguhai dan berjuluk Pek Hong Niocu. Selain rahasia yang kuceritakan tadi, Ibu, masih ada hal lain yang tentu akan membuat Ibu berbahagia kalau aku ceritakan."

Tan Siang Lin yang masih berdebar jantungnya karena tegang dan haru mendengar bahwa puterinya telah mendengar pengakuan Sie Tiong Lee tentang rahasianya kini memandang kepada wajah Moguhai dengan kedua mata masih basah. Hatinya sudah terlalu tegang sehingga keharuan membuat ia tidak mampu bicara, hanya bertanya lirih dengan satu kata saja.

"Apa......?"

Moguhai memegang kedua tangan ibunya dan berkata dengan wajah berseri gembira.

"Ibu, tahukah Ibu siapa gadis yang menjadi saudara seperguruanku dan yang bernama Thio Siang In? Ia adalah puteri Bibi Miyana!"

Sepasang mata itu terbelalak menatap wajah Moguhai.

"Puteri...... puteri...... Miyana......?" Suara itu gemetar dan bibir itu menggigil.

"Ya, Ibu dan Siang In itu serupa benar dengan aku, tidak ada yang dapat membedakan kalau kami mengenakan pakaian yang sama. Ia adalah adik kembarku yang dulu dibawa pergi Bibi Miyana."

Wajah Tan Siang Lin menjadi agak pucat.

"Ia...... ia tahu ! pula akan hal itu?"

"Tahu, Ibu. Suhu...... Ayah...... menceritakan semua kepada kami berdua. Aku sudah singgah ke rumahnya dan bertemu Bibi Miyana yang sekarang menjadi Nyonya Thio Ki di kota Kang-cun. Ibu, Siang In akan berkunjung ke sini untuk bertemu dengan Ibu!"



JODOH SI NAGA LANGIT JILID 10

Tan Siang Lin tak dapat menahan keharuan dan kebahagiaan hatinya lalu ia merangkul Moguhai sambil menangis tersedu-sedu. Tangis bahagia. Akan tetapi tiba-tiba ia teringat akan sesuatu dan menghentikan tangisnya, lalu memandang wajah Moguhai dan berkata dengan gelisah.

"Jangan, anakku! Jangan biarkan ia ke sini. Kalau Sri Baginda tahu......"

"Ibu jangan khawatir. Siang In juga sudah tahu bahwa Ayahanda Kaisar tidak boleh mengetahui akan kekembaran kami itu. Ia akan datang ke sini sebagai Thio Siang In yang berjuluk Ang Hwa Sian-li dan mengenakan pakaian yang berbeda sekali denganku. Wajah kami memang sama, namun warna dan bentuk pakaian kami berbeda jauh, juga bentuk sanggul rambut kami. Kemiripan kami itu tidak akan terlalu menyolok dengan adanya perbedaan-perbedaan itu, Ibu."

Mendengar ucapan Moguhai itu, hati Siang Lin menjadi tenang kembali. Ibu ini menunggu pertemuan yang akan terjadi dengan puterinya itu dengan hati penuh ketegangan dan kegembiraan. Mendengar bahwa kini puteri kembarnya yang kedua itu telah menjadi seorang gadis yang lihai, sudah bertemu ayah kandungnya dan saudara kembarnya, sudah tahu pula bahwa ialah ibu kandungnya dan Miyana hanyalah ibu angkat, tahu bahwa ayah kandung mereka berdua adalah Sie Tiong Lee, hal ini saja sudah mendatangkan kebahagiaan besar dalam hatinya.

Karena telah meninggalkan istana selama setahun lebih, maka Kaisar Kin dan selirnya melarang Moguhai untuk pergi lagi. Puteri itu tinggal di istana dan ia sedang murung karena baik kaisar maupun ibunya mendesaknya agar mau memilih seorang di antara banyak pinangan yang diajukan padanya. Para pelamar itu terdiri dari para putera pejabat tinggi, ada pula putera-putera Pangeran yang menjadi saudara misan Sri Baginda Kaisar. Ketika Moguhai menolak, Kaisar menjadi marah. Baru satu kali ini Kaisar memarahi puterinya yang biasanya amat disayang itu.

"Bagaimana engkau ini? Ingat usiamu sudah duapuluh tahun! Kalau tidak sekarang menentukan jodohmu, mau tunggu sampai kapan lagi? Aku sudah memberi kebebasan sepenuhnya padamu, tidak memaksamu berjodoh dengan seseorang menurut pilihan kami. Kami sudah memberi kebebasan kepadamu untuk memilih seorang di antara para pemuda yang telah mengajukan pinangan dengan segala kehormatan!"

"Maafkan saya, Ayah. Akan tetapi, sesungguhnya saya sama sekali belum ingin terikat dalam sebuah pernikahan. Saya masih ingin sendiri......"

Kaisar menjadi marah.

"Hemm, beginilah kalau anak terlalu dimanja. Sejak kecil, orang tua selalu berusaha untuk membahagiakan hatimu, akan tetapi sekarang, diharapkan membahagiakan hati orang tua satu kali saja tidak mau!" Kaisar marah dan meninggalkan Moguhai bersama, ibunya.

Sejak tadi Tan Siang Lin hanya diam saja. Ia pun ingin sekali melihat puterinya menikah dan mempunyai anak. Ia sudah ingin sekali menimang cucu. Telah menjadi anggapan semua orang tua di masa itu, hati mereka barulah merasa lega dan bahagia kalau anak perempuannya sudah menikah. Bagi mereka, pernikahan saja yang akan mendatangkan kebahagiaan dalam hati tiap orang gadis. Menjadi isteri lalu menjadi ibu! Apalagi kecuali itu yang akan membahagiakan hati seorang wanita?

Dan merupakan hal yang amat memalukan, bahkan dapat mendatangkan aib, akan menjadi buah bibir dan diam-diam menjadi bahan ejekan kalau seorang gadis yang sudah dewasa tidak segera mendapatkan jodoh. Disangka tidak laku! Padahal, anaknya kini sudah berusia duapuluh tahun! Sudah agak terlambat menurut ukuran jaman itu. Seorang gadis biasanya menikah dalam usia enambelas atau tujuh belas tahun, paling lambat delapanbelas tahun.

Dengan lembut Tan Siang Lin mendekati puterinya yang masih duduk termenung setelah dimarahi ayahnya tadi. Ia menaruh tangannya ke pundak Moguhai. Moguhai menoleh dan menghela napas panjang.

"Moguhai, mengapa engkau begitu kukuh menolak anjuran kami untuk menentukan pilihan jodohmu?" kata Ibu itu dengan lembut, Ialu ia duduk di atas kursi depan puterinya.

Moguhai menghela napas panjang lagi dan berkata, "Ibu, kalau aku bersama Ayah Sie Tiong Lee, aku yakin beliau tidak akan memaksaku menikah."

"Mungkin saja ia akan bersikap begitu, mengingat dia seorang yang sejak muda hidup di dunia kang-ouw. Akan tetapi sikap seperti itu sama sekali tidak sesuai dengan pendapat umum, anakku. Ayahmu, Sri Baginda dan aku, menghendaki engkau mengambil pilihan dan segera menikah adalah tanda kesayangan kami kepadamu. Kami ingin melihat engkau hidup berbahagia sebagai seorang isteri, sebagai seorang ibu. Kami tidak ingin engkau menjadi bahan pembicaraan dan cemoohan orang, yang mengatakan bahwa engkau tidak laku. Ingatlah, usiamu sudah duapuluh tahun dan itu merupakan usia yang sudah lebih dari cukup bagi setiap orang wanita untuk meninggalkan masa kegadisannya dan memasuki kehidupan berumah tangga, berkeluarga."

"Akan tetapi, Ibu. Kalau aku belum suka menikah, apakah aku harus memaksa diri untuk melakukan hal yang tidak atau belum kusukai itu?"

"Anakku, dalam hal ini tidak ada pemaksaan diri, melainkan pelaksanaan kewajiban. Ketahuilah, Moguhai, dalam kehidupan seorang wanita, terdapat kewajiban-kewajiban yang tidak kita ingkari. Menikah menjadi isteri orang, melahirkan menjadi ibu anak-anak, melayani suami dan mengurus rumah tangga, semua itu merupakan sebagian dari kewajiban seorang wanita. Wanita adalah induk dan sumber perkembang-biakan manusia di dunia ini, yang merupakan tugas yang teramat mulia. Kalau semua wanita berpendirian seperti engkau dan tidak mau menikah, tidak melahirkan anak, manusia akan musnah."

"Aih, Ibu. Aku bukan bermaksud untuk tidak menikah selama hidupku, hanya saja, aku tidak mau menikah dengan pria yang tidak kusukai. Aku hanya mau menikah dengan seorang pria yang kucinta, Ibu."

Tan Siang Lin menghela napas panjang.

"Aku mengerti perasaanmu dan aku tahu bahwa semua wanita pasti memiliki perasaan yang sama seperti itu, walaupun yang terlaksana keinginannya hanya satu di antara seribu. Sebagian besar gadis dijodohkan orang tuanya, bahkan banyak yang sama sekali belum pernah melihat suaminya. Pertama kali melihatnya adalah di saat pernikahan dilangsungkan. Akan tetapi Sri Baginda telah bersikap bijaksana terhadapmu karena Beliau amat mencintamu. Buktinya Beliau memberi kebebasan kepadamu untuk memilih di antara mereka yang telah mengajukan pinangan."

"Akan tetapi, Ibu. Aku sungguh belum mempunyai pilihan dan tentang usia...... hemm, Siang In juga belum menikah!"

"Mengapa mesti menunggu ia? Apakah selama ini engkau belum pernah bertemu dengan seorang pemuda yang menarik hatimu?"

Wajah Moguhai menjadi kemerahan, lalu menjawab malu-malu.

"Sebetulnya memang ada, Ibu. Akan tetapi aku tidak tahu apakah dia juga tertarik padaku. Kami belum pernah saling menyatakan perasaan hati kami. Selain itu, dia adalah seorang pemuda pribumi Han, apakah mungkin Ayahanda mau menerima seorang Han sebagai mantunya?"

"Hemm, memang mungkin sukar Beliau dapat menerimanya. Akan tetapi bukankah aku juga seorang wanita Han? Aku yang akan membujuknya, Moguhai. Aku yakin dapat membujuk Beliau untuk menerima seorang mantu bangsa Han. Akan tetapi siapakah dia, anakku?"

"Ibu pernah melihatnya, bahkan dia telah berjasa besar ketika Ayahanda terancam oleh pemberontakan Paman Pangeran Hiu Kit Bong."

"Ah! Aku tahu! Bukankah dia muridnya dan bernama Souw Thian Liong itu?"

Wajah Moguhai berubah semakin merah, akan tetapi ia mengangguk.

Tan Siang Lin merangkul pundak puterinya.

"Anakku, apakah engkau mencinta Souw Thian Liong?"

"Aku tidak tahu, Ibu. Akan tetapi aku kagum sekali padanya. Dia amat baik budi, bijaksana dan rendah hati walaupun ilmu kepandaiannya tinggi sekali. Juga...... Ayah Sie 'l'iong Lee memuji-muji muridnya itu. Terus terang saja, hatiku tertarik kepadanya."

"Dan bagaimaria dengan dia? Apakah Souw Thian Liong mencintamu?"

"Hal itu pun aku tidak tahu, Ibu. Dia selalu bersikap sopan terhadap aku dan tidak pernah memperlihatkan bagaimana perasaannya. Kami selama ini hanya bersahabat baik dan akrab."

"Hemm, biarlah aku yang akan membicarakan hal ini dengan Sri Baginda. Aku kira Beliau akan setuju kalau bermantukan seorang pemuda seperti Souw Thian Liong itu, sungguhpun dia seorang pribumi Han."

"Akan tetapi, Ibu. Sama sekali aku tidak bermaksud untuk memaksa dia...... ah, itu akan memalukan sekali. Aku tidak tahu apakah dia...... mencintaku, bahkan aku pun belum yakin benar akan perasaanku sendiri. Aku belum yakin apakah aku...... mencintanya dan ingin menjadi jodohnya."

"Tentu saja kita tidak akan menggunakan paksaan, Moguhai. Aku hanya akan merundingkan dengan Sri Baginda. Setidaknya aku akan memberi penjelasan sehingga Sri Baginda akan dapat mengerti keadaan hatimu dan tidak akan men-desakmu untuk memilih dan menerima pinangan orang lain."

Hati Moguhai menjadi tenang mendengar ucapan ibunya itu dan dia berterima kasih sekali. Ibu dan anak itu bercakap-cakap sampai jauh malam dan Moguhai menceritakan semua pengalamannya kepada ibunya yang mendengarkannya dengan asyik dan penuh perhatian, apalagi ketika Moguhai bercerita tentang keadaan dan kehidupan sehari-hari dari Sie Tiong Lee yang dulu menjadi kekasihnya itu.

Tujuh orang pengawal istana itu duduk santai dan mereka saling bicara dengan suara berbisik. Setiap kali berjaga malam yang digilir bergantian, mereka tidak berani bicara berisik, khawatir mengganggu keluarga istana yang sedang beristirahat dan tidur. Malam itu udara dingin sekali sehingga tujuh orang pera-jurit pengawal itu mengenakan baju luar mereka yang tebal. Yang mereka bicarakan adalah peristiwa mengerikan yang terjadi beberapa hari yang lalu. Tuan muda Hiu Kan dan dua orang dari Sam-pak-liong yang menjadi pengawalnya, telah terbunuh dalam hutan dekat kota raja dan orang ke tiga dari Sam-pak-liong lumpuh dan remuk tulang lengan kirinya. Jiu To, orang ketiga ini dengan susah payah memasuki kota raja dan minta bantuan.

Kaisar dan keluarga istana memang tidak begitu mengacuhkan peristiwa kematian keponakan kaisar itu karena Pangeran Hiu Kan merupakan seorang pemuda yang hanya mencemarkan nama dan kehormatan keluarga istana. Pemuda putera mendiang Pangeran Hiu Kit Bong yang pernah memberontak itu adalah orang yang tidak berguna, hanya berfoya-foya menghabiskan harta peninggalan ayahnya dan terkenal sebagai seorang pemuda mata keranjang yang suka mengganggu gadis-gadis, bahkan isteri orang!

Akan tetapi peristiwa itu menggemparkan para perajurit dan orang-orang ahli silat di kota raja, bukan kematian Hiu Kan melainkan robohnya pengawalnya, yaitu Sam-pak-liong (Tiga Naga Utara) yang terkenal lihai itu. Dua orang dari mereka tewas dan orang pertama yang bernama Jiu To lengan kirinya lumpuh dan remuk tulang lengannya dari siku ke bawah. Menurut keterangan Jiu To, yang melakukan pembunuhan itu adalah seorang gadis muda cantik jelita yang amat lihai dan yang memaksanya memberitahu di mana tempat tinggal Ouw Kan, Toat-beng Coa-ong yang amat terkenal itu.

Kemudian terdengar berita yang lebih mengejutkan lagi. Toat-beng Coa-ong tewas dan menurut keterangan pelayannya, pembunuhnya adalah seorang gadis muda cantik jelita yang mengaku berjuluk Ang I Mo-li (Iblis Wanita Baju Merah)!

Tentu saja para pengawal itu menjadi gentar juga mendengar akan munculnya Ang I Mo-li yang membunuh Hiu Kan, dua orang di antara Sam-pak-liong, kemudian malah membunuh Toat-beng Coa-ong (Raja Ular Pencabut Nyawa) Ouw Kan yang sakti itu. Tujuh orang pengawal ini pun merasa gentar. Akan tetapi mereka tenang saja malam itu karena merasa bahwa mereka mendapat bagian penjagaan yang ringan, yaitu di sebelah dalam. Penjagaan di istana itu berlapis lapis dan dari regu-regu penjagaan di kompleks istana itu, dihitung dari regu penjaga di pintu gerbang sampai ke tempat berjaga, mereka berada di lapisan paling dalam atau pada lapisan keenam.

Jadi, kalau ada orang jahat hendak mengacau ke istana, dia harus dapat melewati lima lapis regu pengawal dulu sebelum berhadapan dengan mereka! Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan sungguhpun berita tentang Ang I Mo-li itu menyeramkan. Pula, sebagai pengawal yang paling dalam di istana itu, mereka terdiri dari orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi dan cukup tangguh untuk melindungi keselamatan kaisar dan keluarganya.

Selain itu, siapa yang tidak mengenal Puteri Moguhai yang berjuluk Pek Hong Niocu dan yang terkenal sakti dan lihai sekali? Dengan hadirnya puteri yang sering meninggalkan istana itu, semua orang merasa aman dan terlindung. Demikian pula dengan tujuh orang pengawal ini, merasa bahwa kedudukan mereka kuat sekali dan tidak perlu mengkhawatirkan sesuatu.

"Sungguh luar biasa dan mustahil! Bagaimana gadis muda mampu mengalahkan tiga orang Sam-pak-liong itu?" kata seorang dari mereka.

"Itu masih belum luar biasa. Yang lebih hebat dan tak masuk akal lagi, bagaimana gadis itu dapat membunuh Toat-beng Coa-ong Ouw Kan yang terkenal sebagai datuk besar dunia persilatan?" orang kedua berkata.

"Tidak perlu diherankan. Sekarang memang bermunculan gadis-gadis muda yang amat lihai. Tidak usah jauh-jauh, apakah kalian lupa bahwa Sang Puteri Moguhai sendiri adalah seorang puteri yang amat tinggi ilmunya?" kata orang ketiga.

"Wah, kalau begin terus, semakin banyak wanita yang amat lihai dan tangguh, jangan-jangan akhirnya dunia ini akan dikuasai oleh wanita!" kata yang lain.

"Dan kita kaum pria menjadi pelayan mereka, mengasuh anak, mencuci pakaian, mengurus dan membersihkan rumah, memasak......"

"Dan bukan pria lagi yang melamar melainkan wanita yang meminang pria kalau ingin berumah tangga."

Mereka tertawa, akan tetapi menahan suara mereka agar tidak menimbulkan kegaduhan.

"Ssstt......!" Tiba-tiba seorang di antara mereka mendesis dan menuding ke kanan. Semua orang menengok dan dengan gesit mereka berloncatan. Mereka adalah tujuh orang pengawal dalam istana yang memiliki kependaian tinggi, maka dalam kewaspadaan mereka, mereka segera siap siaga dan dengan cepat sekali mereka sudah mengepung seorang gadis baju merah yang tahu-tahu telah berada di situ!

"Hei! Siapa engkau?" bentak seorang dari mereka dengan suara lantang dan bengis, sungguhpun dalam hatinya dia gentar dan terkejut sekali karena dia sudah dapat menduga bahwa tentu gadis ini yang mereka bicarakan tadi. Kalau bukan orang yang memiliki kesaktian, mana mungkin dapat masuk sampai ke sini tanpa menimbulkan keributan melewati lima lapisan regu-regu penjaga istana itu?

Dugaan dalam hati pengawal ini, juga semua rekannya, memang benar. Gadis baju merah ini adalah Han Bi Lan. Seperti kita ketahui, Bi Lan telah berhasil membalas dendam kematian ayahnya, membelas dendam orang yang dulu menculiknya, membunuh Toat-beng Coa-ong Ouw Kan. Namun hatinya penasaran karena ia tetap menduga bahwa musuh utamanya adalah Kaisar Kin. Kaisar itu tentu yang mengutus Ouw Kan untuk membunuh dan membasmi keluarga mendiang ayahnya. Ia akan membunuh Kaisar Kin!

Dengan menggunakan ilmu kepandaiannya yang tinggi, gadis yang sedang tertekan batinnya itu oleh kenyataan riwayat ibunya yang bekas pelacur, juga karena pengaruh pendidikan Heng-si Ciauw-jiok (Mayat Hidup Berjalan), yang membuat hatinya menjadi keras dan aneh, dapat menyusup ke istana tanpa diketahui lapisan penjaga yang pertama sampai yang kelima. Sebetulnya dengan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi, ia akan dapat pula melewati lapisan keenam ini tanpa mereka ketahui. Akan tetapi setelah tiba di bagian depan istana ini, ia menjadi bingung. Bangunan istana ini begitu luas. Ke mana ia harus mencari kaisarnya? Karena ia ingin mendapat keterangan tentang hal ini, maka ia sengaja memperlihatkan diri kepada para pengawal yang segera bergerak mengepungnya!

Biarpun tadi para pengawal itu membicarakan tentang Ang I Mo-li dengan hati seram dan gentar, namun setelah kini mereka berhadapan dengan Bi Lan, rasa takut itu segera menghilang. Gadis itu begini cantik jelita dan tampaknya lemah lembut, sama sekali tidak menimbulkan perassan gentar! Rasanya mustahil seorang gadis muda secantik ini dapat menjadi mahluk mengerikan seperti yang mereka gambarkan. Mereka adalah jagoan-jagoan istana, sungguh menggelikan kalau merasa takut kepada seorang gadis muda cantik jelita yang begini lembut dan lemah gemulai!

Mendengar pertanyaan kepala regu pengawal dan melihat betapa tujuh orang pengawal itu mengepungnya tanpa mengeluarkan senjata mereka, Bi Lan menjawab dengan suara tegas.

"Siapa aku tidak penting. Yang penting, aku ingin tahu di mana adanya kaisar. Aku ingin bertemu dengan dia. Laporkan agar dia keluar menemuiku, atau tunjukkan di mana dia dan aku akan masuk dan menemuinya!"

Tujuh orang pengawal itu menahan tawa mereka karena mereka merasa geli. Gadis ini ingin bertemu dengan kaisar dengan sikap seperti seorang gadis ingin bertemu dengan pacarnya saja!

"Wah, tidak semudah dan sesederhana itu, Nona! Siapapun juga, tidak mungkin dapat menghadap Sri Baginda Kaisar di waktu malam begini. Kalau hendak menghadap, datang saja besok pagi dan melapor kepada penjaga di bagian depan."

"Aku harus bertemu dengan dia sekarang juga! Laporkan dan suruh dia keluar, atau antarkan aku kepadanya!"

Gadis ini sudah gila, pikir para pengawal. Masa ada orang menyuruh Sri Baginda Kaisar keluar untuk menemuinya, malam-malam begini lagi!

"Nona, tidak mungkin kami dapat memenuhi permintaanmu. Kami tidak dapat melaporkan dan tidak dapat mengantarmu menghadap Sri Baginda."

"Hemm, kalau begitu akan kupaksa seorang dari kalian untuk mengantar aku kepadanya!"

Mendengar ini, tujuh orang pengawal serentak menubruk hendak meringkus dan menangkap gadis itu. Bagaikan tujuh ekor harimau mereka menerkam gadis itu dari tujuh arah secara berbareng sehingga tidak mungkin bagi Bi Lan untuk mengelak lagi. Kalau ada orang menonton pada saat itu, tentu akan merasa yakin bahwa gadis itu akan dapat diringkus, bahkan tujuh orang pengawal itu pun sudah merasa pasti. Mereka bertujuh adalah laki-laki yang memiliki tenaga dalam yang kuat, juga semua pandai silat. Tidak mungkin gadis itu dapat meloloskan diri. Bahkan seekor burung yang pandai terbang sekalipun tidak akan dapat lolos dari terkaman tujuh orang dari segala penjuru itu.

Akan tetapi terjadi keanehan. Gadis itu seolah merupakan sebuah bom peledak. Begitu tujuh orang itu menerkam, ia menggerakkan tubuh berputar, kedua tangannya menyambar-nyambar dan tujuh orang pengawal itu berseru kaget dan tubuh mereka sudah berpelantingan ke belakang seolah dilanda alat peledak yang amat kuat! Mereka terbanting jatuh dan Bi Lan masih berdiri tegak dan kini melipat kedua lengan depan dada.

Tujuh orang pengawal itu tentu saja merasa gentar, akan tetapi mereka lebih takut lagi akan hukuman kalau membiarkan gadis itu lewat dan memasuki istana, apa lagi kalau sampai mengganggu bahkan membunuh kaisar. Maka setelah mengetahui bahwa gadis itu benar-benar lihai seperti iblis, mereka lalu mencabut pedang mereka dan hendak mengeroyok untuk membunuh gadis yang tidak mungkin mereka tangkap itu.

"Tahan senjata dan mundur semua!" terdengar bentakan nyaring dan mendengar suara wanita yang amat mereka kenal itu, tujuh orang pengawal itu berlompatan mundur.

Tampak banyak pengawal datang berlarian ke tempat itu sehingga sebentar saja di situ berkumpul sedikitnya limapuluh orang perajurit pengawal yang telah siap dengan pedang di tangan. Akan tetapi Bi Lan tidak memperhatikan mereka itu. Matanya mencari-cari kalau-kalau kaisar muncul di situ. Akan tetapi pandang matanya bertemu dengan pandang mata Puteri Moguhai yang sudah berdiri di depannya. Mereka saling pandang. Dua orang gadis yang sama-sama cantik jelita. Pakaian Bi Lan serba merah muda dan pakaian Puteri Moguhai serba putih!

"Mau apa engkau malam-malam begini membuat kekacauan di istana?" Puteri Moguhai menegur, suaranya mengandung wibawa.

"Mau bunuh Kaisar!" Bi Lan menjawab, sedikitpun tidak merasa gentar.

"Gila kau!" Moguhai berseru dan ia menyerang dengan pukulan jarak jauh. Kedua tangannya didorongkan ke arah Bi Lan dan pukulan ini mengandung tenaga sin-kang yang menyambar dahsyat ke arah Bi Lan.

Bi Lan tersenyum mengejek dan ia pun menggerakkan kedua tangannya, menyambut dengan dorongan yang diperkuat ilmu Sin-ciang yang ia dapatkan dari Si Mayat Hidup sehingga dari kedua telapak tangannya terdengar suara bercuitan ketika ada hawa kuat dan panas seperti kilat menyambar. Dorongan kedua tangan Bi Lan ini dahsyat sekali, merupakan ilmu yang langka dan tinggi yang ia pelajari dari Si Mayat Hidup.

Akan tetapi yang ia hadapi kini adalah murid, bahkan puteri Tiong Lee Cin-jin yang juga telah menurunkan ilmu yang hebat kepada Moguhai.

"Syuuuuttt...... blaarrrr......!!" Kedua orang gadis itu terpental dan tentu akan terjengkang kalau saja keduanya tidak cepat-cepat berpok-sai (bersalto) ke belakang sampai tiga kali sehingga dapat hinggap di atas tanah dengan tegak. Keduanya terkejut dan saling pandang penuh perhatian. Kebetulan para pengawal kini sudah memasang banyak obor sehingga tempat itu menjadi terang sekali. Mereka dapat saling memandang wajah masing-masing dengan jelas.

"Ahh...... engkaukah ini? Bukankah engkau ini...... yang dulu membantu Souw Thian Liong menghadapi pengeroyokan orang-orang Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai?"

"Dan engkau...... engkau Puteri Kerajaan Kin yang menjadi pasangan akrab dari Souw Than Liong?" Bi Lan berseru pula.

Keduanya saling pandang sampai lama dan semua pengawal di situ hanya memandang, tidak ada yang berani bergerak. Mereka bukan gentar terhadap Bi Lan, melainkan takut kepada Puteri Moguhai. Tanpa perkenan atau perintah puteri itu, mereka tidak berani turun tangan.

"Akan tetapi...... engkaukah yang memakai julukan Ang I Mo-li itu? Engkau yang membunuh putera pangeran, Hiu Kan dan dua orang pengawalnya, membunuh pula Toat-beng Coa-ong Ouw Kan?"

"Benar, aku yang membunuh mereka!"

"Akan tetapi mengapa?"

"Jahanam Hiu Kan dan dua orang pengawalnya itu berani bersikap kurang ajar kepadaku dan menghinaku!"

"Hemm, memang Hiu Kan itu pantas menerima hukuman. Akan tetapi Toat beng Coa-ong Ouw Kan?"

"Dia yang dulu menculik aku dan murid-muridnya yang membunuh Ayahku!"

"Ah, begitukah?" Puteri Moguhai teringat akan pengalamannya bersama Souw Thian Liong.

"Engkau pula yang mencuri kitab milik Kun-lun-pai yang dibawa Souw Thian Liong?"

"Bukan urusanmu!" Bi Lan menjawab marah karena kalau diingatkan akan hal itu, ia teringat pula betapa karena perbuatannya itu Souw Thian Liong telah menampari pinggulnya sampai sepuluh kali, hal yang tak mungkin ia lupakan selama hidupnya!

"Baiklah. Aku tahu bahwa engkau bukan orang jahat. Engkau adalah seorang pendekar wanita dan mati-matian membela Souw Thian Liong yang benar dan difitnah sehingga engkau bahkan berani menentang Kun-lun-pai, padahal engkau murid Kun-lun-pai. Akan tetapi mengapa engkau hendak membunuh Ayahku, Sri Baginda? Apa kesalahan Ayahku?"

"Kaisar yang mengutus Ouw Kan membunuh Ayahku!"

"Hemm, siapakah Ayahmu?"

"Ayahku adalah Han Si Tiong!"

"Ahh! Jadi engkau...... engkau ini Han Bi Lan puteri Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi? Aku mengenal baik Ayah Ibumu!"

Dengan sikap tenang Bi Lan mengangguk.

"Aku sudah tahu dan karena engkau pernah menolong orang tuaku dan bersikap baik kepada mereka, maka aku melayani engkau bicara!"

"Orang tuamu adalah orang-orang gagah yang setia kepada Kaisar Sung. Bersama-sama Souw Thian Liong, Kwee-ciangkun, beberapa orang pejabat yang setia kepada kaisar, orang tuamu mati-matian menentang Perdana Menteri Chin Kui yang jahat."

"Aku sudah mendengar itu dan aku juga tahu bahwa engkau pun ikut membela orang tuaku, Puteri Moguhai!"

"Ya, kami memang bersahabat baik, bahkan seperti keluarga sendiri. Aku pun percaya bahwa engkau sebagai puteri mereka juga seorang pendekar yang gagah. Karena itu, maukah engkau juga bersikap baik kepada Ayahku dan mendengarkan dulu penjelasanku? Engkau salah kira, Bi Lan. Marilah, kita masuk dan bicara di dalam. Aku tidak ingin bermusuhan denganmu, mengingat akan hubunganku dengan orang tuamu."

Bi Lan mengangguk.

"Baiklah, Moguhai. Demi membalas kebaikanmu terhadap orang tuaku, aku menerima ajakanmu. Akan tetapi kalau ternyata Ayahmu yang mengutus orang untuk membunuh orang tuaku, jangan salahkan aku kalau aku pun berusaha untuk membalas dan membunuh Ayahmu."

Moguhai memberi isyarat kepada semua perajurit pengawal untuk mengundurkan diri, lalu ia menggandeng tangan Bi Lan dengan sikap akrab dan mengajak gadis itu masuk ke istana. Tak lama kemudian mereka berdua sudah duduk di dalam kamar Moguhai yang luas dan me-wah indah. Mereka duduk berhadapan di atas kursi, sejenak saling pandang dengan penuh perhatian. Anehnya, di dalam hati kedua orang gadis ini tiba-tiba saja timbul gagasan dan dugaan yang sama, yaitu seberapa jauh hubungan masing-masing dengan Souw Thian Liong!

"Nah, sekarang apa yang hendak kaubicarakan dengan aku, Moguhai!"

"Dengarkan keteranganku ini, Bi Lan. Engkau tentu sudah dapat menduga bahwa aku juga seorang gadis kang-ouw dengan julukan Pek Hong Niocu. Aku paling benci kejahatan dan kecurangan dan aku henci pula akan kebohongan. Maka apa yang akan kukatakan kepadamu ini sama sekali bukan bohong. Untuk apa aku berbohong kalau ancamanmu sama sekali tidak membuat aku takut? Aku hanya ingin meluruskan persoalan, menghilangkan salah sangka darimu karena engkau sendiri tentu akan menyesal kalau engkau keliru melakukan pembalasan atau pembunuhan."

"Jelaskanlah, aku mendengarkan."

"Begini, Bi Lan. Belasan tahun yang lalu terjadilah perang antara Pasukan Kin melawan Pasukan Sung di perbatasan. Seperti engkau ketahui, Ayah Ibumu merupakan pemimpin yang gagah perkasa dari Pasukan Halilintar di bawah komando Jenderal Gak Hui yang terkenal itu. Seorang Pamanku, Pangeran Cu Si, menjadi seorang di antara para pimpinan Pasukan Kin. Dalam pertempuran, Pangeran Cu Si tewas di tangan Ayahmu. Hal ini sebetulnya wajar saja dan Ayahku, Sri Baginda Kaisar, juga menganggap hal ini wajar. Kalah menang dalam perang adalah wajar, dan kematian dalam perang juga bukan merupakan persoalan pribadi. Karena itu, biarpun hatinya sedih atas kematian Pangeran Cu Si, Sri Baginda Kaisar sama sekali tidak menaruh dendam kepada siapa pun juga. Kami sekeluarga tahu bahwa dalam perang itu, tentu Pangeran Cu Si juga telah merobohkan dan menewaskan banyak perajurit Sung, apakah keluarga mereka yang tewas dalam perang di tangan Pangeran Cu Si juga menaruh dendam pribadi kepada Pangeran Cu Si? Tentu saja tidak!"

"Akan tetapi menurut keterangan ibuku, Ouw Kan itu diutus oleh Kaisar Kin untuk membinasakan Ayahku sekeluarga dan karena Ayah Ibu tidak ada, dia menculik aku."

"Pada mulanya, Sri Baginda Kaisar dihasut dan dibujuk oleh Pangeran Hiu Kit Bong, kakak Pangeran Cu Si, yang hendak membalas dendam atas kematian adiknya. Karena hasutan itu, Ayahku tidak melarang ketika Pangeran Hiu Kit Bong menyuruh Ouw Kan untuk membalas dendam kepada Paman Han Si Tiong. Ouw Kan agaknya sengaja mempergunakan nama Sri Baginda Kaisar sebagai pengutusnya untuk memperkuat kedudukannya. Apalagi Ouw Kan mendapat pesan pula dari Perdana Menteri Chin Kui untuk membasmi keluarga Paman Han Si Tiong, karena Chin Kui menganggap Paman Han Si Tiong berbahaya sebagai pembantu setia Jenderal Gak Hui yang dibenci dan dimusuhinya. Nah, itulah yang terjadi, Bi Lan. Kalau tidak demikian, tidak mungkin Souw Thian Liong mau membantu Ayah menghancurkan pemberontakan Pangeran Hiu Kit Bong. Sebuah bukti pula, kalau keluarga kami, termasuk aku sendiri, mendendam kepada Paman Han Si Tiong, mungkinkah aku membela Ayah Ibumu sehingga aku dan Souw Thian Liong dijebloskan penjara ketika kami menentang Chin Kui? Aku, keponakan Pangeran Cu Si yang terbunuh dalam perang oleh Ayahmu, tidak mendendam kepada Ayahmu bahkan bersahabat. Bagaimana sekarang engkau memusuhi Ayahku yang kauanggap mengutus Ouw Kan untuk membunuh Ayahmu?"

Bi Lan tertegun, bingung harus berkata apa. Ia dapat melihat kebenaran dalam semua ucapan puteri itu yang otomatis secara tidak langsung menyudutkannya sehingga kalau ia membalas dendam kepada Kaisar Kin akan kelihatan bahwa ialah yang jahat dan tidak mengenal budi!

"Akan tetapi, kalau tidak diutus oleh Kaisar Kin, mengapa Ouw Kan mati-matian memusuhi keluarga Ayahku, bahkan menyuruh dua orang muridnya untuk membunuh Ayah dan Ibu?" tanyanya dengan suara mengandung penasaran namun lemah.

"Aku sudah tahu sebabnya, Bi Lan. Karena Ayahku tidak mengutusnya, dan karena mereka yang mendukungnya, yaitu Pangeran Hiu Kit Bong dan Menteri Chin Kui telah tiada, maka hanya satu hal yang membuat Ouw Kan tiada hentinya berusaha membasmi keluarga Ayahmu. Dia mempunyai dendam tersendiri terhadap Paman Han Si Tiong. Pertama, karena dalam usahanya yang pertama kali dia gagal, bahkan setelah menculik dirimu, dia juga gagal karena engkau ditolong Jit Kong Lhama. Kemudian, beberapa kali dia yang merasa penasaran hendak mengulang serangannya terhadap Ayah dan Ibumu juga gagal ketika aku dan Souw Thian Liong menentang dan mengusirnya. Itulah sebabnya dia semakin penasaran. Engkau tentu dapat menyadarinya, Bi Lan. Kalau keluargaku memang mendendam kepada orang tuamu, mana mungkin aku membela mereka dan menentang Ouw Kan sendiri, bahkan aku meninggalkan tulisan untuk disimpan orang tuamu agar tulisanku itu mencegah Ouw Kan melakukan serangan lagi."

Bi Lan menghela napas panjang.

"Terima kasih atas semua penjelasanmu, Moguhai. Semua kata-katamu memang benar. Syukurlah bahwa aku belum terlanjur menyerang Ayahmu. Tulisan yang kau tinggalkan kepada orang tuaku memang telah menyelamatkan nyawa Ibuku, akan tetapi tidak menolong Ayahku."

"Hemm......!" Moguhai mengerutkan alis dan mengepal tangannya.

"Apakah Ouw Kan masih berani menyerang Ayah Ibumu?"

Bi Lan mengangguk.

"Bukan dia sendiri, melainkan dua orang muridnya yang mewakilinya. Ayahku tewas dan Ibuku nyaris tewas, hanya terluka dan tidak jadi mereka bunuh setelah mereka melihat tulisanmu yang dibawa Ibuku."

"Bi Lan, siapakah dua orang murid Ouw Kan itu?"

"Ketika aku datang ke rumah Ouw Kan dan berhasil membunuh jahanam itu, dua orang muridnya tidak ada dan menurut keterangan pembantu wanita yang berada di rumahnya, dua orang muridnya itu bernama Bouw Kiang dan Bong Siu Lan."

"Hemm, aku pernah melihat mereka sekali ketika mereka dimintakan pekerjaan sebagai pengawal istana oleh Ouw Kan akan tetapi ditolak Ayahku setelah Ayah mendengar ceritaku tentang sepak terjang Ouw Kan sebagai seorang datuk jahat. Jahanam mereka berdua itu! Aku akan mencari dan menghukum mereka! Berani mereka melanggar laranganku agar jangan mengganggu Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi."

"Tidak perlu merepotkanmu, Moguhai. Aku sendiri yang akan mencari dan membunuh mereka!"

"Sama sekali tidak merepotkan Bi Lan. Ini merupakan kewajiban kami. Dua orang itu adalah orang utara, termasuk orang dari wilayah Kerajaan Kin, maka kalau mereka bersalah, kewajiban kamilah untuk menghukum mereka. Akan tetapi, setelah Paman Han Si Tiong meninggal dunia, bagaimana keadaan Ibumu, Bibi Liang Hong Yi? Aku suka sekali dan hubunganku dengan Ibumu akrab seperti keluarga sendiri."

"Ibu...... ia baik-baik saja," jawab Bi Lan sambil menundukkan mukanya. Hatinya seperti diremas rasanya setiap ia teringat kepada ibunya.

"Apakah Ibumu masih tinggal di dusun Kian-cung dekat telaga See-ouw itu?"

Bi Lan tidak mengatakan apa-apa karena saat itu ia tahu bahwa kalau ia bicara, suaranya gemetar. Ia hanya menggeleng kepalanya sambil menekan dan menenangkan hatinya.

"Ah, kalau begitu Bibi Liang Hong Yi sudah pindah? Ke mana pindahnya? Aku ingin sekali berkunjung dan menghiburnya. Kasihan Bibi Liang Hong Yi......"

"Aku tidak tahu......"

"Ehh? Engkau tidak tahu ke mana Ibumu pindah? Tidak tahu di mana kini ia tinggal? Bagaimana pula ini, Bi Lan?"




"Kami saling berpisah di kota Cin-koan, aku tidak tahu ke mana ia per-gi......"

"Akan tetapi...... mengapa?"

"Sudahlah, Moguhai, aku tidak dapat menerangkan. Pendeknya, kami bertengkar dan aku pergi mencari musuh-musuhku." Ia bangkit berdiri.

"Sekarang aku harus pergi. Terima kasih, engkau telah menyadarkan aku bahwa Ayahmu tidak bersalah. Maafkan kesalah-pahamanku ini." Setelah berkata demikian, Bi Lan berkelebat dan keluar dari ruangan itu dengan cepat bagaikan burung terbang.

"Bi Lan......!" Moguhai yang penasaran berseru mengejar. Akan tetapi Bi Lan sudah melompat ke atas genteng dan melalui wuwungan istana itu ia menghilang di malam gelap.

Moguhai cepat memanggil pengawal dan memberi perintah agar jangan ada perajurit yang menghalangi Bi Lan keluar dari istana.

Pada keesokan harinya Kaisar Kin terkejut mendengar laporan pengawal tentang adanya seorang gadis yang membikin kacau di istana. Moguhai segera menenangkan ayahnya dan menceritakan kepada kaisar dan semua keluarganya tentang Han Bi Lan, puteri Han Si Tiong yang datang hendak membalas dendam atas kematian Ayahnya karena mengira bahwa Ouw Kan diutus oleh Kaisar untuk membunuh keluarga Han Si Tiong.

"Akan tetapi saya telah dapat menyadarkannya dan ia kini tahu bahwa Ayahanda Kaisar tidak bersalah. Malam tadi, setelah kami bicara, ia mau mengerti dan ia pergi dengan damai."

"Hemm, jadi berita tentang dibunuhnya Ouw Kan oleh seorang yang berjuluk Ang I Mo-li (Iblis Wanita Baju Merah) itu...... Han Bi Lan itukah orangnya?"

"Benar, Ayah. Namun ia sama sekali bukan iblis wanita. Ia seorang pendekar wanita yang gagah pekasa!"

"Akan tetapi kami mendengar beberapa waktu yang lalu, Ang I Mo-li ini mengamuk dan membuat cedera para pria bangsawan dan hartawan di kota Cin-koan!"

"Saya juga mendengar akan berita itu, Ayahanda Kaisar. Akan tetapi saya tidak menanyakan hal itu kepadanya. Saya anggap hal itu tidak aneh karena para pria itu memang tidak tahu malu, kotor dan sudah sepatutnya mendapat hajaran agar jangan lagi berani mempermainkan wanita!"

"Ehhh......!" Kaisar tidak mau berbantahan lagi tentang hal itu. Memang telah menjadi kelemahan kaum pria dan dia sendiri pun tidak dapat menyangkal bahwa dahulu dia juga seperti mereka, suka pelesir bersenang-senang di rumah-rumah pelesir.

"Jadi Han Bi Lan telah membalas dendam. Apakah Ouw Kan yang dibunuhnya itu telah membunuh orang tuanya?"

"Bukan Ouw Kan, akan tetapi dia menyuruh dua orang muridnya untuk melakukan itu. Han Si Tiong tewas dan isterinya hanya terluka. Sungguh menyebalkan Ouw Kan itu. Dulu ketika dia menyerang Paman Han Si Tiong, saya dan Souw Thian Liong mencegahnya dan saya telah meninggalkan tulisan kepada Paman Han Si Tiong untuk mencegah Ouw Kan mengganggunya. Akan tetapi tetap saja dia menyuruh dua orang muridnya untuk membunuh Paman Han Si Tiong. Hemm, sama saja dengan dia menantang aku!"

Tiba-tiba saja Kaisar mengerutkan alisnya dan berkata kepada puterinya dengan suara keren.

"Moguhai, mulai sekarang aku melarang engkau bergaul dengan Souw Thian Liong!"

Moguhai terkejut bukan main. Wajahnya sampai berubah pucat mendengar kata-kata yang keras dan wajah Ayahnya membayangkan kemarahan kepadanya itu. Biasanya, ayahnya ini bersikap lembut dan penuh kasih sayang kepadanya, akan tetapi kini ayahnya dengan sikap galak melarang dia bergaul dengan Souw Thian Liong!

"Ayah! Mengapa Ayah berkata begitu?"

"Tidak perlu membantah. Engkau harus mentaati perintah Ayah sekali ini!"

"Ayah tidak adil! Lupakah Ayah bahwa Souw Thian Liong telah membantu kita, menyelamatkan Ayah bahkan membela kerajaan kita?"

"Moguhai, engkau sudah dewasa dan aku mengharapkan engkau berjodoh dengan seorang pemuda bangsa sendiri!"

"Ayah, apakah saya tidak boleh bergaul dengan Souw Thian Liong karena dia seorang bangsa Han? Bukankah Ibu juga seorang wanita Han?"

"Cukup!" Kaisar bangkit dengan marah.

"Ingat, Moguhai! Engkau Puteri istana, Puteri Kaisar. Aku selama ini selalu menuruti kehendakmu. Apakah sekarang engkau tidak mau menuruti kehendakku yang satu ini? Apakah engkau ingin menjadi seorang Puteri istana yang melanggar peraturan dan seorang anak yang murtad kepada ayahnya?" Setelah berkata demikian, Kaisar meninggalkan ruangan itu.

Moguhai juga bangkit dengan marah, akan tetapi ibunya menubruknya karena khawatir anaknya itu akan menjadi lupa diri dan membuka rahasia pribadinya bahwa ia bukan anak kandung Kaisar!

"Sudahlah, Moguhai. Sudah, jangan membantah Ayahmu. Bagaimanapun juga dia seorang yang teramat mencintamu dan semua keinginannya itu bukan karena membenci Souw Thian Liong, melainkan karena tidak ingin engkau berjodoh dengan seorang Han."

"Kalau begitu, Ibu sudah menceritakan tentang perasaanku kepadanya?"

"Benar, dan dia sama sekali tidak setuju. Dia berkeras agar engkau berjodoh dengan bangsa Yucen yang mendirikan Wangsa Kin ini."

"Akan tetapi, Ibu. Mengapa Ayah mempunyai pendirian seperti itu? Bukankah Ayah sendiri juga mengambil Ibu sebagai isterinya?"

"Ketahuilah, Moguhai. Bagi bangsa kita, yang dianggap sebagai keturunan langsung adalah dari ayah. Kalau ayahnya bangsa Yucen, maka anaknyapun bangsa Yucen, tidak perduli isterinya dari bangsa apa pun. Kalau engkau menikah dengan seorang berbangsa Han, kalau kelak mempunyai anak, keturunan itu akan dianggap sebagai bangsa Han dan tidak dapat mewarisi tahta kerajaan. Inilah sebabnya Ayahmu berkeras mengharuskan engkau berjodoh dengan seorang pemuda bangsa Yucen. Bukan sekali-kali dia tidak suka kepada Souw Thian Liong."

"Aku tidak ingin mewarisi tahta kerajaan, juga tidak ingin anakku mewarisi tahta kerajaan! Bagaimanapun juga, aku adalah seorang berdarah Han murni!"

"Hushh, jangan begitu, anakku. Apakah engkau hendak mencemarkan namaku? Apakah engkau hendak melumuri aib kepada Ibumu sendiri?" kata Tan Siang Lin dengan suara gemetar karena ia sudah menangis sesenggukan.

Moguhai menyadari kesalahannya dan ia merangkul ibunya, menciumi ibunya.

"Aduh, ampunkan aku, Ibu. Bukan maksudku untuk...... ah, sudahlah, aku mengaku salah. Akan tetapi, Ibu. Bagaimanapun juga, aku belum ingin menikah dan ingin pergi lagi untuk mencari dua orang murid Ouw Kan itu. Aku harus turun tangan sendiri menghukum mereka!"

Tan Siang Lin mengenal watak puterinya yang keras. Akan percuma saja kalau ia melarang.

"Terserah kepadamu, anakku. Akan tetapi kuminta kepadamu, taatilah perintah Ayahmu. Lupakan Souw Thian Liong dan pilihlah seorang di antara para pemuda Yucen yang meminangmu. Di antara mereka pun terdapat banyak pemuda yang tampan dan baik."

"Aku tidak dapat menjanjikan apa-apa, Ibu. Akan tetapi aku dapat memastikan bahwa aku masih belum memikirkan tentang jodoh. Mengenai Souw Thian Liong, aku sendiri tidak tahu bagaimana perasaannya terhadap diriku, maka tentu saja aku pun tidak akan terlalu memikirkan dia."

Pada keesokan harinya, ketika Kaisar mendengar laporan selirnya yang terkasih, Tan Siang Lin, bahwa Moguhai telah meninggalkan istana lagi, dia hanya menghela napas panjang dan menggeleng-geleng kepalanya. Dia terlalu sayang kepada puterinya itu, maka dia tidak mau melakukan kekerasan melarang ia keluar dari istana setiap saat yang di-kehendakinya. Akan tetapi, tetap saja dia tidak akan menyetujui dan mengijinkan kalau puterinya menikah dengan bangsa Han sehingga cucunya nanti terlahir sebagai orang Han. Semenjak dulu, dia menganggap bangsa Han adalah bangsa yang lemah, sungguhpun dia harus mengakui bahwa ada orang Han yang gagah perkasa seperti Tiong Lee Cin-jin dan lain-lain. Akan tetapi tetap saja kesannya terhadap bangsa Han lemah, hal ini terpengaruh oleh Kaisar Sung yang dianggapnya lemah.

Sementara itu, pagi-pagi sekali Moguhai meninggalkan istana. Tidak ada seorang pun pengawal berani menghalanginya. Ia menunggang seekor kuda putih yang bagus, melarikan kudanya dengan santai keluar kota raja melalui pintu gerbang selatan.

Pagi hari itu hawanya sejuk sekali. Matahari belum tampak, akan tetapi sinarnya telah mendatangkan kehangatan dan memberi penerangan di permukaan bumi. Di jalan raya yang menuju ke pintu gerbang kota raja, hanya ada beberapa orang petani memikul dagangan hasil bumi. Jalan raya itu masih sepi dan Moguhai masih menjalankan kudanya dengan santai.

Seperti biasa, kalau ia keluar dari kota raja dan tiba di daerah yang sepi, di alam terbuka dengan sawah ladang terbentang luas, di mana angin semilir dengan segar dan udara yang amat jernih dapat direguk sepuas-nya, ia merasa seolah dirinya terbebas dari himpitan. Di istana, ia merasa terhimpit, bukan hanya terhimpit oleh bangunan istana yang besar dan tinggi, di mana-mana bertemu dinding, ruangan dan kamar-kamar, bertemu dengan banyak penghuni istana, bukan saja keluarga Kaisar, melainkan lebih banyak lagi dayang, pelayan dan pengawal, akan tetapi juga terhimpit segala macam peraturan yang harus ditaatinya sebagai seorang puteri Kaisar.

Terlalu dihormati dan disanjung-sanjung, dan ia pun harus mengatur tingkah lakunya, mana yang tidak patut dilakukan seorang puteri istana, mana yang seharusnya ia lakukan dan sikap tertentu bagaimana yang harus ia ambil. Terkadang ia merasa jenuh dan muak dengan itu semua! Ia ingin bebas! Tertawa bebas sesukanya tanpa sikap dibuat-buat, bicara keras menurut dorongan hatinya, mengeluarkan pendapat apa saja yang timbul di hatinya, duduk atau berdiri sesukanya dan seenaknya tanpa dikekang peraturan.

Begitu keluar dari kota raja dan berada di alam terbuka, ia merasa bebas, segar dan bahagia bagaikan seekor burung yang baru terlepas dari sangkar emas!

Tiba-tiba ia mendengar derap kaki kuda dari belakang. Ia menoleh dan melihat seorang laki-laki menunggang kuda yang berlari cepat. Moguhai mengerutkan alisnya. Mengganggu ketenangan saja, pikirnya. Akan tetapi ia tidak dapat melarang. Orang itu berkuda di jalan raya, jalan umum dan biarpun ia seorang puteri Kaisar, ia merasa tidak berhak melarang atau menegurnya. Agar orang itu cepat lewat dan ia dapat menikmati keheningan kembali, Moguhai meminggirkan kuda putihnya dan menanti untuk membiarkan orang itu lewat.

Akan tetapi penunggang kuda itu menghentikan kudanya tepat di depan Moguhai! Gadis itu memandang penuh perhatian. Penunggang kuda itu seorang pemuda berusia sekitar duapuluh satu tahun, wajahnya tampan dan pandang matanya lembut, tubuhnya sedang dan melihat pakaiannya, jelas bahwa dia seorang pemuda bangsawan Kerajaan Kin!

Moguhai merasa sudah mengenal wajah pemuda ini, akan tetapi ia lupa lagi di mana dan siapa dia. Pemuda itu menahan kudanya yang masih terengah, lalu melompat turun dan memegang kendali dekat mulut kudanya yang kini tenang kembali. Dia lalu memandang kepada Moguhai dan tersenyum.

"Adinda Moguhai, lupakah engkau kepadaku?"

Moguhai mengerutkan alisnya dan melihat pemuda itu turun dari atas kudanya dan pemuda itu jelas seorang bangsawan, ia pun merasa terikat peraturan sopan santun dan ia pun melompat turun, lalu dengan tangan kiri memegangi kendali kudanya. Mereka saling pandang dan Moguhai bertanya ragu.

"Eh, sungguh aku tidak kenal...... siapakah engkau?"

"Aku Kuang Lin."

"Kuang Lin......? Siapa, ya......?"

"Aih, agaknya engkau sudah lupa sama sekali, akan tetapi biarpun baru bertemu denganmu beberapa kali saja ketika kita masih remaja, aku tidak lupa padamu. Adinda Moguhai, aku adalah putera Pangeran Kuang. Bukankah engkau akrab dengan Ayahku?"

"Ahhh......! Kiranya engkau putera Paman Kuang? Ya, aku ingat sekarang! Bukankah engkau yang menurut Paman Kuang dulu dikirim ke selatan agar mempelajari sastra Han kepada para sastrawan di Kerajaan Sung?"

"Benar! Kita pernah saling bertemu beberapa kali sebelum aku dikirim ke selatan, kurang lebih empat tahun yang lalu."

"Ya, ya, aku ingat sekarang. Ketika itu aku berkunjung ke benteng di perbatasan selatan di mana Paman Kuang bertugas memimpin pasukan. Engkau...... rasanya engkau masih kecil ketika itu, Kuang Lin!"

Pemuda itu tersenyum dan matanya bersinar-sinar. Gadis itu menyebut namanya begitu saja, tanpa tata-cara lagi. Sebetulnya karena dia lebih tua, gadis itu harus menyebutnya kakanda dan dia tadi sudah menyebutnya adinda. Akan tetapi mendengar gadis itu menyebut na-manya begitu saja yang tentu lebih akrab tanpa embel-embel seperti kebiasaan bangsa pribumi Han, dia pun merasa lebih bebas.

"Tentu saja tidak sedewasa sekarang, Moguhai, akan tetapi aku bukan anak kecil lagi ketika itu. Kita sama-sama sudah remaja. Akan tetapi rasanya bagiku tidak banyak berubah sejak dulu, maka dengan mudah aku dapat mengenalmu. Engkau masih tetap mungil dan cantik!"

Pujian begini bagi bangsa Yucen merupakan hal biasa walaupun bagi bangsa pribumi Han mungkin dianggap tidak sopan.

Moguhai tersenyum.

"Selama empat tahun di selatan itu, engkau mempelajari apa saja, Kuang Lin?"

"Ah, bermacam-macamlah, terutama kesusasteraan dan membaca kitab-kitab, terutama Su Si (Empat Kitab)."

"Wah tentu engkau kini menjadi seorang sastrawan besar, Kuang Lin, pantas engkau pandai merayu!"

Kuang Lin membelalakkan matanya, seperti terheran, akan tetapi dia lalu tertawa. Tawanya bebas lepas dan wajahnya menjadi cerah dan tampan sekali ketika tertawa.

"Ha-ha-ha-ha, aku memuji engkau cantik mungil itu kausebut merayu? Ha-ha-ha, agaknya engkaupun sudah ketularan kebiasaan para gadis Han yang menganggap pujian tulus sebagai rayuan. Engkau memang cantik, Moguhai, cantik jelita, bagaimana aku dapat mengatakan lain? Kalau aku bilang engkau jelek, berarti aku berbohong!"

Moguhai tertawa. Boleh juga pemuda ini, pikirnya, dapat mendatangkan suasana gembira. Pemuda terpelajar yang tampaknya lembut ini ternyata lincah dan gembira, seperti Paman Kuang, pikirnya.

"He-he-heh, engkau lucu, Kuang Lin. Mengingatkan aku kepada Ayahmu. Sekarang katakan terus terang, mengapa engkau menyusul aku?"

"Moguhai, rasanya tidak enak kalau kita bicara di tengah jalan begini. Mari kita tambatkan kuda kita di pohon itu dan kita duduk di atas batu-batu di sana itu agar kita dapat bicara dengan leluasa. Bagaimana, tidak keberatankah engkau menerima ajakanku? Sebentar saja kita bicara dan aku akan menjawab pertanyaanmu tadi."

"Baiklah, aku pun tidak tergesa-gesa, Kuang Lin."

Mereka menambatkan kuda mereka pada batang pohon, lalu mereka duduk di atas batu-batu yang terdapat di tepi jalan. Orang-orang yang berlalu lalang mulai banyak. Akan tetapi melihat dua orang muda yang dari pakaiannya jelas merupakan muda-mudi bangsawan itu, para pedagang hasil bumi yang datang dari dusun-dusun itu mengambil jalan di tepi yang berlawanan dan dengan hormat mereka berjalan dengan menundukkan muka, tidak berani memandang. Tidak ada di antara mereka yang mengetahui bahwa dua orang muda itu adalah keturunan bangsawan tinggi, Si Gadis puteri Kaisar dan Si Pemuda putera pangeran yang menjadi panglima besar!

"Nah, sekarang katakan, mengapa engkau menyusul aku dan bagaimana engkau tahu bahwa aku sedang hendak meninggalkan kota raja?"

"Nanti dulu, Moguhai. Maukah engkau lebih dulu mengatakan, bagaimana engkau dapat menduga bahwa aku sengaja menyusulmu?"

Moguhai tersenyum.

"Apa sukarnya? Engkau melarikan kuda terburu-buru dan ketika melihat aku langsung berhenti. Apa lagi artinya kalau bukan engkau sengaja menyusul aku? Hanya aku tidak tahu bagaimana engkau dapat mengetahui bahwa aku keluar kota raja, dan apa maksudmu menyusul aku?"

Pemuda itu menghela napas panjang.

"Sungguh berat bagiku melakukan hal ini, Moguhai. Aku sama sekali tidak berhak mencampuri urusanmu. Akan tetapi aku terpaksa melakukan ini untuk mentaati perintah."

"Hemm, perintah siapa, Kuang Lin?"

"Perintah Ayahku."

"Paman Kuang? Apa urusannya Paman Kuang menyuruh engkau menyusul aku?" Moguhai bertanya, penasaran.

Mendengar suara gadis itu agak ketus, Kuang Lin berkata dengan lembut membujuk.

"Moguhai, engkau tahu betapa sayangnya Ayah kepadamu. Biasanya engkau demikian akrab dengan dia."

"Memang, dia kuanggap sebagai orang tua sendiri atau sebagai guru yang sering kumintai nasihat, akan tetapi urusan pribadiku tidak boleh dicampuri siapapun juga, termasuk Ayahmu atau orang tuaku sendiri sekalipun!"

"Maafkan aku, Moguhai, dan maafkan Ayahku. Sesungguhnya, Ayahku juga mengetahui benar bahwa dia tidak berhak mencampuri urusan pribadimu, akan tetapi dia pun terpaksa menyuruh aku menyusulmu ini, Moguhai."

"Terpaksa? Siapa yang memaksanya?"

"Tidak ada yang memaksanya, akan tetapi dia tidak dapat menolak permintaan Ibumu."

"Permintaan Ibuku? Apa maksudmu, Kuang Lin?"

"Begini, Moguhai, akan kuceritakan semuanya kepadamu. Malam tadi, tanpa disangka-sanka, Ibumu datang berkunjung ke rumah kami. Yang menemuinya adalah Ayahku, Ibuku dan aku sendiri. Dalam pertemuan itu, Ibumu menceritakan kepada Ayahku, bahwa engkau akan meninggalkan istana lagi pada pagi hari ini. Kata Ibumu, Sri Baginda Kaisar dan Ibumu tidak dapat mencegahmu pergi padahal mereka berdua tidak menghendaki engkau pergi. Mereka terlalu sayang kepadamu, Moguhai, dan sudah terlalu sering dan terlalu lama engkau meninggalkan mereka sehingga mereka selalu khawatir akan keselamatanmu. Maklumlah, semua orang tua juga seperti itu perasaannya, apa lagi engkau adalah seorang anak perempuan. Kemudian, Ibumu minta kepada Ayahku agar Ayah suka membujukmu agar engkau tidak pergi meninggalkan istana. Nah, Ayah tentu saja tidak dapat menolak permintaan Ibumu dan Ayah lalu memerintahkan aku untuk menghadang engkau di pintu gerbang selatan karena Ayah menduga bahwa engkau tentu akan merantau ke selatan. Akan tetapi setelah tiba di pintu gerbang, aku terlambat. Ketika kutanyakan kepada perajurit penjaga pintu gerbang, aku diberitahu bahwa engkau telah keluar dari pintu gerbang, menunggang kuda ke selatan. Demikianlah, aku lalu mengejarmu dan untung engkau menjalankan kuda dengan santai sehingga aku dapat menyusulmu. Nah, demikianlah ceritanya mengapa aku menyusulmu, Moguhai. Kalau perbuatanku ini me-nyinggung hatimu dan membuat engkau marah dan tidak senang, aku minta maaf dan aku mintakan maaf untuk Ayahku."

Moguhai menghela napas panjang.

Tidak mungkin ia dapat marah kalau pemuda ini bersikap dan bercerita seperti itu. Pula, ia pun tidak dapat marah kepada Paman Kuang yang sejak dulu dihormatinya. Kuang Lin tak bersalah, juga Paman Kuang tidak bersalah. Apa pun yang dilakukan ibunya, juga ayahnya, menunjukkan bahwa mereka amat menyayangnya, maka usaha mereka menghalanginya pergi meninggalkan istana adalah wajar dan tidak dapat disalahkan.

"Kuang Lin, apakah Ibu juga menceritakan mengapa aku hendak pergi merantau lagi?"

"Tidak, Moguhai. Hal itu pun ditanyakan Ayahku kepada Ibumu, akan tetapi Ibumu menjawab Beliau juga tidak tahu mengapa engkau hendak pergi. Dan sekiranya aku boleh mengetahui, mengapa engkau hendak pergi meninggalkan istana dan membuat Ayah Bundamu bersedih, Moguhai?"

Moguhai memandang ragu. Tentu saja ia tidak mau bercerita kepada siapapun juga tentang persoalan yang dihadapinya, yaitu tentang perjodohan, tentang ia harus berjodoh dengan bangsa Yucen dan tentang ia tidak boleh bergaul dengan Souw Thian Liong.

"Maaf, Moguhai. Aku bukan bermaksud mencampuri urusan pribadimu. Akan tetapi kalau engkau mau menceritakan mengapa engkau hendak meninggal istana, siapa tahu barang kali aku dapat membantumu."

Moguhai tersenyum.

"Bagaimana engkau akan dapat membantuku, Kuang Lin? Baiklah kalau engkau ingin mengetahui. Aku meninggalkan kota raja untuk mencari dua orang yang harus kuberi hukuman berat karena mereka berdua melanggar laranganku dan telah membunuh sahabat yang kuhormati."

"Hemm, begitukah? Siapakah mereka yang berani menentangmu itu? Dan siapa pula yang mereka bunuh?"

"Yang mereka bunuh adalah Paman Han Si Tiong."

"Ah, bekas Panglima Pasukan Halilintar Kerajaan Sung yang gagah perkasa itu? Aku pernah mendengar cerita Ayah tentang Han Si Tiong dan isterinya yang gagah perkasa, bahkan suami isteri itu ikut berjasa menggulingkan Perdana Menteri Chin Kui dari Kerajaan Sung yang korup dan hendak memberontak. Bahkan menurut cerita Ayah, engkau juga membantu Kerajaan Sung menjatuhkan pengkhianat itu."

"Benar, Paman Han Si Tiong itu yang terbunuh sedangkan Bibi Liang Hong Yi terluka. Padahal aku sudah memberi surat kepada mereka untuk memperlihatkan kepada orang-orang yang berani mengganggunya!"

''Siapakah mereka yang begitu jahat?"

"Mereka adalah Bouw Kiang dan Bong Siu Lan, dua orang murid Toat-beng Coa-ong Ouw Kan."

"Hemm, aku tahu siapa Toat-beng Coa-ong Ouw Kan, datuk sesat itu. Bukankah belum lama ini dia telah dibunuh oleh...... yang berjuluk Ang I Mo-li?"

"Benar, Ang I Mo-li itu adalah seorang pendekar wanita, puteri Paman Han Si Tiong. Akan tetapi mendiang Ouw Kan menyuruh dua orang muridnya untuk membunuh Paman Han Si Tiong. Karena Ang I Mo-li tadinya mengira bahwa Ayahanda Kaisar yang mengutus para pembunuh Ayahnya, maka aku sendiri harus membantunya mencari dua orang pembunuh itu. Selain untuk menghukum mereka yang tidak mengacuhkan laranganku, juga untuk membersihkan nama Sri Baginda Kaisar."

"Aku mengerti sekarang dan aku tidak menyalahkan kalau engkau mencari mereka, Moguhai. Kalau begitu, aku akan membantumu, Moguhai!"

Moguhai tertawa.

"He-he-heh, dengan apa engkau akan membantu aku, Kuang Lin? Dua orang murid Ouw Kan itu lihai sekali dan engkau adalah seorang sastrawan! Apakah engkau akan mengalahkan mereka dengan...... menulis sajak dengan huruf-huruf yang indah?"

Pemuda itu tidak marah dan tertawa pula.

"Ha-ha-ha, kalau perlu. Siapa tahu dengan tulisan sajakku mereka akan takluk, Moguhai!"

"Sudahlah, Kuang Lin. Sampaikan terima kasihku kepada Paman Kuang atas perhatiannya dan terima kasih pula kepadamu yang menawarkan bantuan. Aku harus pergi sekarang. Lihat, matahari sudah tampak sekarang!" Tiba-tiba Moguhai melompat ke atas punggung kudanya, melepaskan ikatan kendali dan membedal kudanya sehingga binatang itu meringkik dan lari dengan cepat sekali meninggalkan tempat itu.



JODOH SI NAGA LANGIT JILID 11
"Moguhai......!!" Kuang Lin memanggil, akan tetapi gadis itu telah membalapkan kudanya dan telah jauh, sama sekali tidak menoleh atau menjawab. Kuang Lin berdiri mengikuti bayangan gadis itu dengan matanya, menghela napas panjang lalu dia pun menunggang kudanya, kembali ke kota raja. Dia harus melaporkan kepada ayahnya tentang kegagalan usahanya membujuk Moguhai.

Pulau yang berada di Laut Timur itu terpencil. Dari jauh tampak bentuknya melengkung seperti tubuh seekor udang. Karena bentuknya inilah maka pulau ini disebut Pulau Udang. Sebetulnya pulau itu tidak terlalu jauh dari pantai daratan dan mudah dikunjungi para nelayan. Akan tetapi tidak ada seorang pun nelayan berani berkunjung ke pulau itu, bahkan mendekatinya pun tidak berani. Mereka hanya berani mencari ikan paling dekat dua lie jauhnya dari Pulau Udang.

Semua orang tahu belaka bahwa pulau itu dikuasai seorang yang amat ditakuti. Tocu (Majikan Pulau) itu adalah Tung-sai (Singa Timur) Kui Tong yang dikenal sebagai seorang datuk kang-ouw yang menyeramkan. Setelah setiap orang nelayan berani mendekati pulau itu tewas, maka tidak ada lagi yang berani melanggar batas yang ditetapkan penguasa pulau itu, yakni tidak lebih dekat dari dua lie dari pulau.

Yang tinggal di Pulau Udang adalah Tung-sai Kui Tong dan anak buahya yang bersama keluarga mereka tinggal di pulau itu. Jumlah mereka berikut keluarga mereka ada tiga ratusan orang. Yang menjadi kepala dari keluarga-keluarga itu adalah murid atau anak buah Pulau Udang. Di antara mereka, yang menjadi pengawal pribadi Singa Timur, adalah limabelas orang gagu tuli. Seperti telah diceritakan di bagian depan, tadinya pengawal pribadi ini ada duapuluh orang, akan tetapi lima orang di antara mereka tewas di tangan Can Kok.

Kui Tong yang bertubuh tinggi besar bermuka singa yang menyeramkan, hidup bagaikan seorang raja di pulau itu. Tidak seperti para pria yang memiliki kekuasaan dan kekayaan seperti dia, Kui Tong hanya mempunyai seorang isteri. Padahal pada jaman itu, setiap orang pria yang kaya dan berkuasa, memiliki sedikitnya tiga orang selir di samping isterinya.

Kui Tong mempunyai seorang isteri yang amat dicintanya. Dia berusia enampuluh tahun lebih dan isterinya berusia empatpuluhan tahun, seorang wanita yang cantik dan lembut. Mereka mempunyai seorang anak perempuan yang kini telah berusia delapanbelas tahun bernama Kui Leng Hwa. Gadis ini cantik dan lembut seperti ibunya, akan tetapi ia sama sekali bukan gadis lemah. Sejak kecil ia telah mempelajari ilmu silat dari Ayahnya yang amat mencintainya.

Hari itu menjelang sore dan para anak buah Pulau Udang sudah pulang ke pondok masing-masing setelah melaksanakan pekerjaan sehari-hari mereka. Ada yang menjadi nelayan dan ada pula yang menggarap tanah di pulau itu.

Tiba-tiba semua orang dikejutkan suara menggereng atau mengaum seperti auman singa yang menggetarkan seluruh pulau. Mereka hanya menengok ke arah rumah induk tempat tinggal ketua atau majikan mereka dan tidak ada yang berani bersuara. Mereka merasa gentar sekali karena mengenal bahwa suara dahsyat itu adalah suara majikan mereka yang mengeluarkan auman seperti itu apabila dia sedang marah.

Mereka semua tahu bahwa kalau suara itu dikerahkan dan dipusatkan untuk menyerang lawan, suara itu menjadi ilmu Sai-cu Ho-kang (Auman Singa Sakti) yang dapat merobohkan lawan. Orang yang tidak amat kuat tenaga saktinya, diserang dengan auman ini dapat roboh dan mati seketika karena jantung mereka terguncang hebat! Akan tetapi auman yang sekarang dikeluarkan majikan mereka itu, hanya menggetarkan seluruh pulau dengan gemanya dan tidak mengandung tenaga menyerang, tanda bahwa majikan mereka sedang marah besar.

Di ruangan sebelah dalam rumah besar itu, Kui Tong memang sedang marah bukan main. Dia duduk di atas kursi menghadapi sebuah meja besar. Di sudut kamar, menghadapnya, berdiri seorang wanita setengah tua dan seorang gadis. Dua orang wanita ini cantik jelita dan memiliki bentuk wajah yang mirip satu sama lain. Mereka adalah Nyonya Kui dan puterinya, Kui Leng Hwa. Mereka berdua berdiri dan Leng Hwa merangkul pundak ibunya seolah hendak melindunginya. Mereka berdua sedang menghadapi Kui Tong yang marah-marah.

"Engkau tidak bisa memaksa anak kita yang satu-satunya ini untuk berjodoh dengan keponakanmu yang gila itu! Seekor harimau pun tidak akan mencelakakan anaknya! Apakah engkau hendak menyengsarakan kehidupan Leng Hwa dengan memaksanya menjadi isteri orang gila?" kata Nyonya Kui, suaranya tetap lembut walaupun ia marah sekali.

"Siapa bilang Can Kok gila? Dia menjadi seorang yang sakti luar biasa, maka wataknya menjadi aneh. Akan tetapi dialah harapan kami, Empat Datuk Besar, untuk membalaskan sakit hati kami dan untuk itu, sudah sepatutnya kalau dia menjadi mantuku!" Kui Tong membentak. Dia marah sekali, mukanya yang seperti muka singa itu berubah merah, akan tetapi dia tidak berani menentang pandang mata isterinya karena Datuk Besar yang sesat dan kejam ini tiba-tiba menjadi lemah kalau bertemu dengan sinar mata isterinya. Dia amat mencinta isterinya, lebih dari apa pun di dunia ini!

"Ayah, aku tidak mau menjadi isteri Can Kok. Daripada menjadi isteri orang gila itu, lebih baik aku mati!" Tiba-tiba Kui Leng Hwa berkata dengan tegas.

"Brakkkk!!" Meja itu hancur berkeping-keping ketika Kui Tong menghan-tamnya dengan tamparan tangannya. Dia bangkit berdiri dan matanya mencorong karena marah, memandang kepada puterinya.

"Apa? Engkau bilang lebih baik mati? Kalau begitu matilah!" Dia menyambar sebatang tombak dari rak, yaitu senjata andalannya yang membuat dia disebut Bu-tek Sin-jio (Tombak Sakti Tanpa Tanding) dan siap membunuh puterinya dengan tombak itu.

Akan tetapi tiba-tiba Nyonya Kui menghadang di depannya dan membu-sungkan dadanya.

"Langkahi mayatku dulu kalau engkau hendak membunuh anakku!" Nyonya yang biasanya lembut itu kini menatap wajah suaminya dengan sinar mata bersinar-sinar. Sejenak mereka saling berpandangan. Akan tetapi tidak lama. Kui Tong Datuk Besar yang terkenal sebagai Singa Timur dan yang ditakuti orang-orang di dunia kang-ouw tidak kuat bertahan beradu pandang dengan isterinya yang lembut dan lemah itu. Dia menundukkan pandang matanya.

"Sialan!" Dia menggerutu lalu dia menancapkan tombaknya di lantai. Tombak itu menghunjam lantai sampai setengahnya dan dia lalu meninggalkan ruangan itu dengan muka tunduk.

"Ibu......!" Leng Hwa kini menubruk dan merangkul ibunya sambil menangis. Tadi, di depan ayahnya yang marah-marah dan yang siap membunuhnya, gadis ini tidak tampak gentar dan sama sekali tidak menangis. Akan tetapi setelah ayahnya pergi, ia tidak mampu menahan kesedihan hatinya dan merangkul ibunya sambil menangis.

Mengagumkan sekali sikap Nyonya Kui, wanita yang lembut dan lemah itu. Ia sama sekali tidak menangis, hanya alisnya berkerut dan ia berkata kepada puterinya.

"Sudahlah, Leng Hwa. Mari kita bicara di dalam kamar." Ia mengajak puterinya masuk ke kamar Leng Hwa dan keduanya duduk di tepi pembaringan.

"Nah, sekarang katakan terus terang. Engkau mati-matian menolak kehendak Ayahmu untuk menjodohkanmu dengan Can Kok. Sesungguhnya, apa alasannya? Apakah hanya karena Can Kok itu seperti orang yang miring otaknya?"

"Ibu, bagaimana mungkin aku dapat menjadi isteri seorang yang gila dan mengerikan itu? Dahulu, Can Kok memang seorang pemuda yang baik dan sejak kecil menjadi teman baikku. Akan tetapi setelah dia dilatih oleh Empat Datuk Besar, dia menjadi gila dan mengerikan. Bahkan dia telah membunuh lima orang pengawal tuli gagu dari Ayah. Dulu memang aku tidak menolak ketika Ayah merencanakan untuk menjodohkan aku dengan Can Kok. Akan tetapi sekarang, ah, aku tidak sudi, Ibu."

"Akan tetapi, mengapa engkau memilih mati daripada menikah dengan dia, Leng Hwa?"

"Aku...... aku sudah bersumpah, lbu......"

"Bersumpah?"

"Ya, aku sudah bersumpah tidak akan menikah dan kalau dipaksa lebih baik mati kalau tidak......"

"Ya......?"

"......kalau tidak dengan dia...... ah, Ibu tentu telah tahu"""

"Hemm, engkau sungguh mencinta Ho Lam itu?"

Gadis itu menjadi merah kedua pipinya dan ia mengangguk.

"Dia seorang yang amat baik, Ibu. Dia lembut, bijaksana, dan selalu bersikap menentang kalau ada anak buah Pulau Udang melakukan kekejaman."

Ibunya menghela napas panjang.

"Ya, dia keponakanku dan dia memang lain. Karena wataknya yang bersih dia dibenci oleh Ayahmu dan sekiranya dia bukan keponakanku yang kulindungi, tentu dia sudah dibunuh Ayahmu sejak dulu. Akan tetapi dia yatim. piatu, tiada sanak keluarga......, hanya aku satu-satunya keluarga. Aku adik Ayahnya......"

"Kami sudah berjanji sehidup semati, Ibu. Aku siap hidup sederhana dan seadanya, sebagai isterinya."

Nyonya Kui menghela napas panjang.

"Aku dapat memahami perasaanmu, Leng Hwa, dan aku tidak menyalahkanmu. Aku bahkan setuju sepenuhnya kalau dapat berjodoh dengan Ho Lam. Akan tetapi apakah Ho Lam juga amat mencintamu?"

"Dia sanggup mengorbankan apa saja, bahkan nyawanya untukku, Ibu."

"Hemm. Ayahmu tentu akan mati-matian menentang perjodohanmu dengan Ho Lam."

"Kami sudah mengambil keputusan bulat, ibu. Kami akan nekat dan siap untuk mati di tangan Ayah, kalau Ayah memang tega kepadaku."

"Ayahmu pasti tega. Biarpun dia amat sayang kepadamu, namun dia jauh lebih sayang kepada dirinya sendiri. Tidak ada jalan lain, Leng Hwa. Engkau harus pergi bersama Ho Lam dari pulau ini. Malam ini juga sebelum terlambat!"

"lbu......!"

"Sudahlah engkau harus menurut kata-kataku. Ini jalan satu-satunya. Kalau terlambat, jangan harap engkau akan dapat berjodoh dengan Ho Lam. Ayahmu tidak akan membunuhmu, akan tetapi dia dapat memaksamu. Dia itu licik dan cerdik. Dia dapat menggunakan racun untuk menjebakmu sehingga engkau akan menyerahkan diri dengan rela kepada siapa pun yang dikehendaki Ayahmu. Cepat berkemas! Aku sendiri yang akan mengatur agar Ho Lam bersiap-siap dan menyediakan perahu untuk kalian."

Malam itu Pulau Udang kedatangan seorang tamu yang sudah dikenal oleh semua anggauta Pulau Udang, dan juga ditakuti karena tamu itu pernah membunuh lima orang pengawal Kui Tong yang gagu dan tuli. Tamu itu bukan lain adalah Can Kok. Para petugas jaga tidak ada yang berani menentangnya, bahkan menyambutnya dengan hormat lalu melaporkan kedatangan itu kepada Kui Tong. Mendengar akan kunjungan pemuda itu, dengan girang Kui Tong keluar menyambut.

"Ah, engkau Can Kok? Aku girang sekali engkau pulang!" kata datuk itu sambil tersenyum dengan wajah berseri. Dia merasa bangga kepada Can Kok. Pemuda ini adalah keponakannya, juga muridnya dan kini dia tahu bahwa pemuda ini telah memiliki ilmu kepandaian hebat, lebih tinggi daripada tingkat kepandaiannya sendiri. Sungguh membanggakan sekali untuk memamerkan Can Kok sebagai keponakan dan muridnya!

"Paman," kata Can Kok sambil memberi hormat.

Kui Tong merasa girang bahwa kini Can Kok tidak liar lagi. Agaknya pemuda itu telah mulai terbiasa dan dapat mengendalikan tenaga sakti yang amat dahsyat dalam dirinya, yang membuat dia ketika itu menjadi liar tak terkendali sehingga mengamuk, bahkan membunuh lima orang pengawalnya di Pulau lblis itu. Dia lalu menggandeng tangan pemuda itu.

"Mari masuk, kita bicara di dalam, Can Kok!"

Setelah duduk berdua dalam ruangan, Kui Tong segera bertanya, "Bagaimana hasilnya usahamu mencari dan membunuh Tiong Lee Cin-jin, Can Kok'?"

"Untuk membicarakan itulah aku datang ini, Paman. Aku belum dapat menemukan di mana adanya Tiong Lee Cin-jin. Akan tetapi aku telah bertemu dengan dua orang muridnya."

"Siapa mereka?"

"Mereka berjuluk Pek Hong Niocu dan Ang Hwa Sian-li."

"Ah, aku pernah mendengar nama gadis-gadis tokoh kang-ouw itu! Hemm, jadi mereka adalah murid-murid Tiong Lee Cin-jin? Lalu bagaimana, apakah engkau sudah menangkap atau membunuh mereka?"

Can Kok menggeleng kepalanya.

"Ketika itu aku bertemu dengan Kui Tung."

"Eh? Siapa orang yang namanya mirip dengan namaku itu?"

"Kui Tung adalah murid Suhu Lam-kai (Pengemis Selatan) Gui Lin dan kami berdua bertanding melawan dua orang gadis murid Tiong Lee Cin-jin. Sebetulnya kami sudah hampir dapat menundukkan mereka ketika tiba-tiba muncul sekitar seratus orang pasukan pemerintah. Sayang sekali, Paman. Aku tidak berhasil menangkap atau membunuh mereka."

"Bagaimana tingkat kepandaian mereka?"

"Sudah cukup tinggi. Murid Suhu Lam-kai masih kalah setingkat dibandingkan seorang di antara mereka. Akan tetapi aku masih dapat mengungguli mereka kalau bertanding satu lawan satu. Karena aku belum berhasil menemukan di mana adanya musuh besar kita itu, Paman, maka aku datang untuk minta petunjuk Paman. Dan pula, mengingat bahwa Tiong Lee Cin-jin mempunyai murid-murid lihai, maka setelah kita mengetahui di mana dia berada, agar jangan sampai gagal, sebaiknya Paman dan ketiga Suhu lainnya bersama aku menyerbu agar dia dapat kita bunuh."

"Kui Tong mengangguk-angguk.

"Hemm, memang Tiong Lee Cin-jin memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Engkau benar, Can Kok. Kita semua harus bekerja sama. Aku mengundang See-ong (Raja Barat), Pak-sian (Dewa Utara) dan Lam-kai (Pengemis Selatan) untuk datang dan berkumpul di sini. Siapa tahu di antara mereka ada yang sudah dapat mengetahui di mana adanya Tiong Lee Cin-jin. Kalau sudah diketahui tempat tinggalnya, kita semua beramai-ramai menyerbu ke sana dan membunuhnya. Akan tetapi Sementara itu, aku hendak membicarakan hal yang amat penting denganmu, Can Kok."

Can Kok menatap wajah Paman tuanya.

"Ada urusan apakah, Paman?"

"Begini Can Kok. Engkau sejak kecil telah ikut denganku di sini dan kami semua sudah menganggap engkau sebagai keluarga sendiri. Katakan, Can Kok, bagaimana pendapatmu tentang Leng Hwa, anakku?"

"Hemm, apa maksudmu Paman? Pendapatku tentang Adik Leng Hwa? Ah, mengapa? Ia baik sekali."

"Maksudku, menurut pandanganmu, apakah ia cukup cantik menarik?"

"Wah, Paman ini aneh. Tentu saja Leng Hwa cantik sekali dan menarik. Jarang aku bertemu seorang gadis secantik Leng Hwa!"

"Dan cukup pandai?"

"Pandai dan cerdik."

"Can Kok, begini maksud aku dan Bibimu. Kami ingin menjodohkan Leng Hwa denganmu. Bagaimana pendapatmu?"

Sepasang mata itu mencorong dan terbelalak sejenak, lalu biasa kembali.

"Wah, Paman, tentu saja aku merasa girang sekali! Memang sejak dulu aku merasa kagum kepada Adik Leng Hwa dan alangkah senangnya kalau ia menjadi isteriku!" kata Can Kok dan ucapannya ini saja sudah menunjukkan bahwa sikapnya memang sudah luar biasa. Agaknya dia tidak lagi mempunyai perasaan rikuh terhadap datuk yang menjadi gurunya dan juga pengganti orang tuanya itu.

"Ha-ha-ha-ha!" Tung-sai Si Singa Timur tertawa bergelak dan suara tawanya bergema di pulau itu, menggetarkan hati orang yang mendengarnya.

"Bagus! Bagus sekali!" Dia lalu bertepuk tangan. Ini merupakan isyarat bagi para pelayan yang berada di dalam rumah bahwa majikannya itu memanggil mereka. Seorang pelayan wanita yang kebetulan berada di luar ruangan itu dan mendengar panggilan ini, segera memasuki ruangan dengan sikap hormat.

"Cepat panggil Toanio (Nyonya Besar) dan Siocia (Nona) ke sini!" perintah Tung-sai Kui Tong yang masih menyeringai tanda gembira hatinya.

Tak lama kemudian terdengar langkah kaki lembut dan muncullah Nyonya Kui, memasuki ruangan itu dengan alis berkerut dan sinar mata menunjukkan kegelisahan.

"Mana Leng Hwa? Aku minta ia datang ke sini. Kami ingin membicarakan urusan perjodohannya!"

Can Kok yang melihat bibinya, hanya mengangguk saja tanpa bangkit dari kursinya.

"Bibi, harap undang Adik Leng ke sini, aku sudah merasa rindu padanya," katanya.

Nyonya Kui menekan rasa tidak senangnya dan ia, tidak memperdulikan ucapan pemuda itu, melainkan berkata kepada suaminya.

"Leng Hwa tidak berada dalam kamarnya."

"Eh? Ke mana ia pergi?"

"Aku tidak tahu. Sejak tadi sudah kucari-cari di seluruh ruangan dan taman, akan tetapi ia tidak ada. Dan ketika aku memeriksa kamarnya, aku menemukan bahwa sebagian dari pakaiannya yang baru telah tidak ada."

"Apa? Keparat! Ia minggat?" bentak Tung-sai sambil bangkit berdiri, lalu dia melangkah lebar keluar dari ruangan itu menuju ke kamar puterinya, diikuti oleh Can Kok yang tidak berkata apa-apa.

Nyonya Kui berlari kembali ke kamarnya dan menahan tangisnya.

Setelah tiba di kamar Leng Hwa, Tung-sai menggeledah kamar itu dengan marah-marah. Lalu dia berteriak memanggil pelayan yang biasa melayani puterinya. Pelayan itu, seorang wanita berusia empatpuluh tahunan, masuk dengan tubuh gemetar dan wajah pucat.

"Hayo katakan ke mana Nona pergi!" bentak Singa Timur itu.

"Saya...... saya tidak tahu, Tuan Besar ...... sejak sore tadi Nona mengeram diri dalam kamar dan melarang siapa pun memasuki kamarnya."

"Bodoh! Sejak kapan ia tidak berada di kamarnya?" Si Singa Timur membentak.

"Sa...... saya tidak tahu...... kami semua baru tahu bahwa Nona tidak berada lagi dalam kamarnya ketika Nyonya Besar membuka pintu kamar dan ternyata Nona sudah tidak berada dalam kamar. Kami semua mencarinya akan tetapi Siocia (Nona) tidak dapat ditemukan."

"Keparat! Apa artinya engkau menjadi pelayan kalau begitu? Lebih baik mampus saja!" Si Singa Timur melangkah maju dan hendak membunuh wanita pelayan yang ketakutan dan sudah terkulai dan berlutut saking takutnya itu.

"Jangan pukul ia!" tiba-tiba terdengar bentakan lembut dan Nyonya Kui muncul lalu melangkah menghampiri pelayan itu, menariknya bangun.

"Pergilah ke belakang sana!" katanya, kemudian setelah pelayan pergi wanita itu mendekati suaminya.

"Mengapa menyalahkan orang lain? Kalau anak kita pergi, engkaulah yang menjadi biang keladinya, engkaulah penyebabnya! Engkau memaksanya untuk menikah! Mungkin kini ia telah mati membunuh diri dan engkaulah pembunuhnya! Engkau membunuh anakku......!" Nyonya itu menangis dan Si Singa Timur berdiri bagaikan patung. Hilang semua kegalakan dan kemarahannya, bahkan dia tertegun mendengar kemungkinan anaknya bunuh diri. Bagaimanapun juga, datuk ini amat mencinta puterinya.

Tiba-tiba Can Kok berkata.

"Paman, tidak mungkin orang membunuh diri membawa pergi pakaian-pakaiannya!"

"Ah, benar!" Si Singa Timur seperti sadar.

"Ia tidak bunuh diri, melainkan minggat! Mari kita cari, Can Kok!"

Dua orang itu lalu berlari keluar dari rumah meninggalkan Nyonya Kui yang kembali ke kamarnya dengan kaki gemetar. Ia merasa khawatir sekali. Ia tadi hampir berhasil membuat suaminya percaya bahwa anaknya membunuh diri sehingga tidak akan melakukan pengejaran. Akan tetapi siapa kira, pemuda gila itu yang menyadarkannya dan kini mereka mulai mencari Leng Hwa. Ah, bagaimana kalau mereka sampai dapat menyusul dan menemukannya?

Wanita itu gelisah sekali dan ia menjatuhkan diri menelungkup di atas pembaringannya dan menangis terisak-isak, mengeluh dan memohon kepada Thian (Tuhan) agar puterinya diselamatkan. Ia yang mengatur kepergian Leng Hwa. Diaturnya sejak mulai gelap tadi agar Leng Hwa dan Ho Lam, pemuda putera seorang anggauta Pulau Udang yang sudah tua, dapat melarikan diri dari pulau itu dalam sebuah perahu tanpa terlihat oleh siapa pun.

Tung-sai yang diikuti Can Kok mencari-cari di seluruh pulau, bertanya kepada semua anggauta Pulau Udang. Akan tetapi tak seorang pun mengetahui atau melihat Leng Hwa dan mereka tidak berhasil menemukan gadis itu. Melihat majikan mereka marah-marah mencari Leng Hwa, semua orang menjadi panik dan ikut mencari.

"Paman, aku yakin bahwa Adik Leng Hwa pasti melarikan diri dari pulau dengan menggunakan perahu. Sebaiknya Paman periksa apakah ada perahu yang hilang."

"Ah, engkau benar, Can Kok!" Tung-sai lalu memerintahkan anak buahnya untuk memeriksa kalau-kalau ada perahu yang tidak berada di pulau. Pada waktu malam, biasanya semua perahu pasti ada di pulau. Para anak buah itu dengan gugup melaksanakan perintah dan tak lama kemudian mereka melaporkan bahwa ada sebuah perahu yang hilang, yaitu perahunya Ho Lam.

"Ah, tidak salah lagi, Paman. Pasti si keparat Ho Lam itu yang melarikan Adik Leng Hwa!"

"Hmm, Ho Lam adalah keponakan isteriku. Tentu Ibunya Leng Hwa yang merencanakan ini semua!"

Tergesa-gesa Tung-sai dan Can Kok berlari dari pantai pulau, kembali ke rumah dan dengan kasar Singa Timur itu membuka pintu kamarnya. Isterinya masih menelungkup di atas pembaringan sambil menangis.

Tung-sai mengguncang pundak isterinya. Ketika wanita itu bangkit duduk, dia berkata dengan marah.

"Tentu engkau yang telah menyuruh keponakanmu, si jahanam Ho Lam itu untuk membawa minggat Leng Hwa!"

Wanita itu tiba-tiba menghentikan tangisnya, dengan muka masih basah air mata lalu berkata dengan lantang.

"Benar! Aku yang menyuruh mereka pergi! Habis kau mau apa? Mau membunuh aku? Bunuhlah, aku pun lebih suka mati dari pada menderita batin sengsara menghadapi kekejamanmu!" Wanita itu mengedikkan kepalanya dan membusungkan dadanya, menantang. Si Singa Timur yang biasanya galak itu tertegun melihat isterinya menantang seperti itu.

"Paman, mereka tentu belum pergi jauh. Biar aku mengejar mereka dan membunuh jahanam Ho Lam itu dan membawa kembali Adik Leng Hwa!" Tanpa menanti jawaban, Can Kok sudah berkelebat keluar dari rumah itu.

"Aih, mengapa engkau melakukan ini?" Tung-sai mengeluh sambil menatap wajah isterinya yang amat disayangnya itu.

"Mengapa? Tanyalah kepada dirimu sendiri. Anak kita itu sudah saling mencinta dengan Ho Lam, mereka sudah bersumpah sehidup semati. Akan tetapi engkau hendak memaksanya berjodoh dengan Can Kok itu. Biarlah mereka berdua kabur saja meninggalkan pulau neraka ini, terbang bebas seperti sepasang burung merpati menuju kebebasan dan kebahagiaan. Jangan kejar mereka! jangan ganggu mereka!"

Tung-sai ingin menumpahkan kemarahannya, namun seperti biasa, menghadapi isterinya dia mati kutu.

"Keparat!" Dia memaki seperti kepada diri sendiri lalu dia pun berkelebat lari meninggalkan isterinya yang menangis kembali di atas pembaringannya karena hatinya merasa khawatir bukan main me-mikirkan keselamatan puterinya.

Ketika tiba di pantai pulau, Tung-sai mendengar dari anak buahnya bahwa Can Kok sudah sejak tadi naik perahu kecil meninggalkan pulau. Tung-sai lalu memerintahkan pengawal-pengawalnya yang gagu tuli itu mempersiapkan perahunya dan tak lama kemudian perahunya sudah berlayar meninggalkan pulau untuk ikut melakukan pengejaran terhadap puterinya yang melarikan diri bersama Ho Lam, keponakan isterinya.

Pemuda itu mendayung perahu kecil dengan sekuat tenaga. Dari cara dia mendayung, dapat diketahui bahwa pemuda itu adalah seorang ahli dan juga memiliki tenaga besar. Perahu kecil itu meluncur cepat di permukaan air lautan yang pada malam itu tenang. Hulu perahu yang runcing bagaikan sebatang pedang menusuk dan membelah air. Rambut dan kain pengikat rambut pemuda itu berkibar tertiup angin saking lajunya perahu meluncur. Ketika merasa betapa perahu yang meluncur semakin kuat, pemuda itu menoleh dan dia melihat gadis yang duduk di belakangnya itu ternyata telah menggunakan dayung cadangan untuk membantunya mendayung perahu.

"Hwa-moi (Adik Hwa), engkau tidak perlu membantu, nanti engkau lelah," tegurnya dengan lembut.

"Ah, tidak mengapa, Lam-ko (Kakak Lam). Aku juga terbiasa dan pandai mendayung. Kita lari bersama, harus bekerja sama. Masa engkau bersusah payah mendayung, aku hanya enak-enak saja?"

"Leng Hwa, kalau Ayahmu sudah mengetahui bahwa kita berdua melarikan diri, dia tentu akan mengejar dan akan celakalah kita."

"Aku tidak takut menghadapi segala akibatnya, Lam-ko. Apakah engkau takut?"

"Aku tidak mengkhawatirkan diriku sendiri, untukmu aku rela mengorbankan nyawa sekalipun! Akan tetapi aku mengkhawatirkan keselamatanmu, Hwa-moi."

"Mengapa khawatir, Koko? Apa pun yang terjadi, kita hadapi berdua. Kalau kita harus mati, kita mati berdua! Syukur kalau Thian melindungi kita sehingga kita dapat hidup berdua selamanya."

"Terima kasih, Moi-moi...... kini aku tidak khawatir lagi. Aku berbahagia sekali dan akan selalu berbahagia selama aku bersamamu, hidup ataupun mati."

Kini mereka tidak bicara lagi, melainkan mengerahkan seluruh tenaga dan perhatian untuk mendayung perahu itu ke daratan sana. Sinar lampu kecil-kecil di daratan itu seolah menggapai-gapai agar mereka datang lebih cepat ke sana. Dua orang muda ini memang sudah cukup lama menjalin cinta. Mereka bergaul sejak kecil di pulau itu dan setelah mulai dewasa, mereka saling tertarik dan akhirnya saling jatuh cinta. Akan tetapi, mereka adalah sepasang orang muda yang patut dijadikan tauladan.

Mereka saling mencinta sepenuh hati, merasa kehilangan dan rindu kalau tidak bertemu sehari saja. Akan tetapi keduanya dapat menjaga diri, saling menghormati dan menghargai. Mereka saling menjaga ke-hormatan masing-masing, tidak mau membiarkan diri terseret oleh nafsu berahi. Mereka yakin benar bahwa menjaga kesusilaan dan kehormatan masing-masing sebelum menikah itu merupakan modal batin yang paling berharga dan indah untuk membangun rumah tangga kelak.



Nafsu berahi, seperti nafsu-nafsu lain, bukanlah sesuatu yang buruk, bahkan semua nafsu merupakan anugerah dari Tuhan yang sudah diikutkan manusia sejak dia lahir. Akan tetapi, kalau nafsu berahi yang membawa kepada hubungan badan itu dilakukan oleh mereka yang bukan suami isteri, maka hubungan itu menjadi kotor dan mencemarkan cinta itu sendiri. Akan tetapi, kalau suami isteri yang melakukan, maka hal itu bukan saja wajar, bahkan indah dan bersih dari dosa. Malah dapat dikatakan bahwa hubungan suami isteri tanpa nafsu berahi, adalah tidak mungkin. Sebaliknya hubungan berahi kalau dilakukan oleh bukan suami isteri, adalah kotor dan berdosa!

Cinta kasih yang mengikat hati Ho Lam dan Leng Hwa murni dan bersih dan semua ini berkat pendidikan Nyonya Kui Tong yang memiliki budi pekerti baik, sama sekali berbeda dari suaminya, datuk Si Singa Timur yang kejam itu. Nyonya Kui mendidik puterinya sejak kecil, juga ia mendidik Ho Lam yang menjadi keponakannya itu dengan budi pekerti baik sehingga kedua orang muda itu memiliki batin yang kuat untuk mengekang gairah nafsu mereka sendiri dan dapat membedakan mana cinta dan mana pula cinta berahi.

Dapat dibayangkan betapa lega rasa hati mereka ketika akhirnya perahu mereka tiba di pantai daratan. Bulan sepotong tersenyum di langit cerah. Dua orang nelayan setengah tua yang sedang bersiap-siap untuk keperluan mencari ikan pagi nanti, menghampiri perahu mereka karena tadinya mereka mengira bahwa perahu kecil yang mendarat itu adalah perahu rekan mereka yang mencari ikan di waktu malam. Akan tetapi mereka terheran-heran ketika tiba dekat mereka melihat seorang pemuda dan seorang gadis cantik yang turun dari perahu, sama sekali bukan nelayan! Sepasang orang muda itu pun tidak membawa ikan hasil tangkapan, atau jala dan pancing, melainkan membawa dua buntalan pakaian seperti orang yang sedang melakukan perjalanan.

"Selamat malam, Paman berdua," sapa Ho Lam dengan sopan dan ramah.

"Selamat malam, Kongcu (Tuan Muda) dan Siocia (Nona). Sungguh kami merasa heran sekali. Ji-wi (kalian berdua) datang dari mana dan hendak ke manakah malam-malam begini?" tanya seorang di antara mereka yang bertubuh jangkung kurus.

Tiba-tiba Ho Lam mendapat suatu gagasan yang dia anggap baik dan dapat menyelamatkan mereka berdua.

"Paman berdua, maukah kalian menolong kami yang sedang menderita dan terancam bahaya?"

Dua orang laki-laki setengah tua itu saling berpandangan, lalu yang bertubuh pendek gendut menjawab.

"Sudah menjadi kebiasaan para nelayan untuk saling menolong, Kongcu. Bahaya apakah yang mengancam Ji-wi (Anda berdua) dan bagaimana pula kami dapat menolong kalian?"

"Begini, Paman. Aku dan...... isteriku ini sedang melarikan diri karena terancam akan dibunuh orang jahat yang mengejar kami. Karena itu, kami minta tolong kepada kalian, apabila nanti atau besok atau kapan saja ada orang yang datang bertanya kepada kalian tentang diri kami berdua, harap Paman suka mengatakan bahwa Paman berdua tidak tahu dan tidak melihat kami. Maukah Paman berdua menolong kami begitu? Kami akan memberi imbalan atas pertolongan Paman berdua."

"Aih, kalau cuma begitu tentu saja kami akan menolong Ji-wi, Kongcu dan Siocia. Sama sekali kami tidak mengharapkan imbalan karena kami tidak melakukan apa-apa, hanya mengatakan tidak tahu dan tidak melihat Ji-wi. Jangan khawatir, Kongcu, kami pasti akan ingat dan melaksanakan pesanmu ini," kata yang jangkung kurus.

Ho Lam dan Leng Hwa girang bukan main mendengar jawaban ini.

"Benarkah Paman mau menolong kami?" tanya Leng Hwa.

"Paman betul-betul berjanji akan mengatakan tidak melihat kami?"

Orang tinggi kurus itu mengangguk mantap.

"Tentu, Siocia. Kami berjanji."

"Terima kasih, Paman," kata kedua orang muda itu.

"Nah, kami akan melanjutkan perjalanan kami dan perahu kami ini kami berikan kepada Paman berdua."

Dua orang nelayan itu terbelalak "Wah, kami sungguh tidak minta imbalan, Kongcu!" kata yang jangkung.

"Ini bukan imbalan, Paman. Kami memang tidak memerlukan lagi, maka kami berikan kepada Paman agar dapat dipergunakan untuk menangkap ikan. Kami mohon diri, Paman!" kata Ho Lam dan dia lalu menggandeng tangan Leng Hwa dan diajaknya melangkah cepat meninggalkan tempat itu.

Ho Lam cukup cerdik untuk tidak mengambil jalan melalui jalan umum yang terdapat di situ. Dia membelok ke kiri menyusuri pantai menuju ke arah selatan. Dua orang nelayan itu berdiri bengong sambil mengikuti bayangan dua orang muda itu dengan pandang mata sampai bayangan itu lenyap ditelan cuaca yang masih remang-remang gelap karena matahari agak jauh di ufuk timur, masih terbenam kaki langit di ujung lautan.

Tentu saja dua orang nelayan itu girang bukan main. Mereka merasa seolah menerima harta karun. Perahu bagi mereka merupakan modal untuk mencari ikan. Biasanya, mereka yang tidak mempunyai perahu hanya menjala atau memancing ikan di tepi, memasuki lautan sampai sedalam pinggang. Kini, dengan adanya perahu mereka bisa mencari ikan ke tengah lautan dan hasilnya tentu jauh lebih banyak. Apalagi perahu itu masih baik sekali keadaannya. Mereka merasa seperti bermimpi. Dan untuk mendapatkan perahu itu mereka hanya disuruh tutup mulut. Betapa mudahnya dan betapa besar imbalannya!

Akan tetapi, kegirangan hati mereka itu ternyata tidak bertahan lama. Setelah matahari muncul sebagai bola merah yang amat besar di permukaan air laut sebelah timur, dan selagi kedua orang itu hendak mulai dengan kehidupan baru sebagai nelayan berperahu tiba-tiba sebuah perahu meluncur ke tepi dan Can Kok melompat ke darat lalu menarik perahunya ke atas pantai. Dia melihat dua orang nelayan yang sedang siap menyeret perahu ke air dan sebagai seorang yang sejak kecil hidup di Pulau Udang, tentu saja dia segera mengenal perahu dua orang nelayan setengah tua itu. Itu adalah perahu Pulau Udang! Maka cepat dia menghampiri dua orang itu.

Melihat seorang pemuda tampan berpakaian mewah menghampiri mereka, dua orang nelayan itu memandangnya dan Si Gemuk Pendek segera memberi salam.

"Selamat pagi, Kongcu."

Akan tetapi Can Kok tidak menjawab salam itu dan mengamati perahu mereka.

"Hei!" Dia membentak.

"Dari mana kalian mendapatkan perahu itu?"

"Dari...... dari......" Si Gemuk tergagap.

"Kongcu, ini adalah perahu milik kami sendiri," Si Jangkung menjawab tenang.

"Jangan bohong! Tentu ada dua orang yang memberi perahu ini kepada kalian!"

"Kami...... kami......" Si Gemuk tergagap lagi.

"Terus terang saja, Kongcu. Kami menemukan perahu ini di tepi laut, tidak ada yang punya, maka kami lalu mengambilnya," kata Si Jangkung.

"Tidak perlu bohong! Kalian tentu melihat pemuda dan gadis yang naik perahu ini! Hayo katakan, di mana mereka itu sekarang!"

"Kami tidak melihat mereka, Kongcu. Kami tidak tahu......" kata pula Si Jangkung.

"Hayo katakan di mana mereka! Atau kalian ingin kupukul? Kubunuh?" Can Kok membentak dan sekali tangannya bergerak ke arah perahu itu terdengar suara seperti ledakan keras.

"Brakkkk!" Dan perahu itu pecah berkeping-keping.

Dua orang nelayan itu menjadi pucat dan tubuh Si Gemuk gemetar.

"Sekali lagi, katakan di mana pemuda dan gadis itu berada atau ke mana mereka pergi! Kalau tidak, kalian akan kubunuh!"

"Mereka...... mereka......"

"A Sam, diam kau! Kita adalah orang-orang miskin, tidak mempunyai apa-apa, yang ada hanya kehormatan! Kalau kita melanggar janji, berarti kehormatan pun kita tidak punya!" Si Jangkung membentak kawannya.

"Mampus kau!" Can Kok menggerakkan tangan kirinya. Tangannya itu tidak menyentuh si nelayan jangkung karena jaraknya ada dua meter lebih, akan tetapi tubuh Si Jangkung terpelanting seperti disambar kilat dan dia roboh, tewas seketika dengan muka berubah kehitaman!

Melihat ini, Si Gendut menggigil seperti orang terserang penyakit demam dan kedua lututnya menjadi lemas sehingga dia terkulai dan berlutut.

"Kau! Hayo katakan ke mana pemuda dan gadis itu pergi!" Can Kok membentak.

Si Gemuk Pendek semakin menggigil; "Saya...... saya tidak berani......"

Can Kok menggerakkan tangannya dan telunjuknya menotok tengkuk nelayan gemuk.

Nelayan itu roboh dan bergulingan, merintih-rintih dan mengaduh-aduh, seluruh tubuhnya terasa nyeri bukan main, seperti ditusuk-tusuk dari dalam.

"Aduh......, ampun...... ampun...... aduh......"

"Katakan ke mana mereka!"

Dengan menggigil ketakutan, Si Gemuk menudingkan telunjuknya ke arah selatan.

"Mereka...... mereka tadi berjalan ke arah sana......"

"Engkau tidak berbohong?"

"Tidak, sungguh mati...... mereka berjalan ke arah sana......"

"Baik, aku akan mengejar ke sana. Kalau engkau ternyata berbohong, nanti aku akan kembali untuk mencabut nyawamu!" Setelah berkata demikian, Can Kok lalu berkelebat dan berlari cepat menuju ke arah yang ditunjukkan nelayan gemuk, ke arah selatan.

Nelayan gemuk itu merintih-rintih dan ketika dia memandang ke arah mayat temannya, dia mengerang dan menangis. Dia menoleh ke arah perahu pemberian yang kini hancur berkeping-keping dan rintihannya semakin keras. Dia menangis mengguguk. Betapa rasa senang dalam waktu sebentar saja kini berubah menjadi rasa susah dan sakit. Dia mencoba untuk bangkit berdiri, akan tetapi terkulai kembali karena rasa nyeri yang tak tertahankan. Dia ingin kembali ke kampung, minta pertolongan penduduk, akan tetapi dia tidak mampu bangkit berdiri. Dia mencoba maju sambil merangkak-rangkak dan hatinya penuh penyesalan.

Sahabatnya Si Jangkung itu jauh lebih baik nasibnya, pikirnya penuh penyesalan. Sahabatnya itu mempertahankan kesetiaan akan janjinya sampai mati dan kini sudah mati, tidak menderita lagi dan mati sebagai seorang terhormat!

Akan tetapi dia? Dia telah melanggar janji, dia kehilangan kehormatannya dan kini menderita kesakitan yang lebih hebat deritanya daripada kematian sendiri! Sambil menangis seperti anak kecil nelayan gemuk itu merangkak dengan susah payah.

Tiba-tiba sebuah bentakan yang menggetarkan tanah di mana dia merangkak, mengejutkan hatinya.

"Hai! Katakan di mana dua orang pelarian dan pengejarnya tadi!"

Nelayan gemuk berhenti merangkak, berlutut dan mengangkat mukanya. Dia melihat Tung-sai Singa Timur itu berdiri seperti seorang raksasa di depannya, tangan kanan memegang sebatang tombak, menyeramkan sekali. Biarpun dia tidak tahu apa yang terjadi dan siapa orang-orang yang ditanyakan, namun dia dapat menduga bahwa tentu yang ditanyakan adalah pemuda dan gadis pemberi perahu, lalu pemuda pengejarnya tadi.

"Mereka...... mereka ke sana......" Dia menuding ke selatan.

Tung-sai Kui Tong menendang dan tubuh Si Gemuk itu terlempar jauh lalu jatuh berdebuk ke atas tanah. Akan tetapi dia tidak mengeluh dan tidak merasa nyeri. Dia sudah tidak merasakan apa-apa karena tendangan itu membuat dia tewas seketika!

Setelah memberi isyarat kepada sepuluh orang pengawalnya untuk menunggu di situ, kemudian dia pun berlari cepat ke arah selatan, menyusuri pantai.

"Lam-ko, aku lelah sekali......!" Leng Hwa mengeluh. Biarpun ia juga telah menguasai ilmu silat dan tubuhnya cukup kuat, namun ia tidak pernah berlari-larian sampai sejauh dan selama itu.

Sejak malam tadi, setelah memberikan perahu kepada dua orang nelayan, Ho Lam mengajak ia berlari-lari menyusuri pantai menuju ke selatan. Ketika ada gunung karang menghalang pantai, kekasihnya mengajak ia melanjutkan pelarian mereka mendaki bukit karang yang keras, kasar dan tajam meruncing sehingga sepatunya terobek dan telapak kedua kakinya terasa nyeri. Mereka berlari sampai matahari naik tinggi dan hawa udara mulai panas.

"Baiklah, Hwa-moi. Kasihan sekali engkau! Lihat, di atas sana ada guha. Kita beristirahat di sana melepas lelah."

Mereka berdua mendaki bukit itu ke atas dan tiba di depan sebuah guha yang cukup luas. Kebetulan sekali lantai guha itu kering dan rata. Leng Hwa segera menjatuhkan diri duduk di dalam guha, menjulurkan kedua kakinya dan memijati paha dan betisnya.

Ho Lam duduk di dekatnya, memandang ke arah sepatu yang pecah-pecah itu.

"Aduh, kasihan kedua kakimu, Moi-moi. Bukalah sepatunya. Akan kuperiksa apakah kedua kakimu lecet terluka. Aku membawa obat luka."

Setelah gadis itu mengangguk, dengan hati-hati dan sopan Ho Lam membantu gadis itu membuka kedua sepatunya. Kedua kaki yang berkulit putih halus itu kemerah-merahan, akan tetapi tidak terluka parah, hanya lecet-lecet sedikit. Dengan hati-hati Ho Lam mengoleskan obat luka pada bagian yang lecet-lecet itu, lalu membantu Leng Hwa mengenakan sepatunya kembali.

"Aku haus, Lam-ko."

"Untung aku telah siap tadi dan membawa seguci air dan roti daging (bak-pauw) untuk menahan haus dan lapar," kata Ho Lam dan dia mengambil makanan dan minuman itu dari buntalan pakaiannya.

"Aku tidak lapar, hanya haus, Koko." Leng Hwa lalu minum air dari guci itu dan merasa segar.

"Lam-ko, kita akan pergi ke mana?"

"Rencanaku begini, Hwa-moi. Kita pergi dulu ke kota Cin-le yang sehari perjalanan dari sini. Kalau kita berjalan agak cepat, sore atau paling lambat malam nanti kita akan tiba di sana. Nah, di Cin-le nanti kubeli dua ekor kuda dan kita melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda agar lebih cepat dan tidak terlalu melelahkan."

"Pergunakan perhiasanku untuk membeli kuda, Lam-ko. Aku membawa perhiasan pemberian Ibu di dalam buntalan ini."

"Aku juga membawa semua hasil tabunganku, Hwa-moi. Kalau nanti kurang, baru menggunakan perhiasanmu."

"Akan tetapi ke mana kita akan pergi, Koko?"

"Hwa-moi, kita harus pergi sejauh mungkin dari sini, mengganti nama dan tinggal di sebuah dusun yang terpencil. Kita harus bersembunyi sampai beberapa tahun lamanya karena kalau tidak, kita akan dapat ditemukan Ayahmu. Engkau, mau bukan, hidup di tempat sunyi dalam keadaan melarat sebagai petani sederhana?"

Leng Hwa menatap wajah kekasihnya dengan penuh kepasrahan dan menjawab, "Mengapa engkau masih bertanya lagi, Koko? Apakah engkau belum percaya akan kesetiaanku? Aku dengan senang hati akan menemanimu, hidup bersamamu di manapun juga dan dalam keadaan apa pun juga."

"Moi-moi......!" Ho Lam merangkul dan mendekap kepala gadis itu ke dadanya.

"Aku rela berkorban nyawa untukmu! Aku cinta padamu, Hwa-moi!"

"Aku juga, Lam-ko," kata Leng Hwa lirih dan memejamkan mata dalam dekapan kekasihnya itu, merasa sangat berbahagia.

"Lam-ko, kita beristirahat dulu di sini sampai kedua kakiku sembuh dari rasa pegal dan lelah, ya?"

"Baiklah, Hwa-moi. Akan tetapi jangan terlalu lama. Aku khawatir Ayahmu dapat menyusul kita."

"Kalau hal itu terjadi, aku tidak takut, Lam-ko. Aku siap mati bersamamu."

"Hwa-moi...!" Ho Lam mempererat dekapannya dengan hati penuh kasih sayang dan beberapa lamanya keduanya diam tak bergerak dalam suasana mesra itu.

Mungkin saking lelah dan semalam suntuk tidak tidur, ditambah kelegaan hati dalam dekapan kekasihnya setelah mengalami ketegangan dan kegelisahan semalam, tak lama kemudian Leng Hwa tertidur dalam dekapan, bersandar di dada Ho Lam. Melihat ini, Ho Lam tidak tega untuk membangunkan kekasihnya dan dia bahkan tidak mau membuat gerakan agar Leng Hwa dapat tidur dengan pulas.

Akan tetapi hati Ho Lam mulai merasa khawatir juga setelah lewat tiga jam Leng Hwa belum juga bangun. Matahari sudah mulai condong ke barat. Akan tetapi untuk membangunkan kekasihnya, dia tidak tega.

Tiba-tiba Ho Lam tersentak kaget dan matanya terbelalak memandang kepada Can Kok yang tahu-tahu telah berdiri di depan guha! Can Kok memandang dengan matanya yang mencorong aneh dan bibirnya tersenyum sinis. Karena Ho Lam tersentak kaget Leng Hwa terbangun. Begitu membuka matanya ia juga melihat Can Kok dan cepat gadis itu melompat dan bangkit berdiri.

"Can Kok, mau apa engkau menyusul kami?" Leng Hwa membentak dan dalam kemarahan dan kebencian ia menyebut nama Can Kok begitu saja, padahal dulu ia akrab dengan pemuda itu dan menyebutnya kakak.

"Adik Leng Hwa yang manis, aku diutus Paman Kui Tong untuk membawamu pulang ke Pulau Udang dan membunuh tikus busuk ini!" Can Kok menudingkan telunjuknya ke arah muka Ho Lam yang juga sudah berdiri di dekat Leng Hwa dengan sikap melindungi kekasihnya itu.

"Suheng (Kakak Seperguruan) Can Kok, di antara kita ada pertalian persaudaraan seperguruan dan hubungan antara kita sejak dulu baik. Apakah engkau tidak merasa kasihan kepada kami berdua? Kami saling mencinta dan kami telah bersumpah untuk sehidup semati. Biarkan kami pergi, Suheng, dan kami tidak akan melupakan budi kebaikanmu ini."

Can Kok tertawa. Tawanya aneh, bergelak namun terdengar mengguguk seperti tangis! Ini menunjukkan bahwa hatinya dibakar kemarahan.

"Ha-ha-hu-hu-huk! Engkau telah berkhianat terhadap Paman, engkau harus mati di tanganku. Adik Leng Hwa ini adalah calon isteriku dan engkau berani membawa lari, keparat!"

"Can Kok, aku tidak sudi menjadi isterimu. Lebih baik mati daripada menjadi isteri seorang gila seperti engkau!" Leng Hwa berteriak dengan marah dan nekat.

"Can-suheng, kami tidak ingin bermusuhan denganmu. Kuharap engkau suka meninggalkan kami, kalau tidak kami terpaksa akan melawan mati-matian!" kata Ho Lam yang tahu bahwa tidak mungkin meloloskan diri dari ancaman Can Kok.

"Hemm, tikus busuk, mampuslah!" Can Kok membentak dan menyerang ke depan dengan dorongan tangan kanan ke arah Ho Lam.

Melihat Can Kok menyerang kekasihnya, Leng Hwa melompat ke depan menyambut serangan jarak jauh itu dengan kedua tangannya, melindungi Ho Lam.

"Wuuuttt...... desss ......!" Tubuh Leng Hwa terpental dan jatuh terjengkang.

"Jahanam!" Ho Lam marah sekali melihat kekasihnya roboh. Dia sudah mencabut pedangnya dan menerjang Can Kok dengan nekat. Gerakannya cukup kuat dan cepat. Namun, dibandingkan dengan Can Kok, kekuatannya itu tidak ada artinya sama sekali.

Can Kok tidak mengelak, akan tetapi ketika pedang itu sudah meluncur dekat hendak menusuk dadanya, tangan kanannya menyambar dan tahu-tahu pedang itu telah ditangkapnya. Sekali renggut pedang itu pun pindah tangan. Ho Lam terkejut, akan tetapi Can Kfok sudah menggerakkan tangannya yang menangkap pedang itu dan sekali sentakan, pedang itu membalik dan meluncur seperti anak panah cepatnya ke arah dada Ho Lam! Ho Lam tidak sempat lagi menghindar.

"Capppp......!!" Pedang itu menancap tepat di tengah dada Ho Lam. Pemuda itu terhuyung ke belakang dan roboh telentang.

Leng Hwa yang tadi hanya terjengkang dan kini sudah bangkit berdiri, terbelalak melihat kekasihnya roboh dengan dada ditembusi pedang.

"Iblis jahat, kau...... kaubunuh Lam-ko......!" Sambil menangis Leng Hwa lalu menyerang Can` Kok dengan pedangnya.

Akan tetapi sekali mengibaskan tangannya, pedang itu terlepas dari tangan Leng Hwa dan sebelum gadis itu dapat menyerang lagi, Can Kok sudah memeIuknya dan ia tidak mampu bergerak. Can Kok tertawa dan menciumi muka Leng Hwa yang meronta-ronta.

"Heh-heh, engkau mencinta tikus ini, ya? Nah, biarlah sebelum mampus tikus ini melihat betapa engkau bermesraan dengan aku!"

Can Kok duduk dekat Ho Lam yang belum tewas, yang telentang dengan mata terbelalak dan pedang menancap di dada. Leng Hwa meronta-ronta, akan tetapi Can Kok merobek bajunya dan sengaja hendak pamer mempermainkan gadis itu di depan Ho Lam yang masih belum mati.

Akan tetapi pada saat itu terdengar suara orang menegur.

"Sungguh perbuatan yang terkutuk dan biadab! Engkau ini iblis berwajah manusia!"

Berbareng dengan teguran itu, ada angin menyambar ke arah Can Kok. Can Kok melepaskan tubuh Leng Hwa yang bajunya telah robek, lalu menangkis ke arah angin yang menyambar dari sebelah kanan.

"Wuuuttt...... desss!!" Can Kok terkejut bukan main dan berseru keras sambil melompat jauh ke belakang ketika dia merasa betapa tangkisannya bertemu dengan hawa yang amat kuat sehingga lengannya tergetar.

Mereka saling pandang dengan sinar mata mencorong. Yang menyerang Can Kok tadi bukan lain adalah Souw Thian Liong!

Seperti kita ketahui, Thian Liong berkunjung ke dusun Kian-cung dekat Telaga See-ouw untuk mengunjungi rumah Han Si Tiong. Di sana dia mendengar bahwa Han Si Tiong telah tewas ketika diserang dua orang muda dan bahwa Han Bi Lan telah pulang kemudian bersama ibunya meninggalkan Kian-cung menuju ke kota raja. Dia menduga bahwa ibu dan anak itu tentu pergi ke rumah Panglima Kwee di kota raja karena Han Bi Lan hendak dijodohkan dengan Kwee Cun Ki, putera Panglima Kwee. Setelah bersembahyang di kuburan Han Si Tiong, Thian Liong lalu melanjutkan perantauannya. Kebetulan dia tiba di bukit dekat pantai itu dan melihat Can Kok hendak memperkosa seorang gadis di depan seorang pemuda yang sudah hampir mati. Dia mendengar ucapan Can Kok dan menjadi marah lalu menyerang pemuda gila itu.

Kini mereka saling berhadapan dalam jarak sekitar tiga tombak. Thian Liong segera mengenal pemuda yang menjadi murid Empat Datuk Besar seperti dilihatnya di Pulau lblis dahulu. Sebaliknya, Can Kok tidak mengenalnya dan Can Kok marah bukan main melihat ada orang berani menghalanginya.

"Keparat, siapa engkau berani mencampuri urusanku?" bentak Can Kok. Kalau saja yang berbuat itu orang lain, tentu dia sudah turun tangan membunuhnya. Akan tetapi, dari tangkisannya tadi, dia tahu bahwa pemuda sederhana di depannya ini seorang yang memiliki kepandaian tinggi, maka dia ingin mengetahui siapa orang ini.

"Can Kok, aku bernama Souw Thian Liong."

"Hemm, engkau mengenal namaku?"

"Tentu saja, engkau Can Kok murid Empat Datuk Besar dan engkau telah menguasai ilmu yang amat tinggi. Hanya sayang seribu sayang, ilmu yang tinggi itu kini diperalat iblis yang menguasai dirimu!"

Tiba-tiba terdengar jerit tangis. Dua orang pemuda itu menengok ke arah Leng Hwa. Tadi perhatian mereka sepenuhnya diarahkan kepada lawan sehingga tidak memperhatikan Leng Hwa. Gadis itu juga tidak memperdulikan mereka, melainkan lari menubruk tubuh Ho Lam yang masih telentang hampir mati dengan mata masih terbuka. Mata pemuda itu basah dan dua butir air mata bergulir turun ke atas pipinya ketika dia memandang Leng Hwa.

"......Hwa...... Hwa-moi......" kedua mata itu terpejam.

"Lam-ko...... tidak...... engkau tidak boleh mati sendiri!" Leng Hwa lalu menggunakan kedua tangannya untuk mencabut pedang yang menancap di dada Ho Lam. Darah muncrat dari dada Ho Lam. Leng Hwa menjerit ketika melihat muncratnya darah itu dan ia pun lalu menusukkan pedang itu ke dadanya sendiri sampai tembus lalu terkulai, dan roboh di atas dada Ho Lam. Darah muncrat-muncrat dari dua dada sepasang kekasih itu, bercampur dan membasahi tubuh mereka yang perlahan-lahan menghembuskan napas terakhir.

Thian Liong merasa ngeri dan terharu, juga menyesal bahwa dia tidak mampu mencegah hal itu terjadi. Dia kini memandang lagi kepada Can Kok, pandang matanya tajam penuh teguran.

"Can Kok, lihat itu korban dari kekejianmu! Kamu bukan manusia, melainkan iblis jahat yang harus dibasmi dari permukaan bumi ini!"

"Ha-ha-ha-hu-hu-huk!" Can Kok tertawa seperti tangis mengguguk karena marahnya.




"Souw Thian Liong bocah sombong. Engkaulah yang akan mampus menemani mereka berdua! Haaiiiiikkkk!" Can Kok sudah menyerang dengan amat dahsyatnya. Tangan kirinya yang terbuka menampar dan dari telapak tangannya itu keluar hawa pukulan yang panas dan telapak tangannya berubah menjadi kemerahan. Inilah Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah), ilmu andalan dari Lam-kai Gui Lin, Pengemis Selatan itu.

Akan tetapi Thian Liong yang sudah tahu akan kelihaian Can Kok, dapat mengelak dengan gesit dan dari samping, tangan kirinya membalas dengan tamparan yang mengandung hawa sakti yang kuat pula. Namun Can Kok dapat pula mengelak.

Can Kok yang juga sudah menduga bahwa lawannya ini tidak seperti para lawan yang pernah dihadapinya, melainkan memiliki kesaktian, kini bersilat dengan gerakan yang amat aneh dan setiap gerakan kedua tangan dan kakinya membawa hawa pukulan yang dahsyat. Inilah ilmu silat gabungan dari ilmu-ilmu Empat Datuk Besar menjadi satu. Aneh, dahsyat dan berbahaya karena setiap sambaran tangan atau kaki itu merupakan serangan maut! Bukan saja serangan-serangannya itu kuat, namun juga mengandung hawa beracun yang jahat.

Thian Liong bersilat dengan tenang dan hati-hati sekali. Ketika dia mengintai di Pulau Iblis dan melihat Can Kok, dia sudah tahu bahwa pemuda yang dipersiapkan oleh Empat Datuk Besar untuk membunuh Gurunya, Tiong Lee Cin-jin ini merupakan lawannya yang paling kuat dan berbahaya. Maka kini setelah tanpa disengaja mereka saling bertemu dan bertanding, dia bersilat dengan hati-hati sekali. Dia mengerahkan seluruh sin-kang (tenaga sakti) dan mengeluarkan jurus-jurus yang paling ampuh untuk mengimbangi serangan lawan dengan serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya.

"Haaaaiiikkk......!"

"Hyaaaattt...... blaarrr......!" Untuk kesekian kalinya dua tenaga sakti bertemu di udara dan keduanya terdorong ke belakang. Bahkan dalam hal tenaga sakti, kekuatan mereka seimbang.

Hanya ada sebuah perbedaan yang jauh dalam pertandingan hebat tanpa saksi ini karena dua orang yang berada di situ, Ho Lam dan Kui Leng Hwa, telah menjadi mayat. Perbedaan itu adalah bahwa kalau Can Kok mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyerang dengan maksud membunuh, sebaliknya Thian Liong sama sekali tidak mempunyai niat untuk membunuh. Dia hanya ingin merobohkan dan menaklukkan lawannya saja, tidak pernah mau menggunakan serangan maut.

Ketika mereka terdorong ke belakang sehingga mereka berpisah dalam jarak lima-enam tombak, sebelum mereka bergerak menerjang lagi, tiba-tiba terdengar suara yang amat nyaring sehingga menggetarkan seluruh tempat itu. Suara gerengan seperti auman singa!

Dua orang pemuda itu sudah mengenal suara ini, suara yang dikeluarkan dengan ilmu Sai-cu Ho-kang (Suara Sakti Auman Singa) dari Tung-sai Kui Tong! Kalau Thian Liong yang mendengar ini menjadi terkejut dan gentar, sebaliknya Can Kok merasa girang sekali. Lawannya amat kuat dan munculnya Singa Timur itu tentu saja akan memudahkan dia membunuh Souw Thian Liong.

Si Naga Langit ini sebaliknya maklum bahwa dia tidak akan mungkin dapat menandingi pengeroyokan Can Kok dan Singa Timur. Apalagi kini tidak ada pula yang harus ditolong. Sepasang muda-mudi itu telah tewas dan dia tidak dapat melakukan apa-apa lagi. Maka begitu mendengar auman yang menggetarkan itu, Thian Liong segera melompat dan berkelebat pergi dari situ. Can Kok ragu untuk mengejar seorang diri.

Si Singa Timur muncul dengan tombak di tangan kanannya.

"Paman, mari kita kejar Souw Thian Liong!" kata Can Kok dengan girang. Kalau mereka mengejar berdua, besar kemungkinan mereka akan dapat membunuh lawan yang berat itu.

Akan tetapi Tung-sai tidak menjawab. Dia malah melangkah menghampiri dua tubuh yang bertumpuk di depan guha dan mandi darah itu. Ketika mendapat kenyataan bahwa tubuh yang menindih tubuh lain dan yang mandi darah dan sudah tewas itu adalah Kui Leng Hwa, wajahnya yang merah berubah pucat.

"Tidak......!" Tung-sai Kui Tong menancapkan tombaknya di atas tanah lalu dia berlutut dekat dua tubuh yang tumpang tindih itu. Dia membalikkan tubuh Leng Hwa yang tertelungkup seolah masih tidak percaya bahwa yang mati itu adalah puterinya. Ketika wajah Leng Hwa tampak Tung-sai mendekap mukanya dengan kedua tangannya.

"Tidak......! Leng Hwa...... ah, anakku......!" Tiba-tiba Singa Timur ini bangkit berdiri dan membalikkan tubuhnya menghadapi Can Kok. Wajahnya tampak menyeramkan sekali, matanya mencorong seperti mata seekor singa yang marah.

"Siapa membunuh anakku?" bentaknya.

"Paman, aku berhasil membunuh Ho Lam. Akan tetapi pada saat itu muncul jahanam itu dan kami berkelahi sehingga aku tidak sempat mencegah Adik Leng Hwa membunuh diri."

"Bunuh diri?" Kembali Singa Timur menoleh dan memandang ke arah jenazah puterinya. Pedang itu masih menancap di dada Leng Hwa. Kini dia maklum. Ho Lam terbunuh dan puterinya itu, membela kekasihnya dengan membunuh diri! Tiba-tiba kemarahannya ditumpahkan kepada Ho Lam.

Tung-sai menyambar jenazah puterinya dengan rangkulan lengan kirinya sambil mencabut pedang yang tertancap di dada Leng Hwa, kemudian dia membentak-bentak dengan kalap.

"Engkau membunuh anakku! Keparat, engkau membunuh anakku!" Tangan kanan yang memegang pedang itu bergerak.

"Crak-crak-crakk!" Mayat Ho Lam menjadi empat potong. Leher, pinggang, dan lutut terbabat putus. Sambil menggereng-gereng Singa Timur membuang pedang itu dan mencabut tombaknya, la1u berlari sambil memondong jenazah puterinya, menuju pulang. Dia seolah telah lupa kepada Can Kok. Pemuda ini pun tertawa sinis dan berlari mengejar Singa Timur majikan Pulau Udang.

Kedatangan Tung-sai yang memondong jenazah puterinya di Pulau Udang disambut hujan tangis. Seluruh penduduk pulau itu menangisi kematian Kui Leng Hwa. Nyonya Kui menjerit-jerit dan jatuh pingsan melihat puterinya dibawa pulang sebagai mayat yang berlumuran darah.


JODOH SI NAGA LANGIT JILID 12

"Leng Hwa......, Leng Hwa anakku......!" Nyonya itu menjerit-jerit sambil memeluk dan menciumi anaknya yang sudah menjadi mayat.

Ketika Tung-sai Kui Tong memegang pundak isterinya yang kesetanan itu untuk menghiburnya, tiba-tiba Nyonya Kui membalik kepadanya.

"Engkau......! Engkau yang telah membunuhnya!" Ia membentak dan, matanya terbelalak lebar, rambutnya awut-awutan, kemudian wanita yang lemah ini tiba-tiba menyerang suaminya, mencakar dengan kedua tangannya.

"Tenang......, anak kita membunuh diri, gara-gara si jahanam Ho Lam!" katanya.

"Tidak! Engkau yang membunuhnya! Engkau terkutuk, engkau membunuh anakku!" Wanita itu berteriak-teriak dan menangis, lalu terkulai dan jatuh pingsan. Tung-sai Kui Tong memondongnya dan membawanya ke dalam kamar. Hati datuk yang biasanya keras itu kini bersedih melihat keadaan isterinya dan anaknya. Sekarang baru terasa olehnya betapa dia amat menyayang puterinya sehingga kematiannya mendatangkan luka parah dalam hatinya.

Hati datuk timur itu semakin remuk ketika isterinya siuman dari pingsan lalu mengamuk, menangis dan tertawa. Isterinya mengalami tekanan batin yang demikian hebatnya, membuat pikirannya terguncang dan berubah. Dan yang lebih menyedihkan hati Singa Timur, tiga hari kemudian isterinya itu tewas menggantung diri dalam kamarnya! Hal itu dilakukan di tengah malam, ketika dia sedang tidur nyenyak karena sorenya dia minum arak sampai mabuk.

Tiga orang datuk besar yang lain datang melayat. Setelah upacara penguburan isteri dan anaknya selesai, empat orang datuk itu mengadakan perundingan bersama Can Kok.

Di depan mereka, Can Kok menceritakan tentang kematian Leng Hwa.

"Kalau saja tidak muncul jahanam itu, pasti aku dapat mencegah Adik Leng Hwa membunuh diri. Jahanam itulah yang memberi kesempatan kepada Leng Hwa untuk membunuh diri. Jahanam itulah yang seolah telah membunuh Leng Hwa."

"Can Kok, mengapa engkau dulu tidak cepat membunuhnya agar engkau dapat menyelamatkan Leng Hwa?" Singa Timur bertanya, suaranya bernada menegur.

"Paman, jahanam itu memiliki ilmu kepandaian yang hebat dan ilmu silatnya mengingatkan aku kepada ilmu silat yang dimainkan dua orang gadis yang mengeroyok aku dulu itu. Tentu ada hubungannya antara dia dan kedua orang gadis itu."

"Maksudmu Pek Hong Niocu dan Ang Hwa Sian-li, dua orang murid Tiong Lee Cin-jin itu?"

"Benar, Paman. Aku yakin bahwa dia tentu murid Tiong Lee Cin-jin pula."

"Murid-murid Tiong Lee Cin-jin? Hemm, apa maksud kalian?" tanya Pak-sian (Dewa Utara) Liong Su Kian. See ong (Raja Barat) Hui Kong Hosiang dan Lam-kai (Pengemis Selatan) Gui Lin juga ikut memandang dengan pertanyaan yang sama.

"Secara kebetulan aku telah bertemu dan bertanding dengan Pek Hong Niocu dan Ang Hwa Sian-li......"

"Hemm, aku tahu bahwa Pek Hong Niocu adalah Puteri Moguhai, puteri Kaisar Kin!" kata Pak-sian.

"Dan aku pernah mendengar akan nama Ang Hwa Sian-li. Ia seorang gadis pendekar yang malang melintang di daerah Kerajaan Sung!" kata pula Lam-kai.

"Omitohud, apakah engkau yakin bahwa dua orang gadis itu adalah murid-murid Tiong Lee Cin-jin, Can Kok?" tanya See-ong.

"Tentu saja aku yakin, See-suhu (Guru Barat). Mereka memperkenalkan nama mereka dan juga guru mereka."

"Wah, lalu bagaimana tingkat kepandaian mereka, Can Kok?" tanya Pak-sian.

"Pak-suhu (Guru Utara), mereka cukup lihai, akan tetapi kalau menghadapi seorang dari mereka, aku pasti dapat mengalahkannya."

"Hemm, bagaimana ketika mereka maju berdua? Apakah engkau dapat menandingi pengeroyokan mereka?" tanya Lam-kai.

"Memang berat kalau mereka maju berdua mengeroyokku, Lam-suhu (Guru Selatan), namun aku tidak akan kalah! Ketika itu, aku menghadapi mereka dengan murid suhu Kui Tung, dan kami berdua sudah hampir berhasil mengalahkan mereka, akan tetapi muncul ratusan orang perajurit kerajaan. Terpaksa kami meninggalkan musuh yang terlalu banyak itu."

"Can Kok, ceritakan tentang jahanam yang menghalangimu sehingga engkau tidak sempat mencegah anakku membunuh diri. Siapakah dia? Benarkah dia itu juga murid Tiong Lee Cin-jin?" tanya Tung- sai.

"Dia seorang pemuda, usianya sekitar duapuluh dua tahun. Orangnya biasa saja, pakaiannya juga sederhana seperti seorang petani. Namanya Souw Thian Liong, Paman, dan dari gerakan silatnya ketika kami bertanding, aku melihat persamaan dasar dengan ilmu silat yang dimainkan dua orang gadis murid Tiong Lee Cin-jin itu, Paman. Maka aku hampir yakin bahwa dia juga seorang murid dari musuh kita itu!"

"Omitohud!" See-ong Hui Kong Ho-siang menggeleng-geleng kepalanya yang gundul.

"Kalau manusia sombong itu mempunyai tiga orang murid yang lihai, kedudukannya menjadi kuat. Tentu terlampau kuat kalau dihadapi Can Kok seorang diri!"

"Itulah, maka aku mengajak kalian mengadakan perundingan," kata Tung-sai Kui Tong.

"Kalau kita hanya menyuruh Can Kok mewakili kita untuk menghadapi Tiong Lee Cin-jin seorang diri, tentu saja akan terlalu berat bagi Can Kok untuk menghadapi keparat itu yang dibantu oleh tiga orang muridnya. Akan sulitlah diharapkan hasilnya kalau Can Kok dikeroyok empat!"

"Tak dapat disangkal kebenaran kata-katamu, Tung-sai. Lalu bagaimana baiknya?" tanya Pak-sian dengan suaranya yang melengking tinggi.

"Aku mempunyai usul, Pak-suhu, See-suhu dan Lam-suhu. Seperti yang sudah kusampaikan kepada Paman Tung, cara satu-satunya agar kita berhasil adalah kita harus maju bersama ramai-ramai melakukan penyerbuan ke tempat tinggal Tiong Lee Cin-jin, membunuh dia dan semua muridnya. Akan tetapi sayang, aku belum dapat menemukan di mana dia tinggal."

"Omitohud......! Kebetulan sekali aku mendengar berita bahwa dia kini di Puncak Pelangi, sebuah di antara puncak-puncak Go-bi-san (Pegunungan Gobi)," kata See-ong.

"Bagus kalau begitu, kita beramai-ramai ke sana. Sekali ini kita tidak boleh gagal. Ingat, kalau kita berhasil, bukan saja kita dapat membalas kekalahan kita, akan tetapi aku yakin manusia sombong itu masih menyimpan banyak kitab-kitab langka. Kita dapat memiliki kitab-kitab yang amat berharga itu!" kata Tung-sai.

Ucapan Singa Timur ini disambut gembira oleh rekan-rekannya dan mereka berlima lalu berunding untuk membuat persiapan keberangkatan mereka ke Puncak Pelangi di Pegunungan Go-bi.

Thian Liong yang terpaksa melarikan diri karena merasa tidak akan dapat mengalahkan Can Kok apabila Tung-sai datang membantu, pula karena melihat bahwa dua orang yang harus dilindunginya itu sudah tewas, menghentikan larinya setelah tiba di bawah bukit karang itu. Kemudian dia mengambil jalan memutar untuk mengintai apa yang terjadi di depan guha. Dia melihat Tung-sai memondong jenazah gadis yang ternyata puterinya itu sambil menangis dan pergi dari depan guha. Kemudian Can Kok juga mengikutinya.

Setelah kedua orang itu pergi, barulah Thian Liong kembali ke depan guha dan dia mengerutkan alisnya melihat mayat pemuda itu terpotong menjadi empat.

"Kejam, bukan manusia mereka itu!" gerutunya dan dia pun segera menggali tanah dan mengubur mayat pemuda yang tidak diketahuinya siapa itu. Akan tetapi dia menemukan dua buntalan pakaian pria dan wanita, maka dia dapat menduga bahwa gadis puteri Tung-sai itu agaknya melarikan diri dengan pemuda ini, kemudian dikejar Can Kok dan Tung-sai. Si pemuda tewas di tangan Can Kok dan gadis itu membunuh diri!

Setelah selesai mengubur jenazah yang terpotong-potong itu, Thian Liong lalu melanjutkan perjalanannya. Dia berniat mencari Bi Lan dan ibunya yang pergi ke kota raja untuk melihat apakah dugaannya benar bahwa ibu dan anak itu pergi berkunjung ke rumah keluarga Panglima Kwee dan untuk melangsungkan pernikahan seperti yang direncanakan Panglima Kwee dan isterinya. Dia tidak akan menemui mereka, dan kalau Bi Lan sudah menikah dengan putera Panglima Kwee, dia akan ikut merasa bahagia. Bahagia? Memang ada perasaan tidak enak dan hampa, akan tetapi dia tetap akan merasa bahagia melihat gadis itu mendapatkan suami yang baik dan kehidupannya dengan ibunyanya tenteram dan berbahagia.

Menjelang sore Thian Liong tiba di luar sebuah dusun yang cukup besar. Melihat sawah ladang di luar dusun demikian luas, dengan tanaman yang subur, juga adanya sebuah anak sungai yang airnya cukup banyak dan jernih mengalir di luar dusun, dia dapat menduga bahwa tentu penduduk dusun itu berkeadaan cukup makmur. Kalau sebuah dusun memiliki tanah subur dan air cukup, sudah dapat dipastikan penduduknya tentu hidup makmur, cukup sandang pangan papannya.

Thian Liong mengetahui dari pengalamannya bahwa kebutuhan hidup penduduk dusun tidaklah banyak. Asalkan sebuah keluarga setiap hari dapat makan kenyang, berpakaian utuh dan memiliki pengganti pakaian, lalu memiliki sebuah rumah untuk tidur dan berteduh, walaupun ketiga kebutuhan hidup itu tidaklah mewah, mereka akan merasa cukup makmur! Cukup sandang pangan papan, keluarga sehat, itulah dambaan setiap keluarga dusun.

Akan tetapi dia melihat di luar dusun itu sepi dan setelah agak dekat dia mendengar suara ribut-ribut di dalam dusun. Dia merasa heran dan cepat dia berlari memasuki dusun itu. Pertama-tama yang ditemuinya adalah rumah-rumah yang sama sekali di luar perkiraannya. Rumah-rumah itu sebagian besar hanya merupakan gubuk-gubuk reyot, bukan sederhana lagi akan tetapi lebih tepat disebut miskin, sepantasnya menjadi gubuk para gelandangan. Juga dia melihat beberapa orang anak-anak yang berseliweran di sekitar rumah-rumah gubuk itu berpakaian kotor dan compang-camping seperti pakaian pengemis! Akan tetapi Thian Liong tidak sempat terlalu memperhatikan keadaan yang di luar perkiraannya tadi karena dia sudah lari ke tengah dusun di mana terdapat banyak orang yang berteriak-teriak dan mereka berkumpul di depan rumah-rumah gedung yang mentereng dan mewah!

Sungguh seperti langit dan bumi keadaan deretan gedung yang terdiri dari sepuluh bangunan besar itu. Gedung-gedung itu kokoh dan indah, seperti bangunan rumah-rumah para bangsawan dan hartawan besar di kota-kota, dikelilingi dinding tembok yang dihias patung-patung singa dan binatang lain dan memiliki pintu gerbang besi! Hebatnya lagi, di depan gedung-gedung itu pada saat itu terdapat puluhan orang berbaris melindungi gedung-gedung itu, dan mereka ini mengenakan pakaian seragam seperti perajurit, dengan memegang senjata tombak atau pedang di tangan! Sikap mereka itu galak dan gagah, wajah mereka bengis memandang ke arah kerumunan orang di jalan depan gedung-gedung itu.

Thian Liong memperhatikan mereka yang berkerumun di situ. Tidak kurang dari seratus limapuluh orang yang berkumpul di situ sambil berteriak-teriak. Melihat keadaan mereka, Thian Liong kembali merasa kaget dan heran. Pakaian mereka itu sebagian besar juga kotor dan compang-camping seperti pakaian anak-anak tadi. Hanya belasan orang saja yang berpakaian tidak compang-camping, akan tetapi pakaian mereka juga kotor dan dari kain murah. Dibandingkan pakaian para penjaga rumah itu, sungguh jauh bedanya! Mereka berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan tangan-tangan yang kasar dan kulitnya hitam terbakar sinar matahari, tangan-tangan yang biasa kerja berat.

"Pembesar lalim!"

"Munafik!"

"Penipu!"

Demikian mereka berteriak-teriak dan berdesak-desakan hendak memasuki pintu gerbang sebuah di antara gedung-gedung itu yang berada di tengah. Gedung ini tidaklah semewah gedung-gedung di kanan kirinya, biarpun cukup besar namun tidaklah tampak mentereng.

Akan tetapi barisan penjaga itu menghadang dengan senjata mereka dan seorang kepala pasukan jaga ini membentak, "Mundur semua! Apakah kalian hendak memberontak? Mundur atau kami bunuh kalian yang berani melawan penguasa!"

"Kami tidak memberontak, tidak melawan!" terdengar seorang di antara para penduduk miskin itu berseru.

Suaranya cukup lantang dan dia adalah seorang laki-laki berusia limapuluh tahun lebih yang pakaiannya amat sederhana, walaupun tidak compang-camping. Wajahnya lembut, akan tetapi matanya me-ngeluarkan sinar berapi penuh keberanian.

"Kami hanya menuntut keadilan! Kami minta agar Mo-chungcu (Kepala Dusun Mo) menemui kami dan memenuhi janji-janjinya kepada kami, rakyat dusun Be-san ini!"

"Keparat, engkau yang memimpin pemberontakan ini, ya?" Komandan penjaga itu menggerakkan cambuk di tangannya.

"Tar-tarrr......!" Laki-laki yang bicara lantang tadi melindungi mukanya dengan kedua tangan. Cambuk melecuti tubuhnya dan dia pun terpelanting roboh, bajunya robek tercabik-cabik sengatan ujung cambuk dan tampak darah di sana sini keluar dari kulit yang ikut pecah.

Penduduk yang berkerumun di situ menjadi panik dan mereka bergerak mundur. Komandan gerombolan penjaga itu menyeringai dan melihat wajah para penduduk yang ketakutan, merasa mendapat angin. Dengan bengis dia lalu maju dan mengangkat cambuknya untuk menghajar laki-laki yang sudah roboh itu.

"Mampuslah engkau, pemberontak!" bentaknya. Akan tetapi sebelum cambuknya menyambar ke bawah, tiba-tiba saja cambuk itu direnggut orang. Renggutan itu kuat bukan main sehingga dia tidak mampu mempertahankan cambuk dan tahu-tahu sudah terlepas dari pegangannya dan dirampas orang. Ketika dia membalikkan tubuh dan memandang, ternyata yang merampas cambuknya itu seorang pemuda asing yang berpakaian sederhana. Pemuda itu jelas bukan penduduk dusun Be-san itu karena dia tidak mengenalnya.

"Jahanam busuk, siapa kamu berani merampas cambukku? Hayo kembalikan, cepat!" Dia maju dan hendak merampas kembali cambuknya yang berada di tangan Souw Thian Liong.

Pemuda yang merampas cambuk kepala pasukan penjaga itu adalah Thian Liong. Tadi dia marah sekali melihat perbuatan kepala jaga itu mencambuki orang yang tidak dapat melawan, maka dia lalu merampas cambuk itu. Kini melihat tukang pukul itu memakinya dan hendak merampas kembali cambuknya, Thian Liong menangkis dengan tangan kirinya dan begitu lengan mereka bertemu, tukang pukul itu pun terpelanting roboh.

Dia marah bukan main. Cepat dia bangkit berdiri, mencabut goloknya dan membacok ke arah kepala Thian Liong.

Thian Liong menggerakkan tangan sambil mencondongkan tubuh ke kiri mengelak. Ketika golok meluncur lewat, tangan kirinya menyambar dan dia pun sudah merampas golok penyerangnya. Dengan mudah seperti orang mematahkan sebatang ranting kecil saja, Thian Liong mematah-matahkan golok itu lalu membuang ke atas tanah. Kemudian dia menggerakkan cambuk rampasan itu sehingga terdengar ledakan-ledakan cambuk yang menari-nari di atas tubuh kepala jaga itu. Tukang pukul itu mengaduh-aduh dan roboh menggeliat-geliat, bajunya robek-robek dan berlepotan darah.

Melihat ini, timbul keberanian para penduduk. Mereka berdesakan maju dan dengan wajah beringas mereka hendak mengeroyok komandan jaga yang galak itu. Kalau hal ini dibiarkan, tentu komandan jaga itu akan dihujani pukulan dan tak dapat ditolong lagi. Akan tetapi Thian Liong menghadang dan mengayun cambuknya ke atas sehingga terdengar meledak-ledak.

"Mundur! Ada urusan dapat dibicarakan, tidak perlu menggunakan kekerasan!" bentaknya dan para penduduk itu lalu menghentikan niat mereka menghajar komandan jaga itu. Setelah Thian Liong tidak mencambuki lagi, komandan jaga itu tertatih-tatih bangkit berdiri dan ditolong oleh beberapa orang temannya.

Pada saat itu muncul seorang laki-laki dari dalam gedung. Karena pendapa rumah besar itu lebih tinggi daripada pekarangan, maka semua orang dapat melihatnya, seolah dia berdiri di atas panggung. Kalau tadinya para penduduk itu saling bicara dengan suara riuh, kini mereka berhenti mengeluarkan suara sehingga suasananya hening. Thian Liong sendiri memandang ke arah pendapa dan melihat laki-laki itu melangkah dengan tenang sampai ke tepi pendapa menghadapi orang-orang yang berdiri di pekarangan, di bawah pendapa.

Laki-laki itu sudah tua, sekitar tujuhpuluh tahun usianya. Rambutnya sudah putih semua dan wajahnya mengandung senyuman, sikapnya tampak lembut sehingga Thian Liong diam-diam merasa heran. Kakek ini tampaknya baik hati dan penuh kesabaran. Mengapa kini penduduk ribut-ribut dan dari teriakan-teriakan mereka tadi seolah merasa penasaran dan menuntut? Kakek inikah yang tadi dimaki sebagai pembesar lalim, munafik dan penipu?

Sejenak kakek itu melayangkan pandang matanya kepada semua orang dan kini Thian Liong melihat bahwa di balik kelembutannya, kakek itu memiliki pandang mata yang membayangkan kekerasan hati. Semua penduduk diam dan tampak gelisah. Lalu terdengar suara kakek itu, suaranya juga terdengar lembut namun cukup lantang sehingga terdengar oleh semua orang.

"Hei, para penduduk Be-san. Kalian ini mau apa ribut-ribut di sini? Kalau ada urusan, siapa pun boleh menghadap padaku untuk membicarakannya, bukan ribut-ribut datang ke sini seperti perampok. Kalau kalian menggunakan kekerasan, aku pun dapat memerintahkan para pengawalku untuk membasmi kalian!" Setelah berkata demikian, kakek itu menggapai ke dalam dan muncullah lima orang laki-laki tinggi besar yang berwajah menyeramkan.

"Lihat, kalian semua tahu bahwa Twa-to Ngo-houw (Lima Harimau Bergolok Besar) ini adalah para pengawal pribadiku. Kalau kalian hendak menggunakan kekerasan dan hendak memberontak, aku dapat memberi perintah kepada mereka untuk membunuh kalian!" Kini suara yang lembut itu mengandung ancaman.

Lima orang tinggi besar itu berdiri tegak sambil tersenyum simpul, mengangkat dada dan memandang rendah semua orang yang berdiri di pekarangan.

Laki-laki yang tadi dicambuk berdiri di depan. Dia berseru dengan lantang.

"Mo-chungcu (Kepala Dusun Mo), kami sama sekali tidak ingin memberontak, hanya ingin menuntut hak kami dan menagih semua janji Chung-cu kepada kami beberapa tahun yang lalu. Kami merasa dibohongi!"

"Apa?" Lurah Mo itu membelalakan matanya dan kini wajahnya berubah merah.

"Kamu berani menuduh kami membohongimu? Aku sudah mati-matian berjuang demi kemakmuran desa dan rakyat dan kamu bilang aku berbohong? Pengawal, tangkap pemberontak itu!" Lurah Mo menuding ke arah laki-laki yang menjadi wakil pembicara penduduk dusun itu.

Seorang di antara lima pengawal itu menyeringai dan melangkah maju hendak turun dari atas pendapa, tangannya meraba gagang golok dengan sikap bengis mengancam. Akan tetapi sebelum dia turun, tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu Thian Liong sudah berdiri di depannya.

Ketika Thian Liong menghajar kepala penjaga tadi, Lurah Mo dan lima orang pengawalnya tidak melihat hal itu. Maka kini melihat seorang pemuda asing, bukan penduduk dusun Be-san, tiba-tiba muncul, Lurah Mo membentak marah.

"Hei, siapa kamu berani naik ke sini tanpa kami panggil?"

Sementara itu, lima orang Twa-to Ngo-houw sudah bergerak mengepung Thian Liong dengan sikap mengancam. Thian Liong bersikap tenang saja dan dia berkata dengan suara lantang.

"Saya bernama Souw Thian Liong dan kebetulan saja saya lewat di dusun Be-san ini dan melihat para penduduk hendak menyatakan isi hati mereka kepada Mo-chungcu. Tadi engkau sendiri yang mengatakan bahwa kalau ada urusan, mereka boleh bicara denganmu, akan tetapi mengapa, setelah kini ada yang mewakili para penduduk untuk bicara, malah kau ancam dan hendak menggunakan anjing-anjingmu untuk menggonggong dan menggigit penduduk?"

Tentu saja Lurah Mo marah sekali mendengar ucapan itu. Juga Twa-to Ngo-houw yang disebut anjing-anjing oleh pemuda asing sederhana ini.

"Tangkap bocah lancang mulut ini!" bentak Lurah Mo.

Karena mereka memang marah terhadap Thian Liong, maka tanpa diperintah dua kali, lima orang tukang pukul itu segera menerjang, ada yang menubruk, ada yang mencengkeram, ada yang memukul atau menendang. Agaknya mereka berlima berlumba untuk lebih dulu merobohkan pemuda itu. Para penduduk dusun yang menonton dari bawah pendapa, memandang dengan cemas karena mereka semua tahu betapa lihai dan kejamnya lima orang jagoan andalan Lurah Mo itu.

Akan tetapi, terjadilah hal yang membuat semua orang terperangah. Tiba-tiba tubuh Thian Liong berpusing seperti gasing dan tangannya berubah banyak, membagi-bagi tamparan kepada lima orang penyerangnya.

"Plak-plak-plak-plak-plak......!!" Dan lima orang tinggi besar itu berpelantingan roboh di atas lantai pendapa!

Lima orang jagoan itu sendiri terbelalak, heran dan juga pening. Akan tetapi mereka kini menjadi marah sekali, maklum bahwa pemuda itu bukan seorang lemah. Tanpa menanti komando lagi mereka sudah mencabut golok besar mereka dan kembali mereka mengepung Thian Liong.

"Hemm, orang-orang yang mengandalkan kekuasaan bertindak sewenang-wenang terhadap orang lain adalah siauw-jin (orang berbudi rendah) dan menjadi permainan iblis yang akan menyeretnya ke neraka jahanam!" kata Thian Liong.

"Mundurlah kalian sebelum terlambat dan bertaubatlah!"

Akan tetapi ucapan ini bahkan menjadi minyak yang disiramkan ke api, membuat lima orang itu menjadi semakin marah. Mereka membentak nyaring dan golok mereka berkelebatan, diputar menjadi sinar bergulung-gulung menyelimuti tubuh mereka dan sinar-sinar golok mencuat dan menyambar ke arah Thian Liong!

Thian Liong maklum bahwa lima orang yang menggunakan julukan Lima Harimau Bergolok Besar ini tentu merupakan ahli-ahli golok yang tangguh dan berbahaya, maka dia pun sudah mencabut Thian-liong-kiam (Pedang Naga Langit) dan sekali dia berseru, pedangnya menjadi sinar panjang menyilaukan mata.

"Trang-trang-trang-trang-trang""!!" tampak api berpijar-pijar, disusul robohnya lima orang pengeroyok itu. Kejadian itu berlangsung amat cepatnya, tak dapat diikuti pandang mata dan tahu-tahu ketika semua orang memandang lagi, Thian Liong berdiri santai dan pedangnya sudah kembali ke tempatnya. Lima orang itu mengaduh-aduh, lengan kanan mereka berdarah karena terluka goresan pedang yang cukup dalam pada pangkal lengan kanan. Golok-golok besar mereka berserakan di atas lantai dalam keadaan patah menjadi dua potong!

Pada saat itu dari dalam gedung bermunculan empat orang laki-laki berusia antara tigapuluh sampai empatpuluh lima tahun, dan seorang laki-laki berusia sekitar enampuluh lima tahun. Lima orang laki-laki ini bukan tukang pukul. Pakaian mereka mewah dan mereka berdiri di belakang Lurah Mo dengan wajah pucat pula, seperti wajah Lurah Mo yang pucat dan matanya terbelalak, jerih memandang kepada Souw Thian Liong.

Akan tetapi, agaknya karena sudah banyak pengalaman, Lurah Mo dapat bersikap tenang dan dia lalu berkata kepada Thian Liong dengan suara yang lembut ramah dan membujuk setelah tahu bahwa pemuda ini tidak dapat dilawan dengan kekerasan.

"Souw-sicu (orang gagah Souw), sebetulnya apakah yang kau inginkan? Kalau engkau menginginkan uang, katakanlah berapa kebutuhanmu? Akan kami cukupi. Atau engkau menghendaki kedudukan? Akan kami beri kedudukan yang layak dan terhormat."

"Tidak, Chung-cu, aku tidak butuh apa-apa. Aku hanya minta agar sekarang juga engkau mendengarkan tuntutan rakyat dusun yang kaupimpin ini." Setelah berkata demikian, Thian Liong lalu berdiri menghadapi penduduk dan berkata dengan suara lantang.

"Saudara-saudara sekalian, sekarang bicaralah, ceritakan semua isi hati dan tuntutanmu. Jangan takut, bukalah semua, aku yang menanggung bahwa tidak akan ada orang yang mengganggu kalian!"

Laki-laki yang menjadi juru bicara para penduduk itu lalu melangkah maju dan berkata dengan suara lantang.

"Saya Liu Cin mewakili seluruh penduduk Be-san menyampaikan rasa penasaran dan tuntutan kami kepada Lurah Mo. Beberapa tahun yang lalu, ketika diadakan pemilihan lurah baru untuk dusun ini, Lurah Mo berjanji kepada kami untuk berjuang memajukan dusun dan mendatangkan kemakmuran bagi kami semua. Untuk usaha itu, Lurah Mo mengadakan peraturan-peraturan yang memberatkan kami seperti pajak-pajak, sumbangan-sumbangan, dan lain-lain. Kehidupan kami selama bertahun-tahun menjadi semakin berat. Hasil sawah ladang kami memang subur dan banyak, namun semua itu sebagian besar habis untuk membayar pajak dan sumbangan-sumbangan yang mencekik sehingga kami hidup melarat. Untuk memberi makan semua keluarga pun terkadang kurang, apalagi untuk membeli pakaian dan membetulkan rumah."

"Akan tetapi, bukankah sudah sering kami katakan bahwa untuk mendatangkan kesejahteraan, kita harus prihatin? Bukankah sudah sering kami katakan bahwa ada pribahasa: Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian? Kita berprihatin sekarang ini untuk membangun desa, untuk mempersiapkan kehidupan yang makmur bagi anak keturunan kita?" Demikian Lurah Mo membantah dengan suaranya yang khas, lembut namun lantang.

Tiba-tiba para penduduk menjadi gaduh lagi. Ada yang berteriak-teriak.

"Munafik......!"

"Penipu......!"

Thian Liong mengangkat kedua tangan ke atas.

"Saudara-saudara harap tenang dan dengarkan saja pembicaraan yang dilakukan wakil kalian dan Lurah Mo!" Semua orang lalu diam.

"Itulah yang selalu dikatakan Lurah Mo kepada kami seluruh penduduk dusun. Kami harus prihatin, hidup sederhana seadanya, demi pembangunan dusun, demi kemakmuran anak cucu. Kami menaati semua nasihat dan petunjuknya karena menganggap dia benar-benar berjuang demi kesejahteraan dusun dan penduduknya, akan tetapi apakah kenyataannya? Mungkin Lurah Mo sendiri tidak menonjolkan kekayaannya, akan tetapi lihatlah! Gedung-gedung besar dibangun oleh anak-anaknya dan saudaranya! Itu mereka berdiri di belakang Lurah Mo! Anak-anaknya dan saudaranya menjadi kaya raya, rumah gedung, memiliki ratusan ekor ternak, membeli hampir semua sawah ladang sehingga kami yang terpaksa menjual tanah untuk makan kini hanya menjadi buruh tani. Dan ke mana larinya semua hasil pajak yang kami bayar, semua sumbangan-sumbangan yang amat banyak diambil dari hasil keringat kami? Mana pembangunan untuk dusun ini? Yang ada hanya pembangunan untuk Lurah Mo sekeluarganya yang menjadi kaya raya. Demikian kayanya sampai gandum di lumbung mereka membusuk. Mereka sering mengadakan pesta pora dengan para hartawan dari kota."

Laki-laki berusia sekitar enampuluh tahun yang berdiri di belakang Lurah Mo dan yang mengenakan pakaian mewah itu menjawab dengan suara lantang dan sikap gagah-gagahan.

"Heh, kalian orang-orang bodoh. Jangan menuduh sembarangan dan seenaknya saja! Kami memang kaya raya, akan tetapi kekayaan kami adalah hasil kami berdagang dengan para saudagar di kota!"

Empat orang Iaki-laki yang lebih muda juga berseru marah.

"Itu betul! Kami berdagang dan apa salahnya menjadi kaya karena keberhasilan kami berdagang?"

"Kalian hanya iri karena kalian tidak becus mencari uang! Karena kalian ini orang-orang desa yang bodoh! Kalau kami menjadi kaya karena pandai berdagang, dan kalian miskin karena kalian bodoh dan tidak becus, mengapa mau menyalahkan kami?"

Mendengar alasan-alasan keluarga lurah itu, kembali terjadi kegaduhan dan sekali lagi Thian Liong mengangkat kedua tangan ke atas.

"Tenanglah, biarlah wakil kalian yang bicara!"

Setelah suasana menjadi hening, wakil pembicara penduduk itu lalu berkata lagi dengan, lantang.

"Kami semua sudah mendengar ucapan keluarga Mo, putera-puteranya dan saudaranya. Jadi kalian menjadi kaya raya karena pandai dan berdagang sedangkan kami menjadi miskin karena bodoh? Memang kami akui, kami bodoh karena mudah saja dibodohi kalian. Kami masih ingat, ketika Lurah Mo dan keluarganya, anak-anaknya, saudaranya, dahulu sebelum Lurah Mo menjadi lurah, kalian semua tidak ada bedanya dengan kami! Kalian dulu juga hanya orang desa, kalian juga dulu miskin tidak punya apa-apa. Akan tetapi setelah Lurah Mo menjadi lurah di sini, kalian menjadi pedagang dan tuan tanah yang kaya raya dan berlebih-lebihan. Coba terangkan, dari mana kalian mendapatkan itu semua? Darimana kalian mendapatkan modal untuk berdagang secara besar-besaran, membeli ratusan ekor hewan ternak dan tanah yang luas sekali?"

Empat orang anak lurah dan seorang saudaranya itu menjadi pucat wajahnya dan tidak mampu menjawab, kini mereka semua memandang kepada Lurah Mo seolah minta pertolongan agar Sang Lurah yang menjawab. Melihat enam orang itu diam saja, mulailah penduduk ramai lagi saling bicara dan kata-kata keras dilontarkan mereka kepada keluarga itu.

Thian Liong mengangkat tangannya minta agar semua orang tenang, kemudian dia berkata kepada sang Lurah.

"Mo-chungcu, silakan menjawab pertanyaan mereka. Dari mana keluargamu itu mendapatkan uang begitu banyak untuk dipakai modal berdagang? Kalau kalian tidak mau menjawab terus terang, terpaksa aku akan membiarkan para penduduk ini menggunakan kekerasan dengan cara mereka sendiri!"

Wajah Lurah Mo menjadi pucat dan wajahnya kini tampak lebih tua daripada biasanya. Berulang kali dia menghela napas panjang, memandang kepada anak-anak dan saudaranya, lalu berkata, "Mereka mendapatkan...... dari...... dari aku......"

Wakil pembicara para penduduk itu cepat bertanya lantang.

"Dan engkau mendapatkan uang demikian banyaknya itu darimana, Mo-chungcu?!?"

"Dari...... dari penghasilan kelurahan......!"

Thian Liong merasa betapa dadanya panas mendengar ini semua. Jelaslah baginya bahwa kepala dusun ini telah mempergunakan kesempatan selagi dia berkuasa di dusun itu untuk memperkaya diri sendiri dan keluarganya, tanpa memperdulikan penduduk yang hidupnya di bawah garis kemiskinan, padahal seluruh harta yang mereka miliki itu berasal dari hasil perahan keringat penduduk dusun Be-san. Maka, setelah mengerti dengan jelas permasalahannya, Thian Liong kini mewakili penduduk dan bertanya dengan suara mengguntur.

"Mo-chungcu, penghasilan kelurahanan yang kaumaksudkan itu adalah hasil tarikan pajak dan sumbangan dari penduduk, sebagian besar hasil sawah ladang mereka dan dari tanah mereka yang terpaksa dioperkan kepadamu karena kekurangan makan. Begitukah? Tidak perlu berbohong lagi, jawablah!"

Mo-chungcu tidak dapat mengeluarkan suara, hanya mengangguk-angguk.

"Mo-chungcu, engkau telah menyalahgunakan kekuasaanmu untuk memperkaya diri sendiri dan keluargamu, tanpa memperdulikan rakyat dusun ini! Seluruh harta kekayaanmu dan keluargamu berasal dari hasil sawah ladang yang disiram keringat para penduduk. Sadarkah engkau akan hal itu?"

Kembali Lurah itu mengangguk. Dan dia tampak lemah sekali, tubuhnya menggigil, mukanya pucat. Kemudian dia terhuyung-huyung lalu tangannya bergerak, telunjuknya menuding ke arah empat orang anaknya dan seorang saudaranya itu sambil berkata, "Kalian...... bodoh...... kalian terlalu pamer......" Dia lalu terguling roboh ke atas lantai dan ketika diperiksa, ternyata Lurah Mo telah tewas. Mungkin rasa takut, malu, dan tegang telah menekan jantungnya dan menewaskannya.

Thian Liong tidak mau kepalang tanggung dalam menolong penduduk dusun Be-san itu. Dia bermalam di situ beberapa hari lamanya dan melakukan pembenahan. Atas keputusan orang-orang yang dianggap menjadi sesepuh dan pemuka di dusun itu, setelah mengadakan musyawarah, lalu diputuskan bahwa semua harta kekayaan Lurah Mo dan semua keluarganya, sanak kerabatnya yang kebagian harta tidak halal itu, disita oleh kepala dusun dan para pembantunya yang baru atas pilihan rakyat.

Harta sitaan itu dipergunakan untuk memperbaiki rumah-rumah penduduk, dan untuk pembangunan dusun yang diperuntukkan kesejahteraan penduduk. Sawah ladang penduduk dikembalikan kepada pemilik lama. Rumah besar itu menjadi rumah kelurahan dari lurah yang baru, dan rumah-rumah gedung yang tadinya milik para putera dan saudara mendiang Lurah Mo, kini menjadi gedung-gedung yang dipergunakan untuk penduduk melakukan berbagai kegiatan kesenian dan lain-lain.

Akan tetapi, atas usul Thian Liong yang dianggap sebagai pahlawan dan penolong penduduk Be-san, keluarga mendiang Lurah Mo tetap diperbolehkan tinggal di Be-san dan menempati rumah yang tidak banyak bedanya dengan perumahan penduduk. Mereka disadarkan dan mengakui bahwa selama ini mereka dibutakan oleh pengaruh harta dan kekuasaan. Setelah hidup sebagai penduduk biasa, sederajat dengan para penduduk lainnya, mereka malah merasa tenteram dan damai. Para tukang pukul yang memiliki kekejaman diusir dari dusun itu dan bagian keamanan dusun diserahkan kepada para pemuda.

"Dengar baik-baik," kata Thian Liong ketika hendak meninggalkan dusun itu.




"Kalian seluruh penduduk harus bersatu padu bergotong-royong saling bantu, bersama-sama menghadapi dan menentang kekuasaan yang sewenang-wenang hendak menindas kalian. Sama sekali bukannya jahat dan tidak boleh untuk menjadi orang berharta, asalkan harta itu didapatkan dengan cara yang wajar dan baik, bukan hasil pemerasan, pencurian, atau penipuan. Yang kaya membantu yang miskin, yang miskin juga dibutuhkan yang kaya. Kaya maupun miskin tidak mungkin hidup menyendiri tanpa bantuan orang lain. Ingatlah kata-kata bijaksana. Guru Besar Khong Cu :

Se-hai-ce-nei-cai-syung-ti-ye (Di empat penjuru lautan semua adalah saudara).

Karena itu kita harus tolong menolong seperti saudara, jangan berpesta pora di depan orang-orang yang kelaparan, jangan bermewah-mewah, berfoya-foya di depan orang-orang yang miskin dan papa."

Setelah memberi nasihat kepada penduduk, dan berpamit kepada lurah baru dan para pembantunya, Thian Liong juga meninggalkan pesan kepada mereka, terutama kepada lurah baru itu.

"Ingatlah selalu bahwa kedudukan kalian ini diberi oleh rakyat dusun ini. Kalian dapat menjadi pemimpin karena mereka yang memilih dan menentukan. Kalian dipilih untuk mengatur dusun ini agar rakyatnya hidup sejahtera. Tanpa rakyat dusun ini, kalian ini bukan apa-apa. Karena itu, bekerjalah sebaik mungkin demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Kalau kalian menjadi penguasa yang bijaksana dan mencinta rakyat, tentu rakyat akan mencinta kalian dan kalau sudah begitu, setiap perintah dan petunjuk kalian pasti akan ditaati dan dilaksanakan rakyat dengan senang hati dan patuh. Bukannya tidak boleh seorang penguasa hidup makmur, bahkan sudah sewajarnya seorang pemimpin hidup berkecukupan sebagai imbalan jasanya menyejahterakan rakyatnya, dan sudah menjadi kewajiban rakyatnya membagi sebagian dari penghasilannya kepada para pimpinan sebagai imbalan jasa. Akan tetapi sama sekali tidak benar kalau para pemimpin lain mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan cara yang tidak wajar. Janganlah diulang lagi kesalahan pemimpin seperti yang sudah. Keluarga sendiri menumpuk harta sampai berlebihan, sedangkan sebagian besar rakyatnya hidup miskin sekali, padahal merekalah yang telah memilih pemimpin mereka. Penguasa seperti ini, yang mengandalkan kekuasaan dan mencari kesempatan memperkaya diri sendiri, bersenang-senang dan menari-nari di atas kepala rakyatnya, pasti tidak akan diberkati Thian dan akan terkutuk sehingga akhirnya mencelakakan diri dan keluarganya sendiri."

Setelah memberi banyak nasihat, Thian Liong lalu meninggalkan dusun Be-san dan melanjutkan perjalanannya menuju kota raja Lin-an (Hang-chouw), yaitu kota raja Sung Selatan.

Thian Liong melakukan perjalanan menuju Lin-an. Hatinya masih merasa risau dan pilu kalau dia memikirkan Bi Lan, yang sudah berbulan-bulan meninggalkan dusun Kian-cung dekat Telaga Barat. Dia merasa iba kepada gadis itu, juga merasa bersedih mendengar akan kematian Han Si Tiong. Mudah-mudahan saja dugaannya benar bahwa Bi Lan dan ibunya pergi ke kota raja Lin-an, ke rumah keluarga Panglima Kwee dan mungkin kini telah menjadi isteri Kwee Cun Ki, putera Panglima Kwee dan hidup berbahagia di kota raja. Kalau sekiranya dibutuhkan, dia akan membantu gadis itu mencari para pembunuh ayahnya.

Ketika dia memasuki wilayah kota raja, dia mendengar berita tentang Ang I Mo-li (Iblis Betina Baju Merah) yang mengamuk di kota-kota besar, terutama di kota Cin-koan. Menurut kabar itu, Ang I Mo-li ini mengamuk, menghajar banyak laki-laki bangsawan dan hartawan yang sedang bersenang-senang di rumah-rumah pelesir. Wanita itu kabarnya amat lihai dan para laki-laki hidung belang itu ia lukai dan diberi cacat mukanya, akan tetapi tidak dibunuh. Rumah-rumah pelesir itu dirusak. Agaknya wanita itu mendendam dan membenci para pria yang suka berkeliaran dan bersenang-senang di rumah-rumah pelesir itu! Sungguh aneh, pikirnya.

Ketika dia mencari keterangan lebih lanjut dan mendengar bahwa Ang I Mo-li itu selain lihai juga masih muda dan cantik jelita, pikirannya melayang dan membayangkan Han Bi Lan. Gadis itu juga selalu berpakaian merah! Apakah Ang I Mo-li, Si Iblis Betina Baju Merah itu Han Bi Lan? Akan tetapi kalau benar, mengapa gadis itu mengamuk di rumah-rumah pelesir dan membikin cacat para pria yang berpelesir di situ? Rasanya tidak masuk akal. Apa hubungannya Han Bi Lan dengan mereka yang berpelesir? Ayahnya dibunuh seorang pemuda dan seorang gadis, demikian menurut penjaga rumah Han Si Tiong yang telah ditinggalkan keluarga itu. Akan tetapi kalau memang Ang I Mo-li itu Han Bi Lan, mengapa ia membenci para pria yang berada di rumah pelesir? Apakah dua orang pembunuh Han Si Tiong itu ada hubungannya dengan rumah pelesir? Hal ini meragukan hati Thian Liong. Kalau begitu agaknya Si Iblis Betina Baju Merah itu bukan Han Bi Lan.

Thian Liong melamun dan membayangkan wajah Han Bi Lan. Terbayang olehnya betapa Han Bi Lan mati-matian membelanya ketika dia difitnah dan hendak menerima hukuman dari para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai karena fitnah yang ditimpakan kepadanya oleh Cia Song. Kemudian betapa dia yang ketika itu merasa penasaran dan marah kepada gadis yang mencuri kitab untuk Kun-lun-pai dari tangannya itu, dia tampari pinggulnya sampai sepuluh kali seperti yang dia janjikan dalam hatinya.

Sejak pertemuan terakhir itu, setahun lebih telah lewat. Pada pagi hari itu, Thian Liong menuruni sebuah bukit di puncak di mana dia melewatkan malam yang dingin. Tidak tampak dusun di sekitar bukit itu. Akhirnya dia menemukan jalan umum yang kasar dan dia ingat bahwa jalan ini menuju ke kota raja di sebelah timur, walaupun masih sekitar sehari penuh perjalanan dari tempat itu ke kota raja.

Jalan umum itu memasuki sebuah hutan yang lebat. Matahari pagi hanya mampu menyusup di antara daun-daun yang rimbun sehingga membentuk sinar-sinar putih menembus keremangan hutan. Indah sekali pemandangan itu. Thian Liong merasa seperti dalam dunia yang aneh dan asing, berjalan melalui berkas-berkas sinar putih itu.

Sunyi bukan main di jalan itu, tak tampak seorang pun manusia. Akan tetapi suasananya cukup riang dengan adanya kicau burung-burung yang berloncatan di dahan dan ranting pohon. Tiba-tiba Thian Liong berhenti melangkah. Di antara suara kicau burung-burung itu, dia mendengar suara lain yang aneh. Isak tangis tertahan! Dia memejamkan mata mengerahkan pendengarannya.

Tak salah lagi. Ada orang menangis dengan isak ditahan-tahan. Agak jauh dan lirih, namun pendengarannya yang tajam dapat menangkap suara itu dan dia lalu melangkah perlahan dan hati-hati menuju ke arah suara. Dia tidak ingin mengganggu orang yang sedang menangis itu, hanya ingin melihat apa yang terjadi maka dia berjalan perlahan agar jangan sampai diketahui orang yang sedang menangis dan dia hampiri.

Tak lama kemudian dia melihat seorang gadis duduk bersandar pada batang pohon dan dia menutupi mukanya dengan kedua tangan. Ia menangis terisak-isak akan tetapi jelas bahwa ia menahan agar tangisnya tidak terlalu nyaring.

Jantung dalam dada Thian Liong berdebar keras, hatinya merasa tegang sekali. Melihat bentuk tubuhnya, gadis itu masih muda dan pakaiannya serba merah muda! Han Bi Lan? Ah, dia tidak dapat melihat mukanya, maka dia masih ragu, tidak yakin apakah gadis itu Han Bi Lan. Seingatnya, gadis itu lincah jenaka galak dan bukan model wanita yang cengeng. Akan tetapi mengapa kalau gadis itu Bi Lan ia menangis, dan lebih aneh lagi mengapa ia berada di hutan ini seorang diri? Semestinya ia berada di kota raja Lin-an bersama ibunya!

Dengan hati-hati Thian Liong menghampiri dan dia sengaja batuk-batuk setelah berdiri dalam jarak sekitar tiga tombak dari gadis itu.

"Ugh-ugh-ugh......!"

Tiba-tiba gadis itu menghentikan tangisnya, menggunakan kedua tangan menggosok kedua matanya untuk menghapus sisa air mata lalu menurunkan kedua tangan memandang. Dua buah mata bintang menatapnya dengan tajam dan Thian Liong terbelalak.

"Kau...... eh, kau...... Nona Han Bi Lan......?"

Gadis itu memang Han Bi Lan. Sama sekali tidak pernah diduganya seujung rambutpun bahwa orang yang dicari-carinya selama ini, orang yang membuatnya mengertakan gigi saking gemas dan penasaran, membuat hatinya panas sekali setiap kali mengingatnya, tahu-tahu kini berada di depannya!

Kalau tahu bahwa Souw Thian Liong datang, sudah pasti ia tidak akan memperlihatkan tangisnya. Ia merasa malu bukan main telah dilihat orang bahwa ia menangis, apalagi yang melihatnya adalah Souw Thian Liong! Perasaan malu ini bagaikan minyak dituangkan ke dalam api, membuat hatinya menjadi semakin bernyala panas! Ia segera meloncat bangkit berdiri dengan cekatan sekali dan kini mereka berdiri saling berhadapan, dalam jarak sekitar tiga tombak (lima meter), saling pandang dengan penuh perhatian.

Diam-diam Thian Liong merasa kagum akan tetapi juga kasihan melihat Han Bi Lan. Gadis itu masih cantik jelita seperti dulu walaupun kini rambutnya kusut dan wajahnya tidak berseri. Akan tetapi ia masih tampak jelita dan manis sekali. Wajahnya yang bulat telur itu agak pucat dan agak kurus, rambutnya yang panjang hitam digelung sederhana dan sebagian terurai lepas, anak rambutnya semakin binal bermain di dahi dan pelipisnya.

Dahi yang berkulit halus putih kemerahan itu kini terhias dua garis melintang tanda bahwa gadis ini menderita batin. Alisnya hitam kecil dan tebal, matanya yang seperti sepasang bintang itu berkilauan, namun Thian Liong dapat menangkap kesayuan membayang dalam mata itu. Dia ingat betapa dahulu mata itu tajam dan penuh gairah hidup, penuh semangat. Hidung yang mancung itu sesuai sekali dengan bibirnya yang berbentuk indah penuh dan tipis kemerahan. Lesung pipi di kedua ujung mulut itu masih tampak. Dagunya agak meruncing seperti menantang. Kulitnya putih mulus. Tubuhnya yang ramping padat itu agak kurus.

"Nona Han Bi Lan, mengapa Nona menangis?" tanya Thian Liong dengan lembut, karena dia tidak tahu harus bicara apa. Begitu berhadapan dengan gadis itu, dia seolah menjadi gugup dan bingung.

"Bukan urusanmu!" Bi Lan menjawab dengan suara membentak marah dan melanjutkan.

"Sungguh kebetulan sekali, sudah lama aku mencarimu, Souw Thian Liong!"

Thian Liong tersenyum, hatinya gembira mendengar ucapan itu.

"Ah, aku juga girang sekali dapat bertemu denganmu secara tidak tersangka-sangka seperti ini, Nona. Aku sedang mencari dan hendak menyusulmu ke kota raja Lin-an."

"Hemm, mau apa engkau mencari dan menyusulku?" pertanyaan ini keluar dengan ketus.

"Aku mau menyatakan ikut berduka cita kepada engkau dan lbumu atas kematian Ayahmu, dan aku...... aku hendak minta maaf kepadamu atas perlakuanku kepadamu dahulu itu......" Lalu disambungnya, "dan engkau mencariku dengan keperluan apakah, Nona?"

"Enak saja sudah menghina orang minta maaf begitu saja! Aku mencarimu untuk membalas dendam atas penghinaanmu dahulu! Bersiaplah engkau, Souw Thian Liong! Aku akan menebus kekalahanku dan membalas penghinaanmu dengan menampar mukamu sebanyak duapuluh kali!"

Setelah berkata demikian, gadis itu memasang kuda-kuda. Aneh kuda-kudanya ini, tubuhnya berdiri tegak, kedua lengannya tergantung lurus ke bawah, kaku seperti patung atau seperti...... mayat karena wajahnya yang agak pucat itu kini benar-benar seperti wajah mayat dengan mata yang "mati" dan kulit muka kaku! Inilah ilmu silat Sin-ciang Tin-thian (Tangan Sakti Menaklukkan Langit) yang terdiri hanya dari tigabelas jurus yang ia pelajari dari gurunya yang baru, Si Mayat Hidup. Pembukaannya adalah seperti itu, kaku menyeramkan!

Thian Liong terbelalak heran dan juga merasa seram. Dia mengira bahwa tentu ilmu andalan gadis itu adalah Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat dari Kun-lun-pai itu, dari kitab yang dulu dicurinya, akan tetapi setelah ia menguasainya dan mengembalikan kitab itu kepada Kun-lun-pai, ia bahkan diterima menjadi murid. Akan tetapi kuda-kuda aneh menyeramkan itu jelas bukan dari ilmu silat Kun-lun-pai.

"Bersiaplah!"

Thian Liong semakin terkejut dan seram ketika mendengar bentakan itu seolah keluar dari dalam perut Bi Lan tanpa gadis itu membuka mulut! Dia memang tidak ingin berkelahi dan tidak mau melawan.

"Tidak, Nona. Aku dahulu telah bersalah kepadamu. Kalau sekarang engkau hendak membalas dan hendak menampari aku, jangankan hanya duapuluh kali, biarpun sampai seratus kali aku akan menerimanya dan tidak akan melawan."

Mendengar ucapan ini, Bi Lan mengurungkan kuda-kuda ilmu silatnya dan ia menghampiri Thian Liong dengan kedua pipi kini berubah merah saking marahnya.

"Engkau harus melawanku! Aku ingin mengalahkanmu lalu membalas tamparanmu dahulu itu. Hayo lawan aku!"

Thian Liong tersenyum dan menggeleng kepalanya.

"Tidak, Nona Han Bi Lan. Engkau adalah puteri, Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi yang kuhormati, dan aku pernah bersalah kepadamu. Maka, kalau engkau hendak membalas, tamparlah aku sesukamu, aku tidak akan membalas."

"Keparat kau! Engkau hendak membuat aku menjadi seorang pengecut curang yang menyerang orang yang tidak mau melawan? Engkau telah menghinaku, dan sekarang engkau ingin membuat aku menjadi seorang pengecut pula?"

"Tidak, Nona, bukan itu maksudku. Kalau engkau merasa terhina dahulu, sekarang engkau boleh menghinaku kembali dan kalau engkau hendak membalas tamparanku, engkau boleh menampar sesuka hatimu. Ini untuk membuktikan bahwa aku benar-benar menyesali perbuatanku kepadamu dahulu itu. Tamparlah, Nona, engkau berhak melakukan itu!"

Bi Lan yang marah sekali kalau mengingat betapa pinggulnya telah ditampari sehingga kalau ia teringat, sampai sekarang kedua bukit pinggulnya masih terasa panas dan pedas, lalu melangkah maju dan kedua tangannya menampar dari kanan kiri.

"Plak-plak!" Tamparan itu kuat sekali, mengenai kedua belah pipi Thian Liong. Kepala pemuda itu sampai terguncang ke kanan kiri oleh kerasnya tamparan. Karena ia hendak menampar sedikitnya sepuluh kali untuk membalas, Bi Lan melanjutkan tamparannya, bertubi-tubi.

"Plak-plak-plak......!" Tiba-tiba Bi Lan menahan gerakan tangannya dan terbelalak memandang Thian Liong yang terhuyung-huyung ke belakang sampai belasan langkah dan darah mengalir dari kedua ujung bibir pemuda itu! Bi Lan terkejut bukan main. Ia memang tidak menggunakan sin-kang (tenaga sakti) ketika menampar karena bukan maksudnya hendak mencelakai pemuda itu, akan tetapi ia telah menggunakan tenaga kasar yang cukup kuat. Ia mengira bahwa pemuda itu tentu akan mengerahkan tenaga untuk melindungi kedua pipinya. Akan tetapi ternyata Thian Liong sama sekali tidak melindungi kedua pipinya dengan tenaga sehingga ketika dia menerima tamparan-tamparan itu begitu saja, bibirnya pecah, mulutnya berdarah dan matanya berkunang-kunang, kepalanya berpusing sehingga dia terhuyung-huyung ke belakang sambil memejamkan kedua matanya.

Pada saat itu, tiba-tiba muncul dua orang. Yang seorang berpakaian tosu berusia enampuluh tahun lebih, membawa sebatang tongkat hitam berkepala ular, dan orang kedua seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun lebih, tinggi besar berkumis tebal. Tahu-tahu mereka muncul dari balik pohon besar dan berada dekat Thian Liong yang terhuyung-huyung dengan mata terpejam. Dan tanpa berkata apapun juga, orang yang muda menggerakkan tangan yang memegang pedang, lalu dia membacok ke arah leher Thian Liong yang terhuyung-huyung mundur di dekatnya.

Ketika itu, Thian Liong merasa kepalanya pening karena terguncang oleh tamparan Bi Lan yang lima kali itu. Karena dia menerima tamparan tanpa melindungi dengan tenaga, maka selain bibirnya pecah, juga kepalanya terguncang sehingga dia terhuyung ke belakang. Akan tetapi ketika ada pedang menyambar ke arah lehernya, pendengarannya yang peka tajam itu dapat menangkap desingan pedang. Dia mencoba untuk mengelak dengan membuang tubuh ke kiri.

"Sing...... crott......!!" Pedang itu masih menyambar bahu lengan kanannya sehingga darah muncrat dari bahunya yang terluka cukup parah. Akan tetapi tubuh Thian Liong telah memiliki gerakan otomatis. Biarpun kepalanya masih pening dan pangkal lengannya terluka parah, terasa panas dan pedih, namun secara otomatis tubuhnya memutar ke kanan dan tangannya menampar ke depan, ke arah orang yang membacoknya.

"Wuuuttt...... dessss......!" Tubuh pemegang pedang itu terlempar ke belakang, akan tetapi pada saat itu juga tubuh Thian Liong terpelanting karena sebuah pukulan dengan telapak tangan mengenai punggungnya. Ternyata laki-laki yang tua itu yang memukulnya dari belakang dan pukulan itu mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat.

Melihat Thian Liong terbacok pedang dan terpukul secara dahsyat Bi Lan mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya sudah melayang ke depan, menyambar ke arah tubuh kakek yang tadi memukul punggung Thian Liong. Melihat serangan yang hebat datangnya itu, kakek berambut putih yang berpakaian jubah tosu terkejut sekali dan dia pun mengeluarkan jeritan melengking tinggi dan mendorongkan kedua tangannya menyambut serangan Bi Lan.

"Wuuuttt...... dessss......!!" Dua tenaga sakti bertemu dengan dahsyatnya di udara dan akibatnya, tubuh Bi Lan yang masih berada di udara itu terpental ke belakang. Akan tetapi tubuh gadis itu membuat pok-sai (salto), berjungkir balik lima kali dan turun ke atas tanah dengan ringannya. Sebaliknya, tubuh kakek itu terhuyung ke belakang dan wajahnya yang kurus menjadi pucat. Dia terkejut bukan main karena pertemuan tenaga itu telah mendatangkan guncangan dalam dadanya dan ini menunjukkan bahwa gadis itu memiliki tenaga sakti yang kuat sekali.

Apalagi melihat Thian Liong sudah bangkit kembali sambil menyeringai dan menahan rasa nyeri, dia menjadi semakin kaget. Padahal pukulannya tadi hebat bukan main, dilakukan dengan pengerahan tenaga sin-kang. Lawan yang tangguhpun akan tewas terkena pukulannya seperti itu. Akan tetapi pemuda itu masih mampu bangkit! Ini juga membuktikan bahwa pemuda itu pun lihai bukan main. Kalau pemuda dan gadis itu maju bersama, dia pasti kalah.

"Hemm...... Pak-sian (Dewa Utara) ternyata seorang yang curang," kata Thian Liong dan mendengar ini, kakek berambut putih dengan tubuh tinggi kurus berjubah seperti tosu itu semakin jerih.

Ternyata pemuda ini mengenalnya. Maka tanpa banyak cakap lagi Pak-sian Liong Su Kian, datuk besar dari utara itu berkata kepada laki-laki berkumis itu.

"Mari kita pergi!" Keduanya lalu melompat jauh dan melarikan diri.

Bi Lan hendak mengejar, akan tetapi ia melihat Thian Liong terhuyung lalu roboh telentang di atas tanah. Ia tidak jadi melakukan pengejaran dan segera menghampiri Thian Liong dan berjongkok di dekatnya, memeriksanya. Bi Lan terkejut bukan main ketika memeriksa dengan teliti. Tamparan-tamparannya sendiri tidak mendatangkan luka parah, hanya membuat kedua bibir pemuda itu pecah-pecah. Luka bacokan pedang pada pangkal lengan kanan itu jauh lebih parah, dan ketika ia memeriksa punggung, wajah Bi Lan berubah pucat. Thian Liong telah menderita luka dalam yang amat parah terkena pukulan kakek tadi. Pukulan itu selain amat dahsyat juga mengandung hawa beracun yang berbahaya. Kalau tidak cepat hawa beracun itu dikeluarkan dari rongga dadanya, nyawa pemuda itu takkan dapat diselamatkan lagi!

Melihat wajah pemuda yang telentang itu amat pucat, di kedua ujung mulutnya berlepotan darah dan kedua matanya terpejam, napasnya agak terengah dan lemah, Bi Lan merasa jantungnya seperti diremas.

"Thian Liong......!" Ia berbisik, merasa menyesal sekali. Kalau ia tidak menampar pemuda yang sama sekali tidak melindungi dirinya itu sehingga terhuyung dan pening, tidak mungkin dia akan terluka bacokan pedang dan menerima pukulan yang amat dahsyat tadi. Ia yang menyebabkan pemuda itu sampai begini. Hatinya yang sejak tadi amat gundah sehingga tadi ia menangis, kini menjadi semakin sedih dan sambil menyusut darah dari kedua ujung bibir Thian Liong dengan saputangannya, Bi Lan mengusap kedua matanya yang basah dengan punggung tangan. Kemudian ia membuka kancing baju pemuda itu, menanggalkan baju itu dan kini Thian Liong bertelanjang bagian atas badannya.

Bi Lan mendorong tubuh pemuda itu sehingga miring, hampir menelungkup, lalu sambil duduk bersila di belakang tubuh itu ia menempelkan tangan kanannya pada punggung Thian Liong yang terdapat tanda telapak tangan menghitam. Bi Lan menyalurkan tenaga saktinya untuk mendorong dan mengusir hawa beracun itu dari rongga dada Thian Liong. Akan tetapi ia harus berhati-hati sekali karena kalau salah perhitungan dan menggunakan tenaga terlalu besar, bukan tidak mungkin tenaganya itu malah akan merusak jantung dan paru-paru!

Sampai beberapa lamanya, Bi Lan melihat bahwa usahanya itu belum juga berhasil. Ia menjadi bingung, dan serba salah. Mengerahkan tenaga terlalu besar, ia takut kalau akan mendatangkan luka pada isi rongga dada. Kalau terlalu lemah, tidak kuat untuk mengusir hawa beracun dari dalam rongga dada Thian Liong.

"Ah...... Thian Liong......." Ia mengeluh lagi dengan bingung dan panik karena melihat betapa pernapasan pemuda itu semakin melemah. Memandang wajah itu, kembali jantungnya seperti diremas dan kembali matanya menjadi basah dan dua butir air mata mengalir keluar dari pelupuk matanya, jatuh menetes pada punggung pemuda itu.

Tiba-tiba saja Bi Ian merasa betapa sesungguhnya, wajah yang berada di depannya ini belum pernah hilang dari kenangannya. Wajah ini selalu terbayang dan ia memaksa hatinya menganggap bahwa ia mengenang pemuda itu karena sakit hati, karena merasa terhina, karena jengkel dan marah. Akan tetapi sesungguhnya, di balik itu semua, terdapat perasaan rindu dan sakit hatinya itu lebih disebabkan kekecewaan mengapa pemuda yang dikaguminya itu malah menampari pinggulnya. Mengapa pemuda itu membencinya! Padahal ia mengharapkan pemuda itu memperlihatkan keramahan kepadanya. Kini bagaikan sinar kilat memasuki kesadarannya bahwa sesungguhnya, sejak pertemuan pertama, tanpa disadarinya, ia mencinta Thian Liong!



JODOH SI NAGA LANGIT JILID 13
"Thian Liong......!" Ia mencoba lagi, berusaha sedapatnya untuk mengusir hawa beracun itu dengan menambah tenaganya, namun dengan hati-hati sekali sambil memperhatikan wajah Thian Liong. Kalau ada tanda sedikit saja bahwa tenaganya terlalu besar sehingga pemuda itu kesakitan, tentu akan dihentikannya.

Ia melihat sepasang mata itu bergerak, berkedip, akan tetapi wajah yang pucat itu tidak tampak kesakitan. Hatinya menjadi girang sekali, Thian Liong telah siuman!

Pemuda itu membuka kedua matanya dan menggerakkan kepalanya, menoleh agar dapat melihat siapa yang berada di belakang tubuhnya yang miring. Dia bertemu pandang dengan Bi Lan yang menyalurkan sin-kang melalui tangan kanan yang ditempelkan di punggungnya. Dengan heran Thian Liong melihat wajah itu, bibirnya tersenyum akan tetapi mata bintang itu basah air mata! Lalu dia teringat bahwa dia terkena pukulan ampuh dan Bi Lan sedang berusaha mengobatinya dengan penyaluran sin-kang untuk mengusir hawa beracun dari dalam rongga dadanya. Bi Lan mengobatinya? Tidak mimpikah dia?

"Nona Han Bi Lan, engkau...... engkau mengobati aku......?"

"Diamlah, Thian Liong. Engkau terkena pukulan beracun yang berbahaya, mudah-mudahan aku akan dapat mengusir hawa beracun dari dadamu."

Thian Liong tersenyum! Hatinya girang bukan main melihat sikap Bi Lan. Gadis itu berusaha menolongnya, berarti telah memaafkan dia.

"Nona cabutlah pedangku...... Thian-liong-kiam...... tempelkan di punggungku......" katanya terengah karena rongga dadanya terasa panas yang membuat ia sesak napas.

Bi Lan mengerti. Ia tadi menanggalkan pedang dari punggung Thian Liong ketika melepas baju pemuda itu. Pedang itu ia letakkan di atas tanah. Ia lalu mencabut pedang itu dari sarungnya dan kagum melihat pedang itu berkilau. Kemudian ia menempelkan pedang itu di punggung Thian Liong.

Thian-liong-kiam (Pedang Naga Langit) adalah sebatang pedang puslika yang amat langka. Pedang ini mengandung daya untuk menyedot hawa beracun, bahkan air rendamannya dapat mengobati segala macam luka yang mengandung racun. Pedang ini pemberian Tiong Lee Cin-jin kepada muridnya itu.

Tak lama kemudian setelah pedang itu menempel di punggung Thian Liong, tampak asap hitam perlahan-lahan mengepul keluar dari punggung itu! Bi Lan memandang dengan kagum sekali, juga hatinya merasa girang karena tak lama kemudian, warna telapak tangan hitam di punggung itu perlahan-lahan menipis dan makin menghilang.

Thian Liong mulai dapat bernapas dengan longgar. Dia lalu bangkit duduk dan membantu daya sedot pedang itu dengan pengerahan sin-kang untuk mengusir bersih semua hawa beracun.

"Cukup, Nona. Bahaya yang mengancam nyawaku telah lewat. Terima kasih atas pertolonganmu, Nona. Engkau sungguh mulia."

"Jangan banyak bicara dulu, lukamu di pangkal lengan perlu diobati dulu."

Bi Lan lalu mengambil obat bubuk dari buntalan pakaiannya. Ia memang selalu membawa obat bubuk itu untuk mengobati luka. Setiap orang kang-ouw selalu membawa obat seperti ini. Setelah menaruh obat bubuk pada luka menganga di pangkal lengan kanan Thian Liong, Bi Lan lalu mengambil sehelai pita rambutnya dari buntalan itu dan membalut pangkal lengan Thian Liong.

"Cukup, Nona Han Bi Lan. Sungguh aku merasa berhutang budi dan berterima kasih sekali padamu," kata Thian Liong yang lalu mengenakan kembali bajunya.

"Akan tetapi bibirmu......" Bi Lan hendak menyentuh ke arah muka Thian Liong, akan. tetapi ditariknya kembali tangan itu karena merasa tidak pantas. Ia memandang bibir yang pecah itu dengan hati penuh penyesalan.

"Ah, bibir begini saja tidak mengapa, Nona. Nanti akan sembuh sendiri. Hanya lecet sedikit saja."

"Curang sekali Pak-sian Liong Su Kian tadi. Akan tetapi aku tidak tahu siapa orang berkumis yang membacok lenganku tadi," kata Thian Liong.

"Aku mengenalnya. Dia adalah Jiu To, seorang dari Sam-pak-liong yang pernah bentrok dengan aku. Sam-pak-liong (Tiga Naga Utara) menjadi pengawal Hiu Kan, putera mendiang Pangeran Hiu Kit Bong. Mereka berempat menggangguku dan mereka kubunuh semua, hanya Jiu To yang kubiarkan hidup karena dia mau memberitahu kepadaku di mana adanya Toat-beng Coa-ong Ouw Kan."

"Ah, dan engkau sudah dapat bertemu dengan musuh besarmu itu? Aku sudah mendengar dari orang tuamu bahwa dulu yang menculikmu adalah Ouw Kan."

"Aku sudah membunuhnya!" kata Bi Lan singkat.

Diam-diam Thian Liong merasa ngeri dan menyesal mengapa gadis yang sesungguhnya amat baik ini dapat begitu liar dan kejam.

"Aku mendengar tentang Ang I Mo-li yang mengamuk melukai banyak bangsawan dan hartawan......"

"Akulah yang disebut Ang I Mo-li!" Bi Lan berkata pula, singkat.

Thian Liong merasa semakin menyesal sehingga dia tidak dapat mengeluarkan kata-kata Iagi. Juga Bi Lan tampak termenung. Mereka duduk di atas rumput tebal di bawah pohon besar itu. Matahari sudah naik agak tinggi sehingga cuaca dalam hutan lebat itu semakin terang. Beberapa kali Thian Liong menghela napas panjang dan kebetulan sekali gadis itu pun menarik napas panjang. Suasana menjadi kaku. Gadis itu diam seperti patung, seolah tidak mengacuhkan segala sesuatu, membuat Thian Liong menjadi salah tingkah dan merasa hatinya tidak nyaman. Dia memaksa diri membuka percakapan untuk mencairkan suasana yang seolah membeku itu.

"Nona......."

"Tidak usah menyebut Nona padaku!" Bi Lan memotong cepat.

"Engkau tahu, namaku Bi Lan, Han Bi Lan."

Thian Liong tertegun, akan tetapi dia lalu tersenyum. Pembukaan percakapan yang baik, pikirnya.

"Baiklah, Bi Lan. Aku ingin mengulang permintaan maafku kepadamu atas perbuatanku yang sungguh tidak pantas terhadap dirimu beberapa waktu yang lalu."

"Tidak perlu minta maaf karena aku pun tidak minta maaf kepadamu. Aku malah telah melakukan dua kali kesalahan terhadap dirimu. Aku sudah mencuri kitab darimu, dan tadi...... aku telah menamparimu tanpa engkau melawan sehingga hampir saja aku menyebabkan kematianmu."

"Tidak, Bi Lan. Engkau berhak menampari atau memukuli aku! Aku memang telah menghinamu. Dan engkau telah berkali-kali menolongku. Pertama engkau membantuku ketika aku difitnah dan diserang para tokoh Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai. Kedua kalinya, tadi kalau tidak ada engkau yang menolongku, pasti aku sudah mati oleh serangan gelap Pak-sian. Sungguh, aku berhutang nyawa, berhutang budi padamu, Bi Lan."

"Sudahlah, jangan bicara tentang hal itu lagi. Aku malu mengingat betapa aku memukuli orang yang sama sekali tidak membela diri. Perbuatanku itu curang dan aku menjadi pengecut. Kita bicara urusan lain saja, Thian Liong."

"Kalau begitu, sudah tidak ada lagi dendam permusuhan di antara kita?"

"Kalau engkau mau, kita lupakan saja semua itu dan menganggap tidak pernah terjadi. Akan tetapi tentu saja kalau engkau mendendam dan hendak membalas......" suaranya menantang.

"Ah, sama sekali tidak, Bi Lan. Aku merasa bahagia sekali kalau kita lupakan semua itu. Sekarang kalau aku boleh bertanya, mengapa engkau tadi menangis?"

"Aku tadi sedih sekali."

"Aku tahu, Bi Lan. Ayahmu meninggal dunia setelah dilukai orang. Aku ikut bersedih karena mendiang Ayahmu adalah seorang sahabat baikku yang kukagumi dan kuhormati. Akan tetapi, aku mendengar bahwa engkau pergi ke kota raja bersama Ibumu. Mengapa engkau berada di sini?"

"Aku sedang mencari dua orang murid Ouw Kan yang menyerang Ayah, akan tetapi aku belum mendapatkan keterangan di mana mereka berada."

"Dan engkau mencari mereka di daerah Kerajaan Kin ini?"

"Mereka itu murid-murid Ouw Kan, tentu saja aku mengira bahwa mereka berada pula di daerah ini. Pula, aku memang sudah berada di daerah ini untuk mencari Ouw Kan. Setelah berhasil membunuh Ouw Kan, aku juga menyusup ke istana kaisar dengan maksud untuk membunuhnya."

"Ah......? Mengapa, Bi Lan?"

"Aku mendengar dari Ibuku bahwa yang mula-mula menjadi penyebab Ayah Ibuku dimusuhi Ouw Kan adalah karena Ayah dan Ibu membunuh seorang Pangeran Kin dalam perang. Kaisar Kin marah dan mengutus Ouw Kan untuk mencari Ibu dan Ayah dan membunuh mereka. Karena Ouw Kan tidak menemukan Ayah dan Ibu, maka dia menculik aku. Demikianlah, kuanggap Kaisar Kin yang menjadi musuh besar yang mengutus Ouw Kan, maka aku pergi ke istananya untuk membunuhnya."

Thian Liong terbelalak.

"Dan engkau...... engkau berhasil?"

Bi Lan menggeleng kepala.

"Aku dihadapi Puteri Moguhai dan dibujuk, dan akhirnya aku mendengar darinya bahwa Kaisar Kin tidak menyuruh Ouw Kan membunuh orang tuaku. Adalah Ouw Kan sendiri yang memusuhi orang tuaku karena dia kecewa dan malu tidak berhasil membunuh mereka, bahkan gagal pula menculik aku karena guruku Jit Kong Lhama merampas aku dari tangannya. Aku menyadari, apalagi Puteri Moguhai itulah yang menyelamatkan Ibuku dari kematian."

"Hemm, bagaimana ceritanya?"

"Begini, dulu pernah orang tuaku diserang oleh Ouw Kan, akan tetapi Puteri Moguhai...... dan engkau sendiri menyelamatkan mereka. Lalu Puteri Moguhai meninggalkan tulisan di atas kain yang, diberikannya kepada Ayah agar tulisan itu diperlihatkan kalau Ouw Kan berani mengganggu lagi."

Thian Liong mengangguk-angguk.

"Ya, ya, aku ingat itu......"

"Tentu saja engkau ingat, Thian Liong. Engkau akrab sekali dengannya dan selalu bersamanya. Ia memang seorang puteri yang anggun, cantik jelita, dan lihai ilmu silatnya. Siapa tidak terkagum-kagum dibuatnya?"

Thian Liong memandang heran. Salah dengarkah dia kalau menangkap kepanasan hati dan kecemburuan dalam ucapan Bi Lan itu?

"Ah, kami hanya kebetulan saja melakukan perjalanan bersama, Bi Lan. Teruskan ceritamu tadi."

"Ketika dua orang murid Ouw Kan itu muncul, nama mereka Bouw Kiang dan Bong Siu Lan, mereka merobohkan Ayah yang terluka berat dan ketika mereka juga hendak membunuh Ibuku, mereka melihat tulisan pemberian Puteri Moguhai itu terselip di ikat pinggang Ibu. Mereka membaca tulisan itu lalu melarikan diri tanpa mengganggu Ibu. Surat Puteri Moguhai itulah yang menyelamatkan Ibu."

"Bi Lan, ketika aku mendengar keterangan A Siong di rumah Paman Han Si Tiong bahwa engkau dan Ibumu pergi ke kota raja, aku mengira bahwa engkau tentu pergi berkunjung ke rumah Panglima Kwee Gi. Benarkah itu?"

Gadis itu mengangguk, lalu menundukkan mukanya karena hatinya perih ketika Thian Liong bicara tentang kunjungannya ke kota raja. Kunjungan itulah yang menjadi permulaan ia menghadapi kehancuran hatinya.

"Aku tahu, engkau dan Ibumu tentu ke sana karena bukankah engkau telah menjadi calon keluarga Panglima Kwee?"

Bi Lan mengangkat mukanya dan sepasang matanya seolah berubah menjadi dua sinar terang yang menyoroti wajah Thian Liong dengan penuh selidik.

"Apa maksudmu, Thian Liong?"

"Maksudku...... eh, ketika dulu aku bersama Pek Hong Niocu......"

"Pek Hong Niocu......?"

"Maksudku, Puteri Moguhai. Ketika kami berada di rumah keluarga Panglima Kwee, mereka membicarakan tentang engkau dan...... dan...... mereka mengatakan bahwa mereka hendak menjodohkan putera mereka, Kwee Cun Ki, denganmu......"

"Cukup! Aku tidak mau bicara tentang hal itu!" tiba-tiba Bi Lan berkata dengan ketus dan marah.

Thian Liong melihat betapa kedua pipi gadis itu menjadi merah sekali, bukan merah karena malu, melainkan merah karena marah. Sepasang matanya berkilat. Dia merasa heran dan terkejut.

"Ah, maafkan aku, Bi Lan. Sekarang, di manakah Bibi Liang Hong Yi?"

"Aku tidak mau bicara tentang dirinya!"

"Tapi...... tapi ia Ibumu......!"

"Cukup, jangan bicara tentang mereka atau pergilah tinggalkan aku!" Bi Lan membentak.

"Maaf, Bi Lan. Baiklah, sekarang ke mana engkau hendak pergi?"

"Sudah kukatakan aku sedang mencari dua orang murid Ouw Kan itu."

"Kalau begitu, aku akan membantumu, Bi Lan. Mari kita mencari mereka bersama."

"Aku tidak butuh bantuanmu atau bantuan siapapun juga!"

"Aku percaya bahwa engkau akan mampu menghadapi mereka sendiri, Bi Lan. Akan tetapi aku pun berhak mencari mereka. Mendiang Paman Han Si Tiong adalah sahabat baikku, bahkan kami bersama-sama menghadapi fitnah dan bahaya ketika kami menentang Menteri Chin Kui, sama-sama ditahan dalam penjara. Aku pun ingin menghajar dua orang murid Ouw Kan yang telah menyerang dan melukainya sehingga dia meninggal. Selain itu, aku juga hendak mencari guruku, Tiong Lee Cin-jin."

"Sudah banyak aku mendengar nama Tiong Lee Cin-jin."

"Ketahuilah, Bi Lan. Suhu Tiong Lee Cin-jin terancam bahaya. Empat Datuk Besar kini bersekutu dan melatih seorang murid secara khusus untuk membunuh Suhu Tiong Lee Cin-jin. Empat Datuk Besar dari empat penjuru itu bersama murid istimewa dan para murid mereka akan mengeroyok Suhu. Kalau engkau tidak keberatan, aku mengharapkan bantuanmu untuk bersama Suhu menghadapi mereka."

Diam sejenak. Bi Lan mengerutkan alisnya. Biarpun sama sekali tidak terbayang pada wajahnya yang jelita, namun di lubuk hatinya ia merasa gembira sekali membayangkan bahwa ia akan melakukan perjalanan bersama Thian Liong, pemuda yang selama ini tak pernah ia lupakan, dengan berbagai macam perasaan. Ada kagum, ada suka, ada marah, penasaran dan kecewa. Akan tetapi sekarang semua perasaan marah dan mendendam sudah tidak ada sama sekali dalam hatinya sehingga yang tinggal hanya rasa kagum dan suka!

"Bagaimana Bi Lan? Engkau tidak merasa keberatan untuk melakukan perjalanan bersamaku, bukan?" Thian Liong ingin sekali melakukan perjalanan bersama Bi Lan terdorong oleh keinginan untuk membalas kebaikan gadis itu dan, untuk membuktikan bahwa dia sama sekali tidak menghina atau merendahkan gadis itu. Apalagi kalau dia teringat bahwa gadis ini adalah puteri tunggal Han Si Tiong dan Liang Hong Yi, suami isteri yang dia hormati.

Akhirnya gadis itu mengangguk.

"Akan tetapi bukan berarti aku ikut engkau atau engkau ikut aku, Thian Liong, melainkan hanya kebetulan saja kita melakukan perjalanan bersama."

Thian Liong tersenyum, ingat akan ucapannya tentang dia melakukan perjalanan bersama Puteri Moguhai.

"Tentu saja, Bi Lan."

"Dan mulai sekarang, di depan semua orang, engkau jangan menyebut Bi Lan kepadaku."

"Eh? Lalu menyebut apa?"

"Sebut saja Han, tanpa embel-embel apa pun."

"Lho, mengapa begitu?"

"Akan kaulihat nanti. Tunggu sebentar di sini!" Setelah berkata demikian, Bi Lan menyambar buntalan pakaiannya dan berkelebat lenyap ke balik pohon-pohon.

Thian Liong menggerakkan bahunya, sehingga terasa nyeri pada bahu kanannya, mengingatkan dia akan lukanya dan teringat betapa tadi Bi Lan dengan sungguh-sungguh berusaha mengobatinya. Teringat dan terasa olehnya betapa lembut dan hangatnya jari-jari tangan gadis itu menyentuh lengannya ketika ia membalut luka di pangkal lengan kanannya itu. Kini gadis itu bersikap aneh, minta dipanggil Han saja dan minta dia menunggu lalu menghilang di balik pohon-pohon. Apa maunya? Akan tetapi dia sabar menunggu.

Tidak lama kemudian Thian Liong melihat seorang pemuda muncul dari balik pohon-pohon dan dia terkejut, juga merasa heran. Dia bangkit berdiri, siap menghadapi ancaman. Siapa tahu pemuda itu juga seorang musuh tangguh yang hendak menyerangnya. Akan tetapi pemuda itu melangkah, menghampirinya dan tersenyum.

"Thian Liong, perkenalkan, aku adalah Han."

Biarpun suara pemuda itu wajar sebagai suara seorang pemuda, namun kata-kata itu tentu saja menyadarkan Thian Liong dengan siapa dia berhadapan.

"Bi Lan......!" serunya kagum bukan main. Gadis itu benar-benar pandai sekali menyamar. Pakaian pria yang agak longgar itu menyembunyikan lekuk lengkung tubuh gadisnya, dan hebatnya, gadis itu dapat mengubah penampilannya, menata rambutnya sehingga dia sendiri pun tidak akan mengenalnya kalau tadi tidak bicara.

"Wah, engkau hebat sekali, Bi Lan. Sungguh aku sama sekali tidak mengenalmu. Engkau benar-benar menjadi seorang pemuda, tidak akan ada orang dapat menduga bahwa engkau seorang gadis!"

"Engkau yang akan membuka rahasiaku kalau engkau masih menyebut namaku seperti itu. Aku bernama Han, jangan lupakan itu."

Thian Liong tertawa.

"Baiklah, Han kalau ada yang bertanya, engkau menjadi apaku?"

"Sahabat, apa lagi? Nah, mari kita berangkat."

"Ke mana?"

"Mencari makanan, perutku lapar sekali."

Mereka lalu keluar dari hutan itu, menggendong buntalan pakaian masing-masing. Setelah keluar dari hutan, jalan umum itu membawa mereka memasuki sebuah kota yang cukup besar dan ramai. Ketika mereka mencari keterangan, mereka diberitahu bahwa itu adalah kota Leng-an dan kota itu terletak di sebelah selatan Telaga Kim-hi yang luas. Kim-hi-ouw (Telaga Ikan Emas) terkenal mengandung banyak ikan emas yang lezat dagingnya.

Thian Liong dan Bi Lan, atau lebih baik kita sebut saja Han seperti yang dikehendaki gadis itu, memasuki sebuah rumah makan yang besar dan ramai dikunjungi orang. Mereka mendapatkan meja di sudut dan Han segera memesan masakan ikan emas yang membuat kota Leng-an terkenal.

Setelah pesanan masakan dihidangkan dan mereka mulai makan, mereka membuktikan sendiri kelezatan, masakan ikan emas telaga itu seperti yang disohorkan orang. Setelah makan minum dengan puasnya, Han dan Thian Liong duduk santai dan baru mereka memperhatikan sekeliling.

Tak jauh dari meja mereka, terdapat tiga orang pemuda yang makan minum sambil bercakap-cakap. Mendengar mereka bicara tentang seorang gadis sedang mencari jodoh dengan cara bertanding ilmu silat, mereka tertarik sekali. Memang pada waktu itu, peristiwa seperti ini merupakan hal yang biasa. Banyak gadis dunia persilatan, oleh ayahnya dicarikan jodoh dengan jalan pi-bu (mengadu ilmu silat), semacam sayembara!

"Sayang aku tidak mempunyai kepandaian silat. Betapa akan senangnya menyunting bunga yang demikian indahnya!" kata seorang di antara mereka.

"Ah, kalau hanya mempunyai ilmu silat sedang-sedang saja, siapa berani mencoba-coba? Gadis itu lihai bukan main. Kemarin saja sudah ada tiga orang calon yang dikalahkan. Kalau kalah, selain sakit badan dan juga sakit hati karena malu," kata orang kedua.

"Memang sayang sekali. Gadis itu demikian cantik jelita dan tampaknya lemah lembut, kulitnya putih mulus, akan tetapi ternyata bunga indah itu mempunyai duri yang tajam dan berbahaya. Kabarnya hari ini ia dan ayahnya tidak lagi mengadakan pertunjukan silat. Apa mereka sudah meninggalkan kota ini?" kata orang ketiga.

"Ah, tidak. Aku mendengar bahwa besok pagi gadis itu akan memberi kesempatan lagi kepada yang berminat untuk pi-bu. Kalau kabar ini sudah tersiar dan datang jago-jago dari kota lain, tentu akan ramai sekali."

"Di mana akan diadakan pi-bu itu?"

"Di mana lagi kalau bukan di tempat yang kemarin, di tepi telaga itu. Besok kita harus nonton, tentu menarik sekali. Aku ingin melihat berapa orang laki-laki lagi yang dirobohkannya dan siapa yang akhirnya beruntung menyunting bunga itu."

"Ah, kalau aku ogah mempunyai bini seperti itu. Biar cantik jelita, akan tetapi lihai ilmu silatnya. Jangan-jangan setiap hari aku akan dipukul dan ditendangnya!"

Tiga orang itu berhenti bicara. Thian Liong dan Han segera membayar harga makanan. Han mendahului membayarnya sehingga Thian Liong hanya tersenyum saja. Melihat dua orang pemuda ini membawa buntalan pakaian yang ditaruh di atas meja, pelayan rumah makan itu lalu berkata, setelah menerima pembayaran.

"Ji-wi Kongcu (Tuan Muda Berdua) agaknya datang dari luar kota. Kalau ji-wi (kalian berdua) membutuhkan pondokan, silakan bermalam di rumah penginapan kami, di belakang itu. Kami mempunyai kamar-kamar yang bersih."

Thian Liong menoleh kepada Han, menyerahkan keputusannya kepada temannya itu. Sebetulnya, tadi mereka memasuki Leng-an hanya untuk mencari makanan, dan tidak ada rencana untuk menginap.

"Baik, kami akan menginap di sini semalam. Sediakan dua buah kamar yang bersih," kata Han kepada pelayan.

"Dua buah, Kongcu (Tuan Muda)?"

"Ya, dua buah!" kata Han singkat dan suaranya agak ketus menunjukkan bahwa dia tidak senang dengan pertanyaan pelayan itu.

"Baik, baik, Kongcu. Mari silakan!"

Thian Liong dan Han mengikuti pelayan itu yang mengajak mereka ke bagian belakang rumah makan itu. Ternyata bagian belakangnya luas dan ada bangunan rumah penginapan yang memiliki belasan buah kamar. Mereka senang melihat kamar untuk mereka itu cukup bersih, biarpun perabotnya sederhana.

Setelah pelayan yang mengantar mereka pergi, Thian Liong bertanya, "Apa yang menarik hatimu sehingga ingin bermalam di kota ini, Han?"

Han memandang wajah Thian Liong dan tersenyum. Hemm, pikir Thian Liong. Penyamaran itu sudah baik sekali, akan ada satu hal yang agaknya terlupa. Kalau tersenyum lebar, lesung yang manis itu muncul di kanan kiri mulut Han, membuat wajah itu menjadi terlampau tampan sehingga akan menarik perhatian dan menimbulkan kecurigaan orang. Maka sebelum Han menjawab pertanyaan tadi, dia sudah cepat berkata, "Han, jangan tersenyum lebar, penyamaranmu dalam bahaya kalau engkau tersenyum."

Han mengerutkan alisnya.

"Mengapa?"

"Terlalu...... terlalu cantik, tidak jantan."

Han mengangguk.

"Akan kuingat itu."

"Engkau belum menjawab pertanyaanku tadi. Apa yang menarik hatimu untuk bermalam di sini?"



"Sama dengan yang menarik hatimu, Thian Liong. Engkau juga ingin sekali nonton pi-bu (adu silat) yang diadakan gadis di tepi telaga itu, bukan? Eh, Thian Liong, siapa tahu engkau yang akan dapat mengalahkannya dan menjadi jodohnya."

Digoda begitu, Thian Liong tidak mau membantah, bahkan berkata sambil tersenyum.

"Yah, siapa tahu?" Dia terheran melihat betapa tiba-tiba wajah Han menjadi keruh, alisnya berkerut dan mulutnya merengut!

"Aku mau mengaso!" katanya singkat dan dia hendak memasuki kamarnya.

"Sore nanti kita melihat-lihat kota dan telaga, Han," kata Thian Liong.

"Bagaimana nanti sajalah!" Han memasuki kamar dan menutup daun pintunya agak keras.

Thian Liong menggerakkan pundak dengan hati merasa heran atas sikap Han yang tidak dimengertinya itu. Dia pun memasuki kamarnya, mele-paskan buntalan dan meletakkannya di atas meja lalu dia pun merebahkan diri mengaso.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi, setetah mandi dan tukar pakaian, Han mengajak Thian Liong keluar dan mereka berdua segera menuju ke tepi telaga. Kemarin sore mereka sudah berjalan-jalan ke sini, bahkan sempat naik perahu sewaan berputar-putar di telaga. Mereka sudah mendapat keterangan bahwa gadis yang mengadakan pi-bu itu kemarin mengambil tempat di bagian tepi telaga yang tanahnya agak tinggi.

Setelah tiba di tempat itu, tepi telaga sudah mulai ramai. Bukan saja ramai dengan mereka yang hendak berangkat dengan perahu mereka menangkap ikan, ada pula yang baru pulang dari mencari ikan semalam dan kini membawa hasil tangkapan mereka untuk dijual ke dalam kota. Ada juga yang hendak pesiar, dan banyak orang-orang muda yang sengaja datang hendak nonton gadis yang mencari jodoh dengan jalan mengadakan pi-bu. Akan tetapi agaknya gadis dan ayahnya itu belum datang.

Akan tetapi Thian Liong dan Han tidak perlu menunggu lama. Ketika suasana menjadi riuh dengan suara orang-orang yang menujukan pandang mata ke satu jurusan, Thian Liong dan Han juga memandang ke arah sana. Tampak seorang gadis dan seorang laki-laki setengah tua datang ke tepi telaga yang tanahnya tinggi itu.

Thian Liong memandang penuh perhatian. Gadis itu berusia sekitar delapanbelas tahun. Tak dapat disangkal bahwa gadis itu memang cantik menarik, dengan bentuk tubuh yang denok padat, kulitnya yang putih mulus. Yang menarik adalah sepasang matanya yang lebar dan indah. Laki-laki yang berjalan di sampingnya itu berusia sekitar empatpuluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan mukanya kuning, wajahnya muram seperti orang yang tidak bahagia. Dengan langkah lebar mereka berdua menuju ke atas tanah yang tinggi tanpa memperdulikan puluhan pasang mata yang memandang kepada mereka.

Setelah tiba di atas tanah tinggi itu, mereka menurunkan buntalan kain dari punggung mereka dan meletakkannya di atas batu-batu yang berada di atas tanah. Mereka juga melepaskan pedang berikut sarungnya dari pinggang dan meletakkan pedang mereka itu di atas buntalan pakaian. Setelah dua orang itu berada di situ, mereka yang memang datang hendak nonton, berbondong-bondong datang tanpa diatur, mereka sudah membentuk lingkaran yang cukup luas sehingga kedua orang itu seperti berdiri di atas panggung tanah tinggi itu merupakan gundukan tanah yang lumayan luasnya. Mereka yang nonton berdiri mengelilingi gundukan tanah itu.

Setelah di situ berkumpul lebih dari limapuluh orang, sebagian besar adalah pemuda-pemuda, laki-laki tinggi kurus itu lalu maju ke tengah lapangan itu dan menjura ke empat penjuru.

"Kami kira Cu-wi (Anda sekalian) tentu sudah tahu atau sudah mendengar bahwa kami sedang mengadakan sayembara pi-bu (adu silat) untuk memilih jodoh. Siapa saja dipersilakan memasuki sayembara ini apabila berminat. Adapun syarat-syaratnya seperti berikut: Pengikut sayembara haruslah seorang laki-laki yang belum menikah. Pengikut sayembara harus disetujui dulu oleh anak kami sebelum bertanding. Pengikut sayembara harus dapat mengalahkan anak kami dalam pertandingan silat dengan tangan kosong dan setelah dapat mengalahkannya, dia harus dapat bertahan melawan kami selama duapuluh jurus. Perkenalkan, nama kami adalah Ouwyang Kun, sedangkan ini anak kami satu-satunya bernama Ouwyang Siu Cen yang sudah tidak mempunyai ibu lagi. Nah, kalau ada yang berminat, silakan maju!"

Ouwyang Kun lalu memberi hormat lagi dan kembali duduk di atas batu dekat puterinya. Para penonton mulai berisik saling bicara sendiri. Akan tetapi belum juga ada yang maju memasuki lapangan.

"Thian Liong, gadis itu cantik jelita. Mengapa engkau tidak coba-coba?" bisik Han yang berdiri di samping pemuda itu.

"Mengapa tidak engkau saja yang maju dan mengalahkannya, Han?" Thian Liong menjawab sambil tersenyum.

Han hampir saja tersenyum lalu teringat dan dia cemberut.

"Gila kau!" bisiknya.

Melihat belum juga ada yang' memasuki lapangan, Ouwyang Kun berbisik kepada puterinya. Siu Cen mengangguk dan ia lalu bangkit dan menuju ke tengah lapangan, berdiri tegak dan memandang ke sekeliling dengan matanya yang lebar dan indah, lalu berkata dengan suara lembut.

"Sambil menanti munculnya pengikut sayembara yang pertama, untuk mengisi kekosongan saya akan memainkan sebuah tarian pedang! Kalau tarianku jelek dan banyak kesalahannya, harap Cu-wi suka memaafkan dan memberi petunjuk."

Setelah berkata demikian Siu Cen mencabut pedangnya dan mulailah ia dengan tarian pedangnya. Tarian itu sesungguhnya adalah ilmu silat pedang yang diberi gerakan kembangan sehingga tampak indah dan lemah gemulai. Siu Cen memang memiliki tubuh yang lentur dan gerakannya mengandung seni tari yang indah. Akan tetapi di balik kelemasan, kelenturan dan keindahan itu tersembunyi kekuatan yang mengagumkan. Daya tahan dan daya serang yang kokoh. Kalau semua gerakan kembangan dan variasi itu dihilangkan, maka gerakan-gerakan pedang itu akan menjadi berbahaya sekali bagi lawan.

"Hemm, cantik dan indah sekali, Thian Liong," Han berbisik pula.

"Ilmu silatnya cukup tangguh. Kuda-kudanya seperti yang biasa dipergunakan para hwesio (pendeta Buddhis) kalau mengajarkan silat kepada muridnya. Kokoh dan mantap."

Tarian itu tidak lama. Tentu saja Ouwyang Siu Cen tidak mau menghamburkan banyak tenaga karena ia menghadapi pertandingan silat kalau ada yang maju mengikuti sayembara. Ayahnya, Ouwyang Kun memang bijaksana. Di antara syarat-syarat bagi calon jodohnya itu, adalah syarat bahwa ikutnya seorang calon harus atas persetujuannya. Berarti ayahnya hanya mau menjodohkannya dengan seorang pemuda kalau Siu Cen menyetujuinya. Hal ini untuk mencegah agar gadis itu tidak terpaksa menjadi isteri seorang laki-laki yang tidak disukanya hanya karena laki-laki itu dapat mengalahkannya dalam pi-bu.

Setelah Siu Cen menghentikan tariannya, seorang pemuda berusia sekitar duapuluh tahun masuk ke dalam gelanggang, disambut tepuk tangan para penonton karena selain mereka mengenal pemuda itu sebagai putera guru silat Ciang di kota Leng-an, juga semua orang sejak tadi sudah tidak sabar menanti munculnya orang yang memasuki sayembara itu agar mereka dapat menonton pertandingan silat.

Melihat ada seorang pemuda memasuki gelanggang, Ouwyang Kun lalu bangkit dan menghampiri sehingga berdiri berhadapan dengan pemuda itu, sedangkan Ouwyang Siu Cen mundur dan berdiri di belakang ayahnya sambil memandang kepada pemuda itu. Ciang Lun adalah seorang pemuda yang berwajah cukup ganteng, tubuhnya sedang dan dia berdiri di depan Ouwyang Kun dengan tegak.

"Apa kehendakmu masuk ke sini, orang muda?" tanya Ouwyang Kun.

"Kalau boleh, saya ingin mencoba kelihaian Nona Ouwyang."

Ouwyang Kun menoleh dan memandang kepada puterinya. Siu Cen mengangguk, tanda bahwa ia mau berpi-bu melawan pemuda itu.

"Orang muda, siapa namamu?"

"Nama saya Ciang Lun."

"Baik, kami mempersilakan engkau untuk saling menguji kepandaian dengan Siu Cen."

Setelah berkata demikian, Ouwyang Kun mundur dan duduk kembali ke atas batu. Kini Siu Cen berhadapan dengan pemuda itu.

"Silakan mulai, Nona. Aku telah siap!" kata Ciang Lun yang segera memasang kuda-kuda dengan berdiri tegak, kedua kaki merapat dan kedua tangan direntangkan, yang kanan menunjuk ke atas, yang kiri menunjuk ke bawah.

"Pembukaan Thian-te-sin-kun (Silat Sakti Langit Bumi)," bisik Thian Liong.

"Tapi rapuh," bisik pula Han.

Thian Liong juga maklum bahwa pasangan kuda-kuda dari pemuda bernama Ciang Lun itu tidak cukup kokoh dan melihat gerakan kaki Siu Cen ketika menari silat pedang tadi dia sudah dapat menduga bahwa pemuda ini tidak akan menang melawan gadis itu. Tingkat kepandaian mereka berselisih jauh.

"Kami tuan rumah dan engkau tamunya, silakan menyerang lebih dulu," kata Siu Cen yang juga memasang kuda-kuda dengan menekuk kedua lututnya, menghadap ke samping dan memutar kepala ke arah lawan, kedua tangan dikepal di pinggang.

"Hemm, kalau tidak salah kuda-kuda itu dari aliran Kwan-im-kun (Silat Dewi Kwan Im)," kata Han lirih.

"Atau silat Dewa Ji-lai-hud, ilmu silat yang biasanya dimainkan para pendeta," kata Thian Liong.

Mendengar ucapan gadis itu, Ciang Lun tersenyum.

"Baiklah, maaf, sambut seranganku, Nona!" Pemuda itu mulai menyerang dan dia mainkan ilmu silat Langit Bumi yang sebetulnya merupakan ilmu silat yang cukup ampuh karena gerakan serangannya berganda, serangan ke bagian atas tubuh lawan disusul dengan hampir berbarengan dengan serangan dari bawah. Kalau saja dia sudah menguasai dengan baik dan memiliki sin-kang (tenaga sakti) yang kuat, dia akan merupakan lawan yang tangguh dan berbahaya.

Akan tetapi, Siu Cen bergerak cepat dan gerakannya ringan sekali. Tubuhnya berkelebatan ketika mengelak dari serangkai pukulan pemuda itu. Ia pun balas menyerang dan Ciang Lun dapat menangkis serangan balasan itu dengan baik pula. Bagi mereka yang tidak mengenal ilmu silat, atau yang hanya mengenal kulitnya saja tentu menganggap bahwa pertandingan itu seru dan seimbang. Telah lebih dari tigapuluh jurus mereka bertanding dan tampaknya belum ada yang lebih unggul sehingga kelihatan seru dan seimbang. Akan tetapi Han berbisik kepada Thian Liong.

"Wah, engkau terlambat, Thian Liong. Gadis itu agaknya telah memilih calon suaminya."

"Engkau benar dan aku ikut girang, mereka memang serasi untuk menjadi pasangan hidup."

Sementara itu, Ouwyang Kun juga maklum apa yang terjadi pada puterinya. Dia tahu benar bahwa kalau dikehendaki, dalam belasan jurus saja puterinya itu akan mampu mengalahkan lawannya. Akan tetapi agaknya Siu Cen tidak mau melakukan hal itu. Ia mengalah dan hal ini hanya mempunyai arti bahwa puterinya itu jatuh cinta kepada Ciang Lun itu! Bagi dia mempunyai seorang mantu yang ilmu silatnya lebih rendah daripada tingkat puterinya tidak menjadi soal. Yang penting Siu Cen mencintanya dan mantunya itu bukan seorang jahat. Melihat betapa pertandingan itu berlangsung sampai hampir limapuluh jurus, Ouwyang Kun merasa cukup dan dia pun melompat ke tengah.

"Cukup, harap kalian berhenti!"

Dua orang itu mundur dan Siu Cen menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan. Clang Lun memandang kepadanya dengan mulut terseyum, tampak dia girang sekali.

"Cu-wi, sayembara ini sudah selesai. Kami telah menemukan pilihan calon suami puteri kami."

"Tidak bisa! Ini tidak adil!" terdengar teriakan dan seorang laki-laki berusia kurang lebih tigapuluh lima tahun, bertubuh tinggi besar dan mukanya hitam bopeng (bekas cacar) melompat ke tengah lapangan.

"Kemenangan bocah ini sama sekali tidak sah!" Dia berseru dengan suaranya yang parau dan terdengar logat bicaranya kaku dan asing.

"Hemm, dia itu orang dari barat, suku Tibet," bisik Han kepada Thian Liong. Pemuda ini juga sudah menduga demikian karena pernah dia bertemu dengan beberapa orang pendeta Lhama dari Tibet ketika mereka datang mengunjungi gurunya, Tiong Lee Cin-jin.

Ouwyang Kun menghadapi orang itu dengan alis berkerut, akan tetapi dia menahan marah dan bertanya, "Sobat, menentukan pilihan calon suami untuk puteriku merupakan hak kami, orang luar sama sekali tidak berhak mencampuri."

"Ho-ho-ha-ha! Enak saja engkau menentukan begitu! Akan tetapi tanyalah kepada semua penonton ini. Kalian berdua telah melanggar peraturan yang kalian adakan sendiri. Bukankah tadi engkau sendiri mengumumkan bahwa yang berhak berjodoh dengan puterimu adalah orang yang dapat mengalahkan puterimu dan dapat bertahan pula melawanmu selama duapuluh jurus? Hai, saudara-saudara, bukankah dia tadi berjanji demikian?"

Para penonton yang juga merasa tidak puas dengan keputusan yang diambil. Ouwyang Kun dan mereka menginginkan sebuah pertandingan berikutnya yang lebih seru, segera berseru, "Benar......!!"

Mendengar seruan orang banyak ini, Ouwyang Kun lalu bertanya dengan lantang.

"Sobat, katakan siapa namamu!"

"Ho-ho, namaku Golam!" kata Si Tinggi Besar Muka Hitam. Dia berbangsa Mongol akan tetapi sudah belasan tahun tinggal di Tibet sehingga logat bicaranya seperti orang Tibet.

"Sekarang, apa kehendakmu maka engkau mencampuri urusan kami memilih jodoh ini?"

"Tentu saja engkau harus memegang janjimu, dan aku ingin memasuki sayembara, hendak mengalahkan puterimu dan menghadapimu selama duapuluh jurus. Kalau aku berhasil, maka puterimu ini harus menjadi isteriku!"

Ouwyang Kun mengerutkan alisnya dan menatap tajam wajah yang bopeng dan berwarna hitam itu.

"Golam, melihat usiamu, engkau tentu sudah mempunyai isteri dan anak, bukan?"

"Ho-ho, punya anak isteri atau tidak sama sekali tidak ada hubungannya dengan sayembara ini. Pendeknya, aku memasuki sayembara dan kalian harus memenuhi janji dan melawan aku. Kecuali, tentu saja, kalau kalian Ayah dan anak merasa takut padaku! Kalau begitu, lebih baik kalian mengaku terus terang di depan semua orang ini bahwa kalian takut melawan aku, lalu cepat gulung tikar dan tinggalkan kota ini sebagai pengecut!"

Beberapa orang penonton mengeluarkan suara tawa dan semua orang menjadi tegang karena mereka mengharapkan terjadinya pertandingan yang sungguh-sungguh dan sikap Golam itu memancing ketegangan.

Ouwyang Kun menjadi merah mukanya dan matanya mencorong marah.

"Golam!" suaranya membentak.

"Sombong sekali engkau! Mendengar namamu, engkau tentu seorang Mongol dan suaramu menunjukkan bahwa engkau lama tinggal di Tibet! Aku mengerti betapa banyaknya orang Mongol yang terusir dari negaranya karena kejahatannya lalu berkeliaran di Tibet! Kami tidak pernah takut menghadapi orang-orang macam engkau ini. Guruku See-ong Hui Kong Hosiang tidak mempunyai murid pengecut!"

"Ho-ho-ha! Kiranya engkau murid See Ong (Raja Barat)? Bagus kalau kalian bukan pengecut. Suruh puterimu maju melawan aku, baru nanti engkau sendiri yang maju!"

Ouwyang Kun meragu, akan tetapi Siu Cen sudah bangkit berdiri dengan marah. Pada saat itu, Ciang Lun yang sejak tadi berdiri di pinggiran melangkah maju dan berkata kepada Golam dengan suara keras.

"Sobat, minggirlah dan jangan mencampuri dan mengganggu urusan orang lain!"

Golam menyeringai melihat pemuda itu berdiri di depannya dengan sikap menantang.

"Pergi kau!" Dia membentak dan tangannya yang berlengan panjang itu menampar ke arah kepala Ciang Lun. Pemuda itu cepat menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya.

"Dukk......!!" Tubuh Ciang Lun terpelanting dan jatuh bergulingan saking kuatnya tenaga yang membentur tangkisannya. Golam tertawa bergelak sambil menengadah dengan sikap sombong sekali.

"Manusia sombong!" tiba-tiba Ouwyang Siu Cen membentak dan ia sudah menghadapi Golam dan memasang kuda-kuda ilmu silat Kwan-im-kun. Ayah gadis ini, Ouwyang Kun memang murid See-ong Hui Kong Hosiang yang merangkai ilmu silat Ji-lai-hud dan ilmu silat yang dimainkan oleh Siu Cen adalah ilmu silat berdasarkan Ji-lai-hud-kun, khusus untuk wanita dan dinamakan Kwan-im-kun.

Akan tetapi Golam tertawa mengejek.

"Nona manis, aku akan malu kalau engkau bertangan kosong. Pergunakanlah pedangmu itu dan aku akan menghadapimu dengan tangan kosong. Itu baru adil namanya dan lebih seru!"

Akan tetapi Siu Cen sudah membentak nyaring dan maju menerjang dengan cepat dan kuat.

"Lihat seranganku!"

Akan tetapi, Golam menangkis dan begitu lengan Siu Cen bertemu dengan tangannya, tenaga tangkisan itu begitu kuatnya sehingga tubuh Siu Cen terputar dan pada saat itu, tangan kiri Golam menyambar dan dengan kurang ajar sekali tangan itu telah mengelus dan membelai dagu dan leher.

Siu Cen menjerit kecil sambil melompat jauh ke belakang dengan terkejut dan marah sekali.

"Ha-ha-ho-ho, sudah kukatakan. Pergunakanlah pedangmu, Nona manis!"

Siu Cen cepat mengambil pedangnya, melompat ke depan Golam dan membentak.

"Keluarkan senjatamu!" tantangnya.

"Ho-ho, tidak seru kalau aku menggunakan senjata. Aku tidak mau melukai kulitmu yang putih mulus itu, Nona. Tangan kakiku ini sudah lebih dari cukup untuk melayanimu main-main. Majulah!"

"Sombong, sambut pedangku!" Siu Cen membentak dan menyerang dengan pedangnya. Gerakannya cepat sekali. Akan tetapi ternyata lawannya memang hebat. Biarpun bertubuh tinggi besar, namun orang Mongol itu dapat bergerak cepat dan lebih hebat lagi, dia berani menangkis pedang Siu Cen dengan lengannya! Kalau pedang itu bertemu lengan Golam yang menangkis, terdengar bunyi seolah pedang itu bertemu sepotong baja yang amat kuat.

Kini para penonton mulai merasa tegang dan khawatir. Yang mereka tonton kini bukan lagi pertandingan adu kepandaian untuk mengukur tingkat masing-masing, melainkan pertandingan perkelahian sungguh-sungguh yang menggunakan senjata, yang dapat merobek tubuh dan merenggut nyawa! Maka, banyak di antara para penonton yang mulai mundur menjauhkan diri dan menonton dari jarak agak jauh yang aman. Tinggal sedikit saja yang menonton di tempat semula, di antara mereka termasuk Thian Liong dan Han.

Setelah pertandingan antara Siu Cen yang memegang pedang melawan Golam yang bertangan kosong itu berjalan lewat duapuluh jurus, terdengarlah Golam terkekeh dan diseling jerit-jerit kecil Siu Cen karena kini Golam yang lebih tinggi tingkatnya itu mulai mempermainkan Siu Cen. Tangannya secara kurang ajar sekali menowel pipi, meraba dada, dan mencubit pinggul. Siu Cen menjerit-jerit kecil dan merasa malu dan marah sekali.

"Jahanam busuk, biar kubunuh dia!" Han berbisik dengan muka berubah merah karena marahnya.

"Ssstt, jangan, Han. Ouwyang Kun adalah murid See Ong, seorang di antara Empat Datuk Besar. Dia pasti tidak membiarkan puterinya diganggu," kata Thian Liong. Baru saja Thian Liong habis bicara, terdengar Ouwyang Kun membentak lantang.

"Golam bangsat kurang ajar!"

Thian Liong memandang dan dia melihat betapa Golam sudah merampas dan mematahkan pedang Siu Cen dan kini dia menangkap dan merangkul gadis itu.

Ouwyang Kun melompat dan langsung menyerang Golam dengan tamparan tangannya. Golam melepaskan rangkulannya dan mendorong tubuh Siu Cen sehingga gadis itu terpelanting. Kemudian dia mengangkat tangan menangkis.

"Desss ...... !!" Pertemuan dua tenaga itu dahsyat sekali dan akibatnya tubuh Golam terpelanting dan roboh bergulingan. Pada saat itu terdengar suara nyaring.

"Omitohud! Golam, bawa gadis itu. Engkau berhak memilikinya!"

Tampak bayangan berkelebat dan bayangan itu ternyata seorang laki-laki berusia sekitar empatpuluh lima tahun, bertubuh tinggi kekar dan mukanya penuh brewok akan tetapi kepalanya gundul dan dari jubahnya dapat diketahui bahwa dia itu seorang pendeta Lhama dari Tibet. Dengan gerakan yang cepat sekali pendeta itu mendorongkan kedua tangannya ke arah Ouwyang Kun. Hawa pukulan dahsyat disertai uap hitam menyambar ke arah Ouwyang Kun bagaikan angin badai. Ouwyang Kun terkejut sekali dan dia menyambut dengan kedua tangan sambil mengerahkan seluruh sin-kang (tenaga sakti) karena dia maklum bahwa pendeta Lhama itu menyerangnya dengan pukulan yang amat kuat dan ampuh.

"Blaaaarrrr......!!" Bukan main dahsyatnya pertemuan antara dua tenaga sakti itu. Semua penonton merasa betapa tanah yang mereka injak tergetar oleh benturan hebat itu. Tubuh Ouwyang Kun terpental ke belakang dan sebelum dia dapat bangkit, tubuh pendeta Lhama itu sudah meluncur dekat dan ketika tampak kilat menyambar, pedang di tangan pendeta itu telah memasuki dadanya! Ketika pedang dicabut, Ouwyang Kun mendekap luka di dadanya darimana darah mengucur dan dia memandang terbelalak kepada penyerangnya.

"Kau...... kau...... mengapa menyerangku?"

"Hemmm, engkau yang curang mengeroyok muridku!" kata pendeta Lhama itu. Ouwyang Kun roboh terkulai dan tewas.

"Ayaaahhh......!" Siu Cen yang tadi terpelanting, sebelum sempat menghindar Golam sudah menubruk dan menotok pundaknya sehingga ia tidak mampu melawan lagi. Tubuhnya terasa lemas tiada tenaga dan ia pun tidak dapat melawan ketika tubuhnya dipondong Golam. Akan tetapi ia melihat ayahnya tertusuk dan roboh maka ia menjerit. Golam melompat dan membawa gadis itu lari sambil terkekeh senang.

"Thian Liong, tolong gadis itu, biar kuhajar keledai gundul ini!" kata Han.

"Akan tetapi dia lihai sekali, Han!"

"Dulu aku pernah menghajarnya, jangan khawatir. Cepat kejar buaya darat yang melarikan Siu Cen itu!"

Thian Liong tidak membantah lagi dan dia sudah berkelebat cepat melakukan pengejaran terhadap Golam yang membawa lari Siu Cen.

Sementara itu, pendeta Lhama itu terkejut ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat di depannya dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang pemuda yang amat tampan.

"Goat Kong Lhama, engkau memang seorang yang jahat dan kejam!"

"Omitohud! Engkau sudah mengenal nama pinceng (aku)? Siapakah engkau? Siapa namamu, orang muda?" tanya Goat Kong Lhama dengan heran.

Dia adalah seorang pendeta Lhama dari Tibet yang namanya asing di wilayah Kerajaan Kin maupun Kerajaan Sung Selatan. Kemunculannya ini baru yang kedua kalinya. Dulu, kurang lebih dua tahun yang lalu, dia pun pernah keluar dari Tibet untuk mencari Jit Kong Lhama, seorang tokoh Lhama yang dianggap murtad dan dicari oleh para Lhama di Tibet. Goat Kong Lhama menjadi utusan para Lhama untuk mencari dan menangkap Jit Kong Lhama.

Ketika itu, Jit Kong Lhama yang menjadi guru Han Bi Lan, sudah meninggalkan wilayah Sung dan kembali ke Tibet. Goat Kong Lhama tidak dapat bertemu dengan orang yang dicarinya dan dia bertemu dengan Bi Lan yang membela Kun-lun-pai karena Goat Kong Lhama menuduh Kun-lun-pai menyembunyikan Jit Kong Lhama. Terjadi perkelahian dan Bi Lan dapat mengalahkan Goat Kong Lhama dengan ilmu silat Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang ia pelajari dari kitab yang ia curi dari Thian Liong. Setelah Goat Kong Lhama kalah, dia diberi tahu bahwa Jit Kong Lhama sudah kembali ke Tibet dan dia pun lalu kembali ke barat.

"Tidak perlu engkau tahu siapa aku!" jawab Han dengan ketus.

"Sekarang katakan, di mana adanya Jit Kong Lhama?"

Goat Kong Lhama membelalakkan matanya.

"Mengapa engkau menanyakan Jit Kong Lhama? Apa hubunganmu dengan dia?"

"Tak perlu engkau tahu. Katakan saja di mana dia!"

"Omitohud"", ha-ha-ha, orang muda, engkau ingin mengetahui di mana adanya Jit Kong Lhama? Sebentar lagi engkau akan dapat bertemu dengan dia di neraka!"

Han atau Bi Lan terkejut.

"Apa...... apa maksudmu?"

"Ha-ha, kami sudah membunuh murid murtad itu, dan sekarang engkau akan menyusulnya!" Tiba-tiba Goat Kong Lhama sudah menyerangnya dengan tusukan pedangnya, pedang yang masih bernoda darah dari dada Ouwyang Kun tadi.

Akan tetapi mendengar bahwa gurunya, Jit Kong Lhama dibunuh oleh pendeta Lhama ini, Han sudah menjadi marah sekali dan dengan cepat dia sudah miringkan tubuhnya dan gerakannya menjadi kaku dan aneh karena dia sudah mainkan ilmu silat aneh Sin-ciang Tin-thian yang dia pelajari dari Si Mayat Hidup. Biarpun gerakannya kaku sekali, akan tetapi dengan tangan telanjang dia berani menangkis pedang Goat Kong Lhama.

"Cringgg......! Tranggg""!!" Goat Kong Lhama terkejut bukan main ketika pedangnya terpental dan hampir terlepas dari pegangannya. Hampir dia tidak dapat percaya. Bagaimana mungkin pemuda itu kuat menangkis pedangnya? Dia sendiri memiliki kekebalan dan berani menangkis senjata tajam lawan, akan tetapi bukan pedangnya ini! Pedangnya adalah sebatang pedang pusaka yang dapat memotong sepotong besi baja seperti memotong kayu lunak saja. Dan gerakan pemuda itu mengerikan! Bukan seperti orang bergerak dalam ilmu silat, melainkan seperti setan atau mayat berjalan, kaku dan menyeramkan!

Goat Kong Lhama mengeluarkan seluruh jurus simpanannya dan mengerahkan seluruh tenaganya karena dia maklum betapa lihai lawannya yang masih muda itu. Padahal selama ini dia sudah mem-perdalam ilmu-ilmunya. Bagaimana mungkin dia yang bersenjatakan sebatang pedang pusaka ampuh tidak akan dapat mengalahkan seorang pemuda yang bertangan kosong? Saking penasaran, pendeta Lhama itu menyerang dengan hebat, mengamuk sambil mulutnya mengeluarkan suara bacaan mantram yang dapat mendatangkan kekuatan sihir yang ampuh. Namun, Han agaknya tidak terpengaruh dan terjadilah pertandingan mati-matian karena sambaran tangan dan kaki Han juga merupakan cengkeraman-cengkeraman maut bagi lawannya.

Sementara itu, Thian Liong sudah berlari cepat mengejar Golam yang melarikan diri sambil memondong Ouwyang Siu Cen. Orang Mongol ini lari ke arah telaga dan dia melepaskan tali sebuah perahu, agaknya hendak melarikan diri dengan perahu itu. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan di belakangnya.

"Lepaskan gadis itu!" Golam cepat membalikkan tubuhnya, lengan kiri masih memanggul tubuh Siu Cen di atas pundaknya dan tangan kanannya yang besar dan panjang itu menyambar ke arah Thian Liong. Tamparan itu kuat sekali. Akan tetapi Thian Liong yang mengkhawatirkan keselamatan gadis itu, takut kalau dia menggunakan kekerasan Siu Cen akan terluka, tidak menangkis melainkan mengelak dan secepat kilat tangan kirinya menotok ke arah pundak kiri Golam.

"Tukk!!" Golam mengeluh karena tiba-tiba lengan kirinya terasa lumpuh dan sebelum dia dapat menguasai dirinya, tahu-tahu tubuh Siu Cen sudah terlepas dari pondongannya. Dia menjadi marah bukan main, mengerahkan seluruh tenaganya sehingga kelumpuhan sementara pada lengan kirinya itu menghilang. Dengan suara menggereng seperti seekor srigala, dia menubruk ke arah Thian Liong. Akan tetapi pemuda yang masih memondong tubuh Siu Cen yang dirampasnya tadi memutar tubuh setengah lingkaran dan kaki kanannya mencuat dengan amat cepat dan kuatnya, merupakan sebuah tendangan kilat.

"Syuuuuttt...... desss!" Tubuh Golam terlempar jauh dan jatuh ke dalam telaga. Air muncrat dan Golam yang terkejut dan merasa dadanya nyeri dan napasnya sesak maklum bahwa pemuda itu lihai bukan main. Dia tidak akan menang melawan pemuda itu, maka takut kalau dikejar dan diserang, dia lalu menyelam ke dalam air.




Akan tetapi Thian Liong sama sekali tidak mempunyai niat untuk mengejar. Dia hanya memandang ketika orang Mongol itu muncul di permukaan air, sudah jauh di tengah lalu berenang dengan cepat ke arah menjauh. Lalu dengan hati-hati Thian Liong menurunkan tubuh Siu Cen di atas tanah dan menggunakan jari tangannya membuka totokan yang dilakukan Golam atas diri gadis itu.

Begitu terbebas dari totokan, Siu Cen bangkit berdiri, akan tetapi ia terhuyung dan mengeluh, "Ayah.......!"

Tiba-tiba Ciang Lun, pemuda yang tadi menjadi orang pertama memasuki sayembara, dan yang tadi ikut mencoba mengejar ketika melihat Siu Cen dilarikan Golam, sudah mendekati gadis itu dan memegang lengannya agar tidak jatuh.

"Nona, tenangkan hatimu......" Setelah Siu Cen tidak terhuyung lagi, Ciang Lun melepaskan pegangannya.

"Ahh...... bagaimana dengan Ayahku......?" Ia melihat Thian Liong yang tadi menolongnya sudah berlari cepat ke tempat dilakukan pi-bu tadi.

"Ayahmu terluka oleh pendeta jahat itu, akan tetapi sekarang seorang pemuda sedang berkelahi dengannya."

"Ayah......!" Siu Cen menoleh ke arah tempat tadi lalu ia lari sambil terisak-isak. Ciang Lun juga lari mengikuti.

Perkelahian antara Goat Kong Lhama dan Han berlangsung seru. Pendeta Lhama itu makin terkejut ketika menghadapi serangan-serangan aneh dari Han, dengan gerakan kaku namun setiap gerakan itu mengandung tenaga sin-kang yang luar biasa. Di lain pihak, Han atau Bi Lan sengaja mengeluarkan jurus-jurus andalannya karena ia mengambil keputusan untuk membunuh pendeta Lhama yang tadi mengatakan telah membunuh gurunya, yaitu Jit Kong Lhama. Selain itu, juga dia tadi melihat betapa jahat dan kejamnya Goat Kong Lhama yang membantu Golam dengan membunuh Ouwyang Kun dan membiarkan orang Mongol itu menculik Siu Cen.

"Mampuslah""!!" Goat Kong Lhama menyerang dengan dahsyat sekali, menusukkan pedangnya ke arah dada Han sambil mengeluarkan teriakan menggelegar. Bagi lawan yang sinkangnya tidak kuat, baru menghadapi serangan suara menggelegar ini saja sudah dapat menewaskannya atau setidaknya melumpuhkannya. Akan tetapi Han tidak terpengaruh sama sekali. Bahkan ketika pedang itu meluncur ke arah dadanya, dia hanya miringkan tubuhnya sedikit saja namun cukup untuk menghindarkan diri. Pedang itu meluncur dekat sekali dengan tepi dada sebelah kiri. Han membarengi tusukan pedang itu dengan hantaman tangan kanannya, dengan gerakan kaku, lengannya menusuk seperti sebatang kayu. Gerakannya aneh namun tepat sekali karena pada saat itu Goat Kong Lhama sedang mencurahkan seluruh perhatiannya kepada pedang yang hampir menusuk dada pemuda itu.

"Han, jangan......!" Tiba-tiba terdengar Thian Liong yang baru datang di tempat itu. Dia terkejut melihat serangan Han kepada pendeta Lhama itu karena dia melihat bahwa serangan itu adalah pukulan maut. Dia dapat melihat sinar meluncur dari tangan Han yang memukul. Akan tetapi Han tidak menarik kembali atau menahan pukulannya. Bahkan dia menambahkan tenaga.

"Wuuuuttt...... blarrr......!" Tubuh Gwat Kong Lama terpental lalu terbanting, terjengkang di atas tanah dan tidak mampu bergerak lagi karena dia tewas seketika terkena pukulan ilmu dari Si Mayat Hidup!

"Han......!" Thian Liong menghampiri dan menengur dengan lembut namun nada suaranya mengandung penyesalan.

"Mengapa engkau membunuhnya?"

"Mengapa aku membunuhnya? Tentu saja aku membunuhnya. Dia jahat dan kejam. Tidakkah engkau melihat sendiri betapa dia membantu Golam menculik Siu Cen dan dia membunuh Ouwyang Kun? Mengapa masih bertanya dan suaramu mencela kalau aku membunuh orang kejam ini?"

"Han, engkau menganggap dia kejam karena dia membunuh Ouwyang Kun, akan tetapi engkau sendiri membunuh Goat Kong Lhama! Lalu apa bedanya dengan dia dan engkau yang sama-sama menjadi pembunuh?"

"Thian Liong, mengapa engkau seolah membela dia?"

"Bukan membela, Han. Akan tetapi, setidaknya dia harus ditanya dulu mengapa dia membunuh Ouwyang Kun. Ketahuilah, seperti sudah kukatakan tadi, Ouwyang Kun adalah murid datuk besar yang sesat dari barat, jadi kita belum tahu ada urusan apa di antara mereka dan siapa tahu sebagai murid See Ong, Ouwyang Kun itu juga bukan orang baik-baik."

"Dan engkau tidak mengerti, Thian Liong. Aku membunuh Goat Kong Lhama bukan hanya karena dia membunuh Ouwyang Kun, akan tetapi lebih dari itu, dia telah membunuh guruku, Jit Kong Lhama! Aku membalas dendam atas kematian Suhu di tangannya."

Thian Liong mengangguk-angguk dan menghela napas panjang. Dia teringat akan wejangan gurunya, Tiong Lee Cin-jin bahwa dalam dunia persilatan terdapat banyak permusuhan, bunuh membunuh karena saling mendendam. Bunuh membunuh karena dendam ini tidak akan ada habisnya. Yang kalah mendendam lalu berusaha membalas, kalau dapat membunuh lawannya, maka lawan itu pun akan berganti menjadi pendendam dan berusaha membunuh musuhnya. Demikian tiada habisnya. Terhentinya dendam mendendam ini berada di tangan kita sendiri, kalau kita menghentikan mata rantai dendam itu ketika tiba pada bagian kita, maka rantai dendam mendendam itu menjadi putus.

Bi Lan adalah seorang manusia biasa, apalagi ia memang memiliki watak yang keras. Tidak terlalu aneh kalau ia mendendam kepada Goat Kong Lhama yang telah membunuh gurunya. Apalagi gadis itu melihat betapa jahat dan kejamnya pendeta Lhama itu membunuh Ouwyang Kun dan membantu Golam menculik Siu Cen. Mungkin juga kematiannya itu merupakan hukuman sebagai buah kejahatannya dan jatuhnya hukuman itu melalui diri Bi Lan.

Terdengar suara jerit tangis. Ketika Han dan Thian Liong menengok, ternyata yang menangis adalah Ouwyang Siu Cen yang berlutut dekat jenazah ayahnya. Ciang Lun berlutut di dekatnya dan pemuda ini mengucapkan kata-kata menghibur.

"Sudahlah, Nona, harap tenangkan hatimu. Ayahmu telah meninggal dunia, tidak ada gunanya ditangisi lagi. Pula, pembunuhnya juga sudah menerima hukumannya dan terbunuh. Lebih baik mengurus jenazah ayahmu, kasihan kalau dibiarkan menggeletak di sini."

Siu Cen memandang ke arah mayat Goat Kong Lhama yang menggeletak tidak jauh dari situ, kemudian ia memandang jenazah ayahnya dan berkata lirih, suaranya parau karena tangis.



JODOH SI NAGA LANGIT JILID 14
"Akan tetapi...... bagaimana mengurusnya......? Aku...... aku tidak mempunyai keluarga atau kenalan di sini......"

"Nona Ouwyang, biarlah aku yang akan mengurus, dari upacara persembahyangan sampai pemakaman selesai. Aku yakin Ayah Ibuku akan membantu dengan rela dan senang hati. Ketahuilah, Ayahku adalah seorang guru silat yang dikenal di kota ini. Mari, Nona, biar kuatur pengangkutan jenazah Ayahmu ke rumah kami."

"Nanti dulu, Twako (Kakak). Aku harus mengucapkan terima kasih lebih dulu kepada dua orang pemuda yang tadi membela kami." Akan tetapi ketika Siu Cen dan Ciang Lun bangkit dan mencari-cari, Han dan Thian Liong telah pergi meninggalkan tempat itu.

Ciang Lun lalu mendatangkan sebuah kereta untuk mengangkut jenazah Ouwyang Kun ke rumah orang tuanya. Siu Cen yang tadinya merasa rikuh sekali harus mengganggu keluarga Ciang yang sama sekali tidak mempunyai hubungan dengannya, menjadi lega setelah bertemu dengan Ciang-kauwsu (Guru Silat Ciang) dan isterinya yang menyambutnya dengan ramah sekali. Kiranya ayah dan ibu Ciang Lun merasa setuju sepenuhnya ketika Ciang Lun menceritakan hubungannya dengan Siu Cen dan betapa dalam pi-bu (adu silat) tadi dia telah diterima sebagai jodoh gadis itu. Jenazah Ouwyang Kun lalu diurus sebaik-baiknya sampai selesai dimakamkan. Tentu saja Siu Cen sangat berterima kasih dan karena memang sejak pi-bu tadi ia sudah tertarik dan suka kepada Ciang Lun, maka ia setuju ketika orang tua Ciang Lun dengan resmi mengangkatnya menjadi mantu.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Thian Liong dan Bi Lan atau yang kini menyamar sebagai seorang pemuda dengan nama Han, meninggalkan rumah penginapan lalu melanjutkan perjalanan keluar dari kota Leng-an. Mereka melangkah perlahan-lahan di atas jalan umum yang menuju utara. Pagi itu masih sepi dan mereka berjalan sambil bercakap-cakap, membicarakan peristiwa yang mereka alami kemarin di dekat telaga.

"Engkau agaknya sudah mengenal pendeta Lhama itu, Han. Bagaimana engkau bertemu dengannya?"

"Nanti dulu. Engkau juga agaknya mengenal See Ong, datuk besar yang menjadi guru Ouwyang Kun itu. Ceritakan dulu tentang pertemuanmu dengan datuk itu, baru nanti giliranku bercerita."

Thian Liong lalu menceritakan pengalamannya ketika dia mengintai pertemuan antara Empat Datuk Besar di Pulau Iblis yang terdapat di tengah Telaga Barat.

"Hemm, mau apa Empat Datuk Besar itu berkumpul di sana?"

"Mereka itu secara bersama menggembleng seorang murid sehingga murid itu kini menjadi seorang yang lihai dan berbahaya sekali. Ilmu-ilmu dari Empat Datuk Besar itu telah digabung. Dia menjadi luar biasa kuatnya sehingga ketika mereka berempat menguji, mereka tidak mampu mengalahkan pemuda itu."

"Wah, hebat pemuda itu! Siapa dia?"

"Namanya Can Kok dan dia adalah keponakan dari Tung-sai Kui Tong, datuk sesat dari timur, majikan Pulau Udang. Demikianlah, Han, pertemuanku dengan Empat Datuk Besar itu, atau lebih tepat bukan pertemuan karena ketika mereka muncul di pulau itu, aku hanya mengintai sambil bersembunyi. Sekarang ceritakan bagaimana engkau dapat mengenal pendeta Lhama tadi."

Han tersenyum, lalu tiba-tiba cemberut karena teringat akan pesan Thian Liong agar dia jangan tersenyum yang akan memperlihatkan kecantikannya sebagai wanita. Melihat ini, Thian Liong tertawa.

"Ha-ha-ha, kalau tidak ada orang lain yang melihatnya, tentu saja engkau boleh tersenyum, bahkan senyumlah yang banyak karena aku senang melihatnya!"

"Tidak perlu memuji! Engkau mau mendengarkan atau tidak?"

"Ya-ya, maafkan aku, Han. Ceritakanlah, aku mendengarkan."

"Ketika itu aku pergi ke Kun-lun-pai untuk bertemu dengan pimpinan Kun-lun-pai. Di sana aku melihat Goat Kong Lhama sedang mengacau dan menantang para pimpinan Kun-lun-pai. Beberapa orang pemimpin Kun-lun-pai telah dikaIahkan. Aku lalu membela Kun-Iun-pai dan setelah bertanding, aku berhasil mengalahkan dia berkat...... berkat perbuatanku dulu mencuri kitab dari buntalan pakaianmu itu!"

"Eh? Bagaimana bisa demikian?"

"Ketika aku mendapatkan kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat itu, aku lalu mempelajarinya dan tekun berlatih di bawah bimbingan guruku, Jit Kong Lhama. Setelah aku menguasai ilmu itu, aku lalu pergi ke Kun-lun-pai dengan niat mengembalikan kitab itu kepada pemiliknya. Nah, aku melihat Goat Kong Lhama mengacau di sana. Dia utusan para Lhama di Tibet untuk mencari guruku, Jit Kong Lhama yang dianggap murtad. Nah, dengan ilmu yang kucuri dari Kun-lun-pai itu aku mengalahkan Goat Kong Lhama. Para pimpinan Kun-lun-pai memaafkan aku, menerima kembali kitab itu bahkan mengakui aku sebagai murid Kun-lun-pai. Dan tadi ketika aku bicara dengan Goat Kong Lhama dia mengaku bahwa dia dan para Lhama telah membunuh guruku."

"Hemm, kalau begitu pantas engkau mendendam kepadanya," kata Thian Liong sambil mengangguk-angguk.

"Apa maunya Empat Datuk Besar itu bergabung dan menurunkan ilmu mereka kepada pemuda bernama Can Kok itu? Engkau belum menceritakan hal itu."

"Mereka mempunyai niat yang keji, yaitu agar murid mereka yang digembleng secara khusus itu dapat mewakili mereka untuk membunuh guruku, Tiong Lee Cin-jin."

"Hemm, mengapa harus bersusah payah mendidik murid itu yang memakan waktu lama? Mengapa tidak langsung saja mereka melaksanakan niat mereka itu?"

Thian Liong tersenyum.

"Mereka semua pernah dikalahkan Suhu dan mereka tidak berani. Karena itu, masing-masing membuang waktu dua tahun untuk bergantian melatih Can Kok dan kukira, dengan adanya Can Kok tentu saja mereka akan menjadi kuat sekali dan keselamatan Suhu terancam. Karena itu aku hendak menghadap Suhu dan menceritakan tentang bahaya yang mengancamnya itu."

"Hemm, engkau sudah menceritakan hal itu kepadaku. Kukira tidak perlu dipusingkan benar. Kalau tingkat kepandaian para Datuk Besar itu hanya seperti itu, melihat tingkat Ouwyang Kun murid seorang dari mereka, apa yang perlu ditakuti? Tiong Lee Cin-jin pasti akan dapat mengalahkan mereka. Aku mendengar bahwa Tiong Lee Cin-jin memiliki kepandaian seperti dewa! Guruku, Jit Kong Lhama sendiri yang memuji-mujinya."

Thian Liong menggeleng kepala dan menghela napas panjang.

"Engkau tidak mengerti, Han. Suhu Tiong Lee Cin-jin sudah semakin tua dan aku mengetahui benar wataknya. Dia tidak suka bermusuhan dan kalau para datuk ditambah Can Kok dan murid-murid mereka yang lain, Suhu pasti mengalahkan dan tidak mau membunuh. Betapapun juga, menghadapi pengeroyokan mereka, apalagi dengan adanya Can Kok yang lihai, Suhu yang sudah tua sukar untuk dapat mengatasi mereka." Thian Liong memandang wajah Han dan melanjutkan, "Karena itu, sekali lagi aku minta, maukah engkau membantu suhu untuk menghadapi Empat Datuk Besar dan murid-murid mereka itu?"

"Ah, apa yang dapat kubantukan? Kepandaianku masih rendah......"

"Wah, kalau tingkat ilmu silatmu masih rendah, lalu yang bagaimana tingkat yang tinggi itu? Kepandaianmu tidak rendah, Han, tetapi engkaulah yang merendah. Aku kagum sekali padamu. Selain engkau menguasai Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat dari Kun-lun-pai, engkau juga kebal terhadap serangan sihir seperti yang kulihat ketika engkau melawan Goat Kong Lhama tadi. Selain itu...... aku masih terkejut, terheran, dan kagum sekali melihat gerakanmu ketika menyerang tadi. Gerakanmu begitu aneh, kaku dan".. menyeramkan. Akan tetapi daya serangannya luar biasa hebatnya. Terus terang saja, karena mendapat bimbingan Suhu Tiong Lee Cin-jin, aku mengenal hampir semua dasar gerakan ilmu silat dari bermacam aliran. Akan tetapi melihat gerakanmu tadi, aku sama sekali belum pernah melihat atau mendengarnya. Kalau engkau tidak ingin merahasiakannya, ingin aku mengetahui, dari mana engkau mempelajari ilmu aneh menyeramkan dan amat lihai itu?"

Gadis yang menyamar sebagai pemuda itu termenung. Dia terbayang dan terkenang masa lalu ketika menjadi murid Si Mayat Hidup. Selama satu tahun ia digembleng dengan ilmu silat "mayat hidup" yang aneh itu dan Heng-si Ciauw-jiok (Mayat Hidup Berjalan) itu memesan agar setelah belajar setahun dia harus mengubur gurunya itu hidup-hidup! Akan tetapi dia tidak melakukan pesan ini dan setelah selesai belajar selama setahun, dia kabur dan pergi tanpa pamit. Kini Thian Liong bertanya tentang gurunya itu. Dia sudah percaya betul kepada pemuda itu dan mengharapkan dapat bekerja sama dengannya.

"Aku mau menceritakan, akan tetapi engkau harus berjanji untuk merahasiakan hal ini, tidak mengatakan kepada siapapun juga."

"Aku berjanji!"

"Sumpah?"

"Aku bersumpah tidak akan menceritakan rahasiamu itu kepada siapapun juga!"

"Eh, sumpah macam apa itu?" Han mengomel.

"Habis bagaimana?"

"Engkau harus bersumpah bahwa kalau engkau melanggar sumpahmu, akan terjadi sesuatu padamu."

"Oo, begitu? Baiklah, aku bersumpah tidak akan menceritakan rahasiamu kepada siapapun juga, kalau aku melanggar sumpahku ini biarlah....... selamanya aku tidak akan berpisah lagi denganmu!"

"Wah, enak betul kamu!"

"Han, kau anggap bahwa kalau kita berkumpul terus takkan pernah berpisah merupakan hal yang enak dan menyenangkan?"

"Kubilang kau yang enak dan senang."

"Dan engkau sendiri? Tidak senangkah?"

"Sudahlah, jangan macam-macam. Engkau harus bersumpah bahwa kalau engkau melanggar, engkau akan mengalami hal yang tidak enak, seperti misalnya....... tidak bisa tidur dan tidak bisa makan!"

"Wah, kau biarkan aku ngantuk dan kelaparan?"

"Jangan bergurau, cepat bersumpah atau aku tidak akan sudi menceritakannya kepadamu."

"Baiklah, Han. Nah, aku mengulang sumpahku. Kalau aku menceritakan rahasiamu kepada orang lain, biarlah aku tidak bisa tidur kalau makan dan tidak bisa makan kalau tidur!"

Sejenak Han mengerutkan alisnya, bingung mendengar kata-kata yang dibolak-balik itu. Akan tetapi ketika akhirnya dia mengerti, dia melotot dan marah-marah.

"Enak saja kau! Sumpah macam apa itu? Tentu saja kalau tidur tidak bisa makan dan bagaimana mungkin makan sambil tidur? Engkau mau mempermainkan aku, ya?"

"Maaf, Han, terus terang saja aku memang belum pernah bersumpah, jadi tidak mengerti bagaimana seharusnya."

"Katakan kalau engkau melanggar, kepalamu membengkak, rambutmu rontok gundul, telingamu besar kecil, matamu juling, hidungmu pesek rata, mulutmu sumbing, perutmu busung"""

"Cukup, jangan panjang-panjang, repot aku mengingatnya. Baiklah, kalau aku melanggar, kepalaku bengkak, rambutku rontok, telingaku besar, mataku juling, hidungku pesek, mulut sumbing, perut busung, akan tetapi bertambah tampan!"

"Dasar brengsek! Aku tidak mau menceritakan!"

"Aih, Han, begitu saja marah? Sudahlah, biar aku mohon ampun sebanyaknya kepadamu." Thian Liong merangkap kedua tangan depan dada dan memberi hormat berulang-ulang. Han tertawa melihat ulah ini.

"Sudah, sekali ini kumaafkan. Awas lain kali kalau berani mempermainkan aku. Nah, dengarlah, guruku yang kedua itu berjuluk Heng-si Ciauw-jiok."

Sekali ini Thian Liong tidak main-main lagi. Dia malah terbelalak, kaget dan heran.

"Ah, Heng-si Ciauw-jiok? Suhuku pernah menyebut nama itu yang kabarnya telah tewas dikeroyok banyak datuk lain."

"Benar, dialah guruku kedua yang membimbingku selama satu tahun. Suhu Jit Kong Lhama juga pernah bercerita kepadaku seperti itu. Akan tetapi kenyataannya dia masih hidup biarpun lebih pantas kalau disebut mayat hidup. Dia pesan agar setelah aku belajar ilmu selama setahun, aku harus mengubur dia hidup-hidup! Tentu saja aku tidak mau melaku-kan perbuatan kejam itu, apalagi selama setahun dia menjadi guruku! Maka, setelah belajar setahun lamanya, aku lalu meninggalkannya tanpa pamit."

"Wah, hebat sekali! Pantas engkau begitu lihai, Han!"

"Apanya yang lihai? Buktinya aku masih tidak mampu mengalahkanmu. Padahal aku belajar mati-matian dengan niat untuk mengalahkanmu!"

Thian Liong menghela napas panjang.

"Aku masih ingat semuanya itu, Han, dan selama ini aku selalu menyesali perbuatanku terhadap dirimu. Masih terus terngiang dalam telingaku kata-katamu bahwa engkau akan membalas penghinaanku kepadamu. Akan tetapi mengapa engkau tidak membalas sepenuhnya, baru menampar beberapa kali saja sudah berhenti, bahkan engkau menyelamatkan aku ketika aku diserang Pak-sian dan muridnya?"

"Karena....... karena....... ah, sudahlah! Semua itu merupakan sebab akibat yang sambung menyambung dan ruwet. Aku ingin sekali memperdalam ilmu, maka aku mencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat darimu. Sebetulnya aku menyesal maka melihat engkau dikeroyok orang-orang Siauw-lim dan Kun-lun, aku membantumu. Kemudian engkau membalas dan menampari aku. Aku merasa sakit hati, lalu memperdalam ilmu lagi untuk membalasmu. Kita saling bertemu dan engkau mengalah sehingga aku pun setengah hati membalas tamparanmu. Lalu muncul Pak-sian dan muridnya menyerang engkau yang tak berdaya. Tentu saja aku membelamu! Semua itu wajar, kecuali kalau engkau menganggap aku orang sesat seperti Empat Datuk Besar itu."

Thian Liong mengangguk-angguk.

"Aku pun merasa menyesal bukan main setelah dulu menamparmu dan baru aku ketahui bahwa gadis baju merah yang mencuri kitabku itu adalah Han Bi Lan, puteri dari Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi yang kuhormati. Kalau aku tahu sebelumnya, tidak mungkin aku berani melakukan hal itu kepadamu."

"Sudahlah, kita lupakan saja semua itu. Kita sama-sama merasa bersalah, ya sudahlah, kejadian itu menjadi pelajaran bagi kita."

"Engkau benar, Han. Akan tetapi, bagiku, mendapatkan maaf darimu saja masih belum cukup. Aku ingin sekali mengakui kesalahanku itu kepada Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi. Akan tetapi....... sayang Ayahmu terbunuh orang dan engkau tidak mau mengatakan di mana Ibumu berada."

"Sudah kukatakan, cukup dan jangan bicarakan lagi!"

"Maafkan aku. Engkau benar, membicarakannya hanya akan membangkitkan kenangan sedih tentang kematian Ayahmu."

Kedua orang muda itu melakukan perjalanan ke barat. Tujuan perjalanan mereka adalah Pegunungan Gobi karena Thian Liong ingin menghadap gurunya, Tiong Lee Cin-jin yang tinggal di Puncak Pelangi, satu di antara puncak-puncak Pegunungan Gobi-san. Namun, di sepanjang perjalanan mereka mencari keterangan tentang keberadaan Bouw Kiang dan Bong Siu Lan, dua orang murid Ouw Kan yang telah menewaskan Han Si Tiong.

Mereka melakukan perjalanan tanpa mengenal lelah, namun atas nasihat Thian Liong, mereka melakukan perjalanan secara santai karena selain hal ini akan memudahkan mereka mencari keterangan tentang dua orang murid Ouw Kan itu, juga tidak akan terlalu banyak menguras tenaga. Kalau malam tiba, mereka menginap di rumah penginapan sebuah kota, dan kalau terpaksa perjalanan tertunda waktu malam selagi mereka berada di hutan, mereka pun bermalam di tengah hutan.

Selama melakukan perjalanan ini, keduanya saling tertarik. Han Bi Lan atau Han melihat kenyataan bahwa Souw Thian Liong adalah seorang pemuda yang sederhana, rendah hati, lembut dan baik budi. Sebaliknya Thian Liong juga melihat bahwa Han Bi Lan adalah seorang gadis yang biarpun wataknya keras namun memiliki jiwa pendekar yang gagah. adil, pembela kebenaran dan....... Entah mengapa, segala gerak geriknya, cara ia bicara, memandang, semua itu tampak amat menarik hati, membuat dia terkagum-kagum dan terpesona. Dalam lubuk hatinya Thian Liong membandingkan gadis ini dengan para gadis lain yang pernah dekat dengannya seperti Pek Hong Niocu atau Puteri Moguhai, Ang Hwa Sian-li atau Thio Siang In, dan banyak lagi gadis lain yang pernah bertemu dengannya.

Pada suatu siang mereka tiba di sebuah hutan di lereng bukit yang tidak terlalu besar. Thian Liong mengerling ke samping dan melihat gadis yang menyamar pria itu melangkah dengan tegap di sampingnya. Caping lebar dan mantel longgar yang menutup kepala dan badannya, menyembunyikan keaslian dirinya sebagai wanita. Thian Liong menghela napas panjang. Mengapa dia tertarik dan berpikir yang bukan-bukan terhadap Bi Lan? Dia mencela pikirannya sendiri. Dia tahu bahwa Han Bi Lan oleh orang tuanya telah dijodohkan dengan Kwee Cun Ki pemuda yang gagah dan tampan, putera Panglima Kwee yang terkenal, setia kepada Kaisar, bijaksana dan jujur itu! Dia harus membuang jauh-jauh khayalan hampa itu!

"Apa yang kaukatakan?"

Tiba-tiba Thian Liong seperti terseret turun ke alam kenyataan dari lamunannya tadi. Dia menoleh kepada Han dan balas bertanya.

"Mengatakan apa? Aku tidak bicara"..."

"Hemm, aku mendengar engkau tadi berkata-kata dengan bisikan."

Thian Liong terkejut. Jangan-jangan jalan pikirannya dalam lamunan tadi terucapkan olehnya! "Oo....... itu? Aku...... aku tadi hanya bicara kepada diri sendiri bahwa....... perutku lapar sekali......."

"Gila!" Han tertawa.

"Perut lapar mengapa bicara kepada diri sendiri? Ka-takan saja dan kita dapat mencari makanan untuk perutmu yang gembul itu!"

"Ah, aku malu untuk bilang bahwa perutku lapar."

"Nah itu sudah bilang! Mengapa tidak malu?"

"Ini namanya sudah terlanjur ketahuan!"

Mereka berdua tertawa. Akan tetapi suara tawa itu terhenti ketika tiba-tiba belasan orang muncul di hadapan mereka. Agaknya mereka itu tadi bersembunyi dan ketika Thian Liong dan Han tiba di situ, mereka berlompatan keluar dari balik semak dan pohon. Semua ada tigabelas orang, dipimpin seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun lebih yang tinggi besar dan mukanya hitam. Laki-laki itu memegang sepasang golok besar, sedangkan duabelas orang kawannya semua memegang sebatang golok! Melihat penampilan mereka, mudah diduga bahwa mereka adalah golongan penjahat, mungkin perampok.

Han tersenyum kepada Thian Liong.

"Nah, ini sudah datang para pelayan yang akan mencarikan makan untuk perutmu!"

Thian Liong tersenyum. Gadis ini memang pemberani dan di balik kekerasan hatinya, ia itu sebetulnya periang, jenaka dan nakal walaupun selama dalam perjalanan dia sering melihat Han bermuram durja tanpa mau mengatakan apa yang merisaukan hatinya.

Kepala perampok itu tertawa bergelak melihat dua orang pemuda yang tampaknya lemah itu. Dia tidak dapat mendengar jelas ucapan Han kepada Thian Liong karena Han hanya berbisik saja.

"Hoa-ha-ha, dua ekor anak ayam ini tidak banyak bulunya! Akan tetapi lumayan, dari pada ini hari kosong tidak ada pemasukan sama sekali!"

"Twako, siapa tahu dalam buntalan mereka itu terdapat apa-apa yang berharga!" kata seorang di antara para anak buah perampok.

"Ha, benar juga! Hei, kalian dua orang bocah! Cepat tanggalkan buntalan dari pundakmu dan juga tanggalkan pakaian luar kalian dan sepatu kalian di sini. Barulah kami melepaskan dan membolehkan kalian melanjutkan perjalanan!"

"Eh, muka hitam buruk kaya lutung! Kalau kami tidak mau, bagaimana?"

Muka yang sudah hitam itu menjadi semakin hitam, mungkin kalau bagi orang lain yang kulit mukanya agak bersih akan tampak merah saking marahnya mendengar ucapan Han yang amat merendahkan dan mengejek itu. Duabelas orang temannya juga menjadi marah dan juga heran merasa heran sekali ada orang muda lemah berani bicara sedemikian kurang ajarnya kepada pemimpin mereka.

"Bangsat kurang ajar kamu! Kawan-kawan, tangkap dia! Kita gantung di pohon!" Si Muka Hitam membentak dan memerintahkan kawan-kawannya.

Karena mereka juga marah, duabelas orang anak buah perampok itu lalu mengepung Han yang menjauhkan diri dari Thian Liong sehingga yang dikepung hanya dia. Thian Liong sendiri sambil tersenyum lalu duduk di atas akar pohon yang tersembul di permukaan tanah dan menonton. Orang-orang jahat itu mencari penyakit, pikirnya. Dan dia hendak melihat apakah nasihat-nasihatnya diturut oleh Han, yaitu bahwa amat tidak baik membunuh orang.

Duabelas orang itu dengan wajah bengis, mengancam dan menyeringai menakutkan, kini serentak maju menjulurkan tangan-tangan yang berotot dan besar untuk menangkap pemuda itu. Mereka hendak menangkap Han dan menggantungnya di pohon seperti yang diperintahkan pemimpin mereka tadi. Si Muka Hitam berdiri bertolak pinggang sambil tertawa, ingin segera melihat pemuda yang menghinanya tadi tergantung sampai mati di pohon.

Akan tetapi mukanya yang menyeringai itu berubah. Matanya terbelalak dan mulutnya ternganga ketika dia melihat betapa duabelas orang anak buahnya yang seolah berebut hendak menangkap pemuda itu, tiba-tiba berpelantingan ke belakang sambil mengeluarkan seruan-seruan kaget. Mereka semua terjengkang dan terbanting ke atas tanah. Kini tampak pemuda yang akan ditangkap dan digantung itu berdiri tegak dengan kedua lengan dilipat di depan dada, memandang kepadanya sambil tersenyum mengejek.

Melihat ini, selain kaget dan heran, kepala perampok itu juga menjadi marah dan penasaran sekali. Karena tadi tidak melihat bagaimana anak buahnya dapat berpelantingan seperti itu, dia berseru nyaring.

"Bunuh dia! Bunuh!!"

Duabelas orang itu memang penasaran juga. Tadi ketika mereka hendak menangkap, pemuda itu hanya berputar dan tahu-tahu mereka terjengkang seolah diterpa angin yang amat kuat. Kini mendengar aba-aba itu, mereka berloncatan berdiri dan mencabut golok masing-masing. Tanpa menanti komando lagi mereka menyerbu ke arah pemuda yang masih berdiri bersedakap sambil tersenyum-senyum itu.

Melihat ini, Thian Liong tenang saja karena dia yakin bahwa mereka tidak akan mampu menyakiti Han dan tadi dia sudah melihat betapa Han hanya membuat mereka berpelantingan dan tidak mencederai mereka, apalagi membunuh.

Andaikata kawanan perampok ini bertemu Han Bi Lan sebelum gadis itu bergaul dengan Thian Liong, sudah dapat dipastikan bahwa pada waktu pertama kali mereka tadi menyerang, kini mereka tentu sudah tewas semua. Akan tetapi, ternyata Han tidak mau mencederai mereka. Hal ini adalah karena ia yakin bahwa perbuatan membunuh itu adalah amat kejam dan tidak baik, dan terutama sekali karena dia merasa malu terhadap Thian Liong kalau dia melakukan pembunuhan. Kini, melihat duabelas orang itu malah menggunakan golok menyerangnya, hatinya menjadi panas dan ingin memberi hajaran yang lebih keras lagi.

Karena duabelas orang itu menyerang dengan kepungan ketat, maka kepala perampok itu tidak dapat melihat apa yang terjadi. Akan tetapi dia semakin terkejut ketika orang-orangnya berteriak dan kini terlempar ke belakang satu demi satu dengan tubuh terluka! Walaupun luka-luka itu tidak terlalu berat sehingga tidak mematikan, namun mengeluarkan banyak darah sehingga pakaian mereka berlepotan darah mereka sendiri. Ada yang terluka pundaknya, ada yang terbacok pahanya, ada yang tergores lengannya dan sebagainya dan semua luka itu diakibatkan oleh golok mereka sendiri yang tiba-tiba membalik dan menyerang diri mereka sendiri!

Melihat betapa duabelas orang roboh dan mengaduh-aduh, Si Muka Hitam cepat melarikan diri dari tempat itu.

"Heh, Muka Hitam, berhenti engkau!" Han berteriak dan teriakannya itu melengking, mengandung getaran kuat dan kepala perampok itu pun tiba-tiba berhenti berlari seolah-olah berubah menjadi arca!

"Muka Hitam, berbaliklah dan merangkaklah engkau ke sini!" kembali terdengar suara yang penuh wibawa dari Han.

'I'hian Liong tersenyum dan menggeleng-geleng kepalanya. Benar-benar nakal seperti anak kecil. Mempermainkan Si Muka Hitam dengan kekuatan sihir! Si Muka Hitam itu memang seperti seorang perajurit mendengar perintah jenderalnya. Dia memutar tubuh menghadap ke arah Han, lalu menjatuhkan diri berlutut dan merangkak menghampiri Han!

Setelah tiba di depan kaki Han, kepala perampok itu berhenti. Semua anak buahnya yang masih kesakitan kini juga memandang heran dan seolah lupa akan rasa nyeri di tubuh mereka ketika melihat pemimpin mereka merangkak-rangkak seperti itu.

Han tidak dapat menahan tawanya.

"He-he-heh-hi-hik, engkau benar-benar seperti seekor lutung besar!"

Karena dia tertawa maka pengerahan tenaga sihirnya juga terhenti dan Si Muka Hitam terkejut bukan main ketika melihat dirinya berlutut di depan kaki pemuda itu. Dia melompat dan mencabut sepasang goloknya, lalu menyerang dengan marah. Melihat gerakan sepasang goloknya, Si Muka Hitam ini bukan seorang lawan yang lemah. Namun bagi Han tentu saja dia bukan apa-apa. Dengan gerakan ringan sekali dia dapat mengelak dari serangan sepasang golok yang bertubi-tubi datangnya itu. Betapapun cepatnya sambaran sepasang golok yang membentuk dua gulungan sinar itu, gerakan Han lebih cepat lagi. Tiba-tiba saja Si Muka Hitam berteriak mengaduh dan dia roboh terkulai dan sepasang goloknya sudah berpindah tangan. Han menggerakkan sepasang golok itu dan "crat-crat!" kedua pundak Si Muka Hitam terluka sehingga darah mengucur membasahi bajunya.

"Han, jangan bunuh orang!" Thian Liong berseru.

Sambil menodongkan sepasang golok itu ke leher Si Muka Hitam, Han menoleh, memandang Thian Liong dan tersenyum sambil menggeleng kepalanya. Kemudian dia menghardik Si Muka Hitam.

"Kau dengar itu? Aku akan membunuhmu kalau engkau tidak cepat memenuhi permintaanku!"

Si Muka Hitam tak mampu bergerak karena kaki tangannya menjadi lumpuh terkena totokan yang Iihai dari Han. Akan tetapi dia dapat bicara.

"Ampun, Taihiap (Pendekar Besar), saya akan melaksanakan semua perintah Taihiap!" katanya dengan wajah pucat dan tubuh gemetar ketakutan.

"Nah, hayo cepat perintahkan anak buahmu untuk menyediakan makanan dan minuman untuk kami berdua. Kami lapar sekali! Hayo cepat!"

Si Muka Hitam segera memerintahkan anak buahnya untuk memenuhi permintaan itu. Biarpun dia tidak mampu bergerak, namun suaranya masih lantang ketika dia memerintahkan para anak buahnya.

"Hayo cepat laksanakan perintah Tai-hiap!"

"Akan tetapi di sini tidak ada penjual masakan "

"Goblok!" Si Muka Hitam membentak.

"Carikan makanan seadanya yang terbaik. Panggang daging binatang hutan, petik buah-buahan, ambilkan arakku dalam tempat penyimpanan. Apa saja keluarkan semua. Hayo cepat!"

Han menghampiri Thian Liong dan duduk di dekat pemuda itu sambil ter-senyum-senyum.

"Nah, laparmu akan terobati, bukan?"

Thian Liong tertawa dan memandang Si Muka Hitam yang masih rebah tak mampu berkutik.

"Engkau bocah nakal! Mengapa dia dibiarkan seperti itu? Kalau, dia dapat bergerak pun tidak akan berani melawan atau melarikan diri. Bukalah totokan itu, Han."



Sambil tersenyum Han mengambil dua buah kerikil dan dua kali dia melontarkan kerikil-kerikil itu ke arah tubuh Si Muka Hitam. Dengan tepat sekali kerikil itu mengenai jalan darah di punggung atas dan bawah tubuh Si Muka Hitam dan seketika orang itu terbebas dari totokan. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani melarikan diri dan hanya bangkit duduk sambil membalut luka di kedua pundaknya.

Tak lama kemudian, anak buah perampok itu berbondong datang membawa berbagai makanan untuk dua orang pemuda itu. Ada panggang daging kijang, arak, air teh, buah-buahan. Tanpa rikuh lagi Han lalu mengajak Thian Liong makan. Setelah merasa kenyang dia iseng-iseng bertanya kepada Si Muka Hitam.

"Heh, Muka Hitam, apakah engkau dan anak buahmu mengetahui di mana adanya seorang pemuda bernama Bouw Kiang dan seorang gadis bernama Bong Siu Lan, dua orang murid Toat-beng Coa-ong Ouw Kan? Apakah dua orang itu pernah lewat di sini? Kalau engkau tahu hayo cepat katakan kepadaku sebagai penebus nyawa kalian yang sudah kuampuni!"

Si Muka Hitam memandang kepada anak buahnya yang berkumpul dan berjongkok tidak jauh dari situ.

"Kalian dengar apa yang ditanyakan Tai-hiap? Kalau ada yang mengetahui, cepat laporkan!" kata Si Muka Hitam.

Duabelas orang itu berbisik-bisik dan seorang dari mereka yang matanya buta sebelah, berkata, "Kami tidak mengenal dua orang yang dicari Tai-hiap itu, akan tetapi kemarin kami melihat lima orang yang amat mencurigakan dan amat lihai sehingga kami tidak berani memperlihatkan diri, hanya mengintai dari jauh. Kami sempat mendengar percakapan mereka dan dengan suara lantang seorang dari mereka, kakek yang berpakaian tambal-tambalan berkata bahwa dia akan senang sekali melihat musuh mereka tewas di depan kakinya."

"Hemm, bagaimana kalian tahu bahwa mereka itu lihai sekali?" tanya Han tertarik.

"Mereka menerabas hutan dan apa pun yang menghalang di depan mereka, mereka singkirkan dengan cara yang luar biasa sekali. Pohon-pohon yang batangnya sebesar orang dewasa, sekali tendang tumbang. Batu-batu sebesar kerbau mereka lempar-lemparkan seolah ringan saja."

"Kelima-limanya sekuat itu?" tanya Han penasaran.

"Benar, Taihiap. Kami berani bersumpah, karena itu kami hanya mengintai tidak berani keluar."

"Hemm, dan siapa musuh yang mereka ingin lihat mati di depan kaki mereka itu?"

"Kakek berpakaian tambal-tambalan yang kurus pucat akan tetapi lihai sekali itu hanya menyebut nama Yok-sian (Dewa Obat)."

"Yok-sian......?" Kini Thian Liong bangkit berdiri dan menghampiri Si Mata Sebelah itu.

"Mereka berlima itu hendak membunuh Yok-sian?"

Si Mata Satu terkejut melihat Thian Liong menghampirinya dan dia sudah ketakutan.

"Begitulah...... yang kami dengar dari pembicaraan mereka yang tidak begitu jelas karena mereka melempar-lemparkan batu besar yang menghalang dan menumbangkan pohon-pohon sehingga gaduh sekali."

"Hemm, coba gambarkan keadaan lima orang itu, mulai dari Si Kakek berpakaian tambal-tambalan," kata Thian Liong dan Han juga semakin tertarik mendengar bahwa yang hendak dibunuh lima orang itu adalah Yok-sian, nama julukan Tiong Lee Cin-jin guru Souw Thian Liong!

Melihat sikap Thian Liong tidak galak seperti sikap Han, Si Mata Satu itu menjadi tenang kembali. Dia menoleh kepada kawan-kawannya dan berkata, "Kalian bantulah aku kalau keteranganku keliru. Taihiap, kakek kurus bermuka pucat itu berusia sekitar enampuluh tahun, mukanya yang pucat dan kurus sekali itu seperti tengkorak. Matanya mencorong menakutkan dan di punggungnya terdapat sebatang pedang."

"Hemm, Lam-kai......" kata Thian Liong.

"Coba gambarkan empat orang yang lain."

Si Mata Satu melanjutkan.

"Kakek kedua bertubuh tinggi besar, mukanya menyeramkan seperti singa dan dia membawa tombak...... dia menakutkan, tampak buas. Sekali ayun, tombaknya dapat mematahkan sebatang pohon besar dan suaranya menggereng seperti seekor singa......"

"Ah, itu Tung-sai!" kata pula Thian Liong dan Han mengangguk-angguk.

"Dan tiga orang yang lain, bagaimana?"

Si Mata Satu berkata kepada kawan-kawannya.

"Hayo, siapa yang dapat menceritakan tentang tiga orang muda itu? Aku tidak begitu ingat."

Seorang yang mukanya brewok berkata dengan suaranya yang besar.

"Mereka adalah dua orang pemuda dan seorang gadis. Yang seorang bertubuh sedang dan tegap, wajahnya bulat dan putih, matanya mencorong seperti mats harimau, rambutnya dikuncir dan di pungungnya tergantung sebatang pedang."

"Dia pasti Can Kok," kata pula Thian Liong.

"Pemuda yang kedua bertubuh tinggi besar, mukanya tampan akan tetapi hitam......"

"Dia membawa tongkat hitam?" Han memotong.

"Benar, Taihiap."

"Ah, jangan-jangan dia Bouw Kiang yang kucari!" kata Han dengan hati tegang.

"Dan gadisnya bagaimana? Hayo cepat ceritakan!" dia membentak sehingga Si Brewok menjadi gugup dan cepat bercerita.

"Gadis itu cantik, matanya lebar, tubuhnya ramping......"

"Dan senjatanya?" tanya Han.

"Kalau tidak salah, di punggungnya terdapat sepasang pedang."

"Tak salah lagi, ia tentu Bong Siu Lan!"

"Aneh, apa hubungan dua orang murid Ouw Kan dengan para datuk itu?" Thian Liong bertanya heran.

"Apa anehnya? Ouw Kan juga seorang datuk, tentu mengenal dan mempunyai hubungan dengan para datuk lain. Mereka sama-sama sesatnya."

"Ke arah mana mereka pergi dan sejak kapan?" tanya Thian Liong kepada Si Mata Satu.

"Mereka lewat kemarin, Tai-hiap, dan menuju ke arah sana. Mudah mengikuti jejak mereka karena mereka merobohkan pohon-pohon dan menyingkirkan batu-batu besar." Orang itu menunjuk ke barat.

"Mari kita pergi, Han!" Setelah berkata demikian, Thian Liong dan Han berkelebat dan lenyap dari depan gerombolan perampok itu sehingga mereka terkejut dan ketakutan. Akan tetapi mereka merasa beruntung tidak sampai dibunuh dua orang muda yang memiliki kesaktian demikian hebat.

"Jelas bahwa lima orang itu akan pergi ke Puncak Pelangi di Pegunungan Go-bi untuk mencari dan menyerang Suhu," kata Thian Liong yang berlari bersama Han.

"Hemm, kalau hanya mereka berlima saja, kiraku tidak perlu khawatir. Lo-cianpwe Tiong Lee Cin-jin pasti akan mampu menandingi mereka."

"Mereka itu orang-orang jahat yang lihai dan juga licik curang. Biarpun Suhu dapat mengatasi mereka, namun aku sebagai muridnya harus membelanya."

"Engkau benar, dan aku pun sudah berjanji akan membantumu. Apalagi dua orang yang kucari, pembunuh-pembunuh ayahku berada di sana pula. Dengan begini dapat dikatakan kita tepuk satu kali dapat dua ekor lalat!"

Dua orang itu melanjutkan perjalanan dan betul seperti keterangan anak buah perampok bermata satu tadi, mereka dengan mudah dapat mengikuti jejak lima orang itu karena mereka mengambil jalan pintas dengan menyingkirkan semua perintang dengan kekerasan.

Ketika Siang In berpamit kepada Thio Ki dan Miyana, suami isteri yang ia anggap sebagai ayah ibunya sendiri, suami isteri itu segera menyetujui karena biarpun Siang In berpamit untuk mengunjungi Pek Hong Niocu atau Puteri Moguhai, mereka tahu bahwa anak mereka itu sesungguhnya juga akan bertemu dengan ibu kandungnya sendiri, walaupun gadis itu masih belum mengetahui akan rahasia ini. Tentu saja suami isteri itu sama sekali tidak menduga bahwa Siang In sudah mengetahui segalanya, dan bahwa ia memang ingin sekali bertemu dengan Tan Siang Lin, selir Kaisar Kin yang menjadi Ibu kandungnya itu!

"Jaga dirimu baik-baik dan berhati-hatilah, anakku. Dan jangan lupa, kalau engkau mengunjungi Puteri Moguhai dan kebetulan bertemu dengan Ibunya, selir Kaisar, sampaikan salam hormatku kepadanya karena dahulu aku menjadi sahabat baiknya."

Diam-diam Siang In tersenyum dalam hati. Tentu saja ia sudah tahu bahwa ibunya ini, Miyana, dahulu adalah sahabat baik selir kaisar yang sesungguhnya adalah ibu kandung anak kembar, ia dan Moguhai!

"Baik, Ibu. Aku tidak akan melupakan pesan Ibu," jawabnya. Ia lalu berkemas, membawa buntalan pakaian dan menunggang seekor kuda yang besar dan baik. Setelah memperoleh pesan dan restu Thio Ki dan Miyana, Thio Siang In atau Ang Hwa Sian-li lalu menjalankan kudanya keluar dari pekarangan rumah orang tuanya, menuju ke pintu gerbang utara.

Akan tetapi sebelum tiba di pintu gerbang ia bertemu dengan Cin Han yang berjalan seorang diri. Melihat Siang In berkuda, Cin Han menegurnya dengan ramah.

"Hai, Adik Siang In!" tegurnya sambil menghampiri.

Siang In menahan kudanya lalu melompat turun. Tidak enak rasanya kalau dia bercakap-cakap dengan pemuda itu dengan duduk di atas kuda sedangkan Cin Han berdiri di atas tanah.

"Han-ko (Kakak Han), engkau hendak ke manakah?" tegurnya.

Cin Han tersenyum dan wajahnya tampak tampan dan lembut kalau tersenyum. Putera pangeran ini memang halus budi pekertinya dan ramah.

"Aku hendak berkunjung ke rumahmu, In-moi (Adik. In)."

"Ah, maaf, Han-ko. Aku hendak pergi maka tidak dapat menyambutmu."

"In-moi, kalau boleh aku bertanya, engkau hendak pergi ke manakah?"

"Tentu saja boleh, Han-ko. Aku hendak pergi mengunjungi Puteri Moguhai di kota raja."

"Berapa lama engkau akan tinggal di sana?" tanya pemuda itu sambil memandang ke arah buntalan pakaian yang berada di punggung kuda yang besar itu.

"Entahlah, Han-ko, aku belum dapat menentukan. Mungkin bisa seminggu atau sebulan, tergantung keadaan."

Cin Han mengangguk.

"Baiklah, In-moi, harap engkau berhati-hati dalam perjalanan. Aku mendengar bahwa ada beberapa orang bekas sekutu Pangeran Hiu Kit Bong yang memberontak dulu, membentuk gerombolan dan suka mengacau. Akan tetapi aku percaya, engkau tidak mudah diganggu penjahat. Nah, selamat jalan, In-moi."

"Terima kasih dan selamat tinggal, Han-ko!" kata Siang In dan ia segera melompat ke atas punggung kudanya dan menuju ke pintu gerbang utara, diikuti pandang mata Cin Han yang memandang kagum. Dulu dia tertarik sekali kepada Thio Siang In, setelah bergaul dekat, dia kini yakin bahwa dia benar-benar jatuh cinta kepada gadis yang berjuluk Ang Hwa Sian-li itu. Sambil tersenyum gembira Cin Han lalu kembali ke rumah orang tuanya.

Sementara itu, Siang In sudah keluar dari kota Kang-cun dan membalapkan kudanya ke utara, ke arah Kota Raja Peking di mana saudara kembarnya, Puteri Moguhai atau Pek Hong Niocu tinggal bersama ibu mereka di istana kerajaan. Akan tetapi ketika ia membalapkan kudanya, terbayanglah di depan matanya wajah Cin Han. Pemuda itu sungguh lembut, tampan dan juga telah memperlihatkan wibawa dan kecerdikannya ketika dulu membawa pasukan menolong ia dan Pek Hong Niocu.

Sungguh seorang pemuda yang menarik hati dan mengagumkan. Dan pemuda itu pernah melamarnya akan tetapi ia menolak keras padahal ia belum pernah melihat orangnya. Kini ia telah berkenalan dengan Cin Han dan kagum kepada pemuda yang pernah ditolak lamarannya itu. Ia menghela napas. Beruntunglah seorang gadis kalau dipersunting oleh pemuda tampan lembut putera seorang pangeran itu!

Siang In menghela napas panjang dan berbisik kepada diri sendiri.

"Sayang......, dia seorang siu-cai (sastrawan) yang lemah dan tidak pandai ilmu silat......" Siang In menghela napas lagi dan tiba-tiba saja wajah Thian Liong terbayang dalam benaknya.

"Ah, kalau saja Cin Han memiliki kelihaian seperti Thian Liong......"

Ia sadar dari lamunannya dan menggebrak kudanya sehingga binatang itu terkejut dan berlari cepat sekali, membuat rambut dan pakaian Siang In berkibar.

Di sepanjang perjalanan itu Thio Siang In mendengar berita dari penduduk bahwa memang benar apa yang dikatakan Cin Han kepadanya bahwa di daerah-daerah banyak terjadi gangguan terhadap penduduk, yang dilakukan oleh gerombolan yang merampok dan membunuhi pejabat-pejabat kerajaan yang bertugas di dusun-dusun. Jelas bahwa gerombolan itu memang bersikap anti dan memberontak terhadap Kerajaan Kin.

Akan tetapi Siang In tidak mengalami gangguan seperti yang ia harapkan karena ia ingin bertemu dan membasmi gerombolan pengacau itu. Ia tiba di kota raja dan langsung saja menuju ke istana. Kepada perajurit pengawal yang berjaga di pintu gapura istana dan yang terheran-heran melihat ia begitu mirip Puteri Moguhai, Siang In mengatakan bahwa ia bernama Thio Siang In dan ingin bertemu dengan Puteri Moguhai yang menjadi sahabat baiknya.

Perajurit kepala jaga yang bersikap hormat mendengar bahwa gadis ini sahabat baik Puteri Moguhai yang mereka hormati dan takuti, segera memberitahu bahwa Puteri Moguhai tidak berada di istana.

Mendengar ini, Siang In merasa kecewa. Akan tetapi sesungguhnya kedatangannya ini terutama untuk mengunjungi ibu kandungnya, maka ia pun lalu berkata dengan sikap lembut.

"Kalau begitu, saya akan menghadap Ibunda Puteri Moguhai karena saya ada pesan yang amat penting dari Puteri Moguhai untuk disampaikan kepada Ibundanya."

Kepala jaga itu mengerutkan alisnya.

"Ah, Nona. Untuk menghadap Beliau kami harus melaporkan dulu kepada pengawal istana dan mereka yang akan melaporkan ke dalam istana. Kalau beliau bersedia menerimamu, barulah Nona akan diperkenankan dan dikawal oleh pengawal dalam istana. Mari kami antar Nona menemui kepala pengawal istana."

Siang In lalu diantar oleh kepala jaga itu memasuki pekarangan istana yang luas dan segera ia dihadapkan kepada pengawal yang mengenakan seragam indah dan yang sikapnya angkuh. Akan tetapi kepala pengawal ini pun memandang heran melihat Siang In yang demikian mirip dengan Puteri Moguhai.

Kepala jaga pintu gapura melapor bahwa gadis itu mohon menghadap Ibunda Puteri Moguhai. Kepala pengawal yang memandang kepada Siang In dengan penuh perhatian itu lalu bertanya kepada Siang In.

"Siapakah engkau, Nona dan apakah keperluanmu hendak menghadap Beliau?"

"Nama saya Thio Siang In dan saya adalah sahabat baik dan saudara seperguruan Puteri Moguhai," Siang In memperkenalkan diri, sengaja mengaku sebagai saudara seperguruan Moguhai karena ia tahu betapa Moguhai sudah terkenal sebagai seorang gadis yang berilmu tinggi.

Benar saja dugaannya. Kepala pengawal itu berubah sikap dan dengan hormat dia bertanya.

"Thio-siocia, kami akan melaporkan ke dalam. Akan tetapi kalau kami ditanya apa keperluan Nona mohon menghadap Beliau, bagaimana kami harus menjawab?"

"Saya adalah anak dari Ibu Miyana yang dahulu menjadi sahabat baik beliau dan juga tinggal di istana ini. Saya membawa pesan dari Puteri Moguhai dan dari Ibu Miyana yang sangat penting untuk disampaikan kepada Beliau."

"Akan tetapi, Nona. Kami takut kalau mendapat marah karena tidak boleh sembarangan orang memasuki istana, apalagi bagian puteri. Beritahukan saja kepada kami pesan itu dan kami yang akan menghaturkan kepada Beliau."

"Tidak mungkin. Puteri Moguhai akan marah sekali kalau saya tidak dapat menyampaikan pesannya itu kepada Ibundanya."

Ucapan ini manjur. Kepala pengawal itu tentu saja takut sekali kalau nanti Puteri Moguhai yang dia kenal amat keras itu marah kepadanya kalau dia melarang saudara seperguruannya ini masuk.

"Baiklah, Nona. Silakan tunggu sebentar dan silakan duduk, saya sendiri yang akan melaporkan ke dalam." Setelah berkata demikian kepala pengawal yang bertubuh tinggi besar itu meninggalkan Siang In di situ.

Siang In duduk di atas bangku dan para pengawal yang melakukan penjagaan tidak berani memandang kepadanya secara langsung. Ini berkat nama besar Moguhai yang ditakuti semua orang, pikir Siang In. Ia merasa heran, ke mana perginya Moguhai?

Tak lama kemudian, kepala pengawal itu muncul dan dengan muka berseri dia berkata, "Beliau memerintahkan saya mengantar Nona menghadap beliau. Mari, Nona."

Dengan jantung berdebar tegang Siang In dikawal kepala pengawal itu memasuki istana bagian puteri dan langsung membawanya ke dalam sebuah ruangan tertutup. Pengawal itu mengajak ia masuk dan setibanya di dalam, pengawal itu memberi hormat dengan menekuk sebelah lututnya.

"Nona Thio Siang In datang menghadap!"

Wanita setengah tua yang duduk seorang diri di ruangan itu memberi isyarat kepada pengawal itu dengan tangan.

"Keluarlah!"

Pengawal itu keluar dan menutupkan kembali pintu ruangan itu. Siang In memandang dengan jantung berdebar-debar. Wanita itu berusia sekitar empatpuluh tahun, masih tampak cantik dan sikapnya lemah lembut. Wanita itu segera bangkit berdiri dan kedua orang wanita itu saling pandang.

Lalu wanita yang bukan lain adalah Tan Siang Lin selir Kaisar dan Ibu Moguhai itu perlahan-lahan melangkah menghampiri. Ia berhenti setelah berada dalam jarak satu tombak dari Siang In. Mereka saling pandang dan mata wanita itu mengeluarkan air mata yang perlahan menetes ke atas kedua pipinya.

Siang In seketika merasa bahwa wanita ini adalah ibu kandungnya. Ada sesuatu pada diri wanita ini yang menggetarkan jantungnya sehingga ia pun tak dapat menahan keluarnya air mata dari sepasang matanya.

"......engkau...... engkau Thio Siang In...... anak...... Miyana?" Wanita itu menelan ludah dan melanjutkan, "Moguhai...... tidak berada di sini, ia keluar kota raja beberapa hari yang lalu......"

"Saya...... saya datang untuk bertemu dengan Ibu......" kata Siang In dengan suara gemetar.

"Ibu??...... engkau...... engkau...... sudah tahu......??" Selir kaisar itu berkata lirih dan tergagap.

Siang In mengangguk-angguk.

"......aku tahu...... engkau Ibu kandungku......"

Seperti ditarik sembrani, dua orang wanita itu menubruk ke depan dan saling rangkul.

"Anakku......!"

"Ibu""!!"

Keduanya menangis sesenggukan dan saling cium dengan muka basah air mata.

"Anakku......, maafkanlah Ibumu ini, Nak...... terpaksa...... terpaksa sekali...... begitu terlahir engkau kuberikan kepada Miyana......"

"Ibu tidak bersalah," kata Siang In sambil merangkul erat, "Ibu terpaksa berbuat begitu karena...... karena Kaisar......"

"Anakku, Kaisar juga tidak bersalah," kata selir kaisar itu sambil menarik tangan Siang In dan diajaknya gadis itu duduk di sampingnya.

"Sejak ratusan tahun, bangsa Yu-cen yang mendirikan Kerajaan Kin (Cin), memiliki kepercayaan bahwa anak kembar mendatangkan malapetaka. Kaisar juga percaya akan hal itu maka mereka tidak berani membiarkan anak kembar hidup. Aku terpaksa memisahkan engkau dari Moguhai agar kalian berdua selamat, karena kalau tidak, kalian berdua tentu akan dibunuh begitu ketahuan terlahir kembar. Kebetulan Miyana yang menjadi sahabat baikku, yang telah menjadi janda karena suaminya, seorang pangeran telah meninggal dunia, bersedia menolongku dan membawamu keluar istana."

Siang In merangkul ibunya dan mengusap air mata dari pipi ibunya dengan saputangan.

"Sudahlah, Ibu. Harap jangan bersedih. Aku sudah mengetahui akan semua itu, mendengar cerita dari Ayah Sie Tiong Lee sendiri."

Setelah dapat menguasai keharuan hati mereka dan menjadi tenang kembali, ibu dan anak ini duduk bersanding dan saling berpegangan tangan dengan hati merasa bahagia sekali..

"Ibu, ke manakah perginya Pek Hong?"

"Pek Hong? Ah, ya, aku ingat sekarang. Ayahmu memberi nama Sie Pek Hong kepada Moguhai! Dan engkau menjadi Sie Siang In! Ah, aku gembira sekali. Kalian berdua berdarah Han aseli karena Ayah dan Ibu kandungmu adalah orang-orang Han. Pek Hong baru beberapa hari pergi, katanya hendak pergi mencari orang-orang yang telah membunuh Han Si Tiong akan tetapi aku tahu bahwa selain itu juga ada hal-hal lain yang membuat ia pergi. Ia dimarahi Ayahnya karena ia selalu menolak pinangan para pangeran dan pemuda bangsawan putera para pejabat tinggi. Kaisar juga melarang ia bergaul dengan Souw Thian Liong walaupun pemuda itu pernah membantu Kerajaan Kin membasmi pemberontak. Kaisar bukan tidak suka Thian Liong, hanya dia ingin menjodohkan Moguhai dengan seorang bangsa Yu-cen. Karena itulah, Pek Hong pergi."

"Ah, sayang Kaisar berpendirian demikian, Ibu. Souw Thian Liong adalah seorang pendekar budiman yang bijaksana, dan aku melihat keakraban antara Thian Liong dan Pek Hong."

"Engkau tentu lebih mengetahui, sebenarnya bagaimanakah hubungan antara Souw Thian Liong dan Pek Hong? Ketika aku bertanya, Pek Hong menjawab bahwa ia memang kagum dan tertarik kepada pemuda itu, akan tetapi ia sendiri tidak tahu apakah ia mencinta Thian Liong atau hanya kagum."

Sejenak Siang In termenung. Ia harus mengaku dalam hatinya bahwa ia sendiri amat kagum dan tertarik kepada Thian Liong dan kalau ada kesempatan, bukan mustahil ia pun akan jatuh cinta kepada pemuda itu.

"Aku sendiri tidak tahu pasti, Ibu."

Selir Kaisar itu menghela napas panjang.

"Mudah-mudahan saja Pek Hong dapat melupakan Thian Liong dan dapat mencinta seorang pemuda lain yang sesuai dengan keinginan Kaisar. Kalau tidak, tentu akan terjadi kesulitan besar. Kau tahu, Siang In, Kaisar mengira bahwa Pek Hong adalah darah dagingnya sendiri dan ia amat menyayangnya. Kalau sampai terjadi ia mencinta Thian Liong, tak dapat aku membayangkan apa yang terjadi. Tentu semua orang akan menderita. Kaisar yang amat mencinta puterinya itu akan berduka dan marah, Pek Hong sendiri akan mengalami kesusahan dan mungkin akan diusir dari istana dan terpisah dariku, dan aku sendiri tentu akan merana. Ah, akan tetapi kalau Thian menghendaki, segala dapat terjadi. Bukankah jodoh, seperti juga kelahiran dan kematian, berada sepenuhnya di tangan Thian dan tak seorang pun dapat mengubahnya?"

"Ibu benar, biarlah kita berdoa saja agar semuanya akan berjalan dengan baik sehingga membahagiakan semua orang."

"Terima kasih, anakku. Ucapanmu itu sungguh membesarkan hatiku. Sekarang, coba ceritakan semua pengalamanmu menjadi anak Miyana."

Dengan singkat Siang In menceritakan keadaannya sebagai puteri Thio Ki dan Miyana, menjadi murid mendiang Toat-beng Coa-ong Ouw Kan yang wataknya sama sekali berlawanan dengan hatinya, sampai pengalamannya yang terakhir, bertemu dengan Pek Hong, kemudian mereka berdua diajak oleh ayah kandung mereka, Tiong Lee Cin-jin ke tempat pertapaan di Puncak Pelangi dan mempelajari ilmu yang lebih tinggi.




Mendengar semua itu, Tan Siang Lin menghela napas panjang dan wajahnya berseri ketika ia memandang kepada puterinya.

"Ah, aku merasa berbahagia sekali. Ternyata sepasang anak kembarku sekarang telah menjadi pendekar-pendekar wanita sakti. Sekarang, anakku, kalau Pek Hong kini menghadapi persoalan karena Ayahnya, Kaisar, menghendaki ia berjodoh dengan seorang bangsa Yu-cen, lalu bagaimana dengan engkau sendiri? Tentu saja untuk urusan perjodohanmu, yang lebih berhak menentukan tentu saja ayah ibumu Thio Ki dan Miyana karena merekalah yang mengasuh, merawat dan mendidikmu sejak engkau masih bayi. Akan tetapi usiamu kini sudah duapuluh tahun, sudah sepatutnya engkau menjadi isteri dan ibu. Apakah oleh orang tuamu di Kang-cun engkau sudah dijodohkan? Aku hanya ingin tahu, anakku, bukan ingin mencampuri."

"Ibu, agaknya tanpa disengaja, ada persamaan keadaanku dengan keadaan Pek Hong. Ayah dan Ibu di Kang-cun membujukku untuk segera memilih dan menerima pinangan seorang di antara mereka yang melamar aku. Akan tetapi aku selalu menolak karena masih belum ingin terikat rumah tangga, masih ingin bebas."

"Hemm, dan bagaimana dengan hatimu? Apakah engkau sudah mempunyai pilihan sendiri?"

Siang In menundukkan mukanya dan terbayanglah wajah Cin Han dan Thian Liong berganti-ganti.

"Belum, Ibu, aku masih bingung."

"Ah, kalian berdua memang serupa benar, badan dan batinnya. Aku tidak dapat memaksa kalian, hanya mendoakan semoga segera menemukan jodoh kalian yang cocok dan dapat hidup berbahagia."

"Ibu, sayang Pek Hong tidak ada. Saya akan menyusulnya karena kalau ia seorang diri mencari pembunuh seperti yang Ibu ceritakan tadi, mungkin ia perlu bantuan. Apakah ia menceritakan ke mana ia hendak mencari pembunuh itu dan siapakah Han Si Tiong yang dibunuh, siapa pula pembunuhnya?"

"Han Si Tiong adalah sahabat baik Pek Hong dan menurut apa yang diceritakan Pek Hong, Han Si Tiong tewas terbunuh oleh dua orang murid Ouw Kan......"

"Ah, Ibu, mengapa Toat-beng Coa-ong membunuh Han Si Tiong dan siapakah Han Si Tiong yang dibela sedemikian rupa oleh Pek Hong?"

"Aku pun hanya mendengar dari cerita Pek Hong. Han Si Tiong dan isterinya dahulu adalah perwira Kerajaan Sung Selatan, memimpin Pasukan Halilintar dan ketika terjadi perang antara Kerajaan Sung dan Kerajaan Kin (Cin), Pasukan Halilintar terkenal dan ditakuti karena kehebatan pemimpinnya. Bahkan ketika seorang pangeran Kerajaan Kin yang bernama Pangeran Cu Si maju memimpin pasukan melawan Pasukan Halilintar, Pangeran Cu Si tewas di tangan Han Si Tiong dan isterinya. Kematian seorang perwira dalam perang merupakan hal wajar dan bukan merupakan urusan pribadi, maka sebetulnya Kaisar Kin juga tidak mendendam kepada Han Si Tiong, walaupun Beliau merasa berduka atas kematian anggauta keluarganya. Akan tetapi ketika itu mendiang Pangeran Hiu Kit Bong yang kemudian memberontak dan tewas, membujuk Kaisar untuk membalas dendam kepada Han Si Tiong dan isterinya. Kaisar, lalu mengutus Ouw Kan untuk pergi ke kota raja Sung dan membunuh Han Si Tiong dan isterinya."

"Hemm, sungguh tidak kusangka. Aku tidak mendengar sama sekali akan hal itu," kata Siang In lirih. Ia sebagai murid Ouw Kan maklum bahwa gurunya itu adalah seorang datuk sesat dan seringkali ia bertentangan dengan gurunya dalam berbagai hal. Akan tetapi ia tidak pernah mendengar bahwa gurunya menjadi utusan Kaisar untuk membunuh seorang perwira Sung hanya karena perwira itu merobohkan seorang pangeran dalam perang!

"Akan tetapi Ouw Kan gagal membunuh suami isteri itu karena tidak menemukan mereka di kota raja. Hal ini membuat Ouw Kan merasa malu kepada Kaisar dan setelah kaisar melupakan hal itu, bahkan telah sadar bahwa dendam atas gugurnya Pangeran Cu Si dalam perang merupakan suatu kesalahan, dan membatalkan perintahnya kepada Ouw Kan, agaknya Ouw Kan melanjutkan usaha pembunuhan itu karena dendam pribadi. Bahkan ketika dia berusaha membunuh Han Si Tiong dan isterinya, Pek Hong muncul dan membela suami isteri itu, mengusir Ouw Kan. Kemudian Pek Hong yang menjadi sahabat baik Han Si Tiong dan isterinya, meninggalkan tulisan yang isinya melarang Ouw Kan mengganggu suami isteri itu. Pek Hong tidak membenarkan dendam seperti itu, tidak membenarkan membawa kematian dalam perang menjadi dendam pribadi."

"Pek Hong memang bijaksana, Ibu." Siang In memuji.

"Kemudian bagaimana, Ibu?"

"Nah, belum lama ini terdengar berita bahwa Ouw Kan dibunuh oleh seorang yang mengaku berjuluk Ang I Mo-li. Beberapa hari kemudian pada suatu malam, Ang I Mo-li masuk menyusup ke istana ini untuk membunuh Kaisar! Ia menganggap Kaisar sebagai musuhnya karena ia mengira bahwa Kaisar Kin yang mengutus Ouw Kan dan murid-muridnya membunuh Han Si Tiong. Pek Hong menyambutnya dan ternyata Ang I Mo-li (Iblis Betina Baju Merah) itu adalah seorang gadis puteri Han Si Tiong bernama Han Bi Lan dan sudah mengenal Pek Hong. Pek Hong berhasil membujuknya dan menyadarkannya bahwa Kaisar sama sekali tidak mengutus Ouw Kan untuk membunuh ayahnya. Han Bi Lan itu bercerita kepada Pek Hong bahwa ayahnya, Han Si Tiong telah terbunuh oleh dua orang murid Ouw Kan yang bernama...... ah, aku sudah lupa lagi nama mereka......"

"Tentu bernama Bouw Kiang dan Bong Siu Lan!"

"Ya, benar! Eh, Siang In, bagaimana engkau bisa mengetahui nama dua orang pembunuh murid Ouw Kan itu?"

"Tadi sudah kuceritakan bahwa aku pernah berguru kepada Toat-beng Coa-ong, dia adalah Ouw Kan, Ibu. Maka aku dapat menduga bahwa yang melakukan pembunuhan itu tentulah dua orang muridnya yang lain, yang bernama Bouw Kiang dan seorang murid perempuan bernama Bong Siu Lan. Aku tidak akrab dengan mereka karena tempat tinggal kami berbeda kota dan hanya beberapa kali saja aku pernah bertemu dengan mereka. Juga aku pernah mendengar berita yang tidak baik tentang mereka."



JODOH SI NAGA LANGIT JILID 15

"Begitulah, Siang In. Han Bi Lan dapat menerima penjelasan Pek Hong dan ia pun membatalkan niatnya membunuh Kaisar."

"Gadis berpakaian merah bernama Han Bi Lan? Rasanya pernah aku bertemu dengan gadis itu ketika kami membantu Souw Thian Liong menghadapi pengeroyokan orang-orang Siauw-lim dan Kun-lun, akan tetapi ketika itu aku belum mengetahui namanya. Akan tetapi mengapa Pek Hong mati-matian membela kematian Han Si Tiong dan pergi mencari pembunuhnya, Ibu?"

"Menurut Pek Hong, Han Si Tiong dan isterinya adalah orang-orang yang gagah perkasa dan baik, dan ia sudah mengenal mereka dengan akrab. Yang membuat Pek Hong merasa penasaran adalah bahwa ia telah meninggalkan tulisan yang melarang Ouw Kan mengganggu suami isteri itu, akan tetapi nyatanya dua orang murid Ouw Kan masih juga menyerang mereka sehingga Han Si Tiong tewas. Karena itu, Pek Hong lalu hendak niencari dua orang itu, ditambah lagi karena ia dimarahi Kaisar karena belum mau menikah."

"Ibu, kalau begitu aku harus cepat menyusul Pek Hong. Dua orang pembunuh itu adalah orang-orang yang lihai dan licik. Pek Hong perlu bantuanku, Ibu."

'Akan tetapi ke mana engkau hendak mencarinya, Siang In?"

"Aku kira ia tentu mencari dua orang pembunuh itu di tempat tinggal Suhu Ouw Kan. Aku akan menyusul ke sana. sekarang juga, Ibu."

Wanita itu merangkul Siang In.

"Tidak, engkau baru saja datang, bagaimana tega untuk meninggalkan aku lagi. Aku masih rindu padamu, Siang In. Besok pagi saja engkau pergi. Malam ini engkau harus berada di sini dan kita bicara melepas kerinduanku!"

Siang In balas merangkul. Ia tidak tega untuk menolak permintaan ibu kandung itu. Maka ia pun menunda perjalanannya menyusul Pek Hong dan bermalam di kamar ibunya di mana keduanya semalam suntuk bercakap-cakap dengan penuh kebahagiaan. Barulah pada keesokan harinya selir kaisar itu mengijinkan puterinya meninggalkan istana.

Pek Hong Niocu atau Sie Pek Hong atau juga Puteri Moguhai mendaki bukit menuju kota Ceng-goan. Kota itu letaknya di daerah perbukitan yang berpemandangan indah. Bukan kota dagang yang besar, namun lebih merupakan kota pariwisata yang hawanya sejuk dan peman-dangannya indah. Penduduknya bertani dan berdagang bunga-bunga yang dapat tumbuh dengan subur di daerah perbukitan itu.

Puteri Moguhai pernah datang ke Ceng-goan dan dia langsung menuju ke sebuah rumah mungil, yaitu rumah tinggal Ouw Kan pemberian Kaisar. Ia sudah mendengar dari Bi Lan bahwa Ouw Kan telah tewas di tangan Puteri Han Si Tiong itu. Akan tetapi ke mana lagi ia dapat mencari dan menyelidiki di mana adanya dua orang murid Ouw Kan itu kalau tidak ia mulai dari tempat tinggal mendiang Toat-beng Coa-ong Ouw Kan?

Ia melihat rumah itu sunyi dan pintu depannya tertutup. Lalu diketuknya daun pintu depan karena ia mendengar dari keterangan Bi Lan bahwa rumah itu dijaga seorang wanita setengah tua yang tidak diganggu oleh Bi Lan.

Tak lama kemudian, setelah tiga kali ia mengulang ketukannya, terdengar langkah ringan dan daun pintu dibuka dari dalam. Begitu janda tua penjaga rumah itu melihat seorang gadis muda berdiri di depan pintu, langsung saja ia menjatuhkan diri dan menangis.

"Ampun, Li-hiap (Pendekar Wanita)! Ampunkan saya yang tidak bersalah apa-apa dan tidak tahu apa-apa. Ampun dan harap jangan bunuh saya, Ang I Mo-li......!"

Moguhai tersenyum. Agaknya nenek ini mengira bahwa ia Bi Lan yang memperkenalkan diri sebagai Ang I Mo-li sehingga ia ketakutan dan minta ampun.

"He, Bibi yang bodoh. Lihat baik-baik siapa aku! Apakah pakaianku merah? Apa engkau tidak mengenal aku?"

Wanita itu kini mengangkat mukanya. Tadi saking ketakutan ia tidak berani melihat langsung secara teliti, langsung saja minta ampun. Setelah mengangkat muka ia melihat seorang gadis yang pakaiannya dari sutera halus putih bersih dan ketika ia mengenal wajah Puteri Moguhai, ia cepat berlutut menyembah-nyembah.

"Aduh, ampunkan hamba, Yang Mulia Puteri! Hamba tidak mengira bahwa Paduka yang datang maka bersikap tidak semestinya. Ampunkan hamba." Biarpun hatinya terasa tegang, namun rasa takutnya hilang setelah melihat bahwa gadis itu bukan si pembunuh majikannya.

"Sudahlah, aku tidak marah. Sekarang duduklah yang baik, Bibi, duduk di bangku itu. Aku ingin bicara denganmu dan aku minta agar engkau dapat memberi semua keterangan yang kuminta."

"Hamba tidak berani......" Pelayan tua itu tetap berlutut.

"Aku perintahkan engkau duduk dan engkau masih tidak mau mentaati?" Pek Hong membentak agar nenek itu ketakutan dan taat.

"Ampun...... ah, baik-baik, hamba menaati perintah Paduka." Ia lalu bangkit dan duduk di atas bangku sambil menundukkan muka dan merangkap kedua tangan depan dada memberi hormat.

"Engkau tentu mengetahui bahwa mendiang Ouw Kan mempunyai dua orang murid, bukan?"

"Bukan dua, malah murid-murid yang dekat dengan almarhum ada tiga orang."

"Tiga orang? Coba sebutkan siapa saja mereka!"

"Yang seorang adalah murid wanita yang kalau tidak salah bertempat tinggal di kota Kang-cun dan namanya Thio Siang In......"

Pek Hong mengangguk. tentu saja ia sudah tahu karena saudara kembarnya itu pernah bercerita ia pernah menjadi murid Toat-beng Coa-ong Ouw Kan.

"Lalu yang dua lagi siapa namanya?"

"Yang seorang adalah murid laki-laki bernama Bouw Kiang dan yang seorang lagi murid perempuan bernama Bong Siu Lan."

"Engkau tahu di mana dua orang murid itu tinggal?"

"Aduh, Tuan Puteri yang mulia, hamba sungguh tidak tahu di mana kedua orang murid itu tinggal. Dulu, Ang I Mo-li yang membunuh Tuan Besar, juga menanyakan hal itu. Akan tetapi hamba sungguh tidak tahu. Mereka hanya kadang-kadang saja datang, bermalam sehari dua hari lalu pergi lagi. Hamba tidak berani bertanya di mana mereka tinggal. Mereka itu galak-galak, tidak seperti Thio-siocia (Nona Thio) yang ramah dan mau memberi tahu di mana tempat tinggalnya."

"Coba engkau ingat-ingat, Bibi. Ketika Bouw Kiang dan Bouw Siu Lan datang ke sini dan bercakap-cakap dengan Ouw Kan, mungkin engkau mendengar sedikit pembicaraan mereka secara kebetulan."

Nenek itu mengerutkan alisnya, mengingat-ingat.

"Hanya sedikit yang hamba ingat, Tuan Puteri. Ketika secara kebetulan hamba menghidangkan makan minum, mereka menyebut-nyebut tentang Empat Datuk Besar yang katanya menghubungi mereka berdua. Dan Tuan Besar Ouw Kan mengatakan boleh saja bekerja sama dengan Empat Datuk Besar, akan tetapi tugas terpenting mereka harus dilakukan dulu. Nah, hanya itulah yang hamba ingat, akan tetapi hamba tidak tahu apa yang mereka maksudkan."

Pek Hong dapat menduga. Tugas penting yang harus diselesaikan dulu itu tentulah tugas membunuh Han Si Tiong. Akan tetapi ia tidak tahu apa maksud mereka berhubungan dengan Empat Datuk Besar.

"Bibi, siapkan kamar yang bersih untukku. Aku akan tinggal di sini selama beberapa hari untuk melakukan penyelidikan di sekitar tempat ini tentang kedua orang itu."

"Baik, Tuan Puteri, akan hamba persiapkan."

"O ya, Bibi. Coba gambarkan dulu bagaimana rupanya dua orang murid itu."

"Yang bernama Bouw Kiang itu adalah seorang pemuda berusia sekitar duapuluh enam tahun, bertubuh tinggi besar berwajah tampan dengan kulit yang gelap agak hitam dan dia selalu membawa sebatang tongkat hitam yang terselip di pinggangnya. Adapun yang bernama Bong Siu Lan adalah seorang gadis berusia sekitar duapuluh tahun, wajahnya bulat telur, matanya lebar, mulutnya agak lebar namun ia cantik sekali. Bia-sanya ia membawa sepasang pedang di punggungnya."

Demikianlah, setelah mendapat keterangan dari pelayan itu, Pek Hong tinggal di bekas rumah Ouw Kan selama beberapa hari dan setiap hari ia melakukan pencarian dan penyelidikan di sekitar daerah itu dengan bertanya-tanya. Akan tetapi tidak ada hasilnya. Akhirnya, ia merasa yakin bahwa dua orang murid Ouw Kan itu pasti tidak berada di daerah itu. Mengingat akan keterangan pelayan, mungkin sekali kedua orang itu mengadakan hubungan dengan Empat Datuk Besar. Akan tetapi di mana?

Selagi ia berjalan perlahan-lahan menuju rumah Ouw Kan sambil termenung karena bingung ke mana harus mencari dua orang itu, ketika ia tiba di pintu gerbang kota Ceng-goan, tiba-tiba ia mendengar derap kaki kuda datang dari arah belakang dan terdengar suara nyaring.

"Pek Hong""!!"

Puteri Moguhai cepat membalikkan tubuhnya dan wajahnya berseri, mulutnya tersenyum ketika ia mengenal siapa penunggang kuda itu.

"Siang In......!"

Thio Siang In menghentikan kudanya dan melompat turun.

Mereka saling berpegang tangan dengan gembira.

"Wah, beruntung sekali aku dapat bertemu dengan engkau di sini, Pek Hong."

"Engkau mencari aku? Dari manakah engkau, Siang In?"

"Aku dari kota raja, mengunjungi Ibu kita."

"Ah, engkau sudah bertemu dengan Ibu?"

Siang In mengangguk.

"Aku mendengar dari Ibu bahwa engkau sedang keluar meninggalkan kota raja, katanya engkau hendak mencari dua orang murid Suhu Ouw Kan yang membunuh Han Si Tiong. Aku sudah mendengar semua dari Ibu! Aku lalu mencari ke sini."

"Mari kita bicara di rumah saja. Aku Sementara ini tinggal di rumah bekas...... gurumu itu, Siang In."

Siang In tersenyum mendengar Pek Hong agak ragu menyebut Ouw Kan sebagai gurunya. Ia menepuk pundak saudara kembarnya itu dan berkata, "Mari kita bicara di sana, lebih leluasa."

Wanita setengah tua yang menjaga rumah itu, terbelalak melihat kedatangan mereka berdua. Tadinya ia memang sudah merasa heran melihat persamaan wajah Puteri Moguhai dengan wajah Nona Thio, akan tetapi sekarang persamaan itu lebih menyolok lagi walaupun tatanan rambut dan dandanan pakaian mereka berdua itu saling berbeda. Akan tetapi ia segera mengenal Siang In.

"Ah, Thio-siocia! Sudah lama Siocia tidak datang ke sini. Guru Siocia telah"""

"Cukup, Bibi Alun, aku sudah mengetahui semua. Engkau yakin benar bahwa engkau tidak mengetahui di mana adanya suheng (kakak seperguruan pria) Bouw Kiang dan suci (kakak seperguruan wanita) Bong Siu Lan? Kalau engkau tahu, katakanlah kepadaku."

Nenek itu mengerutkan alis sambil memandang kepada Pek Hong.

"Semua yang saya ketahui telah saya ceritakan kepada Tuan Puteri Moguhai, Nona, akan tetapi baru tadi saya teringat bahwa dulu sekali pernah datang seorang Hwesio yang sudah tua, tubuhnya gemuk sekali seperti arca Ji-lai-hud, suara tawanya menggelegar dan mengagetkan. Karena suaranya nyaring, dari dapur saya dapat mendengar ketika dia mengatakan bahwa Bouw-kongcu (Tuan Muda Bouw) dan Bong-siocia (Nona Bong) diharapkan kehadirannya di Puncak Pelangi. Nah, hanya itulah yang saya lupa menceritakannya kepada Sang Puteri."

"Aih! Justru itu amat penting, Bibi!" teriak Pek Hong dan Siang In berbareng. Tentu saja kedua orang gadis ini terkejut karena yang disebut Puncak Pelangi adalah tempat pertapaan ayah kandung mereka, Tiong Lee Cin-jin!

"Tidak salah lagi, mereka pasti pergi ke sana!" kata Pek Hong.

"Kalau begitu, kita harus kejar mereka, sekarang juga!" 'kata Siang In. Kedua orang gadis itu lalu berangkat meninggalkan kota Ceng-goan menuju ke barat.

Karena jalan menurun bukit itu cukup terjal dan berbatu-batu, maka keduanya menjalankan kudanya dengan santai sambil bercakap-cakap.

"Pek Hong, dulu telah kuceritakan kepadamu bahwa biarpun aku pernah berguru kepada Toat-beng Coa-ong Ouw Kan, namun aku sama sekali tidak setuju dengan wataknya. Seringkali aku bahkan mencelanya sehingga dia merasa tidak suka kepadaku dan aku selalu akan menentang setiap perbuatan jahat, oleh siapa pun perbuatan itu dilakukan. Maka, engkau tidak perlu merasa rikuh menentang dua orang murid Suhu Ouw Kan itu. Aku akan membantumu!"

"Ah, aku senang sekali mendengar kata-katamu ini, Siang In. Engkau tidak mengecewakan menjadi puteri Yok-sian Tiong Lee Cin-jin dan aku bangga mempunyai saudara kembar sepertimu."

"Aku lebih bangga lagi kepadamu, Pek Hong. Biarpun engkau sejak kecil hidup dalam istana, akan tetapi engkau tetap menjadi puteri Yok-sian Tiong Lee Cin-jin, menjadi seorang pendekar wanita yang gagah dan gigih menentang kejahatan. Bahkan namamu terkenal karena engkau telah membela Kerajaan Kin dan juga Kerajaan Sung Selatan dari para pemberontak."

"Ah, jasaku tidak banyak. Souw Thian Liong yang sungguh berjasa dalam menantang para pemberontak di dua kerajaan itu. Dialah yang sepatutnya menerima pahala, akan tetapi dia seorang yang sungguh rendah hati, tidak tergoda kemilaunya harta dan kedudukan, dan bijaksana sekali."

Siang In menghela napas panjang. Ia tahu bahwa saudara kembarnya ini bergaul akrab dengan Souw Thian Liong. Ia sendiri juga sudah mengenal baik pemuda itu dan diam-diam merasa kagum juga kepadanya.

"Pek Hong, engkau...... cinta padanya, bukan?"

"Eh? Mengapa engkau bertanya demikian?"

"Pek Hong, Ibu telah menceritakan semuanya kepadaku. Menurut cerita Beliau, engkau dimarahi Kaisar karena engkau menolak semua pinangan dari para pangeran dan putera bangsawan, dan Kaisar melarang engkau berjodoh dengan Souw Thian Liong karena Beliau menghendaki engkau menikah dengan seorang bangsa Yu-cen. Nah, katakan padaku, Pek Hong, apakah engkau benar-benar mencinta Souw Thian Liong?"

Pek Hong Niocu menghela napas panjang.

"Entahlah, Siang In. Aku sendiri tidak tahu, aku memang kagum sekali kepadanya."

"Kagum bukan berarti cinta, Pek Hong."

"Aku tidak tahu. Bagaimana sih rasanya hati yang jatuh cinta?"

"Ah, aku sendiri pun tidak tahu, Pek Hong. Aku belum pernah jatuh cinta."

"Hemm, bagaimana hubunganmu dengan Pangeran Cin Han? Apakah engkau tidak cinta padanya?"

"Aku juga tidak tahu, Pek Hong. Aku hanya kagum dan suka padanya karena dia seorang pemuda yang berbudi halus dan sopan, bijaksana sekali."

"Dan tampan......!" Pek Hong melanjutkan.

"Ah, soal tampan atau tidak itu tergantung dari hati kita, Pek Hong. Kalau kita menyukai seseorang dia akan tampak tampan, kalau sebaliknya kita membenci seseorang, dia akan kelihatan buruk seperti setan!"

Dua orang gadis itu tertawa geli.

"Eh, Siang In. Aku tahu benar bahwa Cin Han itu amat mencintamu. Kalau tidak salah dia pernah meminangmu akan tetapi engkau menolak pinangan itu karena ketika engkau dipinang, engkau belum pernah bertemu dengan dia. Sekarang, setelah engkau berkenalan dengan dia, bagaimana perasaan hatimu?"

Wajah Siang In berubah kemerahan dan ia tersenyum.

"Dia memang seorang pemuda yang baik sekali, Pek Hong. Memang terus terang saja aku merasa tertarik dan suka kepadanya, akan tetapi sayang"... dia seorang siucai (sasterawan) yang lemah. Aku ragu apakah aku dapat hidup bahagia dan cocok dengan dia mengingat pendidikan antara kami yang amat berbeda. Dia ahli sastra sedangkan aku ahli silat."

"Wah, keadaan kita sungguh senasib dan sama, Siang In. Aku pun tertarik kepada seorang pemuda bangsawan bangsa Yucen, akan tetapi seperti juga Cin Han, pemuda itu adalah seorang yang mendapat pendidikan bun (sastra). Sebetulnya keadaannya sebagai seorang putera pangeran bangsa Yucen cocok dengan keinginan Kaisar, dan aku pun mengenal baik ayahnya dan aku tahu bahwa ayahnya seorang yang gagah perkasa, baik budi dan setia kepada Kaisar. Akan tetapi...... ya itu tadi, sayang dia seorang pemuda lemah."

Dua orang gadis itu kini termenung. Siang In membayangkan wajah Cin Han, sedangkan Pek Hong membayangkan wajah Pangeran Kuang Lin.

"Siang In, mari kita percepat perjalanan kita ke tempat pertapaan Ayah, selain untuk menjaganya kalau-kalau dia terancam orang-orang sesat, juga kita dapat minta nasihatnya tentang masalah perjodohan kita."

"Baik, Pek Hong. Aku kira hanya Ayah yang akan dapat menunjukkan jalan terbaik bagi kita."

Dua orang gadis itu lalu membalapkan kuda mereka menuju ke Pegunungan Go-bi.

Pondok itu berdiri di puncak sebuah bukit. Dari puncak itu tampak pemandangan alam yang teramat indah. Terutama di waktu matahari terbit atau di waktu matahari tenggelam, pemandangan itu sungguh membuat orang terpesona, seolah melihat taman sorga terbentang di depannya. Pemandangan yang dibentuk oleh awan dan sinar matahari sukar digambarkan keindahannya. Apalagi kalau tampak pelangi yang mengandung semua warna itu melengkung di depan, membuat orang lupa bahwa dia berada di dunia, bukan di alam lain. Pondok kayu yang kokoh itu berada di Puncak Pelangi, sebuah di antara puncak-puncak banyak perbukitan di Pegunungan Gobi.

Matahari pagi sudah agak tinggi sehingga sinarnya yang hangat terasa nyaman sekali menembus kedinginan puncak itu. Sejuk dan segar.

Kakek itu duduk bersila di atas sebuah bangku batu yang bundar dan rata, bersih dan halus permukaannya. Dia seorang laki-laki berusia sekitar enampuluh lima tahun. Wajahnya bersih tanpa jenggot maupun kumis, wajah yang berbentuk bulat dengan dagu meruncing. Sepasang matanya lembut dan bersinar-sinar cerah seperti mata orang yang merasa lega den puas, mata orang berbahagia. Rambutnya yang sudah bercampur uban itu diikat dengan pita kuning. Pakaiannya hanya terdiri dari kain yang dilibat-libatkan di tubuhnya, di bagian pinggang diikat sabuk sutera putih. Sepatunya dari kain tebal dengan lapisan besi. Mata yang tajam, hidung mancung dan mulut yang bentuknya indah itu membuat wajahnya tampak tampan.

Dia adalah Tiong Lee Cin-jin yang dikenal banyak tokoh besar dunia persilatan sebagai Yok-sian (Dewa Obat atau Tabib Dewa) dan nama aselinya adalah Sie Tiong Lee.

Beberapa ekor burung gereja bercicitan dan terbang turun dari atas pohon. Tanpa takut sedikit pun mereka beterbangan dekat tempat Tiong Lee Cin-jin duduk. Bahkan ada yang hinggap di atas batu tepat di kakinya dan ada pula yang demikian beraninya hinggap di atas pundaknya. Agaknya burung-burung kecil itu sudah terbiasa berbuat seperti itu dan sudah yakin benar bahwa mereka aman dan tidak akan diganggu. Bahkan lebih dari itu, mereka seolah menagih! Tiong Lee Cin-jin tersenyum, merasa bahwa burung-burung itu memang menagih. Dia lalu mengambil sekepal butiran gandum dan menyebarkannya di atas tanah depan batu yang didudukinya. Ramailah burung-burung itu berloncatan dan mulai mematuki biji-biji gandum sambil mengeluarkan bunyi hiruk pikuk. Tiong Lee Cin-jin tersenyum bahagia sambil memandang ke kawanan burung gereja yang setiap pagi pasti menemaninya di situ.

Tiba-tiba Tiong Lee Cin-jin mengangkat muka memandang ke arah bawah puncak sebelah timur. Dia melihat dua titik hitam yang bergerak mendaki bukit dan sebentar saja dua titik hitam itu mulai berbentuk dua tubuh manusia yang dengan mempergunakan ilmu berlari cepat mendaki bukit menuju puncak. Mulut kakek itu tersenyum lebar dan matanya bersinar, wajahnya berseri.

Bayangan dua orang itu semakin jelas dan mereka itu adalah Souw Thian Liong dan Han Bi Lan yang menyamar pria dan menggunakan nama Han.

Seperti kita ketahui, pemuda dan gadis itu melakukan perjalanan bersama dan bersepakat untuk saling membantu. Han Bi Lan berusaha mencari dua orang murid mendiang Toat-beng Coa-ong Ouw Kan yang telah membunuh ayahnya, sedangkan Souw Thian Liong hendak mengunjungi gurunya, Tiong Lee Cin-jin untuk mengabarkan bahwa Empat Datuk Besar mengancam gurunya itu dan dia akan membantu gurunya. Dalam perjalanan mereka, kedua orang muda ini mendengar bahwa dua orang murid Ouw Kan yang dicari Bi Lan itu agaknya bergabung dengan Empat Datuk Besar dan mungkin akan membantu Empat Datuk Besar menyerang Tiong Lee Cin-jin di Puncak Pelangi. Maka, mereka berdua lalu cepat melakukan perjalanan menuju Puncak Pelangi.

Setelah tiba di depan kakek itu, mereka berdua segera berlutut memberi hormat.

"Suhu, teecu datang menghadap," kata Thian Liong.

"Lo-cianpwe, maafkan kalau saya mengganggu," kata Han Bi Lan.

Tiong Lee Cin-jin tertawa dan mengangguk-angguk sambil memandang kepada dua orang muda itu.

"Thian Liong, siapakah nona yang ikut datang berkunjung bersamamu ini?"

Bi Lan kagum. Kakek ini sekali pandang saja sudah mengetahui bahwa ia seorang wanita, padahal penyamarannya itu bagus sekali dan di sepanjang perjalanan, tidak ada orang yang mengetahui rahasianya.

Sebelum Thian Liong menjawab, Bi Lan sudah mendahuluinya.

"Maaf kalau saya terpaksa menyamar sebagai pria agar leluasa dalam perjalanan, Lo-cianpwe. Nama saya adalah Han Bi Lan dan saya melakukan perjalanan bersama Souw Thian Liong untuk saling bantu menghadapi orang-orang jahat yang lihai."

"Heh-heh, menarik sekali. Seorang gadis dengan kepandaian seperti yang kaumiliki, siapakah yang akan berani mengganggumu, Nona? Kalian duduklah di batu depan itu agar lebih enak kita bicara."

Thian Liong dan Bi Lan mengucapkan terima kasih lalu duduk di atas batu datar, berhadapan dengan kakek itu. Bi Lan semakin kagum. Sekali pandang saja kakek itu mengetahui bahwa ia memiliki ilmu kepandaian tinggi!

"Suhu, teecu mengharap keadaan Suhu baik-baik dan sehat saja," kata Thian Liong.

"Keadaanku baik-baik saja, Thian Liong. Terima kasih dan puji sukur kepada Thian yang senantiasa melimpahkan berkatnya kepada tubuh yang tua ini. Sekarang ceritakan apa yang mendorong kalian datang ke sini."

Thian Liong lalu menceritakan tentang pertemuan antara Empat Datuk Besar di Pulau Iblis telaga See-ouw yang telah mendidik seorang murid sehingga lihai sekali dengan niat khusus agar murid itu membalaskan sakit hati Empat Datuk Besar kepada Tiong Lee Cin-jin.

Tiong Lee Cin-jin mendengarkan cerita Thian Liong dengan sikap tenang seolah tidak ada apa-apa yang perlu khawatirkan. Bukannya dia meremehkan orang-orang yang mengancamnya, akan tetapi bagi Tiong Lee Cin-jin, gangguan dari golongan sesat sudah sejak dulu dia alami dan hal itu merupakan hal yang wajar saja baginya. Kekuasaan Setan tidak akan pernah berhenti untuk menyeret manusia ke dalam kesesatan dan selalu golongan sesat memusuhi golongan yang hidup sebagai pengabdi kebenaran dan keadilan.

"Kalau itu yang mereka kehendaki, biarlah, Thian Liong. Hal itu tidak perlu dikhawatirkan. Aku akan selalu melindungi diriku ini sedapat mungkin dan selanjutnya terserah kepada keputusan Thian. Yang harus terjadi terjadilah seperti yang sudah ditentukan oleh Thian. Tidak perlu khawatir."

"Akan tetapi, maaf, Suhu. Teecu menduga bahwa mereka itu akan mengerahkan semua tenaga golongan sesat untuk menyerang Suhu. Tentu saja teecu tidak dapat berdiam diri, Suhu. Maka teecu lalu sengaja datang berkunjung dan menghadap Suhu untuk memberitahu akan ancaman itu agar Suhu dapat bersiap-siap, dan teecu dapat membantu Suhu kalau mereka datang menyerbu."

"Baiklah kalau engkau mengkhawatirkan diriku, Thian Liong. Akan tetapi, bagaimana dengan Nona ini?"

"Suhu pernah melihat Bi Lan ketika dulu teecu hendak dihukum para pimpinan Siauw-lim dan Kun-lun karena fitnah dan Nona ini juga membelaku menghadapi serangan mereka. Han Bi Lan ini adalah puteri dari Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi yang dulu bersama teecu dipenjara di istana Kerajaan Sung karena menentang Menteri Chin Kui, Suhu."

Tiong Lee Cin-jin mengangguk-angguk, memandang kepada Bi Lan.

"Ya, aku ingat. Bukankah ayahmu Han Si Tiong itu bersama ibumu memimpin Pasukan Halilintar di bawah pimpinan Mendiang Jenderal Gak Hui yang gagah perkasa itu, Bi Lan?"

"Benar sekali, Lo-cianpwe. Akan tetapi sebagai akibat dari perang itu, Ayah saya dibunuh orang."

"Siancai......! Bagaimana ceritanya?"

"Dalam perang itu Ayah saya merobohkan seorang pangeran Kerajaan Kin sehingga menimbulkan dendam dan Kaisar kerajaan itu mengutus Toat-beng Coa-ong Ouw Kan untuk membunuh Ayah Ibuku. Biarpun usahanya gagal dan Kaisar Kerajaan Kin sudah mencabut perintahnya, Ouw Kan masih penasaran dan pada suatu hari, dia mengutus dua orang muridnya untuk membunuh Ayah dan ibu saya. Usaha itu berhasil, Ayah saya mereka bunuh. Karena itu, saya lalu mencari Toat-beng Coa-ong Ouw Kan dan saya berhasil membalas dendam, saya telah membunuh Toat-beng Coa-ong Ouw Kan itu."

Kakek itu meagangguk-angguk.

"Hemm, aku tidak heran kalau engkau mampu mengalahkan Ouw Kan. Bi Lan, siapa gurumu?"

"Guru saya adalah Jit Kong Lhama......"

"Hemm, aneh sekali. Biarpun tingkat kepandaian Jit Kong Lhama lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Toat-beng Coa-ong Ouw Kan, namun tidak banyak selisihnya dan kalau engkau hanya menerima ilmu dari Jit Kong Lhama, kiranya akan sukar bagimu untuk mengalahkannya. Dan aku melihat ada tenaga aneh dalam dirimu, Bi Lan, yang mungkin sekali bahkan lebih kuat dari tenaga yang dimiliki Jit Kong Lhama!" Sambil berkata demikian, Tiong Lee Cin-jin memandang wajah Bi Lan dengan sinar mata tajam penuh selidik.

Kembali Bi Lan merasa kagum, bahkan terkejut. Penglihatan kakek itu sungguh tajam seolah menembus dirinya sehingga terhadap Tiong Lee Cin-jin kiranya tak mungkin ia menyembunyikan sesuatu tentang dirinya. Ia memandang ke arah Thian Liong yang kebetulan juga sedang memandang kepadanya. Dari pandang mata Thian Liong gadis itu seolah dapat membaca suara hatinya bahwa guru pemuda itu mengetahui segalanya dan lebih baik berterus terang saja!

"Sesungguhnya, Lo-cianpwe, saya telah menerima gemblengan dari seorang guru lain selama satu tahun."



"Ah, gurumu itu tentu seorang manusia luar biasa yang memiliki kesaktian yang tinggi, Bi Lan."

"Guru saya itu berjuluk Heng-si Ciauw-jiok (Mayat Hidup Berjalan), Lo-cianpwe."

"Siancai......! Jadi benar dia itu masih hidup? Heh-heh, dulu aku sudah merasa sangsi mendengar kabar bahwa dia tewas dikeroyok para datuk. Ternyata dia masih hidup! Bukan main, hebat sekali tingkat kepandaiannya, tidak akan mungkin dapat dikuasai sembarang orang!"

"Ada yang aneh sekali tentang datuk itu, Suhu. Menurut cerita Bi Lan, Si Mayat Hidup itu sebelum menerimanya sebagai murid selama setahun, Bi Lan harus berjanji bahwa setelah belajar setahun, Bi Lan harus menguburnya hidup-hidup! Akan tetapi Bi Lan tidak mau melakukan hal itu dan ia kabur meninggalkan orang aneh itu.

"Siancai......! Mengapa engkau mengeluarkan janji seperti itu, Bi Lan? Berjanji harus ditepati! Baik sekali engkau tidak melaksanakan penguburan hidup-hidup terhadap orang yang telah memberimu ilmu-ilmu selama setahun. Akan tetapi, berjanji itulah yang salah! Dan manusia seperti Si Mayat Hidup itu pasti akan terus mencarimu untuk menuntut engkau melaksanakan apa yang telah kau janjikan itu."

"Aduh, Lo-cianpwe, saya mohon petunjuk. Ketika itu, memang saya sedang dalam keadaan bingung dan ingin memperdalam ilmu sehingga mau saja disuruh berjanji seperti itu."

"Ya, aku tahu. Bahkan sekarang pun engkau masih dalam keadaan kacau, batinmu mengalami guncangan dan tekanan berat. Apakah sebetulnya yang menjadi ganjalan hatimu, Bi Lan? Siapa tahu aku akan dapat memberi petunjuk untuk membebaskanmu dari tekanan batin itu."

"Suhu sesungguhnya teecu yang membuat Bi Lan tertekan batinnya. Karena dulu ia pernah meminjam kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang seharusnya teecu berikan kepada Kun-lun-pai seperti yang Suhu perintahkan, maka teecu lalu menghukumnya dengan menampar tubuh belakangnya seperti menghajar anak kecil. Bi Lan sakit hati dan berusaha memperdalam ilmu silatnya untuk membalas perbuatan teecu yang ia anggap penghinaan itu. Akan tetapi ia telah membalasnya, Suhu, dan teecu yakin ia sudah tidak mendendam lagi sekarang."

Tiong Lee Cin-jin tersenyum lebar.

"He-heh, kalian ini orang-orang muda sungguh lucu. Terkadang melakukan perbuatan yang berlawanan dengan perasaan hati sendiri. Benarkah engkau tidak mendendam lagi kepada muridku ini, Bi Lan?"

Bi Lan menggeleng kepala sambil mengerling ke arah pemuda itu.

"Tidak Lo-cianpwe, urusan saya dengan Thian Liong sudah beres dan tidak ada ganjalan lagi."

"Bagus! Akan tetapi aku tetap melihat betapa engkau menyimpan kedukaan dalam hatimu, Bi Lan. Mengapa demikian? Atau, kalau urusan itu tidak dapat kauberitahukan orang lain, tidak perlu kauceritakan. Hanya aku ingin memperingatkan bahwa tidak baik membiarkan hatimu digerogoti gundah gaulana dan duka nestapa. Seperti juga dendam kebencian, perasaan itu akan melemahkan jantung dan meracuni darahmu kalau dibiarkan berlarut-larut.

"Maafkan saya, Lo-cianpwe. Saya tidak dapat menceritakan apa yang saya derita, biarlah hal itu menjadi rahasia saya sendiri. Agaknya sudah nasib saya, sudah kodratnya saya harus hidup menderita batin seperti ini."

Ucapan Bi Lan terdengar agak gemetar sehingga Thian Liong sendiri merasa heran dan bertanya-tanya dalam hatinya, apa gerangan yang menyebabkan gadis itu menderita batin seperti itu. Apakah karena kematian ayahnya? Akan tetapi kematian ayahnya sudah dibalas dengan kematian Ouw Kan dan kini mereka sedang menantikan munculnya dua orang murid Ouw Kan yang membunuh Han Si Tiong. Jadi, kalau urusan itu, semestinya Bi Lan tidak menderita batin.

"O-ho, anak baik. Jangan sekali-kali menyalahkan kodrat! Kodrat adalah terjadinya rencana Thian, yang tidak dapat diubah oleh siapapun juga. Akan tetapi, Thian tidak pernah merencanakan penderitaan bagi manusia. Segala macam penderitaan adalah akibat dari ulah manusia sendiri. Kalau kita mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan, misalnya kalau kita menjadi orang yang amat miskin hidupnya, hal itu bukan kodrat semata. Keadaan itu merupakan tantangan dan kita sebagai manusia berkewajiban untuk berikhtiar, berusaha sekuat kemampuan kita untuk mengubah keadaan itu! Penderitaan batin bukan timbul karena keadaan itu sendiri, melainkan karena kita tidak mampu menerima kenyataan seperti apa adanya. Yang terpenting dalam kehidupan adalah ikhtiar, usaha, bekerja karena hidup ini berarti gerak, dan gerakan yang tepat adalah bekerja, berikhtiar. Kita berikhtiar sekuat tenaga melalui jalan yang tidak melanggar hukum Thian, ikhtiar yang tidak melalui tindak kejahatan. Dan sebagai landasan adalah berserah diri kepada Thian karena pada akhirnya Thian yang menentukan. Memang harus diakui bahwa ikhtiar saja belum tentu dapat mengatasi keadaan, akan tetapi kalau kita sudah berusaha sekuat mungkin, berarti kita sudah memenuhi tugas hidup. Kemudian selanjutnya, apa pun yang terjadi setelah kita berusaha sekuat mungkin terserah kepada keputusan Thian. Kehendak Thian selalu terjadi, di mana pun dan bilamana pun. Perasaan kita dalam menerima kenyataan ini tidak masuk hitungan. Kenyataan ini bisa saja oleh umum disebut enak atau tidak enak, menyenangkan atau menyusahkan Namun seorang bijaksana tidak akan menuruti keinginannya sendiri."

"Terima kasih, Lo-cianpwe. Lalu, kalau ada sesuatu yang terasa amat pahit dan menimbulkan perasaan kecewa, penasaran, marah dan terutama sekali sedih, apa yang harus saya lakukan?"

Kakek itu tersenyum.

"Pertanyaan yang baik sekali, Bi Lan. Apa yang ha-rus kita lakukan kalau ada semua perasaan yang tidak enak itu? Nah, jangan lakukan apa-apa, Bi Lan. Yang penting, mengertilah dengan sepenuhnya lahir batin bahwa yang menimbulkan perasaan tidak enak itu adalah si-aku yang berulah dalam pikiran. Aku dirugikan, apa yang terjadi tidak cocok dengan keinginanku, aku dipermalukan, aku dibegini, dibegitukan maka bermunculanlah semua perasaan itu. Ini hanya permainan pikiran belaka, Bi Lan. Kalau kita tidur dan pikiran tidak bekerja, ke mana perginya semua perasaan tidak enak yang kausebut tadi? Semua perasaan itu tentu menghilang bersama dengan berhentinya pikiran. Apa pun yang terjadi adalah suatu kenyataan! Sudah terjadi dan tidak akan dapat diubah oleh kita, bahkan kalau muncul semua perasaan itu, tidak akan menolong keadaan bahkan membuatnya semakin parah. Kalau terjadi sesuatu yang terasa pahit dan menyedihkan seperti kaukatakan tadi, kewajiban kita yang utama adalah berusaha sekuat tenaga untuk mengubah keadaan itu. Kalau semua ikhtiar sepenuhnya dari kita tidak berhasil mengubahnya, maka hadapilah peristiwa itu sebagai suatu kenyataan! Sebagai suatu keadaan apa adanya dan sudah dikehendaki Thian, dengan penyerahan lahir batin. Kalau kita menyerah sepenuhnya, maka Kekuasaan Thian yang akan bekerja sehingga kita dapat menghadapi semua itu tanpa penderitaan. Penyerahan ini mendatangkan kekuatan yang ampuh, Bi Lan, karena kalau kita sudah benar-benar menyerah, kekuasaan Thian akan berkarya dengan ajaib."

Bi Lan menarik napas panjang. Pikirannya menjadi terang. Memang selama ini, semenjak ia mengetahui akan kehidupan ibunya di masa lalu sebagai seorang pelacur, ia merasa kecewa, penasaran, dan malu sekali. Timbul perasaan iba diri yang berlebihan. Semua perasaan yang mengganggu itu timbul dari bayang-bayang pemikiran. Bagaimana kalau semua orang mengetahui bahwa ia anak seorang bekas pelacur? Ke mana harga dirinya? Dan Thian Liong! Kalau dia tahu......! Dapatkah ia menerima kenyataan tentang ibunya itu, menerima dengan ikhlas? Alangkah berat rasa hatinya! Bagaimana kalau Thian Liong mengetahui kenyataan itu? Apakah dia tidak akan memandang rendah padanya? Ke mana harga dirinya? Bi Lan semakin pusing.

"Lo-cianpwe, saya dapat memahami petunjuk Lo-cianpwe. Persoalannya sekarang terserah kepada diri saya sendiri dan saya akan mencoba untuk mengatasi gejolak hati ini."

"Siancai! Kesadaran akan mendatangkan penerangan. Semoga kekuasaan Thian Yang Maha Kasih akan membantumu, Bi Lan. Sekarang kalian bersihkan badan dan tukar pakaianmu yang penuh debu. Lalu kita makan bersama. Di dapur telah tersedia makan pagi, tinggal menghangatkan saja."

"Lo-cianpwe, biarlah saya yang akan menyiapkan semua itu," kata Bi Lan.

"Baiklah. Aku akan menanti di sini."

Thian Liong dan Bi Lan memasuki pondok dan Thian Liong yang pernah tinggal di situ selama sepuluh tahun ketika dia digembleng ilmu oleh Tiong Lee Cin-jin, memberi petunjuk kepada Bi Lan di mana adanya tempat mandi dari sebuah mata air di belakang pondok, di mana adanya dapur dan lain-lain. Mereka mandi bergantian dan ketika selesai mandi, Thian Liong melihat Bi Lan muncul dalam pakaian wanita! Alangkah cantik jelitanya! Thian Liong sampai terpesona dan memandang gadis itu dengan mulut melongo!

"Ih, Thian Liong! Engkau ini mengapa sih?" Bi Lan menegur dan tersipu, karena ia dapat melihat betapa mata pemuda itu memandang penuh kagum dan hal sekecil ini saja sudah mendatangkan perasaan yang amat menyenangkan hatinya. Ah, betapa ia ingin Thian Liong kagum kepadanya, kagum akan segala-galanya dan menghargainya. Akan tetapi ibunya......!

"Ah, aku...... aku...... hanya kaget karena tidak menyangka engkau akan berganti pakaian wanita. Engkau...... engkau...... cantik sekali, Bi Lan!"

Bi Lan tersenyum, kulit kedua pipinya menjadi merah dan matanya bersinar-sinar.

"Sudahlah, cepat mandi dan tukar pakaian sana! Aku mau mempersiapkan makanan untuk Lo-cianpwe."

Thian Liong pergi ke belakang dan Bi Lan memasuki dapur. Agaknya kakek yang hidup seorang diri itu pagi tadi telah memasak air dan bubur, akan tetapi dibiarkan dingin. Bi Lan cepat menyalakan api dan menghangatkan makanan dan minuman air teh.

Tak lama kemudian, Thian Liong yang sudah selesai mandi dan berganti pakaian, bersama Bi Lan keluar dan mempersilakan Tiong Lee Cin-jin untuk makan. Tiong Lee Cin-jin juga tersenyum lebar ketika melihat Bi Lan yang kini telah berubah menjadi seorang gadis cantik.

"Aih, engkau cantik sekali, Bi Lan!" katanya.

Gadis itu tersipu dan diam-diam merasa heran mengapa pujian yang keluar dari mulut kakek itu sama benar dengan pujian Thian Liong tadi. Apakah Thian Liong juga mempelajari cara memuji seorang gadis dari kakek itu pula?

"Ah, Lo-cianpwe terlalu memuji......!" katanya tersipu.

Mereka lalu makan bubur yang hanya dimasak dengan lobak dan sayur hijau, akan tetapi cukup lezat karena tubuh mereka lelah dan perut mereka lapar.

Baru saja mereka selesai makan dan Bi Lan, dibantu Thian Liong, menyingkirkan mangkok sumpit ke dapur, tiba-tiba Tiong Lee Cin-jin berkata sambil menghela napas panjang.

"Wah, mereka sudah datang!"

Thian Liong dan Bi Lan terkejut. Mereka tidak mendengar apa-apa. Akan tetapi Thian Liong merasa yakin akan kebenaran ucapan gurunya, maka dia pun bergegas keluar dari pondok, diikuti oleh Bi Lan. Setelah tiba di luar pondok, baru mereka melihat serombongan orang berlari cepat mendaki puncak itu! Orang-orang itu berlari dan berlompatan dengan cepat, tidak menimbulkan suara gaduh. Bagaimana mungkin Tiong Lee Cin-jin yang berada di dalam pondok dapat mengetahui akan kedatangan mereka?

Akan tetapi, mereka tidak memusingkan hal itu karena keduanya yakin akan kesaktian Tiong Lee Cin-jin. Sebaliknya mereka menanti di depan pondok sambil mencoba untuk mengenal orang-orang yang mendaki puncak itu. Ternyata mereka semua berjumlah sepuluh orang!

Yang berada paling depan adalah seorang pemuda tampan berkulit putih, wajahnya bulat, matanya mencorong dan mulutnya tersenyum mengejek, sebatang pedang tergantung di punggung. Di sebelahnya adalah seorang kakek kurus pucat berpakaian tambal-tambalan dan di punggungnya juga tergantung sebatang pedang.

"Hemm, itu adalah Can Kok dan Lam-kai (Pengemis Selatan)!" kata Thian Liong.

Di belakang mereka tampak seorang kakek berpakaian seperti seorang tosu (Pendeta Agama To), tinggi kurus rambutnya sudah putih semua dan dia memegang sebatang tongkat hitam berkepala ular. Di sebelah kirinya berjalan seorang laki-laki berusia empatpuluhan tahun yang tinggi kurus dan berkumis tebal.

"Dan itu tentu Pak-sian (Dewa Utara) dan muridnya, Jui To yang dulu se-cara curang menyerangmu sehingga engkau terluka," kata Bi Lan.

Ternyata mereka berjalan sepasang-sepasang. Urutan ketiga adalah seorang kakek berpakaian hwesio (Pendeta Buddha) yang tubuhnya pendek gendut dan di punggungnya terselip Sebatang hud-tim (kebutan dewa). Di sebelahnya berjalan seorang laki-laki berusia sekitar tigapuluh lima tahun, bertubuh tinggi besar bermuka bopeng dengan kulit hitam. Dari pakaiannya dapat diduga bahwa dia tentu seorang berbangsa Mongol.

"Wah, itu Golam murid Goat Kong Lhama!" kata Bi Lan menuding ke arah orang Mongol itu.

"Dan hwesio gendut itu adalah See-ong (Raja Barat)," kata Thian Liong.

"Pasangan di samping mereka itu adalah Tung-sai (Singa Timur) dan di dekatnya itu...... hemm...... aku tidak mengenalnya. Mungkin belum pernah aku bertemu dengan dia atau aku lupa lagi......" Pemuda yang berjalan di dekat See-ong itu berusia sekitar duapuluh delapan tahun, mukanya memanjang ke depan seperti muka kuda, tubuhnya jangkung kurus dan kumisnya tebal.

"Melihat pakaiannya yang biarpun bersih dan baru namun dihias tambal-tambalan itu, dia tentu murid Lam-kai (Pengemis Selatan)," kata Bi Lan.

"Dan pasangan terakhir itu, lihat......! Tak dapat diragukan lagi, pemuda dan gadis itu pastilah Bouw Kiang dan Bong Siu Lan dua orang murid Ouw Kan yang telah menyerang Ayah Ibuku dan mengakibatkan Ayah tewas!"

Dugaan Bi Lan memang benar. Pemuda berpakaian tambal-tambalan itu adalah Kui Tung, murid Lam-kai, sedangkan pasangan kelima itu adalah Bouw Kiang dan Bong Siu Lan!

Tiba-tiba Thian Liong berkata dengan seruan tertahan.

"Lihat, Bi Lan! Lihat jauh di belakang mereka itu!"

Bi Lan memandang dan benar saja, jauh di belakang rombongan sepuluh orang yang mendaki puncak dengan ilmu berlari cepat mereka tampak sekitar tigapuluh orang yang tertinggal karena agaknya ilmu kepandaian mereka tidak setinggi sepuluh orang itu.

"Ah, jahanam-jahanam itu membawa puluhan orang anak buah! Mari kita amuk dan gempur mereka sebelum tiba di sini, Thian Liong!"

Sebelum Thian Liong menjawab, terdengar suara lembut Tiong Lee Cin-jin dari dalam pondok.

"Jangan turun tangan. Orang bijaksana mempergunakan ilmunya untuk membela diri, bukan untuk menyerang orang lain. Tunggu sampai mereka datang, aku akan menemui mereka."

Mendengar suara kakek itu, Thian Liong dan Bi Lan berdiri tenang saja, memandang ke arah sepuluh orang yang diikuti sekitar tigapuluh orang mendaki puncak. Akhirnya, sepuluh orang itu sudah tiba di pekarangan yang luas dan mereka berhenti.

Bouw Kiang dan Bong Siu Lan bergabung dengan rombongan Empat Datuk Besar ketika mereka diajak oleh Jiu To murid Pak-sian. Jiu To ini bersama dua orang sutenya yang terbunuh oleh Bi Lan terkenal sebagai Sam-pak-liong (Tiga Naga Utara) dan menjadi sahabat baik mendiang Ouw Kan, maka dia mengenal pula Bouw Kiang dan Bong Siu Lan.

Sepuluh orang itu berhenti di pekarangan dan mereka melihat Thian Liong dan Han Bi Lan berdiri tegak di depan pondok dengan sikap tenang namun sama sekali tidak gentar. Empat Datuk Besar tidak heran melihat Souw Thian Liong di situ karena mereka sudah mendengar bahwa Souw Thian Liong adalah murid Tiong Lee Cin-jin. Akan tetapi mereka heran melihat Han Bi Lan. Akan tetapi Jiu To berkata kepada gurunya dengan suara lantang.

"Suhu, gadis itulah yang telah membunuh Sute Kai Ek dan Lee Song!"

"Keparat, kalau begitu ia yang telah membunuh Suhu pula!" teriak Bong Siu Lan marah. Ia dan Bouw Kiang sudah mendengar tentang gadis ini yang berpakaian serba merah dan berjuluk Ang I Mo-li (Iblis Wanita Baju Merah) dan yang telah membunuh guru mereka selagi mereka tidak berada di sana. Mereka mengenal Han Bi Lan dari cerita Jiu To tentang gadis baju merah itu.

Mendengar ini, Bi Lan menahan kemarahannya dan suara menggetar karena marah ketika ia berbisik kepada Thian Liong sambil mengepal tinju.

"Tidak salah, Thian Liong, mereka tentulah pembunuh Ayahku!"

"Tenang, Bi Lan, tunggu sampai Suhu keluar."

Bi Lan yang amat menghormati Tiong Lee Cin-jin, tidak berani membantah dan mereka berdua hanya memandang ke arah sepuluh orang itu yang kini melangkah mendekati pondok. Tigapuluh orang anak buah mereka itu pun sudah tiba di luar pekarangan, agaknya siap menanti komando.

Dalam jarak sekitar tujuh tombak di mana Thian Liong dan Bi Lan berdiri, mereka berhenti melangkah dan Tung-sai yang agaknya diserahi pimpinan atau wakil pembicara, mengeluarkan gerengan seperti auman singa lalu berkata dengan suara yang menggetarkan jantung karena mengandung tenaga sakti yang kuat.

"Tiong Lee Cin-jin! Keluarlah engkau untuk menerima kematianmu!"

Dari dalam pondok terdengar suara tawa. Lembut dan lirih saja akan tetapi anehnya, dapat terdengar jelas oleh mereka semua, bahkan juga oleh gerombolan yang berada di luar pekarangan! Lalu muncul Tiong Lee Cin-jin dengan pakaian bersih, wajahnya cerah mengembangkan senyum, melangkah perlahan keluar dari pondok lalu berdiri di depan Thian Liong dan Bi Lan, menghadapi rombongan Empat Datuk Besar itu. Sejenak matanya yang lembut memandang ke arah empat orang itu satu demi satu lalu dia berkata lembut.

"Ah, kiranya Empat Datuk Besar yang datang bertamu! Pak-sian Liong Su Kian, See-ong Hui Kong Hosiang, Tung-sai Kui Tong dan Lam-kai Gui Lin! Selamat datang, semoga kalian berempat sehat-sehat saja!"

"Tiong Lee Cin-jin kami datang bukan untuk bertamu, melainkan untuk menebus kekalahan kami dahulu! Hayo, majulah melawan kami. Hari ini saatnya engkau menerima kematianmu!"

"Siancai-siancai-siancai......! (Damai-damai-damai)!" kata Tiong Lee Cin-jin tenang.

"Tung-sai dan Saudara sekalian. Sejak dahulu aku siap menerima saat kematianku yang pasti akan tiba padaku pada saat Tuhan menghendaki. Kematian takkan dapat dihindarkan manusia, siapapun juga adanya dia! Kalau Tuhan menghendaki seseorang mati, biarpun dia bersembunyi di lubang semut, maut pasti akan datang menjemput! Sebaliknya kalau Tuhan tidak menghendaki seseorang mati, biarpun iblis menyerang kalang kabut, semua itu pasti akan luput! Aku hanya berserah diri kepada Kekuasaan Tuhan, dan tidak akan menyerah kepada kalian, walau kalian membawa seribu orang kawan sekalipun!"

Pada saat itu terdengar derap kaki dua ekor kuda menuju ke pekarangan pondok itu dan terjadi keributan ketika para anak buah Empat Datuk Besar hendak menghalangi, mereka dibuat jatuh berpelantingan oleh dua orang gadis cantik yang sudah melompat turun dari atas kuda mereka dan kini lari memasuki pekarangan.

"Ayah......!!" Mereka berseru dengan suara berbareng dan semua orang yang datang di tempat itu, termasuk Bi Lan, tentu saja terkecuali Tiong Lee Cin-jin dan Souw Thian Liong, terbelalak heran memandang kepada dua gadis yang kini dirangkul kedua tangan Tiong Lee Cin-jin itu. Mereka itu begitu persis satu sama lain. Hanya pakaian dan bentuk rambut saja yang berbeda. Yang seorang berpakaian serba putih dari sutera halus, rambutnya digelung seperti kebiasaan wanita bangsawan. Adapun gadis yang kedua, yang wajah dan tubuhnya tiada bedanya dengan gadis baju putih, berpakaian serba hijau dan terdapat bunga mawar merah di rambutnya yang disanggul seperti wanita Han biasa.

"Pek Hong! Siang In! Kalian datang juga? Mengapa begini kebetulan?" Tiong Lee Cin-jin bertanya sambil tersenyum dan memandang ke arah mereka yang datang menyerbu itu.

"Ayah, aku dan Siang In mendengar akan adanya orang-orang jahat yang hendak membunuh Ayah, maka kami segera pergi ke sini," kata Pek Hong.

"Benar, Ayah. Mari kita basmi orang-orang sesat yang busuk itu!" kata Siang In.

"Tenang dan sabarlah, anak-anakku sayang. Biarkan aku bicara dengan mereka." dengan lembut Tiong Lee Cin-jin memberi isyarat kepada dua orang puterinya untuk berdiri di belakangnya.

Dua orang gadis itu tersenyum kepada Souw Thian Liong yang menyambut mereka dengan hati gembira pula.

"Syukur kalian datang!" katanya lirih.

"Kami juga gembira sekali melihatmu di sini, Thian Liong. Dan ini"... ah, engkau Han Bi Lan, bukan? Bagus kulihat kalian sudah berbaikan!" kata Pek Hong atau Puteri Moguhai.

Pada saat itu, kembali Tung-sai mengeluarkan suara gerengan yang menggetarkan itu.

"Wah, ada singa mengaum!" kata Siang In dengan senyum mengejek.

"Singa apa? Masa singa kakinya dua! Itu tentu sebangsa monyet!" kata Puteri Moguhai, tentu saja dengan suara mengejek.

Melihat sikap dua orang gadis kembar itu, sejak tadi Han Bi Lan merasa geli dan timbul rasa suka dalam hatinya terhadap mereka. Keduanya cantik jelita, keduanya anak-anak orang terhormat. Puteri Moguhai puteri Kaisar, Ang Hwa Sian-li Thio Siang In puteri seorang pedagang kaya! Alangkah jauh bedanya dengan dirinya sendiri! Ia tahu akan mereka berdua dari cerita Thian Liong. Dan kini, ia melihat dan mendengar sendiri dua orang gadis itu menyebut ayah kepada Tiong Lee Cin-jin! Mereka begitu cantik, begitu anggun, begitu kaya dan terhormat, Sedangkan ia? Ibunya saja seorang bekas pelacur! Dan mereka tampak begitu akrab dengan Thian Liong! Di balik kegembiraannya bertemu dua orang gadis kembar ini, ada sesuatu yang membuat hatinya tidak enak, membuat ia rasanya ingin menangis!

"Tiong Lee Cin-jin, majulah dan lawan kami!" terdengar Tung-sai membentak, menyambung gerengannya tadi.

"Tung-sai, sejak dahulu sudah kuberitahu kepadamu bahwa aku tidak ingin bermusuhan, tidak ingin berkelahi dengan siapapun juga."

"Akan tetapi kami ingin berkelahi denganmu! Kami ingin membunuhmu untuk menebus kekalahan-kekalahan kami dahulu!"

"Siancai......! Alangkah bodohnya. Kalian semua renungkan baik-baik, apa gunanya semua permusuhan ini? Kalau kalian kalah, kalian rugi apakah? Kalau kalian menang, keuntungan apa yang kalian dapat?"

"Sudah, jangan cerewet, Tiong Lee Cin-jin! Kalau engkau tidak berani bertanding melawan kami, hayo engkau berlutut dan mohon maaf kepada kami, baru kami akan melepaskan dan membiarkan engkau hidup!"

"Aku tidak bersalah apa pun kepada kalian, untuk apa minta ampun. Pula, andaikata aku melakukan dosa, aku hanya minta ampun kepada Tuhan. Tung-sai, apakah engkau akan mengajukan puluhan orang ini untuk mengeroyok aku?"

"Hemm, kami lihat engkau pun sudah mengumpulkan orang-orang yang akan membelamu. Kita boleh mengadu kesaktian, tidak perlu keroyokan. Kami mengajukan seorang atau dua orang jago untuk ditandingi jagoanmu."

Lam-kai memberi isyarat kepada Kui Tung, muridnya yang paling dibanggakan. Kui Tung mengangguk dan dia maju ke depan.

"Aku, Kui Tung yang maju mewakili rombongan kami. Hayo, siapa di antara kalian yang berani melawan aku?"

Han Bi Lan hendak maju, akan tetapi ia didahului Ang Hwa Sian-li Thio Siang In yang menyentuh lengannya dan berbisik.

"Biar aku yang menghadapinya." Lalu gadis ini memandang kepada Tiong Lee Cin-jin untuk minta persetujuannya. Kakek itu mengangguk dan berkata sambil tersenyum.

"Majulah akan tetapi ingat, aku tidak menghendaki pembunuhan di sini."

"Baik, Ayah," kata Siang In dan ia sudah meloncat dengan gerakan ringan sekali ke depan Kui Tung. Ia tersenyum mengejek.

"Aih, Muka Kuda, engkau belum jera juga melakukan kejahatan? Dahulu itu sebagai kepala perampok engkau masih dapat lolos dari tanganku. Sekarang, mari kita teruskan perkelahian itu!"

Diam-diam Kui Tung merasa gentar karena dahulu, dia dan Can Kok bertanding melawan Siang In dan Puteri Moguhai dan dia terdesak oleh gadis yang kini berdiri di depannya itu. Kalau ketika itu tidak ada Can Kok yang dapat mendesak Puteri Moguhai, tentu dia kalah oleh gadis berbaju hijau ini. Akan tetapi, saat ini, dia memiliki banyak kawan yang tangguh. Etnpat Datuk Besar berada di situ, masih ada lagi Can Kok yang amat lihai, ada lagi Jiu To murid Pak-sian, Golam orang Mongol murid Gwat Kong Lhama, dan dua orang murid Ouw Kan, yaitu Bouw Kiang dan Bong Siu Lan yang lihai. Selain itu di belakang ada tigapuluh orang lebih anak buah Tung-sai yang sengaja dibawa dari Pulau Udang dan rata-rata memiliki ketangguhan lebih dari orang biasa. Hal ini membuat hatinya tabah dan berani.

"Sratt!" Dia mencabut sebatang tongkat yang terselip di pinggangnya.

"Ang Hwa Sian-li, sekarang tiba saat pembalasanku. Engkau akan mampus di tanganku!" setelah berkata demikian, cepat sekali tongkatnya sudah meluncur dan menusuk ke arah dada gadis itu.

Ang Hwa Sian-li Thio Siang In sudah pernah bertanding dengan pemuda muka kuda ini dan ia tahu bahwa tongkat di tangan lawannya itu bukan sembarang tongkat, melainkan tongkat yang di dalamnya tersembunyi sebatang pedang. Maka ia sudah mencabut sepasang pedangnya dan menangkis.

"Tranggg......!" Bunga api berpijar dan gadis itu lalu mainkan ilmu pedangnya, yaitu Toat-beng Siang-kiam (Sepasang Pedang Pencabut Nyawa) yang gerakannya dahsyat. Terjadilah perkelahian mati-matian dan kedua pihak mengeluarkan semua kepandaian mereka. Akan tetapi ada bedanya. Kalau Kui Tung mengerahkan seluruh tenaga dan semua serangannya dimaksudkan untuk membunuh, sebaliknya Siang In membatasi tenaganya agar serangan sepasang pedangnya tidak sampai mematikan lawan, sesuai dengan pesan ayahnya yang tidak berani ia langgar.

Empat Datuk Besar itu selain tinggi dan lihai ilmu silatnya, juga amat cerdik dan curang. Melihat betapa Tiong Lee Cin-jin ditemani empat orang muda, mereka hendak mempergunakan kelebihan jumlah mereka untuk mendapatkan kemenangan tanpa harus main keroyokan beramai-ramai. Maka dia memberi isyarat kepada Bouw Kiang dan Bong Siu Lan, dua orang murid mendiang Ouw Kan itu dan mereka yang sebelumnya memang sudah mengatur rencana, maju bersama.

Bouw Kian memegang tongkat hitamnya dan Bong Siu Lan mencabut sepasang pedangnya. Bouw Kiang berseru, "Hayo, siapa berani menandingi kami kakak beradik seperguruan?"

Bi Lan menghadap Tiong Lee Cin-jin minta persetujuan tanpa mengeluarkan kata-kata. Kakek itu tersenyum, mengangguk dan memesan pula, "Majulah akan tetapi ingat, tidak boleh membunuh."

Bi Lan mengangguk, lalu ia melangkah maju menghadapi dua orang itu. Gadis berusia duapuluh tahun ini tampak cantik dan gagah bukan main. Pakaiannya serba merah muda, menempel ketat mencetak tubuhnya yang padat ramping dengan lekuk lengkung tubuh yang indah menggairahkan. Wajahnya bulat telur, rambutnya hitam panjang ditata menjadi kepang dua, di dahi dan pelipisnya bergantungan anak rambut yang melingkar-lingkar. Dahinya berkulit putih dan halus, alis matanya hitam, kecil namun tebal dengan bentuk melengkung seperti dilukis. Sepasang matanya begitu jeli dan bening seperti bintang, tajam dan biarpun agak redup seperti tertutup awan tipis, namun berwibawa. Hidungnya kecil mancung dan lucu, mulutnya mempunyai daya tarik yang kuat dengan bibir yang merah basah tanpa gincu dan di kanan kiri mulutnya terhias lesung pipit yang membuat mulut itu tampak menarik dan menggairahkan. Dagunya meruncing manis dan kulitnya putih mulus. Namun di balik semua kejelitaannya itu tersembunyi sesuatu yang gagah berwibawa.

Bi Lan memandang dua orang itu dengan penuh perhatian. Pemuda itu mukanya seperti muka kuda, walaupun dapat dikatakan tampan. Sepasang matanya tampak lincah dan cerdik curang, juga jelas membayangkan watak yang cabul mata keranjang. Adapun gadis berusia sekitar duapuluh tahun itu juga cantik, namun mulutnya agak lebar dan matanya liar.

"Kalian yang bernama Bouw Kiang dan Bong Siu Lan?" tanya Bi Lan.

Dun orang saudara seperguruan itu mengangguk. Tadi mereka sudah mendapat bisikan dari Kui Tung bahwa gadis baju merah ini adalah Han Bi Lan, maka mereka memandang penuh kebencian.

"Dan engkau ini tentu Si Jahat Han Bi Lan yang telah membunuh guru kami Ouw Kan!" teriak Bong Siu Lan marah.

"Tidak keliru! Aku membunuh Ouw Kan karena dia mengutus kalian berdua untuk menyerang Ayah Ibuku!"

"Dan sekarang kami akan membunuhmu untuk membalaskan kematian suhu!" bentak Bouw Kiang dan mereka berdua segera menerjang tanpa memberi peringatan lagi. Tongkat hitam yang mengandung racun itu digerakkan Bouw Kiang menyambar ke arah kepala Bi Lan, sedangkan Bong Siu Lan menggerakkan sepasang pedangnya membuat gerakan menggunting ke arah leher dan pinggangnya.

Bi Lan sekarang berbeda dengan Bi Lan dahulu. Ketika dahulu ia menerima gemblengan dari gurunya yang pertama, yaitu Jit Kong Lhama, ia sudah mendapatkan ilmu silat yang lihai. Kemudian ia mempelajari ilmu rahasia simpanan Kun-lun-pai dari kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang membuat kepandaiannya bertambah hebat Akan tetapi yang membuat ia seperti sekarang, seorang gadis yang sakti, adalah ketika ia bertemu gurunya yang terakhir, Heng-si Ciauw-jiok (Si Mayat Hidup Berjalan) yang hanya mengajarkan tigabelas jurus silat Sin-ciang Tin-thian dan memperdalam serta memperkuat tenaga sinkangnya.



JODOH SI NAGA LANGIT JILID 16

Biarpun dia dikeroyok dua orang murid Ouw Kan yang lihai itu, namun Bi Lan dengan mudah saja berkelebatan menghindarkan diri. Sejak menjadi murid Si Mayat Hidup, ia tidak lagi memerlukan bantuan senjata karena benda apa pun dapat ia jadikan senjata ampuh! Sambaran sepasang pedang dan tongkat hitam itu dihindarkannya dengan cara mengelak, menangkis dengan kedua tangan kosong, bahkan sekali-kali ia menggerakkan kepala dan rambutnya yang dikepang dua itu dapat ia pergunakan untuk menangkis pedang atau tongkat dan sedikitpun tidak ada rambut yang putus, sebaliknya pedang dan tongkat yang tertangkis tergetar hebat dan terpental!

Mereka saling serang dan seperti yang terjadi dengan pertandingan pertama di mana Siang In membatasi tenaganya karena tidak ingin membunuh lawan, juga Bi Lan membatasi tenaganya. Ia memang membenci dua orang yang mengakibatkan kematian ayahnya ini. Kalau saja ia tidak segan kepada Tiong Lee Cin-jin yang ia tidak ingin bantah pesannya, tentu dua orang itu sudah diserangnya dengan hebat dan dibunuhnya dalam waktu singkat!

Kembali Tung-sai memberi isyarat, sekali ini kepada pasangan ketiga, yaitu Jiu To murid Pak-sian dan Golam murid Gwat Kong Lhama. Dia memperhitungkan bahwa dua orang ini akan dilawan oleh. Puteri Moguhai dan Souw Thian Liong sehingga di pihak musuh tinggal Tiong Lee Cin-jin yang akan dihadapi Empat Datuk Besar dan Can Kok sehingga dia memperhitungkan akan dapat membunuh Tiong Lee Cin-jin yang juga dikenal sebagai Yok-sian (Tabib Dewa atau Dewa Obat) itu.

Jiu To dan Golam, seperti juga Kui Tung, berbesar hati karena merasa kuat dengan adanya banyak kawan, maka mereka melangkah maju dengan sikap gagah, Jiu To sudah menghunus pedangnya dan Golam melolos rantai baja yang tadi dililitkan di pinggangnya.

Tiong Lee Cin-jin mengangguk ketika Moguhai minta persetujuannya untuk menghadapi dua orang ini. Sie Pek Hong atau Puteri Moguhai yang dikenal dengan julukan Pek Hong Niocu, melompat ke depan dua orang itu sambil mencabut pedang bengkoknya. Tanpa banyak cakap lagi, Jiu To dan Golam sudah menggerakkan senjata mereka menyerang Moguhai. Puteri Tiong Lee Cin-jin itu mengelebatkan pedang bengkoknya.

"Trangg...... cringgg......!" Bunga api berpijar dan berhamburan ketika pedang bengkok itu menangkis pedang di tangan Jiu To dan rantai baja yang digerakkan Golam menyambar ke arah kepala gadis itu. Seperti juga Siang In, setelah mendapat gemblengan dari ayah kandung mereka, Puteri Moguhai kini juga memperoleh kemajuan hebat. Tenaga sakti yang mengalir di tubuhnya demikian kuat sehingga bukan saja tenaganya mampu menandingi tenaga dua orang pengeroyoknya, namun ia memiliki kecepatan gerakan yang membuat dua orang pengeroyoknya bingung seolah menghadapi lawan bayangan. Namun, dua orang ini telah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi, ditambah lagi Puteri Moguhai tidak mengerahkan seluruh tenaga karena tidak ingin membunuh mereka seperti yang dikehendaki Tiong Lee Cin-jin, maka pertandingan itu juga berlangsung seru bukan main.

Setelah tiga orang gadis pendekar itu menghadapi lawannya masing-masing, kini tinggal Tiong Lee Cin-jin dan Souw Thian Liong yang tersisa di pihak Yok-sian. Tung-sai lalu menyuruh Can Kok maju.

Begitu Can Kok melangkah maju dengan bibir tersenyum mengejek dan sikap congkak sekali, Thian Liong mendapat perkenan gurunya untuk menghadapi pemuda sombong yang sinar matanya aneh tanda ada kelainan dalam pikirannya. Setelah melihat Thian Liong maju mengha-dapinya, Can Kok membentak sombong.

"Kamu minggirlah! Aku datang untuk membunuh Tiong Lee Cin-jin, bukan bertanding melawan bocah yang tiada artinya macam kamu!"

Thian Liong tidak dapat disulut kesabarannya oleh ucapan yang sombong dan memandang remeh itu. Dia tersenyum dan berkata dengan tenang.

"Can Kok, engkau perlu belajar seratus tahun lagi untuk pantas menjadi lawan Suhu. Suhu bukan lawanmu. Akulah lawanmu dan engkau boleh mengeluarkan segala kemampuanmu untuk mengalahkan aku."

Can Kok marah sekali dan seperti kebiasaan anehnya kalau dia marah, dia mengeluarkan suara mengguguk seperti orang menangis! Suara ini sesungguhnya mengandung getaran tenaga dalam yang amat kuat. Bahkan Thian Liong yang diserang langsung oleh suara itu merasa betapa jantungnya tergetar! Akan tetapi dengan pengerahan tenaga sakti dia mampu melindungi tubuhnya sehingga getaran suara itu lewat begitu saja tanpa mengganggunya.

Tiba-tiba tanpa memberi peringatan apa pun tubuh Can Kok sudah membuat lompatan seperti terbang menerjang ke arah Thian Liong seperti seekor burung rajawali menyerang kelinci! Kedua lengannya dikembangkan dan jari-jari tangannya membentuk cakar menyerang ke arah kepala dan leher Thian Liong!

Thian Liong maklum akan kelihaian lawannya yang digembleng secara khusus oleh Empat Datuk Besar ini. Dia mengenal serangan dahsyat yang berbahaya, maka dia pun mengerahkan tenaganya menyambut. Kedua tangannya memapaki serangan Can Kok dan dua pasang tangan yang sama-sama memiliki tenaga sakti yang kuat, bertemu di udara.

"Blaarrr"...!" Ketika dua pasang tangan bertemu, terasa getaran mengguncang sekelilingnya sehingga mereka yang sedang bertanding di pekarangan itu pun merasakan getaran itu. Akibat pertemuan dua tenaga sakti yang amat kuat itu, Thian Liong yang menangkis sambil berdiri di atas tanah, tertekan dan kedua kakinya ambles ke dalam tanah sampai ke mata kakinya. Akan tetapi tubuh Can Kok yang menyerang dari atas tadi, terpental sampai jauh dan setelah membuat pok-sai (salto) lima kali baru dia turun ke atas tanah dengan wajah agak pucat.

Sambil mengeluarkan teriakan melengking, Can Kok sudah menyerbu lagi dan mengirim serangan-serangan maut. Akan tetapi Thian Liong tetap tenang dan menyambut semua serangan itu dengan kokoh sehingga semua rangkaian serangan itu dapat dia hindarkan dengan elakan atau tangkisan. Mereka lalu bertanding dengan amat serunya dan keduanya mengeluarkan semua jurus simpanan masing-masing karena tahu bahwa lawannya memiliki kesaktian.

Setelah melihat semua pembantunya maju menghadapi lawan mereka masing-masing, Tung-sai dan tiga orang datuk lainnya menghampiri Tiong Lee Cin-jin dan tertawa mengejek.

"Ha-ha-ha, Tiong Lee Cin-jin, sekarang hadapilah kami berempat! Sudah bertahun-tahun kami mencari kesempatan ini dan sekali ini, kami akan berhasil membunuhmu!"

"Siancai, hidup satu kali di dunia maya ini, tidak mencari kedamaian malah menimbulkan kekacauan dan permusuhan, membiarkan nafsu setan merajalela menguasai hati kalian. Ingatlah bahwa setiap orang akan memetik dan makan buah dari pohon yang ditanamnya sendiri. Sebelum terlambat, aku minta kepada kalian untuk menghentikan semua permusuhan dan perkelahian ini dan pergilah dengan damai."

Akan tetapi, ucapan Yok-sian itu bukannya menyadarkan mereka, bahkan bagaikan minyak menyiram api, semakin mengobarkan kemarahan mereka. Mereka berempat mengeluarkan teriakan masing-masing yang khas, lalu bergerak cepat sekali, mengambil posisi mengepung Tiong Lee Cin-jin dari empat jurusan. Pak-sian dan See-ong berada di kanan kiri Yok-sian, Lam-kai di belakangnya dan Tung-sai di depannya! Dikepung Empat Datuk Besar itu, Yok-sian Tiong Lee Cin-jin masih bersikap tenang saja. Namun kewaspadaannya menyatu dan tidak ada gerakan empat orang itu, sedikitpun juga, yang tidak tertangkap panca indranya.

Pak-sian sudah memegang senjatanya yang berupa sebatang tongkat hitam berkepala ular. Tongkat ini selain kuat sekali, mampu beradu dengan senjata logam yang kuat dan ampuh, juga mengandung racun yang berbahaya. Dia berdiri di sebelah kiri Tiong Lee Cin-jin.

See-ong yang berdiri di sebelah kanan pertapa itu, sambil menyeringai lebar seperti kebiasaannya, memegang sebatang hud-tim (kebutan dewa) yang berbulu putih panjang. Biarpun bulu kebutan itu tampak lemas, namun See-ong dapat membuatnya menjadi kaku seperti bulu-bulu baja.

Lam-kai yang berdiri di belakang, memegang sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kemerahan. Pedang ini sebetulnya berwarna putih seperti perak, akan tetapi karena tangan Lam-kai mengandung tenaga sakti dari Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah), maka tenaga yang mengandung warna merah itu menjalar ke dalam pedang sehingga pe-dangnya mengeluarkan sinar kemerahan. Tentu saja pedang itu ampuh bukan main.

Yang paling hebat adalah Tung-sai. Orang pertama dari Empat Datuk Besar ini memegang sebatang tombak yang terkenal sebagai tombak maut sehingga Tung-sai juga disebut Bu-tek Sin-jio (Tombak Sakti Tanpa Tanding).

Sebagai isyarat kepada tiga orang rekannya, Tung-sai mengeluarkan gerengan seperti seekor singa marah, itulah Sai-cu Ho-kang (Auman Singa) yang dapat menggetarkan jantung dan melumpuhkan lawan. Setelah mengeluarkan auman itu dia langsung menyerang dengan tombaknya. Serangannya amat dahsyat sehingga tombak itu menembus udara mengeluarkan suara berdesing seperti melesatnya anak panah, menusuk ke arah dada Tiong Lee Cin-jin. Pada detik-detik berikutnya, tiga senjata di tangan para datuk yang lain juga sudah datang menyerang.

Namun, tubuh Tiong Lee Cin-jin berkelebatan di antara sinar empat senjata yang menyambarnya itu. Serangan bertubi-tubi itu dapat dihindarkan Tiong Lee Cin-jin dengan elakan atau tangkisan kedua tangannya. Dengan tangan kosong pertapa ini berani menangkis senjata-senjata ampuh para pengeroyoknya! Hal ini saja sudah merupakan kenyataan yang amat hebat, apa lagi ketika setiap tangkisan itu membuat para datuk itu merasa tangan mereka yang memegang senjata tergetar.

Pertempuran yang terjadi di pekarangan luas itu amat serunya. Akan te-tapi setelah berlangsung puluhan jurus, ternyata pihak Tiong Lee Cin-jin dapat mendesak lawan-lawannya, Ang Hwa Sian-Li Thio Siang In dapat membuat Kui Tung kewalahan dan main mundur. Juga Pek Hong Niocu, Puteri Moguhai yang dikeroyok Jiu To dan Golam membuat dua orang itu terus mundur dan repot menghindarkan diri dari sambaran pedang bengkok puteri itu. Bi Lan juga membuat Bouw Kiang dan Bong Siu Lan bingung dan kewalahan dengan gerakannya yang aneh ketika gadis ini mainkan ilmu silat Sin-ciang Tin-thian yang ia pelajari dari Si Mayat Hidup!

Pertandingan antara Thian Liong dan Can Kok juga amat seru. Sekali ini dua orang muda itu dapat bertanding dengan bebas dan masing-masing mengerahkan seluruh kepandaiannya. Karena Thian Liong tidak ingin membunuh lawan, maka tentu saja daya serangannya kurang kuat dan tidak sepenuhnya. Hal ini membuat keadaan mereka seimbang dan per-tandingan itu menjadi seru bukan main.

Tiong Lee Cin-jin maklum bahwa kalau pertempuran itu tidak segera diakhiri, dia khawatir empat orang muda yang membantunya itu tidak akan dapat menahan diri lagi dan melakukan pembunuhan. Maka, dia mengeluarkan bentakan halus dan tiba-tiba empat orang pengeroyoknya itu berteriak kaget karena ada kekuatan dahsyat yang tak dapat mereka tahan sehingga senjata mereka itu terpental dan terlepas dari pegangan mereka! Ketika mereka terbelalak memandang, mereka melihat Tiong Lee Cin-jin berdiri tegak di tengah antara mereka, dengan kedua lengan bersedakap (bersilang) dan kedua matanya terpejam!

Tung-sai memberi isyarat kepada tiga orang kawannya, lalu mereka berempat menggerak-gerakkan tangan menghimpun tenaga sakti dalam kedua lengan mereka. Suara mengiuk dan mendesis ketika empat orang itu menghimpun tenaga sakti dapat ditangkap oleh Tiong Lee Cin-jin. Kakek ini lalu mengangkat kedua tangannya dalam bentuk sembah ke atas kepala. Dengan begini, maka tubuhnya menjadi terbuka dan tidak terlindung.

Empat Datuk Besar itu menerjang ke depan dengan lompatan dan dalam saat yang bersamaan, mereka sudah melancarkan pukulan. Kedua tangan Tung-sai dengan jari terbuka menghantam dada Tiong Lee Cin-jin sehingga kedua telapak tangannya menempel pada dada pertapa itu. Pada saat yang hampir bersamaan, tiga orang datuk lainnya juga me-mukul dengan pengerahan sin-kang. Lam-kai memukulkan kedua telapak tangannya ke punggung, Pak-sian dan See-ong memukulkan telapak tangannya ke lambung kiri dan kanan. Empat pasang telapak tangan itu memukul dengan kuat sekali.

"Plak-Plak-plak-Plak!" Tangan-tangan yang mengandung tenaga sin-kang itu menempel pada tubuh Tiong Lee Cin-jin dan melekat di situ! Wajah Tiong Lee Cin-jin agak menyeringai seperti menahan sakit. Sejenak lima orang itu diam tak bergerak, akan tetapi empat orang Datuk Besar itu mengerahkan tenaga saktinya untuk menembus hawa yang melindungi tubuh Tiong Lee Cin-jin. Terjadi adu tenaga sin-kang yang hebat sekali. Kalau dilihat dari luar, mereka itu seperti telah berubah menjadi arca, diam tak bergerak, akan tetapi dari ubun-ubun kepala mereka mengepul uap tebal!

Tiba-tiba Tiong Lee Cin-jin mengembangkan kedua tangannya yang tadinya dirangkap menyembah ke atas itu.

"Blaarrr......!" Tubuh Empat Datuk Besar itu terlempar ke belakang dan terbanting roboh tak bergerak lagi!

Tiong Lee Cin-jin membelalakkan kedua matanya, wajahnya berubah pucat lalu dia pun duduk terkulai lemas, bersila di atas tanah.

Robohnya empat orang pemimpin itu seolah menjadi isyarat karena tigapuluh orang lebih anak buah Pulau Udang itu berteriak-teriak dan mereka menyerbu masuk sambil mengamangkan senjata, lalu mengeroyok empat oraug muda yang masih bertanding dan mulai mendesak lawan-lawannya itu! Terjadilah pertempuran kacau balau karena Thian Liong, Bi Lan, Moguhai dan Siang In kini dikeroyok sekitar empatpuluh orang!

Sungguh sulit bagi empat orang itu. Sesungguhnya kalau mereka mau mengamuk, dengan kesaktian mereka, masih ada kemungkinan mereka mengalahkan mereka semua. Akan tetapi, untuk dapat mengalahkan mereka yang banyak itu, empat orang ini harus mengamuk dan membu-nuh. Padahal, mereka tidak berani melanggar larangan Tiong Lee Cin-jin yang tidak menghendaki terjadinya pembunuhan di situ. Hal ini membuat mereka berempat kini dikeroyok ketat seperti empat ekor harimau dikeroyok serombongan anjing yang banyak jumlahnya.

Pada saat yang gawat itu, terdengar sorak sorai dan limapuluh lebih orang perajurit Kin menyerbu masuk pekarangan itu, dipimpin dua orang pemuda tampan, yang menggerakkan pedang mereka. Menghadapi penyerbuan perajurit yang lebih banyak jumlahnya, pihak anak buah Empat Datuk Besar terkejut dan kewalahan. Banyak di antara mereka roboh dan pekarangan itu mulai banjir darah mereka yang terluka dan tewas.

Siang In tiba-tiba terbelalak ketika melihat seorang pemuda berpakaian seperti seorang siucai (sastrawan) datang membantunya. Pemuda itu menggerakan pedangnya dan ternyata ilmu silat pedangnya juga cukup hebat. Yang membuat Siang In terbelalak adalah ketika ia mengenal siapa pemuda itu.

"Han-ko (Kakak Han)......!" serunya ketika mengenal bahwa pemuda itu adalah Cin Han putera Pangeran Cin Boan yang tinggal di kota Kang-cun yang tadinya ia kenal sebagai seorang sastrawan yang dianggapnya seorang kutu buku yang lemah!

"In-moi, mari kita basmi penjahat-penjahat ini!" kata Cin Han sambil membabat roboh seorang anak buah gerombolan itu.

"Han-ko, jangan bunuh orang......!" Siang In berseru, gembira, heran dan juga terharu.

Sementara itu, Moguhai juga terkejut bukan main ketika Kuang Lin, saudara sepupunya muncul membantunya dan mengamuk dengan pedangnya. Hampir ia tidak percaya bahwa itu adalah benar-benar Pangeran Kuang Lin. Ia baru yakin ketika pemuda itu berseru.

"Dinda Moguhai, mari kita hancurkan gerombolan, jahat ini!"

Seperti juga Siang In, Moguhai berseru.

"Kanda Kuang Lin, benar engkaukah ini?" Ketika melihat betapa pangeran itu mengamuk dan merobohkan dua orang pengeroyok, Moguhai berseru, "Kanda, jangan bunuh orang!"

Keadaan kini menjadi terbalik sama sekali. Pasukan perajurit itu tentu saja sama sekali tidak tahu bahwa mereka dilarang membunuh, maka anak buah Empat Datuk Besar itu berpelantingan. Melihat keadaan pihaknya terancam bahaya, Can Kok memberi aba-aba nyaring.

"Hayo kita lari!"

Can Kok dan kawan-kawannya segera melarikan diri menuruni puncak itu, diikuti sisa anak buah mereka yang belum roboh, meninggalkan kawan-kawan yang tewas dan terluka parah. Mereka semakin gentar ketika mendapat kenyataan bahwa Empat Datuk Besar juga telah tewas!

Para perajurit hendak melakukan pengejaran, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara lembut penuh wibawa.

"Berhenti semua! Jangan mengejar!"

Semua orang terkejut dan berhenti.

"Suhu......!" Teriakan ini keluar dari mulut Thian Liong yang sudah lari menghampiri Tiong Lee Cin-jin. Puteri Moguhai dan Siang In juga lari menghampiri. Mereka melihat Tiong Lee Cin-jin bangkit berdiri dengan wajah pucat sekali dan kedua matanya basah, bahkan ada beberapa titik air mata keluar dari sepasang matanya.

Dua orang gadis itu merangkul dari kanan kiri, tidak berani memanggil ayah, karena di situ terdapat banyak orang. Ayah kandungnya ini sudah pesan wanti-wanti (dengan sungguh-sungguh) agar mereka berdua tidak membuka rahasia mereka di depan umum karena hal itu akan mendatangkan akibat yang yang hebat dalam kehidupan mereka berdua. Kini, dua orang gadis itu hanya merasa khawatir sekali.

Thian Liong berlutut di depan kaki gurunya.

"Suhu......, apakah yang menyebabkan Suhu berduka? Suhu...... tidak...... terluka bukan?"

Tiong Lee Cin-jin memandang ke sekeliling, ke arah orang-orang yang tewas dan terluka, terutama kepada jenazah Empat Datuk Besar. Kemudian dia berkata lirih.

"Aku telah menyebabkan kematian mereka. Tempat ini telah menjadi tempat terkutuk di mana terjadi pembunuhan-pembunuhan antara manusia." Suaranya terdengar menggetar sedih.

"Akan tetapi, teecu (murid) tadi melihatnya. Empat Datuk Besar itu tewas bukan Suhu bunuh, melainkan salah mereka sendiri. Mereka terpukul tenaga serangan mereka sendiri yang membalik," bantah Thian Liong yang membela gurunya.

"Sama saja, aku yang menjadi penyebab kematian mereka. Dan semua pertempuran ini, bunuh-membunuh ini, terjadi karena aku pula. Ah, Thian, hamba telah menanam karma yang tidak baik...... hamba siap memetik buahnya......"

"Suhu......!" Thian Liong berseru dan dua orang gadis itu mulai menangis di kedua pundak ayah kandungnya.

Thian Liong memandang wajah gurunya yang tampak berduka dan dia menjadi terharu sekali. Tiong Lee Cin-jin tersenyum mengelus kepala dua orang gadis itu, meletakkan telapak kedua tangannya di atas kepala mereka dan berkata lembut.

"Pek Hong......, Siang In......, pulanglah kalian dan jadilah manusia yang baik seutuhnya, menjadi anak yang baik, isteri yang baik, ibu yang baik, warga negara yang baik, manusia yang baik sesuai dengan kehendak Tuhan. Kelak, kalau kalian menikah, aku akan usahakan agar aku dapat menghadirinya."

Dua orang gadis itu hanya dapat merangkul dan menangis.

"Thian Liong, bersihkan tempat ini dari semua bekas perkelahian dan pembunuhan ini. Kemudian, turun dari sini laksanakan kewajibanmu sebagai seorang pembela kebenaran dan keadilan. Jangan lagi mencari aku di sini karena aku tidak akan berada di tempat terkutuk ini."

Kemudian dia menoleh kepada Bi Lan.

"Han Bi Lan, engkau anak baik, kupujikan semoga engkau hidup berbahagia, akan tetapi berhati-hatilah terhadap Si Mayat Hidup karena dia pasti akan menagih janji."

Pada saat itu, kedua orang putera pangeran itu, Cin Han dan Kuang Lin, yang sejak tadi hanya berdiri mendengarkan, menghampiri Tiong Lee Cin-jin.

"Lo-cianpwe, saya Cin Han, murid Kui Sim Tosu, menghaturkan hormat. Saya telah banyak mendengar akan nama besar Lo-cianpwe dari Suhu."

Tiong Lee Cin-jin memandang Cin Han dan mengangguk-angguk.

"Bagus, Kui Sim Tosu adalah seorang yang bijaksana dan engkau muridnya yang baik."

"Lo-cianpwe, saya Kuang Lin, sute (adik seperguruan) dari Suheng Cin Han. Harap Lo-cianpwe sudi memaafkan kami kalau kedatangan kami membawa pasukan ini tidak berkenan di hati Lo-cianpwe."

Kembali Tiong Lee Cin-jin mengangguk-angguk.

"Sungguh baik nasib Kui Sim Tosu, memiliki dua orang murid yang baik budi bahasanya, juga lumayan ilmu silatnya. Melihat kalian dua orang pemuda yang bersikap lemah lembut dan berpakaian sebagai siucai (sastrawan), aku dapat mengatakan bahwa kalian berdua, Cin Han dan Kuang Lin, tentulah bun-bu-coan-jai (ahli sastra dan silat)."

Dua orang pemuda bangsawan Kin itu memberi hormat.

"Kami masih mengharapkan banyak petunjuk Lo-cianpwe yang mulia."

Kakek itu mengangguk-angguk, lalu melihat lagi ke arah mayat dan yang terluka bergelimpangan, menghela napas panjang dan berkata.

"Sudah, aku tidak tahan berada di sini lebih lama lagi. Pek Hong, Siang In, Thian Liong, aku pergi!" Setelah berkata demikian Tiong Lee Cin-jin berkelebat sedemikian cepatnya sehingga dia seolah menghilang dari situ. Pek Hong atau Moguhai dan Siang In saling rangkul dan menangis.

Thian Liong berkata kepada Cin Han dan Kuang Lin, "Kami mengucapkan terima kasih atas bantuan ji-wi (kalian berdua)."

Cin Han dan Kuang Lin membalas penghormatan Thian Liong dan Cin Han berkata, "Saudara Souw Thian Liong, biarpun baru sekali ini aku berjumpa denganmu, namun nama besarmu sudah lama kudengar. Kerajaan Kin menganggap engkau sebagai pendekar dan jasamu besar sekali terhadap Kerajaan Kin. Perkenalkan, aku bernama Cin Han, putera Pangeran Cin Boan dan tinggal di kota Kang-cun. Ini suteku bernama Kuang Lin, putera Pangeran Kuang dan tinggal di kota raja."

"Senang sekali aku dapat berkenalan dengan putera-putera pangeran. Sekarang, menaati perintah Suhu tadi, aku ingin membersihkan tempat ini," kata Thian Liong.

"Jangan khawatir, kami akan memerintahkan pasukan untuk membersihkan tempat ini, mengubur yang tewas dan mengurus yang terluka. Mereka merupakan tawanan pasukan kami," kata Cin Han.

"Terima kasih, Pangeran."

"Jangan sebut aku Pangeran, cukup Cin Han saja," kata Cin Han dan dia lalu menghampiri Thio Siang In yang sudah menghentikan tangisnya karena sepasang saudara kembar ini merasa malu kalau membiarkan tangis menguasai dirinya, tidak pantas bagi orang-orang gagah perkasa seperti mereka.

"Han-ko, sungguh aku tidak pernah bermimpi bahwa engkau ternyata bukan hanya merupakan seorang siu-cai (satrawan) akan tetapi juga seorang bu-hiap (pendekar silat)!"

"Ah, tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan ilmu silatmu, In-moi!"

"Bagaimana engkau dapat datang ke sini membawa pasukan?" tanya Siang In, jantungnya berdebar karena kagum dan juga girang karena ternyata pemuda yang mencintanya ini bukan seorang pemuda lemah, melainkan seorang gagah pula.

"Nanti saja kita bicara, In-moi. Sekarang aku hendak mengatur pembersihan tempat ini." Cin Han tersenyum dan meninggalkan Siang In.

Pangeran Kuang Lin juga menghampiri Moguhai dan keduanya saling pandang.

"Kanda Kuang Lin, selama ini engkau membodohi aku!" kata Moguhai cemberut.

"Eh? membodohi bagaimana, Dinda Moguhai?"

"Habis, engkau berlagak seorang siucai yang lemah, kiranya engkau murid Kui Sim Tosu yang sudah kudengar namanya sebagai seorang yang tinggi ilmu kepandaiannya."

"Ah, aku tidak sengaja berbohong, Dinda. Aku hanya malu untuk mengaku bahwa aku pernah belajar silat, malu kepadamu karena aku tahu bahwa engkau seorang pendekar wanita yang amat lihai."

"Akan tetapi bagaimana engkau dan Pangeran Cin Han dapat tiba-tiba muncul membawa pasukan?"

"Nanti saja, Dinda Moguhai. Aku harus membantu Suheng Cin Han mengatur pembersihan tempat ini." Setelah berkata demikian, Kuang Lin pergi menyusul Cin Han yang mulai membagi-bagi tugas kepada pasukan kerajaan.

Thian Liong diam-diam girang sekali melihat betapa Siang In mengenal baik Pangeran Cin Han dan Moguhai mengenal baik Pangeran Kuang Lin. Biarpun baru satu kali bertemu, dia merasa kagum dan suka kepada dua orang pangeran itu. Mereka tampan, gagah dan ramah, tidak angkuh seperti para muda bangsawan kebanyakan. Diam-diam dia mengharapkan dua orang pangeran itu akan dapat menjadi jodoh gadis kembar itu.

Thian Liong menghampiri dua orang gadis kembar itu yang kini sudah tampak gembira lagi.

"Wah, kita masih beruntung dua orang pangeran itu datang membawa pasukan sehingga pertempuran dapat segera dihentikan. Akan tetapi, tadi aku melihat bahwa kalian sudah akrab dengan mereka!"

Moguhai tersenyum.

"Ketahuilah, Thian Liong. Pangeran Cin Han itu adalah calon suami Siang In!"

"Ih, jangan ngawur!" kata Siang In sambil mencubit lengan Moguhai.

"Liong-ko, jangan percaya obrolannya!"

"Wih, siapa yang membuat obrolan kosong? Thian Liong, ia bahkan sudah dilamar oleh Pangeran Cin Han!" kata Moguhai dan terkekeh-kekeh ketika Siang In hendak mencubitnya.

"Liong-ko, engkau tahu? Pangeran Kuang Lin itu adalah pilihan hati Pek Hong! Hayo, mau sangkal? Engkau sendiri yang menceritakan kepadaku bahwa engkau tertarik dan kagum kepada Pangeran Kuang Lin, hanya engkau sayangkan dia lemah seperti persangkaanmu. Dan sekarang ternyata dia gagah perkasa. Hemm...... kemana lagi?"

Kini Moguhai yang pura-pura marah.

"Sudahlah, kalian harus bersikap jujur dan terbuka," kata Thian Liong.

"Kalau memang kalian saling mencinta dengan dua orang pangeran itu, apa salahnya? Aku pun suka dan kagum kepada mereka, dan aku ikut bahagia kalau kalian dapat menjadi isteri mereka yang hidup bahagia, ha-ha-ha!" Sekarang Thian Liong tertawa-tawa, menertawakan kedua orang gadis yang tersipu-sipu malu dengan muka kemerahan.

"Eh, Thian Liong! Itu Han Bi Lan, ia lari dari sini!" Moguhai tiba-tiba ber-seru.

Thian Liong terkejut, menengok dan benar saja, dia melihat Bi Lan pergi menuruni puncak itu.

"Lan-moi""!!" Thian Liong memanggil dan dia pun mengejar gadis baju merah itu.

Kini Moguhai dan Siang In yang tertawa-tawa menertawakan Thian Liong yang berlari-larian, mengejar Bi Lan sambil memanggil nama gadis itu. Tawa mereka semakin geli ketika mereka melihat

Bi Lan menoleh lalu gadis itu berlari cepat. Thian Liong tetap mengejarnya dan sebentar saja dua bayangan mereka sudah tidak tampak lagi.

Dua orang gadis kembar itu masih tertawa-tawa ketika Cin Han dan Kuang Lin menghampiri mereka.

"Eh, ada apa sih kalian tertawa-tawa?" tanya Cin Han.

"Dinda Moguhai, apa sih yang lucu?" tanya pula Kuang Lin kepada Moguhai.

"Tidak ada apa-apa," jawab Moguhai.

"Hanya kami geli melihat Thian Liong dan Bi Lan berkejar-kejaran menuruni puncak."

Dua orang pemuda itu menengok ke bawah, akan tetapi mereka tidak melihat lagi Thian Liong dan Bi Lan.

"Biar aku cari dia, untuk berpamit," kata Cin Han.

"Tidak perlu, Han-ko, biarkan mereka berdua," kata Siang In. Jawaban ini sudah cukup membuat dua orang pemuda itu mengerti.

"Kalau begitu, mari kita meninggalkan puncak ini. Para perajurit sudah kami perintahkan untuk mengurus semua mayat dan yang luka, membersihkan tempat ini seperti yang dipesan Lo-cianpwe Tiong Lee Cin-jin tadi!' kata Cin Han.

"Benar, mari kita tinggalkan puncak ini. Kami sudah mempersiapkan kuda untuk kita berempat," kata pula Kuang Lin.

Dua orang gadis itu tidak membantah dan tak lama kemudan mereka berempat sudah menunggang kuda, sepasang-sepasang. Kuda mereka menuruni puncak perlahan-lahan dan Puteri Moguhai bercakap-cakap dengan Pangeran Kuang Lin, sedangkan di depan mereka Thio Siang In berjejer dengan Cin Han juga asyik bercakap-cakap perlahan. Wajah mereka berempat berseri-seri penuh senyum. Mereka melakukan perjalanan satu jurusan, yaitu ke kota raja, walaupun Siang In dan Cin Han akan berhenti di kota Kang-cun yang tidak jauh letaknya dari kota raja.

"Bi Lan tunggu"..!!" Souw Thian Liong berseru memanggil gadis yang berlari cepat sekali di depannya itu. Jarak di antara mereka cukup jauh, akan tetapi seruan Thian Liong yang didorong tenaga sin-kang itu dapat terdengar oleh Bi Lan. Gadis itu sama sekali tidak berhenti, bahkan menoleh pun tidak, melainkan berlari semakin cepat! Semenjak menerima gemblengan Si Mayat Hidup, kepandaian Bi Lan meningkat pesat sehingga kini larinya seperti terbang cepatnya.

Thian Liong merasa heran dan penasaran sekali. Selama melakukan perjalanan bersama, ketika Bi Lan menyamar sebagai seorang pemuda bernama Han, sikap gadis itu amat baik kepadanya. Amat ramah dan terkadang sinar mata gadis itu jelas membayangkan bahwa hatinya senang sekali. Malah dia mulai merasa yakin bahwa Bi Lan juga suka atau cinta kepadanya seperti juga dia yang telah lama jatuh cinta kepada gadis itu. Akan tetapi mengapa kini Bi Lan berlari demikian cepat seolah tidak mau lagi bertemu dan bicara dengannya?

Timbul bermacam dugaan dalam hatinya dan dia teringat bahwa tadi, dua orang murid Ouw Kan yang dimusuhi gadis itu karena mereka menyebabkan kematian ayahnya, dapat meloloskan diri dan tidak terbunuh. Dan hal itu terjadi karena Tiong Lee Cin-jin melarang dilakukannya pembunuhan di situ. Apakah Bi Lan marah karena kecewa tidak diberi kesempatan membunuh dua orang musuhnya itu?



"Bi Lan tunggu! Aku mau bicara!" teriaknya lagi.

Akan tetapi gadis itu malah berlari semakin cepat. Kalau dia kehendaki, tentu saja Thian Liong sejak tadi mampu menyusul Bi Lan. Betapa pun lihainya gadis itu, dalam hal tenaga sakti ia masih belum mampu menandingi Thian Liong. Akan tetapi Thian Liong tidak mau melakukan hal itu, khawatir kalau-kalau akan menyinggung hati Bi Lan. Kini, karena gadis itu tidak mau berhenti dan tidak mau menjawab, dia berteriak lagi.

"Bi Lan! Berhentilah atau jawablah mengapa engkau melarikan diri dariku! Kalau engkau diam saja dan tetap berlari, aku akan menyusulmu!"

Bi Lan tetap tidak menjawab dan tidak berhenti, maka Thian Liong lalu berlari cepat sekali untuk mengejar gadis itu. Setelah tiba dekat, dengan kaget dan heran dia mendengar gadis itu berlari sambil menangis!

Dia melompat jauh ke depan dan turun di depan Bi Lan sehingga terpaksa gadis itu berhenti.

"Pergi! Pergilah engkau beramah tamah akrab dengan dua orang gadis cantik itu! Aku memang orang yang tidak berharga......! Tinggalkan aku""!" Bi Lan menangis tersedu-sedu, tubuhnya lemas sehingga ia jatuh berlutut dan menutupi mukanya dengan kedua tangannya. Tubuhnya terguncang ketika ia menangis sampai mengguguk.

Dengan bingung dan khawatir, Thian Liong berlutut dekat Bi Lan dan berkata dengan lembut dan hati-hati.

"Lan-moi (Adik Lan)......, engkau marah kepadaku? Apakah kesalahanku padamu, Lan-moi? Kalau aku bersalah, hukumlah aku, aku akan rela menerimanya. Akan tetapi kalau penyebab kemarahanmu karena Siang In dan Moguhai, engkau salah sangka. Mereka itu adalah saudara-saudara seperguruanku, murid Suhu Tiong Lee Cin-jin. Tidak ada hubungan apa pun antara kami bertiga selain saudara seperguruan."

Gadis itu masih menangis, tangisnya membayangkan betapa ia berada dalam keadaan yang berduka sekali. Thian Liong merasa iba dan juga khawatir.

"Aih, Bi Lan, bicaralah padaku, aku mohon padamu, jangan membuat aku bingung. Katakanlah, mengapa engkau menangis begini sedih? Apakah...... apakah engkau merasa kecewa kepada Suhu Tiong Lee Cin-jin karena engkau tidak boleh membunuh dua orang murid Ouw Kan itu?"

Bi Lan tak dapat menjawab karena terisak-isak, akan tetapi mendengar pertanyaan itu, dia menggeleng-geleng kepalanya. Thian Liong merasa lega, dan dia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, Bi Lan tidak akan mampu bicara. Maka dia pun lalu mendiamkan saja, memberi kesempatan kepada gadis itu untuk menumpahkan segala ganjalan hati dan pikirannya melalui tangisnya.

Akhirnya, gadis itu dapat menguasai dirinya dan tangisnya mereda, lalu berhenti, hanya terisak-isak sesekali. Thian Liong lalu berkata lagi dengan lembut.

"Lan-moi, selama melakukan perjalanan bersama, hatiku gembira sekali karena kita bergaul dengan akrab. Akan tetapi mengapa kini tiba-tiba engkau menjauhkan diri dan menangis? Apa yang menjadi sebabnya kalau tadi engkau menyangkal bahwa engkau kecewa kepada Suhu?"

Bi Lan menyusut mata dan hidungnya dengan saputangan dan kini ia sudah tenang kembali. Akan tetapi suaranya masih gemetar ketika ia berkata.

"Mengapa engkau mengejarku? Mengapa engkau meninggalkan Ang Hwa Sian-li dan Pek Hong Niocu? Mereka tentu menantimu. Kembalilah kepada mereka dan jangan hiraukan aku yang bodoh dan hina-dina ini."

Thian Liong menyangka bahwa Bi Lan ini agaknya merasa cemburu kepada dua orang gadis itu, maka dia cepat berkata, "Mereka tidak akan menanti aku, Lan-moi. Mereka berdua sudah mempunyai teman yang dekat sekali, mungkin menjadi calon suami-suami mereka, yaitu Pangeran Cin Han dan Pangeran Kuang Lin."

Keterangan ini semakin menenangkan hati Bi Lan. Harus ia akui bahwa tadi, melihat Thian Liong tertawa-tawa ketika bicara dengan dua orang gadis itu, ia merasa iri. Bukan cemburu, melainkan iri karena ia teringat akan keadaan dirinya yang anak bekas pelacur, sedangkan dua orang gadis itu adalah anak-anak orang yang terhormat dan makmur, terutama sekali Puteri Moguhai. Hal ini membuat ia merasa rendah diri dan sedih sekali.

Jelas dan tidak aneh kalau Thian Liong lebih tertarik kepada mereka. Akan tetapi setelah mendengar keterangan Thian Liong bahwa dua orang gadis itu telah memiliki calon suami, ia menjadi lebih tenang, sungguhpun ingatan akan keadaan dirinya masih membuat ia sedih dan batinnya tertekan sekali.

"Mengapa engkau mengejarku?" Ia bertanya dan sepasang matanya yang kemerahan dan agak membengkak karena tangisnya tadi kini menatap tajam wajah Thian Liong.

Pemuda itu meragu. Apakah dia harus berterus terang menyatakan isi hatinya? Bagaimana kalau pernyataannya itu salah alamat dan membuat Bi Lan semakin marah dan benci kepadanya? Sejak pertemuan mereka yang pertama kali, terjadi ketegangan di antara mereka dan gadis ini pernah sakit hati dan mendendam kepadanya. Akan tetapi teringat kepada Siang In dan Moguhai yang agaknya juga telah mendapatkan pilihan hati masing-masing, dia nekat memberanikan diri.

"Aku mengejarmu karena aku tidak mau kautinggalkan begitu saja, karena aku ikut susah melihat engkau bersedih dan...... karena...... aku cinta padamu, Bi Lan!"

Pernyataan cinta Thian Liong itu tidak mengejutkan hati Bi Lan karena sudah lama perasaan wanitanya dapat menangkap cinta kasih pemuda itu kepadanya melalui sinar mata dan sikap serta ucapannya. Mendengar pernyataan ini, ia tidak menjadi marah seperti yang di khawatirkan Thian Liong, sebaliknya ia malah mulai menangis lagi!

"Tidak...... tidak......, aku...... aku tidak berharga...... aku seorang hina dina......!"

Thian Liong memegang kedua pundak gadis itu dan mengguncangnya perlahan.

"Bi Lan, mengapa engkau berkata begitu? Dalam pandanganku, engkau adalah gadis yang paling mulia di dunia ini! Siapa yang berani mengatakan bahwa engkau seorang yang tidak berharga dan hina? Akan kuhajar mulut kotor orang yang mengatakan itu!"

"Liong-ko, aku tidak berharga menjadi...... menjadi......"

"Siapa bilang tidak berharga, Lan-moi? Sekarang juga, kalau engkau sudi, aku meminangmu untuk menjadi isteriku!"

"Tidak Liong-ko, tidak! Engkau akan diejek dan dicemooh semua orang. Aku tidak pantas menjadi isterimu......, namamu akan ikut tercemar......"

"Lan-moi, apa sih maksud ucapanmu itu? Engkau adalah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dan baik budi, penegak kebenaran dan keadilan. Lebih dari itu, engkau puteri mendiang Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi, suami isteri yang terhormat dan dikagumi, dihormati banyak orang! Engkau adalah gadis paling mulia yang pernah kujumpai! Kalau mau bicara tentang tidak berharga, sesungguhnya akulah yang tidak berharga menjadi pendamping hidupmu. Kalau memang itu masalahnya, katakan saja, Lan-moi. Aku memang hanya seorang pemuda yatim piatu yang miskin dan papa......"

"Cukup! Liong-ko! Jangan merendahkan diri seperti itu. Aku amat menghormatimu, amat mengagumimu. Akan tetapi sungguh, aku sama sekali tidak berbohong kalau aku mengatakan bahwa aku tidak berharga untuk menjadi isterimu! Ah, engkau tidak tahu......!" Gadis itu menundukkan mukanya yang menjadi pucat.

Thian Liong kembali menangkap kedua pundak Bi Lan dan berkata dengan suara tegas.

"Bi Lan, di mana kegagahanmu? Tidak pantas puteri mendiang Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi, suami isteri pemimpin Pasukan Halilintar yang gagah perkasa kalau engkau menjadi begini penakut untuk bicara terus terang! Katakanlah kepadaku apa yang mengganjal di hatimu. Percayalah, aku akan menerima hal yang paling buruk sekalipun dengan tabah!"

"Benarkah itu? Apakah engkau masih dapat...... mencintaku kalau engkau mengetahui bahwa namaku tercemar, kotor dan hina?"

"Moi-moi, aku cinta padamu! Bukan pada namamu! Ceritakanlah dan bersikaplah jujur, terbuka dan tabah sebagai mana layaknya seorang pendekar!"

Mendengar ini, timbul semangat Bi Lan dan muncul keberaniannya. Ia bangkit dan duduk di atas sebuah batu dan Thian Liong segera duduk di atas batu lain di depannya.

"Baiklah Liong-ko, aku akan bercerita sejujurnya. Terserah kepadamu nanti bagaimana tanggapanmu. Dengarlah baik-baik. Liong-ko, aku adalah anak seorang pelacur! Ibu kandungku, Liang Hong Yi, adalah seorang bekas pelacur!"

Sepasang mata Thian Liong terbelalak, mukanya berubah merah sekali, alisnya berkerut dan dia menatap wajah Bi Lan dengan tajam. Suaranya mengandung penuh teguran ketika dia berkata, "Bi Lan! Jangan menjadi anak durhaka! Bibi Liang Hong Yi adalah seorang pendekar wanita, mengapa engkau begitu tega untuk memberi keterangan seperti itu? Siapa pun tidak akan percaya!"

"Liong-ko, apa kaukira aku senang mendapatkan kenyataan ini? Hatiku hancur lebur, dunia seperti kiamat bagiku, hidup seolah tidak ada gunanya lagi. Aku malu, Liong-ko, terutama malu kepadamu! Akan tetapi yang kuceritakan adalah sesungguhnya. Tadinya aku juga tidak percaya, akan tetapi setelah kutanyakan langsung kepada Ibuku ia...... ia mengaku terus terang bahwa memang benar dahulu sebelum menikah dengan Ayah, ia adalah seorang pelacur!" Kembali gadis itu terisak, akan tetapi dengan air mata menuruni kedua pipinya, ia menatap wajah Thian Liong.

"Nah, sekarang kalau engkau hendak memaki, menghina aku, lakukanlah!"

Kini tiba giliran Thian Liong yang bungkam. Dia berdiam diri seperti orang linglung, hanya memandang gadis itu dengan mata tidak percaya, terkejut, dan terheran. Bagaimana mungkin wanita setengah tua yang gagah perkasa itu, dahulu pernah menjadi seorang pelacur? Bagaimana seorang pendekar gagah perkasa seperti mendiang Han Si Tiong dapat menikah dengan seorang pelacur?

Melihat pemuda itu hanya bengong, Bi Lan menyusut air matanya dan suaranya tergetar dan terputus-putus ketika ia bertanya, "Kau...... kau jijik dan benci padaku sekarang......?" Setelah berkata demikian, gadis itu melompat jauh dan lari sekuatnya.

"Bi Lan......!" Thian Liong juga melompat dan mengejar. Setelah dapat menyusul, dari belakang dia menubruk dan memeluk tubuh gadis itu sehingga mereka berdua jatuh bergulingan di atas rumput. Bi Lan bangkit berdiri, akan tetapi sebelum ia sempat lari, Thian Liong telah merangkulnya.

"Lepaskan aku! Engkau nanti ikut kotor kalau berdekatan dengan aku!"

"Bi Lan jangan bersikap begitu. Aku cinta padamu, Lan-moi."

"Hemm, bagaimana engkau dapat mencinta aku setelah engkau tahu bahwa aku ini anak pelacur?"

Tanpa melepaskan gadis itu dari rangkulannya Thian Liong berkata, "Bi Lan, dengarlah. Aku mencinta engkau! Mengerti? Aku cinta engkau, siapapun juga namamu! Aku cinta engkau, anak siapa pun engkau, baik raja maupun anak pengemis, anak pendeta maupun anak penjahat! Aku cinta engkau, Bi Lan, tidak cukupkah itu?"

"Tapi...... tapi Ibuku......"

"Hushh, jangan lanjutkan. Ibumu tetap Ibumu, apa pun dan bagaimana pun keadaannya. Engkau wajib menghormatinya, menyayangnya, berbakti kepadanya! Ibumu seorang pendekar wanita, seorang isteri setia, seorang ibu yang baik, seorang wanita terhormat. Setiap orang manusia sudah pasti pernah melakukan dosa, pernah sesat jalan. Tidak ada manusia sempurna di dunia ini. Akan tetapi, kalau manusia yang melakukan dosa mohon pengampunan kepada Thian dan bertaubat, tidak mengulang lagi dosa yang telah dilakukan, maka Tuhan itu Maha Murah, Maha Kasih, dan Maha Adil! Mungkin di waktu mudanya ibumu pernah sesat jalan, akan tetapi setelah menjadi isteri Paman Han Si Tiong, ia telah bertaubat dan meninggalkan kesesatannya."

Bi Lan memandang wajah Thian Liong dan kini dia tidak meronta lagi. Tubuhnya menjadi lemas dan wajahnya pucat, agaknya ia telah mengalami guncangan-guncangan batin yang hebat.

"Benarkah semua omonganmu, Liong-ko? Engkau tidak menganggap rendah, kotor dan hina kepada Ibuku?"

Thian Liong menggeleng kepalanya dan tersenyum.

"Tidak, Lan-moi. Pekerjaan melacur memang tidak baik dan. merendahkan martabat kaum wanita. Akan tetapi pelacur bukan penjahat. Laki-laki yang datang melacur lebih rendah, kotor dan hina, jahat pula. Terutama para pria yang sudah mempunyai pacar, tunangan atau isteri karena perbuatannya itu berarti mengkhianati pacar, tunangan, atau isterinya. Walaupun pelacur itu tidak baik dan patut dicegah, namun pelacur bukan penjahat dan tidak mengkhianati siapa-siapa. Dalam pandanganku, Bibi Liang Hong Yi tetap sebagai wanita terhormat dan mulia."

Kini Bi Lan menangis sambil merapatkan mukanya di dada Thian Liong sehingga air matanya menembus baju Thian Liong membasahi dadanya. Thian Liong merasa seolah-olah air mata itu menembus kulit dagingnya dan menyiram jantungnya, mendatangkan perasaan nyaman dan bahagia.

"Liong-ko......, tadinya aku takut sekali...... takut engkau membenciku, meninggalkan aku...... padahal, hanya engkaulah satu-satunya manusia di dunia ini yang kupandang, kuhormati dan kukagumi, satu-satunya orang yang kucinta......"

Thian Liong mendekap kepala itu dan mengelus rambut Bi Lan.

"Lan-moi sayang, di sana masih ada seorang yang kaucinta, yang juga kucinta dan kuhormati, yaitu Ibumu! Mari kita menghadap Ibumu untuk minta doa restunya."

"Ibu...... entah di mana, Liong-ko!"

"Ehh......?? Mengapa begitu?"

Tanpa melepaskan diri dari pelukan Thian Liong, Bi Lan menceritakan semua yang ia alami bersama ibunya sejak ayahnya tewas. Bagaimana ia lalu meninggalkan ibunya karena menyesal, kecewa, malu dan berduka mendengar pengakuan ibunya bahwa ibunya dahulu adalah seorang pelacur.

"Aku pergi meninggalkannya dan aku tidak tahu ia sekarang berada di mana, Liong-ko."

"Mari kita mencarinya, Lan-moi. Kita pergi ke kota raja dan mencarinya sampai dapat kita temukan."

Bi Lan hanya mengangguk dan terisak. Sampai lama mereka saling berpelukan sampai akhirnya Bi Lan berhenti menangis. Kemudian, kedua orang itu menuruni bukit itu sambil bergandengan tangan, dengan sinar mata penuh gairah hidup, dengan semangat baru, menyongsong kehidupan yang cerah, penuh kasih sayang, penuh harapan.

Sampai di sini berakhirlah Kisah Si Naga Langit ini, harapan pengarang mudah-mudahan kisah ini ada manfaatnya bagi para pembacanya.

TAMAT



J